Lahirnya Samuel, 8 September 2024

Lahirnya Samuel
1 Sam. 1:1-28

Pdt. Dawis Waiman, M. Div

 

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kisah mengenai Hana adalah satu kisah yang terjadi pada zaman Hakim-hakim. Dan kalau Bapak, Ibu bertanya, apa yang terjadi pada zaman Hakim-hakim, maka ada satu kalimat yang begitu penting yang mengakhiri kitab Hakim-hakim yang menunjukkan kondisi dari zaman Hakim-hakim itu. Bapak, Ibu boleh buka di dalam Hak. 21:25, di situ diakhiri dengan 1 kalimat kesimpulan yang berbunyi, “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel. Setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” Jadi, pada waktu kita membaca kalimat ini, kita akan menemukan bahwa ternyata saat itu adalah saat yang kacau. Saat itu, kondisi Israel tidak dalam kondisi yang baik-baik. Saat itu, mungkin kita bisa katakan kondisi Israel ada di dalam kegelapan. Karena apa? Terjadi kekacauan, baik secara politis, secara sosial, ataupun secara agama di Israel.

Bapak, Ibu kalau membaca keseluruhan dari kitab Hakim-hakim, kita bisa melihat bahwa mereka terus-menerus hidup di dalam 1 pola di mana sebelumnya Israel ada di dalam kondisi baik, jatuh ke dalam penyembahan berhala, akhirnya Tuhan izinkan mereka dijajah oleh bangsa lain sebagai satu hukuman bagi mereka yang berdosa. Lalu, kemudian mereka berteriak kepada Tuhan, meminta pertolongan dari Tuhan. Tuhan mengutus hakim untuk membebaskan bangsa Israel dari kondisi ini. Tetapi, kondisi ini bukan menjadi kondisi yang makin baik, tetapi kondisi ini adalah satu kondisi yang terus berlingkar, tetapi keadaannya makin lama makin buruk, makin buruk, dan makin buruk. Bahkan, hakim terakhir, Simson itu moralnya rusak sekali.

Jadi, pada waktu itu, orang-orang Israel  bertanya, “Bagaimana nasib kita? Bagaimana keadaan dari bangsa ini? Adakah jalan keluar dari keadaan ini?” Lalu, kesimpulan di akhir dari Hakim-hakim berkata, ada sih, sepertinya. Pengharapan itu terletak di mana? Pengharapan itu terletak kalau ada seorang raja yang memimpin bangsa ini. Jadi, di dalam pemikiran dari orang-orang Israel, mereka tetap berharap ada kebebasan, ada kelepasan dari masa kegelapan. Tetapi kelepasan atau kebebasan itu terletak pada tangan seorang raja yang mungkin baik, yang bijaksana, yang memimpin dari bangsa Israel ini.

Tetapi, menariknya, pada waktu kita membaca kitab 1 Samuel, kitab 1 Samuel tidak melanjutkan sepertinya kisah dari akhir Hakim-hakim ini, tetapi kitab 1 Samuel mengajak kita melihat ke dalam satu kehidupan keluarga yang kecil, yang mungkin bisa dikatakan memiliki ekonomi yang cukup baik karena mereka ketika pergi ke Silo untuk memberikan korban, di situ dikatakan mereka sanggup untuk membawa seekor lembu jantan. Kalau kita perhatikan kitab Musa, maka di dalam kitab Musa dikatakan orang yang kaya itu memberikan seekor lembu. Orang yang miskin membawa burung merpati atau burung tekukur untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Jadi, Elkana adalah  mungkin orang yang cukup mampu. Tapi, kalau kita tanya, siapa dia? Penulis Samuel hanya berkata, “Ada seorang laki-laki.” Dia kita kenal dengan nama Elkana, tetapi Elkana ini diintroduksi dengan kalimat, “Ada seorang laki-laki dari Ramataim-Zofim, dan dari pegunungan Efraim.” Maksudnya adalah dia bukan siapa-siapa. Dia hanya dari sebuah keluarga biasa-biasa saja yang hidup di tengah-tengah Israel dan dia memiliki 2 orang istri. Yang pertama diperkirakan adalah Hana, tetapi mandul, dan yang kedua adalah Penina yang memiliki banyak anak.

Dan pada waktu keluarga ini disorot, yang disorot adalah bukan kepada Penina yang memiliki banyak anak, tetapi pada Hana yang mandul itu. Maksudnya bagaimana? Maksudnya adalah kalau andaikata Israel mengharapkan seorang raja yang memimpin bangsa mereka, yang membebaskan mereka dari masa kegelapan itu, maka jawabannya pasti bukan dari keluarga Elkana dan Hana. Jadi, ada harapan nggak? Nggak ada. Kapan harapan itu diberikan? Tidak tahu. Namun, di balik daripada pemahaman yang kita lihat ini, sebenarnya penulis dari kitab Samuel mau mengajak kita melihat melampaui dari sekedar Hana ndak mungkin bisa menjadi keluarga yang memenuhi harapan dari Israel. Tetapi pada waktu Hana dilihat sebagai seorang yang tidak mungkin melahirkan seorang anak laki-laki yang memimpin bangsa Israel, kitab Samuel juga sebenarnya memiliki satu pola yang mengulangi apa yang ada di dalam kisah Kejadian dan kitab yang sebelumnya, yaitu di kala manusia ada di dalam satu kondisi yang sepertinya tidak mampu, di situlah mencirikan Tuhan sedang mungkin merencanakan sesuatu dalam kehidupan keluarga itu dan bahkan berdampak bagi sejarah dari umat Tuhan.

Jadi, pada waktu Samuel mencatat ini, Samuel mau mengajak kita melihat bahwa apa yang akan terjadi di dalam kehidupan Hana? Walaupun dia berdoa kepada Tuhan, menggumulkan kebutuhan dari seorang anak yang ada di dalam kehidupan keluarganya, tetapi anak itu bukan sesuatu yang Tuhan berikan hanya untuk dirinya saja untuk mendapatkan satu penghiburan, kekuatan, atau mungkin tidak diremehkan lagi oleh madunya, melainkan Tuhan memiliki satu rencana yang besar bagi bangsa Israel yang tidak berkepentingan hanya kepada diri Hana saja.

Kita sering kali ketika menghadapkan satu masalah dan kita berdoa, kita berpikir hal yang terbaik adalah saya dilepaskan daripada masalah itu. Ini adalah kepentingan diri saya, untuk kebaikan diri saya. Saya mengerti apa yang menjadi kebutuhan saya. Itu sebabnya, saya berdoa meminta kepada Tuhan untuk menolong saya keluar dari situasi itu dan ketika Tuhan sepertinya lamban untuk memberikan jawaban atau tidak memberikan jawaban, kita berpikir Tuhan kurang mengasihi kita. Tuhan kurang baik kepada kita. Akhirnya, kita mungkin menjadi kecewa atau kendor di dalam iman karena kita berpikir urusan doa pribadi kita adalah urusan pribadi kita. Atau masalah kita yang Tuhan harus dengarkan itu adalah urusan kerajaanku, bukan kerajaan Tuhan.

Tapi peristiwa Hana ini mengajak kita melihat apa yang digumulkan oleh Hana itu berdampak kepada seluruh rencana keselamatan yang Tuhan kerjakan di dalam dunia ini. Setiap pribadi kita, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, jangan berpikir hidup hanya untuk diri, tetapi setiap pribadi kita kalau kita ditebus oleh Kristus, memiliki satu bagian di dalam rencana keselamatan Allah, mulai dari penciptaan sampai akhir dari dunia ini dan Tuhan ingin melibatkan kita di dalam rencana itu. Maka kadang kala doa yang kita naikkan nggak harus segera dijawab, atau kadang kala doa yang kita naikkan mungkin tidak dijawab oleh Tuhan, tetapi kadang kala doa yang kita jawab, doakan kepada Tuhan mungkin juga langsung dijawab Tuhan. Semuanya berdampak pada apa? Berdampak kepada urusan kerajaan Allah di dalam dunia ini.

Nah, kita kembali ke dalam bagian ini. Pada waktu Hana berdoa kepada Tuhan, Tuhan jawab nggak doanya? Dia jawab doanya. Tetapi waktu Tuhan menjawab doa Hana, dia diberikan siapa? Seorang anak yang bernama Samuel, yang kita lihat di dalam kitab Samuel, dia menjadi seorang nabi Tuhan, seorang yang melayani Tuhan, seorang yang menjadi pemimpin yang kuat di tengah-tengah bangsa Israel. Tapi di akhir dari kitab Hakim-Hakim yang diminta adalah seorang raja. Ada hubungan? Kayaknya nggak ada. Harapan Israel terpenuhi? Kayaknya masih belum terpenuhi, karena yang diminta Israel raja, yang diharapkan Israel bisa membebaskan bangsa Israel adalah raja, bukan Samuel, bukan seorang nabi di situ. Tapi Tuhan memberi nabi. Kok bisa seperti itu?

Ini sebenernya satu peristiwa yang pernah terulang di dalam sejarah juga. Kalau Bapak, Ibu perhatikan Inggris di dalam abad 17 dan ke-18, maka Bapak, Ibu akan melihat bahwa Inggris sebenarnya dalam kondisi yang gelap, yang kelam, yang tidak jauh mungkin dengan kondisi Israel pada waktu itu. Saat itu ada kematian, saat itu bayi-bayi ada di dalam kondisi yang begitu meyedihkan sekali, diperbudak dan segala macam. Bangsa Inggris saat itu mengharapkan ada pemimpin politis yang baik untuk memimpin mereka. Dan ada nggak? Ada. Tetapi pada waktu mereka berpikir seperti Israel berpikir, apa yang menjadi jalan keluar dari kondisi ini, bagaimana kami bisa lepas dari keadaan ini, maka apa yang Tuhan berikan? Tuhan tidak memberikan seorang pemimpin yang bersifat politik.

Kalau kita tarik ke dalam zaman kita, mungkin kita bisa ngomong kayak gini, pada waktu Bapak, Ibu masuk ke dalam momen pemilu, apa yang membuat Bapak, Ibu, Saudara memilih presiden yang Bapak, Ibu pilih? Ada nggak di antara Bapak, Ibu yang hanya sekedar coblos saja, kayak gitu? Ya, mungkin ada. Saya kira pemilu yang paling seru itu pemilu yang tahun ini ya, di mana orang-orang sepertinya terlibat semua dan betul-betul ingin memberikan satu andil dalam pemilu ini. Tapi tujuannya untuk apa? Dengan satu harapan, pemimpin yang kita pilih itu bisa memimpin bangsa ini dengan baik, mengubah situasi, keadaan, membawa bangsa ini menuju pada hari depan yang lebih baik, seperti itu. Harapannya sama. Siapa yang bisa mengubah? Ya raja. Siapa yang bisa merubah? Presiden. Siapa yang bisa mengubah? Pemimpin politik. Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, aneh sekali atau menarik sekali, pada waktu Inggris meminta jalan keluar itu dari Tuhan dan bertanya-tanya siapa yang bisa memberikan kebebasan ini. Tuhan memberikan 2 orang anak dari 2 keluarga yang berbeda. Satu keluarga dari Wesley, satu keluarga dari Whitefield, yang akhirnya mengubah seluruh dari sejarah Inggris. Dia menjadi seorang anak yang bernama John Wesley dan seorang anak yang bernama George Whitefield, yang berkhotbah bagi Inggris bahkan sampai ke Amerika. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pemimpin politis? Bukan, tapi pemimpin rohani.

Pada waktu Samuel dilahirkan, siapa yang diberikan seorang raja yang akan memimpin bangsa Israel? Bukan, tetapi seorang nabi Tuhan, pemimpin rohani yang memimpin bangsa Israel. Mungkin kita tanya, mengapa ya Tuhan? Apa yang menjadi penyebab Engkau justru memberi pemimpin rohani dan bukan pemimpin politis kepada kami. Jawabnnya adalah sederhana, karena kita manusia berdosa. Perubahan yang terjadi, itu bukan suatu perubahan yang kalau mau bersifat permanen itu dari luar tetapi dari dalam hati. Bapak, Ibu bisa mendidik anak dengan rajin, dengan setia, dengan satu kelengkapan yang dikatakan dunia sebagai orang tua yang betul-betul baik untuk mendidik anak, tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita tidak pernah mengutamakan hati mereka di hadapan Tuhan, maka pendidikan Bapak, Ibu nggak ada gunanya.

Saya kayaknya ekstrim bicara seperti ini, tapi saya bicara dari perspektif Tuhan, jelas-jelas saya ngomong, tidak ada gunanya. Mungkin saya pernah bicara seperti ini, ya, di dalam kita melihat dunia pendidikan, aspek apa saja yang sebenernya harus masuk di dalam pendidikan itu? Sebenernya Alkitab sudah sampaikan kepada kita, ketika Yesus Kristus lahir dalam dunia ini di dalam Luk. 2, di situ di katakan “Dia bertumbuh di dalam besar-Nya, Dia bertumbuh di dalam pengetahuan, Dia bertumbuh di dalam kasih-Nya kepada Allah, dan Dia bertumbuh di dalam kasih-Nya kepada sesama.” Maksudnya adalah pada waktu kita memperhatikan pendidikan, sebenarnya dunia pendidikan tidak lepas dari empat aspek ini. Pertama adalah aspek fisik dari tubuh kita. Mengapa Ibu-ibu dan Bapak-bapak memperhatikan anaknya bagaimana dia makan dan segala macam gizinya? Karena kita memperhatikan pertumbuhan fisik dari anak itu. Yang kedua adalah aspek apa? Pengetahuan. Kenapa kita memberikan anak kita studi, les, kursus, dan segala macam? Untuk mengisi pengetahuan dia dan keterampilan dia. Lalu yang ketiga adalah aspek rohani, bagaimana kita mengenal Tuhan, yang dinyatakan dari suatu pergumulan yang mengasihi Tuhan Allah. Aspek keempat adalah sosial, bagaimana kita berelasi dengan sesama kita. Adakah aspek lain di dalam dunia pendidikan? Saya percaya tidak. Empat kalimat simple ini, empat aspek simple yang diberikan dalam satu kalimat itu, itu sudah mencakup semua daripada dunia pendidikan.

Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, di antara semua itu yang penting yang mana? Fisik kah? Pengetahuan kah? Aspek sosial kah? Atau rohani kah? Saya percaya semuanya penting, tetapi yang kita sering kali abaikan atau terlena adalah kita hanya mengutamakan tiga aspek, fisik, pengetahuan dan sosial. Iman bagaimana? Ya ala kadarnya, jangan sampai nggak beriman, jangan sampai disebut sebagai orang ateis. Ya lebih baik dia Kristen lah, seperti itu.

Saya pernah bicara dengan istri dari Dokter Edwin, namanya Ibu Josi, mereka punya keponakan yang pinter namanya Queen. Dia sekolah di sekolah nasional Bahasa Inggris, lalu anak itu komplain sama gurunya. Dia bilang,  “Miss, kenapa miss salahin saya? Bukankah soal miss itu lima sama dengan berapa tambah berapa. Saya sudah tulis di situ tiga tambah dua sama dengan lima” Betul atau salah? Betul ya. Tapi miss nya coret. Lalu anak ini bilang “Miss, masa tiga tambah dua bukan lima? Ya kok salah?” Miss nya bilang “Ya salah”. “Lalu yang benar apa?”, “Dua tambah tiga itu adalah lima”. Sama nggak? Kalau Bapak, Ibu, Saudara yang jadi guru, dibenarkan atau disalahkan? Tapi guru ini salahkan loh. Lalu dia komplain nanya “Kenapa miss, kenapa harus dua tambah tiga bukan tiga tambah dua?”. Miss nya tidak tahu jawabannya, yang penting adalah buku ngajarin dua tambah tiga, berarti dua tambah tiga. Lalu akhirnya anak ini mungkin ngomong sama papanya, Nico dan Bu Berta, akhirnya disampaikan kepada Ibu Josi. Lalu Ibu Josi ngomong “Ya Queen, yang benar itu bukan tiga tambah dua tapi dua tambah tiga.” Lalu ditanya “Kenapa dua tambah tiga bukan tiga tambah dua?”. Karena dari kecil anak-anak perlu belajar mengurutkan, mana yang mendahului mana. Dari dua dengan tiga, mana yang duluan? Dua. Itu sebabnya dua harus dituliskan diawal baru kemudian tiga. Setuju nggak? Nggak setuju? Makannya hidup kita kacau semua, nggak tahu mana yang penting, mana yang nggak, mana yang dahulu mana yang kemudian.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, misalnya ya di dalam Mat. 6:33, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dah kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Amin? Yang Bapak Ibu cari yang mana dulu? Yang ditambahkan kan? Ngomongnya amin tadi. Itu adalah satu bagian di mana kita mengerti urutan itu penting. Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya baru semua itu ditambahkan kepada engkau. Kalau kita mengutamakan Kerajaan Allah dan kebenarannya, semua yang lain itu kita harus kerja tapi tidak terlalu pusingkan karena Tuhan akan memenuhi semua itu bagi diri kita. Itu janji Tuhan. Karena tujuan pertama Tuhan mencipta kita adalah untuk kepentingan dari Kerajaan Allah dan kebenarannya.

Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, waktu kita besarin anak, gizinya nggak  boleh salah, cara makannya nggak boleh salah, kemarin ketika saya, bukan di sini ya, saya pernah berbicara dengan orang tua yang baru punya anak, semua cerita, video Youtube yang berbicara mengenai bagaimana membesarkan anak itu dibaca, dilahap semua. Sampai akhirnya dia ribut sama suaminya. Saya ngomong, “ribut mengenai apa?”, “Ya ada deh pak.” Contohnya apa? Contohnya kayak gini, di dalam dunia pendidikan, kalau anak makan nggak boleh lebih dari sepuluh menit misalnya, maka anak harus duduk di meja makan sepuluh menit, kalau tidak habis makanannya itu diambil. Kayak didik anjing saja ya, kalau kita didik anjing ya kayak gitu. Salah nggak? Nggak sih saya bilang, tapi suaminya tidak bisa menerima hal itu. Cuma dari situ saya mengambil contoh seperti ini, kita concern sekali dengan pertumbuhan anak kita, kita nggak boleh ada satu kelemahan atau celah sepertinya, terhadap apa yang diterima oleh anak ini, semuanya harus baik, nggak boleh ada sakit, semua makanan harus sehat, semua pengetahuan kalau bisa dilahap semua, dari kecil sudah diajar membaca menulis. Padahal saya waktu TK, mungkin Bapak, Ibu senior-senior waktu TK tahunya cuma main. Tapi sekarang anak TK sudah harus bisa baca lho. Bahkan kalau nggak bisa, dikursusin dari pagi sampai malam.

Kemarin saya ada bicara dengan saudara kita, Ivan ya. Dia punya murid kursus, nggak tahu masih nggak, kalau nggak salah habis sekolah langsung les sampai malam. Setiap hari seperti itu, nggak ada waktu bebas yang lain. Hal itu kita perhatikan. Bahwa untuk bertemu dengan teman-teman, hal itu kita perhatikan. Tapi mohon tanya, ajak ke Sekolah Minggu ada absen? Bawa ke sekolah, les, ada absen? Dari situ aja kita sudah tahu prioritasnya di mana. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ingat baik-baik, anak kita itu orang berdosa. Pak Tong pakai istilah “monster yang kecil, yang lucu itu”, kalau jadi besar monster yang nggak lucu lagi lho.

Di dalam PA saya pernah bahas, mengenai Haman. Ketika kita baca Kitab Rut, Haman itu siapa? Saya percaya Haman itu adalah seorang anak yang sangat diidam-idamkan oleh semua papa dan mama baik Kristen dan bukan Kristen. Mengapa? Siapa yang nggak pengen anaknya itu memiliki kecerdasan yang hebat sekali, memiliki prestasi yang cepat sekali? Dari seorang yang biasa, duduk sebagai perdana menteri dari kerajaan Ahasyweros. Lalu kemudian dia bukan hanya menjadi perdana menterinya, tapi dia adalah orang yang paling dekat dengan raja. Di antara semua daripada pegawai-pegawai raja yang boleh menatap wajah raja, hanya Haman yang boleh makan bersama Raja dan Ratu Ester, yang lain nggak pernah ada. Cuma bertiga lho.

Bapak, Ibu kalau punya anak, diundang oleh Jokowi, makan sama bu Iriana, khusus eksklusif, apa yang Bapak, Ibu lakukan? Pasti cerita ke mana-mana! “Ini lho anak saya lho”, kalau bisa foto nya disebarin di Youtube, di IG, di Facebook dan segala macam. Bangga kan? Karena apa? Hasil didikan, perhatianku kepada pengetahuan, anakku nilainya 100 semua. Kalau kuliah, magna cum laude. Hebat. Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pengen nggak mati kayak Haman, yang ditusukkan ke sula, digantung untuk dilihat oleh semua orang? Ekstrim banget kayaknya Pak Dawis ini ya, kan nggak seperti itu harusnya. Banyak anak-anak yang kaya, yang hebat, yang pintar, mati nya baik-baik kok, nggak dipenjarakan seperti itu, atau nggak dihukum mati.

Tapi yang saya lihat dari perspektif Alkitab adalah kayak gini, kisah Haman itu jangan dilihat secara fisik saja tapi kisah Haman harus dilihat secara rohani. Orang yang menentang Tuhan, umat Tuhan, orang yang tidak setia kepada Tuhan dan mengutamakan Tuhan akhirnya binasa. Kita mau didik anak kita dengan luar biasa, silahkan! Tapi saya juga ngomong perhatikan imannya. Kalau tidak Bapak, Ibu sedang membesarkan anak-anak yang cerdas, bukan sih, penjahat-penjahat yang pintar. Ahli hukum, untuk tidak dihukum. Ahli politik, untuk bisa mencari segala bentuk kepentingan diri untuk memperkaya diri atau menguasai. Untuk apa? Yang akhirnya berujung kepada kematian. Itu sebabnya pada waktu orang Israel meminta raja, Tuhan tahu kebutuhan yang terutama itu adalah seorang nabi. Pada waktu Inggris meminta seorang yang bisa membebaskan mereka dari situasi, yang Tuhan berikan kepada mereka adalah 2 orang pendeta atau penginjil yang mengabarkan dan membawa pembaruan bagi Inggris ini.

Kita lanjutkan ya. Lalu setelah itu, ketika Israel tidak melihat ada pengharapan, Hana sepertinya bukan orang yang bisa memberikan jawaban kepada kebutuhan Israel itu. Tapi Alkitab mengajak kita melihat, mereka adalah keluarga yang takut Tuhan. Baik Elkana, orang yang takut Tuhan, Hana, orang yang takut Tuhan, Penina yang nggak terlalu jelas lah ya. Paling nggak setiap tahun dia pergi ke Silo, bersama dengan suaminya, bersama dengan Hana, untuk beribadah kepada Tuhan. Tetapi kenapa Elkana dan Hana saya bilang orang yang takut Tuhan? Karena Elkana tidak pernah melalaikan perintah Tuhan untuk pergi ke Silo, di mana ada tabut perjanjian, untuk beribadah kepada Tuhan setiap tahunnya. Dan Hana sendiri, adalah orang yang betul-betul mengerti kebutuhannya di hadapan Tuhan, dan mengerti kuasa Tuhan untuk menolong dia dalam hal ini.

Tapi menarik seperti ini, mereka adalah dua orang yang takut Tuhan, mereka adalah dua orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi kalau kita tanya, sebenarnya sumber masalah Hana itu terletak pada apa ya? Atau bersumber dari mana? Mungkin Bapak, Ibu bisa ngomong kayak gini, walaupun dia takut Tuhan, dia mengalami kepedihan dalam hidupnya. Sebabnya karena apa? Karena ada Penina. Kenapa Penina? Penina adalah madu nya yang iri dengan dia, karena dia mendapat kasih sayang dari suaminya yang lebih banyak, sehingga yang terjadi adalah Penina kemudian menghina Hana. Mungkin kalau Bapak, Ibu bayangkan itu kayak Hagar dan Sara kayak gitu. Menjelekkan Hana, mungkin, menyakiti hati Hana sampai dia ketika berdoa kepada Tuhan, dia berseduh-seduh  di dalam hatinya atau yang ditampilkan, dan dikatakan di dalam ayat 10, “Hatinya begitu pedih, ketika dia berdoa kepada Tuhan.”

Sebabnya karena apa? Penina? Suaminya kurang concern dan peka? Penina dikasih satu bagian-satu bagian. Hana dikasih, di sini tulis satu bagian juga, tapi sebenernya terjemahan bahasa Inggris itu double porsi. Kalau bahasa Ibraninya Af. Af itu adalah pemberian yang lebih baik, seperti itu, daripada Penina. Mungkin Inggris menterjemahkan itu double porsi. Mungkin suami yang tidak peka. Maka akhirnya bukannya menolong Hana keluar dari situasi, tapi justru mempersulit Hana di dalam kehidupan dia.

Bapak, Ibu kalau ngalami masalah, penyebab masalahnya dari siapa? Dari apa? Mungkin pekerjaan dipecat, mungkin suami yang males bekerja, mungkin apa lagi? Teman-teman yang memfitnah, dan yang lain-lain. Mungkin begitu, kan? Tapi menariknya adalah pada waktu Hana di dalam kepedihan, Alkitab mencatat, yang menjadi penyebab adalah karena Hana percaya ada Tuhan, yang menjadi penyebab masalah adalah karena Tuhan tidak memberi buka kandungan Hana dan mengaruniakan anak dalam hidup Hana. Dan bahkan, Alkitab berkata dua kali, bahwa Tuhan yang menjadi penyebab masalah Hana. Boleh buka di dalam ayat yang ke-6 dan ayat yang ke-7, “tetapi madunya selalu menyakiti hatinya supaya ia gusar. Karena Tuhan telah menutup kandungannya.” Lalu yang ayat ke-7 “demikianlah terjadi dari tahun ke tahun setiap kali Hana pergi ke rumah Tuhan, Penina menyakiti hati Hana, sehingga ia menangis dan tidak mau makan.” Karena apa? Sorry, ayat 5 ya, “karena meskipun ia mengasihi Hana, ia memberikan kepada Hana hanya satu bagian. sebab Tuhan telah menutup kandungannya.” Ada dua kali Alkitab mencatat Tuhan menutup kandungannya.

Saya tanya, sumber masalah Hana pada apa? Pada Penina? Pada Elkana? Mungkin iya, tetapi Alkitab mengajak kita melihat langsung sumber masalah adalah karena Hana percaya ada Tuhan. “Kok begitu ya, Pak?” Iya lah, kalau Bapak, Ibu percaya nggak ada Tuhan, dunia ini terjadi secara kebetulan seperti itu atau secara acak, ada yang disalahkan nggak? Nggak ada kan? Makanya banyak ateis yang muncul kesulitan sekali menghadapi problem of evil, persoalan kejahatan. Karena apa? Karena mereka nggak sanggup melihat ada orang tua yang punya bayi yang begitu lucu dibantai mati atau mengalami sakit. Ada keluarga yang begitu dikasihi mengalami penyakit kanker yang nggak ada obatnya sama sekali.

Kemarin ketika menghadiri suatu ibadah kremasi dari salah satu keluarga dari teman dekat, kayak gitu, anak perempuan yang disayangi kena cancer. Profesi dokter, nggak ada obat sama sekali. Akhirnya dia ngalami koma, dan nggak lama, nggak sampai satu hari, anak perempuan ini meninggal. Lalu papanya yang melihat anaknya, dia cuma ngomong, “Nak, bangun nak. Bangun! Kembali!” Saya tanya temen saya, “gimana kondisinya?” Saya baru sadar kalau anak pergi mendahului orang tua, terlebih dahulu, bagaimana pedih dan sedihnya hati orang tua itu. Saudara, lalu kita tanya, “kenapa orang ini mati?” Kita dengan gampangnya ngomong, “karena sudah waktunya. Dia ada di dalam tangan Tuhan. Waktunya hidup sudah ditentukan oleh Tuhan.” Menjawab masalah nggak? Tapi kalau kita ngomong, “Ya, penyebabnya karena sakit cancer dan saat ini dunia pengobatan belum bisa memberikan solusi dari penyakit itu.” Gimana? Sedihnya hilang nggak? Nggak juga! Tapi paling tidak nggak terlalu jadi masalah, kan? Tapi nggak pernah menghilangkan masalah dan sumber masalah. Tapi kalau kita ngomong, “sakitnya karena apa?” “Tuhan izinkan.” “Kenapa mati?” “Waktunya sudah sampai, berdasarkan kitab yang Tuhan tulis dalam hidup dia.” Menyelesaikan masalah nggak? Kayaknya nggak juga. Tapi bedanya apa dengan orang ateis? Kita tetap punya pengharapan. Kita punya iman. Karena kita tahu ada Tuhan yang mengatur dan mengontrol. Ateis nggak punya.

John Lenon itu memberikan satu argumantasi yang cukup baik untuk melawan orang ateis. Dia bilang ketika orang ateis bicara, nggak mungkin ada Tuhan karena ada kejahatan. Kaalu ada Tuhan, nggak mungkin ada Tuhan di dunia ini, dan penderitaan dalam dunia ini. Satu jawaban yang paling baik adalah, “Lihat kepada Yesus yang turut menderita akibat dosa manusia”. Jadi, Dia mengerti penderitaan kita. Dia adalah korban dari kejahatan manusia dan dosa juga. Walaupun Dia juga adalah orang yang menanggung dosa kita, karena Tuhan harus menghakimi dosa. Tapi ketika kita melihat pada Kristus, itu bisa mengeliminasi kecurigaan kita kepada Tuhan yang baik itu sebagai Tuhan yang jahat. Dan Dia mengerti apa yang menjadi pergumulan kita.

Jadi, pada waktu kita kembali kepada Hana ini, apa yang menjadi sumber masalah di dalam hidup Hana? Saya percaya apa yang dikatakan Alkitab itu benar, yang jadi sumber masalah itu keberadaan Tuhan. Pada waktu kita datang kepada Tuhan, makin kita berdoa kepada Tuhan, mohon tanya Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, masalahnya makin berat seringkali, atau sirna? Atau nggak pergi? Kadang-kadang nggak sirna kan? Kadang-kadang makin berat. Nah ini membuat kita masuk ke dalam poin kedua, orang dunia seringkali berkata seperti ini, “nggak apa apa nanti waktu menyelesaikan masalah.” Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, betul nggak waktu menyelesaikan masalah? Jawabnya tidak. Karena apa? Boleh baca ayat yang ke-7, “Demikianlah terjadi dari tahun ke tahun, setiap kali Hana pergi ke rumah Tuhan, Penina menyakiti hati Hana.”

Bapak, Ibu kalau pikir solusi dari satu masalah adalah waktu, itu kesalahan besar. Karena Hana tidak pernah mendapatkan solusi itu dalam hidup dia. Lalu solusinya di mana? Di suaminya? Nggak. Suaminya apa harus menceraikan Penina? Alkitab nggak membicarakan itu. Bagaimana suaminya mengerti nggak penderitaan Hana? Mengerti mungkin tapi dia juga nggak tahu cara menyelesaikannya. Nanti kita akan lihat bagaimana cara Elkana menyelesaikannya. Tapi sebelum itu, saya nggak mau bahas itu dulu. Lalu Penina, apakah solusinya di Penina? Supaya dia sadar dan minta maaf? Saya pernah ketemu seseorang dan ngomong, “Pak ada baiknya kedua orang itu ditemukan untuk saling minta maaf satu sama lain”, saya ngomong, “kayaknya nggak di situ deh kuncinya.” Lalu di mana? Kalau Penina datang kepada Hana lalu minta maaf kepada Hana, Hana terhibur nggak? Mungkin terhibur sedikit. Masalahnya selesai nggak? Saya nggak yakin selesai. Lalu masalahnya di mana? Di hati Hana, pada diri Hana sendiri dalam relasinya dengan Tuhan. Nanti kita akan lihat ini ya. Tapi pada waktu itu, Hana mungkin dalam kondisi yang masih bergumul, dan dia terus menerus disakiti hatinya, dan bertahun-tahun melewati situasi itu dan dia belum mendapat solusi itu.

Dalam perjalanan hidup kita, kadang-kadang kita bisa seperti ini juga, punya pengetahuan yang baik tentang teologis tentang Tuhan, tetapi emosi kita belum bisa mengimbangi itu. Ada orang-orang tertentu yang memiliki emosi mungkin nggak terlalu masalah berkaitan dengan kehidupan iman dan apa yang terjadi, tetapi pengetahuannya belum bisa mengikuti apa yang menjadi emosi dia. Dan solusinya sederhana nggak? Nggak sesederhana itu. Coba Bapak, Ibu bertemu Hana, mau hibur dia bagaimana? Coba Bapak, Ibu bertemu dengan Papa yang kehilangan anaknya tadi, mau hibur bagaimana? Coba Bapak, Ibu ketemu Ashaf yang ada di dalam Mazmur 73, juga mau hibur dia bagaimana? Saya kira solusinya nggak segampang kita mengeluarkan statement teologis. Termasuk Ayub ketika mereka mengeluarkan statement teologis di situ, Ayub makin kesel dan jengkel kepada teman-temannya. Jadi masalahnya di mana? Nanti kita akan lihat itu masalahnya pada Hana dan relasinya dengan Tuhan. Tapi sebelum kita masuk ke situ, saya mau ajak kita lihat Elkana.

Elkana kelihatannya orang yang takut Tuhan nggak? Ya pasti. Tiap tahun dia nggak pernah lalai pergi ke Silo untuk bawa keluarganya ibadah ke Tuhan. Tetapi pada waktu dia melihat Hana di dalam penderitaan, bagaimana dia menyelesaikan penderitaan Hana? Pertama dia berikan perhatian kepada Hana lebih daripada yang lain. Betul kan? Penina dikasih satu bagian, Hana diberi yang lebih baik. Tetapi solusi yang Elkana pikir solusi, nggak bisa! Itu makin membuat Hana di dalam kesulitan. Mungkin Ibu-ibu ngomong, makanya suami-suami, satu istri cukup, kalau kau ingin istrimu menderita, cari madu bagi dia pasti dia menderita. Jadi jangan nikah 2, satu aja cukup kayak gitu, sampai kematian memisahkan. Ya tetap pada lingkungan keadaan.

Yang kedua adalah, Elkana punya kalimat kepada Hana, di dalam ayat yang ke-8. Saya minta Bapak-bapak semua baca dan yang laki-laki semua baca ya, sambil lihat istrinya ya. Lalu ganti nama Hana dengan istrinya ya. Sudah siap? OK kita baca ya, “Hana”, ini ngomong Hana ya, Bapak, Ibu boleh ganti kayak saya bilang “Dessy” kayak gitu, atau “Eliana”. Lalu kita lanjut ya, “Hana, mengapa engkau menangis dan engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu daripada sepuluh anak laki-laki?” Lihat istrinya, lalu tanya, terhibur nggak? Terhibur nggak?

Saya pernah tanya sama satu teman juga begini, ketika dia bergumul, kayak gitu, saya ngomong, ada satu kisah sih, yaitu Elkana dan Hana. Waktu itu Elkana jawab kepada Hana, “bukankah aku lebih berharga bagimu daripada 10 anak laki-laki?” Saya tanya, menurutmu bagaimana? Saya setuju sekali itu benar sekali. Lho kok bisa benar? Waktu kita menikah dengan istri kita, kenapa istri kita mau menikah dengan saya? Kalau saya tanya Ci Eli kenapa mau menikah dengan Ko Edo? Karena apa? Cinta ya kepada Ko Edo? Yang penting itu siapa? Ko Edo bukan? Lalu dia ngomong kayak gini, itu bener, saya kan yang penting bagi pasangan saya. Engkau menikah kan menikah sama saya, sumber kebahagiaanmu pada siapa? Suaminya kan. Bagaimana suaminya mengasihi istrinya kayak gitu. Tapi sekarang kok dia bawa mertuanya masuk, bawa adik-adiknya masuk, yang membuat relasi kita itu akhirnya penuh dengan pergumulan. Makanya saya percaya dan saya setuju sekali dengan Elkana punya kalimat, saya kan lebih berharga dari semua itu. Ko Edo setuju? Agra setuju? Saya nggak usah jawab kayak gitu ya dulu. Tapi saya balik pertanyaannya kayak gini: mana yang Ibu-ibu lebih suka terima, ya? Elkana ngomong kayak gini, “Bukankah engkau lebih berharga bagiku daripada sepuluh anak laki-laki?” Mana yang lebih diterima dan menghibur? Yang kedua atau yang pertama? Ibu-ibu jujur deh, tanya, jawab yang pertama atau kedua? Kedua kan? Karena apa? Kedua lebih menunjukkan fokusnya itu bukan pada diri suami tapi pada kepentingan dari istri. Istrinya tahu dia (suami) mencintai dia, tetapi masalahnya adalah penghiburan bukan terletak pada suaminya bagaimana memberi, lebih berharga dari semua itu, tapi harusnya dibawa melihat istrinya lebih berharga dari semua yang lain.

Tapi ada hal kedua yang mungkin tidak dilihat oleh si Elkana adalah pada waktu dia bicara, “Bukankah aku lebih berharga dari sepuluh anak laki-laki?” dia sebenarnya mengambil posisi Tuhan! Dia merasa diri dia kecukupan dari kehidupan istrinya dan persoalan hidup istrinya. Kalau istrinya melihat pada diri dia, semuanya beres! Lho? Dia sendiri nggak bisa selesaikan masalah, kok dia bikin masalah lebih runyam, kayak gitu. Tapi apa yang dikatakan Elkana itu satu sisi salah, tetapi sebenarnya sisi lain ada mencerminkan sesuatu yang penting yaitu harapan kita. Ada satu Pribadi yang bisa memenuhi segala sesuatu dan mencukupkan segala sesuatu sehingga persoalan kita itu bisa tertolong atau ditenangkan atau kita punya kekuatan di dalam melewati atau diselesaikan. Dan itu adalah merujuk kepada Pribadi Tuhan yang seringkali kita ambil alih untuk diri kita sendiri.

Bapak, Ibu kalau menikah pengen bahagia? Pengen kan? Bahagianya melalui apa? Pasangannya kan? Betul nggak pasangannya? Makin Bapak, Ibu menginginkan kebahagiaan dari pasangan, saya yakin hidup pernikahannya makin menderita karena tuntutan diri terhadap pasangan untuk dilakukan supaya saya bahagia, karena apa yang saya inginkan itu harus terpenuhi. Nggak mungkin pasangan kita bisa penuhi 100%. Begitu juga sebaliknya. Tetapi Bapak, Ibu harus sadar satu hal bahwa semua itu mencerminkan satu kebutuhan sebenarnya diri kita akan Tuhan untuk mencukupkan semua itu, bukan pasangan kita. Kalau Bapak, Ibu merasa bahwa pasangan bisa memberi segala sesuatu yang kita inginkan, saya yakin dia nggak mungkin kasih karena dia bukan Tuhan. Tapi cerminan kerinduan kebahagiaan yang ada dalam hati kita adalah sebenarnya cerminan dan kerinduan kalau kita berdiri di hadapan Tuhan untuk mendapatkan hal itu dari Tuhan. Belajar mencukupkan diri di dalam Kristus. Itu solusi masalah. Jangan suka menyalahkan orang lain!

Pada waktu Hana dalam kondisi ini dia nggak ngomong, “Penina jadi sumber masalah, Tuhan. Tolong singkirkan perempuan ini dari hidupku!” atau “Ubah hatinya supaya menjadi orang yang sadar kesalahannya supaya dia bertobat!” Seperti itu. “Tuhan kenapa Engkau jadi masalah, tolong berikan anak! Engkau menahan kandunganku!” Karena solusi masalahnya adalah pada anak, “Tolong berikan aku anak!” Dia nggak bicara seperti itu lho! Tapi dia datang kepada Tuhan dengan satu kerendahan hati dan berdoa di hadapan Tuhan dan saya percaya ini bukan satu transaksi barter dengan Tuhan melalui nazar yang si Hana ucapkan ya. Dia bilang, “TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tidak memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, –apa, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya.Kayaknya satu Nazar yang ada timbal balik, kayak gitu, kalau Tuhan memberikan sesuatu maka aku memberikan anak itu kepada Tuhan. Menyelesaikan masalah nggak? Kayaknya nggak. Masalahnya adalah apa? Hana nggak punya anak, kebutuhan dia akan seorang anak kan? harusnya Tuhan memberikan anak, kalau anak itu diselesaikan masalahnya selesai. Kenapa dia harus berikan anak itu kepada Tuhan kembali?

Lalu yang kedua adalah waktu Hana selesai dari masalah, waktu Hana berdoa, selesai berdoa, masalahnya sudah selesai belum? Belum. tapi Alkitab berkata dia kemudian pulang dengan muka berseri dan makan dengan lahap. Kalau kita bernazar kepada Tuhan, kita akan terus dalam status kita sampai Tuhan memberi jawaban atau kita berubah walaupun Tuhan belum memberi jawaban? Kalau kita transaksi, kita nggak akan berubah sampai Tuhan memberi jawaban. Tapi Hana berubah sebelum ada jawaban dari Tuhan! Lalu doa ini mencerminkan apa kalau bukan transaksi? Doa ini mencerminkan perendahan diri Hana di hadapan Tuhan. Saudara boleh buka dari surat Petrus. 1 Ptr. 5:6-7, “Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” Amin?

Doa Hana bagaimana? Coba terjemahkan dari perspektif ini ya; waktu Hana bilang, “Tuhan semesta Alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku”, dia memanggil Tuhan dengan Tuhan YHWH semesta alam. Siapa Tuhan YHWH semesta alam? Bapak, Ibu boleh baca kisah sebelum dari 1 Samuel sampai ke Kejadian. Lihat bagaimana Tuhan menolong umat-Nya, bagaimana Tuhan melepaskan umat-Nya, bagaimana Tuhan menggenapkan janji-Nya kepada umat-Nya, bagaimana Tuhan melepaskan Israel dari perbudakan di Mesir. Dan semua itu berkaitan dengan bagaimana Tuhan telah mengerjakan sesuatu yang penting dalam kehidupan umat-Nya. Kalau Tuhan semesta alam sungguh-sungguh memperhatikan aku seperti Tuhan memperhatikan dari seluruh umat Allah sebelum aku, maka dia kemudian berkata bahwa, “berikan anak dan aku akan mempersembahkan anak itu kepada Tuhan.”

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ini bukan transaksi tapi Hana hanya merendahkan diri di hadapan Tuhan dan menyerahkan seluruh persoalannya ke dalam tangan Tuhan. Perlu jawaban? Nggak perlu, yang penting dia percaya doa dia sudah didengar Tuhan dan dia tahu Tuhan memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Makanya dia bisa pulang dengan makan dan muka berseri. Masalah tetap ada, Penina nggak pergi lho dari hidup dia. Elkana masih, mungkin, memberikan double porsi yang membuat Penina iri hati. Tapi dia itu mulai tersenyum dan nggak mempersoalkan masalah itu lagi dalam masalah yang penting dalam hidup dia.

Saya mau tutup dengan satu kisah, yaitu berkaitan dengan kehidupan Helen Roseveare, seorang dokter yang sekolah di Cambridge, lalu dia pergi ke Kongo sebagai suatu misionaris. Lalu ketika di Kongo, terjadi suatu keributan di sana yang mengakibatkan banyak yang mati, ada 27 misionaris yang mati dibunuh, ratusan imam katolik yang mati dari Roma, suster-suster, 200,000 penduduk Afrika yang dibunuh, seperti itu. Dan dia sendiri ketangkap dan ditahan selama 5 bulan. Selama 5 bulan itu, dia dianiaya, dia dipukuli, dia dipermalukan, dia diperkosa. Tapi bersyukur, setelah 5 bulan dia ketolong, dia dibawa kembali ke Inggris lalu mengalami pengobatan di situ. Dan setelah dia pulih, dia kembali lagi ke Kongo. Lalu dia melayani di sana, dia mendirikan rumah sakit di sana, dia mendirikan segala fasilitas yang ada di sana. Dia bahkan mendirikan rumah sakit yang dengan kapasitas 250 tempat tidur dan berbagai fasilitas pelatihan. Dan melayani, mungkin nggak seterusnya di sana, tetapi ada waktu di sana yang cukup panjang, lalu ketika dia sudah tua, dia kembali ke Inggris dan meninggal di usia 91 tahun.

Tapi dia memberikan satu kesaksian yang sangat indah sekali. Pada waktu dia ditanya oleh orang-orang, “Helen, kenapa engkau mau kembali ke Kongo? Bukankah engkau sudah melepaskan kesempatanmu menikah? Bukankah engkau sudah mengorbankan segala kesenanganmu di Inggris lalu pergi ke kota itu? Dan tetapi ketika engkau di kota itu, engkau tidak disambut dan dihormati dan dihargai, justru engkau mengalami aniaya, siksa, dan akhirnya harus diperkosa dan dipermalukan sedemikian rupa. Kenapa engkau masih ingin kembali ke sana?” Dia kemudian bicara seperti ini, pada waktu saya menggumulkan hal ini, dalam hati saya ada satu suara yang berkata seperti ini, “Helen, apakah engkau akan mengucap syukur kepada-Ku ketika Aku menguji engkau dengan ini walaupun Aku tidak memberitahu kenapa?”. Saya ulangi ya, ada suara dalam hati yang berkata, “Helen, apakah engkau akan mengucap syukur kepada-Ku, ketika Aku menguji engkau dengan ini walaupun Aku tidak memberi engkau jawabannya?” Lalu Helen berkata, “Ya Tuhan, saya mau.” Sejak hari itu ada damai di dalam hatinya, sejak hari itu dia memberikan pengampunan, sejak hari itu dia mulai melayani lagi di Kongo.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, semua kita manusia biasa, semua kita punya pergumulan sendiri, kesulitan sendiri dalam hidup kita. Dan semua kita nggak punya jawaban terhadap masalah kita. Tapi kalau Tuhan tidak mau memberi jawaban itu kepada engkau, maukah engkau bersyukur kepada Tuhan? Maukah engkau tetap percaya kepada Tuhan? Maukah engkau tetap dipakai Tuhan untuk bersaksi bagi Dia? Atau engkau terus menerus mengasihi hidupmu, keadaanmu, orang-orang di sekitarmu dan segala sesuatu yang ada 1001 macam itu yang bisa disalahkan? Saya yakin itu nggak akan membawa berkat. Tapi kalau engkau bisa mengampuni, menyerahkan ke dalam tangan Tuhan, walaupun Tuhan tidak memberi jawaban, tapi engkau percaya ada Tuhan yang bisa diandalkan dan yang baik, saya percaya ketika saya menyerahkan dan merendahkan diri saya di hadapan-Nya, maka situasi Tuhan akan pimpin dengan baik. Itu Hana. Mau? Mau seperti ini? Kiranya Tuhan boleh tolong dan berkati kita ya. Mari kita masuk dalam doa.

Bapa di surga, kami sungguh bersyukur untuk firman, untuk kebenaran yang boleh Engkau berikan. Tolong pimpin kami ya Tuhan, tolong berkati setiap anak-anak-Mu. Bawa kami untuk lebih melihat kuasa Tuhan dan kebaikan Tuhan, pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan kami. Siapa kami, hanya ciptaan-Mu yang dari debu tanah yang boleh diberikan kemuliaan dan dinaikkan lebih tinggi daripada malaikat karena kami telah ditebus oleh Kristus dan mendapatkan kasih Kristus. Tapi tolong kami ya Tuhan, yang sering kali jatuh kembali, yang sering kali lemah ini, untuk boleh terus belajar dari kehidupan dari anak-anak-Mu yang beriman kepada Tuhan. Kiranya melalui kehidupan kami ini, nama-Mu boleh senantiasa ditinggikan, dan kami boleh mencerminkan hidup sebagai orang yang beriman kepada Tuhan. Sekali lagi kami bersyukur dan mohon Kau boleh pimpin. Di dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin. (HS)