The Greatest Holiday, (for)Ever

Semakin mendekati Natal, antisipasi dan kegembiraan sebagian besar orang di dunia tampak semakin meningkat. Bentuk antisipasi dan kegembiraan ini mungkin tampak dalam berbagai persiapan yang diadakan. Kita melihat grup paduan suara gereja mulai sibuk berlatih, anak-anak sekolah berlatih drama ataupun acara-acara lainnya yang berkaitan dengan Natal, di rumah-rumah terlihat penghuninya mulai memasang dekorasi Natal, dan – tentu saja – rencana-rencana liburan dibuat. Dan mungkin… yang paling diantisipasi oleh masyarakat secara umum, baik Kristen maupun dunia sekuler yang masih merayakan Natal, adalah liburan Natal! It’s a Holiday Season!

Kita akan mulai menabung uang, mengatur jadwal, menyesuaikan beban pekerjaan, dan sibuk mencari tempat wisata terbaik untuk menghabiskan liburan Natal, bahkan jauh-jauh hari sebelum bulan Desember (berhubung harga tiket high-season cukup mahal). Bahkan kegiatan-kegiatan yang terakhir disebutkan ini tidak kita lakukan hanya menjelang Natal saja, melainkan menjelang hari-hari yang dicetak dengan warna merah di kalender kita. Mengapa? Karena liburan itu sesuatu yang kita nanti-nantikan. Karena saat berliburlah kita dapat bersantai, rileks, dan melepaskan segala kepenatan. Waktunya beristirahat…

Dunia saat ini memperlihatkan fenomena yang cukup menarik, jika diperhatikan. Kita tampaknya bersusah payah, menghabiskan banyak waktu, dan uang hasil kerja keras kita untuk dapat merasa terhibur atau sekadar untuk dapat bersantai – dengan gaya yang sesuai dengan keinginan kita tentunya. Kita merasa pantas membayar mahal untuk hotel dengan pelayanan yang terbaik, dengan spring bed mahal dibalut sprei sutra, dilengkapi dengan berbagai fasilitas entertainment dan relaksasi – dari televisi dengan ratusan saluran siaran, dinner buatan chef terkenal, sampai fasilitas spa dan kolam renang. Kita rela membayar sejumlah besar uang – yang pada umumnya (hari-hari biasa), tidak rela kita keluarkan – agar kita tidak perlu mengerjakan apa-apa, selain bersantai dan beristirahat.

Nah, istirahat memang sesuatu yang, mau tidak mau kita akui, penting bagi kita. Kita tidak dapat hidup tanpa istirahat. Hasil penelitian saat ini menyimpulkan bahwa manusia dapat bertahan hidup lebih lama tanpa makan dibandingkan jika manusia harus bertahan hidup tanpa tidur. Beberapa orang tertentu bahkan begitu seriusnya dalam menanggapi masalah tidur ini, mereka tidak hanya menentukan berapa lama mereka tidur, mereka juga akan menentukan di atas apa mereka akan tidur, bahan pembuatnya, ketebalan tempat tidur, pelapis tempat tidur (berapa rapat anyaman spreimu?), suhu ruangan tempat tidur, sirkulasi udara, posisi tidur, jam terbaik untuk tidur, dan lain sebagainya – demi mendapatkan kualitas tidur terbaik.

Tetapi, bentuk istirahat yang kita butuhkan pun tidak terbatas secara fisik saja. Kita juga memerlukan istirahat secara mental. Setelah berjam-jam bekerja, tingkat konsentrasi kita akan menurun dan kualitas kerja pun mungkin akan terganggu. Hal ini pun dipahami oleh pemimpin-pemimpin dan para pengambil keputusan dalam perusahaan-perusahaan besar, yang memberikan tuntutan dan tekanan kerja tinggi kepada pegawai-pegawainya. Maka demi meningkatkan kualitas dan efektivitas kerja pegawainya, waktu istirahat, hari-hari cuti, dan fasilitas entertainment pun diberikan. Semakin tinggi posisi di dalam perusahaan, yang berimplikasi pada semakin tinggi pula tingkat stres pekerjaan tersebut, semakin tinggi pula kualitas entertainment yang harus dinikmati.

Kemudian ada pula istirahat-istirahat “kecil” yang kita curi-curi lakukan di sela-sela pekerjaan kita. Mungkin masing-masing dari kita pernah berkata kepada diri kita sendiri: “Ah, mumet kerja melulu. Mesti istirahat otak sebentar. Hm… main game apa ya?” Maka, makin suburlah berbagai macam game yang dapat diunduh secara gratis pada berbagai gadget, mulai dari iPhone, iPod, iPad, dan gadget-gadget android lainnya. Bosan dengan game yang ini? Tenang …, tinggal cari game terbaru atau terpopuler lain, install, dan selamat menikmati! Tidak suka dengan game? Masih ada cafe-cafe, salon dan spa, manikur-pedikur, sports club, bioskop, teater, hiburan televisi, radio, dan seribu satu macam bentuk hiburan lainnya yang dapat kita manfaatkan untuk relaksasi diri – untuk beristirahat.

Kita akan menghabiskan berjam-jam, uang berjuta-juta, dan menempuh ribuan kilometer untuk menikmati istirahat kita. Sebegitu penting dan seriusnya masalah istirahat bagi kita, mungkin sekarang waktu yang tepat untuk kita berefleksi sejenak: kita bekerja untuk dapat beristirahat, atau beristirahat untuk dapat bekerja? Lalu, setelah jam-jam tersebut lewat, uang jutaan sudah lenyap, dan ribuat kilometer sudah terjalani, puaskah kita dengan istirahat tersebut? Akankah kita tidak lagi memerlukan jam-jam lainnya, uang beberapa juta lagi, ataupun tempat-tempat lainnya untuk dapat beristirahat? Sesungguhnya, apa itu istirahat yang sejati?

Secara umum, definisi yang diberikan oleh kamus-kamus mengenai istirahat adalah suatu keadaan di mana tubuh berfungsi secara minimal, kondisi bebas dari beban pekerjaan atau aktivitas apa pun. Tetapi, seperti yang telah disebutkan di atas, istirahat tidak selalu bersifat fisik. Kita tidak selalu setuju dengan Mr. Spock[1] yang mengatakan: “… to rest is to rest – to cease using energy. To me, it is quite illogical to run up and down on the green grass, using energy, instead of saving it.” Ketika kita mengalami kelelahan secara mental, istirahat secara fisik mungkin bukan jawabannya. Kita justru membutuhkan suatu kegiatan yang menetralisasi ketegangan mental kita, membuatnya kembali rileks, dan mampu berpikir jernih. Walaupun tentunya antara istirahat fisik dan mental tidak dapat dipisahkan begitu saja – kelelahan fisik dapat mengakibatkan kelelahan mental, dan sebaliknya kelelahan mental dapat memengaruhi kondisi fisik kita. Tetapi, antara kelelahan fisik dan kelelahan mental, kita mungkin akan lebih memilih untuk mengalami kelelahan fisik, karena kelelahan fisik lebih mudah “disembuhkan” daripada kelelahan secara mental.

Kita tidak perlu membahas panjang lebar di sini mengenai definisi klinis kelelahan mental dan gejalanya menurut dunia psikologi. Rasanya sebagian besar dari kita mungkin sudah pernah mengalami sendiri kelelahan secara mental, misalnya akibat stres belajar, tekanan di tempat kerja, kebosanan terhadap rutinitas, hubungan keluarga yang tidak baik, dan lain-lain. Kelelahan macam ini menimbulkan perasaan depresi atau bosan, dan mereka yang tidak mampu menanganinya dalam waktu yang lama mungkin akan mulai berpikir untuk bunuh diri. Cara yang mungkin disarankan oleh para ahli dan mungkin juga para amatiran yang cukup memerhatikan masalah-masalah seperti ini adalah agar si penderita mencari kegiatan yang menenangkan (seperti berjalan-jalan dan mengamati alam), melakukan kegiatan-kegiatan menarik dan menyenangkan baginya, atau mungkin juga kegiatan-kegiatan yang di luar rutinitas hariannya.

Jadi, istirahat yang terbaik mungkin justru adalah melakukan kegiatan-kegiatan yang paling menyenangkan bagi kita. Implikasinya, jika kita ingin menemukan “rest” yang sejati, maka yang harus kita temukan terlebih dahulu adalah hal yang membawa sukacita sejati bagi kita. Maka pertanyaannya selanjutnya – tentunya – adalah: apa yang menjadi sukacita terbesar bagi kita?

Beberapa orang mungkin menemukan kegembiraan dalam games, yang lain dalam kebersamaan dengan sesama, sementara orang lain mungkin dalam bepergian ke tempat-tempat eksotis. Di sini, pertanyaan yang ditanyakan pada awal artikel ini perlu kembali ditanyakan. Apakah semua itu cukup? Apakah sukacita yang kita dapat setelah bermain games, menikmati kebersamaan, dan mengunjungi tempat-tempat eksotis memuaskan kita sehingga kita tidak perlu lagi mencari kenikmatan lain? Nyatanya, tidak. Semua sukacita itu bersifat sementara dan akan perlahan lenyap oleh waktu, diganti dengan keletihan, kebosanan, dan rutinitas yang muncul lagi, bahkan ketika kita sedang mengerjakan pekerjaan yang kita pikir cukup kita sukai. Adakah jawaban yang pasti (dan kalau bisa, menyenangkan) dalam dunia ini, atas pertanyaan tersebut? Dari dunia, jelas tidak. Kalau dunia berdosa ini dapat memberikan jawaban, maka hari ini kita tidak akan melihat dunia entertainment yang terus berkembang nyaris tanpa kendali, dan pastinya, hari ini pertanyaan ini tidak akan muncul.

Firman Tuhan menyatakan, dalam Kejadian 2:2, bahwa Allah kita adalah Allah yang beristirahat, maka kita sebagai manusia yang adalah peta dan teladan Allah – secara natural – juga beristirahat. Namun istirahat dalam definisi Tuhan bukan “tidak beraktivitas”, melainkan Tuhan menilai kembali seluruh hasil ciptaan-Nya, melihat bahwa segalanya sungguh amat baik, dan memberkati-Nya. Tuhan mengerjakan sesuatu dan itu menyenangkan hati-Nya. Istirahat seperti ini pun diperintahkan Allah kepada manusia, dalam bentuk hari Sabat. Hari Sabat tidak diberikan setelah Kejatuhan dan tidak diberikan karena manusia dapat merasa lelah dan membutuhkan istirahat. Sabat hadir sejak Penciptaan – dan seperti Tuhan yang tidak pernah lelah beristirahat, demikian pula manusia beristirahat. Di dalam rest-Nya, Allah melihat bahwa segala sesuatu dijadikan sesuai dengan kehendak-Nya dan hal ini membawa kemuliaan dan sukacita bagi Allah. Maka di dalam rest­-nya, manusia pun harus dapat melihat bahwa segala sesuatu yang dilakukannya membawa perkenanan dan kemuliaan bagi Allah. Di dalam menjalankan kehendak Allah, manusia sendiri mendapatkan puncak dari sukacita hidupnya, karena memang untuk itulah manusia diciptakan. Manusia mendapatkan rest-nya ketika ia mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan, yaitu kehendak Allah yang menciptakannya.

Hal ini pula yang digambarkan oleh hari Sabat, yaitu hari yang dikhususkan agar manusia dapat dengan bebas menjalankan ibadah dan memfokuskan diri kepada Tuhan serta pekerjaan-Nya. Enam hari yang kita habiskan di dalam dunia berdosa ini adalah enam hari yang penuh dengan distraction. Kita disibukkan oleh pekerjaan, urusan keluarga, urusan pribadi, kehidupan sosial, dan gadget kita masing-masing, sehingga sering kali sulit untuk memusatkan perhatian pada memahami dan melakukan kehendak Allah. Di tengah hiruk-pikuknya kehidupan kita, kita tidak lagi mendapatkan rest yang sejati itu. Padahal Sabat, bagi orang yang sudah dibenarkan di dalam Kristus, tidak lagi disempitkan hanya di dalam satu hari saja. Bagi mereka yang ada di dalam Kristus, hari Sabat itu terletak pada diri Kristus sendiri (Mat. 11:28). Jika kita sungguh-sungguh menghidupi hidup kita di dalam iman kepada Kristus, setiap hari dapat kita nikmati sebagai hari Sabat. Tetapi hari Sabat yang dapat kita nikmati hari ini pun, selama kita masih berada dalam dunia berdosa ini, hanyalah merupakan cicipan dari Sabat yang akan datang (Kol. 2:16-17). Selama kita masih memakai tubuh yang fana dan berdosa ini, kita tidak mungkin dapat mencapai sukacita dan peristirahatan yang sejati itu. Seperti yang tertulis di dalam Markus 14:38, “…roh memang penurut, tetapi daging lemah.” Keberdosaan manusia menghalangi manusia sendiri untuk dapat menjalankan kehendak Allah sepenuhnya, dan hal ini pulalah yang menjauhkan manusia dari sukacita terbesarnya – Sabatnya.

Hari Sabat yang akan datang itu, hari tibanya sukacita terbesar bagi setiap orang yang berada dalam Kristus, akan tiba ketika Kristus datang kedua kalinya. Hari itu, maut bukan saja kehilangan sengatnya, tetapi maut sendiri dilenyapkan untuk selama-lamanya (1Kor. 15:25-26). Kristus datang membawa pemulihan dan pembaruan secara total, yaitu langit dan bumi yang baru (Yes. 65:17; Why. 21:1-2). Di langit dan bumi yang baru ini, dosa tidak lagi memiliki tempat, dan setiap umat yang telah dipilih dari sejak kekekalan untuk mendapat tempat dalam Yerusalem yang baru, dapat dengan bebas menjalankan kehendak Tuhan-Nya dengan sepenuhnya. Pada hari itu dan di tempat itu, dosa tidak lagi menghalangi kita untuk menjalankan apa yang menjadi tujuan kita diciptakan. Pada waktu itulah setiap orang yang berada dalam Kristus mendapatkan sukacita yang ultimat (Why. 21:3-4) dan dengan demikian, peristirahatan yang ultimat – selama-lamanya. Inilah yang menjadi pengharapan sekaligus penghiburan bagi setiap orang percaya: bahwa penderitaan yang kita alami karena dosa sekarang ini, tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita (Rom. 8:18-23; 2Kor. 4:17-18). Hari Sabat yang kita jalankan saat ini menjadi pengingat yang konstan mengenai janji dan pengharapan yang akan diwujudkan dengan tibanya hari kedatangan Kristus yang kedua kali.

Bagi mereka yang mengerti betapa indahnya janji akan dunia yang baru itu akan dapat melihat betapa kusam dan tidak bernilainya janji-janji peristirahatan yang ditawarkan oleh dunia ini. Pesona tempat terindah dan kenyamanan dari tempat peristirahatan paling top di dunia ini akan terlihat seperti kolam lumpur babi dan gubuk busuk yang sedang akan rubuh jika dibandingkan dengan apa yang Tuhan sedang persiapkan bagi kita (1Kor. 2: 9). Lebih daripada itu, betapa indahnya realitas bahwa Allah di dalam kemurahan-Nya tidak menyimpan semua ini hanya untuk hari istimewa itu saja, melainkan ia telah memberikan sebagian kecil dari kenikmatan itu di dalam dunia fana ini. Gambaran dari kenikmatan itu kita temui ketika kita bertemu dengan Kristus, diberikan hidup yang baru, menemukan kehendak Allah dalam hidup kita, menjalankan panggilan-Nya, menyadari bahwa kita adalah prajurit-prajurit yang berperang untuk Kerajaan Allah, dan bahwa kita adalah batu-batu yang diletakkan di atas Kristus untuk membangun Kerajaan Allah di dalam dunia – bahkan ketika kita masih sering kali terjatuh dalam dosa dan hidup dalam dunia yang sedang menuju kebinasaannya. Sungguh mulia dan besar anugerah Allah bagi kita dan dunia ini! Dan betapa bebalnya manusia, karena bahkan anugerah yang sebesar ini pun tidak sanggup menggoncangnya untuk tersadar dan melepaskan segala kesenangan dunia yang fana…

Saudara, jika untuk peristirahatan yang sementara dan fana, kita dapat berencana, mengatur jadwal, menghabiskan uang ratusan ribu sampai jutaan, dan menghabiskan berjam-jam waktu hidup kita, mengapakah untuk menghidupi janji peristirahatan yang kekal dan jauh lebih indah itu, kita tidak dapat memberikan segala sesuatu yang kita miliki? Jika kita menanti-nantikan waktu istirahat, weekends, dan liburan panjang, mengapakah kita tidak menanti-nantikan datangnya Sabat sementara yang merupakan cicipan dari Sabat sejati yang akan datang itu? Mengapa kita begitu sulit meluangkan waktu untuk menikmati doa dan perenungan Firman Tuhan, menikmati melayani, ataupun menikmati mempelajari firman Tuhan?

Kita membutuhkan pertolongan Tuhan agar kita dapat melepaskan diri dari cara menilai dan cara berespons yang salah terhadap segala sesuatu. Memang tidak mudah untuk dapat menjalani hidup seperti Paulus, seperti John Calvin, ataupun seperti Pdt. Dr. Stephen Tong, di mana kata “libur” dan “istirahat” tidak memiliki definisi yang sama dengan definisi umum dunia. Dalam gerakan Reformed Injili, hari paling sibuk adalah hari-hari libur panjang, seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Hari-hari ini diisi penuh dengan kegiatan seperti SPIK, NRETC, NREC, KKR, Konser, dan berbagai macam kegiatan lainnya. John Calvin menolak untuk beristirahat walaupun kesehatannya sudah sangat buruk, karena ia melihat bahwa pekerjaan Tuhan untuk menyelesaikan buku The Institutes of Christian Religion – yang menjadi titik tolak berkembangnya Gerakan Reformasi di seluruh dunia – lebih berharga, dan ia tidak berani menyambut kedatangan hari peristirahatan kekalnya dalam keadaan sedang beristirahat secara duniawi. Dan saya ragu, adanya kata “libur” dalam perjalanan misi penginjilan Paulus.

Tokoh-tokoh ini hadir dalam sejarah bukan hanya untuk kita kagumi saja, tetapi untuk menjadi teladan dan contoh nyata, bahwa mereka yang telah ditebus adalah mereka yang dimampukan untuk menjalani hidup serupa dengan Kristus. Ketika Kristus berada di dalam dunia, Ia setia menjalankan kehendak Bapa-Nya, bahkan dalam kondisi kekurangan istirahat dan sulit tidur karena begitu banyaknya orang yang mau dilayani oleh-Nya. Karena ketaatan-Nya, setiap orang yang percaya dapat menerima janji peristirahatan yang kekal itu. Bahkan saat ini pun, Kristus masih bekerja mempersiapkan tempat dan berdoa syafaat bagi kita. Jadi, mari kita renungkan, revaluasi, dan redefinisi konsep “istirahat” kita. Mari kita belajar, “mencicipi”, dan menyambut hari “libur” terbaik dan terpanjang yang akan kita nikmati kelak dalam kekekalan, bersama Kristus! Mari kita persiapkan Natal – kehadiran Kristus yang memberikan rest sejati – sebagai pernyataan iman akan kepastian kedatangan-Nya kedua kalinya untuk memberikan rest sejati selamanya. Selamat Natal!

Chrissie Martinez
Pemudi FIRES

Endnotes:
[1] Tokoh fiktif dalam film Star Trek, makhluk dari ras Vulcan yang beroperasi murni dengan logika dan tidak memiliki emosi seperti manusia.