Ketika Abraham Kuyper, seorang theologian Belanda, melihat bahwa Gereja Hervormde saat itu sudah keluar dari Reformed theology yang sejati, maka ia meneriakkan supaya orang Kristen keluar dari gereja itu, dan mereka membentuk Gereja Gereformeerde. Gereformeerde berarti Re-reformed. Di-reformed-kan kembali. Reformed berarti kita berjuang membentuk kembali iman kepercayaan kita sesuai firman, mari kita meneguhkan kembali keberanian kita untuk menyatakan kebenaran firman, mari kita berdiri kembali di atas batu karang, mari kita membuat kubu demi Tuhan. Yang paling membebani saya seumur hidup hanya dua hal, yaitu: pertama, mengabarkan Injil kepada mereka yang belum mengenal Tuhan. Kedua, membentuk pikiran dan iman kepercayaan yang teguh bagi orang yang sudah menerima Tuhan. Ini dua sayap pelayanan Stephen Tong, yaitu penginjilan dan seminar theology. Di dalam penginjilan, saya akan memanggil orang untuk datang kembali kepada Kristus, dan di dalam seminar theology, mengajarkan apa yang seharusnya Anda percaya. Semua yang saya lakukan berkisar di antara kedua beban ini, tapi kita harus mengingat bahwa theology jauh lebih besar dari sekedar mengerti firman yang tertulis karena Allah adalah Allah alam semesta. Kita tidak boleh menyempitkan kemuliaan Tuhan Allah, atau mengeringkan theology. Kita tidak boleh merasionalisasikan firman Tuhan dengan aspek logika saja, tetapi kita harus belajar menikmati semua kemuliaan Tuhan.
Kita harus belajar menikmati dan merayakan kemuliaan Tuhan. Itu tidak dimengerti dengan pikiran duniawi, tetapi sungguh-sungguh kita ingin melihat bagaimana Tuhan menggarap dunia ini, menggarap setiap pribadi kita, untuk mengerti pengajaran firman Tuhan yang benar. Kita bersama-sama berbagian di dalam Gerakan Reformed Injili di semua gereja, lalu kita melihat bagaimana umat Tuhan ditarik kembali kepada pengajaran firman yang sungguh. Saya tidak setuju kalau orang-orang yang ber-theology benar harus keluar dan pindah gereja. Saya ingin setiap orang yang ber-theology benar berjuang di gereja masing-masing untuk membawa theology tersebut di gerejanya. Sampai suatu saat jikalau orang-orang yang ber-theology benar tersebut dianiaya di gereja mereka masing-masing, maka mereka baru keluar dan menegakkan gereja yang ber-theology benar.
Barangsiapa yang ber-theology benar tapi dianiaya oleh pemimpin-pemimpin gereja yang melawan dan membenci theology yang benar berhak menyatakan untuk berdiri sendiri dan melihat itu sebagai pimpinan Tuhan. Setelah engkau berjuang mempengaruhi gereja yang lama dan engkau dihina, diejek, diinjak-injak, maka tidak salah jika engkau mengatakan mau mendirikan persekutuan yang baik dengan theology yang benar. Mengapa orang yang ber-theology tidak beres berani memasang label gereja dan orang yang ber-theology benar dianggap mengacau dan tidak berhak menegakkan label gereja? Bukankah itu diskriminasi yang tidak seharusnya terjadi?
Martin Luther di masa Reformasi tidak berjuang untuk mendapatkan kesenangan diri sendiri atau memperhitungkan untung rugi sendiri. Dia melihat bahwa ajaran firman telah diselewengkan begitu banyak, sehingga ia memaku 95 tesis di gerbang gereja Schlosskirche di Wittenberg di mana dia melawan ajaran purgatory, melawan penjualan surat pengampunan dosa, dan berbagai ajaran yang salah lainnya. Ketika Martin Luther dituntut untuk menarik kembali surat atau tesis-tesisnya, ia menjawab dengan satu kalimat, “Terkecuali Anda bisa membuktikan bahwa apa yang saya telah tuliskan itu berlawanan dengan kebenaran firman Allah dan hati nurani saya, maka saya tidak akan pernah mencabut kembali apa yang telah saya tuliskan.”
Dari kalimat ini kita melihat perbedaan antara Lutheran theology dengan Reformedtheology. Reformed melihat firman dan rasio, sedangkan Lutheran melihat firman dan hati nurani. Hingga sampai saat ini peranan hati nurani dalam Lutheran theology masih sangat kuat. Hal ini terlihat dalam pemikiran seorang Lutheran theologian yang terkenal, Dietrich Bonhoeffer. Reformedtheology berusaha menggunakan firman untuk memimpin logika. Fungsi rasional dipergunakan sebaik mungkin. Orang Reformed bukan orang-orang rasionalis, tetapi orang Reformed menggunakan semaksimal mungkin fungsi rasio untuk kembali kepada firman Tuhan.
Istilah yang kami pergunakan, yaitu Gerakan Reformed Injili, membawa resiko bahwa kami akan dimusuhi dan dilawan oleh dua kubu, baik oleh kubu Reformed maupun kubu Injili. Orang Injili bertanya, “Mengapa harus Reformed Injili?” bukankah Injili saja sudah cukup untuk kita memberitakan Injil. Dan Orang Reformed bertanya, “Mengapa Reformed harus ditambah kata Injili?” Saya dikritik orang Injili karena memakai kata “Reformed,” saya dikritik orang Reformed karena memakai kata “Injili,” dan saya dikritik orang Kharismatik bahwa saya tidak ada Roh Kudus. Pemakaian istilah “Reformed Injili” merupakan hasil pemikiran dan pergumulan puluhan tahun lamanya. Saya menggunakan istilah Reformed Injili karena banyak gereja Reformed sudah lupa dan tidak mengabarkan Injil lagi, dan sebaliknya, gereja Injili kebanyakan tidak memiliki dasar theology yang kokoh. Yang bertulang tidak berdaging, dan yang berdaging tidak bertulang. Inilah kondisi gereja saat ini. Orang yang besar tetapi tidak bertulang hanya bagaikan onggokan daging yang tidak bisa berdiri tegak; dan orang bertulang tanpa daging bagaikan kerangka yang menakutkan. Ketika orang itu datang kita akan lari. Maka Reformedtheology menjadi tulang punggung kekristenan yang membuat kita bisa berdiri tegak, yang memungkinkan kita bergerak dengan terstruktur, dan memberikan postur yang jelas. Postur kekristenan adalah theology. Tetapi daging dan darahlah yang membuat kita bisa tersenyum, bisa bergaul, dan bisa diterima oleh orang lain. Tengkorak dan tulang yang kuat tanpa daging akan sangat mengerikan, dan sebaliknya daging tanpa tulang menjadikan kita hanya onggokan daging yang tidak bisa bergerak. Kebanyakan gereja Injili ketika diserang secara tajam dari pemikiran theology-nya, ia tidak bisa menjawab karena kerangka theology-nya tidak kuat.
Reformedtheology ditambah dengan penginjilan yang berdasarkan Reformedtheology mejadikan gerakan ini berakar ke bawah dan berbuah ke atas. Inilah tugas dan panggilan kita. Kita harus menjalankan penginjilan dengan berani. Penginjilan bukan hanya untuk menambah anggota gereja dan penginjilan bukan untuk membudayakan orang agar menjadi lebih Kristiani. Penginjilan adalah memberikan suatu berita bahwa Kristus adalah satu-satunya Juruselamat. Dia yang lahir di dunia haruslah dimengerti sebagai Allah yang mengunjungi, berinkarnasi menjadi manusia, mati untuk dosa-dosa manusia, bangkit melawan Iblis dan mengalahkan kuasa setan, dan memberikan kehidupan baru. Maka kita mengundang orang untuk datang dan menerima Dia sebagai Juruselamat dan Tuhannya.
Keunikan Gerakan Reformed Injili yang lain lagi adalah Reformedtheology membedakan antara wahyu umumdari wahyu khusus. Pengertian ini tidak ada pada theology yang lain. Mengapa wahyu perlu dibedakan? Karena jika tidak dibedakan, kita akan mempersamakan semuanya menjadi wilayah ambigu yang kacau. Wahyu umumdiberikan kepada semua orang, semua agama, semua kebudayaan, semua daerah, semua zaman, sehingga manusia boleh mendapatkan wahyu. Wilayah ini disebut wahyu umum. Sedangkan wahyu khususdiberikan hanya melalui dua jalur yang besar dan yang betul-betul hanya dapat dimengerti oleh kaum pilihan. Hal seperti ini tidak dibahas dalam agama lain dan tidak dibahas di dalam theology yang lain.
Reformedtheology membedakan wahyu umum dan wahyu khusus, supaya kita mengetahui bahwa agama dan kebudayaan memang ada nilainya. Manusia dicipta sebagai makhluk bersifat agama dan manusia sekaligus dicipta sebagai mahluk yang bersifat kebudayaan. Kedua sifat ini membentuk manusia lebih tinggi dari semua ciptaan yang lain. Istilah culture (budaya) adalah berkaitan erat dengan membudidayakan (cultivate), yaitu memperkembangkan bumi dan alam yang dicipta. Istilah ini akhirnya menjadi culture. Dari kata culture ini akhirnya berkembang istilah civilization (kemasyarakatan) di dalam zaman yang besar. Civilization menjadi puncak dari sifat kebudayaan (culture). Manusia dicipta menjadi mahluk yang bersifat kultur dan bersifat agama, itu sebab sifat agama dan sifat kultur menjadi pembentuk esensi kemanusiaan yang membedakan manusia dari mahluk-mahluk yang lain. Dan kedua hal ini akan berusaha mencari nilai. Di dalam sifat agama manusia mencari nilai, di dalam sifat budaya manusia mencari nilai. Bedanya adalah agama mencari nilai di dalam hidup diri manusia, sedangkan budaya mencari nilai di luar kehidupan manusia. Bagaimana manusia berpakaian, bagaimana menari, bagaimana beradat, bagaimana berorganisasi, bagaimana berpikir, bagaimana bertradisi, bagaimana berbahasa, itu semua adalah nilai-nilai eksternal di dalam kehidupan umat manusia. Bagaimana bermoral, bagaimana membedakan baik dan jahat, bagaimana meninggikan dan menegakkan suatu penghargaan diri di dalam diri, bagaimana menuntut nilai kekal, bagaimana tanggung jawab manusia terhadap dunia yang tidak kelihatan, itulah yang disebut sebagai agama. Jadi agama dan kebudayaan memiliki bagian tumpang tindih (overlapping) di dalam satu wilayah yang namanya moralitas. Moral adalah bagian dari kebudayaan sekaligus bagian dari agama. Sifat agama adalah inner life (hidup batiniah), sifat budaya adalah external life (hidup lahiriah). Hidup batiniah dan hidup lahiriah digabungkan menjadi suatu hidup manusia yang dicipta di tengah-tengah dua wilayah yang saling terjalin (interwoven) antara spiritual and material world. Dengan demikian, gabungan agama dan kebudayaan, gabungan luar dan dalam, yang saling mengkait menjadi satu baru bisa membentuk manusia yang utuh.
Jadi, yang disebut sebagai wahyu umum adalah Allah menyatakan sesuatu untuk semua orang supaya manusia melihat cara hidup harus menuju kepada nilai yang diberikan oleh Tuhan. Itu sebabnya wahyu umum diterima oleh kebudayaan, agama, dan bangsa di seluruh dunia. Tetapi apakah dengan demikian buku Uphanisad dari India, atau Kitab Veda dari agama Buddha, atau Al-Quran dari Islam, atau buku Mormon dan berbagai buku-buku Animisme, dan sebagainya dapat disebut sebagai wahyu umum? Bukan! Semua agama dan semua rumusan dari kitab agama hanya merupakan reaksi sifat agama manusia terhadap wahyu umum. Tidak ada satu kitab yang langsung diwahyukan oleh Tuhan kecuali kitab suci Alkitab Kristen. Alkitab adalah satu-satunya wahyu Allah yang tidak mengandung kesalahan, yang berbeda dari semua buku apapun lainnya. Kitab yang lain adalah reaksi terhadap wahyu umum yang diberikan kepada mereka. Ketika manusia merenungkan dan memikirkan wahyu umum, maka sebagai reaksinya mereka menulis kitab. Itu bukan wahyu, melainkan reaksi terhadap wahyu umum. Jika kita mengerti dan menerima definisi ini, maka kita akan dapat dengan jelas melihat dan menilai segala sesuatu.
Wahyu umum Allah waktu diresponi oleh manusia secara eksternal akan menjadi kebudayaan. Wahyu umum Allah waktu diresponi oleh manusia secara internal akan menjadi agama. Karena manusia sudah jatuh di dalam dosa, maka semua manusia tidak mungkin memberikan respon yang sesuai dengan aslinya. Karena manusia sudah jatuh di dalam dosa, manusia tidak mungkin menginterpretasi dengan akurat, maka terjadi penyimpangan pendapat antara agama dan agama. Konklusi yang berbeda-beda di dalam pemikiran agama-agama adalah akibat dari kejatuhan.
Dengan mengerti hal ini, kita tidak akan heran jika di dalam kitab agama lain ada hal-hal yang mirip dengan Kitab Suci Alkitab. Bukan hanya demikian, wahyu umum tentang kebudayaan memungkinkan manusia menginterpretasi dan mengerti alam, menemukan ilmu, yang mungkin bisa lebih akurat ketimbang apa yang dikerjakan oleh orang Kristen. Mungkin sekali orang Islam menemukan data astronomi yang lebih cocok daripada yang ditemukan oleh orang Kristen. Mungkin sekali orang Buddha bisa menemukan dalil fisika yang lebih cocok dengan aslinya ketimbang hasil penemuan orang Kristen yang malas. Tetapi itu hanyalah tentang wahyu umum dan respon manusia terhadapnya. Semua paparan wahyu umum yang diberikan Tuhan melalui alam ciptaan-Nya ini tidak akan dapat membawa orang non Kristen untuk bisa melihat sasaran akhir dari semua penyataaan tersebut, yaitu kemuliaan Tuhan. Hal ini hanya dapat dilihat dan dilakukan oleh orang Kristen.
Pada saat para ilmuwan menemukan dalil-dalil yang bagus, pada akhirnya mereka hanya bisa memuliakan diri. Tetapi orang Kristen, setelah menyelidiki segala sesuatu dan menemukan hal-hal yang ada di dalam alam, mereka akan melihat kemuliaan Tuhan di dalam penemuan-penemuan mereka tersebut. Inilah perbedaan yang signifikan, karena “surga menceritakan kemuliaan Allah” kata Franz Joseph Haydn di dalam oratorionya, “Creation.” Orang Kristen tidak hanya berhenti melihat data atau fakta yang dicipta, tetapi dapat melihat apa dan Siapa di belakang apa yang dicipta, yaitu kemuliaan dan Tuhan Allah Sang Pencipta itu sendiri.
Hanya sampai di wilayah wahyu umum belumlah cukup. Kita perlu masuk ke dalam wilayah wahyu khusus. Wilayah ini hanya bisa dilihat oleh orang percaya. Wahyu khusus sendiri memiliki dua cakupan, yaitu: 1) Kitab Suci Alkitab; dan 2) Kristus yang menjadi inti terpenting dari berita Alkitab.
Teologia Reformed juga membedakan antara anugerah umum dan anugerah khusus. Orang bukan Kristen mungkin lebih sehat dari pendeta. Mungkinkah hamba Tuhan yang paling setia mati tabrakan? Mungkinkah daerah Kristen mendapatkan bencana alam yang lebih sukar dari daerah bukan Kristen? Mungkinkah keturunan hamba Tuhan mati kena sakit kanker dan keturunan dukun sehat? Semua itu mungkin, karena semua itu adalah di wilayah anugerah umum Allah. Anugerah umum itu diberikan kepada siapa saja sebagaimana Tuhan Yesus berkata: “Matahari menyinari orang baik dan juga orang jahat, hujan turun kepada orang benar dan juga kepada orang berdosa” (Mat. 5:45). Anugerah umum menjadi pencegah lebih banyaknya perbuatan dosa sampai Kristus datang kembali. Di dalam pikiran seorang Reformedtheologian, Cornelius Van Til, terdapat pikiran yang sangat ajaib bahwa anugerah umum akan ditarik setahap demi setahap makin sedikit sampai sebelum Yesus datang kembali.
Maka di dalam Gerakan Reformed Injili ini, kita perlu perjuangan yang berat, kita perlu keberanian yang besar, kita perlu iman yang sejati, kita perlu pengertian firman yang tuntas, dan jiwa pengabdian yang bersiap untuk mengorbankan diri. Tidak ada jalan lain, sebab gerakan ini bukan main-main. Gerakan ini lebih penting daripada memikirkan bagaimana mengerjakan sesuatu dengan konferensi-konferensi atau sinode karena ini adalah mengenai semangat. Jika semangat sudah hilang maka gerakan akan punah. Jika semangat masih ada maka gerakan itu masih bertumbuh. Berbahagialah orang yang mendengar dan mengerti apa yang menjadi seruan yang berasal dari gerakan Roh Kudus untuk gerakan ini. Dan pengaruh penting Gerakan Reformed di sepanjang sejarah adalah apa yang disebut sebagai mandat budaya. Mandat budaya (culture mandate) ini khusus hanya ada di dalam Reformedtheology. Kalimat kesimpulan yang paling singkat untuk menggambarkan mandat budaya adalah preeminency of Christ above all aspect of culture (supremasi preeminensi Kristus di atas segala aspek kebudayaan). Mungkinkah ada pikiran yang tertinggi yang melampaui pikiran manusia yang tertinggi? Jawabannya adalah firman Allah.
Tuhan Allah berkata, “Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu, rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yes. 55:9). Apa artinya? Itu artinya firman Tuhan lebih tinggi dari semua budaya manusia. Kita bisa menemukan paling sedikit ada 60 definisi mengenai “budaya” tapi dari semua definisi tentang budaya tersebut tidak ada yang lebih baik dari definisi yang didasarkan pada ayat di atas. Gabungan ideologi dan pola hidup membentuk budaya. Satu budaya terbentuk dari cara berpikir dan cara hidup. Saya akan memberikan definisi “budaya” yang tidak ada di buku yaitu budaya sebagai jiwa bangsa, atau jiwa masyarakat.
Budaya adalah respon manusia terhadap wahyu Allah secara lahiriah. Reformedtheology merupakan theology pembentuk budaya (culture-making theology). Selain mengabarkan Injil, Reformedtheology juga membentuk budaya di mana Injil dikabarkan. Orang Reformed harus memiliki cara berpikir Reformed, memiliki ideologi Reformed, memiliki karakter Reformed yang sesuai dengan firman Tuhan, dan memiliki pola hidup, kelakuan, dan hati yang luas.
Mari kita memberikan yang terbaik untuk Tuhan. Mari kita tidak menunggu lagi, karena kita harus bekerja sekarang. Waktu akan menggeser kita menjadi tua. Jikalau hari ini saya mati saya akan berkata kepada Tuhan, “Tuhan, saya telah menyelesaikan apa yang harus saya kerjakan.” Selama 47 tahun saya tidak membuang waktu. Mari kita bertobat dan mengejar supaya kita menggenapi rencana-Nya untuk gerakan ini demi kemuliaan-Nya. Amin.
Dikutip dari Bulletin Pillar (Bulletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia) edisi no. 37 (Agustus, 2006), artikel (GerakanReformed dan Masa Kini-Bagian 2) oleh (Pdt. Dr. Stephen Tong).