Mazmur 42-43
Vik. Lukman Sabtiyadi
Setiap orang di dalam dunia ini pasti mempunyai pergumulan, termasuk juga orang Kristen. Kadang-kadang kita berpikir kalau kita sudah percaya Tuhan Yesus, kalau kita sudah menerima karya penebusan itu, diampuni oleh Tuhan dan memperoleh hidup yang kekal, maka pergumulan itu sepertinya hilang atau mungkin kita bisa lewati dengan lebih mudah, semakin berkurang lalu hilang. Tapi nyatanya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dan seperti yang kita alami, satu fakta bahwa setiap kita pasti mempunyai pergumulan sekalipun sudah Kristen. Dan kita juga bisa melihat di dalam Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu, begitu banyak orang-orang yang sudah beriman kepada Tuhan, mengikut Tuhan justru semakin banyak pergumulannya. Nuh, ketika dia percaya kepada Tuhan, dia mendengarkan suara Tuhan, dia membangun bahtera di atas gunung. Itu pergumulan begitu berat karena pasti dianggap gila oleh orang-orang lain dan juga pekerjaan yang berat. Abraham, seorang kaya, sukses di kotanya, di tanah yang orang tuanya membawanya di sana. Namun suatu Tuhan katakan, “Pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan padamu.” Lalu dia memilih untuk mendengarkan Firman Tuhan. Orang-orang pasti mengatakan saat itu, “gila!”. Mengikut Tuhan bukan mengurangi pergumulan, justru menambahkan pergumulan.
Mengikut Tuhan bukan berarti hidup itu kemudian lancar, atau segala masalah dapat selesai dengan tuntas. Tidak. Setiap kita pasti punya pergumulan. Yang mungkin belum menikah, pergumulan untuk menikah, mencari pasangan. Yang sudah menikah, mungkin pergumulan juga bagaimana bisa beradaptasi menyesuaikan dengan kehidupan yang menikah, memahami keluarga satu sama lain, mengasihi, mendidik anak di dalam Kristus. Yang lagi studi bergumul, mungkin baru masuk, bagaimana bisa menyesuaikan diri dengan studinya, mengerjakan yang terbaik dan menyelesaikan studinya dengan baik. Yang bekerja, ada yang bergumul sedang mencari pekerjaan. Ada orang Kristen bahkan sulit mencari pekerjaan. Ada orang Kristen sulit membangun keluarga. Ada orang Kristen sulit mempunyai anak. Ada orang Kristen sulit untuk sembuh dari sakitnya. Begitu banyak pergumulan.
Dalam spiritualitas Kristen pergumulan-pergumulan hidup orang Kristen itu dibagi menjadi 3 kategori: pergumulan eksternal, pergumulan internal, dan pergumulan bersama dengan Allah. Pergumulan eksternal yaitu setiap pergumulan di luar diri seperti studi, pekerjaan, relasi dengan orang lain, penderitaan dari luar, bahkan pemerintah kita seperti gereja-gereja kita yang sekarang beberapa kesulitan mempunyai IMB, dan lain-lain. Selanjutnya, pergumulan internal, yaitu dosa kita. Setiap kita pasti bergumul dengan dosa. Kita yang masih egois, kesombongan, gaya hidup, persoalan emosi, dan lain-lain. Kategori terakhir, pergumulan dengan Allah, yaitu tentang pengenalan kita akan Allah. Sampai sekarang masih banyak orang susah sekali menerima, “Allah kan kasih. Mengapa sih saya seperti jauh dari Tuhan, seperti tidak dipedulikan oleh Tuhan di dalam kesusahan hidup saya.” Atau mungkin sebaliknya. “Allah kan adil. Saya lihat ada orang yang nggak percaya kepada Tuhan tapi kok hidupnya lancar? Bukankah Tuhan itu adil? Saya terus beribadah, melayani Tuhan, tapi kok hidup saya jadi banyak kesusahan?” Ini pergumulan bersama Tuhan.
Seringkali, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pergumulan dalam hidup kita itu datangnya bukan satu-satu, tapi rombongan. Pergumulan eksternal datang, pergumulan internal juga lalu disertai pergumulan bersama dengan Allah. Kita bertemu dengan orang-orang yang sulit untuk kita bergaul, sulit memahami kita. Kita bergumul untuk mengasihinya. Tuhan mengatakan, “Kasihilah sesamamu.” Tapi sulit, Tuhan, kasih itu muncul. Lalu kita juga bergumul, ketika kita bergumul memunculkan kasih dalam diri kita. Kita bergumul, “Jadi, Tuhan ini yang memerintahkan saya ini, nggak peduli ya dengan perasaan saya?” Pergumulan itu datang serentak.
Hari ini, saya mau mengajak kita bergumul bersama Mazmur 42 sampai 43. Pedoman-pedoman apa yang bisa kita lakukan ketika kita bergumul di dalam Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari?
Mari kita membuka Mazmur 42 sampai 43. Lembaga Alkitab memberikan judul di sini yaitu “Kerinduan kepada Allah.” Ini termasuk buku kedua dari Mazmur ya, Mazmur 42-72, itu jilid yang kedua. Di sini dituliskan yaitu Mazmur Bani Korah. Korah adalah salah satu pemimpin pujian yang memang ditugaskan oleh Daud dan Salomo di bait Allah. Bani Korah tugasnya melayani di Bait Allah. Tapi ironisnya, justru orang yang di Bait Allah merindukan Bait Allah. Maka ada yang mengatakan, kemungkinan konteksnya itu Mazmur yang ditulis adalah waktu pembuangan. Waktu pembuangan di mana pemimpin pujian itu tidak lagi berada di Bait Allah karena jauh di luar Yerusalem. Atau konteks yang kedua, yaitu waktu pasca pembuangan. Sesudah pembuangan selesai, lalu orang-orang Israel itu berjalan pulang kembali ke Yerusalem. Di masa perjalanan itulah kemudian Bani Korah ini menuliskan Mazmur ini. Tuhan mewahyukan Mazmur ini kepada Bani Korah. Ini adalah konteks geografis.
Kita juga dapat perhatikan Mazmur 42-43 ini satu mazmur. Jadi bukan hanya pasal 42 yang terpisah dengan 43 tapi 1 kesatuan karena memang kita bisa lihat tidak ada judul yang memisahkan. Lalu yang kedua, banyak catatan juga menyatakan Maz 42-43 ini adalah satu mazmur. Dan selain itu, yang lebih lagi penting ada kesamaan-kesamaan di dalamnya. Misalnya, refrain yang dipakai. Kita bisa melihat Mazmur ini seperti 3 bait lagu dengan 1 refrain ayat ke-6 dari 42, lalu ayat ke-12, dan kemudian ayat 5 dari pasal 43. Apa refrain-nya? Yaitu “Mengapa kau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” Lalu kesamaan lainnya, kita bisa lihat di ayat ke-10 dari pasal 42 dan ayat ke-2 dari pasal 43. Kesamaan-kesamaan ini menegaskan bahwa mazmur ini merupakan satu kesatuan.
Lalu bagaimana konteks dari pergumulan pemazmur? Ada beberapa konteks yang juga dinyatakan oleh beberapa penafsir. Pertama, mungkin pemazmur itu sakit. Sakit sehingga dia jauh dari Bait Allah, dia tidak bisa datang ke Bait Allah. Lalu bagaimana kalau misalnya waktu pembuangan? Ya, misalnya waktu pembuangan, lalu beberapa orang sudah sampai pasca pembuangan, orang sudah sampai ke Yerusalem, lalu sedang membangun Yerusalem, sedang membangun Bait Allah. Tapi dia sakit, dia tidak bisa ikut. Dia jauh dari Bait Allah. Kedua, bermakna rohani di mana dia memang kehilangan Tuhan. Dia merindukan untuk berjumpa dengan Tuhan, tapi penyertaan Tuhan itu nggak nyata. Kerinduannya bukan kepada Bait Allah secara fisik, bukan. Waktu di masa pembuangan atau di pasca pembuangan, dia bergumul bukan berarti hadir di Bait Allah secara fisik. Tapi, masa-masa pembuangan, masa-masa pasca pembuangan itu, dia kehilangan Allah. Tuhan seperti tidak menyertai umat Tuhan. Dia memerlukan Tuhan sang Sumber Hidup seperti dia membutuhkan air untuk kehidupan jesmaninya.
Ketiga, banyak penafsir menegaskan karena Mazmur ini adalah kiasan maka pergumulan bersifat beragam. Konteks pergumulan pemazmur bukan hanya konteks pemazmur saat itu saja, waktu dia di masa waktu pembuangan, tapi juga termasuk pergumlan seperti dosa, kesusahan hidup, kesusahan karena ada orang-orang sekitar dia yang merendahkan dia, menghina dia, mungkin pergumulan dia di tengah-tengah keluarganya, bagaimana dia harus bersaksi di tengah-tengah keluarganya. Jadi, pergumulan pemazmur ini bukan hanya secara jasmani atau geografis, tapi beragam macam pergumulan yang umat Tuhan alami. Pemazmur itu menggunakan kata-kata kiasan, puisi, untuk menyatakan pergumulan yang lebih luas yang melampaui dari konteks-konteksnya saat itu dan pasti relevan dengan juga saat kita sekarang ini.
Pedoman-pedoman apa yang bisa kita pelajari dari pemazmur ketika dia bergumul? Pertama, ketika pemazmur itu bergumul, dia berkata kepada dirinya sendiri. Dia berdialog dengan dirinya, seolah-olah membawa jiwanya keluar. Dia bukan hanya mendengarkan isi kata jiwanya, isi hatinya. Tapi, dia berkata kepada jiwanya, “Mengapa engkau, mengapa engkau gelisah, hai jiwaku? Berharaplah kepada Tuhan!“ Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pernah nggak seperti itu? Seringkali yang kita lakukan sebagai orang umumnya itu adalah mendengar jiwa kita. Ada lagu-lagu, “Listen to your heart, listen to your soul.” Follow your heart. Ini semua ajaran-ajaran dunia. Kita terlalu sering mendengarkan hati kita, tapi kita lupa berkata kepada hati kita. Pemazmur, Alkitab, nggak pernah mengajarkan kita mendengarkan hati kita karena hati kita seringkali salah. Mengapa? Apa sih yang bisa dimunculkan oleh manusia berdosa dari hatinya? Dosa. Manusia berdosa pasti memunculkan dosa di dalam jiwanya.
Ketika kita melihat di sini ada “jiwaku” itu artinya keseluruhan diri. Bukan hanya perasaan. Bukan hanya hati yang kita pahami secara sempit, atau mungkin pikiran kita saja. Tapi keutuhan diri kita. Dia berkata kepada dirinya secara utuh itu seperti bercermin lalu dia mengatakan sesuatu kepada dirinya. Tapi bukan dalam pengertian positive thinking psychology. Walter Brueggemann menyatakan, “Salah satu cara untuk kita dapat mengungkapkan pergumulan kita dan membawa pergumulan kita menuju arah yang baru dalam hidup kita yaitu melalui dialog batin.” Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bayangkan ketika di tengah-tengah pergumulan pemazmur, entah itu mungkin dia sakit, entah itu mungkin pergumulan relasi dalam keluarganya, entah itu mungkin pergumulan dalam pekerjaannya. Mungkin di dalam banyak hal, terlebih lagi di dalam dosanya. Dan bahkan Tuhan itu seperti tidak menyertai. Orang lain hidupnya lebih lancar, yang nggak percaya kepada Tuhan. Lalu di tengah-tengah pergumulan itu, dia dengan sedih dan menangis ke hadapan Tuhan, dia masuk kamarnya, dia tutup pintu kamarnya itu, lalu dia menangis. Tapi dia tidak hanya berhenti di situ. Apa yang dilakukan pemazmur? Dia membawa jiwanya keluar dan berkata kepada jiwanya. “Mengapa engkau gelisah, hai jiwaku? Berharaplah kepada Tuhan!“ Ketika di tengah-tengah pergumulan kita begitu berat, apa yang seringkali yang perlu kita lakukan di dalam pergumulan kita? Berkatalah kepada jiwa kita.
Apa yang perlu dikatakan? Ini yang kedua, berkata-kata kepada jiwa kita terkait dengan ingatan kita akan Allah dan segala kebenaran-Nya. Ada banyak kata-kata yang salah, yang nggak perlu kita katakan kepada jiwa kita, kepada diri kita. Pemazmur mengajarkan untuk mengingat siapa Allah, dan itulah yang dia katakan kepada jiwanya: Berharaplah kepada Tuhan! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” Mengingat begitu penting di dalam Alkitab. Kalau ada yang menghitungnya itu kurang lebih 350 kali di dalam Perjanjian Lama. Dan itu ada di setiap kitab. Dalam alkitab, mengingat dan melupakan itu bukan hanya kemampuan otak. Di dalam Alkitab, mengingat berarti menyatakan tindakan percaya kepada Tuhan. Melupakan artinya menolak Tuhan. Contoh, Hak. 3:7, “Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, mereka melupakan TUHAN, Allah mereka, dan beribadah kepada para Baal dan para Asyera.” Melupakan, lalu ada tindakan beribadah kepada Allah lain.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau Bapak, Ibu, Saudara sekalian datang ke sini beribadah, lalu suatu ketika handphone Bapak, Ibu, Saudara sekalian tertinggal, tapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian nggak ingat handphone ketinggalan. Lalu, Bapak, Ibu, Saudara sekalian keluar, pulang, lalu pas di tengah jalan ingat, “Oh ya, handphone ketinggalan, nggak ada.” Pasti saat itu langsung mulai gelisah. Mulai cari-cari. Mulai berpikir mau melakukan apa? kembali lagi ke Grand Pasific. Mengingat itu diikuti tindakan. Mengingat berarti melakukan sesuatu untuk yang diingat. Ketika kita mengingat lagi untuk berharap keapda Allah maka berarti menunjukkan tindakan-tindakan berharap kepada Tuhan. Sedangkan melupakan artinya menolak Tuhan.
Dalam alkitab, mengingat juga berarti bersaksi dan memproklamasikan lagi akan siapa yang diingat. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, konteks Mazmur itu bukan hanya pergumulan pribadi waktu dia berada di kamar, lalu di rumahnya, dia berdoa. Bukan! Mazmur 42-43, dan banyak Mazmur lainnya, itu pergumulan pribadi kemudian dibawa kepada ibadah, kepada pergumulan komunal. Membawa pergumulan pribadi itu, dia menangis di rumahnya, dia bergumul lalu membawanya ke dalam ibadah. Lalu apa yang dilakukan di ibadah? Di ibadah mengingat lagi siapa Tuhan. Waktu mengingat, memproklamasikannya melalui apa? Melalui doa dan nyanyian. Doa dan nyanyian adalah proklamasi ingatan akan siapa Allah. Saya nggak tau Bapak, Ibu, Saudara sekalian apa yang di pikiran kita, apa yang ada di hati kita ketika kita menyanyikan pujian bagi Tuhan. Apa yang di dalam hati kita ketika kita itu berdoa kepada Tuhan di dalam ibadah kita. Mengapa sih kita perlu berdoa itu keluar suara kadang-kadang di dalam doa syafaat kita? Kata-kata bagi jiwa kita. Menyanyi itu terutama bukan untuk Tuhan, melainkan terutama untuk kita. Kita bernyanyi memuji Tuhan semua itu sebenarnya untuk kita, untuk kerohanian kita. Perkataan yang baik bagi jiwa kita, “Hai jiwaku ingatlah Allah-lah benteng yang baka. Berharaplah kepada Dia.”
Ada orang yang bertanya kepada saya, sering sekali, “Pak Lukman kalau datang beribadah bukankah tiap orang itu punya banyak pergumulan? Nggak semua kan orang sukacita. Ada orang mungkin kesusahan di dalam mencari pekerjaan, mungkin banyak pergumulannya. Aku susah, masa menyanyikan “Kau Allah benteng yang baka”? “Allah benteng yang baka, Kau pelindung ku” kok nggak nyata dalam hidupku? Bagaimana aku bisa menyanyi itu? jadi akhirnya aku nggak nyanyi.” Gimana? Alkitab justru mengajarkan bernyanyilah, karena nyanyian itu bukan hanya pujian kepada Tuhan. Nyanyian itu kata-kata kepada jiwa kita. Demikian yang dilakukan umat Israel di dalam Perjanjian Lama, datang ke bait Allah, dia bergumul. Orang yang hidupnya lancar, hidupnya sukses, disertai Tuhan di masa Perjanjian Lama, misalnya, dia datang kepada Allah, dia bersyukur kepada Tuhan dan dia memproklamasikan syukurnya itu, “Tuhan saya bersyukur Engkau menyertai saya, Engkau berbelas kasihan kepada saya, sehingga pekerjaan saya baik, keluarga saya baik.” Dia memproklamasikan dan dia memberikan korban syukur kepada Tuhan. Lalu bagaimana orang-orang yang sedih? Orang yang bergumul dalam kesedihan, kesusahannya, juga datang beribadah kepada Tuhan lalu berharap. Ada kata-kata bagi jiwanya saat itu, dia mengungkapkan saat itu, ada nyanyian ratapan, ada doa-doa kesusahan, “Berapa lama lagi ya Tuhan” Lalu dia nyanyikan lagi lebih lantang, supaya kata-kata nyanyian pujian itu berkata masuk ke dalam jiwanya.
Dalam alkitab, mengingat juga berarti mengikat hati kita pada yang diingat. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa melihat di sini, siapa sih Allah yang dinyatakan dalam Mazmur 42 ini. Ayat 3 dikatakan, “Allah yang hidup”, ayat 5 dikatakan, “penolongku dan Allahku” lalu “gunung batuku” ayat 10, “tempat pengungsianku, sukacitaku dan kegembiraanku”. Semuanya adalah ungkapan siapa Allah, di mana dia mengikat dirinya kepada Allah yang demikian. Dan yang paling penting ada di tengah-tengah dari Mazmur 42-43, hampir di tengah-tengah Mazmur 42:9, “TUHAN memerintahkan kasih setia-Nya pada siang hari, dan pada malam hari aku menyanyikan nyanyian, suatu doa kepada Allah kehidupanku.” TUHAN, Bapak, Ibu, Saudara sekalian lihat, Tuhan itu huruf besar semua, TUHAN, apa artinya? Itu YHWH, itu Allah perjanjian. Saudara sekalian lihat, semua waktu pemazmur menyebut Allah di dalam Mazmur 42 sampai 43, semuanya Elohim, Allah yang umum. Orang Islam bisa mengatakan “Allah penolongku, bentengku, kegembiraanku, sukacitaku” tapi ayat 9 hanya umat Tuhan yang bisa mengatakan “TUHAN, YHWH, Allah perjanjian. Aku adalah Aku.” Inilah yang diingat oleh pemazmur, dia mengikatkan dirinya kepada Allah perjanjian itu, dari Elohim kepada YHWH. Bukan sembarang Allah. Musa kepada Allah, “Tuhan, siapakah Engkau? Namamu siapa Tuhan kalau aku mau perkenalkan Engkau kepada orang Israel?” “Aku adalah Aku”. Artinya apa Bapak, Ibu, Saudara sekalian? “Aku adalah Aku. Aku yang tidak membohongi diriKu. Aku yang tidak ada dua. Aku dan diri-Ku itu satu. Aku sama. Aku jujur apa adanya. Aku murni. Aku adalah Aku yang tidak ada sama dengan yang lain.” Kita tidak pernah bisa mengatakan “aku adalah aku”. Karena kita “aku” yang orang tua ajarkan kepadaku. Aku adalah kebudayaanku. Aku adalah kebiasaanku. Aku adalah teman-temanku.”
Dalam tradisi Israel, YHWH itu nggak bisa disebut sembarang termasuk waktu membaca alkitab, itu sakral. Mereka menggantinya menjadi Elohim atau Adonai. YHWH itu Allah yang sungguh-sungguh agung, yang transenden, sekaligus Allah yang dekat dengan umat-Nya. Maka itu YHWH diikuti oleh “memberikan kasih setia-Nya.” Apa arti kasih setia? Dalam istilah aslinya, “hesed” itu artinya kasih tak berkesudahan, kasih yang tidak akan melepaskan. Ini iman yang begitu besar! di tengah pergumulan, mengapa engkau gelisah hai jiwaku, lalu dia mengingat YHWH yang menyatakan hesed, Allah yang mengikat perjanjian-Nya dengan aku, yang tidak melepaskan aku. Di dalam Mazmur itu 128 kali kata hesed itu disebutkan. Mazmur ada 150, berarti hampir setiap Mazmur ada kata hesed, kurang lebih 80%. Pemazmur dalam pergumulannya, saya percaya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pemazmur itu bukan orang yang kayanya lebih sanggup menghadapi pergumulan. Pasti pergumulan begitu banyak, berat, dan bahkan mungkin lebih banyak pergumulannya lebih berat daripada kita. Tapi dia datang kepada Tuhan, dia mengingat hesed, kasih setia Tuhan, kasih yang tak berkesudahan, kasih kekal yang tak melepaskan kita di tengah-tengah segala pergumulan. Maka ketika dia mengingat ini, dia mengatakan ingatan yang benar ini kepada jiwanya, maka perlahan tapi pasti, imannya semakin teguh. Keadaan mungkin tidak berubah, tapi dia semakin kokoh, semakin kuat. Mazmur 43:4-5 kita bisa melihat imannya semakin kokoh, “Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah, yang adalah sukacitaku dan kegembiraanku, dan bersyukur kepada-Mu dengan kecapi, ya Allah, ya Allahku!”
Yang terakhir, bukan hanya dia berkata kepada jiwanya dengan ingatan akan Allah dan kebenaran-Nya juga disertai dengan beribadah secara komunal. Dia datang ke bait Allah, dia merindukan komunitas bait Allah. Dia merindukan ibadah komunal. Ini yang dilakukan pemazmur setiap mazmur dari 1 sampai 150, pergumulan pribadi selalu dibawa kepada ibadah bersama. Pergumulan pribadi nggak pernah hanya disimpan sendiri lalu dihadapi secara individual. Demikian pula, kita saat mengalami pergumulan pribadi justru harus datang beribadah. Tentu yang dimaksudkan adalah ibadah yang sejadi di mana kebenaran dan penyembahan sejati dinyatakan. Sayangnya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, sudah ada gereja yang baik, sudah ada Firman Tuhan yang baik, sudah ada nyanyian, pujian yang baik, OK komunitasnya belum sempurna, tapi sudah ada doktrin-doktrin yang benar. Tapi masih banyak orang-orang nggak beribadah karena dikatakan pergumulan pribadi. Justru ini salah, ketika bergumul pribadi justru harus membawanya kepada pergumulan ibadah bersama. Inilah yang dilakukan pemazmur. Di dalam ibadah konteks Israel ada ratapan secara bersama, ada pujian bersama, ada syukur bersama. Itu semua dinyatakan dalam doa dan nyanyian yang dibawa ke hadapan Tuhan.
Ibadah itu menjadi tempat bagi kita untuk bisa disadarkan, diingatkan lagi siapa Allah kita, tempat di mana kita bisa mendengarkan kesaksian-kesaksian akan siapa Allah kita. Doa dan pujian kita itu membangun jiwa kita. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika kita bersedih, kita bergumul, lalu kemudian kita mengatakan, “Oh, saya nggak usah lah datang beribadah.” Atau, “Saya off dulu sebentar.” Itu justru nggak benar. Datang lah beribadah lalu berdoa dan bernyanyi bersama supaya sewaktu kita bergumul, kita nggak jatuh kepada self-pity, mengasihani diri.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika pemazmur bergumul dia itu datang kepada Tuhan, dia menangis, lalu dia berkata kepada jiwanya, dia datang kepada Tuhan, di tengah-tengah kehidupan komunitas, bersama, tapi di ayat terakhir dari 42, 43, di refrain yang diulang, mengapa kita bisa melihat jawaban Tuhan itu tidak menjawabnya secara jelas pergumulan pemazmur. Seperti ditinggalkan masalahnya tidak selesai. Bagi kita ya mungkin indah kalau pemazmur itu diakhiri seperti ini, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku! Lalu aku mendengarkan Tuhan bersuara kepadaku, teguhkanlah, kuatkanlah imanmu.” Atau lebih indah “Lalu Tuhan itu ber-Firman kepadaku, “Besok hari musuh-musuhmu akan Aku habisi, persoalanmu akan Aku selesaikan!”” Atau mungkin bukan hanya Firman, “Lalu kemudian aku bangun pagi, dan aku melihat persoalanku selesai.” Tapi Mazmur 42-43 tidak diakhiri demikian.
Saudara sekalian, ketika kita merenungkan lagi ada begitu banyak orang di sepanjang sejarah di Alkitab, khususnya di Perjanjian Lama, banyak jawaban pergumulannya itu nggak selesai. Demikian pula pemazmur ketika berkata dalam Mazmur 43:3, “Suruhlah terang-Mu dan kesetiaan-Mu datang” tapi ada jawaban dari situ? “Lalu datanglah terang Tuhan”. Nggak! “Lalu nyatalah kesetiaan Tuhan”. Nggak, nggak ada. Ini hanya doa permohonan saja, seperti berhenti dan sepertinya nggak ada jawaban secara konkrit. Pemazmur terus menantikan pertolongan dari Tuhan, tetapi imannya semakin teguh. Jawabannya mungkin tidak langsung secara konkrit. Mengapa? Karena pemazmur mempunyai iman ke depan, kepada Yesus yang akan datang. Ratusan tahun kemudian sesudah dia, lalu Yesus datang, dia mungkin tidak menerima jawaban itu waktu dia hidup, Tuhan Yesus nggak langsung datang, sang Terang itu nggak datang. Tapi ketika pemazmur bersama dengan Tuhan di Surga, dia melihat sang Terang itu datang. Dia berkata di sini, “Suruhlah terang-Mu” lalu kemudian dia melihat hari penggenapan itu tiba, sang Terang itu telah tiba kepada Israel, kepada umat Tuhan, dia terharu, ternyata harapannya nggak sia-sia. Pemazmur pergumulannya begitu berat, sukacitanya dia terima di Surga bersama dengan Tuhan.
Lalu bagaimana dengan kita? Kita, tanpa merendahkan pergumulan setiap orang di tempat ini, saya mengatakan pergumulan kita, saya kira lebih ringan. Mengapa Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Karena pemazmur memandang ke depan, mempunyai iman ke depan yang belum digenapi, tapi kita mempunyai iman yang ke belakang, yang sudah digenapi. Sang Terang yang dikatakan pemazmur, “Suruhlah terang-Mu tiba. Suruhlah terang-Mu datang” telah datang seperti dalam Yohanes 1:4-5, “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.” Kita beriman ke belakang kepada penggenapan karya penebusan Kristus. Kegelapan dosa, kegelapan masalah, kegelapan pergumulan tidak menguasai terang itu. Itu pengharapan kita. Mengapa engkau gelisah? Mengapa kita gelisah? Lihatlah Sang Terang.
Saya menutup dengan kisah C. S. Lewis. Suatu ketika ia bertemu dengan perempuan yang dikasihinya bernama Joy Gresham. Mereka saling mencintai lalu menikah pada tahun 1956. Satu tahun kemudian sesudah C. S. Lewis menikah dengan Joy Gresham, dokter mendiagnosa Joy sakit kanker. Ini sangat menyedihkan. Hari lepas hari, tahun demi tahun, sakit kanker semakin parah. Lalu C. S. Lewis begitu bergumul, kami baru bertemu dan setahun menikah, istrinya yang dikasihinya terkena kanker. Dia bergumul, dia berdoa terus siang dan malam. Dan dia menyampaikan pergumulannya itu kepada teman-temannya. Temannya yang dekat begitu tahu pergumulan C. S. Lewis. Dia bergumul sampai suatu ketika, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, tahun 1960, Joy meninggal. Joy bertemu dengan Tuhan. Selama 4 tahun saja mereka bersama. Lalu di tengah-tengah pergumulan begitu berat, lalu temannya itu datang kepada C. S. Lewis, berkata, “Lewis, itu saya tau engkau bergumul begitu berat. Walaupun mungkin orang-orang banyak yang justru memakai kesempatan ini jadi menghina engkau, merendahkan engkau, tapi saya tau engkau bergumul begitu berat dan engkau berdoa kepada Tuhan dan Tuhan menjawab doa-doamu.” Maksudnya apa? Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kadang-kadang kalau ada orang yang sakit begitu parah, mungkin kita hanya bisa memohon Tuhan, coba selesaikanlah pergumulannya, dia sudah susah untuk hidup. Ya ini kan jawaban doa, akhirnya dia meninggal dan bertemu dengan Tuhannya. Tapi C. S. Lewis menjawab seperti ini, “Bukan itu saya doakan. Saya berdoa justru karena saya lemah. Saya berdoa justru karena saya tidak berdaya. Saya doa itu bukan mengubah Tuhan. Atau bukan doa itu membuat Tuhan mengabulkan doa saya. Bukan. Doa itu mengubah saya.”
Demikian Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika kita bergumul, di tengah pergumulan kita, mungkin memang dan pasti memang berat, pasti sulit sekali. Tapi tetaplah berharap kepada Tuhan. Ingatlah siapa Allah kita, YHWH yang tidak akan melepaskan kita, yang kasih setia-Nya itu begitu nyata dan Dia sudah menggenapinya di kayu salib. Ingatlah akan itu dan datanglah di dalam ibadah bersama dengan Tuhan, karena doa, nyanyian, Firman Tuhan, semua yang kita lakukan di dalam ibadah kita, bukan terutama untuk Tuhan. Itu pasti untuk Tuhan, tapi terutama untuk kita, untuk kekuatan iman kita, untuk kita diteguhkan lagi, mungkin keadaan tidak berubah, tetapi iman kita semakin teguh dan saya percaya kalau mungkin pergumulan itu tidak selesai saat kita hidup, tetapi saya percaya satu hari nanti kita akan bertemu dengan Tuhan, dan kita akan melihat bagaimana pergumulan itu selesai. Ada sukacita yang melimpah-limpah yang kita tidak bisa lihat seperti yang dinyatakan di dalam Wahyu 21:6, “Firman-Nya lagi kepadaku: ”Semuanya telah terjadi. Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan.”” Dia lah sang Awal dan sang Akhir, Dia yang akan memberikan minum jiwa kita yang haus, Dia yang akan memberikan terang di dalam kegelapan pergumulan kita, berharaplah kepada Tuhan. Mari kita berdoa.
Bapa kami di Surga, kami bersyukur Tuhan atas pertolongan-Mu, untuk belas kasihan-Mu Tuhan yang sudah Kau nyatakan di sepanjang sejarah kepada orang-orang yang beriman kepada-Mu Tuhan. Di tengah segala pergumulan yang berat, di tengah segala kesulitan tantangan hidup yang semakin berat, Engkau tidak meninggalkan mereka. Terlebih lagi Tuhan, Engkau sudah menggenapinya di dalam Kristus, Terang itu sudah nyata di dalam dunia ini, dan dunia yang gelap tidak menguasai Terang. Mampukan kami Tuhan untuk melihat terang-Mu. Mampukan kami Tuhan hidup di dalam terang-Mu di tengah segala pergumulan kami. Dan biarlah pergumulan itu boleh menambahkan kami ketekunan, dan di dalam ketekunan menambahkan pengharapan dan pengharapan kami di dalam Kristus itu tidak sia-sia. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
Transkrip Khotbah ini belum diperiksa oleh Pengkhotbah.