Definisi dan Berbagai Pandangan Ketika memikirkan mengenai pekerjaan, kita akan menemui berbagai istilah seperti job, vocation, calling. Secara spesifik mengenai istilah vocation, sering kali dimengerti sebagai sebuah pekerjaan di mana seseorang merasa cocok dengan pekerjaan itu. Akan tetapi, jika kita tarik akar katanya, pengertian vocation sebetulnya lebih dekat dengan istilah panggilan. Ketika kita merenungkan mengenai panggilan, berarti ada yang memanggil dan ada yang dipanggil. Dalam bagian berikut, secara singkat, kita akan sama-sama melihat beberapa pandangan mengenai pekerjaan. Agustinus Agustinus membagi kehidupan menjadi tiga bagian: perenungan (vita contemplativa), kehidupan aktif/kerja (vita activa), dan campuran keduanya. Perenungan berarti berdiam diri di hadapan Tuhan, menikmati Allah Tritunggal. Suatu kehidupan internal. Sedangkan kehidupan aktif berkaitan dengan keharusan yang harus dilakukan manusia untuk mempertahankan hidupnya di dunia ini, seperti makan, menanam gandum, membajak ladang, memperbaiki peralatan yang rusak. Suatu kehidupan eksternal. Bagi Agustinus perenungan dan kerja adalah sama-sama penting di dalam dunia ini. Tak satu pun di antaranya yang boleh diabaikan. Para biarawan pun harus bekerja, kecuali jika sedang sakit. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan karena semata-mata ingin membaktikan diri bagi doa, membaca Mazmur, dan firman Tuhan. Agustinus memandang kerja ‘sekuler’ sebagai tugas yang diberikan Allah kepada manusia bahkan sebelum kejatuhan. Kerja bagi Adam adalah tugas yang menyenangkan dan terhormat, bukan jerih payah (toil), tetapi suatu kesenangan yang menyegarkan. Baru setelah kejatuhan, kerja ‘sekuler’ menjadi hukuman bagi Adam. Medieval Tentang kerja ‘sekuler’, para pemikir dari Abad Pertengahan biasanya membagi pekerjaan menjadi dua hierarki, yaitu sakral dan sekuler. Kristus memberikan dua jalan hidup bagi Gereja-Nya, satu di atas alam dan yang lain alamiah. Jalan hidup yang melampaui alam ini selamanya terpisah dari kehidupan yang biasa, merupakan jalan hidup Kristen yang sempurna di mana orang mendedikasikan diri sepenuhnya untuk melayani Tuhan. Sedangkan jalan hidup yang kedua lebih manusiawi, lebih rendah, mengizinkan orang untuk memikirkan hal-hal yang ‘sekuler’, seperti bertani, berdagang, dan melahirkan anak. Jalan hidup yang kedua ini memiliki kualitas kesalehan yang lebih rendah dibandingkan jalan yang pertama. Martin Luther Menurut Luther, istilah vocation setidaknya memiliki dua pengertian: posisi/station (stand) dan panggilan (Beruf). Bagi orang-orang non-Kristen, mereka diberikan tempat/posisi untuk bekerja ketika mereka berada di dunia. Namun bagi orang Kristen, ada pengertian yang lebih dari itu. Orang Kristen telah mengenal Yesus Kristus dan Roh Kudus berdiam dalam hati mereka. Maka ketika bekerja, orang Kristen harus bertanggung jawab secara penuh di hadapan Allah. Sangat jelas bahwa Tuhan yang memanggil orang Kristen dalam setiap bidang pekerjaan mereka. Luther melihat orang Kristen sebagai ‘bi-vocational’. Pertama-tama, orang Kristen dipanggil terlebih dahulu melalui pemberitaan Injil Kristus. Yang kedua, baru orang Kristen dipanggil untuk bertanggung jawab dalam setiap pekerjaan dan posisi mereka. Baik itu sebagai anggota gereja, warga negara, pasangan, orang tua, atau anak. Yohanes Calvin Bagi Calvin, fondasi biblikal mengenai kerja adalah dari diri Allah sendiri. Allah adalah Allah yang sejak mula dituliskan sebagai Allah yang bekerja (mencipta). Seperti pandangan Luther, Calvin sangat jelas melihat bahwa segala pekerjaan adalah bekerja di hadapan wajah Allah. Semua posisi dan jenis pekerjaan (yang tidak berdosa tentunya) adalah berharga dan signifikan di hadapan Allah. Kemalasan ia lihat sebagai dosa yang mengerikan. Ia terkadang menggunakan istilah “useless block of wood” untuk menyebut orang-orang yang malas. Terlebih lagi, Calvin juga melihat signifikansi motivasi dan iman dalam bekerja. Seperti yang tertulis dalam Roma 14:23, segala sesuatu yang dikerjakan tanpa iman adalah dosa. Konteks Sejarah (Revolusi Industri) Setelah kita melihat beberapa pandangan mengenai pekerjaan, kita akan sedikit melihat dari perspektif pembelajaran sejarah. Secara historis, ada beberapa poin/peristiwa dalam sejarah yang memberikan pengaruh besar terhadap dunia pekerjaan. Dalam bagian ini, kita akan sama-sama melihat dan menganalisis aspek-aspek tersebut, secara spesifik dalam periode Revolusi Industri. Penemuan Mesin Uap Mesin uap yang terus berkembang memberikan loncatan peradaban pada zaman itu. Perkembangan yang pesat dari pemanfaatan mesin uap justru terjadi ketika Richard Trevithick dan George Stephenson (1800) memanfaatkan mesin uap mereka yang berukuran kecil untuk menjadi tenaga pendorong lokomotif. Penemuan ini menandai dimulainya kapitalisme industri, atau dengan kata lain industri yang berpusat pada modal. Mesin uap mempercepat perkembangan industri batu bara yang menjadi bahan bakar lokomotif kereta. Usaha kereta yang berkembang mempercepat perkembangan infrastruktur dan logistik. Hal ini berakibat pada perkembangan pesat penambangan batu bara yang juga menjadi sumber energi bagi peleburan besi. Besi digunakan untuk membuat lokomotif dan jalur kereta api. Dalam sekejap semua kota-kota penting di Inggris terhubung dan zaman itu menyaksikan berdirinya kerajaan baru di dalam kerajaan Inggris: kerajaan tekstil. Industri Tekstil Kerajaan tekstil menjadi cerminan seluruh pandangan klise mengenai Revolusi Industri. Semenjak Enclosure Movement yang mengiringi Agricultural Revolution pada abad ke-16 terjadi, para petani tidak mendapatkan tanah untuk bekerja dan berhamburan ke kota-kota untuk mencari pekerjaan menjadi buruh di kota. Namun, ketika kerajaan ini terus berkembang, inovasi pun tidak bisa dihindarkan. Mereka yang mempunyai modal berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dengan menggunakan mesin-mesin jahit tercanggih yang ada. Fenomena ini tentu memakan korban. Sebut saja Richard Arkwright pada tahun 1769 yang hanya menjual hak patennya kepada mereka yang mempunyai lebih dari 1.000 mesin jahit penemuannya. Monopoli industri oleh kaum bourgeois memaksa perusahaan-perusahaan bermodal kecil menutup pintu dan memasukkan mereka menjadi golongan proletariat yang bekerja sebagai buruh industri yang besar. Tidak hanya sampai di situ, perkembangan kualitas mesin-mesin membuktikan kualitasnya mudah diatur, efisien, dan tidak mengeluh sebagaimana yang dikatakan oleh James Nasmyth: “never got drunk; their hands never shook from excess; they were never absent from work; they did not strike for wages…” Melihat hal ini, para pemilik modal tidak melihat ada gunanya lagi bagi mereka untuk mempertahankan para pekerja. Hal inilah yang memicu amarah para pekerja – yang tergabung dalam kaum Luddite – yang melakukan protes dari tahun 1811-1816 terhadap penggunaan mesin. Meski demikian, dominasi mesin di dalam berbagai industri terus berlanjut menyesuaikan dengan tingkat konsumsi manusia yang tanpa batas. Perubahan Menarik juga ketika kita perhatikan perubahan sistem industri tekstil. Sebelum fenomena kapitalisme industri terjadi, produsen tekstil tidak mengerucut pada pabrik raksasa. Produksi barang-barang konsumsi bekerja berdasarkan apprenticeship system di mana pengrajin senior akan bekerja bersama para pekerja magang secara pribadi untuk melatihnya dalam proses pembelajaran berjangka panjang. Hasil dari lokakarya atau rumah-rumah setempat ini akan dibeli oleh pedagang untuk selanjutnya didistribusikan kepada masyarakat luas, sistem yang disebut sebagai putting-out system. Pekerjaan sebelum industrialisasi ini bersifat kekeluargaan, lokal, dan adanya kesatuan antara hidup dan pekerjaan. Para pekerja bekerja dan tinggal bersama dengan orang-orang lokal bahkan juga keluarga mereka. Tetapi ketika pabrik seperti milik Richard Arkwright merebut pasar, terjadi isolasi para pekerja dari kehidupan pribadi mereka. Kemampuan seseorang untuk melihat proses secara keseluruhan dan menghasilkan suatu produk yang utuh, direduksi menjadi bagian dari suatu sistem produksi yang panjang di dalam sebuah pabrik. Kreativitas dan kemampuan pekerja dibatasi oleh waktu, tugas, dan jabatan. Manusia jadi cenderung melihat pekerjaan sebagai salah satu bagian dari hidup, bukan panggilan yang harus dijalankan. Begitu juga dengan kehidupan rohani yang hanya menjadi salah satu bagian hidup karena gereja yang jauh dan “jauh” dari tempat manusia bekerja pada saat itu. Efek Samping Kapitalisme Tren ini terus berkembang di zaman sekarang di mana efisiensi dan profit dielu-elukan oleh setiap industri. Keberhasilan dan pencapaian dinilai dari parameter output yang dihasilkan. Fenomena ini terlihat dari bagaimana sistem edukasi masa kini berusaha mencetak gelar secepat mungkin dan mempersiapkan murid hanya untuk menghadapi ujian. Maka, tidak heran jika cara berpikir manusia telah berubah menjadi profit-oriented dan melihat prestasi atau hasil sebagai tujuan utama. Depresi dan stres juga tidak bisa dihindarkan karena dunia begitu meminta hasil yang kilat, dengan ketidakmampuan untuk mencapai target dilihat sebagai kegagalan. Jika seluruh realitas dilihat melalui kacamata ini, kita bisa saja mengatakan bahwa Yesus telah gagal sebagai pemimpin agama. Dia hidup di dunia selama 33,5 tahun, berkeliling hanya di daerah Timur Tengah, dan “hanya” menghasilkan 12 murid yang utama yang salah satunya berkhianat. Namun apakah benar demikian? Lalu bagaimana dengan miliaran umat-Nya sekarang? Bagaimana dengan Gerakan Reformasi yang mengubah seluruh tatanan mayarakat dunia? Bukankah semua ini berdasar pada pekerjaan Kristus yang terlihat “gagal”? Manusia dan Alam Relasi manusia dengan alam juga mengalami perubahan besar bersamaan dengan terjadinya Revolusi Industri. Sebenarnya perubahan paradigma tentang alam telah berubah semenjak Descartes mencetuskan Mechanical Philosophy yang melihat dunia ini bekerja hanya berdasarkan interaksi materi. Seiring berjalannya perkembangan sains dan eksperimen pada zaman Francis Bacon yang mengatakan bahwa alam harus “disiksa hingga mengungkapkan rahasianya”, pandangan terhadap alam berubah. Perubahan pandangan ini mengalami perubahan bentuknya ketika manusia memiliki teknologi tinggi di zaman Revolusi Industri. Ketika melihat begitu banyaknya pabrik dan asap yang mengepul di atas kota Manchester, Charles Dickens berkata, “What I have seen has disgusted me and astonished me beyond all measure.” Tidak hanya asap, namun pembuangan pabrik-pabrik juga mencemari sungai. Industri yang berkembang pesat tidak memerhatikan tata kota sehingga rakyat miskin ada di mana-mana, tinggal di tempat-tempat kumuh dan kotor. Pemandangan inilah yang dideskripsikan Engels dalam bukunya untuk menyatakan keburukan sistem kapitalisme dan telah menginspirasi Karl Marx dalam mengembangkan ideologi komunismenya. Tantangan dan Pergumulan Pemuda Bagi konteks pemuda sekarang, sedikit banyak imbas dan pengaruh negatif Revolusi Industri masih bisa kita rasakan. Mulai dari cara pandang mengenai produktivitas, manajemen perusahaan, pengembangan robot/mesin yang terus menggantikan peran manusia, penggunaan sumber daya alam, kesenjangan sosial yang semakin melebar, maraknya depresi/stres, sampai kepada kerusakan yang parah terhadap lingkungan. Kembali kepada pembahasan pengertian vocation, setiap dari kita mungkin pernah bergumul bagaimana memilih pekerjaan yang cocok dengan diri kita. Banyak orang Kristen yang memilih pekerjaan hanya berdasarkan ketertarikan, gaji, ketenaran, tanpa mengaitkan itu dengan iman Kristen dan panggilan Tuhan sama sekali. Pribadi yang Memanggil Di dalam menggumuli apakah pekerjaan yang cocok bagi diri kita, kita pertama kali harus mengetahui siapakah yang memanggil kita. Jika kita belum mengetahui dengan jelas siapa yang memanggil kita, maka hidup kita akan kacau dan bisa memilih profesi dengan sembarangan. Banyak orang yang sering berkata, “Ambil pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakatmu,” atau, “carilah pekerjaan yang memberikan prospek hidup yang bagus untuk masa depanmu.” Dua kalimat ini tidak sepenuhnya salah, tetapi ketika kita menggunakan kalimat ini dengan melepaskan diri dari Pribadi Allah yang memanggil kita, bisa terjadi suatu kekacauan dan kebahayaan besar. Inilah yang menjadi bentuk tantangan di zaman post-modern di mana kebenaran dianggap relatif dan masuk dalam konsep menghidupi cerita (story) dari masing-masing individu semata. Tanpa pengenalan akan Allah yang memanggil, minat dan keinginan manusia berdosa semata-mata akan menjerumuskannya ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Keserakahan dan kehidupan yang self-centered sudah dianggap wajar dan secara default kebenaran. “Minat” manusia akan tertarik dan semakin menuju kepada magnet materialisme, keserakahan, dan kenyamanan. Tidak lagi diakui adanya Kebenaran Absolut yang kepada-Nya kita harus tunduk. Tidak lagi kita akui adanya grand-story yang sanggup memayungi kisah-kisah dari setiap pribadi manusia sehingga makna hidup yang sesungguhnya bisa ditemukan. Sebagai orang Kristen, kita harus mengerti siapa yang memanggil kita. Mungkin banyak dari kita yang sangat mudah menjawab bahwa yang memanggil kita adalah Tuhan Yesus. Tuhan Yesus memanggil kita untuk datang kepada-Nya dan meletakkan beban kita kepada-Nya. Tuhan Yesus juga berkali-kali berkata “Ikutlah Aku” kepada orang-orang. Semua orang Kristen tahu hal itu. Akan tetapi, tidak semua orang Kristen mengerti dan menjalani panggilan mengikut Yesus ini. Banyak orang mengerti panggilan mengikut Yesus hanya sebatas menjadi orang Kristen yang mungkin setiap minggu ke gereja atau setiap hari berdoa, tetapi tidak di dalam seluruh aspek hidup. Padahal panggilan yang diberikan Tuhan kepada semua orang ini mempunyai arti yang sangat mendalam. Seperti yang dicetuskan oleh C. S. Lewis, jika kita mengenal Kristus dengan sungguh, hanya ada tiga respons yang manusia dapat berikan: menganggap Dia orang gila/tidak waras/pendusta, membunuh/menghancurkan-Nya dengan sekuat tenaga, atau berlutut dengan sesungguh-sungguhnya di hadapan Kristus dan menyerahkan seluruh hidup kita bagi Dia. Respons secara setengah-setengah atau hanya mengikut “dari jauh” bukanlah suatu reaksi yang wajar menurut Lewis jika kita telah mengenal Kristus dengan sesungguh-sungguhnya. Perspektif Perjanjian Baru Sedikit melihat perspektif Perjanjian Baru, Paulus berkata, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”[1] Paulus juga pernah berkata, “Bukan aku lagi sendiri yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”[2] Melalui pengertian ini, berarti kita tidak bisa hidup sembarangan, memakai hidup kita sesuai dengan apa yang kita inginkan. Hidup kita mengandung tujuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Hidup kita adalah milik-Nya. Hidup kita harus sesuai dengan kehendak Kristus. Apakah tujuan tertinggi dari hidup kita? Menurut Katekismus Singkat Westminster, tujuan tertinggi hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia.[3] Paulus berkata, “Makan, minum, atau melakukan apa pun, lakukanlah itu untuk kemuliaan Allah.”[4] Ini hal yang sangat penting yang harus kita ketahui, yaitu apa pun yang kita lakukan adalah untuk memuliakan Allah. Kita semua dipanggil menjadi umat Tuhan, dengan tujuan untuk memuliakan Allah. Kita tidak mengerjakan sesuatu hanya untuk keuntungan diri sendiri maupun orang lain, tetapi yang lebih penting adalah supaya nama Tuhan dipermuliakan. Setelah kita mengetahui bahwa apa pun yang kita kerjakan untuk memuliakan Tuhan dan kita harus mengikuti kehendak Tuhan, maka langkah berikutnya adalah kita harus mengetahui kehendak Tuhan itu sendiri. Banyak orang Kristen yang bertanya apakah kehendak Tuhan dalam hidup saya, tetapi banyak di antara orang Kristen yang menanyakan hal itu, tidak mau menemukan kehendak Tuhan di dalam Alkitab. Kita sering kali terlalu fokus ingin mengetahui kehendak Tuhan yang spesifik, yang berkaitan dengan kepentingan kita, tetapi melupakan kehendak Tuhan yang umum. Kehendak Tuhan yang umum dinyatakan Tuhan di dalam seluruh Alkitab. Ketika kita dalam proses pencarian kehendak Tuhan secara spesifik dalam hidup kita, kita tidak pernah boleh melanggar prinsip-prinsip Alkitab. Selain itu, kita harus menjadi murid yang taat dan sungguh-sungguh mau Tuhan memimpin seluruh hidup kita. Tuhan akan memimpin kita mengenal kehendak-Nya jika kita sungguh-sungguh menyerahkan seluruh hidup kita kepada-Nya dan mau dengan taat dipimpin oleh Tuhan. Sebagai pemuda Kristen di zaman ini, kita tidak naif terhadap segala tantangan dan kerusakan yang ada. Bekas rongsokan dan bau busuk efek negatif dari berbagai peristiwa dalam sejarah (khususnya Revolusi Industri) masih dengan jelas kita lihat dan rasakan. Rutinitas, tekanan, kekhawatiran, persaingan, kompetisi, dan asap polusi masih terus kita rasakan dan mewarnai hidup young professionals setiap harinya. Sebagai orang Kristen, kita tetap memiliki pengharapan dan sukacita di tengah-tengah situasi seperti ini. Kita tidak menjadi depresi dan putus asa menghadapi kelamnya dunia berdosa. Kita memiliki Sang Gembala yang terus memimpin, merawat, menjaga, mengasihi, dan memanggil kita. Sebagai umat-Nya, sudah sewajarnya kita kembali kepada Tuhan, semakin mengenal siapakah Pribadi yang memanggil kita. Kemudian dengan taat kita tunduk dalam pimpinan Tuhan hari demi hari. Kita menyerahkan seluruh hidup kita menjadi korban hidup, mau dipakai oleh Tuhan di mana pun Dia mau tempatkan, dan dengan hati seperti itu, kita akan semakin mengerti panggilan Tuhan secara spesifik bagi hidup kita. Sebagai umat Tuhan di tengah-tengah dunia berdosa ini, kita terus bekerja dengan penuh pengharapan, keteguhan, persistensi, ucapan syukur, dan motivasi yang murni untuk Dia yang sudah “bekerja tuntas” dengan mati bagi kita di atas kayu salib dan bangkit mengalahkan maut. Adhi Prasetya dan Jerry Pemuda GRII Singapura Endnotes: [1] Filipi 1:21 [2] Galatia 2:20 [3] Katekismus Singkat Westminster (G. I. Williamson) [4] 1 Korintus 10:31