Nyanyian Ibadah Kristen Menurut Mzm. 92, 25 Agustus 2024

Nyanyian Ibadah Kristen Menurut Mzm. 92

Vik. Lukman Sabtiyadi

 

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya lahir itu di Banjarmasin dan saya tinggal di lingkungan di mana sekitar tempat tinggal saya itu kebanyakan orang Islam. Keluarga kami itu satu-satunya orang Kristen. Saya tidak dari kecil ke gereja. Waktu saya kecil juga tidak langsung bener-bener Kristen, yang Kristen itu adalah kakek dan nenek saya ya. Suatu kali paman saya itu datang lalu mengajak saya ke gereja, itu kira-kira saya kelas 4 SD. Sebelum itu, setiap hari Minggu seperti anak-anak pada umumnya main, nonton film, nonton kartun.

Hari Minggu sebelum ke gereja itu, rumah kami dibuka untuk nonton, anak-anak tetangga-tetangga. Jadi rame-rame mereka nonton bareng, nonton Doraemon, nonton kartun yang lain, wah, itu seru sekali dan sangat itu dinantikan. Pokoknya setiap hari Minggu nonton bareng di rumahnya Lukman, gitu ya. Tapi suatu kali ketika saya sudah ke gereja itu nggak lagi. Jadi, sudah ditutup rumah, karena pergi ke gereja dulu. Pagi sampai siang itu tutup.

Waktu saya sudah sering ke gereja, maka kebiasaannya sudah berubah. Awal-awal waktu saya ke gereja itu saya mengeluh karena sepertinya ya nggak seru ya ke gereja, juga lihatnya orang ngomong, ya, itu ngapain, gitu ya, di depan. Itu nggak menarik. Tapi lambat laun saya menjadi mengalami satu sukacita tersendiri ke gereja. Menjadi suatu hal yang indah, karena berkumpul bersama dengan umat Tuhan, memuji Tuhan, percaya lagi, meneguhkan lagi iman kita kepada Kristus.

Nah, ketika kami sudah berubah, ya, kebiasaan, sudah sering ke gereja setiap hari Minggu, itu waktu awal-awal, anak-anak tetangga itu sering tanya kepada saya, “Lukman, kalau ke gereja tu ngapain sih?” Sebelum saya jawab mereka langsung juga memberikan jawaban dalam bentuk pertanyaan “nyanyi-nyanyi ya?” Lalu saya bilang “ya, ada nyanyi, tapi nggak semua nyanyi.”

Nah nyanyian itu menjadi satu khas yang semua orang yang belum percaya kepada Kristus pun tahu bahwa orang Kristen tuh kalau beribadah hari Minggu tuh nyanyi. Mungkin tahunya malah nyanyi aja, ya, nggak tahu bahwa ada Firman Tuhan, ada doa syafaatnya, gitu ya. Orang-orang sekitar yang kebanyakannya adalah Islam, nggak ada satu pun saya pernah ngasih tahu ke gereja itu ngapain tapi mereka langsung bisa menyimpulkan mereka itu nyanyi-nyanyi. Nyanyian menjadi yang khas di dalam ibadah Kristen. Orang Kristen ke gereja pasti nyanyi, orang Kristen adalah umat yang bernyanyi. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, orang Kristen itu identik sekali dengan nyanyian.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, nyanyian itu menjadi khas dalam Kristen. Dibandingkan dengan agama-agama lain, bukan tidak ada musik, tapi musiknya itu begitu minim di ibadahnya. Misalnya agama Hindu. Agama Hindu, Budha, dan Islam nyanyian di ibadahnya itu kebanyakan chanting lalu ada ritmik yang cenderung monoton. Kalau saya bisa kasih contohnya cuman yang Islam ya. Misalnya chanting, “Allahu Akbar, Allahu Akbar”  ha, itu kan chanting kan? Nadanya  begitu, cenderung datar, ya. Lalu ada ritmenya. Kalau Budha ada yang diketok “tok tok tok tok” tambah cepet, tambah cepet, ya. Jadi, ini ritmenya itu sangat sederhana, sangat simpel, ya. Sedangkan di dalam kekristenan itu begitu beragam, begitu variatif.

Ada nggak masa di dalam ibadah Kristen, menyanyinya dalam bentuk chanting? Ada. Bahkan menurut sejarahnya, chanting yang diadopsi oleh agama Islam itu awalnya itu adalah dari ibadah Yahudi. Itu menurut sejarahnya seperti itu, tapi itu sulit ditelusurinya. Chanting itu juga pernah dilakukan oleh orang-orang yang percaya kepada Tuhan di dalam Perjanjian Lama. Bahkan sampai Perjanjian Baru. Bahkan sampai abad pertengahan di kekristenan Eropa, yang kita kenal itu Gregorian Chant, itu yang sangat terkenal. Nada yang begitu sederhana, cenderung “do, re, do, re, do, si ,dogitu-gitu aja, ya, nggak banyak nada yang melompat-lompat. Kalau kita lihat lagu pujian kita di sini, misalnya kita lihat lagu nomor 1, itu ada beberapa nada yang lompatnya cukup jauh ya. Misalnya bagian refrainKami sujud” itu kan tinggi “sol sol fa” lalu ada juga “sol, do” sudah tinggi, lompat ya.

Dalam sejarah perkembangan musik Kristen, musik di dalam Kristen itu bukan hanya chanting. Maka kita bisa melihat ada alat-alat musik yang lain juga yang masuk, baik alat-alat musik klasik yang kita sebut klasik, alat-alat musik sekarang yang modern, juga ada alat-alat musik etnomusik alat-alat musik tradisional. Begitu beragam baik secara instrumennya, secara pergerakan melodinya, secara ritmiknya atau ketukannya, secara genrenya itu begitu beragam di dalam musik itu di dalam ibadah Kristen. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, maka nggak heran memang bisa dikatakan ibadah Kristen itu secara durasi waktu begitu banyak musik itu di dalamnya. Kalau kita di sini khotbah 40 menit atau sampai 1 jam misalnya, maka nyanyian itu paling nggak 30 menit, bisa lebih.

Hari ini, saya mau mengajak kita merenungkan tentang nyanyian Kristen. Apa prinsip-prinsip yang paling mendasar, yang paling penting, yang paling utama di dalam nyanyian ibadah Kristen menurut Mzm. 92. Mengapa ada musik di dalam ibadah Kristen? Bukan karena kita suka musik, terutamanya bukan itu. Tapi karena Alkitab sendiri memerintahkan, mengajarkan, mendorong untuk kita memuji Tuhan. Mari kita buka Mzm. 92. Kita bisa melihat dalam Mzm. 92: secara khusus ayat 2 di dalam Alkitab bahasa Indonesia, “Sungguh baik memuji Tuhan itu, sungguh baik bermazmur bagi Tuhan itu.” Alkitab sendiri sudah mendorong kita, sungguh baik, itu adalah hal yang baik untuk dilakukan, hal yang baik untuk dikerjakan di dalam konteks itu, yaitu menyanyikan pujian bagi Tuhan. Lalu di ayat 4, bukan hanya suara manusia, dalam terjemahan baru “dengan mandolin 10 senar, dan dengan gambus dengan iringan kecapi”, ada instrumen musik juga ya. Jadi ibadah Kristen tidak anti dengan alat musik, walaupun di dalam sejarah perkembangannya itu begitu banyak pergumulan, alat musik mana sih yang harusnya masuk di dalam ibadah Kristen. Dari zaman sebelum reformasi, waktu reformasi terjadi, dan pasca reformasi, sampai sekarang masih ada banyak perdebatan hal itu. Tapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, intinya di sini, ada keragaman baik musik vokal maupun musik instrumental.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian apa prinsip-prinsip yang paling utama dalam nyanyian ibadah Kristen menurut Mzm. 92? Yang pertama objek dari pujian Kristen yaitu Allah yang sejati. Objek pujian Kristen yang sejati tertuju kepada Allah. Ada arah yang jelas, arahnya yaitu kepada Allah saja, berpusat kepada Allah. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa melihat di sini ada penggunaan nama yang sangat unik, ya, seperti sering kali saya ulang dan sering kali terlihat terdapat di Mazmur. ”TUHAN” dengan huruf besar semua, berapa kali Bapak Ibu, Saudara sekalian? Di dalam Mazmur 92 ini ”TUHAN” dengan huruf besar semua, berapa kali? Coba kita lihat berapa kali. Ada yang tahu berapa kali? 7 kali. Diulang 7 kali artinya angka sempurna. Ketika diulang 7 kali, itu menegaskan kesempurnaan Tuhan yang kita puji, yang kita muliakan, yang kita tinggikan.

Bukan hanya itu saja, pemazmur ini menyusun bentuk puisinya seperti kiastik. Kalau secara gampang, ilustrasinya makanan, itu sama seperti burger. Jadi, di sini ada roti-rotinya, lalu tengahnya ada dagingnya. Atau mungkin seperti cermin: Ada A-A’, B-B’ aksen, C-C’, lalu ada bagian tengah. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa melihat, kalau kita lihat secara bentuk penulisannya, secara kiastik itu, maka di ayat 2-5 itu bagian A, lalu bagian A aksennya yaitu ayat 13-16 itu ada kata “TUHAN” dengan huruf besar semua, ya. Lalu bagian tengah, bagian inti, bagian pusat, yaitu ayat 9. Bagian pusatnya ditegaskan ”tetapi Engkau di tempat yang tinggi untuk selama-lamanya, ya TUHAN!” Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini dibentuk sedemikian rupa menekankan apa? Nyanyian orang Kristen berpusat kepada Tuhan Allah yang sejati.

Seorang teolog, bernama Agustinus, ia mengatakan, “Apa sih artinya itu nyanyian Kristen?” Agustinus mengatakan, “Nyanyian Kristen adalah sebuah nyanyian yang menyatakan pujian kepada Allah”, ya. Dalam bahasa Latin-nya cantus est cum laude Dei. Cantus berarti nyanyian, cum laude berarti dengan pujian, Dei kepada Tuhan. Ketika kita memuji Tuhan, tapi tidak bernyanyi, maka itu bukan nyanyian pujian kepada Tuhan. Ketika kita bernyanyi, tetapi isinya bukan pujian kepada Tuhan, maka itu bukan nyanyian kepada Tuhan. Maka, nyanyian Kristen adalah satu nyanyian yang ada melodinya, ada pujian dan ditujukan kepada Tuhan.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mungkin terlihat sederhana, tetapi ini penting, arah kita memuji, arah kita bernyanyi itu seharusnya kepada Tuhan. ”TUHAN” dengan huruf besar semua itu adalah Allah perjanjian (covenant). Kalau ditanya, ”Agama-agama tuh menyembah Allah yang sama nggak sih?” atau ”Kristen itu Allahnya sama nggak sih dengan agama, misalnya Islam?” ”Ibadahnya tuh mengarah kepada Allah yang sama gak sih?” Pada dasarnya itu tidak. Secara keinginan, orang yang di luar Kristus keinginannya adalah menyembah Allah, dia ingin menuju yang sejati, menuju Allah yang sejati, tetapi nggak bisa. Nggak bisa sampai karena dosa. Karena dosa yang membuat kita jauh dari Alllah. Alkitab menegaskan itu, di dalam Yesaya, bukan tangan Tuhan yang kurang panjang, bukan telinga Tuhan kurang mendengar, tetapi yang menjauhkan kita ada dosa kita di hadapan Tuhan, sehingga kita jauh dari Tuhan. Kita nggak pernah sampai kepada Tuhan, sehingga setiap pujian yang kita naikkan di luar Kristus, atau pujian yang dinaikkan bukan orang sungguh-sungguh percaya kepada Allah yang sejati, tidak akan pernah sampai kepada Tuhan.

Maka, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, agama itu tidak mengarah kepada Allah yang sama. Arah itu begitu penting. Walaupun kita menjalaninya dengan baik, tapi arahnya salah, kita nggak akan pernah sampai ke tujuan. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, misalnya kita, saya setiap minggu ke Semarang, gitu ya. Dengan kecepatannya, dengan nyetirnya yang baik, nggak ngebut, ngikutin lampu merah berhenti, lampu hijau jalan, gitu ya. Ngikutin semua aturan dengan baik, tapi kalau arahnya itu tidak ke Semarang, arahnya malah ke Surabaya, tetap nggak sampai, walaupun sudah dengan sungguh-sungguh. Semakin sungguh-sungguh, semakin salah. Kalau arahnya salah, nggak sampai. Maka arah menentukan.

Siapa sebenarnya yang seharusnya menjadi arah kita? Yaitu ”TUHAN” dengan huruf besar semua, Allah perjanjian (covenant). Ini nama yang penting. Ini diwahyukan kepada Musa di dalam Kel. 3:13-15. Nama TUHAN, di dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan “Aku adalah Aku”. Atau dalam bahasa Inggrisnya, “I am who I am”. Tapi, ada terjemahan yang lain yang mungkin kita memang sulit terjemahkan ini, yaitu “I will be who I will be”. “I will be who I will be” ini kalau terjemahan Indonesianya kan, aneh ya, “Aku menjadi apa yang Aku jadi”.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Yahweh ya, atau huruf TUHAN besar semua itu, di dalam terjemahan Indonesia, itu di dalam, secara katanya, kalau dibentuk dalam satu frasa, itu bisa diterjemahkan “I am who I am, I will be who I will be” ya. Kita kalau belajar doktrin Allah, “I am who I am” saya kira kita cukup familiar. Ada satu kata yang sangat kita kenal, Aseity atau aseitas. Itu artinya Allah yang tidak berubah, Allah yang ada pada diri-Nya, Allah yang tetap, Aku adalah Aku. Dan ini kita bisa terima dengan wajar ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Kita nggak ada terlalu kesulitan menerima ini. Allah adalah Allah yang ada pada diri-Nya, cukup pada diri-Nya sendiri. Keberadaannya tidak tergantung dengan apa yang ada di luar diri-Nya. Ini sifatnya deskriptif.

Tapi ada satu lagi. Di sini yang dinyatakan “I will be who I will be”. Ini artinya, Allah yang tetap, Allah yang tidak berubah, tapi sekaligus Allah yang dinamis. Ini sulit sekali kita memahami. Di dalam sejarah agama-agama, khususnya misalnya agama besar, ya, Yahudi, Islam, Kristen, Protestan ataupun Katolik dijadikan satu, ini sulit sekali, memahami ini. Karena kita lebih mudah memahami Allah yang tetap dan tak berubah. Tapi Allah yang berubah itu berat. Maka Bapak, Ibu, Saudara sekalian, nggak heran banyak orang sulit menerima inkarnasi Kristus. Tapi inkarnasi Kristus sebenarnya bukanlah hal yang baru di dalam Alkitab. Bukan baru di Perjanjian Baru adanya. Sejak Kel. 3:13-15, Tuhan sudah menyatakan “I will be who I will be”, “Aku adalah Aku”, “Aku menjadi apa yang Aku jadi”. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini artinya Allah adalah Allah yang menjadi. Allah adalah Allah yang selalu menjadi. Dan Dia dinamis sifatnya. Bukan berarti waktu kita bilang dinamis itu, Dia nggak konsisten, gitu ya, selalu berubah, plinplan, gitu. Bukan, ya. Pada esensinya tidak demikian, ya. Allah tetaplah Allah. Tetapi ada satu kedinamisan, Dia bukan Allah yang statis. Bukan Allah yang sepertinya kalau kita bilang, itu ada formulanya yang sudah kita tahu, “Oh, kalau saya baik-baik kepada Allah, saya taati segala perintah Tuhan, maka saya mendapat kebaikan dari Tuhan”. Ini formula yang sepertinya rumusan yang selalu tetap, yang statis. Maka ketika kita sudah baik-baik kepada Allah, yang kita dapat dari Tuhan tidak baik, kita mulai bertanya-tanya, kita mulai meragukan Tuhan, kita mulai nggak percaya Tuhan. Bukan demikian.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Tuhan adalah Allah yang dinamis. Dia Allah perjanjian yang tidak berubah, sekaligus Allah yang dinamis. Maka, ketika kita berelasi dengan Tuhan, relasi kita juga adalah relasi yang dinamis. Bukan mekanis. Kebanyakan dari kita, selain tentu karena dosa, sehingga relasi kita dengan Tuhan rusak, relasi dengan sesama rusak. Tetapi juga ditambah lagi di dalam hidup kita di dunia yang berdosa ini, kita dipenuhi begitu banyak barang.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian di dalam hidup kita sehari-hari, kita lebih banyak bertemu orang, atau bertemu barang? Di kamar saja, satu orang punya kamar, barangnya bisa lebih dari satu. Ya kan? Pasti! Bukan hanya bisa. Pasti lebih dari satu! Ada kursi, ada handphone, ada lemari, begitu banyak barang. Dunia tempat kita tinggal lebih banyak orang atau lebih banyak barang? Lebih banyak barang. Dan interaksi kita, sering kali karena lebih banyak barang dan apalagi sekarang, teknologi, kita lebih sering bersama handphone daripada bersama papa mama, bersama pasangan kita, ya kan? Kita lebih sering bersama dengan pakaian kita, dibandingkan bersama dengan orang-orang yang lain.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini sedikit banyak mempengaruhi kita. Relasi kita tidak lagi sifatnya personal. Relasi kita jadinya instrumental. Relasi kita bukan lagi dinamis, tetapi mekanis. Ketika kita berelasi dengan barang, maka barang itu identitasnya bergantung pada kita. Pemakaiannya bergantung pada kita. Kursi, adalah tempat duduk. Tapi kalau kita mau jadikan kursi sebagai senjata untuk menyerang orang, bisa. Kursi, tempat duduk, harusnya menaruh, maaf, pantat kita, ya, tapi kalau kursi saya jadikan tangga, menaruh kaki saya untuk mengambil sesuatu di atas, bisa. Relasi dengan barang, itu terserah saya. Barang itu nggak pernah saya tanya kepada barang, “Eh, kursi, mau saya apain?”. “Kamu mood nggak sih, kalau saya dudukin sekarang?” Ini kalau kita berelasi kepada barang, seperti kayak orang, ya kita ke rumah sakit jiwa.

Tapi Saudara sekalian, yang terjadi sering kali juga sebaliknya, berelasi kepada orang seperti kepada barang. Berelasi kepada Tuhan, Pribadi seperti kepada barang. Seperti Tuhan itu pasif saja. Seperti kita itu waktu memuji Tuhan itu seperti memuji kursi. Ketika relasi itu pribadi, maka Bapak, Ibu sekalian, itu artinya ada saat-saat persetujuan saling setuju. Ada saat-saat nggak setuju. Itu bagian dari relasi pribadi. Ada saat-saat relasi pribadi itu kita bertanya kepada pribadi yang kita berelasi sukanya apa, nggak sukanya apa. Bukan sukanya saya terus kasih-kasih gitu ya. Ketika relasi antar pribadi maka ada persetujuan, ada mungkin juga penolakan itu wajar. Saudara-saudara sekalian kita perlu bertanya kepada Tuhan, pujian apa sih, nyanyian apa sih yang diperlukan oleh Tuhan.

Di dalam kebiasaan hidup kita yang cenderung mekanis, yang cenderung otomatis, maka marilah kita mengarahkan pujian kita kepada Tuhan. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya nggak tahu ketika kita nyanyi tadi ya, sungguh nggak kita mengarahkannya kepada Tuhan? Coba kita refleksi. Atau jangan-jangan mekanis. Ini sudah ada tombolnya ya. Nyanyi, doa. Pada waktu liturgis kita, “mari kita memuji Tuhan, lagu yang pertama”, terus aplikasi nyanyinya mulai. Waduh langsung “teng”. Sungguh nggak hati kita tertuju kepada Allah? Arahnya itu kepada Allah, sungguhkah?

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, arah itu begitu penting. Nyanyian orang Kristen memiliki arah yang jelas, yaitu kepada Allah yang mewahyukan diri-Nya, memperkenalkan diri-Nya. Bukan Allah yang tidak dikenal, ya. Kadang-kadang ya di film-film, di televisi sekarang, itu kadang-kadang ada kata-kata seperti ini, kalau ada tokohnya aktornya lagi berdoa di film atau di drama di mana pun, bisa doa seperti ini, “yang kepada siapa pun apa pun, universe yang ada di sana. Siapa pun itu. Jawab.” Ini seperti kepada Allah yang tidak dikenal.

Saudara ingat kata-kata ini di dalam Alkitab ini muncul di mana? Mari kita buka Yoh. 4:22. Kita buka Yoh. 4:21-22, “Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.” Orang Samaria itu adalah orang yang diklaim dinyatakan dilabelling oleh orang Yahudi itu darah campuran. Darah campuran sehingga nggak murni lagi, tapi mereka, dan memang banyak sejarah-sejarah keberdosaannya menyembah dewa-dewa dan seterusnya, khususnya di dalam zamannya yang paling awal zamannya Yerobeam kalau kita tahu. Ini menyembah allah, lalu mereka bertobat, lalu mereka menyembah Allah. Dikatakan di situ, dan mereka mengikuti, ini selalu perdebatan, menyembah Allah itu di mana, di Yerusalem atau di gunung Gerizim? Orang Samaria atau orang-orang yang di luar Yerusalem itu, atau Israel Utara, ya kita sebut Kerajaan Israel Utara, itu di dalam tradisinya menyembah di gunung Gerizim. Tetapi menarik sekali Tuhan Yesus katakan kepada Allah yang tidak kamu kenal. Apa artinya?

Bapak, Ibu sekalian dua kemungkinan di sini. Apakah sungguh-sungguh mereka nggak kenal Tuhan, ataukah mereka nggak ingin menyembah Allah yang sejati. Yang pertama mungkin memang dengan sengaja mereka mau menyembah selain Allah yang sejati. Yaitu allah-allah palsu, yang bagi mereka itu adalah allah-allah asli. Kemungkinan kedua mereka punya motivasi. Hati mereka memang ingin menyembah Allah yang sejati, tapi mereka tidak tahu bagaimana menyembahnya, ke mana menyembahnya, seperti apa menyembahnya. Dan kemungkinan, banyak penafsir mengatakan yang kedua yaitu mereka punya hati sungguh-sungguh ingin menyembah Allah yang sejati tapi mereka nggak tahu siapa yang Allah sejati yang sebenarnya. Dan mereka nggak tahu bagaimana menyembah-Nya, ke mana menyembah-Nya.

Di dalam Kisah Para Rasul, Paulus juga mengatakan ini. Kis. 17:23, “Kalian menyembah Allah yang tidak kalian kenal.” Ironis sekali, kalau kita sungguh-sungguh punya hati ingin menyembah Allah yang sejati, tapi kemudian Alkitab menyatakan, “Kalian menyembah Allah yang tidak kalian kenal!”. Ibadah Kristen sejati adalah ibadah yang didasarkan kepada Allah yang mau mewahyukan diri-Nya kepada kita. Allah yang mau memperkenalkan diri-Nya kepada kita. Dia bukan Allah yang bersembunyi, tidak menyatakan apa-apa kepada kita. Dia sudah kasih tahu semua yang kita perlukan: isi hati-Nya, kehendak-Nya, perintah-Nya, apa yang Dia sukai, Dia sudah nyatakan kepada kita. Maka ketika kita menyembah Allah yang dinyatakan Alkitab di dalam Tuhan Yesus Kristus, kita menyembah seharusnya menyembah Allah yang kita kenal.

Mari kita koreksi, ya, mari kita renungkan: apakah kita sudah sungguh-sungguh mengenal Allah yang kita sembah, yang kita sudah nyanyikan pujian kepada-Nya? Nyanyian pujian yang didasarkan kepada ketidakkenalan akan Allah bukanlah pujian Kristen yang sejati. Maka kita harus bertumbuh dalam pengenalan kita akan Allah. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika kita memuji yang tidak kita kenal itu namanya gombal, ya. Gombal. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, apa kata Tuhan kalau hati kita tidak tertuju kepada-Nya – tidak peduli dia tuh Allah sejati benar atau enggak – apa kata Tuhan ketika kita memuji Dia dengan kata-kata yang bagus sekalipun? Mari kita buka Yes. 29:13. Yes. 29:13. Apa kata Tuhan di dalam Yes. 29:13? “Berfirmanlah Tuhan: Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, sedangkan hatinya menjauh dari-Ku dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan.

Tuhan melihat hati kita: sungguhkah terarah kepada Dia? “Hatinya jauh daripada Tuhan”, Tuhan muak. Tuhan nggak suka. Walaupun kata-kata kita indah, tapi hati kita jauh dari Tuhan, kita tidak mengarahkan pujian kita kepada Tuhan. Pujian yang tidak didasarkan kepada pengenalan yang sejati akan Allah, Tuhan muak mendengarnya! Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mari ketika kita menyanyikan pujian kepada Tuhan, sungguh-sungguh kita arahkan kepada Tuhan.

Banyak motivasi orang nyanyi itu. Waktu saya kecil, ya, saya tahu lagu sekolah minggu: “Dalam nama Yesus, dalam nama Yesus, ada kemenangan..” Nah, sejak saya tahu lagu itu kalau saya kebangun malam-malam, jam 12.00 malam, lalu saya ke toilet, itu kan gelap semua, saya nyanyi itu. Ini salah ini. Itu bukan pujian untuk Tuhan! Itu untuk ketenangan diri! Itu hipnotis diri supaya secure. Nyanyian pujian kepada Tuhan tidak seharusnya didasarkan pada insekuritas kita. Bukan, ya. Harusnya memang kepada Tuhan! Kalau memang nyanyi jangan hanya waktu gelap-gelap nyanyi itu. Waktu terang nyanyi dong, “Dalam nama Yesus”. Waktu gelap, waktu perlunya Tuhan ajaDalam nama Yesus”, ya? Waktu sudah gelisah, waktu sudah banyak pergumulan langsung “Dalam nama.” Mau ujian besok, (menyanyi): “Dalam nama Yesus.” Tapi pas sudah yang baik-baik terima, nggak ada “Dalam nama Yesus”. Berarti pujian kita bukan untuk Tuhan, tapi untuk diri kita.

Pujian yang sejati diarahkan kepada Allah yang sejati. Satu contoh di mana ada yang memuji Tuhan tapi Tuhan nggak terima. Mar. 5:7, “..dan dengan keras ia berteriak –ia itu orang yang dirasuk setan, yaitu ia itu ia, Iblis, legion itu– Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggi? Demi Allah, jangan siksa aku!” Wah, ini sudah pengakuan imannya benar. “Anak Allah Yang Mahatinggi” ya kan? “Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggilho. Siapa yang menginjili dia ya? “Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi”. Lalu kemudian, “demi Allah”, tetapi Tuhan nggak berkenan. Pujian iblis Tuhan nggak berkenan. Mengapa? Karena hatinya tidak sungguh-sungguh menyembah kepada Tuhan. Hatinya tidak sungguh-sungguh terarah kepada Tuhan. Mari kita merenungkan pujian Kristen sejati adalah pujian yang sungguh-sungguh terarah kepada Allah yang sejati.

Yang kedua, Menyanyi berarti memberitakan siapa Allah dan apa karya-Nya. Artinya ada isi pujian, yaitu tentang Allah dan tentang karya-Nya. Lagu ini misalnya “Kasih Allah” itu mengajarkan kepada kita tentang siapa Allah dan apa karya-Nya. Kita bisa melihat di dalam Mzm. 92 begitu banyak karya Allah yang dinyatakan oleh Pemazmur. Saya lihat menyatakan beberapa saja ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa melihat secara keseluruhan. Ayat 2 dan 3 sudah sangat jelas secara eksplisit menyatakan bahwa menyanyi berarti memberitakan kasih setia Tuhan dan kebenaran atau kesetiaan Tuhan. Ayat 5 misalnya, menyatakan kepahlawanan Tuhan yang sudah menempatkan Pemazmur itu penuh sukacita, melalui pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Lalu ayat 6, besar pekerjaan-pekerjaan Tuhan, yang di atas itu bisa manusia selami, begitu luar biasa. Ada banyak penafsir menyatakan ayat 6 ini mengacu kepada sejarah keselamatan yang begitu luar biasa. Di dalam SPIK kemarin, Pdt. David Tong itu menyatakan protologi sampai eskatologi. Karya Allah, protologi  sampai eskatologi, begitu luar biasa, tak terselami. Kita lihat dari awal, Kej. 3 misalnya, itu ada tentang janji keselamatan dinyatakan. Lalu dipanggilnya anak-anak Tuhan, yaitu tokoh-tokoh iman yang muncul; dari Nuh, Abraham dan seterusnya, Daud, lalu sampai kepada Perjanjian Baru ada Yusuf, Maria, dan seterusnya. Sampai Kisah Para Rasul seperti nggak selesai, apa sih artinya? Artinya tongkat estafet itu masih diteruskan sampai sekarang. Kisah-Nya masih berlanjut, kisah sejarah keselamatan itu masih berlanjut sampai nanti “eskatos”, kedatangan Tuhan Yesus kembali.

Begitu banyak karya Allah, begitu limpah. Di dalam tafsiran John Calvin untuk ayat 11 sampai 12, John Calvin menyatakan artinya “aku dituangi minyak” artinya enjoyment of God’s blessings. Artinya ada berkat Allah yang bisa kita nikmati. Itu karya Allah juga. Makan, minum yang kita bisa nikmati, udara yang kita bisa hirup, segala aktivitas kita jalani sendiri maupun bersama orang lain, itu adalah karya Allah juga, wujud karya Allah. Allah itu menuangi segala kebaikan-Nya kepada kita, melimpahi hidup kita dengan segala kebaikan. Itu karya Allah yang patut kita syukuri dan kita beritakan.

Maka di sini, menyanyi adalah memberitakan juga. Kadang-kadang kita memisahkan ya, menyanyi itu sepertinya bukan khotbah. Tapi di dalam Alkitab, menyanyi juga adalah khotbah. Kadang-kadang, ini di dalam orang Reformed ya, di dalam sejarah saya mengikuti ibadah GRII, banyak sekali orang itu nggak masalah terlambat datang. “Ya sudah lah, lewat votum nggak apa-apa lah. Masih lagu 1 kok, yang penting nggak kehilangan khotbah.” Pokoknya sebelum khotbah itu sudah harus datang. Tapi doa pembukaan dilewati, votum dilewati, nyanyian dilewati karena yang penting khotbahnya. Pulangnya bagaimana? Pulangnya sudah lewat khotbah, sudah kasih persembahan, lewatin, berkat nggak penting. Langsung pulang. Karena melihat oh khotbahnya itu lho. Ibadah itu ya khotbahnya itu. Khotbah itulah artinya pemberitaan Firman. Padahal Alkitab dari Perjanjian Lama sudah menegaskan nyanyian juga adalah khotbah dengan melodi. Dan ini yang dinyatakan oleh Martin Luther. Martin Luther mengatakan verba vocalia  dan verba scripta. Verba vocalia itu apa? Khotbah dengan melodi. Verba scripta, khotbah dengan kata-kata seperti ini. Maka, Martin Luther melihat begitu pentingnya nyanyian. Nyanyian ada pesan yang diberitakan. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika kita menyanyi itu artinya kita memberitakan siapa Allah dan apa karya-Nya, bukan hanya kepada orang lain sekitar kita, tapi kepada diri kita juga.

Yang terakhir, siapa yang bernyanyi kepada Tuhan Allah yang sejati yaitu umat-Nya. Pemazmur adalah umat Tuhan, jelas sekali. Dalam konteks awal yang diberikan di sini kepada kita, ayat 1 di dalam terjemahan Indonesia, “Mazmur. Nyanyian untuk hari Sabat.” Dalam konteks awal yaitu konteks ibadah sudah dinyatakan setting-nya. Mazmur 92 dibawa di dalam satu ibadah. Berarti dinyanyikan, dibuat oleh pemazmur, diilhamkan oleh Roh Kudus  dan dinyanyikan juga secara publik oleh umat Tuhan bersama-sama. Pemazmur menyatakan yang menyanyikan pujian seharusnya adalah umat Tuhan yang sejati.

Bapak, ibu sekalian, di dalam Kel. 20:7, kita sangat tahu perintah ini, yaitu Tuhan ingin nama-Nya tidak disebut dengan sembarangan. “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu dengan sembarangan,” artinya Tuhan nggak ingin nama-Nya dengan sembarangan, dengan nggak mikir, dengan asal-asalan disebut. Itu artinya secara lurus gitu, ya, secara langsung. Tapi arti yang lain secara positifnya, Tuhan ingin nama-Nya ditinggikan, dimasyhurkan oleh umat-Nya sendiri. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita seharusnya adalah menjadi seorang penyembah-penyembah sejati. Kita dipanggil sebagai umat Tuhan untuk menyembah Tuhan dengan cara yang Tuhan inginkan, dengan kata-kata pujian yang  berkenan kepada Tuhan.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, seorang teolog bernama Kyle Idleman itu menulis buku judulnya “Not a Fan” of Jesus. Dia bilang, ada banyak orang Kristen itu bukan sungguh pengikut Kristus. Ada banyak orang Kristen itu bukan sungguh penyembah sejati kepada Tuhan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Ada banyak orang Kristen itu hanya fans, hanya penggemar, ya.

Apa, sih, penggemar itu artinya? Kalau di dalam kamusnya, ya, fans itu artinya penggemar yang begitu antusias, begitu semangat. Penggemar itu bisa tahu banyak hal terhadap idolanya. Misalnya, kalau kita mengidolakan Christiano Ronaldo, kita itu tahu- mungkin, ya, kalau ekstrem- tingginya berapa, beratnya berapa gitu, ya, tanggal lahirnya tahu. Ronaldo nggak minta ucapin ulang tahun, kita ucapin selamat ulang tahun kepada dia gitu, ya. Fans itu tahu semua, ya. Tahu semua tentang informasi semua, tapi dia suka lihat  gaya Ronaldo main dan semua bahkan bela-belain mungkin beli tiketnya, Ronaldo di klub mana. Sekarang berada di Timur Tengah, ikut juga membela tiba-tiba Timur Tengah, padahal nggak pernah tahu klub apa itu. Tiba-tiba tahu, ya. Tapi dia hanya nonton. Dia hanya menggemari dari kejauhan, nggak punya relasi yang dekat. Ketika Ronaldo mainnya jelek, klubnya kalah, dia mulai sedih. Lalu, dia lihat yang lain. Dia mengidolakan yang lain. Ini fans. Ini penggemar. Penggemar itu tahu banyak hal, tapi nggak punya relasi yang dekat dan ketika idolanya mengecewakan, pergi menjauh.

Taylor Swift di Indonesia termasuk banyak penggemarnya, ya, tapi kok nggak konser-konser di Indonesia gitu, kan? Padahal, penggemarnya itu begitu banyak. Orang ada mengidolakan Taylor Swift tahu semua mantan Taylor Swift. Tahu lagu-lagu mana itu untuk mantan siapa. Ya, itu kan memang terkenalnya seperti itu, ya. Dia tahu semuanya. Ya, sampai berapa waktu — tahun lalu, ya, 2023 itu sempat viral. Yaitu apa? Lagunya All too well itu terkenal, sampai di TikTok itu ada curhatan-curhatan “Mbak Taylor”. Penggemar itu kalau denger lagu diidolakannya itu rasa kayak, “Aku banget itu”. Ini ada yang tulis begini, “Mbak Taylor aku pernah nekat solo trip ke gunung hanya karena nggak mau lihat story nikahan dia.” “Mbak Taylor aku pernah naik motor tangan kanan megang tas, tangan kiri ngusap air mata”. Taylor-nya nggak pernah nanya ngapain, tiba-tiba sok kenal sok dekat. Lalu curhatan di sosmed, gitu ya. Ini fans. Penggemar itu kayaknya deket, tapi ya sebenarnya nggak saling kenal.

Siapa kita seharusnya? Fans Jesus? Atau penyembah Kristus yang sejati? Pengikut Kristus yang sejati? Jangan-jangan selama ini kita hanya nge-fans sama Jesus. Bukan sungguh-sungguh jadi murid Yesus. Waktu Yesus nggak sesuai yang kita harapkan, kita kecewa, kita pergi dari Tuhan Yesus. Kita terus sharing, curhat, rasa deket. Padahal hati kita, nggak pernah Kristus ditinggikan. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, umat Tuhan sejati adalah umat yang menyanyikan pujian kepada Tuhan. Umat yang mempunyai relasi intim dengan Tuhan.

Penggunaan kata “TUHAN” di dalam Mazmur 92. Di dalam Inggrisnya, “I am who I am” atau “I will be who I will be”, ya. Cuma ada satu Pribadi yang pernah mengatakan itu di sepanjang sejarah. Nggak pernah ada yang lain. Yaitu Tuhan Yesus sendiri. Di dalam Injil Yohanes, Tuhan Yesus menggunakan istilah Yunani ego-emi. Orang kadang bilang, “Yesus nggak pernah mengklaim diri-Nya Tuhan”. Sering, ya. Itu nggak belajar. Sering Tuhan Yesus mengklaim diri-Nya Tuhan dengan, paling nggak, tiga macam cara, ya. Dia menyebut ego-emi secara langsung, “Aku adalah gembala yang baik. Aku adalah pintu.” Aku adalah — ya, itu. Lalu yang kedua adalah dengan tersirat, “Akulah Dia”. Yang ketiga, dengan mutlak menyatakan, “Sebelum Abraham ada, Aku ada.” Keberadaan-Nya mutlak dan Tuhan menyatakan dengan jelas, Dia adalah Tuhan. Tuhan Yesus menyatakan Dia adalah sungguh Tuhan. Maka itu, dalam Yoh. 5:18 dan Yoh. 10:33. orang Yahudi, Israel sendiri bilang, ahli Taurat sendiri bilang, “Dia menyamakan diri-Nya dengan Tuhan”. Berarti Dia sungguh memaksudkan mengatakan itu dan tafsirannya sudah jelas bahwa Dia menyatakan dirinya Tuhan.

Oleh karena itu, nyanyian pujian Kristen pastilah berpusat pada Kristus. Pastilah kepada Allah yang berinkarnasi, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Dia yang sudah hadir di tengah-tengah dunia, Dia yang mau mati bagi kita yang berdosa, Dia yang kemudian bangkit, Dialah anak domba yang layak untuk dipuji. Yang layak untuk disembah. Why. 5:12, demikian Firman Tuhan, “katanya dengan suara nyaring: ”Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!” Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mari kita sungguh meninggikan Kristus, menyanyikan pujian untuk Tuhan kita yang sudah mau datang berinkarnasi, mau bangkit dan juga—mau mati bagi kita dan bangkit, dan akhirnya nanti datang kembali untuk kita boleh melihat langit dan bumi yang baru di mana kita di dalam kekekalan memuji Tuhan kita, meninggikan Dia lagi. Mari kita berdoa. (HS)