Bergumul Bersama Mazmur 22, 7 Mei 2023

Bergumul Bersama
Mazmur 22

Vik. Lukman S.

 

Seorang
sastrawan Perancis bernama Albert Camus menulis satu novel berjudul The
Plague
, diterjemahkan sebagai “Wabah Sampar” di dalam terjemahan
Indonesianya. Novel ini membuat dia menerima penghargaan Nobel Sastra,
penghargaan yang tertinggi. Novel ini menceritakan latarnya dari salah satu
kota di Alajzair, kota Oran. Entah apa pun apakah ada dasar sejarahnya atau
tidak, tapi novel ini begitu menarik, menyatakan realitas tentang penderitaan.

Di dalam
novel itu, ada satu dokter yang menjadi tokoh utama yang bisa dikatakan
mewakili pandangan dari Albert Camus, namanya Dokter Rieux. Dokter ini, seperti
sebagaimana dokter-dokter pada umumnya, pasti kerinduannya adalah dia
menyembuhkan pasien. Dan itu terus dia lakukan di kota Oran ini. Tapi sampai
suatu ketika, wabah terjadi, suatu ketika banyak tikus yang mati, banyak orang
yang sakit, dan bahkan banyak orang yang mati. Dia menjadi bingung harus
seperti apa. Dia tidak menemukan obatnya. Lalu akhirnya yang dia lakukan ketika
pasien datang, dia hanya mendiagnosa, “Kamu sehat”, “Kamu sakitnya tidak
terlalu parah”, “Kamu sakit yang parah. Kamu sebentar lagi mati.” Dia tidak
bisa memberikan obat apa-apa.

Ada satu
dialog yang menarik antara dia dengan temannya.

Rieux: “Karena
tatanan dunia ini dibentuk oleh kematian, bukanlah lebih bagi Allah jika kita
menolak percaya pada Dia dan bergumul sekuat mungkin melawan kematian, tanpa
perlu mengarahkan mata kita ke atas tempat Dia duduk diam?”

Tarrow: “Benar,
Tapi kemenangan anda tidak akan bertahan; Itu saja.”

Rieux: “Ya,
saya tahu itu. Tapi tidak ada alasan untuk menyerah.”

Tarrow: “Tidak
ada alasan, saya setuju. Hanya saja, saya sekarang bisa menggambarkan apa arti
wabah ini bagi Anda.”

Rieux: “Ya.
Kekalahan yang tidak pernah berakhir.”

Ini hanya
salah satu kisah di dalam novel. Tapi terus bagaimana di dalam kenyataan hidup
kita? Dan lebih lanjut lagi pada konteks kita hari ini, bagaimana dengan
kehidupan kita sebagai seorang Kristen? Bagaimana kita menghadapi pergumulan
dengan penderitaan?

Saya
membaca satu kisah seorang wanita Kristen yang sungguh takut Tuhan, bergereja
di gereja yang baik, dan hamba Tuhannya begitu terkenal cinta Tuhan. Dia
mempunyai seorang suami, lalu mempunyai beberapa anak dari suami itu. Mereka ke
gereja. Dan wanita ini terus bersyukur kepada Tuhan memberikan dia suami yang
baik, memelihara, menjaga mereka sekeluarga, Tuhan memberikan mereka pekerjaan
yang baik kepada dia sendiri, sebagai wanita bukan hanya sekedar ibu rumah
tangga tapi dia juga bekerja. Tuhan juga memberikan pekerjaan yang baik kepada
suaminya. Dan Tuhan juga menyatakan pemeliharaan kepada anak-anaknya. Setiap hari
dia bersyukur. Sampai suatu ketika, suaminya pergi meninggalkan dia. Dia kaget,
kenapa suaminya pergi meninggalkan dia. Lalu dia tahu, suaminya pergi dengan
wanita yang lain, yang juga adalah istri orang lain yang sudah menikah. Dia
mengatakan selama ini dia terus bersyukur, dan dia melihat kehidupannya
berjalan begitu baik. Lalu kejadian itu menimpa dia, dia mengatakan, “Hatinya
seperti mau mati rasanya.” Dia terus memohon kepada suaminya supaya suaminya
itu tidak pergi, supaya mereka tidak bercerai, memikirkan untuk keluarganya dapat
tetap berjalan dengan baik. Tapi suaminya tetap pergi. Dan mereka akhirnya
bercerai. Beberapa minggu setelah peristiwa itu, dia terus berdoa dengan hati
yang hancur dan berharap kepada Tuhan. Dia bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, saya
tahu Engkau sanggup memulihkan keadaanku. Tapi kenapa semuanya terjadi?” Dia
terus berseru demikian, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Suaminya tidak pernah
kembali.

Ini hanya
salah satu kisah dari banyak kisah penderitaan, pergumulan yang dihadapi banyak
orang Kristen, termasuk kita sendiri yang ada di sini. Ada orang-orang Kristen
yang sejak kecilnya dia ditinggal orang tuanya. Orang tuanya meninggal, dia
harus besar dengan kekurangan kasih dan perhatian dari orang tua sehingga
pertumbuhannya begitu lambat dan tidak sama dengan pertumbuhan anak-anak lain
yang mempunyai orang tua. Ada orang Kristen yang mungkin susah untuk
mendapatkan pasangan karena, mungkin, kasih yang nggak sampai, perbedaan
status sosial, budaya, atau mungkin keterbatasan fisiknya, kesibukan
pekerjaannya. Ada orang-orang Kristen yang mengalami trauma, depresi, yang
terus menerus sepanjang hidupnya. Ada orang-orang Kristen yang bergumul dengan
tubuhnya yang mudah sakit. Dan begitu banyak orang Kristen yang mengalami
kesedihan-kesedihan yang juga dialami oleh orang-orang pada umumnya. Menjadi
Kristen tidak sepenuhnya lewat dari penderitaan dan kesulitan-kesulitan. Percaya
Kristus tidak serta merta menghilangkan penderitaan dan pergumulan dalam hidup
kita. Hari ini saya mau mengajak Bapak, Ibu, Saudara sekalian, merenungkan
bagaimana kita bergumul di tengah kesulitan hidup kita berdasarkan Mazmur 22.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, Mazmur 22, ini adalah seruan individu, pergumulan pribadi
yang dituliskan di sini, yang dinyatakan kepada Tuhan. Secara struktur sederhananya
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa membagi 2, ayat 1-22 mengungkapkan
pergumulan pemazmur yang disimpulkan di awal, yaitu keadaan dia ditinggalkan
oleh Allah, tersendiri, beban berat karena Allah meninggalkan dia. Lalu bagian
kedua dari ayat 23-32, di situ menyatakan satu yang berbeda sekali dengan
bagian sebelumnya, ungkapan yang penuh harapan akan keselamatan dari Allah.
Begitu ungkapan yang indah, bahkan dinyatakan dengan nyanyian pujian dalam
konteks ibadah secara publik di hadapan jemaat Tuhan.

Bagaimana
kita seharusnya bergumul sebagai seorang Kristen dari Mazmur 22? Pertama,
melalui penderitaan kita dapat mengenali diri kita yang lemah, yang
terbatas, dan sangat perlu pertolongan Tuhan
. Penderitaan memang tidak
enak, kita kalau bisa hidup itu bebas dari penderitaan. Dan itulah yang terus
kita usahakan. Kita makan sehat untuk tetap sehat, kita olahraga untuk tubuh
tetap sehat, kita membangun kebiasaan-kebiasaan untuk keadaan tetap lebih baik.
Kita bekerja mencari uang supaya mengurangi kesusahan kita. Dan memang benar,
ada poin kebenarannya juga dalam hal itu. Kita belajar dari SD, SMP, SMA,
kuliah, untuk apa? Mengurangi kesusahan kita mencari pekerjaan dan menjalani
kehidupan. Tapi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, sering kali Tuhan memakai
penderitaan untuk menyadarkan siapa kita di hadapan Tuhan. Kita adalah makhluk
yang lemah, yang terbatas, yang butuh pertolongan.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, kita bisa melihat ungkapan-ungkapan pemazmur yang menyatakan
keadaan dirinya dan siapa dirinya ketika dia bergumul. Kita lihat ayat 2,
kondisi yang sangat-sangat tidak nyaman, dia mengungkapkan dirinya ditinggalkan
Allah. Allah itu jauh, Allah itu tidak menolong dia. Yang dimaksud pemazmur ini
bukan sekedar secara cognitive pengertian Allah beserta. Dia tidak
masalah dengan itu karena dia bukan orang yang tidak beriman. Ini justru
ungkapan orang beriman, dia sudah percaya kepada Allah, dia tahu mungkin
doktrin-doktrin bahwa Allah beserta dia. Masalahnya di sini apa? Tuhan tidak
menyatakan pertolongannya secara nyata. Sederhananya begini, saya sakit
sekarang. Lalu saya doa sama Tuhan, “Tuhan sembuhkan saya.” Nggak ada
apa-apa yang terjadi. Besok sakit lagi, masih terus sakit. Dokter bilang malah
keadaan tambah buruk. Saya bergumul sekarang, cari kerja susah, sudah rajin ke
gereja, sudah berikan banyak lamaran ke berbagai tempat, lihat nilai juga
baik-baik saja, segala pengalaman juga cukup baik selama kuliah, mengikuti magang
dan seterusnya. Sudah doa sama Tuhan, tidak ada pertolongan secara konkret.
Maka Mazmur berseru, “Tuhan, Engkau sudah meninggalkan aku. Di mana Engkau?
Tidak ada pertolongan bagiku.” Dan dia terus dikatakan berseru siang dan malam.
Artinya terus menerus. Setiap saat dia bergumul.

Lalu di
ayat ke-2, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini ungkapan yang lebih lagi, yang
sebenarnya mirip dengan yang pertama. Dia itu seperti cacing tanah. Cacing
tanah, yang rendah, yang remeh, yang menghancurkan makanannya. Yang dia makan
itu selalu jadi hancur juga, nggak bisa seperti daur ulang lalu menjadi
makanan kita. Cacing tanah, yang adanya di tanah, yang identik juga dengan
mayat-mayat. Hewan yang begitu rendah, yang kita jijik. Ini kondisi Mazmur.
Memang ini ungkapan kiasan, tapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini menyatakan ketika
dia bergumul dalam penderitaan, dia disadarkan siapa dirinya. Dia sadar dia itu
seperti cacing. Lalu ayat 15-17, ini ungkapan juga yang lebih mendalam sekali,
hatinya itu hancur, dia leleh seperti lilin. Sendi-sendinya, tulangnya itu
terlepas. Ini keadaan yang begitu menyedihkan, begitu mengerikan. Lidahnya itu nempel
ke langit-langit mulutnya, dia tidak bisa ngomong apa-apa lagi. Dan
keadaannya mendekati kematian, menuju maut. Penderitaan sering kali Tuhan pakai
untuk menyadarkan kondisi kita yang demikian.

Banyak hal
yang mungkin kita bisa banggakan. Orang yang nilainya bagus bangga dengan
kepintarannya. Pekerjaan yang bagus dia bangga dengan pekerjaannya. Keluarga
yang baik kita bisa banggakan. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, nggak salah
bersyukur dengan hal-hal itu. Dan di Alkitab juga menyatakan banyak sekali
orang-orang cinta Tuhan, yang percaya Tuhan, yang diberkati Tuhan secara
materi, kepintaran, fisik. Banyak orang-orang di Alkitab, baik laki-laki, perempuan,
dikatakan wajahnya begitu tampan, begitu cantik, secara materi begitu kaya,
jabatan begitu baik. Kita tidak sama sekali anti dengan hal-hal itu. Tapi
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, itu sering kali membuat kita pada kondisi kita
nyaman, kita aman, maka Tuhan memakai penderitaan untuk menggoyah kenyamanan
kita, menggoncang keamanan kita supaya kita sadar kita rapuh, kita lemah, kita
itu cacing saja. Dan kita perlu pertolongan Tuhan. Dalam penderitaan ada
ungkapan jiwa, jeritan hati, rindu kepada sesuatu yang besar, berharap kepada
sesuatu yang lebih besar dari kita untuk segera menolong kita.

Di dalam
Mazmur 22 memang tidak diungkapkan pergumulan apa yang dinyatakan oleh
pemazmur. Tapi ada ungkapan-ungkapan kiasan di sini, di ayat 13, 17, 21, 22,
kita bisa melihat pemazmur menyatakan kesulitan-kesulitannya itu seperti lembu
jantan, banteng-banteng, anjing, pedang, singa yang menyerang dia, secara
aktif, yang mau mematikan dia, yang banyak jumlahnya. Banyak penafsir sulit
menyimpulkan, tapi ada yang memang beberapa yang menyimpulkan mungkin saja ini
adalah penolakan secara sosial, permusuhan dari orang-orang yang memusuhi dia,
masalah yang bahkan mengancam jiwanya, penyakit yang mau mematikannya. Tapi ada
juga yang menyimpulkan bahwa ini juga mungkin pergumulan dia dengan dirinya
sendiri. Ada keterpecahan diri. Jadi begitu banyak Saudara sekalian, tapi kita
bisa lihat di sini, gambaran-gambaran ini, kita bisa lihat kesimpulan ada
kesamaan-kesamaan. Pergumulan yang dihadapi pemazmur itu adalah sesuatu yang
lebih besar dari dirinya, yang banyak jumlahnya, yang secara aktif mau
menghancurkan dia
. Bukankah penderitaan juga seringkali datang lebih besar
daripada kekuatan diri kita? Bukankah penderitaan seringkali hadir di hadapan
kita bukan datang satu-satu, datangnya rombongan. Bukankah juga penderitaan
ketika hadir di hadapan kita membuat kita itu seperti dicelakai. Penderitaan
itu seperti pribadi yang mau mencelakakan kita. Makanya itu nggak heran
kita sampai akhirnya “arahnya” bisa menuduh Allah atau menuduh orang-orang yang
sifatnya pribadi. Penderitaan bukan sesuatu yang abstrak saja, tetapi
seolah-olah penderitaan itu aktif mendorong kita, mencelakakan kita, melukai
kita. Yang akhirnya memang, sampai pada titik terendah, kita bisa mengarahkan penilaian
itu, “Allah yang mencelakakanku!”

Penderitaan
menghancurkan banyak hal dalam hidup kita sampai hidup itu begitu berat. Sampai
kita bahkan mengatakan, “Aku tidak sanggup lagi untuk hidup.” Tetapi Bapak,
Ibu, Saudara sekalian, pemazmur mengajarkan janganlah terutama fokus kepada
penderitaannya, fokuslah apa yang kita bisa pelajari dari penderitaan itu.
Penderitaan itu membawa kita kepada kesadaran tentang apa? Yaitu tentang diri
kita yang lemah, yang terbatas, yang rapuh, yang perlu pertolongan Tuhan. Kita
adalah makhluk yang sangat-sangat perlu hal-hal yang di luar kita untuk bisa
menopang kita. Dan lihatlah bahwa penderitaan, di dalam kedaulatan-Nya, Tuhan
memakai untuk menyadarkan siapa diri kita.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, kita bisa lihat di dalam tokoh-tokoh Alkitab, seperti Abraham
sebelum ikut Tuhan hidupnya nyaman, secara materi enak, punya istri yang cakep.
Lalu suatu kali dia dipanggil Tuhan untuk pergi ke tanah yang Tuhan tunjukkan.
Mulai pergumulan muncul: susah punya anak, ketemu orang-orang buat susah juga, ada
orang-orang yang mau menikahi istriny, ada konflik dengan keponakannya, ada
konflik budak dia dengan budak keponakannya. Saat punya anak, juga ada
pergumulan, anaknya harus diserahkan kepada Tuhan. Kisah itu muncul sesudah dia
mengikuti Tuhan, pergumulan terus muncul. Tokoh lain, Ayub dikatakan orang yang
saleh, yang takut Tuhan. Dia materinya OK. Hidup yang kira-kira kurang
lebihnya juga sezaman dengan Abraham. Punya istri, punya anak yang banyak,
punya budak, pembantu yang begitu banyak. Lalu suatu kali penderitaan itu
hadir.

Kita memang
tidak dipanggil untuk mencari-cari penderitaan. Kita juga bukan seorang yang
anti penderitaan. Tapi kita bisa melihat ada makna di balik penderitaan, ada
hal yang kita bisa kita pelajari, bisa kita renungkan untuk membentuk kita. Dan
itu dimulai dari kita mengenal siapa diri kita, kita yang lemah, yang terbatas.
Pengenalan yang tepat akan diri bahwa kita adalah orang yang lemah, yang
terbatas, yang rapuh, yang butuh pertolongan, itulah titik awal untuk kita bisa
bertumbuh lagi di dalam Tuhan.

Kedua, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita
bisa melihat di ayat 4-6, lalu ayat 10-12, penderitaan juga seharusnya
kita hadapi dengan mengingat siapa Allah
.
Kadang-kadang, Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, kalau kesusahan datang, kita susah cari uang, kita fokus
hanya uang. Kita susah cari pasangan, kita fokus hanya pasangan. Kita susah
punya anak, fokus hanya anak. Kita susah di dalam komunitas, kita fokus ke
situ. Tapi kita lupa pada Tuhan. Pemazmur di ayat 4-6, 10-12, bagaimana
menyatakan dia ingat siapa Allah. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di ayat 4-6,
ini adalah ingatan yang lampau, ingatan yang lewat. Saya menyebut di sini
adalah ingatan formal, pengenalan akan Allah yang formal, yang menurut kata
orang. Ini kan biasanya kita juga bisa terima ini dari pelajaran kita, dari
PA-PA, dari seminar. Kata orang. Biasanya disimpulkan dengan statement-statement.
Misalnya “Allah itu adalah Allah yang berdaulat”, “Allah itu setia kepada
janji-Nya”, “Allah adalah Allah yang kudus”, “Penolong Israel”. Ini statement-statement
kebenaran yang memang benar tapi diketahui secara formal di mana orang
mengajarkan kepada kita atau kita terima di dalam buku-buku teologis, misalnya,
atau seminar-seminar yang kita terima. Pemazmur dikatakan dia tahu Allah adalah
Allah yang kudus Israel, yang menyelamatkan bangsa Israel, Israel berseru
kepada-Nya. Ini pengetahuan formal dan itu memang perlu juga.

Lalu yang
kedua, di ayat 10-11, pengenalan akan Allah secara formal itu tidak berhenti di
situ saja, tapi menjadi pengenalan yang eksistensial. Pengenalan yang tentang
Allah dalam hubungannya dalam hidupku. Dialah Allahku. Bukan sekedar Allahnya
Israel, bukan hanya Allah Tritunggal yang diajarkan doktrin reformed. Tapi
Allahku, menjadi eksistensial, menjadi menurutku pribadi. Kalau kita
merenungkan penderitaan Ayub, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di bagian akhir
Ayub mengatakan hal yang sama. Dia mengatakan, “Dari dulu, sebelumnya dari
orang saja aku dengar Engkau. Sekarang aku melihat langsung wajah Tuhan.”
Demikian juga pemazmur katakan Engkaulah Allahku, Engkau bukan hanya Allah yang
Israel berseru lalu menyelamatkan Israel tapi Engkau juga adalah Allahku. Sejak
dari kelahiranku aku sudah diserahkan kepada-Mu.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, seringkali kita mungkin mengabaikan dan bahkan meremehkan
pembelajaran kita akan firman Tuhan yang secara formal, secara rutin kita
terima. Padahal itu adalah modal penting untuk kita bisa menghadapi penderitaan
kita. Ada banyak kelas-kelas, seminar, PA-PA, untuk apa sih? Mengapa sih kita
harus baca Alkitab secara rutin? Mengapa sih kita harus ikut seminar? Menambah
pengetahuan kita saja? Supaya ditanya orang berapologetik bisa membela
kebenaran dengan baik? Bukan! Untuk apa? Untuk menanam ingatan akan kebenaran
Allah sehingga waktunya tiba, ingatan itu bisa dimunculkan kembali di dalam
hidup kita.

Ada banyak
hal Tuhan memproses kita, tapi kita abaikan begitu saja. Baru waktu susah, baru
coba cari ayat Alkitab. “Saya lagi sakit ini. Kaki saya lumpuh. Mana ya doa
untuk orang lumpuh?” Sudah terlambat. Waktu susah cari pekerjaan, cari ayatnya.
Sudah salah. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita datang kepada Tuhan bukan waktu
susah. Kita datang kepada Tuhan secara rutin setiap harinya. Kita baca Alkitab
untuk menanam ingatan kebenaran akan Allah sehingga saat waktunya tiba, ingatan
itu muncul kembali. Lalu ingatan itu bukan ingatan menjadi formal konseptual,
tapi ingatan yang hidup di dalamku. Ingatan itu menjadi eksistensial. Allah
Israel itu Allahku juga.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, rutinitas kita untuk mengkonsumsi kebenaran itu penting.
Rutinitas kita untuk bertumbuh di dalam kedisiplinan rohani itu penting untuk
menanam ingatan kebenaran pada kita supaya ketika sesuatu yang muncul
pergumulan tiba, ingatan itu bukan malah lepas, tapi justru semakin mengakar
dan menguatkan iman kita. Alkitab memberikan kebenaran umum. Prinsip-prinsip
umum yang lebih esensial, lebih mengakar supaya kita bisa terapkan di dalam
hidup kita sehari-hari. Dan bagaimana penerapannya itu terjadi? Seringkali
melewati pergumulan dan penderitaan. Penderitaan dan pergumulan adalah proses
untuk ingatan kebenaran formal menjadi eksistensial dalam hidup kita. Ingatan
akan Allah yang secara teoritis menjadi praktis dan riil di dalam hidup kita, Tuhan
pakai pergumulan dan penderitaan.

Ketiga, pemazmur menyatakan bukan hanya
mengingat, dia bergantung kepada Allah
.
Ayat 12 dan Ayat 20-22. Ayat 10-11 itu ada
ingatan tentang siapa Allah. Tapi bukan hanya berhenti di situ, dilanjutkan
seruan kebergantungan di ayat 12, “Jangan jauh daripadaku, ya Tuhan.” Lalu
kita lihat di ayat 13-19 bagaimana pemazmur menyatakan keadaan dirinya yang
lemah, yang terbatas, yang tulang-tulangnya itu hancur. Diikuti kebergantungan
kepada Allah, ayat 20-22. Seruan kebergantungan kepada Allah yang terus
mendesak yang terus-menerus, yang bahkan itu seperti bukan hanya sekedar
seruan. Seperti perintah. “Janganlah!” “Segeralah!” “Lepaskanlah!”
“Selamatkanlah aku!” Mengapa kita melakukan seperti itu? Karena kita sudah pada
titik terendah, lalu kita nggak tahu harus bergantung pada siapa, lalu
kita berseru seperti itu. Ketika pada titik terendah kehidupan kita, seruan
kita itu bahkan menjadi perintah pada Tuhan.

Kalimat-kalimat
yang diungkapkan begitu seperti ungkapan yang ekspresif, emosional dan sekaligus
indah. Pemazmur katakan, “tidak ada yang menolong.” Ini ungkapan yang
seperti, sudah nggak ada lagi yang lain, lalu disambut di dalam ayat 20,
“kekuatanku”. Dalam istilah aslinya paralel dengan penolong. “Tidak ada yang
menolong,” lalu pemazmur katakan, “Engkaulah penolongku.” Ingatan akan Allah
yang sejati akan membawa kita bergantung kepada Allah sebagai satu-satunya
penolong kita dan Juruselamat kita. Pemazmur menggunakan sebutan Allah, nama
Allah yang adalah diri Allah yang begitu agung di dalam ayat 20-22 “TUHAN”
dengan huruf besar semua, “YHWH”. Dan dia katakan, “Engkau menjawab aku.”
Memang ada banyak ya penafsiran tentang hal ini. Apakah pemazmur menulis ini
karena dia sudah lepas dari kesusahannya, lalu kemudian pemazmur itu menuliskan
mazmur ini karena sebagai ungkapan syukurnya karena Tuhan sudah melepaskan dia
dari kesusahannya? Tapi ada juga yang menyatakan, mungkin sekali bahkan
pemazmur itu sebenarnya nggak lepas dari kesusahan. Dia bergumul waktu
menulis ini. Dia belum melihat secara konkret, tapi dengan iman dia percaya Tuhan
akan menjawab dia. Dan bukan hanya “akan”, tapi Tuhan “telah” menjawab dia.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, seringkali bukan Tuhan yang nggak
menjawab. Tuhan jawab kita, tapi kita mungkin nggak peka jawaban Tuhan.
Mungkin jawaban Tuhan tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Tuhan seringkali
menjawab kita. Dia sudah menjawab. Entah yang sakit menjadi sembuh, yang buta
jadi melihat, yang lumpuh jadi berjalan. Itu jawaban-jawaban Tuhan! Tapi ada juga
jawaban-jawaban yang lain. Yang sakit, besoknya mungkin tetap sakit, bahkan
mungkin meninggal. Yang buta, besoknya tetap buta sampai akhirnya mungkin tidak
pernah sembuh. Itu mungkin juga jawaban Tuhan, tapi tidak seperti yang kita
harapkan. Pemazmur menyatakan harapannya kepada Tuhan sebagai satu-satunya
penolongnya, sebagai satu-satunya Juruselamatnya.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, kita tahu ketika kita membaca ayat yang pertama “Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?
” Itu adalah juga seruan dari
Tuhan Yesus. Augustinus mengatakan bahwa Tuhan Yesus, ketika Dia berseru kepada
Tuhan, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Tuhan Yesus
itu mewakili kita. Dia bersyafaat atas kita sekalian sehingga dosa-dosa kita
menjadi tanggungan-Nya dan kebenaran-Nya menjadi milik kita. Aquinas
mengatakan, Tuhan Yesus ditinggalkan oleh Allah. Ketertinggalan-Nya di kayu
salib itu mewakili kita. Karena dosa kita, Dia ditinggalkan. Dia menyuarakan
keluhan kita, keberadaan kita yang berdosa, yang ditinggalkan Allah. Ketika
kita berdosa, Allah jauh dari kita. Dan akibat dosa, kita menderita. Mazmur ini
adalah tentang kita. Ketika Tuhan Yesus berseru, “Allahku, Allahku, mengapa
Engkau meninggalkan aku?
” Jawabannya, demi aku, demi kita semua. Dia
ditinggalkan supaya kita tidak ditinggalkan Allah di masa terendah dalam hidup
kita.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, saya percaya mungkin sulit ya di dalam penderitaan dan tidak
semua jawaban Tuhan itu sesuai dengan yang kita inginkan. Ada jawaban yang
sesuai dengan keinginan kita, kehendak kita, Puji Tuhan karena itu juga sesuai
dengan kehendak Tuhan. Tetapi ada kadang-kadang, Tuhan nggak kasih
demikian. Tapi belajarlah terus berharap kepada Tuhan. Mengapa? Karena Dia juga
adalah Allah yang turut menderita bersama dengan kita. Dia tahu penderitaan
kita. Dia tahu bagaimana ditinggalkan Allah. Dia tahu bagaimana tergantung dan nggak
bisa ngapa-ngapain. Dia tahu bagaimana orang-orang begitu menghina. Dia
hanya terdiam. Dia tahu bagaimana sakitnya menjadi manusia. Yesus Kristus
menghayati kemanusiaan melalui penderitaan yang Dia alami supaya kita bisa
mengenal Kristus, serupa dengan Kristus melalui penderitaan yang kita alami.

Keempat,
pemazmur memuji Tuhan
. Waktu
bergumul, dia bukan hanya sadar, kenal siapa dirinya. Karena ada banyak orang
yang nggak percaya Tuhan menghadapi penderitaan juga kenal dirinya
sebagai manusia yang rapuh. Albert Camus menyatakan, “kehidupan yang penuh
penderitaan itu adalah kekalahan yang tiada akhir.” Dia sadar, dia yang lemah.
Dia sadar, pertarungannya nggak akan pernah menang. Pemazmur juga tidak
hanya berhenti pada ingatan-ingatan bahwa Allah itu seperti Allah adalah Allah
yang kudus, Allah yang berdaulat, Allah yang bisa menolong. Dan dia bukan hanya
bergantung saja, pasrah melepaskan semuanya kepada Allah, bersandar kepada
Tuhan. Tapi yang keempat, yang mungkin sangat sulit kita lakukan yaitu menyanyi
bagi Tuhan. Memuji Tuhan, bersaksi bagi Allah, bahkan sebelum pertolongan itu
tiba. Biasanya kita memberikan kesaksian itu waktu kalau sudah sembuh ya. “Kita
bersyukur bapak ini sudah dilepaskan dari kesusahannya. Mari bersaksi, silahkan
Pak.”  “Wah, saya dulu susah. Sekarang
Tuhan tolong, jadi lancar pekerjaannya. Sekarang keluarga jadi akrab saling
mengasihi.” Baru kesaksiannya indah, kita tepuk tangan, terberkati dan
seterusnya. Tidak demikian. Mazmur bukan selalu kesaksian yang seperti itu.
Seperti saya sudah katakan tadi, banyak penafsir menyatakan pemazmur menulis
bagian ini mungkin nggak selesai pergumulannya. Tapi dia bilang, Tuhan
telah menjawab dia. Dan bukan hanya Tuhan telah menjawab, dia memuji Tuhan,
bersaksi, “Aku akan memakai suaraku memuji Tuhan di banyak orang.” Biasanya
yang sering terjadi, kita sering banyak ingat kesusahan, yang banyak keluar dari
mulut kita sering keluhan. Banyak sekali kesusahan-kesusahan sehingga mungkin
kita susah juga memuji Tuhan.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, kita buka Mazmur 147. Ini ayat yang mungkin kita jarang
perhatikan. Mzm. 147:1, “Haleluya! Sungguh, bermazmur bagi Allah kita itu
baik, bahkan indah, dan layaklah memuji-muji itu.”
Pemazmur mengawali
Mazmur ini, Haleluya! Bermazmur, menyanyi bagi Tuhan itu baik, sebelum doanya
dijawab. Sebelum pekerjaannya berhasil.  Sebelum
pergumulannya selesai. Dia sudah di awal keluarkan statement “Memuji
Tuhan itu baik.” Bapak, Ibu, Saudara sekalian, menyanyi itu kita untuk apa sih?
Tuhan itu sudah punya banyak malaikat memuji Dia. Ngapain tambah lagi
suara kita yang mungkin sering fals memuji Dia? Jadi untuk apa memuji Tuhan?
Untuk kita! Untuk kesehatan rohani kita. Untuk dikuatkan iman kita.

Memuji
Tuhan itu baik untuk kerohanian kita. Baik untuk pertumbuhan iman kita. Itu
yang dilakukan pemazmur. Pemazmur, sebelum pergumulannya selesai dia hadapi,
dia memuji Tuhan. Dia bukan hanya memuji di kamar sendirian. Dia memuji di
banyak orang. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita coba bisa renungkan. Lebih
banyak keluar dari mulut kita secara publik itu keluhan atau pujian pada Tuhan?
Berapa banyak orang Kristen yang seringkali terjadi adalah ketika ketemu banyak
orang isinya seringkali keluhan, pujiannya sedikit. Ketika terjadi sesuatu,
belajar pujilah Tuhan.

Iman itu
apa sih, Saudara sekalian? Menerima jawaban sebelum jawaban itu diterima.
Sebelum jawaban ini terjadi sudah beriman kepada Tuhan, sebelum Tuhan
menyatakan pertolongan-Nya secara konkret. Itu namanya iman. Maka, ungkapan
nyanyian pemazmur di dalam ayat 23-32 ini iman yang besar. Banyak penafsir
memuji iman pemazmur di sini. Pemazmur mengatakan, ”Allahku, Allahku,
mengapa Engkau meninggalkan aku?
” di awal. Lalu dalam prosesnya akhirnya
ungkapan iman yang luar biasa, “Aku akan memuji Tuhan di jemaat Tuhan. Aku
akan memberitahukan segala kebaikan Tuhan
.” Itu yang pemazmur lakukan.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini bukan penipuan diri. Bukan. Ini bukan positive
thinking. Positive thinking
arahnya membangun kemanusiaan yang kuat. Tapi
Alkitab mengajarkan melihat Tuhan yang kuat. Pemazmur bersaksi bagaimana Tuhan
membimbing dia, memimpin dia di tengah pergumulannya. Dia menyatakan pujian dan
syukur kepada Tuhan di tengah-tengah jemaat Tuhan.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, sebagai penutup, ada 1 hamba Tuhan sekaligus juga penulis
lagu bernama William Cowper. Waktu saya baca biografinya, begitu menyedihkan.
Hidup William Cowper itu bisa dikatakan hidup yang penuh pergumulan, bahkan
sampai dia mati. Dia dibesarkan di keluarga “Kristen”, bukan Kristen yang
sungguh-sungguh cinta Tuhan atau sungguh-sungguh bisa beriman dengan teguh
kepada Tuhan. Dia dibesarkan di keluarga Kristen karena ayahnya bekerja di
gereja. Ayahnya bekerja di gereja, lalu kemudian dia ikut ayahnya. Dia
beribadah di gereja itu tempat ayahnya bekerja. Jadi dia hanya terima firman
Tuhan, hanya “firman” itu secara formal kognitif saja. Dia tahu konsep-konsep
tentang Allah secara teoritis, tapi dia belum bertobat. Dia baru bertobat waktu
umur dia 32 tahun.

Nah,
sebelum dia bertobat itu, ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Ibunya mati
meninggalkan dia. Lalu kemudian ayahnya juga pergi meninggalkan dia waktu dia
kecil. Dia kemudian di asrama. Dia bertumbuh, diproses masa kecilnya itu di
asrama. Dan selama di asrama dia banyak di-bully oleh teman-temannya
yang lebih tua dari dia. Sampai membuat traumatic, depresi begitu berat. Tapi
dia kemudian dapat ketenangan waktu dia baca puisi-puisi. Dia juga
mengungkapkan kesusahan pergumulannya melalui puisis-puisi, melalui tulisannya.
Lalu dia terus menjalani hidupnya sampai suatu kali depresi itu muncul lagi.
Depresi itu muncul itu paling tidak menurut catatan 4x di dalam hidupnya dia
mengalami depresi begitu berat. Dan yang kedua, depresi yang paling berat yang
dia bahkan sampai mau bunuh diri 3x. Lalu dia masuk rumah sakit jiwa. Disitu dia
ketemu dokter yang takut Tuhan, yang cinta Tuhan. Dokter itu terus membantu
dia, pengobatan dia sampai berapa waktu lamanya dokter itu memberikan Alkitab
kepada dia. Menaruh Alkitab di meja samping kasurnya. Sampai suatu kali, dia
tergerak untuk baca Alkitab. Lalu dia baca Alkitab dan dia tersentuh. Khususnya
kisah Lazarus dibangkitkan. Dia membaca kisah itu. Dia baca bukan hanya kasih
Yesus kepada Lazarus, tapi kisah itu juga menyatakan kasih Yesus kepada
dirinya. Sejak itulah dia bertobat. Itu berarti kira-kira umurnya 32 tahun. Dia
datang kepada Tuhan, dia mau komitmen sungguh-sungguh kepada Tuhan untuk
melayani Tuhan.

Dia terus
membaca Alkitab sampai satu kali dia ketemu ayat Roma 3:25, dia mengatakan ayat
itu menguatkan dia seperti ada cahaya surga itu muncul di dalam hatinya membuat
dia kagum, membuat dia takut, sekaligus dia cinta sama Tuhan lebih lagi. Lalu
dia sungguh-sungguh ikut Tuhan. Apakah depresinya selesai? Nggak. Dia
terus depresi. Muncul lagi depresi yang ketiga kalinya. Saat itu, dia bertemu
dengan seorang teolog namanya John Newton. Dia menulis lagu bersama dan dibimbing
oleh John Newton. Melayani bersama tetapi tetap dia masih bergumul dalam
depresinya terus-menerus. Ada lagu yang dia buat bersama John Newton, judulnya
”Sangat Besar Anug’rah-Mu.” Itu ditulis John Newton dengan William Cowper. Dia
terus bergumul dalam depresinya, bahkan sampai akhir hidupnya. Dia mati bukan
dengan mati yang nyaman. Dia mati bukan mati dengan tenang. Dia meninggal
dengan depresi yang berat.

Bapak, Ibu,
Saudara sekalian, kalau kita lihat orang Kristen depresi begitu berat seperti
ini, nggak pernah selesai pergumulannya, terus percaya kepada Kristus, mungkin
dia belum selamat. Tapi saya percaya, Cowper ini pasti diselamatkan oleh Tuhan.
Dari mana saya tahu, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Dari lagu-lagu yang dia
tulis. Lagu-lagu yang dia tulis mengungkapkan iman yang teguh,
kebergantungannya kepada Tuhan. Dia menulis 1 lagu yang tadi saya sudah
sebutkan ”Sangat Besar Anug’rah-Mu.” Berapa banyak orang yang sudah dapat
berkat. Ada satu lagi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang mengungkapkan
bagaimana penderitaan Kristus itu begitu dia hayati dalam hidupnya. Menjadi
harapannya dan pertolongannya di tengah-tengah pergumulannya, depresinya.
“Tercurah Darah Tuhanku.” Puji Tuhan. Ungkapan yang indah. Harapan yang pasti
di dalam Tuhan Yesus. Tuhan Yesus adalah Tuhan yang menderita bersama dengan
kita. Kristus menghayati kehidupan manusia melalui penderitaan-Nya. Demikian
pula kita, dibentuk semakin serupa Kristus melalui penderitaan yang Tuhan
izinkan kita gumulkan. Mari kita berdoa.

Bapa di
surga, kami bersyukur Tuhan untuk kesempatan yang Engkau berikan. Kami terus
diingatkan dan kami terus diajarkan, didorong lagi Tuhan untuk mendekat kepada
Tuhan di tengah segala kesulitan, pergumulan. Dari mungkin
pergumulan-pergumulan yang bagi kami kecil, tapi bagi orang lain begitu besar.
Engkau terus menopang kami, Tuhan. Ajar kami Tuhan di dalam setiap pergumulan
kami, kami melihat Kristus yang tersalib menjadi satu-satunya harapan kami.
Engkau adalah Allah yang juga menderita bersama dengan kami. Karena itu,
melalui penderitaan kami, kami juga dibentuk semakin serupa dengan Tuhan Yesus
Kristus. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin. (HSI)