Percakapan dua orang pemuda, sebut saja Samuel (S) dan Edo (E), di suatu petang.
S: Bro, gimana nih persekutuan di tempat lu?
E: Makin asik nih bro, sekarang musiknya makin keren, sering banget ngundang artis, seru coy. Jadi semangat and rame. Lu sendiri gimana?
S: Standard sih, ya gitu-gitu aja kalo musik mah. Eh eh tapi lu mesti tau kemaren ini di tempat gua dateng cewe cakep banget bro.
E: Serius lu??
S: Yee serius gw, asli. Ibarat mobil itu Lamborghini Veneno.
E: Maksud lu??
S: Cetek, tapi anggun.
E: …..
S: Ibarat karya, Rachmaninoff Prelude in G Minor.
E: Maksudnya??
S: Misterius, dan kompleks.
E: Haha bisa aja lo. Kaco bro, boleh lah bro itu buat nambah-nambah kenalan ha ha ha.
S: Iya nih bro jadi semangat gw klo ikut persekutuan. Di tempat gua kita pentingin banget tuh kebersamaan, have fun and games, biar orang-orang ga bosen.
E: Iyalah kita pemuda bro, yang kek gini nih yg diperluin biar banyak yang pada dateng.
S: Bener banget sob, banyak yang asik persekutuan sekarang, tinggal pilih.
Pemuda zaman sekarang memiliki banyak keinginan yang begitu beragam. Keinginan yang begitu beragam tersebut bertemu dengan banyaknya pilihan yang ditawarkan pada zaman ini. Alhasil hanya membuat kita menjadi bingung, apa yang harus dipilih? Tidaklah jelas. Kita mencoba memenuhi (fulfill) apa yang menjadi keinginan kita. Kita mengejarnya, bahkan memaksa untuk mendapatkannya “pokoknya tidak bisa tidak!”. Hasrat untuk mencapai keinginan tersebut bahkan sampai-sampai membawa kita untuk menghalalkan segala cara, yang penting berhasil. Sebenarnya hal ini dikarenakan suatu perasaan kurang/kosong pada diri kita yang harus dipenuhi, yang harus dicapai meskipun pemuasannya didapat dengan cara yang salah, kita tidak peduli, pokoknya harus terpuaskan. Inilah kondisi pemuda pada zaman ini.
Pemuda-pemudi zaman sekarang yang memiliki berbagai macam pilihan dalam hidup sangatlah sulit untuk dipuaskan. Begitu banyak keinginan, begitu banyak pilihan; pakaian, makanan, pekerjaan, universitas, bahkan teman, semua harus dipilih oleh kita. Kita bingung, mau memilih yang mana, semua terlihat baik bagi kita. Tetapi kalau ditanya, “Apakah yang menurutmu itu baik? Apakah harus selalu mendapat yang (dinilai diri) baik? Apa itu benar-benar baik?” Kebanyakan dari kita pasti bingung untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Seorang psikolog bernama Barry Schwartz, yang menulis buku The Paradox of Choice, melontarkan idenya mengenai pilihan. Dengan begitu beragamnya pilihan di zaman ini, hal tersebut membuatnya menjadi paradoks. Karena pilihan yang semakin banyak pada faktanya membuat orang tidak lagi bahagia dan puas (dibanding dengan orang pada zaman di mana tidak terlalu banyak pilihan). Orang jadi memiliki terlalu banyak pilihan yang harus dipilih, sehingga setelah mereka memilih, mereka menjadi ragu dan berpikir ulang apakah pilihan mereka benar? “Apakah pilihanku tidak terlalu buruk? Mungkin kalau aku pilih yang lain bisa lebih baik.” Ketika implikasi dari pilihan yang diambil tidak sesuai dengan harapan semula, kita sering berpikir untuk lebih baik tidak diberi terlalu banyak pilihan, atau kalau tidak kita menurunkan batas harapan semula supaya lebih bahagia dan puas. Mungkin inilah rahasia kepuasan yang sesungguhnya. Tetapi apakah pemikiran seperti demikian sungguh benar? Apa yang menjadi pilihanku? Apa yang harus kupilih? Apa yang harus dipilih pemuda-pemudi?
Berbicara mengenai pilihan dalam hidup, seharusnya kita juga melihat kepada kehendak Tuhan. Dan perihal pengertian kita akan kehendak Allah sangat berkaitan erat dengan pengenalan kita akan Tuhan. Mengapa banyak orang terus ingin memilih dan menentukan sendiri apa yang menjadi tujuan hidup, serta cita-cita besar yang ingin dicapainya dengan menggunakan seluruh tenaga dan kekuatan? Manusia dalam natur berdosanya ingin menjadi Allah, ingin menentukan pilihan sendiri, ingin memilih tujuan hidup sendiri. Kita selalu berpikir, “Ini baik kok.” Kalau dilihat dari mata manusia yang berdosa memang terlihat baik, tetapi bagaimana dari sisi mata Allah memandang? Apa yang Allah anggap baik dan kita anggap baik sering kali berbeda. Karena kita telah jatuh dalam dosa dan tercemar, sehingga pilihan-pilihan kita telah dicemari keinginan-keinginan yang berdosa. Pilihan kita yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, sesungguhnya menjadikan diri kita allah atas hidup kita sendiri. Dengan kata lain, kita menentukan pilihan bagi hidup kita sendiri yang bebas dari rencana kekal Sang Pencipta. Hal ini sangatlah mengerikan, dan ironisnya kita tidak sadar kebahayaan akan hal tersebut. Kita melawan Allah melalui pilihan kita. Karena itu pengenalan akan Allah yang sejati begitu penting. Melalui pengenalan akan Allah yang benar, kita dapat dengan tepat membuat pilihan-pilihan dalam hidup kita, yakni memilih apa yang menjadi rencana Allah, kehendak Allah.
Pengetahuan akan Allah Berbeda dengan Pengenalan akan Allah
Mungkin kita bisa menyenangi dan mempelajari secara mendalam tentang doktrin, theologi yang rumit, theologi sistematika, eksposisi Alkitab, apologetika, dan berbagai cara yang memperdalam pembelajaran Alkitab. Kita akhirnya tahu tentang Allah sebegitu banyak seperti theolog-theolog besar, namun juga pada saat yang bersamaan kita tidak mengenal Allah sama sekali. Atau kita dapat juga mengetahui banyak tentang kesalehan tanpa banyak mengenal-Nya. Di zaman ini kita tidak lagi kekurangan akses untuk mendapatkan buku-buku atau khotbah-khotbah tentang bagaimana cara berdoa, bersaksi, membaca Alkitab, bagaimana menuntun orang dalam Kristus, dan tentang biografi pengalaman orang Kristen yang baik di masa lalu. Bahkan karena pengetahuan yang kita miliki, kita mungkin dipercaya menggunakan pengetahuan kita untuk membantu orang Kristen lain, sehingga kita mendapat nama baik karena telah menjadi seorang pengajar dan gembala yang baik. Seseorang dapat memiliki semua ini tetapi ia tidak mengenal Allah sama sekali.
Jadi, apa itu pengenalan yang sejati? Pengenalan kita akan Allah hanya didapat melalui satu jalan, yaitu melalui Yesus Kristus. “Tidakkah engkau mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa”; “Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:9, 6). Tanpa “mengenal” Yesus Kristus dengan benar, tidak mungkin ada pengenalan akan Allah yang benar.
Masalah Personal
Akhirnya kita mengerti, bahwa mengenal Allah berarti mengenal Allah sebagai satu-satunya Allah yang benar melalui Yesus Kristus sebagai Mediator. Hal ini dapat dimengerti lebih lanjut melalui beberapa poin di bawah ini.
Pertama, mengenal Allah adalah masalah personal, seperti kita mengenal antarmanusia. Mengenal Allah adalah masalah sikap terhadap Dia pada saat Ia membuka diri-Nya kepada Anda, namun kedalaman pengetahuan kita tentang Dia bukanlah merupakan ukuran kedalaman pengenalan kita akan Dia. Pengenalan Allah yang sejati harus bersifat relasi personal yang intim, bukan hanya pengetahuan kognitif saja.
Kedua, mengenal Allah adalah masalah keterlibatan pribadi secara utuh, baik pikiran, kehendak, maupun perasaan. Jika tidak demikian, maka yang terjadi bukan sebuah hubungan pribadi yang utuh. Jika hanya sisi emosional yang ditekankan dalam pengenalan akan Allah, sudah jelas tidak benar, tetapi bukan berarti emosi diabaikan, atau salah satu aspek lainnya. Benar bahwa Allah ada bukan untuk ‘kenyamanan’ atau ‘kebahagiaan’ atau ‘kepuasan’ kita sendiri, atau bahkan untuk memberi ‘pengalaman keagamaan’ kepada kita seolah-olah pengalaman tersebut merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Tetapi kita tidak boleh kehilangan fokus tentang fakta bahwa mengenal Allah merupakan hubungan emosional, seperti halnya intelektual ataupun kehendak. Jika tidak demikian, hubungan pribadi tidak mungkin mendalam dan utuh.
Banyak orang di dalam Alkitab yang diceritakan dengan beragam perasaan ketika melihat pekerjaan Allah. Barnabas yang bersukacita ketika melihat kasih karunia Allah (Kis. 11:23), juga pemazmur yang berlinang air mata (Mzm. 119:136), dari waktu ke waktu karena melihat kemuliaan kasih Allah dan mengalami sukacita karena dikasihi Allah. Ini adalah sisi emosional dan pengalaman persahabatan dengan Allah. Pengabaian kedua sisi ini menunjukkan bahwa sekalipun pemikiran seseorang tentang Allah bisa saja benar, tetapi pengenalan yang ia miliki saat ini belum tentu sesuai dengan Allah yang sedang ia pikirkan.
Ketiga, pengenalan akan Allah merupakan masalah kasih karunia. Hal ini menyatakan relasi yang dimulai seluruhnya karena inisiatif Allah sendiri. Allah yang berinisiatif mengenal manusia dan memberikan diri-Nya dikenal. Seperti seorang tuan yang mengenal dan dikenal budaknya, tentunya ada perasaan yang bisa disadari budak tersebut bahwa dirinya tidak berhak mengenal sang tuan. Dia sadar bahwa ia hanyalah seorang bawahan. Bila kita diperkenalkan dengan seseorang yang ‘di atas’ kita, entah dalam status, kemampuan intelektual, ekonomi, atau kekudusan hidup, aspek-aspek di atas membuat kita semakin sadar akan ketidaklayakan kita dan menempatkan posisi diri sebagai yang pasif dalam memulai suatu komunikasi. Di dalam Yeremia 1:5 dikatakan bahwa “Sebelum Aku membentuk engkau (Yeremia) dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau”. “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku” (Yoh. 10:14). Kedua bagian ini mau menyatakan bahwa Tuhan sudah terlebih dahulu mengenal kita dan Ia satu-satunya pihak yang berhak serta sanggup untuk memulai komunikasi antara diri-Nya dan manusia.
Injil dan Respons (Pilihan) Kita
Bersyukur karena Allah yang terlebih dahulu berinisiatif untuk memperkenalkan diri-Nya kepada kita sehingga kita bisa mengenal Dia. Kita akan menjabarkannya dengan memakai sebuah analogi. Pada suatu kali seorang ibu bertanya kepada pendeta. “Pak, saya ingin bertanya, saya sungguh-sungguh tidak suka menginjili, saya merasa itu bukan yang harus saya kerjakan, simply karena saya tidak suka Pak, benar-benar tidak suka. Apakah kasih Tuhan menjadi berkurang pada saya?” Kemudian pendeta itu menjawab dengan jawaban yang begitu mengejutkan sang ibu, “Baik Ibu menginjili atau tidak menginjili, kasih Tuhan tetap sama.” Tidak terjadi percakapan lagi, dan keduanya pun berpisah. Esok harinya seorang pemuda yang memiliki hubungan dekat dengan ibu itu menemui sang pendeta dan bertanya, “Pak, maaf mengganggu, tapi saya sungguh ingin bertanya dan menemui langsung Bapak pendeta. Karena kemarin Bapak berbicara dengan ibu itu. Sesungguhnya, apa yang Pak pendeta katakan kepada ibu itu kemarin? Karena sampai sekarang ibu itu tidak bisa berhenti menginjili.”
Inilah inti Injil, Injil itu berita, dan bukan nasihat. Agama-agama di luar kekristenan mencoba memberikan “bagaimana cara”, menawarkan cara, dan hal itu begitu berbeda dengan Injil. Injil adalah berita yang memberi kelepasan. Berita bahwa Kristus yang telah bekerja terlebih dahulu menanggung semua dosa di salib, telah mengerjakan tuntutan yang tidak mungkin dikerjakan manusia berdosa. Jawaban pendeta itu kepada sang ibu tentulah sama sekali bukan merupakan excuse untuk seseorang kemudian berpikir, “Oh, kalau kasih Tuhan sama, aku tidak usah menginjili, toh tetap kasih Tuhan tidak berkurang kan?” Melainkan berita Injil yang sejati ini, yang sungguh menyadarkan sang ibu, dan justru kemudian dengan seluruh hidupnya (baik waktu, tenaga, uang, dan lain-lain) ia berikan untuk Tuhan, ia kerjakan semua karena sadar Kristus yang telah sebelumnya mengerjakan semuanya untuk dirinya. Bukan karena usaha kita, tetapi hanya karena anugerah dan anugerah hanya melalui iman.
Seperti seorang ibu yang menyelamatkan anaknya dari rumahnya yang terbakar, tidak mungkin pada kemudian hari anak akan berpikir bahwa ibunya tidak mengasihinya, karena tidak membelikan dia mainan baru. Tidak sama sekali! Karena sang anak tahu persis bagaimana ibunya yang telah melakukan “semuanya” untuk dia, dengan tanpa memedulikan diri, masuk menerobos api menyelamatkan nyawa si anak. Sama halnya kita dengan Kristus, kalau kita sungguh-sungguh mengenal Allah, mengenal siapa Kristus, mengerti apa yang telah dilakukan-Nya di atas kayu salib, maka tidak ada hal yang terjadi dalam hidup kita di dunia ini yang membuat kita berpikir Kristus tidak mengasihi kita.
Penutup
Sudahkah kita sungguh sadar akan kemiskinan kita perihal pengenalan kita akan Allah? Sudahkah kita mau mulai melangkah untuk mengenal-Nya lebih lagi? Kristus memilih kita. Berinisiatif mengenal kita. Keputusan serta pilihan-pilihan yang kita ambil akan refleksi pengenalan kita akan Dia.
“Tik…tik…tik…tik…tik…Waktu begitu cepat berlalu. Masih menunggu? Hati-hati terlambat.”
Pdt. Stephen Tong membagi usia-usia yang krusial berkait dengan kemungkinan manusia bisa bertobat. Waktu masih anak-anak, di mana kita masih bisa dididik, waktu sebelum bekerja, dan waktu sebelum meninggal. Waktu pemuda begitu krusial, karena bisa dibilang ini adalah gerbang terakhir di mana Injil dapat lebih mudah diberitakan, setelah lewat masa ini, Injil akan jauh lebih sulit diberitakan, karena pada umumnya orang sudah sibuk dengan pekerjaan, tidak memikirkan lagi arti hidup, merasa tidak perlu akan Injil. Karena itu, apa yang kita tunggu untuk mulai belajar mengenal Allah? Menunggu sampai tubuh menjadi begitu lemah terbaring di atas tempat tidur dan menderita penyakit di saat-saat terakhir? Itu pun kalau masih sempat dan kalau Tuhan masih beranugerah.
Kita akan membuang banyak waktu kita, bila kita menunggu saat-saat akhir hidup kita dan memakai puluhan tahun sebelumnya untuk memilih pilihan-pilihan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, serta membuang hidup yang Tuhan beri. Mari kita menyerahkan seluruh diri ini untuk mengejar pengenalan akan Tuhan, yang mendalam, bersandar pada-Nya, dan memohon kekuatan dari-Nya, sebelum semuanya terlambat.
Referensi:
1. Knowing God karya J. I. Packer.
2. Insight dari Ev. Jethro Rachmadi.