Pernikahan: Efek Kejatuhan
Vik. Nathanael Marvin, M. Div
Kurang lebih 90 tahun lalu, ada sepasang misionaris yang pergi melayani di Tiongkok. Mereka bernama John dan Betty Stam. Awal mereka kenal, di Moody Bible Institute Amerika. Dengan latar belakang Betty dibesarkan di Tiongkok, dia memiliki kerinduan setelah sekolah Teologi di Amerika dia punya kerinduan untuk kembali di Tiongkok untuk melayani orang-orang Tionghoa di sana. Betty akhirnya pergi duluan, dan lalu satu tahun kemudian John menyusul. Mereka melayani orang-orang Tionghoa dan mereka bertunangan di Tiongkok dan akhirnya pada tanggal 25 Oktober 1933 mereka menikah dan diberkati oleh Pdt. Ruben A. Torrey. Betty berumur 27 tahun, John berumur 26 tahun. Ya mereka menikah di satu kota di Jinan, di Shandong dan dihadiri oleh 200 orang misionaris teman-teman mereka dan juga kurang lebih 140 orang Tionghoa Kristen. Dan mereka ikut bersukacita atas diberkatinya pasangan Misionaris ini, pasangan baru ini. Lalu Betty dan John sudah menikah, mereka bahkan dapat cuti 2 minggu untuk bulan madu selama 2 minggu. Dan di dalam pernikahan mereka, mereka dikaruniai anak perempuan dan diberi nama Hellen Priscilla.
Nah sampai di sini Bapak, Ibu sekalian, kita bisa melihat ini adalah masa-masa indah di dalam pernikahan Kristen. Di dalam keluarga Kristen mereka bisa memiliki visi yang sama, bahkan pekerjaan mereka sama sebagai misionaris yang diutus dari Gereja Presbyterian untuk melayani di Tiongkok. Mereka betul-betul menikmati pelayanan, meskipun kita tahu di dalam sukacita, di dalam kelancaran, di dalam pernikahan Kristen pasti ada lika-liku maupun kesulitan yang terjadi. Dan mereka diberkati dengan baik dan penuh masa-masa sukacita dari Tuhan. Tetapi kita tahu bahwa di dalam dunia yang berdosa ini, pernikahan Kristen pun tidak selalu mulus dan penuh sukacita. Tetap kita harus sadar bahwa manusia yang menikah adalah manusia yang berdosa juga. Manusia yang hidup dalam dunia yang berdosa. Manusia memiliki keluarga tetapi keluarga itu pun sudah jatuh ke dalam dosa. Di masa yang indah, bukan berarti tidak ada kesusahan sama sekali. Tetapi kita juga tahu bahwa di masa yang susah, masa-masa kita sedang bergumul, masa-masa kita sedang berseru kepada Tuhan, memohon pertolongannya, bukan berarti tidak ada kemudahan maupun kemurahan hati Tuhan. Ada masa-masa seperti itu.
Ada seorang pemuda yang sempat komentar Bapak, Ibu, Saudara sekalian, soal pernikahan ya, “Saya belum siap menikah”. Karena apa? “Bagaimana mungkin satu orang berdosa dapat hidup dengan satu orang berdosa lainnya selama 24 jam. Saya belum siap menghadapi orang yang berdosa.” Gitu ya. Itu menunjukkan bahwa dia melihat bahwa manusia itu berdosa. Melawan Tuhan saja berani apalagi melawan yang manusia. Menganggap Tuhan saja di bawah dia, apalagi sesama manusia itu, manusia berdosa bisa menganggap bahwa semua manusia itu di bawah dia. Dia bisa semena-mena di dalam kehidupannya.
Nah masa-masa pernikahan ada indahnya, ada jeleknya juga, ada mudahnya ada susahnya juga, ada sukacita, ada dukacita. Akan tetapi rencana Tuhan atas manusia ini adalah hal yang baik, yaitu pernikahan ini hal yang baik karena Tuhan yang menjadikannya, Tuhan yang merencanakannya. Maka dari itu tetap pandangan kita terhadap pernikahan meskipun yang kita lihat adalah buruk ya, kita harus mengakui apa yang Tuhan lihat. Yaitu apa? Pernikahan baik kok. Oleh karena itu sangat penting bagaimana kita menggenapi rencana Tuhan di dalam pernikahan. Meskipun kita tahu ada orang yang panggilannya tidak menikah. Pada umumnya kita mengerti rencana Tuhan ketika kita baca Alkitab, Adam dan Hawa diberkati oleh Tuhan di dalam pernikahan, maka kita pun kurang lebih tahu bahwa manusia itu bisa menikah dan harapan Tuhan menikah. Maka menikah lebih baik daripada tidak menikah. Adam lebih baik ada penolong daripada tidak ada penolong. Tetapi kalau panggilannya tidak menikah, maka harus dijalankan. Seperti Yesus Kristus. Yesus Kristus panggilan-Nya bukan menikah. Maka dari itu lebih baik Dia tidak menikah daripada menikah. Jadi kita bisa melihat ya, bahwa tetap pernikahan itu lebih baik, tapi kalau kita tahu diri kita dipanggil Tuhan dengan jelas diri kita hidup selibat dan tidak menikah, maka tidak menikah. Tetapi pada umumnya kita akan usahakan untuk menikah. Karena itu adalah hal yang dibuat oleh Allah, diciptakan oleh Allah, direncanakan oleh Allah supaya manusia hidup di dalam keluarga. Yang terbaik bagi manusia ciptaan Tuhan tetap prinsipnya adalah jalankan panggilan Tuhan atas hidupnya, baik menikah maupun tidak menikah. Tetapi pada umumnya, secara umum Tuhan menghadirkan rencana pernikahan di dalam kehidupan manusia.
Pada waktu John dan Betty Stam ini melayani sebagai misionaris di Tiongkok, kondisi Tiongkok pada waktu itu dalam kondisi yang tidak aman karena sedang ada perang saudara antara Partai Nasional Tiongkok dengan Partai Komunis Tiongkok juga. Dan mereka diutus dalam kondisi yang tidak mudah, sedang ada peperangan, orang Kristen kalau memang menjalankan panggilannya sebagai misionaris untuk menikah di Tiongkok, mereka melayani mengabarkan Injil orang-orang Tionghoa di sana, mereka jalankan. Dan akhirnya tanpa diduga pada suatu hari, pada pagi-pagi benar saat Betty itu baru bangun tidur lalu memandikan Hellen Priscilla, bayinya itu, yang masih kecil, baru beberapa bulan, tiba-tiba di pagi itu terdengar suara tembakan yang begitu keras dan tentara merah bergegas masuk ke kota. Tentara merah ini mengepung kota tersebut dan akhirnya mereka melakukan apa? Yaitu melakukan penjarahan. Mereka ke rumah-rumah orang, mencari-cari yang mereka bisa aniaya, yang mereka bisa jarah hartanya. Dan juga kalau tahu ini orang asing, orang Kristen lagi, mereka ingin menganiaya, bahkan ingin menangkap dan membunuh orang-orang Kristen. Ya mereka memang mencari-cari masalah sehingga di kota tersebut, di jalan itu kacau balau ya. Dan kemudian Betty ya, seorang ibu yang mau melindungi anaknya, segera membungkus anak itu dengan selimut. Dan karena sudah tahu kondisinya sangat genting, sangat berbahaya, Betty memasukkan uang, menyelipkan uang itu di selimut anaknya. Dua lembar uang 5 dollar supaya bekal untuk anaknya karena tahu bahwa ini kondisi yang sangat sulit, saya bisa kehilangan nyawanya bersama dengan suaminya.
John kemudian ketika mendengar suara tembakan tersebut, sebagai kepala keluarga sebagai pemimpin dalam keluarga tersebut, apa yang dilakukan? Ya, Puji Tuhan, ya, di dalam sejarah dia itu ngapain? Dia pertama-tama, ya, berlutut, berdoa, mengajak semua keluarganya untuk mengandalkan Tuhan dalam kehidupan mereka yang tidak mudah. Lalu, ketika mereka berdoa, tentara merah itu masuk ke rumah mereka, masuk ke ruangan. Lalu, keluarga Stam, John dan Betty ini mempersilahkan dengan hormat. Bagaimanapun, mereka tentara, kekuatan militer lebih kuat daripada kekuatan sipil, rakyat biasa, ya. Mereka memperlakukan tentara itu dengan sopan, lalu menyerahkan semua harta bendanya kepada mereka, lalu mereka siap ditangkap, ya, bersama dengan bayi yang mereka miliki.
Kemudian, ada seorang pelayan di rumah itu berusaha untuk mencoba mengikuti keluarga ini, ya. Mungkin pelayan itu ingin melindungi karena mengasihi keluarga misionaris ini, tetapi pelayan itu malah dilarang untuk mengikuti rombongan tentara sampai tentara menodongkan senjata kepada pelayan tersebut, ”Jangan ikut! Nggak usah ikut-ikut.” Akhirnya John, Betty, dan juga Helen Pricilla, bayi itu, ditangkap, ya. Kemudian, dibawalah mereka sampai esok paginya, dan tentara merah mengawal sejumlah tahanan dengan banyak jarahan. Dan mereka, ya John dan Betty menggendong bayinya di tengah-tengah rombongan para tahanan tersebut, ya. Mereka sengaja dipermalukan supaya orang-orang Tiongkok itu betul-betul bisa menghina orang-orang Kristen, ya, menganggap orang-orang Kristen itu bersalah, mengacau negara, dan akhirnya mereka mengumpat, mengejek rombongan yang ditahan itu.
Malamnya, kemudian John dan Betty itu dikurung di sebuah kamar, ya. John diikat sampai harus dia tidur berdiri. Tidur berdiri dan kemudian, besoknya lagi, mereka dibawa ke pegunungan kecil, dijejerkan dengan semua tahanan yang lain, ya, menanjak gunung, ya. Orang-orang memaki mereka, menghina mereka, tetapi John Betty ketika menjadi tahanan itu dibawa ke pegunungan yang sepi, ya mereka sudah mempersiapkan diri untuk mati, ya. Mereka tetap tenang, tetap tersenyum. Mereka datang kepada Yesus Kristus, ya, mereka menghadapi letih lesu berbeban berat, mereka berdoa kepada Yesus Kristus dan dengan tenang mereka bisa melihat para tentara yang membencinya itu dengan penuh kasih, bukan kebencian. Ya, mereka tenang aja, padahal tentara itu betul-betul mau membunuh mereka tapi mereka tenang, ya, karena kekuatan oleh Kristus. Mereka tahu bahwa apa yang mereka jalani ini sedang menjajaki jejak Yesus Kristus. Akhirnya, di puncak gunung tersebut, mereka semua tahanan dipaksa untuk berlutut dan menjulurkan leher mereka semua dan mereka semua akhirnya dibantai sebagai martir Kristus.
John pada waktu itu berusia 27 tahun, Betty usia 28 tahun. Mereka mati di sana menjadi suatu sejarah bagaimana misionaris Kristen, misionaris muda, keluarga muda yang baru, baru memiliki bayi, mati dipanggil oleh Tuhan. Diizinkan Tuhan menjadi martir Kristus. Lalu kita bertanya, bayi Helen Pricilla itu bagaimana? Usianya baru kurang lebih 2 bulan, 2 bulan, ya. Lalu tentara merah itu, punya hati nurani juga, ya, tidak membunuh bayi, akhirnya apa? Tentara merah itu membiarkan bayi itu di kamar, di suatu tempat tidur selama 36 jam, dan akhirnya ditemukan oleh seseorang dan diselamatkan.
Jadi, kita bisa lihat John dan Betty benar-benar sehidup semati. Mereka mati bersama, dikubur bersama, dan tulisan di nisan salib mereka ada dua ayat ini. Mari kita baca bersama-sama dari Filipi 1:20-21. Filipi 1:20-21, mari kita sama-sama membacanya. “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikian pun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kehidupan keluarga itu demikian, ya. Ada masa-masa indah, ada masa-masa sulit. Ada masa-masa kita berdosa, terhilang, sesat. Ada masa-masa kita itu merasa di dalam keluarga justru kita menghadapi sebuah pergumulan yang berat. “Lebih baik sendiri!” mungkin kita bisa berpikir demikian daripada di dalam pernikahan. Tetapi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, orang Kristen punya senjata yang kuat untuk menghadapi realita yang begitu susah, ya. Apakah hanya misionaris saja yang sering kali di dalam kondisi hidup dan mati? Banyak orang yang tidak percaya kepada Kristus pun hidup dan mati, mereka harus dipenggal, mereka harus diancam nyawanya. Tetapi kita punya senjata, yaitu firman Tuhan. Ketika melihat segala sesuatu itu kelihatannya buruk, kita punya Roma 8:28, ya, ”Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya.”
Jadi, andai kita lihat memang situasi dalam kondisi hidup kita ini begitu buruk, tetapi kita punya pegangan firman Tuhan, Allah turut bekerja. Sehingga apa yang buruk itu kita bisa lihat perspektif Allah itu adalah sarana untuk mendatangkan kebaikan. Kita tidak menyerah dalam kondisi yang buruk sekali pun. Kondisi yang mungkin hidup dan mati, seperti yang dialami John dan Betty seperti ini. Mereka betul-betul berharap kepada Tuhan, mereka betul-betul berpegang pada Tuhan, sehingga apa pun yang terjadi dalam kehidupannya, dia percaya bahwa, “Ini mendatangkan kebaikan kok”, ya, ini mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Tuhan.
Ayat dari Filipi 1:20-21 ini, ini merupakan prinsip keluarga Kristen yang baik ya. Baik individu Kristen, baik pernikahan Kristen, baik keluarga Kristen seharusnya kita boleh memiliki prinsip ini. Yaitu apa? Baik hidup atau mati, aku mempermuliakan Tuhan. Hidup bagiku Kristus, untuk Tuhan Yesus. Mati adalah keuntungan, karena bertemu dengan Yesus Kristus di surga. Ini pun bisa menjadi moto keluarga atau dalam pernikahan Kristen, yaitu apa? Yesus dipermuliakan dalam tubuhku, Yesus dipermuliakan dalam pernikahanku, dalam keluargaku, baik hidupku, matiku dan betul-betul kita mempersembahkan seluruh hidup kita bagi Kristus.
Minggu lalu, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, saya khotbah di Solo, ada kutipan yang sesuai dengan ayat tersebut, Filipi tadi ya, Filipi 1:20-21, yang menurut saya cukup bagus ya. Yaitu dalam khotbah minggu lalu itu saya katakan bahwa, “Kepala keluarga adalah Yesus Kristus. Pusat keluarga adalah Pribadi Yesus Kristus. Maka dari itu kita harus persembahkan keluarga kita untuk kemuliaan Kristus saja.” Jadi pertama-tama sebagai orang Kristen kita punya keluarga. Itu institusi yang terkecil. Kita menjadi organisasi kecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami dan istri. Ya sudah menikah jadi keluarga kan. Akhirnya kalau mau Tuhan tambahkan karunia, tambah anak lagi, tambah anggota keluarga. Tapi kita harus menyadari bahwa kita punya kepala, yaitu siapa? Kristus. Kepala gereja adalah Yesus Kristus, tetapi kita juga jangan lupa kepala pernikahan adalah Yesus Kristus, kepala keluarga adalah Yesus Kristus. Barulah kita menyadari bahwa nanti yang dijelaskan di dalam firman Tuhan mengatakan bahwa kepalanya laki-laki adalah Kristus dan kemudian kepalanya perempuan atau istri adalah laki-laki. Dan dua-duanya mengikut Yesus Kristus.
Nah hari ini kita merenungkan tentang pernikahan, Bapak, Ibu sekalian, khususnya apa yang ditimbulkan oleh efek kejatuhan manusia di dalam dosa. Efek kejatuhan, efek fall, efek dosa dalam pernikahan itu menjadi seperti apa ya. Nah sebagai orang Reformed, kita tahu bahwa kita punya kebenaran atau doktrin atau ajaran itu adalah total depravity. Kita semua seharusnya tahu. Kalau belum tahu berarti belum Reformed atau kurang Reformed. Masak nggak tahu total depravity ya. Kalau nggak tahu itu nggak belajar Reformed. Kita semua diajarkan, orang Reformed itu diajarkan TULIP kan ya. Total depravity, Unconditional election, Limited atonement, Irresistable grace dan juga yang terakhir adalah Perseverance of the saints. Ini kalau sudah menghafal, mengerti kebenaran firman Tuhan ini, bahkan kalau bisa menyebut ayatnya dalam Alkitab, kita bisa dikatakan, “Oh ya lumayan Reformed”. Orang Reformed itu harus tahu TULIP, harus tahu Katekismus Westminster, harus tahu Katekismus Heidelberg. Minimal tahu itu aja sudah Reformed. Tapi kalau belum tahu, wah, belum Reformed ya, belum sesuai dengan apa yang Alkitab jelaskan.
Nah Total depravity menjelaskan bahwa kerusakan total ya, manusia yang berdosa itu sudah rusak dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kita itu tidak ada kemampuan untuk melakukan yang benar di hadapan Tuhan, melakukan yang baik di hadapan Tuhan, semua perbuatan yang kita anggap baik dan benar sebagai manusia berdosa, sudah kotor di hadapan Tuhan. Itu kain kotor. Alkitab mengatakan semua manusia sudah berdosa, seorang pun tidak ada yang benar. Nggak ada seorang pun yang benar. Semua manusia sudah jatuh dalam dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Kita sudah lemah. Maka bagaimana supaya bisa memiliki hidup yang baik dan benar? Ya Tuhan kasih anugerah umum, sehingga setidaknya di dalam diri manusia ada hati nurani dan ada konsep-konsep yang bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.
Tetapi apakah mereka bisa menyembah Tuhan? Tidak bisa. Karena apa? Sudah terputus kok. Sudah putus mau dekat-dekat bagaimana? Kalau sudah putus ya putus. Mau dekat berteman juga nggak bisa, apalagi bicara soal Allah yang Maha kudus, maupun juga manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, yang sudah mati rohaninya. Maka dari itu, semua manusia itu betul-betul rusak total, dalam arti seluruh aspeknya. Tetapi kita bukan berarti menjadi seperti iblis yang betul-betul jahat semuanya, tidak ada anugerah umum yang melimpah dari Tuhan. Ya iblis ada anugerah umum, tapi sedikit. Buktinya iblis masih hidup, masih bisa berkeliaran, masih bisa punya kuasa. Itu sedikit saja. Tapi iblis itu begitu jahat, niatnya jahat, niatnya berdosa. Manusia, di dalam anugerah umum Tuhan, kita berusaha baik terhadap sesama manusia. Bahkan manusia pun merenungkan tentang Tuhan itu yang mana, Allah itu seperti apa. Tetapi tidak bisa dengan kekuatan dirinya sendiri karena manusia sudah jatuh ke dalam dosa.
Ada jemaat pernah berkomentar ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, tentang kehidupan. Ini seorang ibu-ibu yang sudah agak tua, dia coba menyimpulkan kehidupan. Seperti itu ya. Dia katakan bahwa setiap orang itu pasti ada masalah di dalam kehidupan, di dalam dunia yang berdosa kan. Maksudnya adalah pokoknya ada masalah lah, ada kesulitan, ada penderitaan. Karena apa? Karena memang kita tahu memang bahwa adanya penderitaan, adanya kematian itu karena akibat manusia sudah jatuh ke dalam dosa. Akibat fall ini ya. Dia katakan bahwa apa-apa pasti bermasalah kok. Mau single juga bermasalah, mau menikah juga ada masalah, punya anak punya masalah, nggak punya anak jadi masalah juga ya, punya cucu masalah, nggak punya cucu jadi masalah juga. Pokoknya semua ada masalahnya. Nggak ada kondisi hidup kita nggak ada masalah. Karena apa? Dosa itu sudah kita alami dan kita sudah status kita berdosa kan. Maka dari itu bukan menghindari masalah, melainkan solusinya adalah bagaimana kita menghadapi masalah, dan bagaimana kita menemukan jawaban dari setiap masalah tersebut. Itu jawabannya di mana? Jawabannya di Tuhan. Jawabannya adalah di dalam Yesus Kristus.
Umat manusia yang berdosa pasti banyak masalah. Akan tetapi jika sampai hari ini manusia masih bisa hidup, masih bisa berkarya di dalam dunia ini, itu karena ditopang oleh anugerah umum Tuhan yang sangat-sangat melimpah. Anugerah Tuhan itu sangat melimpah! Orang berdosa pun Tuhan kasih sinar matahari, hujan, berkat jasmani yang begitu limpah. Nah di dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini kita tetap ada kebaikan yang Tuhan berikan. Nah ini demikian ya, waktu kita sadari bahwa kita mengakui bahwa total depravity itu nyata di dalam kehidupan manusia yang berdosa, maka waktu kita bawa ke dalam konsep pernikahan, konsep pernikahan pun, yang dimiliki oleh manusia, banyak atau pasti melenceng dari firman Tuhan. Karena apa? Dosa. Kecuali anugerah umum Tuhan, kecuali anugerah khusus Tuhan nyata di dalam kehidupan manusia, baru manusia memiliki konsep yang benar, yang kudus dari Tuhan. Tanpa pertolongan Tuhan, semua konsep kita itu pasti berdosa. Maka ini membuat kita itu sebenarnya rendah hati. Total depravity mengajar manusia itu rendah hati dan bergantung pada Tuhan saja.
Misalnya konsep yang salah di dalam pernikahan, yaitu apa? Pergaulan bebas, boleh berhubungan seksual dengan banyak orang. Alkitab mengatakan nggak, bolehnya kepada suami atau istri kita, satu saja. Tapi konsep pernikahan udah lah nggak masalah, coba-coba dulu semua, baru nanti kita menikah. Nah itu adalah konsep yang salah, seks bebas, pergaulan bebas, tidak menghormati anugerah seks di dalam kehidupan manusia dengan benar dari Tuhan, kita bebas. Lalu pernikahan itu harus ada simulasinya dulu, yaitu kita hidup bersama dulu di satu atap, coba setahun dua tahun kalau cocok nikah, kalau nggak ya udah putus. Itu lagi konsep dari mana? Apakah Alkitab menjelaskan? Ya tidak! Itu karena dari konsep manusia yang sudah berdosa. Boleh poligami, boleh sesama gender menikah. Lalu ada budaya nikah-cerai, nikah-cerai nggak masalah. Itu sudah biasa kok. Selingkuh fisik, selingkuh hati. Lalu kepala keluarga menjadi istri atau kepala keluarga adalah orang tua atau mertua. Nah ini kan semua konsep pernikahan yang dari mana? Dari manusia yang berdosa. Karena kita sudah total depravity, kita bisa memikirkan ajaran-ajaran yang dari kita sendiri yang berdosa. Dan akhirnya kalau kita lihat Alkitab ternyata itu bertentangan dengan Alkitab. Meskipun kita tahu di dalam anugerah umum Tuhan ada yang percaya bahwa pernikahan itu harus monogami ya, satu, dengan satu pria atau wanita saja, sepasang suami istri beres. Itu pun orang yang tidak mengenal Kristus bisa mengakui hal demikian, karena apa? Anugerah umum Tuhan kembali. Ada konsep yang mirip dengan anugerah khusus, yaitu satu suami satu istri menikah, sudah.
Dalam khotbah ini Bapak, Ibu sekalian, kita akan merenungkan tiga pemikiran pernikahan ya, tentang kejatuhannya manusia di dalam dosa. Efek kejatuhan manusia ke dalam dosa sehingga kita punya pemikiran tentang pernikahan yang salah. Yang pertama, kita bisa lihat bahwa kepala pernikahan itu tidak dan tidak sepenuhnya di dalam Yesus Kristus. Orang lain di luar Kristus, mereka apakah punya kepala keluarga yaitu Yesus Kristus? Tidak. Tapi mereka menikah, ya menikah saja. Tapi kepala keluarga bukan Yesus Kristus. Nah, bagi orang yang tidak percaya, mereka tidak punya kepala keluarga yaitu Yesus Kristus. Kepala keluarga itu siapa? Pemimpin dalam keluarga, pemimpin dalam institusi terkecil dalam masyarakat. Ya udah, entah itu papanya, entah itu mamanya, entah itu mungkin anaknya yang mengatur seluruh jalannya keluarga atau orang tuanya. Sehingga mereka akhirnya juga bisa mengalami kerusakan di dalam pernikahan dan akhirnya mengalami masalah demi masalah lagi. Karena apa? Karena sesuka hati mereka, yang memimpin siapa ditentukan sendiri bukan dari Tuhan sendiri.
Nah bagi orang yang percaya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pernikahan Kristen diberkati di dalam Tuhan, di dalam gereja, di dalam Yesus Kristus, tetapi meskipun mereka Kristen, sudah kepala keluarganya punya nih Yesus Kristus, nah masalah di dalam pernikahan Kristen yang sudah terkena efek kejatuhan dalam dosa ini yaitu apa? Mereka tidak sepenuhnya di dalam Yesus Kristus. Sama-sama Kristen tetapi tidak sepenuhnya di dalam Kristus. Orang Kristen pun bisa selingkuh, orang Kristen pun, di dalam pernikahan Kristen pun bisa saling memukul, saling menghina, saling menyakiti satu dengan yang lain. Karena apa? Tidak penuh di dalam Yesus Kristus. Yesus Kristusnya sedikit aja, tidak memenuhi kehidupan pernikahan ataupun keluarga mereka. Inilah yang menjadi pergumulan kita sehari-hari sebagai orang Kristen. Artinya sebagai orang Kristen kita sudah dijelaskan bahwa pernikahan itu harus seiman dan sepadan, sama-sama dalam Kristus. Lalu sepadan itu berarti beda gender. Yang penting Kristen, yang penting lawan jenis ya. Siapapun itu, cuma ya nggak boleh anggota keluarga, nggak boleh anggota keluarga tapi orang lain.
Nah ini adalah prinsip yang sangat sederhana, kita boleh memilih siapapun, bebas memilih siapapun tapi ada pagarnya, itu orang Kristen. Bebas? Bebas, tapi ada pagarnya. Untuk apa? Demi keselamatan diri kita sendiri, demi kebaikkan kita sendiri Tuhan buat aturan demikian. Nah kita pilih yang sesuai dengan Kristus lalu sudah menikah, anggap orang Kristen menikah dengan orang Kristen. Sudah Puji Tuhan, bagus? Bagus. Tetapi kehidupan mereka kalau mereka melupakan Kristus atau tidak penuh dalam Kristus mungkin bisa lebih buruk daripada keluarga yang tanpa Kristus, ini fenomenanya. Keluarga tanpa Kristus tapi mereka betul-betul menghargai anugerah umum Tuhan. Mereka betul-betul belajar bagaimana sebagai laki-laki, sebagai suami, sebagai perempuan, sebagai anak mungkin bisa lebih fenomenanya kelihatan baik, karena apa? Yang satu ada Kristus, yang satu tidak ada Kristus tetapi mereka menghargai anugerah umum Tuhan yang begitu limpah. Yang ini sama sekali tidak menghargai anugerah khusus dari Tuhan maupun anugerah umum dari Tuhan, keluarganya berantakan. Orang Kristen bisa lebih parah daripada orang bukan Kristen, karena apa? Tidak penuh dalam Kristus. Sudah punya Kristus, tidak penuh dalam Kristus bagaimana hidupnya mau jadi saksi Kristus?
Ini sangat disayangkan ya. Di dalam pergumulan kita sebagai orang Kristen kita sudah punya wahyu khusus, wahyu umum, kita kalah sama orang yang betul-betul menghargai wahyu umum dari Tuhan. Ya, betul-betul mereka tuh mau menjaga. Apakah hanya orang kristen yang tidak selingkuh? Bisa setia gitu? Nggak, banyak orang non-kristen juga setia, tidak selingkuh. Ya, apakah orang hanya orang kristen yang akhirnya bisa jadi kepala keluarga yang baik, menafkahi keluarga, enggak, orang non-kristen pun bisa menafkahi keluarga dengan baik, tidak KDRT, tidak cerai. Orang kristen bagaimana? Nah, kita kita bisa lihat ini kelemahan kita, kita pun manusia berdosa. Kita pun tidak penuh di dalam Yesus Kristus. Kita pun tidak penuh dalam Roh Kudus. Kita tetap harus sadar bahwa kita tuh manusia berdosa sebagai orang kristen, tetapi kita ingat juga, kita adalah manusia yang benar karena pengorbanan Yesus Kristus.
Dalam 1 Korintus 11:3 dikatakan : “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah.” Ada ordonya di dalam pernikahan. Tuhan sudah atur juga. Ya, sebagaimana Kristus, Allah menjadi manusia menghormati Bapa, Pribadi ke-2 menghormati Pribadi ke-1 di dalam Allah Tritunggal, ya, laki-laki pun menghargai Yesus sebagai kepalanya, perempuan pun menghargai laki-laki sebagai kepalanya, kepala keluarga di dalam pernikahan. Ini menunjukkan suatu keharmonisan, maupun juga ada ortoritas satu dengan yang lainnya. Tetapi otoritas tertinggi adalah Kristus, ya, Firman Tuhan.
Karena efek dalam dosa, ya, efek kejatuhan dalam dosa, pernikahan Kristen melupakan siapa pemimpin utamanya. Ok kristen, percaya Yesus? Percaya. Ke gereja? Ke gereja. Tapi mereka lupa kepala keluarga adalah Kristus, akhirnya apa? Di dalam keseharian keluarga tidak pernah berdoa bersama. Ya, di dalam keseharian keluarga tidak pernah baca Firman Tuhan bersama. Di dalam keseharian keluarga tidak pernah melibatkan Yesus Kristus yang sudah dimiliki itu, yang sudah ada di dalam keluarga kita, kita tidak pernah bertanya, “Yesus tuh maunya apa dalam hidup saya”, tapi kita egois, kita maunya diri kita sendiri. Kita tidak memikirkan pikiran Kristus, kita tidak memikirkan perasaan Kristus, ya. Ambil contoh hal-hal yang penting dalam kehidupan kita Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, baik di dalam pekerjaan, di dalam tempat tinggal, ya, baik di dalam gereja maupun anak, ya, seringkali kita memikirkan yang menurut kita baik, tanpa bertanya kepada Tuhan, tanpa berdoa kepada Tuhan, “Tuhan maunya apa”. Bukankah Kepala keluarga itu justru adalah Pemimpin yang harus kita tanya, mau di mana? Dibawa ke mana institusi ini? Ya tanyakan kepada Pemimpin. Ya, kita mau tempat tinggal di mana. Kita lagi ya, Tuhan maunya di mana. Kita mau pekerjaan dimana. Bukan! Yesus mau pekerjaan kita itu apa, bukan yang kita mau. Balik lagi ya. Meskipun Tuhan bisa pakai kerinduan kita, bisa, tapi balik lagi pertama, pertama-tama kalau kita mengakui Yesus sebagai Kepala kita, kita tanya dong, “Yesus, Engkau mau aku kerja itu sebagai apa sih? Meskipun aku kuliah jurusan A” misalkan. Tapi kita nggak boleh kaku ya, kalau jurusan A berarti saya harus kerjanya A juga. Tanya Tuhan. Kerja apa, di mana, tempat tinggal di mana, gereja di mana pun tanya kepada Tuhan, “aku harus gereja di mana?” Ya, bukan yang penting menurut saya suka di sini gitu ya. Apa sih, balik lagi egois, balik lagi diri, ya, bukan kehendak Kristus. Pikirkan perasaan Kristus. Anak mau sekolah di mana, bagaimana memperlakukan anak tuh, cara-cara dunia, cara-cara pembelajaran itu betul baik ilmu pengetahuan tapi balik lagi, bukankah guru terbersar kita adalah Kristus? Kalau kita akhirnya bergantung pada cara-cara dunia untuk mendidik anak, kita tidak menuhankan Kristus, akhirnya namanya manusia berdosa bisa salah, bisa lemah. Anak tuh unik kan? Tidak ada sidik jari yang sama di dalam diri manusia, bahkan dalam hewan pun, tumbuhan pun tidak ada yang sama, satu persis sama sekali pun tidak ada, meskipun sama-sama spesiesnya, ya, sama-sama makhluk hidup. Maka dari itu kita tidak bisa samakan dong, semua itu pakai pasti cara ini pasti beres, menurut saya gitu ya, menurut diri lagi, nggak. Harus balik lagi menurut Firman Tuhan bagaimana. Tuhan kasih prinsip, aplikasi dan praktek bisa banyak. Prinsipnya apa, nah, itu yang kita mau sandarkan.
Bagaimana kita bisa tahu terhadap kepemimpinan Kristus, Bapak, Ibu, Saudara sekalian yaitu apa? 2 hal. Bagaimana saya tahu Yesus tuh kepala saya maupun juga kepemimpinan Yesus Kristus dalam hidup saya itu bagaimana? Ada 2 hal yaitu apa? Firman Tuhan, yang jelas, Alkitab dan juga Roh Kudus. Waktu kita lupa Alkitab, kita bisa tanya Roh Kudus karna Roh Kudus pembuat Alkitab, ya, kalau kita tidak merasa Roh Kudus ada dalam hidup saya, ada Alkitab kita bisa baca yang tertulis yang terlihat. Tuhan bekerja secara supranatural maupun natural gitu, ya. Roh Kudus kan supranatural, Roh, tapi natural itu adalah Alkitab. Tetapi ini saling berkaitan, Roh Kudus membawa kita ke Firman Tuhan, Firman Tuhan membawa kita kepada pimpinan Roh Kudus seperti apa. Maka kita bisa bertanya kepada Tuhan, bertanya kepada pimpinan Roh Kudus, bagaimana saya harus mengikuti pimpinan Kristus. Maka Alkitab mengatakan “kamu tuh harus menyembah Allah di dalam Roh dan kebenaran, Roh Kudus dan Alkitab”. Itu yang kita perlu berpegang, ya. Kita baca Firman, kita mengerti prinsip Firman Tuhan, itu kehendak Allah. Dan akhirnya kita tahu bahwa pimpinan Yesus Kristus itu bagaimana, kapan, di mana, apa, dan siapa, itu semua kita gantungkan kepada Kristus. Bukan menjadikan kita itu seseorang yang manja, seseorang yang lemah, gitu ya, yang tidak dewasa, tetapi justru kita semakin dewasa, tapi tahu bergantung kepada Kristus dan akhirnya kita mulai terbiasa mengikuti kepemimpinan Kristus lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Itu yang pertama, ya. Efek kejatuhan membuat pernikahan itu tidak dalam Kristus dan juga tidak penuh dalam Kristus. Tidak dalam Kristus bagi orang yang tidak pecaya, yang berdosa, ya, yang belum percaya kepada Kristus atau semua manusia juga sebenarnya sudah jatuh dalam dosa tetapi bagi orang yang dapet anugerah keselamatan, pernikahan kita karna efek dari dosa bisa menimbulkan tidak sepenuhnya di dalam Yesus Kristus
Yang kedua, suami dan istri tidak memahami perannya sebagai suami dan istri. Kalau kita tanya, ya, sebagai suami dan istri, yang suami apakah sudah mengenal sepenuhnya istrinya? Kalau ada yang bisa “sudah” itu agak sombong, ya. Itu sombong, ya. Nggak mungkin sudah kenal sepenuhnya. Wong waktu aja masih berjalan, kok. Jiwa kita berproses, bertumbuh, tubuh juga bertumbuh. Kita bilang “kenal” detik ini “sepenuhnya”, detik yang lain sudah berlanjut dan kita belum tentu mengenal pasangan kita sepenuhnya. Yang istri ketika ditanya, “apakah sudah mengenal suami kamu sepenuhnya?” Ya nggak bisa. Kita akan katakan belum, dan sampai kapan pun tidak bisa. Karena hidup di dunia ini masih berproses, bertumbuh. Kalau sudah di surga, ya baru sudah selesai di dalam kita mengenal, kita mengenal lebih jelas dan berbeda lagi di surga, ya. Tetapi, kita tidak bisa mengatakan bahwa saya sudah bisa memahami suami atau istri saya. Saya sudah memahami seperti rumus matematika, sudah pasti, gitu ya. “Kalau suami saya itu satu tambah satu pasti dua.” Apakah selalu begitu? Nggak. Belum tentu, ya, pengenalan kita itu pasti benar. Tetapi, namanya masih mengenal itu ya masih dalam proses pengenalan kita bisa semakin mengenal dia lebih dalam.
Kita akan terus memahami pasangan kita. Dan pasangan kita pun, sebenarnya di dalam pernikahan, ya, akan menolong kita mengenal diri kita siapa. Itu keuntungan dari pernikahan. Kenapa nasihat Tuhan adalah, rancangan-Nya adalah manusia itu menikah? Supaya apa? Supaya manusia itu bisa mengenal diri, atau diri manusia itu lebih dalam lagi. Kita tahu bahwa John Calvin pernah menjelaskan bahwa ada dua pengetahuan terpenting dalam kehidupan manusia. Yaitu dua pengetahuan, yang pertama adalah pengetahuan tentang Allah, satu lagi adalah pengetahuan tentang diri. Pengetahuan tentang Allah, Tuhan sudah berikan sarananya, yaitu apa? Firman Tuhan, Roh Kudus. Atau simplenya adalah bagaimana kita bisa mengenal Allah lebih dalam dan lebih dalam lagi? Yaitu namanya institusi gereja. Yang pertama-tama dalam institusi gereja adalah kita mau mengenal Allah lebih dalam lagi. Ya lewat Firman Tuhan, lewat ibadah, bagaimana bersikap ketika bertemu dengan Tuhan, itu di rumah Tuhan. Tetapi knowledge of man, yang kedua, pengetahuan tentang manusia ini pengetahuan yang penting lagi, yaitu bagaimana kita mengenal diri manusia. Nah, paling banyak kita mengenal diri manusia itu di mana? Yang satu, pengenalan akan Allah, di gereja. Yang satu, pengenalan akan manusia, di mana? Di dalam keluarga, di dalam pernikahan. Kita hidup dari keluarga, kok. Kita hidup dari manusia lain yang keluarga kita, ya.
Nah di sini, pernikahan dan keluarga menolong kita untuk mengerti pengetahuan kedua yang sangat penting, yaitu knowledge of man. Itu sebenarnya sangat bagus, kita boleh menikah, ya, Bapak, Ibu sekalian. Karena dalam pernikahan itu kita memasuki pembentukan yang Tuhan berikan untuk bisa mengenal Allah dan diri kita semakin dalam lagi. John Calvin memang menjelaskan bahwa kalau kita kenal Allah, kita kenal diri. Kalau kita kenal diri dengan benar, itu pun dari pertolongan Allah. Ada kaitan antara mengenal Allah maupun mengenal diri. Tetapi kita bisa lihat juga di dalam konteks-konteks tertentu kita bisa semakin mengenal di mana, caranya bagaimana. Kalau mengenal Allah di dalam gereja Tuhan yang benar, yang sejati, yang memberitakan Firman Tuhan, dan komunitas yang benar. Kalau mengenal diri, ya ternyata Tuhan sudah kasih di dalam konteks keluarga. Khususnya di dalam keluarga yang takut akan Tuhan.
Maka dari itu, kita, pandangan akan pernikahan itu peru kita koreksi, ya, andai kita itu salah. Andai kita tidak mau menikah, misalkan. “Sudah, tidak mau menikah!” Atas dasar apa? Pernikahan itu jelek, rusak, mengganggu, menyusahkan. Misalnya kayak gitu, ya. Lho, itu pandangan bukan Alkitab semua. Alkitab katakan, pernikahan itu indah, membangun, ya, bisa saling menguatkan. Dan juga menjaga kita untuk tidak jatuh di dalam dosa-dosa tertentu yang lebih khusus lagi. Alkitab mengatakan salah satu fungsi pernikahan adalah supaya kita tidak terbakar hawa nafsu seksual. Itu Alkitab sendiiri jelaskan. Pernikahan itu menjaga.
Ada pendapat, ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Ada pendapat, lebih baik hidup sendiri atau lebih baik hidup menikah? Nah, kalau sudah dengar khotbah ini, harusnya bisa jawab dengan bjaksana. Ya, umumnya adalah harusnya hidup menikah, dong. Kecuali panggilannya memang jelas untuk hidup selibat, seperti Yesus Kristus. Ya, itu baru baik. Kita nggak bisa katakan bahwa hidup sendiri itu pasti baik. Buktinya apa? “Ya nggak banyak masalah kan? Dengan pasangan, dengan hidup, ya.” Nikah itu, tambah orang tua, betul nggak Bapak, Ibu sekalian, ya? Kita punya dua orang, maksudnya satu orang papa mama, tambah lagi orang tua. Tambah lagi apa? Adik. Saudara lagi, adik ipar-ipar, tambah saudara lagi. Tambah kakek-nenek lagi. Banyak banget, ya? Ya, jadi banyak tanggung jawab. Memang seperti itu. Keluarga untuk apa? Supaya kita bisa semakin mengasihi manusia. Ya, maka dari itu, ya, jangan pikir single itu selalu lebih baik, ya. Nggak, orang single pun banyak digoda oleh hawa nafsu, dosa, ya. Banyak digoda oleh keegoisan. Sudah hidup sendiri kok, sudah nyaman sendiri. Hidupnya adalah untuk diri, bukan untuk orang lain. Tetapi di dalam pernikahan, setidaknya settingannya adalah kita hidup untuk orang lain, tim. Dari single, individu, menjadi tim terus, ya. Itulah yang membuat akhirnya banyak perbedaan pendapat.
Ada penelitian, Bapak, Ibu sekalian ya, bahwa kebanyakan atau mayoritas pasangan suami istri baru menghadapi konflik serius itu pada beberapa bulan pertama pernikahan mereka. Ya, jadi pada pasangan baru menikah, konflik. Serius lagi, ya. Besar, beberapa bulan. Ini penelitian, ya. Bahkan semakin sering, seiring perjalanan pernikahan. Nah, alasannya kenapa? Karena disebutkan ya, di dalam penelitan tersebut, karena awal pernikahan itu adalah perubahan atau transisi dari kehidupan yang single, akhirnya masuk ke tim. Berduaan terus, ya. Terus berdua. Tadinya sendiri, kok. Sendiri-sendiri. Yang sendiri punya idealisme sendiri. Yang lainnya punya idealisme sendiri. Terus kemudian digabungin nih idealismenya. Nah, di situlah terjadi banyak konflik. Kalau tidak dibereskan dengan baik, ini menjadi bahaya. Karena jadi satu: dua jadi satu. Susah, ya? Dua jadi satu.
Nah, pada umumnya konflik dimulai ketika seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, ya. Bicara soal kehendak diri: “Saya inginnya apa, dapatnya apa.” Emosi lah si suami atau si istri: “Saya inginnya ini!” Gitu, ya. Harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Nah, dalam menghadapi hal-hal tersebut, bagaimana Bapak, Ibu sekalian? Nah, di sinilah kita dilatih. Kita dipanggil untuk mempertahankan pernikahan bahkan membuat pernikahan Kristen itu semakin berbuah dan juga menjadi berkat bagi pernikahan yang lain atau keluarga yang lain. Maka bagaimana mempertahankan agar tetap utuh dan tetap baik? Yaitu masing-masing itu belajar buah Roh Kudus sebagaimana mengendalikan diri, mengendalikan keinginan diri: “Saya inginnya apa? Dia melakukan apa?” Belajar menyesuaikan: sabar dan lain-lain, ya. Nah, ini adalah kebesaran hati dalam merespon segala hal yang terjadi di dalam pernikahan. Ini juga penting: kita mengendalikan diri baik kehendak, baik pikiran, baik perasaan, maupun juga kita berbesar hati untuk menerima orang yang lain masuk dalam kehidupan kita, ya.
Maka dari itu, ya, seringkali di dalam awal pernikahan itu ada nasihat, ya dari orang tua. Ada salah satu nasihat, ya. Kalau pacarannya singkat, ya, terus kemudian menikah, “Pokoknya satu tahun nggak boleh punya anak dulu!”, ya. “Pacaran dulu!”, ya. “Saling kenal dulu!” Supaya apa? Supaya adaptasi, nggak terlalu stres! Jadi nggak terlalu stres, karena apa? Idealisme masing-masing muncul. Sudah bikin stres, ya, bikin tegangan, bikin konflik, nanti anak muncul: pribadi berdosa muncul lagi. Wah! bisa peperangan dunia, ya. Peperangan keluarga. Nah, itu salah satu nasihat saja, ya. Salah satu nasihat, ya. Mungkin kita bisa ambil sisi baiknya supaya apa? Supaya tidak terjadi banyak pertengkaran dan konflik.
Tetapi lebih ke prinsip lagi sebenarnya: bagaimana keluarga tersebut harus bertumbuh di dalam firman Tuhan maupun juga di dalam buah Roh Kudus, ya. Bagaimana kita menghadapi konflik akan membawa kita terus pada kedewasaan. Adanya konflik, pertengkaran, perbedaan pendapat sebenarnya dapat menolong relasi kita juga lebih dalam asal diresponi dengan hikmat dari Tuhan. Jadi pernikahan memang diuji lewat konflik-konflik yang ada. Maka sampai ada kutipan, ya Bapak, Ibu sekalian seperti ini: “Conflict is the price smart couples pay for a dipining, deepening sense of intimacy”. Jadi, konflik adalah sebuah harga yang harus dibayar oleh pasangan yang cerdas untuk bisa memperdalam relasi di antara mereka semua. Jadi, pada satu sisi, konflik itu bisa merupakan sarana untuk bisa mendekatkan diri dengan yang lain. Tapi di satu sisi, itu juga, kalau tidak dibereskan dengan baik, ya, maka akan merusak hubungan yang seharusnya.
Nah, konflik sendiri terjadi, ya, bukan saja karena soal keinginan kita, melainkan juga keegoisan maupun kebodohan kita, ya. Kita tidak mengerti peran sebagai suami seperti apa, peran sebagai istri seperti siapa, bagaimana, ya. Itu karena kita tidak mengerti, akhirnya menjadi kesulitan. Nah, yang penting Bapak, Ibu sekalian, ya, di dalam keluarga, khususnya, kita perlu menyadari Kepala yaitu Yesus Kristus. Nah, mari kita buka 2 Korintus 5 ayat 15. 2 Korintus 5 ayat 15. Mari kita sama-sama membaca ayat ini, “Dan Kristus telah mati untuk semua orang supaya mereka yang hidup tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.” Jadi kita sama-sama mengerti ya sebagai suami dan istri atau sebagai anak sekalipun, kita betul-betul menyadari pengorbanan Kristus ini. Dan akhirnya kita mau tunduk kepada peran yang sudah Tuhan jelaskan di dalam Alkitab baik sebagai suami, istri, maupun anak-anak. Suami mengasihi istri, istri menghormati suami, anak, ya, dipelihara oleh suami dan istri, dan anak juga menghormati orang tua mereka. Itu perannya.
Dan yang ketiga, yang terakhir, ya. Efek kejatuhan di dalam pernikahan yaitu apa? Tidak mau saling membangun kerohanian bersama-sama. Jadi yang pertama: kita lupakan Kepala yaitu Yesus Kristus. Yang kedua: kita lupakan peran kita yang ditugaskan oleh Yesus Kristus seperti apa, baik sebagai suami, istri, anak-anak. Dan yang ketiga adalah kita di dalam keluarga itu tidak mau saling membangun satu dengan yang lainnya. Saling tidak peduli, saling cuek.
Dalam Kekristenan kita bersyukur bahwa ada istilah yang sangat baik, ya, saya rasa di dalam keluarga Kristen, yaitu apa? Family Altar. Itu banyak orang Kristen menggunakannya, tetapi kita juga bisa punya istilah, yaitu apa? Family Worship, ya, Mezbah Keluarga atau Ibadah Keluarga, ya. Nah, sebagai orang Kristen, sebenarnya waktu kita ibadah ada mezbahnya nggak? Zaman dulu, ya, di dalam Perjanjian Lama, waktu Tuhan membentuk ibadah bagi umat Israel itu ada mezbahnya, ada meja pengorbanannya, ya. Ada meja pengorbanan. Yang dikorbankan adalah kambing, domba, sapi sebagai wujud dosa itu harus dibayar dengan darah, dengan maut. Tanpa pencurahan darah tidak ada pengampunan dosa. Tanpa pengampunan dosa manusia tidak bisa datang kepada Allah sehingga Tuhan buat syarat manusia, orang Israel, untuk beribadah kepada Allah dengan cara apa? Dengan cara melalui Imam, pengantara, lalu juga melalui mezbah korban bakaran tersebut.
Kita ada. Zaman dulu itu kita pakai mezbah, kok. Ya, makanya kita tidak terlalu juga merasa yang pakai mezbah itu bukan kita, gitu ya. Kita dulu pakai mezbah juga. Ada meja, korban, sesajen, ya, persembahan, gitu ya. Dupa-dupa, mungkin buah-buah, seperti itu. Kita pakai juga dulu. Ya, tetapi mereka tidak mengenal Allah. Kalau orang Israel, umat pilihan Tuhan, orang Kristen – kita bisa sebut demikian, ya – di Perjanjian Lama itu mereka pakai mezbah tapi diatur oleh Allah. Betul. Ya, cara penyembahannya itu betul. Ya, itu menggambarkan tentang bayang-bayang, tentang Yesus Kristus. Jadi, kemah suci, imam, korban, dan seluruh, bahkan seluruh benda di kemah suci itu menggambarkan Yesus Kristus. Ibadah kita itu hanya di dalam Yesus Kristus. Itu baru benar. Ibadah yang benar, gitu ya. Nah, kita tidak pakai lagi mezbah, tidak pakai roti sajian, tidak pakai kandil, ya, tidak pakai imam juga, nggak pakai. Kita pakai Yesus Kristus. Kenapa? Karena Yesus Kristus sudah menyelesaikan upah dosa yaitu maut. Sudah menyelesaikan pengampunan dosa di atas kayu salib, Yesus menjadi Imam Besar Agung yang masuk ke surga sendiri. Kalau imam di Perjanjian Lama masuk ke ruang mahakudus, Yesus lebih tinggi lagi masuk ke surga, naik ke surga, melebihi langit-langit di bumi ini. Dan juga Yesus sudah mempersembahkan diri-Nya sendiri, Korban yang sempurna, Manusia yang sempurna tanpa cacat dan cela, sehingga Tuhan terima pengorbanan Yesus Kristus sehingga kita di dalam Kristus kita boleh dibenarkan. Meskipun, ya, kita sudah melawan Tuhan tapi Tuhan menyelamatkan kita karena upah dosa itu sudah ditanggung oleh Yesus Kristus di atas kayu salib.
Nah, kekristenan sekarang tidak ada itu semua, karena tidak perlu lagi karena Yesus Kristus sudah menggantikan itu semua dan Yesus satu kali mati untuk selamanya bagi kita. Nah, kita menyembah Allah bagaimana sekarang? Ya, kita menyembah Allah di dalam Roh dan kebenaran dengan melalui Yesus Kristus saja. Ya, ini poinnya, ya. Ini sangat penting bagaimana di dalam keluarga Kristen, kita beribadah di dalam nama Kristus. Kita tidak ada meja-meja penyembahan lagi atau foto orang tua yang sudah mati terus kita sembah-sembah, kita berkomunikasi kepada dia, alasannya adalah “demi menghormati”. Loh, menghormati itu waktu mereka masih hidup, dihormati. Kalau sudah mati tuh selesai. Beda dunia. Ya, mereka sudah selesai, kok, sudah dinilai Tuhan kehidupan di buminya, kita nggak bisa berbuat sesuatu apa-apa kepada orang yang sudah mati. Ya, kita manusia, mereka tubuhnya di bumi, jadi debu, Rohnya sudah bersama Tuhan. Ya, sudah selesai. Finish. Garis finish. Kita nggak usah ngobrol lagi, nggak bisa lagi. Itu seperti orang maraton. Maraton bersama ratusan kilo meter, kalau sudah finish, ya sudah. Memang masih bisa ngobrol lagi, “Yok, balik lagi”? Nggak. Sudah selesai, selesai. Yang di sini berjuang bersama-sama sampai garis finish, kan? Itu dalam pertandingan olahraga, itu biasa, kok. Yang sudah finish, ya finish. Ya, masak mau ngobrol, “Ayo, gimana caranya bisa lebih kuat lagi atau kasih semangat lagi,” nggak bisa. Sudah terpisah, ya. Maka dari itu, mereka sudah berada di beda dunia, dan kita tidak boleh atau dilarang di dalam Alkitab berkomunikasi dengan arwah, roh orang mati, dan juga kita tidak boleh berdoa kepada mereka. Ya, karena apa? Karena itu berarti lebih penting siapa, ya, untuk bisa berdoa kepadanya dibandingkan dengan Tuhan? Ya, Tuhan cemburu. Ya, Tuhan cemburu kalau kita tuh berdoa kepada arwah-arwah, bahkan kepada setan, ya, atau berdoa kepada orang, menyembah orang. Tuhan tuh paling cemburu kalau kita betul-betul tidak menuhankan Tuhan.
Nah, bagaimanakah wujud pernikahan itu boleh dipersembahkan kepada Tuhan kalau tidak ada sarana-sarana seperti mezbah, seperti meja penyembahan, dan lain-lain? Bagaimana kita, wujud kita tuh, kita punya institusi terkecil lalu kita persembahkan kepada Tuhan? Kalau gereja, kan, kita persembahkan kepada Tuhan semua settingan berdasarkan Firman Tuhan. Fokusnya apa? Ya, di dalam pujian, pujian kata-katanya apa, ya? Terus memberikan yang terbaik. Nah, bagaimanakah keluarga kita, kita bisa katakan, “Saya persembahkan keluarga saya tuh untuk Tuhan”? Bagaimana? Ya, ada visi-misi yang jelas dari keluarga, harusnya. Dan itu nggak pernah kita pikirkan.
Nah, salah satunya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, cara sederhana, ya. Salah satunya adalah wujud kita mempersembahkan keluarga adalah dengan family worship. Kepala keluarga—ini idealnya, ya—kepala keluarga mengajak istri, anak-anak untuk, “Yuk, duduk, yuk, sama-sama di ruang tamu atau di kamar, kumpul sejenak.” Family worship terserah, kan, jamnya, ya. Nggak dua jam seperti ibadah di gereja, kan, nggak harus kaku. Family. Ya, udah. Informal, yuk, ibadah ajak istri, ajak anak-anak. Ini idealnya. Tapi kalau bapaknya, ya, bapaknya nggak punya kerohanian yang baik pasti nggak pernah ajak ibadah keluarga. Lalu siapa? Mungkin Tuhan bisa bangkitkan istrinya. Kalau istrinya juga sama aja, ya? Istrinya suka merokok, suka mabuk-mabukan, papanya suka berjudi, Tuhan bisa bangkitkan dari anak kecil. Ya, anak kecil ajak berdoa. Ya, anak remaja ajak papa mama ibadah, misalkan, ya, di gereja.
Ibadah di rumah itu jauh lebih intim. Ya, karena apa? Karena keluarga. Hanya keluarga. Spesial. Kalau ibadah di sini, kan, public. Nah, kita belajar menghargai keluarga yang lain. Kalau di dalam gereja Tuhan, kita belajar mementingkan kepentingan orang lain dan tetapi di dalam keluarga sendiri, kita bisa ibadah keluarga, kita bisa merenungkan Firman bersama, berdoa bersama, itu tidak munafik. Justru ibadah umum ini banyak yang munafik. Berdoa, ya, berdoa. Denger Firman, ya, denger Firman. Lakukan nggak? Nggak. Ya, karena supaya kelihatan baik di depan orang. Tapi di dalam keluarga, ibadah itu paling murni. Kita belajar mengasihi yang kita kenal, segala keburukan mereka, kebaikan mereka, kelemahan mereka, kelebihan mereka, ya. Karena tidak ada manusia yang sempurna, kan? Nah, tapi di dalam keluarga kita mau beribadah dengan mereka. Wah, ini sangat indah.
Maka dari itu, Bapak, Ibu, Sekalian, ada seorang teolog, Ligon Duncan mengatakan bahwa, “Ibadah keluarga dipimpin oleh kepala keluarga atau kepala keluarga lainnya.” Jadi si Duncan ini juga mengatakan bahwa ya kepala keluarga kita tahu lah siapa. Tapi kalau kepala keluarga itu tidak berfungsi, maka ibadah keluarga dipimpin oleh kepala keluarga lainnya. Dengan tujuan apa? Membangun rumah tangga berpusat pada Tuhan. Ya, jadi pusatnya ke Kristus ibadah keluarga itu, lalu meningkatkan ibadah dalam keseluruhan kehidupan semua anggota keluarga, supaya kita ingat itu, hidup kita seluruhnya ibadah. Bekerja, ibadah, ya. Berumah tangga itu ibadah. Maksudnya, dipersembahkan kepada Tuhan. Dan yang ketiga, fungsinya adalah sebagai persiapan untuk ibadah umum, supaya kita nggak kaget ke gereja. Karena apa? Sudah biasa ibadah, kok! Supaya sudah biasa dengar firman, sudah biasa memuji Tuhan, kita tidak kaget di dalam ibadah secara public.
Nah, sebagai keluarga Kristen, ini, kita punya panggilan ini. Yaitu apa? Family worship. Ayo, coba jalankan ibadah keluarga! Susah? Sangat susah! Ditolak? Mungkin sering ditolak. Maka, sangat bagus kalau ada keluarga, ya, sudah biasa ibadah keluarga. Ada jadwalnya sendiri. Memang idealnya ya setiap hari, tapi kita tahu, kok. Kita manusia yang terbatas. Kita sering kali susah juga mengatur jadwal kegiatan kita. Maka, targetkan, Bapak, Ibu sekalian, kalau yang baru memulai family worship itu seminggu sekali minimal. Ya, kalau mau nambah, silakan. Jadi, kita itu nggak munafik. Ibadah gereja ada. Wah, kelihatan baik di hadapan orang, tapi kita di keseharian kita juga ada family worship, kok! Kita dengan keluarga kita itu apa adanya. Bersaksi. Mau berpusat kepada Yesus Kristus.
Nah, dari mana ayat tentang family worship ini? Mari kita buka Alkitab kita, terakhir, ya. Ulangan 6:4-9. Kita menutup khotbah kita pada hari ini dengan membaca Ulangan 6:4-9. Mari kita baca bersama-sama. Dua, tiga. “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” Inilah dasar kenapa sebagai orang Kristen, kita mau mengadakan ibadah keluarga. Karena apa? Firman Tuhan mengatakannya. Kamu mengasihi Tuhan dengan segenap hatimu, itu perintah Tuhan. Kamu mengasihi sesama dengan segenap hatimu, itu juga perintah Tuhan.
Bagaimana salah satu bentuk kita mengasihi keluarga kita? Kalau salah satu bentuk kita mengasihi orang yang tidak percaya Kristus adalah apa? Ajak ke gereja. Wah, itu sangat indah! Kita nggak kenal dia. Kita nggak butuh dia. Kita mengasihi dia, kita ajak ke komunitas kita. Wah, itu suatu kasih yang sangat besar! Demikian dengan keluarga. Wujud kita mengasihi dia dengan begitu besar apa? Ajak doa. Tanya, mau didoakan apa? Atau “Yuk, baca firman bersama!” atau kalau saya sama istri saya, kita mau menghabiskan lagu KRI yang jumlahnya itu 333 gitu, ya. 333 lagu. Kita mulai dari belakang, deh! Karena lagu di belakang biasanya nggak dinyanyiin, ya. Jadi, kita itu belajar lagu baru, memuji Tuhan bersama-sama, berdoa, baca renungan, terus kita tanya sekali-sekali keluarga kita, suami atau istri kita atau anak kita, deh. “Mau didoakan apa?” Kita baru tahu, ya. Kita baru tahu, kita tidak tahu tentang mereka. Ketika kita tanya, “Mau didoakan apa?” “Eh, ternyata kamu pengennya itu? Saya sudah hidup bertahun-tahun dengan kamu, saya tidak tahu mimpi kamu itu.” Nah, di sinilah pentingnya kita punya ibadah keluarga.
Jadi, Bapak, Ibu sekalian, mari kita bersyukur atas pernikahan dan keluarga kita. Yang sudah menikah, bersyukur. Yang belum menikah, silakan coba, ya cari pasangan. Kalau masih pacaran, ayo, nikahlah gitu, ya. Yang belum kepikiran nikah, ya, udah, bersyukur atas keluarga yang sudah Tuhan berikan. Orang tua, saudara-saudara kandung, ya.
Pada dasarnya, manusia berdosa itu tidak layak terima apa-apa dari Tuhan. Apakah kita layak hidup di dunia ini? Apakah kita layak punya keluarga? Apakah kita layak punya pernikahan? Apakah kita layak datang ke gereja ini? Sebagai manusia berdosa, nggak layak! Yang layak adalah masuk neraka. Tapi, Tuhan sedang bekerja mengubah hidup kita. Kita yang berdosa, kita yang tidak layak, Tuhan itu membentuk hidup kita. Dengan apa? Dengan banyak anugerah-Nya. Tuhan kasih kita keluarga, kasih kita pasangan, kasih kita anak, ya, kasih saudara seiman, keluarga di dalam Allah dan sebagai orang Kristen, kita harus punya satu keinginan yang tidak boleh lupa atau hilang. Yaitu apa? “Saya ingin lebih menyerupai Yesus Kristus setiap hari.”
Efek kejatuhan dalam dosa itu sangat berat, sangat bahaya. Kita selalu dikasih pikiran bahwa “Saya ingin melakukan keinginan saya. Saya ingin melakukan dosa.” Dan bagaimana akhirnya kita melawan? Yaitu dengan kuasa dari Roh Kudus, kuasa Kristus. Sebagai orang Kristen, ya, Puji Tuhan, Roh Kudus itu menguduskan kita sehingga kita tidak akan menikmati dosa. Ada keinginan lakukan dosa. Bisa kita jatuh dalam dosa. Tapi, menikmati dosa itu bukanlah selera kita, sehingga bagaimana akhirnya kita memiliki selera yang baru itu? Itu dari Roh Kudus. Yaitu seleranya apa? “Saya itu seleranya menyerupai Yesus Kristus.” Kita mau terus taat kepada Tuhan. Kita mau senantiasa mengerti bahwa Kepala hidup kita adalah Yesus Kristus yang sudah begitu besar mengasihi kita semua. Amin. Mari kita sama-sama berdoa.
Ya Bapa kami yang di surga, kami bersyukur atas segala pemberian Tuhan yang begitu besar dalam hidup kami. Engkau yang tidak menyayangkan Anak-Mu yang Tunggal sendiri, Engkau memberikan Yesus Kristus kepada kami dan Kau juga yang memberikan segala sesuatu yang baik demi kami. Kami mohon, Tuhan, supaya kami boleh semakin bijaksana untuk melihat hidup kami, khususnya di dalam kehidupan keluarga kami maupun pernikahan kami, kami mau menyadari bahwa sepenuhnya adalah demi kemuliaan Kristus saja. Kiranya kami tidak menjadi orang yang egois, yang penuh dengan dosa, melainkan kami boleh berpusat kepada Kristus dan juga senantiasa dipenuhi oleh Yesus Kristus di dalam kehidupan kami. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami yang hidup, kami sudah berdoa. Amin. (HS)