Kebenaran yang Memerdekakan, 19 Maret 2022

Kebenaran yang Memerdekakan

Yoh. 8:30-36

Pdt. Thomy J. Matakupan

 

Bapak, Ibu dan Saudara yang dikasihi oleh Tuhan Yesus, peristiwa ini didahului dengan sebuah kisah tentang adanya orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, mereka membawa kepada Yesus seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Itu dalam pasal 8 ayat yang pertama. Kita tahu cerita itu. mereka kemudian berkata kepada Tuhan Yesus bahwa menurut hukum Taurat, orang seperti demikian harus dihukum mati, dilempar dengan batu sampai mati, dirajam. Dan Tuhan Yesus berkata kepada mereka yang hadir pada waktu itu kalau siapa yang merasa diri tidak berbuat dosa maka dialah yang boleh mengambil batu untuk pertama dan melemparkannya. Tentu saja ini adalah sesuatu hal yang mengagetkan mereka karena mereka tidak pernah menduga kalau Tuhan Yesus akan berkata kalimat seperti itu. Mereka berharap Tuhan Yesus akan berkata bahwa, “Betul yang kamu katakan itu.” Dan itu menjadi semacam legalisasi untuk melempar perempuan itu sampai mati dengan harapan atau dengan dasar bahwa, “Kami adalah penjaga-penjaga hukum-hukum Taurat! Kami adalah orang-orang yang setia kepada hukum Taurat! Kami sudah menjaganya sekian lama. Sekian lamanya kami memelihara dan kami menunjukkan kesetiaan kami, dan kami adalah murid-murid Taurat.” Tapi mereka tidak pernah menduga kalau Yesus kemudian berkata kalau siapa yang merasa diri tidak berdosa, silahkan dia mengambil batu untuk pertama kali melemparkan perempuan ini. Cerita itu kemudian mengisahkan kalau tidak satu orang pun yang mengambil batu dan melemparkannya. Dan mereka yang sudah memegang batu melepaskannya dan kemudian mereka mulai menyingkir satu demi satu. Tuhan Yesus kemudian datang kepada perempuan itu dan berkata, “Adakah yang menghukum engkau?”, “Tidak ada Tuhan”, “Aku pun juga tidak menghukum engkau. Sekarang pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.”

Saudara-sauadara, dua kontras di dalam cerita ini sebenarnya. Di satu sisi kita melihat bagaimana orang-orang yang merasa diri bahwa dia adalah orang yang sangat rohani, yang memelihara hukum Taurat, yang menjaga dengan penuh kesetiaan, ternyata diperhadapkan dengan seorang perempuan yang notabene tidak mempedulikan sama sekali hukum Taurat tersebut. Makanya dia hidup di dalam dosa. Dua kontras ini Tuhan Yesus tujukan kepada mereka. Yang satu mengatakan diri sebagai orang yang bebas, “Kami bebas menjaganya!” Yang satu diri adalah orang yang terjerat di dalam sebuah ikatan daripada sebuah perzinahan. Dan untuk orang yang katanya terjerat tersebut, Tuhan Yesus berkata, “Pergilah! Aku tidak akan menghukum kamu, hanya jangan berbuat dosa lagi.” Saudara kira-kira bisa membayangkan apa yang dirasakan perempuan ini bukan? Ketika maut berada di depan matanya tiba-tiba situasi berubah. Dia tidak pernah mendapatkan penghukuman daripada Tuhan, bahkan Tuhan berkata, “Aku juga tidak akan pernah menghukum, hanya pergilah dan jangan berbuat dosa lagi!” Ini adalah sebuah kelepasan. Kelepasan dan kelegaan daripada perempuan ini. Kelepasan dari ketakutan daripada perempuan ini.

Apakah orang-orang Yahudi mereka mengetahui apa yang Yesus maksudkan dengan perkataan, “Pergilah, Aku pun juga tidak menghukum engkau.” Ya! Orang-orang Yahudi yang saat itu datang dan hadir di sana mereka mengetahui dengan jelas apa yang Yesus maksudkan. Karena setelah itu Yesus menambahkan, berkisah tentang diri-Nya, memperkenalkan diri-Nya sebagai terang dunia. “Barangsiapa berjalan di dalam terang, dia tidak akan melewati kegelapan karena Aku adalah terang dunia.” Tentu saja mereka sangat makin gusar sekali karena apa yang mereka asosiasikan, Tuhan Yesus mau mengatakan bahwa mereka, pertama, diikat oleh kebudayaan dan tradisi daripada keagamaan mereka. Kedua, mereka buta, mereka berjalan di dalam kegelapan.

Saudara-saudara, selebih daripada itu Yesus berkata, “Barangsiapa mengenal Aku akan mengenal juga Bapa-Ku.” Ide tentang Bapa itu adalah ide yang mereka juga sangat paham. Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah. Oh, Dia yang berhak untuk mengampuni dosa. Itu yang ada di dalam pikiran daripada orang-orang Yahudi, hanya Allah sendiri yang dapat mengampuni dosa dan dapat mengatakan dosa itu tidak ada lagi. Hanya Allah yang dapat berkata, “Pergilah, jangan berbuat dosa lagi.” Di lain sisi, mereka bertemu dengan perkataan Tuhan Yesus yang berkata, “Kalau kamu mengenal Aku, kamu mengenal Bapa-Ku”, “Berarti sampai dengan saat ini, engkau sedang mau mengatakan kami tidak mengenal-Nya sama sekali?” Kira-kira demikian.

Saudara-saudara setelah peristiwa tersebut, maka kemudian Alkitab mengatakan di dalam sekian banyak orang-orang Yahudi yang datang dan kemudian mendengarkan apa yang Yesus ajarkan berdasarkan peristiwa tersebut, mereka adalah orang-orang yang mulai percaya. Coba perhatikan! Ini satu hal yang sangat menarik sebenarnya. Pasal yang ke-8 ayat yang ke-30, “Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya.” Ada banyak orang yang percaya kepada-Nya, tapi, 31, “Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya:”. Padahal orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang, sekali lagi Saudara-saudara, mereka mengatakan bahwa, “Yesus ini mengacaukan kami, Dia mengajarkan sebuah ajaran baru. Mengajak orang supaya tidak taat kepada hukum Taurat.” Tapi sekarang di sini dibilang “orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya”. Ini istimewa sekali. Yohanes mencatat ini adalah satu hal yang sangat istimewa sekali, ada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya. Dari kumpulan orang-orang Yahudi yang melawan Dia, sekarang ada orang-orang yang datang dan percaya kepada-Nya. Dan Yesus berkata kepada mereka, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku.” Maka Yesus mau mengatakan mereka bisa percaya karena firman datang kepada mereka. Mereka percaya karena firman membuka mata mereka. Mereka percaya karena firman menerangi sudut-sudut kegelapan daripada mereka. Mereka percaya kepada firman dan firman itu melepaskan mereka. Yesus berkata, “Kalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu tetap adalah murid-Ku.”

Nah sampai di sini kita melihat apa yang Yesus mulai katakan lebih mulai fokus kepada apa yang Ia maksudkan. “Kalau kamu tetap di dalam firman-Ku, kamu adalah murid-Ku.” Berarti Yesus tidak berhenti kepada status orang-orang yang percaya kepada-Nya. Percaya memang pekerjaan daripada Allah. Betul! Kita tidak akan pernah bisa mungkin percaya kepada Allah kalau Allah tidak membuat kita percaya. Tapi Yesus tidak berhenti kepada status seseorang percaya kepada-Nya. Yang Dia tuju adalah kamu menjadi murid-Ku. Ini yang ada di dalam pikiran Kristus. Dan saya mau mengatakan ini adalah fokus pelayanan Kristus. Kenapa Ia memilih 12 murid? Kenapa Dia menghabiskan waktu 3 tahun lamanya bersama dengan mereka? Mengajar mereka segala sesuatu tentang diri-Nya dan kehendak-Nya? Mengapa Dia harus repot-repot berhadapan dengan orang-orang yang dalam notabene adalah banyak gagal paham, banyak tidak mengerti, banyak bahkan setelah Yesus bangkit daripada kematian masih saja bertanya, “Guru, kapankah Engkau akan memulihkan kerajaan dari Israel?” Kalau saya jadi guru mereka, saya akan berkata, “Aduh!” Ini bukan telmi lagi, tapi super, duper, hiper telmi. “Aku sudah menunjukkan Aku bangkit daripada kematian. Sudah menunjukkan tentang kerajaan Allah. Tapi engkau masih memikirkan tentang kerajaan Allah di dalam dunia ini?” “Kapan Engkau memulihkan kerajaan dari Israel?” Para murid lho! Masih memikirkan kerajaan di dalam dunia ini. Yesus akan datang sebagai Raja dan kalau Yesus datang sebagai Raja maka mereka pastilah akan kecipratan sesuatu di sana sini bukan? Para murid, masih punya pemikiran seperti demikian! Tapi menariknya adalah Yesus tetap tidak pernah menarik kembali kata-kata panggilan-Nya kepada mereka. Mereka tetap menjadi murid. 12 murid itu akan menjadi gambaran tentang 12 suku daripada Israel. Yesus sedang memulai Israel baru.

Setelah dalam Yoh. 8 ini, Yesus mengajarkan Yoh. 15, diri-Nya sebagai pokok anggur yang benar. Kembali Dia menekankan tentang hal pemuridan. Yesus memakai gambaran bahwa Akulah pokok anggur yang benar, Bapa-Ku lah pengusahanya. Dalam sebuah pertemuan saya tanya kenapa Yesus pakai ilustrasi pokok anggur? Kenapa nggak pohon durian? Kenapa nggak pohon duku? Kenapa harus pokok anggur? Yesus memakai gambaran itu karena bangsa Israel itu di Perjanjian Lama disebut sebagai pohon anggur daripada Allah yang ditanam di taman-Nya Allah, di kebun-Nya Allah. Tapi anggur itu masam. Anggur itu tidak menghasilkan buah. Itu sebab kenapa kemudian Yesus mengatakan kepada murid-muridNya bahwa Akulah pokok anggur yang benar. Yesus mau mengatakan, “Aku mau mengambil alih secara label yang pernah diberikan kepada orang Israel sebagai pokok anggur, tapi sekarang Akulah pokok anggur yang benar. Dan kamu adalah ranting di dalamnya.” Sesuatu ranting yang bertaut penuh kepada pokok anggur. Bergantung sepenuhnya kepada semua sumber dan supply makanan daripada pokok anggur. Dan di situ Yesus bilang, “Aku tinggal di dalam kamu, kamu tinggal di dalam Aku. Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Ini esensi pemuridan. Ini esensi pemuridan. Dan Yesus sudah mulai mengatakannya dan didengar oleh para banyak murid, tapi sekarang fokus perhatiannya kepada orang Yahudi yang baru percaya. Dan Yesus berkata bahwa, “Kamu sudah mendengarkan perintah Tuhan, kamu sudah mendengarkan firman Tuhan. Dan kalau firman itu tetap di dalam kamu, maka kamu akan benar-benar merdeka!”

Yesus punya fokus adalah bagaimana seseorang menjadi murid. Bukan hanya sekedar mengatakan, “Aku percaya kepada Tuhan Yesus.” Bukan sekedar aku menunjukkan diri sebagai seorang yang rajin dengan penuh kesetiaan datang ke dalam rumah ibadah. Ada banyak orang yang datang di dalam gereja. Tapi mereka adalah pengunjung gereja. Mereka bukan murid. Saya berharap Saudara mulai memikirkan hal ini dengan serius sekali. Banyak pengunjung gereja menunjukkan kesetiaan untuk hadir setiap kali. Mengisi daftar absen yang mungkin disediakan. Atau dia mungkin akan menjadi orang yang selalu rajin hadir di dalam pelayanan ini dan pelayanan itu, tetapi mereka pengunjung. Mereka bukan murid Tuhan. Mereka pengunjung saja. Hati mereka tidak diragukan, penuh dengan kesetiaan, penuh dengan sebuah tekad, “Aku ingin menyenangkan hati Tuhan.” Tapi sekali lagi, mereka pengunjung.

Saya berharap sampai di sini Saudara mulai memikirkan, “Saya di mana ya? Saya pengunjung atau saya seorang murid?” Itu saja hal ini akan menghasilkan sebuah perselisihan yang timbul di dalam pikiran banyak orang. Termasuk orang-orang Yahudi pada saat itu. mereka berkata kepada Yesus, “Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapa pun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?” Lalu Saudara boleh tanya, Saudara sebenarnya siapa sih? Saudara seorang pengunjung gereja atau murid? Maka deep inside, sudah mulai ada bibit-bibit perselisihan antara engkau dengan Pendeta yang menyampaikan di sini, atau engkau dengan dirimu sendiri, atau engkau dengan orang lain yang menunjukkan kesetiaan kepada firman lebih dari engkau. Mulai ada bibit perseteruan itu muncul. Dan ini merupakan sebuah konsekuensi logis yang pasti harus ada.

Kita nggak suka kalau dikatakan sebagai seorang pengunjung gereja saja bukan? Kita mau dikatakan murid. Tapi mari kita melihat kemudian, pada waktu Yesus berkata, “Kalau kamu tetap dalam firman-Ku kamu adalah murid-Ku” maka hal-hal apa saja yang akan kita soroti yang Yesus coba tunjukkan dalam konteks ini. Ada 3 hal yang saya coba kemukakan. Hal yang pertama adalah seorang murid itu adalah seorang yang berdiam di dalam Kristus. Seharusnya Saudara mulai berpikir tentang, “Maksudnya konkritnya seperti apa ya Pak?” Kita sangat familiar dengan kata-kata “berdiam di dalam Kristus”. Sangat familiar. Bahkan semenjak kita masih kecil kita diajarkan itu oleh guru-guru Sekolah Minggu kita dan kita diajarkan lagu-lagunya. Saudara pasti ingat bukan, “Yesus pokok dan ……” Saudara yang bisa melanjutkan berarti Saudara lulus Sekolah Minggu. Yesus pokok dan kita carangnya. Sangat familiar. Ya betul sangat familiar. Tapi konkritnya bagaimana ya? Konkritnya seperti apa berdiam di dalam diri Kristus?

Saudara-saudara, saya percaya banyak orang Kristen kalau ditanya tentang mengikut Kristus maka mereka akan bisa menjawab, “Ya, kami harus percaya kepada Kristus. Kami harus setia kepada Kristus. Kami harus menjadi orang Kristen yang taat kepada Dia. Dan kami harus menjadi orang Kristen yang dengar-dengaran akan Dia.” Nggak salah. Tapi saya mau mengatakan bahwa banyak orang Kristen ketika dengarkan khotbah, dengarkan khotbah seperti ini, diam-diam berpikirnya begini, “Saya sudah tahu! Sudah tahu kok. Mesti setia kan? Ya sudah tahu. Mesti rajin kan? Sudah tahu. Mesti aktif kan? Ya sudah tahu!” Banyak orang Kristen itu sebenarnya diam-diam dengerin khotbah seperti ini, di dalam pikirannya itu adalah, “Sudah tahu! Sudah tahu! Sudah tahu!” Sudah tahu. Dan sama sekali tidak pernah terusik dan sama sekali tidak pernah mau tahu lebih dalam konkritnya itu bagaimana, konkritnya itu seperti apa.

Sebagai contoh, misalnya, ketika ditanya dari mimbar seperti ini dibilang “Kamu harus mengasihi Tuhan!” Kita akan berkata, “Betul sekali. Kami akan mengasihi Tuhan. Saya akan mengasihi Tuhan.” Tapi kasih itu adalah konsep yang abstrak sekali bukan? Istilah kasih itu abstrak. Dan bagaimana kami mengasihi-Nya juga abstrak sekali. Dan kalau Saudara berpikir lebih lanjut, Saudara akan mulai merasa kesulitan sebenarnya. Saudara kesulitannya seperti apa? Kesulitan adalah, “Saya laki-laki. Kalau perempuan mungkin tidak menjadi masalah kalau berbicara tentang kasih. Tapi kalau laki-laki?” Hei, di dalam Alkitab Yesus digambarkan ber-gender laki-laki. Saya laki-laki, bagaimana kita menyelesaikannya? Kalau perempuan lain cerita. Saudara-saudara, saya tidak mau men-simplifikasi, dan tidak mau menafsirkan terlalu lebih, tapi paling tidak, aspek ini adalah salah satu yang mungkin ini akan muncul sebagai problema iman yang besar sekali tentang bagaimana saya memahami relasi saya dengan Tuhan saya.

Istilah “berdiam di dalam Kristus” itu adalah satu hal yang sangat abstrak sekali. Meskipun Tuhan Yesus memakai gambaran, “Kamu diam di dalam Aku, dan Aku berdiam di dalam kamu, dan tinggallah di dalam kasih-Ku itu”, memakai gambaran-gambaran yang para murid berpikir dengan keras sekali. Meskipun mengambil cuplikan khotbah atau ajaran Perjanjian Lama, tapi merupakan sesuatu hal yang sulit untuk dicerna dengan baik sekali. Apa yang dimaksud dengan berdiam di dalam diri Kristus? Itu sebab Yesus berkata kepada orang-orang Yahudi yang baru percaya kepada-Nya, “Jikalau kamu tetap di dalam firman-Ku, kamu adalah murid-Ku.” Nah Saudara-saudara, Yesus bicara kepada orang-orang Yahudi, mereka punya claim-claim kebenaran. Termasuk kebanyakan orang Kristen, punya claim-claim kebenaran. Yesus berkata kepada mereka, “Kamu harus tetap di dalam firman-Ku.”

Murid adalah seorang yang belajar. Understood. Dan ketika Yesus berkata, “Kamu adalah murid-Ku”, maka Yesus juga berkata, “Kamu harus belajar tentang Aku”. Ya, memang, “Belajar tentang Aku” tentang apa? Ingat, perikop atau konteks sebelumnya Yesus sedang mengatakan diri-Nya sebagai Allah. Dia adalah Allah. Yesus Pribadi adalah Allah. Apakah ini masalah bagi kita? Kalau kita meneliti baik-baik, kita akan menemukan ini masalah. Masalahnya di mana? Saudara-saudara, Alkitab berkata, Allah itu adalah Allah yang memilih bukan? Doktrin reformed sangat kuat untuk hal ini. Dari tulisan Paulus, kita menemukan bahwa Allah yang memilih ini adalah Allah yang bertindak seturut dengan kemauan dan kesenangan-Nya sendiri. Di mana dicatat ini? Efesus 1. Bahwa Allah itu bertindak seturut dengan kemauan dan kesenangan-Nya sendiri.

Saya berharap Saudara sudah mulai merasa, “Betul. Ini masalah!” Allah di dalam Kristus, yang kita kenal adalah Allah yang oleh Paulus dikatakan sebagai Allah yang bertindak sesuai dengan kemauan dan kesenangan-Nya sendiri. Mari kita lebih sederhanakan kalimat “kemauan dan kesenangan -Nya sendiri”. Kata apa yang kita bisa pakai? Satu kata. Atau kalimat apa yang bisa kita pakai untuk menggambarkan kalimat yang kelihatan sopan ini, “menurut kemauan dan kesenangan-Nya sendiri”. Kata apa itu? “Seenake dewe” bukan? “Sak enake dewe” atau dengan kata lain “seenak udele”. Mau-maunya Dia dong. Suka-suka Dia sendiri dong. Inilah kebenaran yang Yesus sedang katakan kepada banyak para murid, “Kamu bertemu dengan Allah maka kamu harus bersiap, berkonsekuensi, menerima semua konsekuensi bahwa Guru-mu, Allah-mu yang mengajarkan tentang kebenaran kepadamu ini adalah Allah yang mempunyai kurikulum dan Dia berkata, “Kerjakan!””. “Kenapa harus dikerjakan?”, “Karena Aku mau!”, “Kenapa Kamu harus mau?”, “Jangan banyak tanya. Kerjakan!”

Saudara kalau ketemu dengan orang yang semau-maunya sendiri, senang atau tidak? “Aduh, kok ada orang model kaya begini di dalam dunia lagi. Hidup lagi. Kepingin rasanya pretelin itu mulutnya. Kepingin rasanya itu eliminasi dia. Sudahlah, pindahlah, jangan di gereja reformed.” Tapi herannya di gereja reformed banyak yang kaya gini. Reformed yang lain, bukan Jogja. Sakenak udele, suka-suka sendiri. Bahkan percakapan Yesus dengan mereka juga berkata, “Kamu akan dimerdekakan!” Aduh, Dia orang nggak tahu konteks. Ini orang nggak tahu konteks. “Kamu nggak tahu kah Kamu ngomong sama siapa? Kenapa Kamu ngomong seperti demikian? “

Murid adalah seorang yang berhadapan dengan guru, dengan seluruh kapasitas yang Dia miliki seperti demikian dan kita mempunyai reaksi. Reaksinya apa? Kita akan menggeliat. Menggeliat! Semakin kita mendalami kebenaran, kita akan menemukan kebenaran bahwa Allah itu adalah yang berdaulat. Kalimat itu atau kata itu sangat familiar juga di telinga kita bukan? Dia berdaulat. Tapi konsekuensinya adalah Dia berkata, “Punya dirimu adalah punya-Ku. Kamu mau ngomong apa sekarang? Dirimu adalah milik-Ku, kamu mau berseteru dengan-Ku? Ini yang Aku mau kepada kamu.” Ini satu dimensi daripada sebuah pemuridan yang setiap orang Kristen harus tahu. Dan reaksi pertama adalah menggeliat, bereaksi. “Hah. Kami keturunan Abraham lho! Dan tidak pernah jadi budak dari siapa pun.” Paulus di bagian terakhir ini berkata, hanya 2 model hamba. Hamba dosa dan hamba kebenaran. Hamba dosa adalah mereka yang tahu dosa tetapi tidak bisa mengelak untuk melakukan dosa. Tetapi mereka kemudian menjadi orang yang susah hati karena mereka tetap melakukannya. Di lain bagian Paulus bilang, “Kamu adalah hamba kebenaran.” Sama-sama hamba, tapi yang satu tidak rela mengerjakannya, tapi kalau yang satu hamba kebenaran dan dia ingin terus menjadi hamba dan suka diikat oleh kebenaran. Ini Roma 8. Murid adalah yang dibelenggu oleh kebenaran, diikat oleh kebenaran, tapi tidak memberontak. Sebab dia tahu dia sedang berhadapan dengan siapa.

Di dalam Perjanjian Lama mungkin satu kisah yang saya coba angkat untuk menjadi gambaran ini adalah di dalam diri seorang bernama Ishak. Menurut Saudara kenapa dia berkata kepada papanya, Abraham, pada waktu dia bertanya, “Semua sudah tersedia. Di mana domba itu yang akan dipersembahkan?” Abraham kemudian berkata, “Domba itu adalah engkau, anakku.” Lalu dia seperti memberikan kesan, menyodorkan tangan, “Kalau itu yang papa maksudkan, ini tanganku. Ikat. Ikatlah. Kalau Allah yang papa kisahkan itu berkehendak seperti demikian, ikatlah tanganku, persembahkanlah kepada Allah.” Dari mana ide itu muncul? Ingat lho, mereka menempuh perjalanan 3 hari menuju kepada bukit itu. Dan sangat mungkin sepanjang perjalanan itu Abraham berkisah tentang Allah Yahwe. Dan Ishak kecil itu mengikutinya dengan seksama sampai pada waktunya dia berkata, “Ikat pa. Kalau Allah yang papa ceritakan selama 3 hari itu mintanya demikian, ikat. Jadikan persembahan.”

Maka Saudara-saudara itu sebab kenapa Tuhan Yesus bilang, “Kalau kamu tetap di dalam firman-Ku”, di dalam pengertian yang lain adalah kalau kamu tetap ada di dalam firman itu adalah kalau kamu tetap diikat oleh firman-Ku, kamu adalah murid-Ku. Ini yang namanya berdiam di dalam diri Kristus. Berdiam bukan berarti mencari opsi pengertian firman. Firman itu sebenarnya nggak enak terdengar di telinga kita kok. Jujur saja, nggak enak! Nggak enak! Membuat kita bergejolak, menggeliat, dan mencoba mencari kenyamanan. Tapi ada pilihan? Tidak! Harus menikmatinya baru kita akan berkata, “Ya. Benar. Kalau tidak diikat oleh firman maka kami adalah orang-orang yang liar saja, yang akan berlari ke kiri dan ke kanan, menabrak ini dan itu, dan tidak mengetahui bahwa sedang membahayakan diri sendiri.”  Saudara-saudara, seorang murid adalah seorang yang terikat kepada gurunya. Terikat kepada gurunya. Mereka akan mengejar pengertian yang membuat mereka bukan saja mengerti pengetahuan yang bersifat umum tentang Kristus, tetapi mereka menemukan kebenaran hidup Kristus di dalam kehidupannya.

Kemarin malam di dalam acara di Kranggan saya berkata, “Bukan urusan kita untuk menilai ajaran Kristus itu bisa dilaksanakan atau tidak. Itu bukan urusan kita. Urusan kita itu adalah menilai apakah yang Yesus ajarkan itu benar untukku?” Nggak pakai kata pilihan benar atau tidak. Semua yang Yesus ajarkan itu adalah benar untukku. Nggak ada pilihan. Saudara dan saya, kita akan berhadapan dengan kebenaran ini terus-menerus sepanjang hidup. Kebenaran itu ketika sampai kepada kita, kita tidak suka. Pada dasarnya kita tidak suka, tapi kita tidak punya pilihan, sampai kita menyukainya. Ranting itu akan terpaut kepada pokok anggur. Di luar itu, dia akan menjadi ranting yang kering karena tidak mendapatkan sumber yang cukup untuk makanannya. Ini hal yang pertama, berdiam dalam diri Kristus. Terikat dengan begitu kuat kepada-Nya.

Yang kedua adalah kamu percaya kepada Dia. Percaya kepada Dia! “Loh, pak! Bukankah setiap Minggu kami diajarkan dari mimbar ini juga harus percaya kepada Kristus?” Betul! Saya tidak menyangkalinya. Memang kita harus percaya kepada Dia, tapi ini pun juga sebuah pertanyaan yang besar sekali yang sebagai seorang murid, kita harus masuk ke dalamnya dan menemukan esensi daripada pengertian percaya itu. Saudara kalau perhatikan dalam ayat yang ke-30, ya dalam pasal ke-8 ayat yang ke-30 itu, Tuhan Yesus berkata bahwa dimensi percaya bukan sekedar seseorang itu mendengarkan perkataan Kristus. Tapi ayat itu, pasal 30 berkata tentang “Jikalau seseorang tinggal di dalam Aku”. Banyak orang yang percaya kepada-Nya. Setelah Yesus mengatakan semua itu, banyak orang yang percaya kepada-Nya. Istilah “Kepada-Nya” tersebut di dalam terjemahan yang lain dibilang sebagai “Banyak orang yang percaya pada Dia.” Kalau kita memeriksa teks aslinya, maka ayat itu atau “pada Dia” tersebut mempunyai pengertian “tinggal di dalam”. Itu kata percaya. “Aku percaya kepada Kristus” itu artinya “Aku tinggal di dalam Dia.” Sangat connect kan dengan Yohanes 15? Pokok anggur?

Dan sekarang Yesus sedang berhadapan dengan orang-orang Yahudi yang baru saja percaya, Yesus berkata demikian, kalau saya kalimatkan ulang, Yesus akan berkata demikian, “Kamu memang percaya kepada-Ku.” Karena Alkitab berkata, mereka baru percaya. “Kamu memang percaya kepada-Ku dan itu tidak salah. Tapi kamu harus memiliki sikap lebih daripada sekedar kalimat percaya.” Yaitu apa? “Kamu harus membangun sebuah komitmen. Kamu harus membangun sebuah komitmen yang hidup.” Ini adalah sebuah langkah pertama. Yesus berbicara kepada mereka yang baru percaya kepada Dia. Yesus menyetujuinya, tidak menyangkalinya tapi Yesus berkata, “Kamu harus tinggal di dalam Aku.”

Saudara-saudara, seorang murid adalah mereka yang mempunyai komitmen, kepercayaan penuh kepada Kristus. Kita bisa begini percaya karena Tuhan yang membuat kita percaya. Tapi Tuhan mengizinkan kita melewati pergumulan tersebut dan membangun sebuah komitmen hidup. Komitmen hidup itu bisa dibuat kalau kita berkata, “Untuk orang ini, aku akan memberikan hidupku kepada dia.” Nah, itu komitmen. “Untuk orang ini, aku berani menukarkan hidupku kepadanya.” Nah, itu komitmen. Tapi terdengar masih sangat heroik sekali, bukan? Kita lembutkan sedikit, “Untuk orang ini, aku akan percaya kepada perkataannya dan membaktikan hidup baginya. Aku hidup untuknya.” Sampai di sini, kita akan mengatakan, “Itu yang saya perlukan.” Kita tidak bicara tentang tukar nyawa kita. Tidak! Kita tidak berkata tentang kita pergi untuk menjadi seorang misionaris dengan beragam resiko yang akan kita hadapi di ladang pelayanan sana. Tidak! Kita berbicara sebagaimana orang Kristen kebanyakan yang hidup di dalam situasi konteks kita sekarang. Tapi kita bisa luput untuk percaya kepada-Nya.

Membangun komitmen hidup. Saudara-saudara, kalau kita tidak mempelajari tentang Kristus, kita tidak punya komimen. Dan konsekuensi seorang murid adalah yang pertama tadi, dia harus terikat dengan gurunya. Yang kedua adalah dia harus mempelajari segala sesuatu tentang gurunya. Bukan saja tentang apa yang dia ajarkan, tapi tentang gurunya. Sebelum Yesus mengatakan tentang siapa Dia, “Aku adalah terang dunia. Barangsiapa berjalan di dalam-Ku, dia akan menemukan terang hidup dan dia tidak akan menemukan kegelapan dalam kehidupannya.” Ini tentang gurunya, bukan tentang ajarannya saja. Kalau tentang ajarannya saja, kita bisa banyak sekali mempunyai file-file di dalam pikiran kita tentang ajaran-ajaran Kristus. Tapi mungkin sekali, seorang murid adalah seorang yang sangat miskin sekali pengertian, pengetahuan tentang gurunya, tentang Yesusnya itu sendiri. Itu sebab kalau untuk ajaran Kristus, kita tidak pernah punya masalah. Tapi untuk menyerahkan hidup, untuk percaya kepada Dia, selalu saja kita menemukan masalah. Kita tidak akan pernah berani membantah ajaran-ajaran Kristus yang kita jumpai dalam Alkitab. Tetapi kenapa untuk Tuhan, ketika Dia tuntut kita menyerahkan diri sepenuhnya, maka kita akan selalu cari alasan untuk mencari-cari, untuk menghindari dari panggilan itu.

Saudara-saudara, Yesus berkata kepada orang-orang Yahudi ini, “Kalau kamu tetap di dalam firman-Ku, kamu murid-Ku.” Konsekuensinya adalah semua mereka itu akan dicibir. Semua mereka itu akan dimusuhi. Semua mereka itu akan menghadapi sebuah ancaman yang sama seperti orang-orang atau murid-murid Yesus yang lain. Yohanes mencatatnya dengan begitu detail, “Orang-orang Yahudi yang percaya”. Yesus mengatakan, “Kamu sudah percaya, betul.  Tapi kamu membutuhkan lebih dari sekedar percaya. Kamu membutuhkan sebuah komitmen hidup pada-Ku.” Hanya murid Tuhan yang mengenal siapakah diri Tuhannya. Sekali lagi, Saudara-saudara, bukan ajarannya. Ajarannya banyak. Pasti. Tapi murid mengenal pribadi gurunya.

Saudara-saudara, dalam Alkitab itu dikatakan kenapa Yohanes mengatakan bahwa ada banyak kisah tentang Yesus yang dia tidak catat di dalam Injilnya. Karena kalau dicatat, tidak akan cukup. Pernah baca, bukan? Yohanes pasal yang terakhir. Dan Yohanes melanjutkan, “Tapi semua yang aku catat ini supaya kamu beriman kepada nama-Nya. Percaya kepada Dia.” Saudara dan saya tidak akan pernah mungkin percaya dengan benar jikalau Saudara tidak mengenali siapa Kristus secara pribadi di dalam kehidupanmu.

Suatu kali, saya membaca harian Kompas. Membaca seorang cendekiawan Muslim menguraikan tentang ajaran Kristen seperti apa. Saya berharap, saya ketemu dia di surga nanti. Nurcholish Madjid. Dia ceritakan tentang ajaran Kristen. Dia ceritakan tentang sejarah Kristen. Bagusnya ampun-ampunan deh! Bagus sekali. Dia punya pengertian yang komprehensif tentang apa itu kekristenan. Itu sebab, kenapa saya mengatakan saya berharap ketemu dia di surga. Dia punya pengertian, pengetahuan tentang Yesus dan ajaran-Nya. Dia mengutip banyak kali hal-hal ini. Dia kutip itu banyak. Saya berharap ketemu dia di surga. Kalau Saudara mengatakan Saudara mempelajari Kristen, Saudara mesti baca tulisan Nurcholish Madjid itu dan kita langsung akan menjadi seperti seekor keong yang masuk ke dalam cangkang, bersembunyi. Ternyata, kita orang Kristen tidak punya pengetahuan yang cukup.

Hei, orang Kristen di MRII Jogja! Engkau sudah membaca firman Tuhan baik-baik? Dalam firman Tuhan, engkau menemukan ajaran Yesus? Itu satu hal. Tapi kau bergaul dengan Kristus di dalam firman-Nya? Buktinya seperti apa? Faktanya bagaimana? Engkau percaya kepada Dia meskipun segala pergumulan hidupmu tidak berubah? Even getting worse? Dan engkau tetap berkata, “Aku tetap percaya. Tuhan tidak salah. Aku tetap percaya kepada Dia.” Ini kalimat-kalimat yang banyak sekali saya dengar dari orang-orang yang sedang dying. Mereka berkata, “Tuhan nggak salah kok, Pak Thomy. Dia nggak salah. Saya memang mengidap tumor yang besar sekali di perut saya. Ada kanker pankreas yang sedang menggerogoti saya. Tapi saya tidak menyalahkan Tuhan. Dia nggak salah.” Orang ini bukan sekedar mengenal ajaran Yesus. Dia mengenal Tuhannya. Ketika dia ngomong seperti itu, wajahnya sumringah dan pancaran damai itu muncul dan mengajarkan sesuatu kepada saya yang memperhatikan dan mendengarkannya. Dia sangat mencintai Tuhannya. Sangat mencintai Tuhannya.

Menceritakan kisah ini, saya mengingat ada sebuah buku yang di bagian pengantarnya berkata, “Saya tidak peduli apa yang Alkitab katakan, yang penting saya mengalaminya.” Sombong benar orang ini ngomong begitu. “Saya tidak peduli apa yang Alkitab katakan, yang penting saya mengalaminya.” Kalau saya kontraskan dengan perkataan daripada ibu yang dying ini, “Saya tidak peduli tentang keadaan saya, tapi saya tetap mencintai-Nya. Dia tidak salah.” Ini orang yang mengenal Tuhannya. J. I. Packer, di dalam bukunya “Knowing God” berkata, “Orang yang mengenal Tuhannya, ia akan bergairah untuk Tuhan.” Ia akan bergairah dan orang akan sulit untuk memahami kenapa kamu bisa bergairah seperti itu di tengah kondisi hidup yang tidak berubah, even getting worse, kamu tetap percaya dan memegang Tuhan dalam kehidupanmu. Mereka adalah guru-guru iman. Mendengarkan kalimat itu, saya tahu ibu ini tidak akan pernah mungkin punya kesempatan untuk sembuh. Saya berdoa diam-diam dalam hati. “Tuhan, izinkan saya memimpin, kalau bukan kebaktian tutup peti, kebaktian pemakamannya saya yang pimpin.” Dan beberapa hari kemudian, saya berdiri di tepi liang lahat memimpin kebaktian pemakaman ibu ini. Dan kalimat pertama dalam khotbah itu, saya berkata, ”She is my master.” Dia guru saya. Mengajarkan saya untuk beriman, mencintai Tuhan, mencintai Kristus, even keadaan tidak berubah, even getting worse, even until she died, she passed away. Yang kedua.

Yang ketiga, tinggal di dalam Kristus itu adalah untuk selama-lamanya. Kenapa saya berkata untuk selama-lamanya? Karena ia berbicara kepada orang Yahudi. Saya menggarisbawahi kata ini. Kalau mereka berhadapan dengan tekanan daripada massa, tekanan daripada sosial, apakah mungkin mereka bisa memikirkan ulang dan mengambil sikap untuk tidak mengikut Yesus lagi? Sangat mungkin! Berapa banyak orang Kristen, lalu karena tekanan hidup, lalu kemudian mengatakan, “Saya nggak mau percaya lagi kepada Tuhan Yesus!” Bahkan ada seorang yang pernah berkata kalimat demikian, “Saya sudah percaya kepada Tuhan Yesus. Saya sudah ikut aktif melayani jadi seorang pengurus di dalam gereja. Tapi apa yang saya dapatkan? Saya nggak dapat apa-apa! Karena itu, saya putuskan untuk tidak lagi percaya kepada Tuhan Yesus!” Seakan-akan keputusan itu adalah keputusan yang saya buat dan Tuhan Yesus adalah orang yang dapat saya terima atau saya singkirkan sesuka-suka hati saya. Kalau hati saya senang, saya akan bisa bergaul dekat dengan Dia. Kalau hati saya sedang tidak suka dan saya mengatakan, “Saya tidak mendapatkan apa-apa, maka saya akan tinggalkan Dia!” Orang ini bahkan membangun rumah ibadah yang cukup megah sekali. Dan dia berkata, “Kok aku tidak dapat apa-apa?” Di Jawa Tengah, orangnya tinggal. Dan dia putuskan untuk tidak lagi ikut Yesus.

Yesus berkata kepada mereka, orang Yahudi ini, “Kalau kamu tetap tinggal di dalam firman-Ku.” Saudara-saudara, sekali lagi ujian iman kita itu adalah bukan apa yang Yesus katakan itu benar atau tidak tapi apakah yang Yesus katakan itu benar untukku. Itu ujian iman yang sebenarnya. Menjadi murid adalah mereka yang memikirkan perkataan Kristus, membangun komitmen hidup berdasarkan naluri hidup yang dikuduskan oleh Dia. Menjadi seorang Kristen adalah mereka yang tinggal untuk selama-lamanya di dalam Kristus, bukan orang yang menyesuaikan diri dengan kondisi hidup di dalam komunitas orang Kristen. Kenapa saya berkata demikian? Karena secara naluriah, kita adalah makhluk-makhluk sosial yang akan menyesuaikan diri di dalam lingkungan di mana kita hidup, bukan? Kalau Saudara datang ke dalam gereja, maka Saudara harus menyesuaikan diri dengan konteks daripada kehidupan dan kebiasaan di dalam gereja. Saudara harus menyesuaikan diri seperti itu. Tapi itu tidak menjadikan Saudara sebagai murid. Saudara bisa menyesuaikan diri dengan menunjukkan penampilan sebagai orang Kristen, menunjukkan sikap sebagai orang Kristen. Saudara bisa menunjukkan itu. Diajak persekutuan doa? Oh, iya! Berdoa. Diajak untuk pemahaman Alkitab? Saudara datang dengan rajin, bahkan mencatat-catat. Bahkan, Saudara dapat berkata kepada banyak orang, “Buku catatan khotbah saya itu berjilid-jilid kok di dalam kamar saya!” Tapi itu adalah menyesuaikan diri. Kalau tidak, Saudara tidak akan diterima dalam kelompok itu.

Saya rasa mungkin jemaat di tempat ini pernah mempunyai pengalaman, ada orang-orang yang datang misalnya, saya nggak tahu pasti, ada orang-orang yang datang, kemudian menunjukkan gelagat yang tidak sesuai dengan iklim di dalam gereja, lalu Saudara rasa aneh, bukan? Lalu, mulai kasak-kusuk di antara jemaat. Saudara rasa, “Siapa kamu?” Lalu kemudian unconsciously, kita membangun sebuah barrier kepada dia dan menciptakan suasana tidak nyaman kepada dia dan akibatnya dia nggak pernah datang lagi. Kenapa demikian? Karena dia tidak bisa menyesuaikan diri. Kita juga bisa menjadi orang Kristen yang menyesuaikan diri tanpa harus mempunyai sebuah komitmen. Tanpa harus tinggal di dalam Kristus. Kita bisa sesuaikan diri. Oh, kita adalah makhluk yang paling cepat menyesuaikan diri.

Salah satu pengalaman waktu saya dikemoterapi itu adalah lidah saya itu kehilangan rasa. Semua makanan yang enak apapun, semua rasanya hambar. Putus syaraf-syaraf di lidah saya. Istri saya melihat, kasihan gitu ya. Lalu, dia ajak saya pergi ke restoran Tio Ciu. Pesan makanan yang paling enak di situ dengan harapan saya bisa makan. Saya coba, hambar. Saya makin jengkel sekali dengan lidah ini. Saya ambil itu kecap asin. Saya crott semuanya dengan tujuan, “Aku marah sekali dengan lidah ini!” Tentu saja, istri saya tidak akan pernah membiarkan makan itu sekarang. Dia ambil. “Pesan yang lain ya?” Lalu adik saya bilang begini, “Coba tahan. Tahan dulu selama 1 minggu. Tahan karena lidah kamu akan menyesuaikan.” Saya coba tahan. Nggak enak? Nggak enak! Betul-betul nggak enak. Tahan selama 1 minggu. Setelah 1 minggu, makanan yang hambar jadi enak sekali. Ini yang saya maksud, saya bisa menyesuaikan diri. Dan kita dituntut menyesuaikan diri.

Orang menjadi orang Kristen, bisa hadir dalam gereja mungkin menyesuaikan diri dengan konteks hidup dalam gereja. Dia murid? No! Tapi untuk orang seperti ini, Yesus bilang, “Tinggal di dalam firman.” Tahan selama 1 minggu. Dan kita akan kaget sebab Yesus mengerjakan banyak hal yang membebaskan kita dari kepura-puraan itu. Membebaskan kita dalam hal apa? Dari konteks ini mungkin ada beberapa hal. Yang tanpa kita sadari sedang membelenggu kita. Yang pertama itu adalah ketakutan. Ingat sekali lagi, Yesus sedang bicara dengan orang Yahudi ya. Mereka mungkin takut. Takut adalah kebiasaan paling besar. Takut, takut untuk ikut Tuhan. Takut untuk proklamasi di hadapan banyak orang. Takut untuk mengumumkan bahwa aku adalah orang yang percaya kepada Kristus. Takut, takut, dan takut. Apakah takut itu salah? Tidak. Musa pernah takut. Yeremia pernah takut. Masing-masing punya alasan. Musa takut dengan alasannya adalah, “Aku tidak pandai bicara. Suruh Harun saja yang bicara! Tuhan panggil Harun saja!” Yeremia takut. Ya, alasannya apa? “Aku masih terlalu muda, maka aku tidak mau menjawab panggilan Tuhan.”

Lalu, apakah Tuhan bilang, ”Oh iya ya, Aku lupa, kamu begitu.” Enggak lho! Tuhan tetap pada keputusan-Nya. Ini yang saya bilang tadi. Suka-suka Dia! Tetap Musa pergi. Tetap Yeremia pergi. Nggak boleh tinggal di dalam belenggu ketakutan tersebut. Ketakutan untuk mengerjakan pekerjaan Tuhan. Takut sehingga tidak kerjakan apapun juga. Takut, dengan alasan-alasan yang bisa sangat rohani sekali. “Oh, aku tidak layak! Aku tidak pantas!” Memang kita tidak layak dan tidak pantas! Siapa bilang kamu layak dan kamu pantas? Jangan ge-er lah! Karena hanya Tuhan yang melayakkan dan memantaskan kamu.

Saudara-saudara, hal yang kedua yang mungkin adalah rasa marah. Ini juga kemarahan yang muncul di antara orang-orang Yahudi kepada Yesus. Merasa marah sekali. Merasa marah yang sedemikian sehingga engkau melewati hari-hari hidupmu dengan perasaan yang sangat tersiksa sekali. Engkau marah sekali. Kau bahkan bisa marah sama Tuhan. Dan kau harus tersiksa. Kalau engkau tidak merasa tersiksa, mungkin engkau bukan orang yang percaya kepada Tuhan. Yang ketiga, mungkin adalah kebanggaan. “Kami keturunan Abraham!” Bangga dengan apa yang menjadi statusnya. “Oh, saya terlalu cantik untuk dia! Nggak pantas untuk dia.” Seorang pemudi berkata seperti itu kepada seorang pria. Seorang pria nggak mau kalah dan berkata, “Sweetheart, you ain’t my style! Saya tidak pantas bersama dengan kamu.”

Saudara lihat, sangat mudah kita terjebak dalam situasi-situasi semacam ini, bukan? Sangat mudah mempermainkan akan kehendak Tuhan di dalam diri. Itu belenggunya. Itu belenggu. Dan Tuhan berkata, “Kalau kamu tetap di dalam firman-Ku, firman akan membebaskan kamu.” Menyingkirkan ketakutan, kemarahan, dan kebanggaan yang tidak perlu. Menyingkirkan semua kebodohan dengan berkata, “Cukup dengan firman. Nggak harus dengan membangun komitmen dan menyerahkan hidup kepada Kristus. Cukup dengan kelihatan sebagai orang Kristen tanpa harus menjadi Kristen di dalam diriku.” Belenggu-belenggu akan dilepaskan oleh firman.

Saudara-saudara, orang-orang Yahudi ini begitu gusar kepada Kristus dan berkata, “Jangan atur kami, bagaimana kami menyembah Allah kami! Jangan atur hidup kami. Kami sudah punya Allah dan Dia memberikan kebebasan bagi kami.” Yesus bilang, “Tidak, kamu dibelenggu.” Ingat perkataan Yesus kepada perempuan Samaria itu di tepi sumur? “Kamu menyembah Allah di gunung ini dan gunung itu. Tapi Aku berkata kepadamu, barangsiapa menyembah Allah harus menyembah-Nya di dalam roh dan kebenaran.” Saudara-saudara, kiranya Tuhan membongkar “kesenangan rohani yang berdosa” ini untuk sungguh-sungguh melekat kepada Kristus. Tinggal di dalam Dia dan menikmati hidup Dia sepanjang umur kita. Tuhan berkati. Mari kita tunduk kepala, kita berdoa.

Terima kasih Tuhan, firman-Mu begitu tajam, begitu membuka, tapi juga begitu menyakitkan. Sebab firman-Mu memberikan terang di dalam sudut-sudut hidup kami yang mungkin kami tidak merasakan ini merupakan sebuah masalah besar. Tapi Engkau tidak pernah membiarkan hal itu terjadi. Engkau tidak meng-excuse sedikit pun dosa yang paling kecil yang mungkin kami anggap tidak terlalu mengganggu. Kami berdoa Tuhan, jadikan kami murid Tuhan, murid yang sungguh-sungguh berjalan dan melekat dengan Engkau. Terima kasih untuk pembicaraan atau perenungan firman Tuhan hari ini. Seberapa banyak hal yang kami pikirkan. Tuhan berkati kami dalam pergumulan itu. Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin. (HSI)