Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, beberapa waktu yang lalu ketika saya menyaksikan sebuah film kolosal tentang dynasty-dynasty yang ada di Cina, dataran Cina, maka ada sebuah adegan yang sangat menarik sekali. Kita tahu di dalam zaman kerajaan-kerajaan kuno, bagaimana mereka masing-masing komunitas-komunitas berusaha untuk memperluas teritorial, memperluas wilayah. Mereka yang sudah menguasai satu wilayah, akhirnya mereka mendirikan sebuah kota kecil dan di antara kota itu dibentengi dengan benteng-benteng yang sangat tinggi. Dan akhirnya ketika mereka merasa bahwa teritori ini menunjukkan kekuasaanku, maka kami perlu untuk memperluas teritori ini dengan cara apa? Menaklukkan teritori lawan. Setelah ditaklukkan, maka mereka yang kalah wajib memberikan upeti kepada mereka yang menang. Mereka yang kalah harus tunduk di bawah yang menang. Maka ada 1 adegan ketika yang kalah sudah tunduk kepada yang menang, maka ada masa-masa kewajiban yang harus diberikan adalah memberikan upeti, memberikan persembahan. Maka ketika yang kalah, raja yang kalah ini dengan diiringi dengan beberapa prajuritnya datang ke raja yang menang, mereka memberikan persembahan, ternyata setelah persembahan itu diletakkan di hadapan raja, mereka mengeluarkan senjata dan membunuh raja yang ada di hadapannya. Jelas sekali, ini merupakan taktik-taktik yang sangat licik dari mereka-mereka yang mungkin merasa sakit hati karena wilayahnya ditaklukkan, sehingga persembahan itu dilakukan, diberikan dengan ada motivasi di balik dari persembahan tersebut. Motivasi kudeta.
Bapak, Ibu, Saudara, persembahan dengan motivasi kudeta, bukankah tanpa sadar banyak orang yang sedang menghidupinya? Banyak orang yang sedang menghidupinya. Bagaimana ketika memberikan persembahan, ada motif-motif di balik itu. Saya berasal dari Bali. Asli Bali. Sehingga masa kecil saya sampai masa SMA ketika saya pulang ke Bali, bahkan sampai kuliah ketika saya pulang ke kampung, pasti ikut sembahyang bersama-sama dengan keluarga. Sebelum bertobat tentunya ya, Bapak, Ibu, Saudara ya. Ketika kami sembahyang, saya masih ingat sekali pada waktu hari raya Galungan, kami masak babi guling. Babi guling anakan kecil. Dan ketika masak babi guling, saya tahu ini sebentar lagi dipersembahkan, sebentar lagi dibawa ke altar daripada pura. Setelah dibawa di altar, dalam hati, “Ah, setelah selesai, makan lezat!” Begitu ya. Maka kami-kami, saya bersama dengan saudara-saudara, kakak, adik, sepupu setelah membawa persembahan itu motivasinya cepat-cepat, pokoknya siapa yang cepat dapat, itu yang menikmati. Kira-kira begitu ya. Padahal sebenarnya motivasi waktu pakdhe, budhe saya membawa persembahan itu untuk apa? Untuk diberikan kepada sesembahan yang disembah. Diberikan, dipersembahkan kepada dewa-dewa. Buat apa? Karena ada 1 filosofi di baliknya, setiap persembahan yang diberikan adalah bagi mereka yang dianggap mempunyai kuasa yang bisa menaklukkan. Maka ketika ada sebuah rasa takut bahwa dewa itu akan marah, ada rasa takut kalau kekuasaan itu akan menghancurluluhlantakkan hasil tanaman, hasil kebun, dan sebagainya, maka haruslah memberikan persembahan itu kepada dewa-dewa.
Nah, Bapak, Ibu, Saudara, maka konsep-konsep persembahan seperti itu adalah konsep persembahan yang sebenarnya sangat jauh dari makna persembahan yang seharusnya. Sangat jauh sekali dari makna persembahan yang sejati. Maka Bapak, Ibu, Saudara, tanpa sadar, kita sebagai orang-orang Kristen pun memahami persembahan itu hanya dibatasi kepada apa yang kita berikan untuk pekerjaan Tuhan, yaitu berupa materi. “Oh, nggak pak! Kita lebih tahu lebih jauh lagi!” Apa? “Ya, diri kita!” Dengan cara apa? ”Melayani Tuhan!” Oke, bagus! Tetapi motivasi kita di dalam hal ini apa? Masih kabur. Masih banyak motivasi-motivasi yang seringkali tersembunyi, terselip di dalam benak kita, di dalam hati kita. Untuk apa? Untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan diri yang tanpa sadar, kita tidak tahu, tetapi Tuhan tahu. Maka Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, waktu kita menyadari, “Wah, saya datang ke gereja untuk apa sih? Untuk memberi persembahan kepada siapa sih? O, kepada Tuhan! Apa yang kuberikan? Kehadiranku. Waktu aku hadir, bagaimana aku hadir? Apakah pakaianku sudah pantaskah? Apakah hatiku sudah siapkah? Apakah materi yang aku ingin persembahkan sudah yang terbaikkah? Dan apa yang menjadi motif di balik persembahan yang besarkah? Motif dari persembahan pujiankah? Ya tentu, pasti ingin memuliakan Tuhankah? Ingin memuliakan Tuhan, pak!” Betul, ingin memuliakan Tuhan. Tetapi lebih daripada itu, apa? Ada motif-motif yang mungkin kita tidak tahu. Tanpa sadar, kita sedang berusaha untuk membangun sebuah nama diri di dalam sebuah komunitas yang disebut gereja. Tanpa sadar, kita membangun sebuah nama diri. Nama diri apa? Supaya semakin dikenal, supaya semakin dianggap sebagai aktivis. “Lho, kalau begitu saya mundur!” Bukan demikian maksudnya. Bapak, Ibu, Saudara, itulah yang kadang-kadang banyak kehidupan pelayanan, banyak sekali paradoks-paradoks yang tanpa sadar kita banyak terjerumus di dalamnya.
Nah, Bapak, Ibu, Saudara, waktu kita kembali kepada kitab Roma, kitab Roma ini adalah tulisan Rasul Paulus yang sangat-sangat sistematis. Tulisan Rasul Paulus tentang doktrin keselamatan yang sangat terstruktur, dengan pasal yang paling panjang di antara surat-surat Rasul Paulus yang lain. Rasul Paulus memberikan prinsip-prinsip bagaimana tentang keselamatan itu. Apa sih keselamatan itu? Mengapa keselamatan itu menjadi pencarian banyak orang? Orang beribadah kepada para dewa-dewa, orang beribadah kepada ilah-ilah, tentu di balik dari peribadatan itu adalah sebuah keinginan untuk selamat. Selamat dari apa? Selamat dari ancaman. Ancaman apa? Ancaman yang bisa mematikan tubuhnya, ancaman yang bisa mematikan jiwanya, yang bisa membinasakan dirinya. Maka tidak heran, ketika rasa takut manusia terhadap ancaman-ancaman yang bisa membinasakan tubuh, mereka respon dengan sebuah tindakan beribadah kepada ilah-ilah tanpa mereka pahami, tanpa mereka tahu siapa yang disembahnya. Di situlah Rasul Paulus juga pada dasarnya adalah orang Yahudi yang sebelumnya juga memiliki 1 pemahaman yang keliru. Sebagai orang Yahudi, dia dididik di dalam didikan Gamaliel yang sangat-sangat menguasai filosofi pada saat itu, sangat menguasai bagaimana Jewish tradition pada saat itu, sehingga bagaimana kehidupan masyarakat Yahudi di dalam tradisi-tradisi agamawi juga dipahami dengan sangat-sangat baik sekali oleh Rasul Paulus.
Paulus, waktu itu namanya masih Saulus, dia juga beribadah kepada Allah Yahweh. Allah yang dianggap sebagai Allah monoteis. Allah yang dianggap sebagai satu-satunya Allah Abraham, Ishak, Yakub yang lebih unggul dibanding dengan ilah-ilah dari bangsa-bangsa lain. Keunggulan terhadap Allah Yahweh inilah akhirnya menjadi sebuah kesombongan bagi orang-orang Yahudi, di mana Saulus juga pada sebelumnya jugalah demikian. Namun ketika dia akhirnya dipanggil oleh Tuhan sendiri dalam perjalanannya ke Damsyik, hal itulah yang akhirnya mengubahkan bagaimana mindset dirinya, bagaimana kepercayaannya melalui karya Kristus secara pribadi dalam dirinya, mengubahkan arah hidupnya yang semula beribadah kepada Allah yang sebenarnya dia tidak mengerti, justru akhirnya dia kenal melalui Yesus Kristus yang sudah mati dan bangkit, dan menemui dia secara pribadi, yang menjumpai dia secara personal dan berbicara langsung kepada Saulus secara personal. Dari situlah ada sebuah dorongan yang besar sekali untuk memberitakan Yesus yang sudah memanggil dirinya. Ini adalah sebuah respon yang sangat indah sekali, bagaimana ketika dirinya yang sudah diubahkan oleh Kristus akhirnya merespon dengan cara memberitakan Kristus yang sudah memanggil dirinya.
Lalu di dalam surat Roma yang dia tulis, dia tujukan kepada jemaat-jemaat di Roma. Jemaat-jemaat di Roma dari beberapa penafsiran, bukan karena hasil dari pelayanan dia, tetapi disinyalir dari pelayanan murid-murid dari Rasul Paulus. Dan Rasul Paulus, pada waktu dia menuliskan surat ke jemaat di Roma itu dengan sangat passionate, dengan sangat penuh keinginan untuk supaya mereka bisa mengerti tentang konsep keselamatan yang sebenarnya. Kenapa? Karena kita tahu bahwa Roma itu adalah kota metropolitan yang sangat-sangat besar sekali pada zaman itu. Dengan berbagai macam budaya-budaya yang bercampur di Roma, dan di mana kekuasaan kekaisaran Romawi pada saat itu besar sekali maka kekaisaran Romawi yang sangat besar, sangat berkuasa, sampai menguasai kurang lebih sepertiga wilayah seluruh dunia, maka siapa yang tidak memiliki ketakutan kepada kerajaan Romawi? Kekaisaran Romawi dianggap sebagai kekaisaran yang mewakili Tuhan. Mewakili tuan yang paling berkuasa atas semua wilayah. Itulah kenapa kita diingatkan di dalam Roma 10, “Siapa yang mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan, maka dia akan diselamatkan.” Kenapa hal itu tampaknya oleh banyak orang Kristen saat ini dianggap sebagai suatu kalimat yang enteng? “Oo, mengaku Yesus Tuhan. Hanya gampang. Yesus Tuhan!” Hanya begitu saja, selesai. Akan diselamatkan. Sepertinya barangsiapa mengaku Yesus Tuhan sebagai sebuah syahadat Kristen. Padahal tidak demikian. Pada zaman itu, setiap orang yang mengaku Yesus Tuhan itu berarti secara waktu yang sama melawan kaisar, karena kaisarlah yang harus diakui sebagai Tuhan. Sehingga mereka yang didapati mengakui melalui mulutnya bahwa Yesus, bukan kaisar, adalah Tuhan, mereka siap resiko untuk kehilangan kepala. Ini bukan hal yang mudah sekali bagi orang-orang Kristen, bagi kekristenan pada zaman itu.
Nah, ketika Paulus menyadari, kota Roma, kota metropolitan yang begitu luas, begitu banyak pengaruh budaya-budaya yang sangat mempengaruhi pikiran-pikiran orang-orang pada zaman itu, belum lagi budaya-budaya helenistik, filsafat-filsafat dari Grika yang sangat mempengaruhi orang-orang pada zaman itu membuat mereka semakin kabur. Walaupun sudah ada jemaat-jemaat yang percaya kepada Yesus Kristus tetapi mereka banyak sekali juga diterpa dengan ajaran-ajaran yang mengkaburkan tentang siapa Yesus Kristus sendiri. Mereka terus bertanya-tanya. Banyak orang bertanya-tanya, siapa sih sebenarnya Yesus? Kenapa Dia dianggap sebagai Tuhan? Kenapa Dia harus diperlakukan mati di atas kayu salib? Tetapi kenapa banyak berita yang mengatakan bahwa Yesus itu bangkit dan naik ke surga? Kenapa banyak orang yang mengatakan bahwa Yesus itulah Mesias, Anak Allah, dan Juruselamat? Mereka terus bertanya-tanya. Di situlah Paulus menuliskan tulisannya melalui Roma ini dengan sangat berbeban berat, sangat penuh kasih supaya jemaat-jemaat di Roma memahami tentang konsep keselamatan yang sebenarnya.
Bapak, Ibu, Saudara, itulah kenapa di awalnya, di bagian pasal-pasal pertama, Rasul Paulus memberikan sebuah gambaran di ayat ke-16. “Injil itu adalah kekuatan Allah. Injil itulah kekuatan Allah.“ Maka kita sadar, Bapak, Ibu, Saudara, kenapa kita Gereja Reformed Injili. Karena tanpa Injil, kita tidak mempunyai kekuatan. Hanya, kenapa Injil itu adalah kekuatan Allah? Apa yang sebenarnya istimewa dari sebuah Injil? Kita tahu Injil itu adalah berarti kabar baik, berita baik. Itu adalah arti Injil. Injil adalah kabar baik. Berasal dari kata evangelion. Apa itu evangelion? Evangelion itu adalah sebuah kata yang sering dipakai oleh penyampai pesan di dalam kerajaan-kerajaan, yang menyampaikan kabar baik. Kalau Bapak, Ibu, Saudara menyaksikan film-film kolosal, maka ketika peperangan setelah terjadi, setelah peperangan terjadi dan akhirnya pasukan yang dikirim ke luar dari kota berhasil memenangkan peperangan, maka orang-orang yang di kota, orang-orang yang keluarganya mengutus anaknya ikut bergabung di dalam prajurit, mereka-mereka yang sedang menanti orang tuanya ikut di dalam penyerangan atau di dalam penaklukan atau mungkin mempertahankan wilayah yang ikut berperang, mereka berharap-harap. “Apakah pasukan ataukah anakku, ayahku, pamanku, orang tuaku ini mereka sekarang menang atau tidak?” Mereka tidak tahu. Zaman itu belum ada seperti WA sama sekali. Ya, tinggal kirim, “Aku sudah nyampe.” Selesai ya. Kalau menang, tinggal sampai, klik. “Kita menang!” Selesai, begitu ya. Zaman itu belum ada! Dan kalau pun menang, maka akan ada yang diutus untuk menyampaikan kabar itu ke kerajaan, ke kota. Berarti mereka akan memasuki sebuah teritori. Pada waktu mereka menyampaikan kabar, mereka bukan berarti bebas dari bahaya. Setiap kabar yang mereka bawa, mungkin seorang dengan menggunakan kuda, bahaya-bahaya di sampingnya. Mereka-mereka yang tidak mau kabar kemenangan itu sampai ke kota ini selalu berusaha menghalangi. Supaya apa? Supaya jangan sampai orang kota ini tahu mereka menang atau tidak. Karena kalau sampai mereka tahu menang, akan terbakar semangatnya. Dan semangat heroik itu akan membuat mereka semakin menyala-nyala di dalam menghadapi lawan. Tapi kalau misalkan, tidak ada yang membawa kabar itu sampai, maka mereka akan terus mengharap-harap. “Haduh, menang nggak ya? Jangan-jangan kalah. Jangan-jangan mereka sudah mati semua.” Itulah maka tugas penyampai pesan itu bukan tugas yang mudah. Dengan segenap kemampuannya, ia akan terus menggunakan kuda atau menggunakan segala cara supaya sampai pesan itu. Dan ketika dari kejauhan, penjaga-penjaga pengawas menara menyaksikan ada yang datang, maka mereka akan was-was, ”Siapa itu?” Setelah dari kejauhan baru tampak, ”O, itu adalah salah satu prajurit kita!” Lalu apa yang diberikan kode dari penyampai pesan adalah: “Kita menang!” ya, “Kita menang!” Maka teriakan-teriakan itulah yang dari kejauhan itu sudah diteriakkan, ”Kita menang! Kita menang!” Hal inilah yang akan membuat rakyat di kota itu, mereka yang berjaga-jaga di kota itu akhirnya terbakar semangatnya. Setelah terbakar semangatnya, akhirnya hal itu menumbuhkan semangat patriotism, semangat perjuangan bahwa, ”Kita menang!”
Bapak, Ibu, Saudara, tanpa sadar kabar Injil yang sudah kita hidupi, kita tidak melihat itu sebagai sebuah signifikansi berita baik yang harus disampaikan dengan satu semangat seperti pemberita penyampai pesan ini. Ya, kita tahu Injil kabar baik. “Ya sudah kalau gitu, Yesus itu Juru Selamat, lho! Percayao sama Yesus!” Seperti tidak ada passion. Tidak ada sebuah gairah untuk kita memberitakan Injil. Itulah kenapa, kita masih memiliki satu teladan dari Pdt. Stephen Tong dalam usianya yang sudah 82 tahun, tapi tidak pernah padam di dalam memberitakan Injil. Karena kabar baik itu kalau kita tidak hidupi, maka kita pun juga tidak akan memiliki sebuah dorongan untuk menyampaikan pesan itu. Bapak, Ibu, Saudara, berita, tanpa sadar itu menjadi pengaruh besar dalam setiap manusia. Coba kalau kita mungkin mengingat ya, 2 tahun yang lalu ketika COVID mulai naik, ketika COVID mulai menjadi pandemi yang sangat mengerikan, begitu kita membaca berita, ada yang mati, sekian mati, kita langsung down, kita langsung ciut, kita pun mungkin mengurung diri. Ya, bukan berarti terus kita buka-bukaan sembarangan, tidak. Tapi tanpa sadar, berita-berita seheboh 2 tahun yang lalu itu menjadi berita yang menciutkan banyak orang. Kalau misalkan kita juga mendengar, misalkan, saudara kita atau sahabat kita,dia sekarang kecelakaan. Hah! Kita takut atau kita kaget. “Bagaimana kondisinya?” Kita sudah secara emosional, secara psikologis sudah sangat terpengaruh dengan berita.
Bayangkan, kuasa power itu luar biasa. Saudara kalau nggak percaya, kuasa 1 kata saja kalau nggak percaya, coba keluar ya, ucapkan 1 kata yang maki orang, gitu kira-kira ya, mungkin ini kuasanya, apa sih kuasanya? Coba keluar, lalu maki orang. Nanti kita akan merasakan kuasanya. Mungkin, buaaggg, gitu ya, langsung kita pingsan. Wah, itu kuasa 1 kata saja. Bapak, Ibu, Saudara, kuasa kata itu sangat mempengaruhi hidup kita. Dari kecil, kita mungkin diperintah oleh papa, mama kita juga dengan kata. “Mandi!” “Makan!” begitu ya. Power of words itu luar biasa. Ketika power of words itu luar biasa mempengaruhi kita, sampai prinsip-prinsip kita. “Belajar! Pintar! Nanti kaya!” Ya, itu terakhir men-drive kita. Tapi kita tidak melihat signifikansi sebaliknya. “Percaya Yesus, selamat.” Itu menjadi sebuah, “Yah, itu nggak ada hubungannya dengan hidup saya sehari-hari.” Akhirnya menjadi sebuah bagian, “Ya sudah, itu saya hidupi kalau saya menyandang atau saya setiap hari Minggu ke gereja karena saya sebagai orang Kristen.” Setelah pulang,ya kalau ditanya orang ya syukur-syukur, “Kenapa kamu jadi Kristen?” Ya coba cerita-cerita, PI-PI begitu ya. Tapi kalau nggak, ya sudahlah. Hidupi saja. Kan katanya menikmati Tuhan. Ya nikmati saja, begitu ya. Kita kadang-kadang bisa mempolitisir ayat-ayat Firman ya. Mempolitisir Firman Tuhan untuk keuntungan diri kita juga, begitu.
Nah, Bapak, Ibu, Saudara, kembali lagi ketika akhirnya kita lihat Rasul Paulus melihat keutamaan Injil, ini menjadi 1 keutamaan yang bisa memberikan sebuah terobosan, mempengaruhi manusia sehingga manusia itu dibenarkan oleh Allah. Ketika manusia itu dianggap benar oleh Allah, maka di situlah keselamatan itu diterima oleh manusia. Bapak, Ibu, Saudara, dalam doktrin keselamatan di dalam seluruh kitab Roma, kita melihat bahwa yang utama adalah bagaimana Allah memberikan pembenaran itu melalui iman. Pembenaran melalui iman itu menjadi 1 prinsip sebuah keselamatan yang diterima oleh manusia. Bapak, Ibu, Saudara, kalau misalkan kita dianggap benar, kita dibenarkan oleh Allah, jangan pikir seperti misalkan begini, Bapak, Ibu, Saudara ada di kelas, lalu guru menguji matematika. “Ayo, 5 x 5 berapa?” “O, 25!” “Yak, kamu benar!” Nah, waktu guru mengatakan, “Kamu benar!” konteks membenarkan itu adalah membenarkan kepada pertanyaan 5 x 5 saja. Tetapi ketika Rasul Paulus mengatakan “Engkau dibenarkan melalui iman,” itu maksudnya apa? Apakah ketika Tuhan mengatakan, “Engkau benar!” Apanya yang benar? Coba, waktu kita merenungkan konsep pembenaran melalui iman, ini adalah 1 anugerah yang besar sekali. Karena pembenaran yang Allah berikan itu sebuah declare. Sebuah pernyataan yang langsung diberikan bahwa, “Engkau benar!” Kalau mungkin kita mendengar Allah sendiri mengatakan bahwa, “Engkau benar!” mungkin kita lihat konteks, “Hah, aku yang dibenarkan apanya ya? O, mungkin karena imanku, percaya kepada Yesus sehingga aku dibenarkan. Waktu aku, imanku percaya Yesus berarti aku dibenarkan. Berarti yang membenarkan imanku dong?” Salah. Bapak, Ibu, Saudara keliru sekali. Kita bukan dibenarkan karena iman kita kepada Yesus. Lho, kalau begitu gimana? Kita itu dibenarkan melalui iman yang Tuhan anugerahkan kepada kita. Jadi, Allah terlebih dahulu menganugerahkan iman kepada kita. Melalui iman yang Tuhan anugerahkan itu, membuat kita bisa percaya kepada Kristus. Waktu kita percaya kepada Kristus melalui iman yang Tuhan anugerahkan, di situlah kita dibenarkan oleh Allah. Langsung declare, bukan sebuah proses.
Perhatikan, ada perbedaan antara declare dengan proses. Kita itu dinyatakan benar, bukan dibuat benar. Waktu kita dinyatakan benar, itu artinya pada saat itu juga seluruh hidup lama kita itu seolah-olah yang salah-salah, mungkin dulu kita pernah bohong, pernah licik, pernah mencuri, pernah berzinah, pernah melakukan apa saja, seolah-olah langsung declare, di-clear semua sama Tuhan. Tapi kalau dibuat benar, itu seperti sebuah proses. Alkitab tidak memberikan konsep pembenaran itu sebagai sebuah proses. Jadi, kita itu dibenarkan itu proses setiap hari ya. Bukan, bukan demikian. Tetapi kita dibenarkan melalui iman yang Tuhan anugerahkan itu. Declare. Tuhan mengatakan, “Engkau benar!” Melalui imanmu kepada Yesus Kristus. Imanmu yang engkau tujukan kepada Pribadi Yesus Kristus itu adalah anugerah Tuhan.
Nah, maka di situlah kita harus memahami bahwa doktrin itu sangat penting sekali. Doktrin di dalam kitab Roma adalah doktrin keselamatan. Doktrin itu adalah menjadi dasar bagi hidup kita. Banyak, sering saya dengar sekali, banyak gereja-gereja yang anti terhadap doktrin. Mereka anggap doktrin itu adalah milik gereja-gereja protestan. Itu keliru sekali. Padahal doktrin itu adalah pengajaran dasar. Mereka yang mengatakan Yesus Tuhan itu pun doktrin. Tapi ketika mereka mengklaim, Yesus itu sumber kesembuhan, menyembuhkan segala-galanya, ya itu doktrin mereka. Sehingga doktrin kalau sudah keliru, itu akan bisa membuat orang itu melenceng jauh sekali. Bapak, Ibu, Saudara, maka kita kembali lag, betapa Rasul Paulus memberikan 1 konsep hasil pembenaran melalui iman yang Tuhan anugerahkan. Itu menjadi konsep keselamatan yang begitu nyata, sehingga sebelum masuk ke ayat 1 pasal ke-12, di pasal ke-11 ayat ke-36, Rasul Paulus mengakhiri dengan 1 kalimat yang seringkali kita dengar. Coba kita lihat Roma 11:36, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Bapak, Ibu, Saudara, kalimat ini mungkin yang kita sering dengar adalah kalimat apa? Soli Deo Gloria. Ya, Soli Deo Gloria itu adalah segala kemuliaan hanya bagi Allah. Kenapa segala kemuliaan hanya bagi Allah? Karena segala sesuatu adalah dari Dia, segala sesuatu adalah karena dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia. Di dalam bahasa Inggrisnya mungkin lebih jelas ya, adalah of Him. Of Him adalah dari Dia dan milik Dia. Karena milik Dia, maka semuanya adalah dari Dia. Lalu through Him – melalui Dia, dan to Him – kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan selama-lamanya.
Konsep Soli Deo Gloria ini konsep yang sudah mengunci hidup Saudara dan saya. Perhatikan konsep Soli Deo Gloria itu indah sekali. Segala sesuatu adalah milik Allah dan dari Allah. Tuhan anugerahkan kepada Saudara, sehingga Saudara diizinkan terlahir di dalam dunia. Dan Saudara tidak bisa memilih lahir dari siapa, tidak bisa memilih lahir dari suku apa, tidak bisa memilih lahir dari kepercayaan apa, dari latar belakang keluarga ekonomi seperti apa. Tetapi ketika semua itu Tuhan nyatakan, Saudara terlahir. Saudara menyadari keberadaan Saudara. O, saya lahir dari keluarga mungkin yang kurang mampu, mungkin dari keluarga kaya, dengan kapasitas intelektual yang berbeda-beda, dengan kapasitas diri yang juga berbeda-beda. Semua itu yang kita tidak pernah bisa pilih, tapi Tuhan wujudkan, nyatakan di dalam dunia. Lalu setelah Tuhan nyatakan, untuk apa? Lalu, hanya melalui Dia. Melalui Dia artinya apa? Tanpa Kristus, engkau tidak akan pernah bisa mengenal Dia. Tanpa Kristus, engkau tidak akan pernah menikmati keselamatan yang Tuhan anugerahkan. Tanpa Kristus, engkau tidak akan pernah menikmati segala sesuatu adalah anugerah. Tanpa Kristus, engkau juga tidak akan pernah merasakan besarnya anugerah Tuhan melalui setiap Firman yang Tuhan berikan. Segala sesuatu yang kita sadari itu melalui Dia, maka di situlah kita bisa menikmati Dia. Dengan alur kita sadari, dan milik Dia, lalu dari Dia, kehidupan kita sekarang berproses hanya melalui Dia. Maka di luar Kristus, kita tidak pernah bisa melakukan apa-apa. Nah, perhatikan kalimat ini, di luar Kristus, kita tidak mungkin bisa melakukan apa pun. Kita tidak bisa mengandalkan kekuatan kita sendiri, tidak bisa sombong dengan keberadaan kita sendiri. Maka kita hanya bisa melalui Dia, dan hanya berada di dalam Dia. Lalu tujuannya untuk apa? Kita bekerja, kita belajar, kita mungkin berusaha, kita semua lakukan untuk siapa? Untuk Dia di mana kita berasal.
Maka sirkular dari Dia, melalui Dia, untuk Dia, inilah yang akhirnya memberikan kita pengertian. O, ternyata untuk kenapa tujuan hidup saya adalah untuk memuliakan Tuhan dan menikmati Tuhan selama-lamanya. Sampai kapan? Sampai kita berjumpa dengan Dia. Indahnya konsep Soli Deo Gloria. Soli Deo Gloria ini memberikan dasar kalau kita sadar konsep ini, maka Saudara akan bisa menikmati Tuhan. Termasuk, “Pak, kalau misalkan saya tiba-tiba punya ide!” Ingat, idemu itu pun ketika Tuhan munculkan, Piiing! Sadarilah, itu pun dari Tuhan. Ketika kau punya dorongan untuk melakukan sesuatu, doronganmu itu pun dari Tuhan. Kalau engkau tidak diberikan ide-ide yang bisa berkembang, tidak diberikan kemampuan otak yang bisa menerobos, dan jika menyelami berbagai macam kebutuhan yang menciptakan lapangan-lapangan kerja baru, maka tidak mungkin itu bisa engkau wujudkan. Maka sadarilah hal ini dan tanamkan kepada anak-anak. Tanamkan kepada anak-anak supaya dari kecil kalau anak itu dapat, ”Kamu dapat dari mana?” “Dari papa.” “Papa dari mana?” “Beli.” “Beli pakai apa?” “Pakai uang.” “Uang dari mana?” “Ya dari gajinya papa.” “Kok bisa papa bekerja?” “Ya, karena papa mampu.” “Bukan. Bukan karena papa mampu, tapi Tuhan yang memberikan kemampuan pada papa untuk bekerja.” Jadi dari sejak kecil, ketika anak bisa pintar menggambar, anak bisa melakukan sebuah karya yang baik, katakan, “Waduh, gambarmu baik ya!” “Oiya, aku pintar menggambar!” “Bukan, tapi Tuhan yang memberi talenta kepada kamu untuk kamu bisa pintar menggambar.” “Kok punya ide menggambar bunga bagus begitu?” “Iya, tadi aku lihat-lihat. Lihat-lihat di taman. Lalu lihat bunga.” “Bukan, Tuhan yang sudah menciptakan bunga. Tuhan memberi engkau indera. Melalui indera itu, engku bisa menangkap wujud bunga itu. Dan melalui inderamu, engkau bisa merekam bunga itu ke dalam pikiranmu, dan engkau menuangkan dari dengan hasil karyamu yang begitu indah.” Saudara, kalau kita tanamkan ini kepada anak-anak kita, maka dari sejak kecil mereka dibentuk konsep Soli Deo Gloria ini demikian indah. Sehingga kita tidak sombong dengan keberadaan diri kita, tapi kita selalu bersyukur kepada Tuhan, selalu memuliakan Tuhan karena apa yang kita peroleh dari Dia. Dan kita juga dimampukan melalui Dia sampai tujuan hidup kita seterusnya, panggilan kita di mana pun adalah untuk Dia. Kemuliaan bagi Dia selama-lamanya.
Bapak, Ibu, Saudara, maka setelah kita lihat konsep yang ditutup di ayat ke-36, maka di pasal ke-12, ayat 1 itu indah sekali. Rasul Paulus memulai ayat pertama ini dengan mengatakan apa? “Karena itu”. Karena apa? “Karena itu” itu berbicara soal karena dari pasal pertama hingga pasal ke-11. Pasal pertama hingga pasal ke-11 itu berbicara tentang doktrin. Berbicara tentang prinsip-prinsip pengajaran. Berbicara tentang bagaimana manusia itu pada dasarnya adalah manusia yang lalim. Karena manusia itu pada dasarnya dimurkai oleh Allah. Karena manusia itu pada dasarnya dihukum oleh Allah. Karena pada dasarnya, kita juga orang yang bukan Yahudi, tetapi hidup di dalam kejahatan-kejahatan. Kita tidak layak mendapat warisan seperti bagaimana orang Yahudi. Toh, orang Yahudi pun juga tidak mendapatkan warisan seperti yang Tuhan nyatakan kepada orang-orang non-Yahudi. Tetapi Tuhan ketika menyatakan karya pembenaran-Nya, dinyatakan kepada semua orang tidak terkecuali. Inilah menjadi 1 keindahan karena diingatkan kembali karena kita juga sudah berdosa dan kita jauh dari kebenaran. Maka hal ini mengingatkan kita, Saudara, bahwa pasal pertama hingga pasal ke-11 itu seolah membongkar semua kebobrokan manusia. Membongkar semua kebusukan manusia dari hatinya, dari emosinya, dari pikirannya, dari nafsunya. Semua dibongkar oleh Rasul Paulus. Tetapi Rasul Paulus juga memberikan 1 prinsip. Engkau kalau sadar kerusakanmu ini, tetapi Tuhan yang mengasihi kamu, Dia membenarkan kamu. Melalui siapa? Melalui iman dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus yang sudah diutus di dalam dunia ini untuk menyatakan karya keselamatan melalui pengorbanan-Nya, melalui persembahan diri-Nya kepada Bapa. Melalui persembahan yang Kristus sendiri berikan kepada Bapa di situlah memungkinkan kita dibenarkan. Ini indah sekali. Manusia pada dasarnya jauh dari kebenaran. Setelah manusia jatuh dalam dosa, manusialah yang menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat menurut standar sendiri.
Dalam kitab Kejadian, ketika Tuhan mengatakan, ”Sesungguhnya manusia itu adalah sama seperti kita. Tahu yang baik dan yang jahat.” Kata “tahu” bukan berarti sebelumnya tidak tahu. Tapi kata “tahu” itu adalah menentukan sendiri. Menentukan sendiri standar dari diri sendiri. Maka setelah menentukan sendiri standar, maka hati nurani yang Tuhan anugerahkan tidak lagi mau standar kebenaran dari Allah. Tapi hati nurani yang sudah diberikan sense of divinity, yang sudah diberikan satu sense of Ilahi ya, sensus divinitas, diberikan sense bahwa Allah itu ada, berusaha ditekan.”Nggak! Aku nggak mau Allah! Aku nggak mau Allah! Kebenaran adalah standarku. Akulah yang menentu kebenaran. Akulah yang mengatakan baik dan buruk menurut standarku sendiri. Aku tidak mau diatur. Aku harus menentukan hidupku sendiri.” Itulah yang terjadi di dalam diri manusia berdosa. Dan ketika sadar, manusia yang sudah jauh dari kebenaran dan harus mendapat murka Allah, maka Allah yang setia kepada janji-Nya, Allah yang menganugerahkan putra tunggal-Nya, Yesus Kristus. Dan kita dibenarkan melalui iman kepada putra tunggal-Nya, Yesus Kristus. Lalu kita dibenarkan bukan karena kita melakukan hukum Taurat, bukan melakukan perbuatan baik sesuai dengan hukum-hukum Taurat, tetapi karena melalui iman kepada Yesus Kristus. Dan Kristuslah yang diutus Allah menjadi manusia untuk mati. Supaya apa? Supaya dosa tidak lagi berkuasa atas diri kita.
Bapak, Ibu, Saudara, indah sekali apa yang Rasul Paulus ingin sampaikan melalui konsep pembenaran ini. Dosa tidak lagi berkuasa. Daging kita ini adalah daging yang masih berdosa. Kalau dosa dikatakan tidak berkuasa, itu artinya dosa itu sudah ditaklukkan. Tapi dia masih istilahnya, ada potensi untuk muncul kembali. Seperti kalau misalkan, sebuah film-film action, ketika jagoan sama musuhnya, biasanya tarung paling akhir, begitu ya. Sudah tarung paling akhir, lalu lakonnya itu kalah, kalah, kalah dulu, tapi akhirnya bisa sebaliknya, menjatuhkan musuhnya. Sampai musuhnya itu sampai jatuh tidak berdaya lagi. Sudah dipukulin sampai habis, tinggal 1 tarikan pelatuk pistol mati, kira-kira begitu ya. Tapi sudah lemah, sudah tidak ada kuasa lagi. Kira-kira demikian gambarannya. Kuasa dosa yang ada di dalam diri kita itu sudah lemah, tidak lagi berkuasa. Sehingga kita bisa dengan kuasa kemenangan Kristus mengatakan, ”No!” kepada setiap kemauan-kemauan atau dorongan-dorongan dosa yang muncul dari diri kita. Kemampuan kita mengatakan “No!” terhadap dosa, itulah yang disebut kebebasan. Kebebasan sejati itu bukan kita bebas untuk melakukan dosa. Tidak. Kebebasan sejati bukan kita bebas untuk menikmati nafsu kedagingan kita. Bukan. Tetapi kebebasan sejati, ketika kita bisa berkata tidak kepada satu keinginan, dorongan kita yang melawan kebenaran Firman Tuhan.
Nah, di situlah kita diingatkan. Karena Tuhan sudah berkarya sedemikian besar, maka dikatakan, “Demi kemurahan Allah, karena itu saudara-saudara.” Indah sekali Paulus menyebut jemaat di Roma sebagai saudara-saudara. Saudara dalam Kristus. Ya, kata “saudara” kalau dalam bahasa Indonesia indah sekali. Sedarah. “Karena itu, engkau-engkau, orang-orang yang sama-sama kita ditebus oleh darah Kristus. Maka engkau sedarah dengan aku bukan karena darah dari keturunan manusia, tapi karena engkau dan aku sama-sama ditebus oleh darah Kristus. Engkau dan aku percaya kepada Yesus Kristus. Maka dengan itulah aku menasihatkan kepada kamu. Demi kemurahan Allah.” Dikatakan, setelah dikatakan “Saudara-saudara, demi kemurahan Allah.” Di dalam bahasa Inggrisnya indah sekali, “By the mercies of God” By the mercies. Mercies, pengampunan-pengampunan. Bukan hanya pengampunan 1 kali, tapi pengampunan-pengampunan. Pengampunan apa? Kalau kita ingat, coba tengok hidup kita dari sejak kita mungkin kecil, berapa banyak hal-hal yang seringkali menyakiti hati Tuhan? Berapa banyak kebohongan-kebohongan yang keluar dari mulut kita? Berapa banyak kelicikan-kelicikan yang keluar dari pikiran-pikiran kita? Lalu setiap kali kita salah, kita minta ampun kepada Tuhan. Setelah minta ampun, kita lagi melakukan kesalahan-kesalahan. Jatuh kembali ke dalam dosa, lalu minta ampun. Berkali-kali pengampunan itu kita layangkan kepada Tuhan. Tetapi berkali-kali Tuhan itu beri pengampunan kepada kita. Dan jangan pikir, pengampunan kita yang kita selalu kita minta kepada Tuhan, mungkin pada waktu setiap Minggu kita mengucapkan Doa Bapa kami, “Ampunilah kami Tuhan”, lalu sehari kita sadar, “O, tadi pagi saya ada bohong.” Malam kita doa, “Ampuni saya Tuhan.” Kita dalam 1 hari itu sadar 1 bohong sekali. Tapi betulkah dosa-dosa kita hanya kita sadari cuma sekali? Tidak! Betulkah kita hanya sadari bahwa pengampunan kita yang kita anggap, “Oh tadi pagi saya bohong, saya minta pengampunan dosa untuk kebohongan saya.” Apakah itu saja? Tidak! Terlalu banyak yang kalau kita jentret ya, kita list, itu jauh lebih besar daripada yang kita sadari. Dan waktu kita menyadarinya, ternyata jauh lebih banyak pengampunan Tuhan jauh lebih besar lagi. Bahkan Dia sudah menyatakan pengorbanan-Nya di atas kayu salib. Dari pengorbanan-Nya itu sudah menunjukkan pengampunan-pengampunan dari setiap hidup kita yang dari sejak, mungkin kita belum sadari sampai sekarang itu sudah ditebus oleh Tuhan.
Bapak, Ibu, Saudara, waktu kita menyadari hal ini, kita mungkin diingatkan, Bapak, Ibu, Saudara yang punya anak ya, saya juga punya anak, maka berkali-kali anak itu, misalkan, kurang ajar, lalu setelah kurang ajar dia, “Pa, minta maaf pa.” “Ya, papa maafkan.” Terus, “Pa, minta maaf.” Sekali lagi kurang ajar, lalu minta maaf, “Ya, Papa maafkan.” Tapi ketika dia mengatakan, “Pa, minta maaf.” Hanya kepada hal-hal yang mungkin membuat saya marah, membuat mamahnya marah, tetapi berapa banyak yang dia tidak sadari, berapa banyak yang dia merasa bahwa hidupnya itu harus dilayani terus. Pulang sekolah, buka baju, main lempar, “Eh, tunggu dulu. Kamu pikir nanti siapa yang cuci itu?” Gitu ya. Habis makan tinggal taruh piring, seolah-olah, “Tolong dong yang di rumah cuciin ini ya.” Kalau yang ada Papa, Mama, ya tanpa sadar ya, “Pa, Ma, cuciin ini.” Itu adalah hal-hal yang kita sebagai orang tua mungkin, aduh bagaimana ya mendidik anak ini untuk semakin dia mengerti, hidup mandiri. Dan itu perlu kesabaran bukan? Dan waktu mereka melakukan hal-hal yang kecil-kecil yang mereka tidak sadari sebagai sebuah kesalahan, belum lagi kalau nanti tuduh-tuduhannya mengatakan, kita misalkan janji, “Ayo besok keluar ya.” Terus ternyata kita ada tugas yang mengharuskan kita membatalkan, langsung tuduhannya, “Wah Papa bohong! Bohong! Bohong!” Gitu ya, seolah-olah kaya kebohongan yang seluruh hidupnya itu tertimpa pada saat itu.
Bapak, Ibu, Saudara, ketika seorang anak, mungkin, di hadapan kita betapa kurang ajarnya, tapi sebagai orang tua, mungkinkah kita, orang tua yang mengasihinya, langsung membuang dia? “Oh, anak kurang ajar kamu. Nggak pantes kamu!” Dipateni. Nggak kan ya. Pasti kita juga harus kasihi, kita sayangi dia. Walaupun, bagaimana pun beratnya, kita berusaha didik dia apalagi kalau masih anak remaja. Kalau remaja tentu kita tetap didik dia, tanamkan prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan yang terus menerus supaya menjadi fondasi dalam hidupnya. Saya pernah suatu kali lihat di sebuah mall ada seorang anak itu main game, yang dance, pakai kaki di tapak-tapak, sambil dance. Anak laki-laki, usia kurang lebih sekitar 7-8 tahun. Begitu selesai, dia itu teriak-teriak, maki-maki mamahnya, “Mah mau habis ini, cepetan isi. Cepetan!” Oh saya nggak jauh dari situ, itu rasanya pengen tempeleng anak itu. Tapi bukan anak saya, begitu kan. Tapi kurang ajarnya luar biasa. Mamahnya juga begitu, “Iya nak, sebentar-sebentar.” Dia beliin koin lagi. “Cepetan Ma!” Dia masukkin koin. Aduh. Ini siapa diperintah siapa begitu ya. Ini dari anak dari usia 7-8 tahun aja sudah bisa menjadi raja atas orang tuanya. Luar biasa. Dan hal itu yang tidak disadari dan orang tua yang sangat sayang kepada anak yang imut-imut ini, akan tanpa sadar terus memanjakan. Maka hati-hati kita mendidik anak di dalam Tuhan itu antara kasih dan keadilan itu harus imbang. Harus imbang itu apa maksudnya? Harus imbang antara rotan dengan cinta kasih. Harus imbang antara kemarahan yang harusnya mencerminkan kemarahan Tuhan, kemarahan yang kudus dan membedakan dengan kemarahan yang hanya emosi diri kita sendiri.
Bapak, Ibu, Saudara, Tuhan sudah mengatakan demi kemurahan Tuhan, kemurahan Tuhan yang kita melakukan berbagai macam dosa. Tuhan seolah-olah dengan sabar-Nya Dia tunggu, tunggu, tunggu dan Dia memberikan pengampunan, “Ya nggak apa-apa.” Seperti kaya gambaran orang-orang di Jogja kira-kira ya, Tuhan kita itu kaya sabar sekali begitu ya. Waduh, sabar sekali kita mungkin yang melihat orang-orang yang seperti itu, melakukan perlawanan kepada Tuhan kita yang nggak sabar, kita yang gregetan, kita yang “Aduh kenapa manusia itu demikian rusaknya!” Tapi Tuhan dengan begitu sabar kepada kita. Nah itulah Paulus mengatakan, “Demi kemurahan Allah maka aku menasihatkan kamu”, “I beseech”. Arti kata menasihatkan itu dalam bahasa aslinya kata “parakaleo”. Kita diingatkan kepada Parakletos, kepada Pribadi Roh Kudus. Ada nasihat ketika Rasul Paulus mengatakan, “Aku menasihatkan kamu” itu ada unsur dia menguatkan, dia dengan cinta kasih merindukan ada sebuah perubahan, satu pengertian kepada jemaat-jemaat di Roma dan juga ada unsur penghiburan di dalamnya. Maka dengan kerinduan yang ada di dalamnya inilah Paulus menuliskan surat ini. Dan dia mengingatkan itu juga ya, mengingatkan melalui tulisan Kitab Roma. Dan ketika, Bapak, Ibu, Saudara, tulisan-tulisan Paulus pada waktu dikhotbahkan, khotbah dari apa yang disampaikan oleh Rasul Paulus ini pun juga merupakan sebuah nasihat ketika hamba-hamba Tuhan itu menyampaikan Firman dengan satu passion, apa yang sebenarnya dirindukan. Bukan hanya sekedar hamba Tuhan seperti pendeta-pendeta, gembala-gembala, bukan hanya sekedar tugasnya ngomong-ngomong tok. Bukan! Tapi ada sebuah passion, supaya apa yang dipahami, supaya apa yang Roh Kudus sudah wahyukan melalui Kitab Suci, itu juga dihidupi oleh umat Tuhan. Ketika umat Tuhan bisa menghidupi Firman maka itu adalah sukacita dari Tuhan sendiri. Sukacita dari Tuhan adalah sukacita umat-umat Tuhan juga. Maka nasihat kalau muncul tulus dari seorang hamba Tuhan yang sejati, hamba Tuhan yang sungguh-sungguh merindukan satu jemaatnya bertumbuh, maka bukan sekedar menyenangkan jemaatnya saja, tapi mungkin itu juga teguran-teguran yang begitu keras yang harus disampaikan kepada jemaatnya.
Maka ketika Rasul Paulus mengatakan hal ini, dia mengatakan demikian, “supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ibadah yang sejati itu adalah mempersembahkan tubuh yang hidup, yang kudus dan berkenan. Dan di sini kita melihat ada satu kelimpahan. Ibadah itu mungkin banyak orang-orang Kristen yang menganggap, “Oh saya ibadah itu kalau saya datang ke gereja, hari Minggu itu ibadah namanya. Kalau bukan ke gereja itu namanya nggak ibadah lagi.” Itu sebuah konsep yang keliru sekali. Tidak demikian konsep ibadah menurut Firman Tuhan. Kalau kita lihat itu adalah ibadahmu yang sejati, di dalam bahasa aslinya dikatakan “logikos latreia” atau dalam terjemahan bahasa Inggris itu “reasonable service”, sebuah pelayanan jasa yang reasonable, beralasan kira-kira ya. Hal ini mengingatkan kepada kita, biasanya pelayanan jasa itu dilakukan seperti apa sih? Pelayanan jasa itu dilakukan adalah misalkan kalau di hotel-hotel, untuk melayani siapa? Dari pelayan-pelayan hotel kepada tamu-tamu yang dianggap sebagai customer-customer yang punya uang, untuk mereka nginap supaya melalui uang yang diberikan customer itu bisa menghidupi seluruh karyawannya.
Nah reasonable service ini sering kali tanpa sadar justru dihidupi dengan tidak memiliki tujuan kepada siapa yang dilayani bagi banyak orang. Kenapa? Maksudnya apa? Maksudnya adalah ketika seseorang melayani, Saudara sering kali kalau kita dikatakan melayani ya, melayani itu sebenarnya siapa yang kita layani? Mungkin kita berpikir, “Oh ya Tuhan Pak.” Betulkah Tuhan yang kita layani? Lebih kita layani siapa, Tuhan atau diri kita? Kita lebih banyak melayani siapa sebenarnya? Melayani Tuhan atau melayani diri kita? Melayani diri kita yang sebenarnya diri kita ini adalah Tuhannya. Melayani kesenangan diri, melayani kepuasan diri, melayani ambisi diri, melayani kebutuhan diri, dan semuanya diri. Maka kalau kita sadar, tanpa sadar, sadar atau pun kita tidak sadar, lebih banyak kita itu melayani diri kita dibanding melayani Tuhan. Tanpa sadar kita memisahkan antara, “Oh melayani Tuhan itu kalau saya aktifitasnya terlibat di dalam kegiatan-kegiatan gereja. Misalkan ibadah saya berbagian dalam pelayanan, lalu dalam persekutuan doa. Oh kalau sudah keluar itu adalah kehidupan saya sendiri dan bersama dengan keluarga. Nah kalau pun saya sudah mengerti bahwa kehidupan saya dengan keluarga ini pun juga adalah pelayanan bukan pak?” Ya betul pelayanan. Tapi sebenarnya siapa yang lebih Saudara utamakan? Apakah diri dan keluarga, kesenangan diri dan keluarga? Kalau diri dan keluarga misalkan kita ada jadwal pelayanan harus melayani Tuhan, pas kita juga ada acara bersama keluarga, maka siapa yang biasa kita utamakan? “Ah saya ada acara keluarga pak, saya nggak bisa ikut karena ada acara keluarga. Saya nggak bisa berdoa karena ada acara keluarga.” Jadi sebenarnya siapa yang kita layani? “Saya nggak bisa datang ke gereja karena ada acara keluarga.” Maka sebenarnya prioritas kita siapa?
Saya masih ingat ketika masih mahasiswa dulu dalam persekutuan mahasiswa sering kali kita ditanyakan, “Ayo prioritasmu bagaimana?” Pada saat itu saya diajari, “Prioritas pertama itu harus Tuhan. Oh ya dong, Tuhan. Setelah Tuhan, ingat, keluarga. Terus pekerjaan Tuhan.” Nah Tuhan, keluarga, pekerjaan Tuhan. Ini pada waktu itu saya diajarin. Lalu setelah terus menerus merenungkan Firman Tuhan, kalau saya mengutamakan Tuhan, apakah berarti saya memisahkan dari keluarga? Keluarga ini sebenarnya apa? Kalau pun misalkan saya memprioritaskan kalau Tuhan itu berarti diri saya, lalu keluarga bersama dengan keluarga saya, lalu pekerjaan Tuhan bersama dengan orang-orang gereja. Nah kalau gini berarti kita meng-ordo-kan dong? Kita masih memisah-misahkan. Memisah-misahkan Tuhan dan pekerjaan-Nya. Nangkap ya? Jadi kalau begitu seharusnya bagaimana? Waktu kita memprioritaskan Tuhan, seharusnya Tuhan dan pekerjaan-Nya ini menyatu, menjadi satu. Nah kalau Tuhan dan pekerjaan-Nya jadi satu, karena Tuhan dan pekerjaan-Nya itu tidak pernah bisa dipisahkan. Tuhan dan pekerjaan-Nya itu meliputi pada saat engkau dan saya diberi kesempatan berkeluarga, itu pun juga termasuk di dalam pekerjaan-Nya yang menginginkan engkau dan keluargamu melayani Dia. Ya sekali lagi ya, waktu kita memahami bahwa Tuhan dan pekerjaan-Nya itu adalah sekaligus menyatukan bahwa keluarga engkau itu adalah keluarga yang berasal dari Allah dan Allah ingin supaya melalui engkau dan keluargamu, melalui keluargamu melayani Dia, maka di sinilah kita memahami Tuhan kalau menjadi prioritas itu harusnya segala-galanya, harusnya yang diutamakan. Nah kalau kita sadar Tuhan yang diutamakan, maka seharusnya kita juga mengajak keluarga kita untuk bisa bersama-sama melibatkan diri di dalam pekerjaan Tuhan. Inilah konsep yang justru diangkat oleh Alkitab, dinyatakan kepada kita supaya kita tidak terpecah-pecah dalam kehidupan kita.
Maka waktu Rasul Paulus memberikan satu prinsip tentang ibadah yang sejati, itu adalah melalui persembahkanlah tubuhmu. Saudara, persembahkanlah tubuhmu, ini satu konsep yang besar sekali. Konsep mempersembahkan tubuh, ini adalah konsep yang sebenarnya satu-satunya muncul, apalagi dikatakan sebagai living sacrifice, sebagai korban hidup, ini hanya satu-satunya muncul di dalam kitab Roma ini. Mempersembahkan tubuh. Konsep persembahan sendiri itu sebenarnya bagaimana? Jelas mempersembahkan tubuh, mempersembahkan diri, itu menjadi sebuah terobosan pada saat itu. Apalagi ketika Rasul Paulus menuliskan dalam konteks filosofi Grika yang pada saat itu banyak sekali persembahan itu yang ditujukan kepada siapa? Kepada dewa. Tujuannya untuk apa? Untuk menyenangkan dewa. Lalu persembahan itu berupa apa? Berupa binatang. Binatang yang bagaimana? Binatang yang sempurna, yang tidak bercacat. Supaya apa? Supaya dewa itu senang. Konsep memberikan persembahan dari binatang kepada dewa supaya dewa itu senang itu menjadi konsep turun temurun bagi masyarakat-masyarakat kuno pada saat itu.
Bapak, Ibu, Saudara, sehingga ada juga kebudayaan-kebudayaan yang sampai memberikan persembahan, kalau kita tadi ingat Bapak, Ibu, Saudara, ingat apa yang saya ceritakan di awal, konsep-konsep mempersembahkan itu karena rasa takut. Ketika rasa takut maka, “Kalau begitu persembahanku mempersembahkan binatang, kurang.” Ada yang bilang kurang. Kalau begitu bagaimana? Nyawa. Konsep ini kan sering terjadi ke dalam masyarakat Jawa kuno kan. Misalkan di Jogja, Parangtritis, melarung persembahan sesajen untuk penguasa pantai Selatan. Kenapa? Takut kalau nanti hasil panennya tidak pernah muncul karena laut diombang-ambingkan terus, bencana terjadi di mana-mana. Maka itulah akhirnya konsep persembahan itu adalah konsep mempersembahkan yang bukan dari dirinya. Termasuk kalau kurang persembahan yang misalkan tumpengan dengan harga yang mahal itu kurang, apa? Zaman dulu pernah anak sulung itu dikorbankan. Nah Bapak, Ibu, Saudara, konsep-konsep persembahan tumbal itu mungkin sudah tidak asing lagi buat Bapak, Ibu, Saudara, sehingga mereka-mereka yang mencari pesugihan, yang konon katanya dari tempat-tempat yang dipercaya itu bisa memberikan pesugihan maka tumbalnya sering kali adalah ada korban bukan? Ada korban jiwa, karena si jahat juga tidak mau rugi. Setan nggak mau rugi Saudara, “Kamu mau tak kasih? Ya sudah, ayo berikan dong nyawa, jangan hanya persembahan. Masa persembahan hanya daging bebek, daging ayam. Nggak ada apa-apanya itu. Nyawa orang dong. Nyawa orang, berapa? 50. Satu per satu, masing-masing setiap tahun satu ya.” Saudara konsep ini adalah konsep peperangan kosmik yang sebenarnya yang ada di balik peperangan rohani yang kita sedang hadapi Saudara.
Maka konsep persembahan inilah yang sebenarnya pada zaman-zaman kuno, orang-orang Yahudi pun juga tidak pernah memahami konsep yang sebenarnya ingin Tuhan hadirkan. Apa yang Tuhan ingin hadirkan? Waktu Tuhan mengharapkan engkau mempersembahkan hewan-hewan yang sempurna, yang tidak bercacat, apalagi orang Israel sudah hafal sekali ya korban-korban yang di kitab Imamat itu. Korban itu harus tidak bercacat, harus sempurna, usia harus genap satu tahun, dan sebagainya. Maka dalam kesempurnaan itu sebenarnya prinsip apa yang Tuhan ingin sampaikan kepada mereka? Sampai nanti, sampai ketika Kristus datang, maka di sinilah konsep persembahan itu mulai Tuhan bukakan secara nyata. Dan itu nyata sekali bagaimana? Kristus mempersembahkan diri-Nya kepada Bapa melalui Roh Kudus. Perhatikan, Kristus, Dia melalui pimpinan Roh Kudus, tuntunan Roh Kudus akhirnya menyerahkan diri-Nya sendiri kepada Bapa. Ini sebenarnya konsep yang akhirnya hendak dinyatakan kepada orang-orang percaya. Kehadiran Kristus, Dia datang dari Allah. Waktu Dia datang dari Allah, Maria dikandung dari Roh Kudus. Lalu ke masa kecil, Tuhan Yesus dipimpin oleh Roh Kudus sampai ketika Dia mau memasuki masa pelayanan-Nya, Dia diteguhkan oleh Bapa dan juga oleh Roh Kudus sendiri bahwa Dialah anak tunggal Allah yang dikasihi. Bapa mengatakan, “Engkaulah anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mu lah Aku berkenan.” Berkenan untuk apa? Untuk menjalankan sebuah tanggung jawab dalam sebuah proses rencana penyelamatan.
Maka seluruh rencana penyelamatan itu, persiapan untuk Dia hidup sempurna dan tidak berdosa itu secara manusia, itu dipimpin oleh Roh Kudus. Sampai ketika Dia dicobai, Roh Kudus lah yang membawa Dia untuk dicobai oleh setan. Sampai ketika Dia di kayu salib juga semua adalah melalui Roh Kudus. Sampai di salib, apa yang menjadi puncak dari persembahan adalah Dia sendiri yang menyerahkan, “Bapa ke dalam tangan-Mu, Kuserahkan nyawa-Ku.” Bukan orang-orang Romawi yang menyerahkan Yesus kepada Bapa, bukan orang-orang Yahudi, bukan imam-imam kepala yang mempersembahkan Yesus kepada Bapa. Tetapi Yesus sendiri yang mempersembahkan diri-Nya kepada Bapa melalui Roh Kudus. Untuk apa? Untuk Saudara dan saya dimampukan, kita juga mengerti tentang persembahan yang benar. Dari sini kita akan diingatkan bahwa persembahan, persembahan itu sebenarnya dari Allah, melalui Allah dan kembali kepada Allah. Konsep persembahan ini juga kita kaitkan, Soli Deo Gloria tadi, dari Allah, melalui Allah dan untuk Allah. Dari Dia, melalui Dia dan untuk Dia.
Waktu kita memahami konsep persembahan dengan konsep Soli Deo Gloria, hal ini diteguhkan, coba kita buka Ibrani 9:14, perhatikan kalimat itu, Ibrani 9:14 dikatakan, “betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup.” Inilah seharusnya konsep persembahan Saudara. Kalau kita sadar konsep persembahan, maka ketika Rasul Paulus mengatakan, “Persembahkanlah tubuhmu.” Nah, pertanyaannya mengapa tubuh? Apa yang unik dari tubuh? Saudara kita mesti ingat bahwa tubuh kita, yang pertama itu adalah gambar rupa Allah. Apa maksudnya gambar rupa Allah? Kejadian 1:28, gambar rupa Allah itu adalah gambar Allah sendiri dinyatakan kepada ciptaan-Nya. Maksudnya apa? Kalau misalkan dari kerajaan-kerajaan sering kali orang pada saat itu tidak mengerti siapa sih penguasanya, penguasa tempat wilayah saya hidup ini siapa. Sama seperti dulu saya waktu ke Wamena ya, saya sempat ke Wamena, terus ngobrol-ngobrol sama mama-mama Wamena itu, “Ibu tau presiden kita ya?” “Nggak tau.” “Ini lho bu.” “Nggak tau. Nggak tau saya.” Gitu ya. Begitu ditunjukkan fotonya, “Nggak tau. Wes aku hidup ini pokok e jualan di pasar ya sudahlah, pokok e begitu.” Begitu presiden itu datang ke Wamena, terus ketemu sama mama-mama, baru mereka sadar, “Oh ini to, yang jadi presiden.” Nah tapi sebelum pak Jokowi waktu itu datang, cuma ada gambarnya saja. Ini lho fotonya pak Jokowi, gambar ini lho. Nah demikian juga Tuhan. Tuhan waktu penguasa-penguasa dulu ya, masyarakat nggak tahu rajamu siapa. Maka kenapa masyarakat dulu itu membuat patung yang menjadi wujud raja. Atau di koin-koin itu selalu ada gambar kaisar. Kenapa? Supaya masyarakatnya tau, “Oh dia lah penguasa wilayah tempat aku tinggal. Aku harus tunduk, taat kepada sang penguasa.”
Nah bagaimana dengan kita? Nah Allah kan tidak kelihatan. Justru karena Allah tidak kelihatan, yang menciptakan engkau dan saya sebagai gambar rupa Allah yang ada di dalam dunia ciptaan yang kelihatan ini. Supaya engkau dan saya itu menyatakan kehidupan Allah di dalam dunia ini. Kita yang adalah gambar rupa Allah yang seharusnya sadar bahwa kita mewakili Allah di dalam dunia ini. Kenapa kita mempersembahkan tubuh kita, kenapa tubuh yang dijadikan dorongan untuk dipersembahkan kepada Allah? Karena tubuh kita ini adalah gambar rupa Allah, yang pertama. Yang kedua karena tubuh kita ini sudah dibeli oleh Allah, dibeli dengan darah yang mahal bukan dengan emas perak tapi dengan darah Kristus yang mahal. Dalam 1 Petrus 1:18-19, kita sudah dibeli lunas sehingga kita bukan milik kita lagi. Saudara dan saya bukan milik kita sendiri, kita adalah milik Tuhan. “Aku milik Tuhan, slama-lamanya” satu lagu yang indah sekali. Galatia 2:20, hidupku bukan aku lagi tapi Kristus yang hidup dalamku. Itulah kenapa tubuh saya harus saya persembahkan. Lalu tubuh saya kalau bukan milik saya, tubuh saya yang adalah gambar dan rupa Allah, tubuh saya yang sudah dibeli lunas, maka tubuh saya itu adalah kediaman Roh Kudus. 1 Kor. 6, tubuh saya itu adalah kediaman Roh Kudus, itulah kenapa tubuh saya yang harus saya persembahkan kepada Allah. Menjadi persembahan yang bagaiamana? Menjadi persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada-Nya. Hidup persembahan yang hidup, living sacrifice.
Bapak, Ibu, Saudara, hidup untuk Tuhan dengan mati untuk Tuhan itu mana lebih gampang? Mati untuk Tuhan atau hidup untuk Tuhan, mana lebih mudah? Mana kira-kira? “Saya mau mati untuk Tuhan.” Dorr. Nggak ya. Mati untuk Tuhan, jadi martir. Setelah jadi martir, paling ditangkap lalu diburu sama radikalis. Selesai. Waduh, nama saya tersebar ke mana-mana, saya sudah mati untuk Tuhan. Mati untuk Tuhan dengan hidup untuk Tuhan mana lebih mudah? Bapak, Ibu, Saudara, dua-duanya nggak mudah lho. Kita mungkin jangan GR ya, “Waduh aku nggak mau mati untuk Tuhan pak, aku masih takut mati dibunuh sama radikal.” Jangan GR dulu, kalau orang nggak dapat anugerah untuk jadi martir nggak akan jadi martir kok Saudara. Waduh untung kalau gitu. Tapi kalau jadi martir, Tuhan pasti kasi kekuatan. Begitu ya. Tuhan anugerahkan seseorang jadi martir, Tuhan yang pasti akan memberikan kekuatan. Orang mati untuk Tuhan dia pasti akan mendapatkan siksaan, dia harus mempertahankan iman. Seperti kekristenan mula-mula, mereka harus rela untuk menyatakan iman kepada Kristus lalu dibakar di tengah-tengah lapangan, disaksikan oleh banyak orang. Diadu dengan binatang-binatang buas, menjadi umpan singa-singa lapar, mereka mempertahankan iman kepada Yesus Kristus. Mereka mau mati untuk Tuhan. Pergumulan mereka bukan mudah, tetapi lebih berat mana jika mereka akhirnya harus hidup begitu lama tapi untuk Tuhan?
Nah Saudara, saya ingat Pak Tong juga mengilustrasikan hal ini, ketika dikatakan kalau misalkan mau hidup, “Oh mati untuk Tuhan cuma dibelah, atau ditembak sama extreme selesai.” Tapi kalau misalkan harus hidup 50 tahun lagi, hidup 50 tahun lagi dalam sebuah tugas di tempat-tempat yang sulit, kira-kira mau nggak? Hidup untuk Tuhan dengan jangka waktu yang panjang, harus melalui pergumulan-pergumulan hidup, kesulitan-kesulitan hidup. Belum lagi hidup untuk Tuhan itu tidak seperti apa kata-kata banyak konsep-konsep dalam karismatik, “Ikut Tuhan Yesus itu pasti hidupnya berhasil, pasti hidupnya selalu sukses.” Itu ajaran ngawur sekali, ajaran yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Justru mengikut Kristus harus rela pikul salib. Tapi kalau pikul salibnya 50 tahun lagi, kira-kira masih sanggup apa nggak? Maka dua-duanya, baik hidup, baik mati untuk Tuhan, maupun hidup untuk Tuhan itu bukan hal yang sama-sama mudah, tapi sama-sama sulit.
Namun waktu kita masih hidup, kalau kita ingat Rasul Paulus katakan, bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan, maka sadar nggak waktu kita masih hidup maka bagaimana kita mempersembahkan hidup untuk Tuhan? Ya sadarilah bahwa hidup kita, keseluruhan hidup kita itu adalah pelayanan. Keseluruhan hidup kita itu sama artinya dengan kita melayani Tuhan. Tadi sudah saya sampaikan melayani Tuhan bukan terkunci di satu tempat-tempat di gereja saja atau di mana saja, tapi hidup setiap hari itu melayani Tuhan. Hidup setiap hari itu untuk Tuhan. Sehingga bagaimana kita menyadari hidup setiap hari untuk Tuhan, kita sendiri yang perlu menyadari, saat kita di rumah, apakah ketika kita bangun pagi, apakah aktifitas sepanjang hari itu kita sudah persembahkan untuk Tuhan? Apakah ketika bangun pagi lalu apakah kita mungkin sudah langsung terpaku kepada handphone begitu, apakah itu melayani Tuhan? Nah ini menjadi pertanyaan-pertanyaan. Ataukah kita waktu bangun pagi sudah sibuk di dapur atau sibuk untuk ngurusi rumah tangga, apakah itu kita sedang melayani Tuhan? bagaimana prioritas dalam aktifitas keseharian kita? Kita mesti sadar bagaimana semua itu adalah sebuah pelayanan. Mana yang Saudara prioritaskan untuk Tuhan.
Lalu, ini kalau dibahas panjang sekali pasti, living sacrifice. Belum lagi hidup suci, yang suci, yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan. Yang kudus ini bicara bagaimana proses yang Tuhan telah anugerahkan kepada kita melalui pembenaran yang Tuhan berikan, yang Tuhan sudah declare, itu mendorong kita untuk terus mengerjakan keselamatan. Jadi sebenarnya sebuah tindakan pengudusan diri itu tindakan pasif atau aktif? Dua-duanya. Kita tidak bisa hidup berusaha untuk suci dengan kekuatan kita sendiri. Tidak bisa. Tapi kalau kita sadar bahwa kita sudah dibenarkan, waktu kita dibenarkan kita sadar, “Lho tubuh saya masih tubuh daging, saya harus berjuang dalam hidup saya, berjuang untuk saya hidup terus suci. Bagaimana?” Kembali, pertobatan setiap hari. Pertobatan apa? Pertobatan dari motif hati kita. Bagaimana motif hati kita? Setiap kali kita berelasi dengan siapa pun, apakah motif kita itu motif jujur, motif tulus, ataukah motif yang berliku-liku? Lalu bagaimana dengan pikiran kita? Apakah pikiran kita itu juga sudah menjadi pikiran yang sebenarnya suci? Kita bisa mengendalikan diri tentu bukan dengan kekuatan kita, tapi kalau kita sadar bahwa saya sudah dibenarkan, saya sudah ditebus, saya menjadi milik Kristus, maka kita lah yang bisa mengendalikan diri kita dengan kekuatan dari Tuhan.
Contoh yang sederhana, ketika seseorang, misalkan, laki-laki lagi lihat media sosial. Lihat-lihat, buka-buka media sosial, banyak sekali pop-up, pop-up yang muncul. Begitu pop-up muncul ada gambaran-gambaran yang mungkin itu secara pandangan mata merangsang nafsu. Pilihan tetap ada di kita, apakah saya, istilahnya orang Jawa bilang, mentelengin, begitu ya. Mentelengin atau saya men-skip. Itu semua ada di kita. Dan bagaimana kita mengkaitkan Tuhan, Engkau sudah menebus mata saya, apakah mata saya saya pakai untuk menikmati nafsu saya seperti ini? Itu yang bisa menjawab tentu Saudara sendiri, yang bisa menjawab kita sendiri. Waktu, misalkan, kita mau meluapkan emosi kita, kita mungkin marah, jengkel sama kolega, sama kolega bisnis, sama teman, sama siapa saja, sama anak, atau sama pasangan. Waktu kita marah apakah kemarahan kita itu adalah sebuah cermin kemarahan untuk menegakkan kebenaran yang sesuai prinsip Alkitab? Atau kemarahan gara-gara emosi? Misalkan ketika sebagai seorang ayah, ya saya pernah marah karena emosi, karena diri saya. Misalkan lagi belajar, lagi persiapan, diganggu sama anak, apa nggak marah begitu ya? Tapi kadang-kadang ya namanya cari alasan, “Kamu tahu nggak, Papa ini lagi persiapan untuk Firman.” Misalkan ya, sudah marah karena terganggu, masih cari backing-backing Firman lagi.
Nah Bapak, Ibu, Saudara, waktu kita emosi, kita marah, apakah kemarahan kita itu karena semata-mata hanya karena egoisme kita sendiri? Ataukah kita mau menegakkan kebenaran Firman? Nah itu kalau kita menyadari tentang emosi kita. Lalu misalkan untuk hobi-hobi kita, tidak salah kita punya hobi. Tapi ketika kita punya hobi, apakah hobi itu membuat kita disadarkan bahwa apakah hobi ini adalah hobi yang membawa aku, misalkan, hidup tetap suci di hadapan Tuhan? Ataukah tanpa sadar nanti menyeret aku ke arah yang jauh lebih rusak? Misalkan kalau hobinya kumpul sama teman-teman di lingkungan rumah, ya mungkin alasan pertama, “Ya nggak apa-apa, saya kan nanti bisa jadi berkat Pak.” Sekali, 2x nggak apa-apa. 3x, 4x, 5x, semakin keterusan, maka jangan kita sombong, karena kekuatan kita dibandingkan dengan kekuatan komunitas sering kali kita yang banyak sekali melebur ke komunitas. Kecuali dari awal kita sudah menyatakan sebuah statement, tapi kalau kita maunya mempengaruhi mereka, malah kebalik, kita yang terpengaruh karena mereka. Akhirnya kita tidak bisa menjaga kesucian hidup kita. Mungkin dari kata-kata, dari omongan-omongan, mereka misalkan sudah terbiasa dengan kata-kata, orang Jawa bilang, misuh-misuh begitu, yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari tanpa sadar akhirnya kita ikut-ikutan. Hal-hal seperti ini kita perlu benar-benar hati-hati dan waspadai.
Lalu bagaimana kita tidak cukup menghindarkan diri dari hal pergaulan, tetapi kita melibatkan diri juga. Melibatkan dalam persekutuan-persekutuan, dalam persekutuan doa kita setia untuk terus menyediakan telinga untuk mendengarkan Firman Tuhan, setia untuk sekarang media sudah begitu banyak untuk kita bisa menikmati kelimpahan Firman Tuhan bukan? Kita juga bisa melibatkan diri dalam pekerjaan Tuhan untuk pelayanan-pelayanan, misalkan KKR yang nanti di Wonosari. Libatkan diri Bapak, Ibu, Saudara! Libatkan, kita bisa menjadi saksi-saksi pekerjaan Tuhan di sana. Ketika gereja mendorong, mari kita bersama-sama berlutut, berdoa, libatkan diri untuk berdoa. Karena dengan doa, doa itu adalah sebuah pelayanan, pelayanan kita di hadapan Tuhan. Itu adalah satu wujud kita mau mempersembahkan diri kita, melalui apa? Untuk berdoa. “Lho pak, kita kan minta?” Doa itu bukan minta, doa itu untuk siapa sih? “Lho doa itu bukan untuk kita?” Bukan. Doa itu untuk Tuhan. Lho maksudnya bagaimana? Kita berdoa sebenarnya hanya untuk belajar peka kehendak Tuhan, supaya kita ditarik untuk memahami kehendak Tuhan secara komunal, secara komunitas gerejawi. Waktu kita melibatkan diri, di situ kita akan semakin belajar untuk menata hidup suci.
Dan yang terakhir, bagaimana kita hidup menyenangkan Tuhan, hidup yang membuat hati Tuhan senang bukan menyenangkan diri tapi hidup menyenangkan Tuhan. Itu bisa diawali dari kesadaran kita, apakah dari kata-kata kita, dari pikiran kita itu menyenangkan Tuhan atau tidak. Apakah dari tindakan kita itu membuat hati Tuhan mengatakan, “well done!” Ataukah sebenarnya membuat Tuhan masih sedih, masih geram melihat kita? Bapak, Ibu, Saudara, sering kali ketika kita sebagai orang-orang, misalkan yang sudah belajar teologi reformed, banyak hal-hal yang kita perlu terus menerus direformasi, sesuai dengan moto dari gereja reformasi, “Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei”, “Gereja Reformed yang harus selalu direformasi berdasarkan Firman Tuhan” itu jangan pernah lepas dari kita. Kalau kita menamakan diri orang reformed, reformed itu seperti apa sih? Apakah reformed itu hanya kita karena bendera GRII lalu kita bisa dikatakan arogan dengan semaunya? Tidak. Tapi bagaimana kita juga tetap memiliki hati yang mau merangkul bagi mereka-mereka yang mungkin dari gereja yang belum kenal Kristus. Kita ajak mereka, “Yuk sama-sama kita belajar.” Hati yang penuh kasih itulah yang sebenarnya perlu menjadi satu pola bagi orang-orang yang menyediakan diri untuk terus menerus direformasi.
Orang yang sudah menyediakan diri untuk terus menerus direformasi itu indah sekali. Maka kalau kita menyadari bagaimana kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah, kita akan semakin memahami, ya hidup saya saya setiap hari adalah ibadah. Hidup saya setiap hari harus menyenangkan Tuhan yang saya pertuan. Hidup saya setiap hari harus senantiasa menuntut diri untuk hidup suci karena hidupku lah persembahan untuk Tuhan sampai aku berjumpa dengan Tuhan. Kiranya apa yang boleh kita renungkan akan terus mengingatkan kita sebagai orang-orang yang sudah ditebus Tuhan. Mari kita berdoa.
Bapa di dalam Surga, kami bersyukur atas anugerah Tuhan. Melalui Firman Tuhan yang kami boleh diingatkan pada pagi hari ini, kami kembali disadarkan, ya Tuhan, bagaimana seharusnya kami hidup sebagai orang-orang percaya, bagaimana kami belajar untuk mempersembahkan tubuh kami sebagai persembahan yang hidup. Karena kami bukan milik kami, kami sudah ditebus oleh darah Kristus. Kami yang adalah gambar rupa Allah, hidup hanya untuk memuliakan Tuhan. Kiranya tolonglah supaya hidup kami berkenan di hadapan Tuhan. Terima kasih Bapa, materaikanlah Firman-Mu kepada setiap jemaat-Mu, sehingga kehidupan jemaat-Mu makin terus bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus. Inilah ucapan syukur doa kami, yang kami peralaskan di dalam nama Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami yang hidup, kami berdoa dan bersyukur. Amin. (HSI)