Bapak, Ibu, Saudara sekalian, tema khotbah kita hari ini adalah “Menjinakkan Lidah”, bagaimana kita sebagai orang Kristen, sebagai manusia itu belajar untuk mengendalikan perkataan kita. Dan secara otomatis ketika kita belajar mengendalikan perkataan kita, kita pun sebenarnya mengendalikan hati kita. Mengendalikan hati kita berarti kita mengendalikan pikiran kita. Mengendalikan pikiran kita berarti kita juga belajar mengendalikan emosi maupun kehendak kita.
Nah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah ya. Setidaknya guru itu harus punya kemampuan, pengetahuan, keahlian tertentu yang dia bisa kuasai dan juga bisa ajarkan, men-transfer-kan kepada orang lain. Transfer knowledge maupun transfer skill. Ini adalah seorang guru, perlu memiliki sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan kemudian bisa ditawarkan kepada orang lain yang belum memilikinya. Maka dia disebut sebagai guru. Bila orang tersebut tidak punya pengetahuan yang penting, pengetahuan yang cukup maupun kemampuan yang baik, dia sampai kapan pun tidak akan bisa menjadi seorang guru. Karena yang namanya guru berarti harus ada yang ikut, ikut belajar dari dia. Itu guru ya. Bukan hanya itu Bapak, Ibu, Saudara sekalian, seorang guru juga berarti harus punya kerajinan untuk terus belajar, punya hati seorang murid. Nah ini uniknya ya, ketika seseorang menjadi guru sebenarnya dia pun adalah murid. Seorang murid karena seorang guru tidak mungkin berhenti belajar dalam kehidupannya karena sesuatu itu akan terus bisa kita pelajari, dan seorang guru juga harus menambah kemampuan atau hidupnya agar bisa dibagikan kepada orang lain. Itu berarti dia tidak berhenti menjadi seorang murid. Seseorang yang sudah tidak belajar lagi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, berarti dia sudah berhenti menjadi guru maupun menjadi murid. Kalau orang itu sudah mengatakan, “Saya cukup punya pengetahuan ini! Saya cukup punya keahlian ini!” Dia akan berhenti menjadi seorang guru maupun seorang murid, menjalankan tugas guru maupun tugas murid. Jadi menjadi guru, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, merupakan perjuangan seumur hidup.
Kalau kita memikirkan pengertian atau definisi guru secara sempit berarti orang tersebut adalah orang yang bekerja sebagai guru, lebih spesifik ada tempatnya, bisa di sekolah, bisa di kampus, maupun tempat les. Tetapi secara luas, pengertian guru itu berarti seseorang yang mengajarkan sesuatu kepada yang lain. Nah itu ya, diberikan oleh seseorang kepada orang yang lain. Bisa berarti orang itu adalah seorang orang tua, memberikan teladan, pengetahuannya kepada anaknya. Jangan lupa kita yang orang tua, kita yang sudah memiliki anak, dianugerahkan anak, kita adalah guru juga bagi anak-anak kita. Itu juga bisa berarti seseorang satu dengan yang lainnya, sebagai saudara seiman, kita pun bisa bertindak sebagai guru kalau dalam pengertian secara luas. Kakak atau adik kita bisa menjadi guru kita, hamba Tuhan bisa menjadi guru kita, bahkan anak kecil pun ya, bisa menjadi guru kita karena ada sesuatu hal yang kita bisa pelajari dari anak-anak. Yesus pun mengatakan bahwa barang siapa tidak menjadi seperti anak-anak ini tidak memperoleh kerajaan Allah. Berarti ada kelebihan yang diberikan Tuhan kepada diri seorang anak. Dia pun bisa menjadi guru kita. Namun sebagai guru bukan berarti sebuah pekerjaan yang akhirnya secara umum itu kita akan kelelahan atau ketakutan atau tidak menyenangkan, menjadi seorang guru ya, terutama dalam pengertian yang lebih sempit.
Ada seorang guru, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya baru kenal ketika melayani sekolah, KKR Regional di sekolah, ada seorang guru fisika melayani kurang lebih 36 tahun di satu sekolah. Dia guru fisika dari awal sekolah itu berdiri sampai dia sudah pensiun, dia tetap menjadi guru. Jadi bukan berarti guru itu pekerjaan yang tidak ada pengharapan, banyak kesulitan, kayanya harus belajar terus, harus memacu diri terus menerus, tidak! Tetapi ada hal yang membuat dia itu ingin terus mengajar, berbagi hidup. Nah itu adalah kesenangan seorang guru, melayani sampai akhir hayat. Pada umumnya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, hamba Tuhan di dalam gereja adalah guru, disebut sebagai guru juga meskipun sering kali disebut sebagai hamba juga ya, budak, yang harus melayani, bisa juga ya. Tetapi dianggap sebagai guru karena apa? Mengajarkan Firman Tuhan. Dan pada umumnya hamba Tuhan di gereja-gereja itu umur 60 sudah bisa pensiun. Umur 60, andai pun gereja tersebut tidak mau memensiunkan seorang hamba Tuhan, seorang pendeta tersebut, paling ditambah kurang lebih 4 tahun saja, 4-5 tahun lah. Atau pekerjaannya dikurangi, “OK kamu bisa memberi nasehat sebagai orang tua” Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kemudian bisa sampai umur 70, tapi cuma melayani sebulan sekali khotbah atau pun sebulan sekali rapat kaya gitu ya. Sudah pensiun. Makanya ada istilah itu emeritus. Emeritus sudah selesai tugasnya. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada seorang hamba Tuhan juga yang terus berkhotbah, terus melayani, terus tidak berhenti, tidak ada kata pensiun kurang lebih kaya gitu ya. Karena pensiunnya hamba Tuhan itu sebenarnya bisa dikatakan waktu ketika dia meninggal. Seperti Yesus Kristus. Yesus Kristus itu tidak ada pensiun di dalam kehidupan-Nya, Dia menyelesaikan tugas akhirnya di atas kayu salib. Apakah Dia pensiun? Tidak. Dia selesai bekerja karena Dia sudah menyelesaikan dan Dia bahkan sudah mati di atas kayu salib. Makanya Yesus sudah tidak melayani lagi di bumi di dalam memberitakan Firman Tuhan. Nah itu ada hamba-hamba Tuhan yang terus melayani, bukan berarti sebagai guru berarti selalu mengerikan, selalu tugasnya berat. Memang tugasnya berat tapi ada kekuatan dari Tuhan sendiri.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, waktu saya awal mula bertugas sebagai guru, saya kelihatannya memang tidak ada bakat sebagai guru ya. Waktu dulu itu kayanya nggak ada keinginan untuk mengajar anak-anak atau murid-murid di sekolah. Tetapi ketika memutuskan untuk menjadi hamba Tuhan, ya mau nggak mau akhirnya jadi guru. Mau nggak mau kalau menyelesaikan tugas sebagai hamba Tuhan ya harus jadi guru, yaitu menjadi guru sekolah minggu. Itu praktek weekend. Praktek weekend, pelayanan weekend itu Sabtu, Minggu, saya bertugas sebagai guru sekolah minggu, kelas kurang lebih 3 SD waktu itu ya. Lalu kelas 5-6 SD juga. Ketika menyerahkan diri jadi hamba Tuhan, masuk STT, dapat tugas sebagai guru sekolah minggu dan juga pembina remaja. Itu berarti apa? Berarti mengajar Firman Tuhan. Seorang guru yang mengajarkan Alkitab. Dan bukan saja itu, bukan sekedar mengajar, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika menjadi seorang guru di dalam gereja, sebagai guru sekolah minggu atau hamba Tuhan itu berarti harus ikut kelas persiapannya. Untuk memberitakan Firman Tuhan, preaching the Word of God itu perlu persiapan. Kalau nggak persiapan bisa Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Bisa, ngomong aja yang kita pikirkan, yang kita alami. Itu lebih mudah membicarakan apa yang kita alami ni, hari Sabtu lalu, pelayanan, misalkan pelayanan Rumah Sakit, apa saja bisa diomongi kok. Tetapi namanya hamba Tuhan adalah seorang guru, seorang murid juga yang tidak pernah berhenti belajar, berarti harus ikut kelas persiapan sekolah minggu. Bukan saja itu, harus belajar baca Alkitab dengan baik, menafsir Alkitab dengan benar. Bukan hanya itu, harus berdoa, karena pekerjaan yang dikerjakan itu adalah memberitakan suatu Firman yang kekal, Firman yang mulia dari Tuhan sendiri. Bukan saja itu, berarti harus melatih kepercayaan diri untuk tampil di depan umum, belajar ngomong di depan umum, dan juga berpikir supaya anak-anak sekolah minggu mau pun remaja bisa fokus mendengar Firman Tuhan itu seperti apa. Nah itu ya, jadi kita banyak lho, banyak memikirkannya sebagai guru itu memberitakan Firman seperti apa.
Maka Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Tuhan juga sudah mengerucutkan tugas hamba Tuhan yang utama, yang utama tentu adalah Firman Tuhan dan doa. Karena apa? Di dalam memberitakan Firmah Tuhan harus belajar, harus baca, harus merenungkan, harus betul-betul memikirkan Firman Tuhan secara objektif, terus juga memikirkan keperluan jemaat itu apa. Namanya mau kasih makanan ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, makanan yang sehat itu harus dipilih kan? 4 sehat 5 sempurna kalau di Indonesia ada istilah itu ya. Nah itu harus kita pikirkan, makanan yang diperlukan oleh jemaat itu apa. Kita bertindak sebagai gembala yang memberikan makanan mau pun juga yang berdoa. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bukan berarti pekerjaan hamba Tuhan itu saja, yang penting saya sudah khotbah, selesai. Yang penting saya sudah doakan, selesai. Firman Tuhan yang dikhotbahkan itu menuntut diri kita juga untuk melakukan Firman. Dan doa yang sudah kita naikkan juga besar kuasanya karena doa tersebut juga mengubah kita untuk melakukan kehendak Tuhan. jadi ada perbuatannya. Ada pelayanan lain di samping Firman Tuhan dan doa itu adalah pelayanan turunan dari berkhotbah Firman Tuhan dan juga berdoa, yaitu apa? Melakukan Firman, menjadi teladan di dalam Firman Tuhan dan doa. Itu menjadi guru di dalam gereja, memang tidak mudah. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, yang penting ada panggilan Tuhan, dan kita mengerti Tuhan itu menguatkan kita, maka kita mau jalankan tugas tersebut di dalam kehidupan kita meski pun tugas itu berat, baik sebagai guru atau pun profesi-profesi yang lainnya.
Sering kali Bapak, Ibu, Saudara sekalian konteks nya kalau di dalam pelayanan gerejawi, biasanya ada yang mau, “Saya mau melayani jadi guru sekolah minggu tapi tidak mampu.” Apakah bisa? Sulit juga, mungkin ada bagian di dalam pemberitaan Firman Tuhan yang dia bisa kerjakan, bukan sebagai guru sekolah minggu. Tetapi juga ada yang mampu, mampu sebagai guru sekolah minggu, pemberita Firman, bahkan mampu sebagai hamba Tuhan. Ada orang yang bertalenta itu langsung ya, ketika mau ceritakan sesuatu itu dia bisa langsung ceritakan dengan keras, dengan tegas, dengan lancar. Wah itu talenta. Tapi apakah dia hamba Tuhan? Tidak, dia cuma pebisnis biasa tetapi dia mampu menceritakan apa yang dia ketahui setelah dia pelajari dengan mudah. Seolah-olah gampang ya khotbah itu. Tapi ada yang bergumul, sulit dalam berkhotbah, berusaha setengah mati baru bisa berkhotbah juga. Nah sering kali orang mau tapi tidak mampu, orang mampu tapi nggak mau.
Tetapi kalau kita lihat di dalam survey singkat, survey kecil, ternyata Tuhan itu memakai orang yang mau. Nanti Tuhan mampukan. Tapi kalau hanya mampu saja, dia-nya nggak mau, nggak mau, nggak mau, ya nggak akan terjun dalam dunia pelayanan. Mampu, mampu orangnya, tapi nggak mau. Tapi kalau sudah mau, Tuhan bisa mampukan, Tuhan itu maha kuasa. Tapi kalau sudah berkehendak, “Tidak mau!” Nggak bisa apa-apa lagi, orang nggak mau kok. Kita nggak bisa memaksakan kehendak kita, nanti akhirnya melanggar hak asasi manusia, “Kamu harus mau ini!” Kurang lebih gitu ya, melanggar kebebasan manusia sebagai orang yang punya kehendak bebas. Akhirnya apa? Ya udah, Tuhan juga sadar, Tuhan juga tidak mau mengotak-atik kehendak bebas kita. Tuhan itu berdaulat, tapi Tuhan juga membebaskan kita. “Kamu mau ya, mau atau tidak mau terserah.” Tapi kalau sudah mau, Tuhan akan menyertai, menguatkan, memampukan. Tentu ya harusnya kita mau dan mampu, itu lebih baik. Tapi keidealan tersebut itu di dunia yang berdosa itu sulit ditemukan. Ada orang yang mau, mampu, wah kemudian bisa melayani khususnya. Tetapi yang paling penting adalah keputusan kita mau melayani Tuhan atau tidak adalah bicara soal panggilan Tuhan, apakah Tuhan panggil kita atau tidak. Kalau Tuhan panggil kita, Tuhan minta kita, maka kita lakukan seberapa sulit pun. Tetapi kalau Tuhan tidak panggil kita, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di dalam pelayanan apa pun ya jangan, nggak usah. Itu butuh pengenalan akan Tuhan, butuh kepekaan rohani dari Tuhan sendiri.
Di dalam bagian ayat pertama ini Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Yakobus memberikan sebuah nasehat yang unik, yang bisa disalah-mengerti oleh banyak orang. Yaitu apa? “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.” Ukuran yang lebih berat ini adalah greater strictness, ada standar tuntutan yang lebih ketat lagi sebagai guru. Jangan menjadi guru, nanti akan dihakimi dengan ukuran yang lebih berat. Yakobus memberikan larangan menjadi guru kepada pembacanya. Orang-orang Kristen, jangan banyak jadi guru. Apakah berarti Yakobus itu tidak suka guru, mungkin dia ada pengalaman buruk, trauma kepada guru yang begitu bengis, begitu jahat? Tentu tidak ya. Maksud Yakobus bukanlah melarang orang Kristen jadi guru, tetapi lebih ke arah orang-orang Kristen itu sadar akan panggilannya. Kalau sebagai guru, layani sebagai guru dengan sungguh-sungguh, jangan sembarangan. Tapi kalau bukan sebagai guru, jangan jadi guru. Atau maksud Yakobus di dalam ayat ini adalah orang-orang Kristen jangan sembarangan ingin menjadi guru, jangan sembarangan ingin mengajar orang lain. Ini adalah maksud dari Yakobus, bukan Yakobus itu melarang, “Jangan jadi guru ya. Jangan banyak kamu menjadi guru.” Tetapi supaya jangan sembarangan.
Seorang guru Kristen yang baik itu jumlahnya sedikit. Kita tau ya, kalau kita lihat sekolah-sekolah negeri sekarang, guru yang beragama Kristen mulai sedikit. Sekarang guru-guru juga mulai banyak yang pensiun, nggak ada orang-orang Kristen yang mau jadi guru. Pikirnya guru itu “madesu”, masa depan suram ya. Gajinya kecil. Memang gajinya kecil ya. Tapi kalau Tuhan panggil, laksanakan. Banyak orang juga tidak mau jadi guru, tapi kalau ada guru yang baik, semua harus jadi guru, kurang lebih kan begitu harusnya. Semakin banyak guru yang baik, yang rohani, yang jelas dalam menjelaskan Firman Tuhan, seharusnya semakin banyak itu semakin bagus. Tetapi Yakobus itu melarang jangan banyak kamu yang jadi guru. Kenapa? Karena banyak orang pada waktu itu mau jadi guru dengan motivasi yang salah, beda dengan jaman sekarang. Kalau sekarang jadi guru itu, wah gajinya kecil sekali, mungkin di bawah UMR. Jadi males kan jadi guru itu. Sudah kerjanya repot, ngurusin murid-murid yang begitu banyak sifatnya, banyak kesulitan dan lain-lain, eh gajinya juga begitu kecil. Maka banyak orang sekarang nggak mau jadi guru. Tetapi di jaman itu, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pekerjaan guru itu adalah pekerjaan yang diinginkan oleh banyak orang. Karena apa? Karena dipuji-puji orang, karena banyak pengikutnya. Mungkin banyak uangnya juga, bisa mendapatkan uang bisa lebih banyak, karena orang memperhatikan guru-guru di sana. Ingin dianggap pintar dan ingin lebih dihormati orang. Maka Yakobus mengatakan jangan banyak mau jadi guru karena ukuran penghakimannya itu berat.
Nah sampai sini kita pikir, “Wah ternyata orang jaman dulu itu menjadi guru itu longgar ya, karena banyak orang mau jadi guru.” Sekarang kita lebih dalam lagi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, konteks Yakobus mengatakan kalimat ini adalah guru bukan guru pada umumnya ya, tetapi seorang guru yang mengajar Firman Tuhan. Seorang manusia biasa, tetapi yang mau mengajarkan Firman Tuhan. Jadi dalam konteks apa? Dalam konteks Firman Tuhan. Tentu standar guru di jaman tersebut, guru filsafat, guru mungkin macam-macam itu sangat tinggi, tidak semua orang bisa jadi guru. Tetapi untuk mengajar Firman Tuhan, orang itu punya surat-surat Firman Tuhan, surat-surat dari Rasul yang begitu banyak, mereka bisa saja langsung pimpin KTB, mereka bisa saja langsung memberitakan Firman Tuhan, mereka bisa saja langsung ada tempatnya mereka bicara di dalam konteks komunitas gereja pada waktu itu. “Silahkan siapa yang mau bicara?” Langsung mau, “Saya mau jadi guru, saya mau ngajar Firman Tuhan. Saya kesaksisan.” Kesaksiannya melenceng, kesaksiannya salah, pengalaman salah, pengajaran salah. Ada kesempatan, “Ayo kesaksian jemaat sekalian, ada yang mau kesaksian?” Ngajarin pengajaran-pengajaran yang bertentangan dengan Firman Tuhan. Jadi konteks dari ayat ini Bapak, Ibu, Saudara sekalian, maksud Yakobus adalah jangan kamu mau mengajar Firman Tuhan, seenaknya mengajar Firman Tuhan. Ada kesempatan gereja meneyediakan, atau komunitas, atau orang-orang menyediakan, “Ayo siapa yang mau bicara, kasih berkat. Silahkan!” Terus langsung, semuanya rame, “Saya mau bersaksi.” Tapi sebenarnya bukan bersaksi melainkan menonjolkan diri, “Saya mengalami berkat Tuhan.” Semua orang juga mengalami berkat Tuhan kok ya, tapi menonjolkan dirinya, menonjolkan kehebatannya, bahwa saya itu lebih mampu dibandingkan orang-orang Kristen lainnya. Akhirnya jadi kesombongan dan Yakobus katakan janganlah, nggak usahlah banyak kamu jadi guru mengajar Firman Tuhan.
Kata teachers di sini adalah jabatan khusus mengajar di gereja. Jadi seseorang yang bisa memberitakan Firman dikatakan sebagai guru, ngomongin Firman Tuhan. Itu kurang lebih sebagai guru sekolah minggu, hamba Tuhan, di dalam konteks Indonesia memang sebutan “pendeta” itu “hamba” ya. Itu bagus sekali ya sebenarnya, kontekstual hamba Tuhan itu harus hati seorang hamba mau melayani, mau mengajar, dan lain-lain. Tapi konteks yang lain adalah pendeta, penggembala, pastor. Tetapi ada juga konteks lain yaitu adalah guru Injil. Nah ini unik ya istilah dari gereja-gereja tertentu itu mengatakan guru Injil. Berarti ngajarin Injil lho, jangan ngajarin yang bukan Injil. Kurang lebih begitu. Sebutan guru sekolah minggu, guru Injil, ada penatua, ada pengkhotbah awam, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Nah Yakobus menasihati bahwa jangan sembarangan pelayanan mengajar Firman Tuhan, secara publik khususnya. Di sini konteksnya ya. Bila pada akhirnya kita sembarangan mengajar Firman Tuhan lalu salah mengajar Firman Tuhan di gereja dan akhirnya pesannya tidak sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan, maka yang rusak itu siapa? Yang rusak adalah dirinya sendiri, si gurunya, dan yang mendengarkannya, si muridnya. Kalau mengajar secara salah, kalau mengajar secara motivasi tidak benar. Mengajar Firman Tuhan itu adalah masalah rohani, masalah iman, moral seseorang di hadapan Tuhan. Kalau ternyata mengajar kebenaran Firman Tuhan itu salah, maka orang yang diajar itu akan tersesat dan justru melawan kebenaran Firman Tuhan, counterproductive. Kita mengajarkan yang benar, tapi karena salah pesannya, salah tafsirannya, salah tujuannya, malah jadi kacau.
Tadi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita membaca Mazmur 91. Baru-baru ini saya mulai belajar dan akhirnya mendapatkan kesimpulan banyak orang-orang Kristen itu suka pasal tersebut. Mungkin kita tidak ya, tapi banyak orang Kristen di luar sana itu suka Mazmur 91. Kalau saya kunjungi orang-orang di rumah sakit, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kan ada kalanya saya yang bacakan Firman Tuhan. Ada kalanya saya minta pasiennya ada ayat favorit ngga, atau ada ayat yang mau kita baca sama-sama? Lalu sudah beberapa kali itu mereka inginnya adalah Mazmur 91. Nah ini sangat luar biasa kan ya, sangat luar biasa Bapak, Ibu, Saudara sekalian, membaca Firman itu kita menjadi seperti anak spesial, seperti superhero, seperti orang yang diberkati Tuhan dan tidak ada orang lain selain kita di dunia ini. Wah luar biasa! Kita akan selalu dilindungi Tuhan, kita akan selalu diberkati, kita bisa melawan penyakit, kita bisa melawan kemiskinan, kurang lebih begitu. Tapi kalau kita suka Firman Tuhan yang seolah-olah hanya mengajarkan kemakmuran saja, kita tidak mengerti Firman Tuhan itu dalam konteks menghibur atau memuji keagungan Tuhan, itu sebagai puisi. Puisi itu bisa hiperbola. Kita menangkap secara literal, wah, kita bisa menjadi orang yang salah ya, kita menjadi orang yang melenceng, tersesat. Menjadi orang yang merasa hebat, kuat, Tuhan di pihak kita, dan lain-lain. Kita menjadi orang yang sombong. Ini sudah counterproductive kalau kita tidak menjadi rendah hati dan memohon anugerah Tuhan, perlindungan Tuhan. Bahwa keputusan itu ada di tangan kita bukan di tangan Tuhan. Keputusan itu ada di dalam tangan kita, akhirnya kita yang menjadi fokus dalam hidup kita. Itu salah, sudah melenceng. Kalau akhirnya kita mengajarkannya Yesus bukan Juruselamat, nah itu lebih jelas. Di luar Yesus Kristus ada keselamatan, OK, ya udah nggak usah jadi Kristen lah ya. Di luar Kristus ada keselamatan kan. Ya udah, nggak perlu lah jadi Kristen. Atau semua agama sama. Semua agama sama ya udah nggak usah jadi Kristen, jadi agama Islam, agama Budha, kan sama semua kan. Maka ini nggak benar ya, kalau ngajar yang salah, kita mengambil keputusan yang salah juga. Ini menyangkut hidup mati seseorang dan bagaimana seseorang itu menjalani kehidupannya.
Gambaran Yesus dalam Markus 9:42, mari kita buka Alkitab kita, kita baca Markus 9:42, itu adalah suatu hal yang sungguh-sungguh mengerikan ya, ini gambaran Yesus ya. Tentu Yesus kasih kesempatan orang bisa bertobat waktu salah mengajar Firman Tuhan, tetapi ini adalah perumpamaan, ilustrasi yang Yesus berikan kepada orang yang menyesatkan. Saya akan bacakan untuk kita semua, Markus 9:42, “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut.” Sekali lagi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Yakobus ini adalah adik tiri dari Yesus Kristus. Yakobus belajar banyak dari Yesus Kristus, kakaknya. Kakak tertua dalam keluarga Yusuf dan Maria. Yakobus ini suka pakai perumpamaan, saya sudah bahas juga di pertemuan sebelumnya. Yakobus juga memperhatikan ajaran-ajaran Yesus Kristus yang begitu baik. Yesus pernah mengajarkan bahwa barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya, bukan hanya anak-anak kecil, tapi anak-anak kecil yang percaya. Jadi anak-anak kecil pun bisa percaya. Percaya Firman Tuhan, percaya Yesus Kristus itu sudah bisa dari kandungan sekali pun. Dia sudah punya kemampuan percaya, janin itu sudah punya kemampuan untuk percaya Yesus. Masalahnya Roh Kudus mau bekerja nggak di dalam janin bayi tersebut. Janin saja bisa dipenuhi Roh Kudus, contohnya Yesus Kristus dan juga Yohanes pembaptis. Sudah ada contoh Roh Kudus bisa menaungi seseorang di dalam rahim ibu untuk bisa percaya, apalagi sudah lahir, apalagi sudah mejadi anak-anak yang lebih dewasa lagi. Mereka sudah bisa percaya, mereka sudah bisa menangkap pesan dari orang tua. Kalau sudah mengerti bahasa, dia berarti sudah ngerti, sudah bisa percaya, lebih jelas dibandingkan sebelumnya.
Ketika Yesus melihat anak-anak kecil yang begitu berharga, yang sudah percaya ini, tetapi ada orang ngajarin yang salah, lebih baik orang itu mati. Kurang lebih begitu. Lebih baik ada batu kilangan di lehernya, diikatkan, ditenggelamkan ke laut. Itu adalah penghukuman yang kejam kan ya. Kalau penghukuman kematian ditembak sekali, mati di kepala, beres. Tapi kalau ditembaknya di mana ya, di dada, atau di perut, masih hidup orang. Tapi itu kan lebih mengerikan. Kalau orangnya dihukum mati, ditenggelamkan langsung, ya sudah. Tetapi ini dibuat mengerikan dulu. Diikat dulu, pelan-pelan diikat, terus ada batu kilangan yang begitu berat terus dia dilemparkan ke dalam laut. Sudahlah, kurang lebih Yesus itu mengatakan, “Nggak usah ngajar kalau kamu sesat. Kalau motivasinya salah, jangan jadi hamba Tuhan. Kalau motivasinya sesat jangan jadi guru sekolah minggu. Kalau motivasinya adalah demi menonjolkan diri, jangan jadi pemimpin gereja!” Penatua di GRII, Bapak, Ibu, Saudara sekalain, ini nanti jabatan yang akan terus diperbaharui, nanti ke depannya akan ada penatua, itu bisa khotbah meskipun dia bukan pendeta, bukan lulusan sekolah Alkitab, dia bisa khotbah. Luar biasa ya penatua itu. Berarti dia bisa menyampaikan Firman Tuhan. Tetapi jangan main-main, ini poinnya dari Yakobus.
Oh mungkin kita bertanya, “Loh ini kok ayatnya untuk para pemberita Firman Tuhan? Saya kan nggak pernah memberitakan Firman Tuhan. Saya ini hanya jemaat, saya mungkin nggak pernah doa di depan umum atau khobtah di depan umum, saya cuma di dapur, ibu rumah tangga. Masak aja. Untuk apa ayat ini?” Nanti kita akan pelajari turunan dari ayat ini, penjelasan lebih detail bahwa kita itu sebenarnya semua pemberita Firman Tuhan karena kita dipercayakan Alkitab. Dipercayakan Alkitab, kita pemberita Firman Tuhan juga, tetapi bukan sebatas bicara. Kita bisa memberitakan Firman Tuhan dari kelakuaan kita, dengan cara kita hidup, dengan karya kita, dan lain-lain. Tapi intinya dari Yakobus adalah panggilan pengajar Firman Tuhan adalah panggilan yang serius, tidak bisa main-main. Jangan pikir hamba Tuhan itu enak ya, cuma tugasnya khotbah, khotbah, khotbah. Kayanya nganggur, nganggur, nganggur. Jaman dulu Bapak, Ibu, Saudara sekalian, waktu pemuda saya pikir hamba Tuhan itu banyak nganggurnya ya, tetapi hamba Tuhan itu adalah salah satu profesi yang kalau mau bisa sibuk, sibuk sekali sampai burnout, sampai mati karena kecapekan. Bisa. Tetapi juga bisa santai, bisa santai sekali, sampai nggak ngapa-ngapain, cuma santai. Itu bisa juga. Lalu kita menghakimi hamba Tuhan, bagaimana? Kita bisa menghakimi hamba Tuhan, bisa menegur, bisa menasehati, betul ya nggak masalah. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang paling sulit dari hamba Tuhan adalah bosnya sendiri adalah Tuhan. Ini sulit ni, langsung lho dari Tuhan. Jadi kalau Tuhan tegur ya bisa mengerikan ya. Kalau Tuhan biarkan, itu bagian peneguran Tuhan juga ya. Jangan pikir Tuhan menegur itu intervensi, tetapi pembiaran juga merupakan teguran dari Tuhan juga. Jadi nggak usah, santai ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, nggak usah terlalu mikirin hamba Tuhan itu harusnya bagaimana, hamba Tuhan ini sudah ada mentornya sendiri. Hamba Tuhan ini sudah ada penghakimnya sendiri, yaitu Tuhan sendiri. Dan hukuman Tuhan itu jauh lebih mengerikan dari penghakiman manusia.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mau menghakimi manusia paling sebatas apa sih? Apalagi konteks gereja. Mau memasukin hamba Tuhan ke polisi, ke penjara? Kayanya hamba Tuhan nggak akan melakukan kriminalitas. Apa mau teriak-teriak dengan hamba Tuhan? hamba Tuhan juga bisa santai aja mendengarkan teriakan ya, nggak usah takut orang mau teriak, mau menghina. Nggak peduli ya. Kita kalau melayani dengan sungguh-sungguh itu nggak takut ya, tidak membela diri. Apa yang bisa menyerang hamba Tuhan Bapak, Ibu, Saudara sekalian kita sebagai manusia, sebagai jemaat Tuhan? Nggak bisa. Kita cuma bisa, ya sudah serahin ke Tuhan, sudah. Tuhan mau lakuin apa ke pemberita Firman Tuhan yang salah. Nggak bisa ya. Ya udah, kita terserah kepada Tuhan. Kita nggak bisa apa-apa, tapi Tuhan bisa melakukan berbagai hal.
Ambil contoh panggilan pengajar Firman Tuhan memang adalah panggilan yang berbahaya. Dalam arti apa? Kita ambil contoh di dalam Bilangan 20:11-12. Bilangan 20:11-12, ini adalah kegagalan dari pemberita Firman Tuhan, yaitu nabi pertama secara resmi dari bangsa Israel. Nabi pertama secara resmi dalam bangsa Israel adalah Nabi Musa dan di sini Tuhan kasih hukuman yang begitu keras ya. Kita baca bersama-sama, buka suara Bil. 20:11-12, “Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali, maka keluarlah banyak air, sehingga umat itu dan ternak mereka dapat minum. Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka.”“ Nah, ini prinsipnya, Musa itu tidak percaya Firman Tuhan, padahal dia pengajar Firman Tuhan. Musa itu tidak menghormati kekudusan Tuhan, padahal dia adalah etalase kekudusan Tuhan. Dia adalah pameran untuk memamerkan kekudusan Tuhan. Dia nggak lakukan itu. Hukumannya adalah Musa mati sebelum masuk ke dalam tanah Kanaan. Berarti, mungkin nggak ya Musa itu bisa masuk tanah Kanaan dan lalu dia mati? Ya, bisa aja mungkin, tapi realita tidak berkata demikian. Makanya itu menjadi hukuman kan. Mungkin aja Musa sudah masuk ke tanah Kanaan ya, ”Wah, sudah menginjakkan kaki. Wah, ini tanah Kanaan. Tuhan menggenapi janji-Nya. Saya bersyukur dipakai Tuhan 40 tahun di padang gurun untuk membawa bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan.“ Mungkin bisa saja seperti itu, tapi faktanya tidak. Sejarahnya tidak berkata demikian. Karena apa? Karena Musa gagal memberitakan Firman Tuhan. Gagalnya memberitakan Firman Tuhan Musa ini bukan dari kata-kata, tapi ketika dia memukul batu. Dengan tindakan lho. Tindakan yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan berarti gagal memberitakan Firman Tuhan. Jadi kita pun, Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang bukan memberitakan Firman Tuhan, bukan pengajar Firman Tuhan, kita bisa gagal memberitakan Firman Tuhan dengan apa? Dengan tindakan kita yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Nah, panggilan sebagai pengajar Firman Tuhan, pemberitaan Firman Tuhan ini panggilan yang berbahaya dan serius. Yakobus katakan menjadi guru berarti lebih banyak penghakiman, lebih banyak hukumannya. Jangan pikir, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di surga nanti, kita ketika percaya kepada Yesus Kristus, kita pasti masuk surga, jangan pikir yang menempati tempat-tempat kemuliaan yang lebih terhormat, yang lebih banyak upahnya, yang kita tidak tahu upah di surga itu apa, itu semua hamba Tuhan, semua pendeta, semua itu pelayan Tuhan. Belum tentu! Mungkin yang lebih mulia itu tukang becak, petani. Dia nggak bisa ngomong Firman Tuhan, sulit mau mengajar Firman Tuhan, tapi seluruh tindakannya itu adalah kebenaran Firman Tuhan. Seluruh ketaatan hidupnya itu kepada Firman Tuhan. Dia lebih dihargai Tuhan.
Ayat 2, “Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.” Pada bagian ini, Yakobus jelaskan alasan kedua, kenapa jangan sembarangan mengajar Firman Tuhan. Jangan sembarangan memberitakan Firman Tuhan baik lewat perkataan maupun lewat perbuatan ya. Alasan kedua adalah karena seluruh pekerjaan pemberitaan Firman Tuhan itu, khususnya yang bicara, itu berhubungan dengan dosa lidah atau dosa perkataan. Seorang guru, pemberita, pengajar Firman Tuhan itu sangat berhubungan dengan dosa perkataan. Dan Yakobus di dalam bagian ini menjelaskan bahwa dosa perkataan adalah dosa yang paling universal yang bisa dilakukan oleh manusia. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau kita pikirkan ya, bayi itu bisa melakukan dosa seksual nggak ya? Kayaknya nggak ya. Nggak bisa berzinah lho, bayi, anak kecil. Tapi dalam dosa kata-kata bisa. Kayak anak-anak bisa mengungkapkan sesuatu, ngomong yang kasar, membenci, dengan kata-kata bersuara keras, dan lain-lain itu bisa. Dengan perkataan ini dosa lidah, dosa perkataan ini adalah dosa yang paling universal yang bisa dilakukan oleh manusia, siapa pun dia. Dosa hati. Dosa hati yang keluar dari dalam perkataan, di mana setiap orang pasti pernah berkata-kata salah ya. Ini yang maksudnya universal. Kita pernah kata-kata salah. Saya saja banyak kata-kata salah waktu khotbah ya, tapi salah itu belum tentu dosa kan ya. Tetapi kalau sudah dosa itu pasti salah. Nah, kita bisa berkata-kata dosa. Kita berkata-kata salah. Makanya ada istilah: “Everybody makes mistakes.” Itu berlaku juga ya dalam dosa perkataan. Entah salah bicara, entah salah memberi pesan. Itu bicara soal salah ya. Salah itu tidak selalu dosa, tetapi salah juga bisa berupa dosa ya. Tapi kalau sudah dosa, ya pasti bersalah. Nah, berkata-kata kasar, kotor, menghina orang lain, marah dengan suara tidak terkontrol, berbohong, memfitnah, gosip, munafik, itu semua dosa-dosa dengan perkataan. Dan kita bisa sebutkan banyak hal lain dengan dosa perkataan ini ya yang kita bisa ucapkan, dosa lidah ini.
Dosa perkataan adalah bahkan bukan hanya paling banyak dilakukan oleh manusia atau paling sering, tetapi ini adalah hal yang sangat mudah kita jatuh ke dalamnya. Nah, ini makanya di dalam ayat kedua, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, “Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal.” “Banyak hal” ini mengacu kepada dosa perkataan. Kita bersalah dalam banyak konteks perkataan kita, tetapi terjemahan lainnya adalah dalam frekuensi atau jumlah yang banyak juga. Dalam frekuensi itu kita bisa dalam perkataan kita bisa banyak yang salah dan dalam konteks-konteks yang lain juga kita bisa bersalah dalam berbagai hal. Jadi, Yakobus menjelaskan bahwa dosa perkataan ini merupakan dosa yang sering terjadi dan sering terjadi dalam banyak konteks kehidupan. Baik dalam banyak konteks kehidupan kita bisa berdosa dalam kata-kata kita.
Mari kita baca Amsal 10:19. Amsal 10:19 kita baca, buka suara bersama-sama. “Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi.” Sampai ada peribahasa demikian, “Dalam banyak bicara-” bahkan dikatakan “-pasti-” nah, ini juga hiperbola ya “-pasti ada pelanggaran.” Saking menunjukkan bahwa orang yang banyak bicara itu bisa salah. Bisa ada dosa juga di dalam kata-katanya, tetapi kalau bisa menahan bibirnya, mengontrol bibirnya, mengontrol perkataannya, dia itu berakal budi. Dia menggunakan akal budinya. Maka kita perlu berhati-hati di dalam perkataan seperti peribahasa Indonesia: “Lidahmu adalah harimaumu.” Kata-kata kita itu bisa seperti pedang. Bisa seperti senjata tajam yang bisa melukai diri kita maupun orang lain. Maka susah ya, untuk bisa berhati-hati dalam berkata-kata. Ya itu juga ya sebenarnya saya lebih suka, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, waktu khotbah juga kata-kata itu dicatat sedemikian rupa sehingga saya bisa mengata-ngatakan yang baik, yang tepat. Tapi ada juga kan ya, orang yang mungkin sudah biasa ahli dalam berkhotbah, ngomong itu dengan point-point saja ya, garis besar sudah bisa langsung bicara. Itu beda-beda ya. Setiap orang itu punya talenta yang berbeda-beda.
Sadar atau tidak sadar, ambil contoh saya sendiri ya, seorang pengkhotbah. Seorang pengkhotbah ini sangat mungkin banyak kata-kata yang salah ya secara tidak sengaja, bahkan ada kata-kata yang berdosa, yang melawan kebenaran Firman Tuhan. Mungkin? Mungkin. Sangat mungkin. Bisa membingungkan para pendengarnya. Jadi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, para pendengarnya bingung. Pulang, pulang dari dengar khotbah Firman Tuhan itu jemaat itu bingung. “Saya dikasih khotbah apa?” Itu bisa jadi dosa hamba Tuhan ya. “Saya dengar apa sih tadi?” Kurang lebih ya. “Saya dengar pesan apa?” Kurang lebih. Bingung karena apa? Si hamba Tuhannya juga bingung mau khotbah apa. Dia sebatas menjelaskan atau berkata-kata saja. Nah, saya teliti, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, satu kali khotbah ini itu ada 2.200 kata yang keluar. Itu menjadi khotbah 1 jam. Jadi, kalau mau khotbah 1 jam itu buat saja tulisan di (Microsoft) Word, 2.200 (kata) itu 1 jam. Jadi, saya rata-rata buat khotbah seperti itu. Sudah pakem ya, 2.200 (kata) kita pasti khotbah 1 jam. Kalau mau lebih ya dikalikan saja. Nah, waktu bicara 2.200 kata, 1 orang bicara 2.200 kata dalam 1 jam, anggaplah 5% -nya salah. Banyak kan? Atau 10% dari 2.200 (kata) salah, berarti 220 kata. Siapa sih, Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang pernah menghitung kata-kata yang keluar dari mulut kita itu berapa banyak? Kita nggak bisa lho. Saya bisa. Saya buat khotbah, karena buat khotbah jadi hitung 2.200 kata ya. Tapi orang yang menghitung rambut, Alkitab katakan rambut. “Jumlah rambut di kepalamu Tuhan tahu. Tuhan memelihara.” Tapi jangan salah, Tuhan itu Mahakuasa. Tuhan itu tahu kok kata-kata yang keluar dari mulut kita itu jumlahnya berapa dari bayi sampai kita mati di dunia. Tuhan tahu! Dan dari situ, Tuhan menghakimi semuanya. Tuhan itu penghakim yang luar biasa detail. Strictness-nya itu begitu maksimal ya. Tuhan tahu kok salah apa, tapi kalau tadi kita menyadari, kita itu bisa salah dalam berkata-kata, bisa berdosa juga, maka saya mengucap syukur ya sebagai pengkhotbah Tuhan masih mau memakai orang yang banyak salah, banyak dosa ini untuk memberitakan Firman Tuhan. Itu anugerah Tuhan. Roh Kudus yang menyertai pengkhotbah supaya bisa memberitakan kebenaran Firman Tuhan.
Andai, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, kita tahulah gereja-gereja juga tidak sempurna, pengkhotbah itu tidak sempurna, andai seorang pengkhotbah pun mengkhotbahkan hal yang melenceng, tapi dia ambil dari kebenaran Firman Tuhan, si jemaat bisa mengerti yang benar karena Roh Kudus bekerja. Jadi, jangan pikir kita bisa mendapatkan kebenaran itu dari pengkhotbah. Jangan pikir itu bergantung kepada manusia. Kita mendapatkan kebenaran Firman itu dari Alkitab. Kalau pengkhotbahnya melencenglah, anggap pengkhotbahnya itu salah ngomong atau salah juga doktrin keselamatannya, tapi ketika dia coba jelaskan Firman Tuhan, khotbah yang berfokus pada Alkitab, si jemaat mendengar, dan Roh Kudus bekerja kepada jemaat tersebut, jemaat itu pun bisa benar kok. Masa semua harus bergantung ke pengkhotbah sih? Kalau khotbahnya benar, maka yang mendengar benar. Omong kosong! Pengkhotbah salah, Roh Kudus mau membenarkan, bisa! Dengan cara-Nya yang ajaib dengan Firman Tuhan tentunya ya, dengan kuasa Firman Tuhan. Tapi bukan berarti anugerah itu melupakan tanggung jawab manusia. Ya tetap si pengkhotbah harus benar, harus mempersiapkan dengan baik-baik. Kita pun sama, harus melakukan Firman Tuhan yang benar. Nah Tuhan yang kasih anugerah. Itu bicara soal anugerah ya. Anugerah Tuhan itu luar biasa efeknya di dalam kehidupan kita, tapi tanggung jawab kita pun harus kita kerjakan dengan sungguh-sungguh.
Yang ayat ke-3 sampai 4 kita bahas. Ini adalah 2 perumpamaan yang menjelaskan tentang betapa dosa perkataan itu harus dikendalikan. Yakobus 3:3-4, yaitu Yakobus mengambil perumpamaan kekang pada mulut kuda dan juga kemudi kapal laut yang besar ya. Ingat metode mengajar dengan perumpamaan ya. Perumpamaan ini di dalam surat Yakobus ini adalah supaya pendengarnya itu dari yang tidak jelas menjadi jelas. Jadi, hanya 1 tujuan saja. Yakobus memberi perumpamaan ini supaya mereka jelas menangkap pesan Tuhan dan Yakobus memberikan penjelasan tentang 2 perumpamaan ini ya, yaitu kekang di mulut kuda dan kemudi kapal laut. Beberapa penafsir mengatakan bahwa gambaran ini adalah gambaran yang sangat lazim di dalam masyarakat Yunani maupun masyarakat Romawi. Bukan saja itu, bahkan di antara orang Yahudi dan non-Yahudi, mereka semua tahu kok yang namanya kuda. Mungkin di kota kita ya, kita sendiri di zaman ini tidak ada yang tahu. Mungkin ada yang tidak pernah melihat kuda itu seperti apa. Nggak tahu ya kekang kuda itu seperti apa juga. Tetapi pada waktu itu, kuda dan kapal laut itu sangat umum. Anak-anak sudah melihat orang tuanya berdagang. Di dalam masyarakat juga sudah lihat ada kuda. Ketika prajurit ada menjaga keamanan kota maupun perdagangan itu mereka pakai kuda dan lain-lain. Lalu di dalam pelabuhan, khususnya kota-kota pelabuhan itu, ya jelaslah tahu yang namanya kapal laut. Ini adalah merupakan realitas yang sehari-hari di dalam kehidupan mereka. Kuda itu alat transportasi di darat. Kapal laut itu transportasi di laut. Jadi, Yakobus sudah memberikan contoh yang di darat, yang di laut yang sering kamu lihat, coba pelajari baik-baik, di situ ada hikmat Tuhan, di situ ada pesan Tuhan. Kalau kuda yang horsepower-nya itu begitu besar bisa dikendalikan oleh kekang, berarti kekang ini sangat penting. Bisa mengarahkan kuda ke kanan, ke kiri, lurus, bahkan mundur, itu betapa powerful-nya. Padahal kuda itu punya tenaga yang besar. Terus kemudi, kemudi kapal laut, setirnya itu ya bisa menggerakkan kapal yang begitu besar. Ketika kapal itu dibawa oleh angin, didorong oleh angin, terus kemudian kemudi ini mengarahkan kapal tersebut ke dalam tujuan. Maka kalau kapal laut yang begitu besar buatan manusia dan kuda yang tenaganya begitu besar ciptaan Tuhan ini bisa dikendalikan, maka kita pun harus mengendalikan diri kita, yang pertama yaitu lidah kita. Lidah ini harus dikendalikan supaya hidup kita itu benar. Ke tujuan yang benar, ke arah yang benar. Perkataan manusia ini kita perlu kendalikan supaya hidup kita pun dikendalikan dengan baik.
Banyak kali Bapak, Ibu, Saudara sekalian, orang itu akhirnya tersesat dalam dosa dan juga banyak mengalami kegagalan karena tidak bisa mengendalikan lidahnya. Tidak menghormati orang lain, kasar. Orang mengenal orang lain itu yang pertama dari perkataannya kan ya, dari pesannya apa. Kasih pesannya apa. Ada hal unik tentang penafsiran perumpamaan ini. Jadi, ada yang melenceng, ini menafsirkan Firman Tuhan secara berlebihan ya. Yaitu dikatakan kalau kekang kuda, kekang mulut kuda itu bisa mengendalikan tubuh kuda, demikian juga bahwa tubuh itu diidentifikasi sebagai tubuh Kristus atau gereja. Lalu kekangnya apa? Kekang kudanya itu apa? Yaitu adalah si pemberita Firman Tuhan. Ini unik ya. Ini penafsiran ini OK, masih bisa kita terima. Gereja itu dipimpin oleh siapa sih? Oh, gembala, pendeta, pengkhotbah, hamba Tuhan. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini tidak sesuai dengan konteks ayat ini kalau kita menafsirkan tubuh gereja, umat Tuhan itu dipimpin oleh gembalanya. Gembalanya salah, umatnya salah. Ini memang benar ya, tapi tidak boleh ditafsirkan dari ayat ini karena yang Yakobus inginkan adalah ini cuma penggambaran saja, bukan dikaitkan ke dalam konteks gereja. Memang, gereja ini bisa berubah arah ketika si pengkhotbahnya ganti. Maka Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau ada gereja yang pengkhotbahnya itu teologinya beda-beda ya nggak berjalan di mana-mana, akan bingung arahnya ke mana. Memang ada bagian itu, tetapi juga kita bisa lebih lihat lebih lagi bahwa Tuhan itu memimpin kehidupan gereja secara keseluruhan ya, bukan bergantung kepada manusia saja. Nah, ini salah ya, penafsiran seperti ini, berarti kalau tubuh kuda dikendalikan kekang, itu seperti gereja yang adalah tubuh Kristus dikendalikan oleh pengkhotbahnya atau gembalanya. Itu tidak boleh dikaitkan dari ayat ini. Itu bukanlah yang dimaksudkan oleh Yakobus. Jadi, intinya 2 perumpamaan tersebut adalah menggambarkan mengenai kekuatan dari perkataan kita. Perkataan kita ini berdosa, menghancurkan diri kita dan orang lain. Bisa? Bisa. Tetapi juga bisa membangun kehidupan orang lain, maka coba kita kendalikan kata-kata kita. Coba kita kendalikan hati kita. Waktu kita mau mengendalikan kata-kata, sebenarnya kita itu kita belajar mengendalikan hati kita, mau mengungkapkan apa.
Dan terakhir ayat 5a ya. “Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar.” Ya, lidah itu memang bisa memegahkan perkara-perkara yang besar, padahal kecil. Berarti bisa menggerakkan hidup kita. Bukan saja itu, bisa menggerakkan hidup orang lain. Itu adalah kata-kata. Nah, ayat yang senada dengan Yakobus 3:5a ini adalah Amsal 18:21. Mari kita baca, Amsal lagi ya. Amsal ini kitab-kitab bijaksana, termasuknya, dan Amsal juga seringkali menasehati soal kata-kata. Amsal 18:21, kita baca bersama-sama. “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.” Ini bicara soal perkataan manusia atau lidah kita itu bisa ada efeknya yang besar bagi kehidupan orang, bahkan hidup mati orang itu dikuasai oleh lidah. Nah, ini sekali lagi ya, ini peribahasa, ini suatu ungkapan betapa berbahayanya lidah kita itu. Selain berbahaya, tetapi juga sarana memberkati orang juga ya, lidah kita ini. Perkataan kita ini bisa membuahkan hasil. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau kita bisa melihat ya, ada suatu gereja, suatu gedung-gedung yang besar, suatu hal-hal yang begitu bagus di dalam dunia ini, salah satunya efek apa? Efek perkataan. Suatu visi yang disampaikan, suatu pesan yang disampaikan, suatu semangat yang diberikan. Itu dari kata-kata lho ya. Di Solo itu, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada tempat ibadah yang begitu besar sekali. Ya bukan ibadah gereja,ya. Itu ibadah yang begitu besar sekali. Dari apa? Dari perkataan. Ada komunikasi dengan orang lain sehingga bekerja sama. “Ayo, kita bangun gereja yang sangat besar se-Asia Tenggara, se-Asia mungkin, gedung ibadahnya paling besar.” Itu karena apa? Ngomong! Cuma ngomong saja lho. Kalau kita malas berkomunikasi, malas ngomong sama orang supaya dalam pelayanan khususnya, dalam pekerjaan, kita nggak akan bisa melakukan hal yang besar. Coba kita ngomong ya. Kita belajar bicara. Bicara pada tempatnya tentunya ya. Bicara yang baik. Kita mau ngomong sesuatu seperti itu ya. Itu ada efek yang sangat besar sekali.
Nah, dalam konteks ini, bila kita salah mengajar, maka yang diajar salah semua. Nah, kata-kata kita itu bisa mempengaruhi iman seseorang dan manusia sangat mudah salah atau berdosa dalam perkataan. Dan saya sendiri ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika merenungkan, saya salah apa sih dalam kata-kata saya? Kelemahan saya dalam dosa-dosa perkataan ini apa? Kita bisa ungkapkan kelemahan dalam dosa kata-kata. Saya sendiri, Bapak, Ibu, Saudara, mungkin saya seringkali kurang jelas ngomongnya, bicaranya kurang jelas ke orang lain, terus juga kurang bisa mempersiapkan kata-kata yang teratur, yang bagus, yang jelas waktu bicara santai gitu ya. Bukan saja itu, ada juga saya itu malas ya. Malas ngomong ya. Kadang-kadang malas bicara sama orang, malas mengungkapkan pendapat. Itu bisa jadi dosa juga, karena Tuhan inginkan kita mempengaruhi seseorang. Kita ngobrol sama orang ya, tapi sayanya malas, itu bisa terjadi. Lalu juga membicarakan kelemahan orang. Ya, ini gosip, digosok makin sip, makin enak rasanya ya. Ini juga bisa jadi salah ya, dosa ya. Dosa. Kelemahan orang itu sebenarnya, bagusnya itu kita simpan dalam hati, terus didoakan.
Saya pernah tahu ya, baca atau tahu gitu, kalau John Calvin itu membicarakan kelemahan orang itu dalam konteks jemaat, misalkan ya, jemaat kan banyak kelemahan ya. Banyak orang berarti banyak kelemahan dan dosa juga. John Calvin itu tidak anti dengan membicarakan kelemahan orang, tapi John Calvin memberikan syarat. Waktu kita bicarakan kelemahan orang, itu konteksnya adalah membangun seseorang tersebut dan harus doain orang tersebut. Ini konteksnya reformator. Jadi, John Calvin waktu mau membicarakan kelemahan jemaat, misalkan jemaat ini mungkin berzinah, berselingkuh, kasar, dan lain-lain, dia rundingan sama pengurus gerejanya, dia rapatkan sengaja, ”OK, kita rapatkan. Ada kelemahan apa jemaat ini.“ Tetapi motivasinya adalah membangun dia ya, bukan menjelekkan dia, bukan merusak hidupnya. Jadi, membangun dia, terus kemudian harus didoakan. Nggak boleh nggak didoakan. Nah, kadang-kadang kita membicarakan kelemahan orang, “Si orang ini kayak gitu ya. Kok bisa sih orang ini kayak gitu? Aneh ya! Aduh, nggak nyamanlah ketemu orang tersebut! Berelasi dengan orang tersebut!” Misalkan kayak gitu ya. Harus doa. Itu menetralisir racun. Menetralisir racun itu dengan doa. Racun kebencian terutama ya. Sadar atau tidak sadar, kita ngomongin kejelekan suami kita atau istri kita. Itu benar? Benar! Itu benar. Kamu yang benar, suami kamu yang salah. Tapi waktu kita bicarakan kepada orang lain, orang lain itu tumbuh benih kebencian kepada suami kita. Karena apa? Karena cuma kita omongin kok, ”Suami saya begini, begini, begini. Istri saya begini, begini, begini. Anak saya begini, begini, begini. Hamba Tuhan ini begini, begini, begini. Jemaat ini begini.” Buruknya. Kita cuma ingin melampiaskan kekesalan kita. Kita sedang menabur kebencian. Karena orang itu sangat mudah marah, membenci orang yang lebih buruk dari dia. Ini dosa kita ya, kita benci orang yang lebih buruk dari kita, bahkan kita bersukacita atas ketidakadilan yang terjadi di dalam hidup mereka. Ya, kita benci gitu ya. Kita bersukacita, bahkan ya, kita bergembira. Terus kita juga bisa lebih mudah itu tidak suka kalau orang itu lebih baik dari kita. Ini dosa manusia. Kalau ada orang yang kelihatan lebih baik, kita tutupi kebaikannya. Nggak usah diomongin lah ya. Aneh. Karena kita iri hati. Tapi begitu ada orang yang lebih buruk dari kita, kita tonjolkan, “Ini jelek ini orang.” Supaya kita lebih tinggi, kurang lebih kayak gitu. Menjelekkan orang itu tanda kita sombong ya. Memuji orang itu tanda kita rendah hati. Kita bisa mengenal, mengetahui kebaikan dia. Nah ini, manusia itu memang sulit ya dalam berkata-kata. Gosip ini hal yang sangat juga berbahaya. Itu bisa dipakai setan juga untuk memberikan informasi-informasi yang salah.
Terakhir, Bapak, ibu, Saudara sekalian, Yakobus memberikan nasehat kurang lebih ya di dalam bagian yang kita bahas ini, ”Marilah kita hidup bijaksana dan juga penuh pengertian kepada orang lain.” Sudahlah, keburukan orang itu kalau kita tahu, udah nggak usah dibicarakanlah. Kita doakan saja. Andai pun mau membicarakan, itu dalam konteks yang memang harus membangun dia. Kita cari, pikir solusi supaya dia bertumbuh itu apa. Apa kita ketemu, ngobrol, cari topik, membahas itu, dan lain-lain. Kita diminta oleh Firman Tuhan hari ini yaitu kita hidup bijaksana, penuh pengertian. Orang yang bijaksana dan penuh pengertian itu dilihat dari mana? Ya dari kata-katanya. Kata-katanya yang baik, yang membangun, bukan menghancurkan. Ingat bahwa lidah kita ini, Bapak, ibu, Saudara sekalian, itu punya 2 fungsi yang mematikan. Lidah kita itu bisa menjadi berkat atau bisa menjadi kutuk. Ya, maka hati-hati dalam berbicara, hati-hati dalam mengajar sesuatu, dan juga hati-hati dalam melakukan sesuatu karena dalam tindakan kita itu ada pesan Firman Tuhan juga ya, dalam tindakan kita. Kiranya kita boleh menjinakkan lidah kita yang liar ini. Ingat, dosa lidah, dosa perkataan itu sangat mudah dilakukan oleh banyak orang. Dan kita nggak segan-segan melakukannya. Kita bisa dengan kesadaran, dengan kenikmatan, kita berkata-kata kasar. Senang, teriak-teriak lagi ngomong kasarnya. Kita selipkan kata-kata kasar, enak. Wah, rasanya lebih keren kalau ngomong kasar. Itu adalah dosa lidah. Lidah ini universal karena lidah ini nggak kekekang ya. Tidak ada kekangnya. Yang mengekang lidah kita adalah anugerah Tuhan, Firman Tuhan sendiri dan hati kita. Kita perlu mengendalikan diri kita, menguduskan hati kita supaya kita bisa hidup juga dengan kudus di dalam kata-kata kita. Mari kita sama-sama berdoa.
Bapa kami yang di Surga, kami bersyukur Tuhan untuk Firman Tuhan yang mengingatkan kami pada hari ini, bahwa kami begitu lemah di dalam kata-kata kami. Seringkali kami mengeluarkan kata-kata yang salah dan berdosa dan menyakiti hati orang lain. Bukan saja itu, kami pun seringkali tidak berkata-kata di mana kami harusnya berkata-kata kepada orang lain, supaya orang lain pun dibangun dan dikuatkan. Ampunilah kami Tuhan atas segala dosa-dosa kami yang kami lakukan dalam perkataan kami dan juga perbuatan kami. Kami mohon Tuhan supaya hidup kami ini boleh sungguh-sungguh mencerminkan Kristus Yesus yang begitu mengasihi sesama dan juga begitu menolong sesama kami yang kesulitan ataupun dalam pergumulan. Kami juga mau Tuhan supaya hidup kami ini lebih sungguh-sungguh lagi di hadapan Tuhan. Kami mau memberitakan kebenaran. Kami juga mau jikalau Tuhan panggil kami sebagai pengajar Firman Tuhan di gereja, Tuhan pun boleh menolong kami yang lemah ini. Sertailah Tuhan seluruh pemberitaan Firman Tuhan di gereja-gereja Tuhan supaya apa yang disampaikan oleh hamba-hamba Tuhan boleh merupakan kebenaran Firman Tuhan saja yang sesuai dengan Alkitab. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami yang hidup, kami sudah berdoa dan mengucap syukur. Amin. (HSI)