Flp. 1:1-2
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Ketika kita membaca bagian ini, ada hal yang menarik di dalam perkenalan Paulus, di dalam dia memperkenalkan identitas dirinya, yaitu dia menyatakan dirinya sebagai hamba. Di dalam beberapa commentary yang lain dan sebenarnya secara mudah kalau kita periksa juga di dalam Kitab-kitab Paulus yang lain, cenderung dia memakai istilah bahwa aku ini adalah rasul; tapi di bagian ini secara khusus dia menyatakan dirinya sebagai hamba. Apa sih yang kita pikirkan ketika mendengar istilah ‘hamba’? Oh sesuatu yang hebat, kalau saya ngomong, “Saya hamba Tuhan,” justru kesannya hebat gitu ya, justru sesuatu yang kayaknya mulia, tinggi, “Saya ini hamba Tuhan lho,” O ya ya.. hamba Tuhan. Tapi kalau kita kembali ke akar katanya, istilah ‘hamba,’ doulos itu dalam bahasa Yunani, itu adalah sama saja dengan budak. Di dalam bahasa Indonesia itu kita punya 2 kata, ada hamba, ada budak. Kesannya kalau budak itu rendah, kalau hamba itu kayaknya lebih tinggi, kayaknya lebih jago gitu, padahal akar katanya sama, karena ini kata yang sama, yaitu doulos. Sehingga lebih tepat, kita kembali ke sini, ketika Paulus memperkenalkan dirinya, dia memperkenalkan dirinya justru sebagai budak dari Kristus Yesus. Paulus menyatakan saya ini hanya budak. Dan ini kadang, berapa banyak dalam kehidupan kita, kita kadang kurang menyadari hal ini bahwa status kita, identitas diri kita adalah budak.
Kalau kita melihat budak maka hal yang jelas sekali adalah budak itu tidak punya kebebasan. Kebebasan mereka itu sangat sangat dibatasi, dan mereka itu ruang lingkup geraknya justru sangat ditentukan oleh tuannya kan. Budak itu nggak ada yang bergerak mengerjakan sendiri, dia selalu tanya kepada tuannya, dan dia punya kebebasan itu selalu berkait dan bergantung kepada tuannya. Kalau tuannya bawa dia, “Ayo kamu ikut saya ke sini,” ya dia akan ikut, tidak mungkin dia, “Oh saya nggak Pak, saya mau jalan ke sana,” nggak ada itu, budak itu taat ikut kepada tuannya. Budak itu tidak pernah diberikan suatu pemikiran, “Oh kamu bebas, kamu mau kerjakan apa saja bebas kamu kerjain sendiri,” selalu budak justru tahunya dia taat sepenuhnya, submit secara total kepada tuannya. Kalau tuannya mau hari ini, “Ayo kamu datang ke gereja sini,” ya dia datang ikut; kalau dibilang, “Oh nggak, kamu pulang sekarang,” ya dia pulang; “Sekarang kamu kerja, jangan tidur,” ya dia akan kerja; “Oh sekarang waktunya kamu makan,” baru dia bisa makan. Nah berapa banyak dalam kehidupan kita kita melihat justru status kita justru di hadapan Tuhan kita ini adalah budak, kita ini adalah budak yang taat kepada Tuan kita. Contoh sederhana saja misalnya lah kalau kita punya karyawan, pembantu di rumah misalnya, lalu kita suruh dia, “Mbak, kamu menyapu ya,” trus dia bilang, “Oh saya nggak mau, saya maunya cuci piring.” Ini disuruh nyapu nggak mau, dia maunya cuci piring; besoknya disuruh cuci piring, “Nggak saya sekarang maunya nyapu.” Ini kita juga bingung, ini kita jadi tuan atas dia atau dia jadi tuan atas kita? Ini kalau ngomong pembantu ya, penbantu saja dia taat kepada tuannya. Lebih lagi kalau bicara budak, tidak punya hak, tidak punya kebebasan, dan justru bagian dia adalah taat sepenuhnya kepada tuannya.
Seringkali kita berbicara, apalagi dalam konteks pelayanan, kita seringkali pelayanan itu pikirannya kita sebagai budak atau kita ini justru mau mengambil posisi sebagai tuan? Kita seringkali dalam pelayanan itu cenderung berpikir, “Oh saya memilih ini; Oh kamu pilihlah sendiri kamu mau pelayanannya seperti apa, kamu gumulkan kamu paling suka pelayanan itu apa terus kamu terjun pelayanan dalam hal yang itu.” Itu kebalik sekali dengan prinsip dari Alkitab ini, yaitu pelayanan bukan mencari apa yang saya suka tapi apa yang disukai oleh Tuhan kita; dan ini harusnya kita lihat kita mengerjakan pelayanan itu justru mencari perkenanan Tuhan kita, bukan mencari apa yang kita sukai. Kadang-kadang justru ketika kita kerjakan pelayanan, lalu justru itu bagian dari kita lagi nggak suka, atau bagian entah kita pernah ada pergumulan dan sulit untuk kita kerjakan, justru baru nyata kita itu mengerjakan pelayanan, bukan aktifitas yang kita sukai. Sederhana kan? Ada orang bilang kenapa kamu pelayanan misalnya Sekolah Minggu? “Oh saya suka anak-anak.” O suka anak-anak jadi kerjakan pelayanan. Kalau ngomong suka, perasaan gitu ya, pakai feeling itu kan bisa naik-turun. Hari ini “Oh saya suka anak-anak,” besok-besok, “Oh saya sudah nggak suka anak-anak lagi,” jadi berhenti pelayanan? Atau saya suka anak-anak, setelah pelayan, waduh ini anak-anak orang, apalagi mungkin anak-anak pengurus, aktifis ternyata susah diajar misalnya, masih suka nggak? Masih mau kerjakan nggak? Poinnya justru ketika kita hadapi benturan, kita hadapi kesulitan, hambatan yang kita ketemu tidak seperti yang kita bayangkan, justru saat itulah kita tahu ini namanya pelayanan, ini bukan kerjakan apa yang saya suka tapi ini menyenangkan Tuhan jadi saya kerjakan. Bahkan bukan untuk menyenangkan manusia, bukan untuk menyenangkan anak-anak itu ataupun orangtuanya tapi menyenangkan Tuan kita.
Karena di sini sungguh kita sadar ketika kita kerjakan pelayanan itu suatu, sebagaimmana juga komentator katakan, ini adalah suatu privilege, ini adalah hak istimewa. Kenapa? Karena kita lakukan bagi Tuan kita, Tuhan kita Yesus Kristus. Karena istilah ‘Lord’ itu, Lord Jesus Christ, itu adalah Tuan, Dia adalah Tuan, terjemahan Indonesia suka tulisnya Tuhan. Dia adalah Tuan di atas segala tuan, Dia adalah Raja di atas segala raja. Karena itulah kita tahu kita kerjakan itu semua hak istimewa, karena kita sedang bekerja kepada Siapa. Kadang-kadang orang itu kan bisa punya kebanggaan, gengsi. “Oh kamu kerjanya dimana?” “Oh saya kerjanya di Microsoft.” Wah keren ya, atau kerjanya di perusahaan lain, perusahaan-perusahaan yang kayaknya bonafide, perusahaan yang kayaknya hebat sekali. Di situ kita lihat status kita itu kan seringkali berkait kita itu bawahannya siapa. Kalau perusahaan itu semakin besar, semakin maju, kan di situ kita merasa, “Wah yang saya kerjakan ini sungguh berarti.” Tapi berapa banyak kita sendiri mengerti ketika kita kerjakan pelayanan, melayani Tuhan, ya Dia kan Tuan di atas segala tuan. Dan memang Dialah justru yang paling pantas dan paling layak menerima dedikasi dan komitmen kita. Atasan kita manusia itu hanya sementara, tidak tentu dia itu layak menerima komitmen dan dedikasi kita, pun tetap kita kerja mati-matian kan? Coba kalau disuruh atasan kita, “Ayo lembur,” masak kita bilang, “Ah malas ya Boss.” Hah, nggak mau? Ya sudah saya juga nggak mau kamu di sini lagi, keluar. Mana ada kalau misalnya atasan kita suruh langsung kita, “Ahh nggak mau.” Sederhanalah, misalnya kita pelayanan di sini, tiba-tiba misalnya Pak Tong datang, “Ayo kamu kerjakan pelayanan,” wah kita lebih gentar; tapi harusnya lebih-lebih lagi kalau kita tahu kita melayani itu bukan menyenangkan manusia, bahkan bukan menyenangkan pendeta ataupun pengurus, tetapi kita menyenangkan Tuhan. Di dalam kehidupan kita, kita ada struktur secara struktur gereja ataupun institusi, itu hanyalah untuk pengaturan supaya berjalan dengan teratur. Tetapi misalnya saya, saya taat kepada Pak Dawis, dan kami juga taat kepada Pak Tong, itu kami bukan untuk menyenangkan beliau, tapi kami mengerjakan pelayanan untuk menyenangkan Tuhan di dalam struktur yang ada.
Dan berapa banyak seharusnya kita memikirkan itu status kita. Kalau memang diperintahkan, “Kamu kerjakan pelayanan ini,” ya kamu kerjakan itu; nggak disuruh kerjakan ya jangan kerjakan, jangan pakai ide sendiri. “Oh kayaknya Tuan ya, yang kamu suruh ini saya nggak mau, saya mau kerjakan ini lebih baik.” Nggak, budak itu tidak ada hak, dia itu cuma mengerti tanggung jawab dia dia kerjakan, disuruh itu dia kerjakan itu. Karena budak itu bergerak, apalagi di dalam bagian ini kita mengerti itulah seperti yang van Till katakan bedanya theonomy dengan autonomy. Autonomy yaitu kita bicara itu ‘autos’ dan ‘nomos’ berarti hukum dari dirinya sendiri, hukum dari manusia; itu justru sangat bertentangan dari hukum Tuhan. Dan kita hidup itu justru bagaimana menaklukkan diri kita, bukan kepada pengaturan kita sendiri, tetapi kepada pengaturan Tuhan. Pelayanan itu demikian, dan begitulah status kita sebagai orang-orang percaya. Dan apalagi Paulus pun sadar betul ketika dia kerjakan pelayanan dia sebagai hamba. Mungkin kalau kita jadi Paulus, kita pikir, “Oh saya sudah jadi rasul, kerjakan pelayanan kemana-mana. Tulis surat jadi berkat pada jemaat kemana-mana. Oh keliling terus kan,” tapi ini malah kok masuk ke jarak, karena kalau kita melihat konteks Kitab Filipi ini, Paulus bukan lagi keliling tamasya kemana-mana, tapi dia ini justru terkurung di dalam penjara. Situasi yang tidak ideal, situasi yang mungkin kita akan pikir, “Kenapa kok saya mau pelayanan dengan sungguh-sungguh malah masuk penjara?” Tapi kalau kita sadar kita ini siapa, kita ini budak, ya tahan. Tuhan sampai suruh bilang, “Ya sudah sekarang Saya mau kamu pelayanannya masuk penjara,” ya masuk penjara. Terkurung di sana tidak apa-apa, tapi memang Saya mau kamu ke sana. Dan ini kita temukan justru di dalam bagian Surat Filipi ini nanti ayat-ayat berikutnya justru dia mengatakan justru dengan pemenjaraanku injil itu lebih diberitakan, dan banyak orang bisa dimenangkan justru ketika dia masuk penjara. Kita jangan balik di sini, “Oh iya kalau begitu mulai sekarang kita pelayanan masuk penjara semua,” ya tidak harus seperti itu. Tapi poinnya adalah kalaupun Tuhan dalam tuntunan-Nya, pimpinan-Nya sampai membawa kita ke tempat-tempat yang tidak kita sukai, pertanyaannya kita tetap kerjakan atau tidak?
Saya nggak tahu misalnya di kita saja ya, misalnya contoh sederhana, saya tidak tahu di kita sendiri punya pengalaman misalnya menjadi pelayan nggak? Pelayan, misalnya pelayan di rumah makan. Pernah nggak sih kita datang ke dalam suatu rumah makan lalu pelayannya cemberut, “Ya terserahlah mau makan apa.”Kita aja bisa jadi hilang selera. Kenapa kamu? “Iya saya lagi bete.” Mana ada begitu. Pelayan aja, pelayan ya, pelayan di restoran, disuruh selalu kan senyum, padahal suasana hatinya belum tentu lagi senang. Kalau kita masuk ke suatu perusahaan, anggaplah seperti bank, ada yang sambut kita, “Oh iya, silakan, terserah mau masuk”? Selalu kan senyum gitu ya. Itu ada istilahnya, Pak Tong bilang itu senyum profesional, padahal suasana hatinya belum tentu seperti itu. Kenapa? Karena dia mengerti saya kerja ya memang bukan mengikuti apa yang saya mau tetapi sesuai dengan SOP dari perusahaan. Nah berapa banyak dalam kita juga mengerti ketika kita statusnya melayani dan terlibat di dalam pekerjaan Tuhan, kita SOP-nya itu, statusnya adalah budak, dan kita hanya taat penuh kepada apa yang Tuan kita mau, bukan sebaliknya. Nah di sini justru Paulus sadar sekali ketika dia kerjakan, ini adalah kehendak Tuhan; dia masuk penjara, “Ya sudah saya budak, saya taat saja,” dan ini bicara tanggung jawab dia yang paling dalam yang berkait dengan status dia.
Di sinilah kita mengerti dalam kehidupan kita itu justru berbicara status identitas kita, status kita itu selalu berkait dengan tanggung jawab, tidak pernah lepas dari itu. Satusnya apa, tanggung jawabnya apa, selalu berpadanan seperti itu. Bukan cuma bilang, “Oh saya statusnya rasul,” ya kamu lakukan tanggung jawab sebagai rasul. Kalau kita katakan status saya apa, kamu jalankan tanggung jawab ini, bukan hanya sekedar klaim-klaim semata tapi jalanilah tanggung jawab itu. Sebagaimana ada satu orang yang kaya di Indonesia itu pernah mengatakan justru kehidupan kita semakin dewasa, bahkan semakin bertambah kaya, itu ditandai dengan semakin bertambahnya tanggung jawab. Mungkin kadang kita berpikir, oh orang yang kaya itu hebat ya, perusahaannya banyak, perusahannya banyak, punya perusahaan di mana-mana, seperti itu. Orang-orang biliuner, orang-orang yang konglomerat apalagi itu punya hulu sampai hilirnya, oh kaya punya perusahaan di mana-mana. Tapi kalau dia justru sungguh sadar kekayaan dan talenta yang diberikan Tuhan ini harus dia pertanggung jawabkan kepada Tuhan, maka dia tahu ini bicara tanggung jawab, ini bukan bicara hak. Ini adalah tanggung jawab, berarti ketika bagaimana dia menyetir perusahaan itu akan mempengaruhi nasib para karyawannya kan. Begitu salah setir, eh terus bangkrut sampai tutup, akan memengaruhi nasib-nasib berapa kepala keluarga. Kembali, ini melihat justru dari aspek tanggung jawabnya, bukan bicara cuma sekedar hak dan hak saja secara manusia.
Yang justru menarik dalam tulisan dari Marble Williamson justru mengatakan bahwa ‘Tidakkah Kami Punya Hak?’ Memang kita tidak punya hak. Yang justru harus kita sadar adalah tanggung jawab kita, apa yang harusnya kita kerjakan kalau kita mau mendapat suatu status tertentu dalam kehidupan ini. Dan budak itu, apalagi kalau status kita sebagai budak, kita taat aja kepada tuan kita. Kadang-kadang kalau kita lihat film-film kuno kita bisa lihat budak itu bisa ditindas habis-habisan seperti itu oleh tuannya. Meski memang Alkitab sebenarnya katakan ya, bagi tuan, itu kamu jangan menjadi tuan yang jahat yang menindas hambamu, tapi sebagai hamba, yang dia tahu ya taat. Tidak ada perjuangan hak asasi, hak asasi itu nggak ada, ini memang budak. Menarik di dalam ada salah satu buku yang di halaman depannya itu justru mengatakan, kekacauan yang di dunia ini terjadi karena mengganti dua kata ini, responsibility menjadi rights. Tanggung jawab menjadi hak. Orang itu kemana-mana terus bilang hak asasi, hak asasi, hak asasi. Kita perjuangkan nggak, dan sadar nggak, tanggung jawab asasi kita apa? Tanggung jawab kita harusnya apa? Kita kalau sudah jadi orang percaya, kita kalau sudah diselamatkan, tanggung jawab saya apa? Kalau saya menjadi pelayan, tanggung jawab saya apa? Kalau saya menjadi orang tua, tanggung jawab saya apa? Kalau saya menjadi dipercayakan menjadi pengurus, sebagai Hamba Tuhan, tanggung jawab saya apa? Itu harusnya kita terus tanamkan dalam diri saya, diri setiap kita. Apa yang harus saya kerjakan? Apa yang harus saya kerjakan?
Dan ketika merenungkan bagian ini, saya coba tarik ke dalam konteksnya yang lebih dekat di dalam kehidupan kita masa kini, yaitu bicara tanggung jawab kita sebagai kita masing-masing secara pribadi yang punya aspek yang berbeda-beda. Karena kalau bicara budak itu kan suatu konteks yang cukup jauh dari kehidupan masa kini. Tapi bagaimana misalnya bicara tanggung jawab kita sebagai laki-laki ataupun sebagai suami? Menarik ketika saya merenungkan ini saya teringat apa yang dikatakan di dalam Efesus 5:25 itu justru mengatakan, Tuhan memberikan perintah kepada suami itu untuk suami, ‘kasihilah istrimu’. Oh perintahnya itu suami kasihi istri. Saya pikir, loh kan otomatis lah. Lumrah nggak sih? Suami itu kan pasti otomatis mengasihi istrinya. Loh dia menikah itu kan pasti karena dia mengasihi. Tapi kenapa Tuhan perintahkan suami kasihilah istrimu? Dalam hal ini saya menjadi mengerti apa yang dikatakan di dalam Paul David, dikatakan oleh Paul David Tripp di dalam buku dia “What do you expect?” Apa yang kamu harapkan? Dan di dalam salah satu chapter dari bukunya itu berbicara tentang pernikahan, dia mengatakan ada suatu istilah ini yaitu honeymoon period, periode bulan madu itu selalu berbeda secara radikal dengan realita. Waktu honeymoon period dia, oh mengasihi itu otomatis. Pasti saya kasihi istri saya. Tapi ketika masuk realitanya ketemu ternyata pribadinya seperti ini, itu menjadi suatu yang sulit untuk mengasihi. Dan di saat itulah baru kita ngerti apa yang dimaksud ketika firman Tuhan tetap katakan, kasihilah istrimu, karena itu adalah perintah. Ketika Tuhan catat ini sebagai perintah itu bukan main-main. Itu berarti memang suatu yang mesti kita kerjakan dan menjadi tanggung jawab dari suami itu sendiri. Kadang-kadang mungkin ya kalau ketika masih di dalam honeymoon period oh kayaknya semuanya baik, semuanya indah, semuanya masih berbunga-bunga. Tapi nanti kalau sudah lewat honeymoon period, nah masuk realita, baru “Honey, where is the moon?” Nah ini bulannya nih, makan. Gitu ya? Makan nih bulan, gitu ya? Itulah memang Paul David Tripp bilang honeymoon period itu beda secara radikal dengan realitanya. Tapi itu, ketika masuk di dalam bagian itu, tetap kita justru belajar bagaimana harus tetap mengasihi, karena di sini kita mengerti itu ada tanggung jawab kita.
Dan bahkan dikatakan dalam Efesus adalah mengasihi seperti Kristus mengasihi jemaat, yaitu kasih yang bahkan rela mengorbankan dirinya bagi kebaikan yang lain. Itulah kasih yang sejati. Kasih yang sejati itu saya demi objek yang saya kasihi, saya justru korbankan diri saya untuk dia. Tapi kasih yang palsu, karena saya kasihi kamu maka kamu yang saya korbanin untuk kepentingan saya. Pak Tong itu kadang-kadang bikin jokes gitu ya, dia ngomong beliau biasanya, “I love crabs. Saya suka kepiting.” Wah lalu kepiting semua datang senang? Oh nggak. Kepiting itu pada kabur, wah berarti saya siap dimatikan satu per satu. Gitu ya? Kalau saya suka ini, oh maka itu siap saya telan, ini menjadi bagian yang saya, untuk saya, kepentingan saya. Dan biarlah kita sadar bahwa ketika Allah mengasihi kita, justru dinyatakan dengan pengorbanannya, pengorbanan itulah menjadi bukti nyata kasih Allah itu. Dan pengorbanan itu dilakukan justru bukan untuk kebaikan Allah sendiri, untuk kebaikan kita orang-orang yang sebenarnya tidak layak dikasihi. Tapi itulah, mengerti itu tanggung jawab kasih itu bukan cuma sekedar nuansa romantisisme secara dunia saja, tapi mengerti apa artinya pengorbanan, dan itu yang dituntut pada suami, dituntut kepada laki-laki untuk bagaimana mengasihi pasangannya.
Dan ketika saya kembali merenungkan ini, coba mengerti bagaimana tentang mengasihi, saya teringat itu apa yang dijabarkan oleh Gary Champan. Ada yang mungkin beberapa aware ya dengan Gary Chapman, di dalam satu bukunya menuliskan itu five love language ya. Ada 5 bahasa kasih. Gary Chapman ini adalah seorang konselor Kristen yang sudah melayani kalau sekarang sudah sampai 40 tahunan. Jadi di dalam pengalaman dia di dalam konseling dengan banyak pasangan, ketemu banyak kedulitan di dalam pernikahan, maka dia ketemu bahwa sebenarnya dia simpulkan menjadi ada 5 bahasa kasih; lima bahasa kasih yang berbeda-beda. Itu dia temukan ada 5 di sini, yang pertama itu adalah words of affirmation, yaitu kalimat pujian ya. Kalimat pujian, itu jangan cuma tahu memuji waktu pacaran, wah I love you, I love you. Waktu sudah nikah, tetap dong dipuji. Tetap harus dipuji, karena itu adalah ungkapan verbal yang memang untuk menyatakan ungkapan kasih. Dan ada orang yang memang senang dipuji seperti itu. Jangan itu waktu masih pacaran kalau dia jatuh, “Oh kamu nggakpapa sayang?” Tapi kalau sudah nikah, pasangan kita jatuh, “Matamu di mana?” Waduh, kok ini. Kembali lagi ya, honeymoon period beda dengan realitanya gitu ya. Tapi harusnya itu tetap sama untuk bahasa kasih itu secara verbal itu tetap diperlukan. Kalimat pujian seperti mengatakan I love you ataupun misalnya bilang, terima kasih, saya sungguh sayang pada kamu. Itu adalah kalimat-kalimat memang bahasa kasih, yang seperti itu. Dan itu Gary Chapman katakan itu adalah sesuatu yang memang ketika orang dapatkan dan itu bahasa kasihnya dia, ketika dia mendengarkan itu menjadi suatu konfirmasi bahwa sungguh dia itu dikasihi. Lalu itu yang pertama.
Yang kedua itu adanya quality time, yaitu waktu yang berkualitas. Ini orang-orang yang seperti ini adalah bukan masalah dia itu dikasih tahunya itu misalnya “Kamu ganteng” “Kamu cantik” dan sebagai macamnya, tapi untuk kita itu bersama-sama menemani dia, being there. Kita menemani dia dengan sepenuh waktu, di situ baru dia mengerti kamu sungguh mengasihi saya. Orang-orang yang punya bahasa kasih ini quality time, dia itu sungguh membutuhkan suatu full and undivided attention, yaitu suatu perhatian yang penuh, yang tidak terbagi. Yang ketika kita mau duduk bersama-sama dengan dia, menemani dia, mendengarkan apa yang dia alami. Mendengarkan keluh kesahnya, ceritanya, dan kita cuma mungkin dengar dia, ngangguk oh begitu, seperti itu. Sudah. Ketika dia jalani itu, orangnya merasa oh kamu sungguh mengasihi saya, meski kita tidak tentu membalas dengan suatu ungkapan yang tertentu, seperti itu. Tapi memang ada orang bahasa kasihnya demikian. Kadang-kadang kita perhatikan anak-anak kita juga begitu kan? Kita ngomong, oh iya sini, papa sayang kamu. Ah, dia rasanya kok cuek aja. Tapi kalau kita mau duduk temani dia, dia senang. Sambil ditemani, seperti itu.
Tapi ada lagi yang bahasa kasihnya bentuk ketiga, yaitu receiving gift, yaitu menerima hadiah. Bagian ini tentu tidak harus dimengerti sebagai materialisme, tapi adalah karena orang itu memang suka menerima hadiah yang itu berupa thoughtful and effort gift, yaitu pemberian hadiah yang memang dipikirkan dan dengan usaha yang cukup dalam mempersiapkan, memikirkan yang terbaik, oh apa hadiah yang paling pas untuk dia, dan itu diberikan. Harus inget hari ulang tahunnya, harus ingat kapan hari jadiannya, kapan hari-hari pentingnya, itu diingat. Dan ketika orang menerima hadiahnya, dia rasa itu sangat penting. Mungkin nggak selalu dibilang ‘I love you’ seperti itu, atau mungkin karena ndak selalu sama-sama bisa spend waktu. Tapi oh ini hari spesialmu, ini saya kasih hadiah. Nah orang-orang seperti ini itu justru orang yang sangat senang ketika mendapat ungkapan kasih seperti menerima hadiah. Jangan cuma hadiahnya itu dikasih waktu pecaran gitu ya. Waktu sudah nikah juga dikasih dong. Emangnya kita sudah pasangan suami istri nggak bisa kasih hadiah gitu? Bisa kan. Bisa kasih hadiah. Dan apalagi hadiahnya kita pikirkan yang tepat untuk dia. Yang tepat untuk pasangan kita. Yang apalagi kalo kita pikirkan, oh dia sukanya ini. Lalu kita kasih surprise, ini hadiah untuk kamu. Wah dia itu akan sangat-sangat excited, sangat-sangat, “Wah kamu sungguh-sungguh memikirkan saya. Kamu sungguh-sungguh tahu apa yang saya mau.” Ketika diberikan hadiah dengan suatu yang kita thoughtful gitu ya, kita memikirkan sungguh-sungguh apa yang tepat yang dia sukai, itu adalah bentuk ketiga.
Lalu ada bentuk keempat yaitu acts of service, yaitu melayani. Melayani di sini adalah sebagaimana kita tahu secara umum setiap orang punya tugas, tanggung jawabnya masing-masing seperti di awal sudah saya katakan. Maka ketika kita membantu mengerjakan tanggung jawab dia, dia senang. Ada orang bahasa kasihnya gitu. Misalnya ketika harusnya tugas istri biasanya itu adalah menyapu, membersihkan, lalu suaminya sesekali mengatakan, sudah biar saya saja yang nyapu. Oh itu istrinya langsung bisa berbunga-bunga, wah, dia ini lho, bener-bener mau kerjain. Atau misalnya kita bilang, oh sini saya bantu cuci piring. Wah dia cuci piring, wah orang yang punya bahasa kasih keempat ini, dia akan merasa senang sekali. Wah kamu mau bantuin kerjain ini. Tapi ya kalau orang yang nggak punya bahasa kasih ini dia malah bilang, ya sudah, memang kamu kerjain aja, nyapu-nyapu aja. Biasa aja. Gitu ya.
Lalu ada lagi bahasa kasih kelima yaitu physical touch, yaitu sentuhan fisik, yaitu seperti pegangan; ini sentuhan fisik tidak harus dimengerti langsung hubungan seks seperti itu, tapi juga bisa dimengerti seperti pegangan tangan, berpelukan, memegang tangannya atau wajahnya, ada orang suka gitu ya. Yang sederhana aja lah, anak-anak kita itu kan kalau dikasih … (gerakan mengusap kepala – red) di kepalanya gitu ya, terus langsung senang dia. Wuaaah, senang. Tapi coba misalnya dedeknya ini (menunjuk anak remaja?) terus dipegang “Wuaaah” (gerakan mengusap-usap kepala – red) gini langsung dia “Ah! Emangnya saya masih anak kecil?” Ya; itu karena bahasa kasihnya berbeda. Dan di sini dalam teori dari Gary Chapman tadi, meski orang semua mengerti bahwa secara umum lima bahasa kasih ini adalah bahasa kasih, dan orang semua setuju akan lima-limanya, tetapi kenyataannya hanya satu atau dua saja dari lima bahasa kasih ini akan menonjol dari tiap-tiap orang. Dan tiap-tiap orang itu agak berbeda. Ada orang itu memang sukanya itu “quality time“. Saya pernah sering mendengarkan ada kisah tentang seorang wanita karir yang bekerja di kantor. Lalu dia menerima hadiah ulang tahun dari pacarnya; terima bunga, lalu ada kartu ucapan. Tapi kemudian di dalam kartu ucapan itu dia ngomong, “Sori ya, saya tidak bisa hadir di makan malam hari ini.” Dan dia sedih. Dan dia nangis betulan. Dan mungkin kita pikir lebay ya tapi ini enggak, Saudara. Dewasa loh ya, bukan anak remaja. Dia bisa sedih, kenapa? Karena dia memang bahasa kasihnya itu bukan terima gift itu, bukan masalah terima hadiah. Tapi kamu itu mau spendwaktu yang quality dengan saya. Dan ketika itu nggak dapat dia melihat, “Ya kamu ga mengasihi saya, kamu kasihnya sudah berubah,” seperti itu. Kenapa? Tiap orang itu kita harus melihat bahwa bahasa kasih ini, kembali lagi. Bagi saya, seperti Gary Chapman itu adalah sesuatu yang harus kita coba cek diri kita sendiri; kita bahasa kasihnya yang mana? Itu bagian kita mengenali diri kita dan juga, apalagi, bahasa kasih pasangan kita atau pun anak-anak kita. Bahasa kasihnya seperti apa? Dan biarlah kita memberikan yang tepat sesuai yang memang mereka suka diperlakukan itu. Bisa mengerti di sini ya? Jadi melihat dari perspektif orangnya, melihat dari perspektif objeknya ini yang mau dikasihi itu seperti apa. Jangan cuma lihat, “Oh, saya sukanya diperlakukan ini,” lalu otomatis kamu gitu, oh ndak tentu. Bisa bahasa kasihnya berbeda.
Dan kadang-kadang selama ada pertengkaran di dalam rumah tangga itu, minimal dari pengalaman Gary Chapman itu, justru saling memberikan bahasa kasih yang berbeda, dan tidak paham pasangan ini sebenarnya suka diperlakukan sebagai apa. Dan ketika itu tidak diberikan, di situlah menjadi, sering, gagal mengerti, bagaimana mengasihi pasangan kita. Harusnya melihat dari perspektifnya: Kamu itu sebenarnya seperti apa? Ada orang yang lain, oh ya mengerti, memang kalau sibuk tidak bisa makan malam bersama ya nggak apa-apa. Tapi mungkin misalnya selalu bilang, “Oh, terima kasih ya, kamu sudah menjadi istri saya yang baik selama ini,” oh, dia senang dipuji. Kenapa dia begitu? Dan bagi saya bahasa kasih ini satu titik itu, kita mengenal diri kita dan sisi lain bagi saya itu pun mungkin kita harus aware karena sisi lain itu bisa menjadi titik lemah kita juga. Dan kadang-kadang saya lihat mungkin ya kalau mau dibilang perselingkuhan itu justru terjadi karena kita membuka diri menerima bahasa kasih yang kita suka itu dari orang lain di luar pasangan kita. Ada orang yang begitu. Ada orang itu pergi makan sama-sama dengan rekan kerjanya, pergi makan bersama biasa aja. Loh, memang ini jam makan kantor, ya sudah makan bersamanya ya biasa aja. Nothing special. Tapi ada orang terus sama-sama, dia itu, “Wah, kok perasaannya jadi berubah ya?” Terus makan sama-sama gitu, kok jadi lain. Karena itu, dia punya bahasa kasih itu di sana. Untuk punya quality time, untuk bisa berbicara banyak hal dan apalagi terbuka seperti itu, banyak hal, sharing-sharing itu bisa jadi celah masuk seperti itu. Dan itu akhirnya kita mengenali bahasa kasih kita, dan terutama pasangan kita. Kita mau kasihi dia itu secara tepat, sesuai dengan pribadi ini; keunikan karakternya masing-masing. Nggak tahu ya apa setelah ini, pada banyak mikir, “oh, kira-kira bahasa kasih teman kita itu apa ya?” Kita cari tahu, coba cari celahnya gitu ya.
Baik, kira-kira kalau saya renungkan, saya pikir apa ya bahasa kasih dari Tuhan kita? “Ah, bahasa kasinya Allah apa ya?” Ya ini (mengangkat Alkitab –Red.), Alkitab inilah bahasa kasih Allah kepada kita. Lalu bagaimana kita mengembalikan mengasihi Allah? Ya sesuai dengan bahasa kasih ini kan? Allah menyatakan kasih-Nya dengan memberikan Firman-Nya ini. Dengan menjelaskan bagaimana menyatakan sejak semula, baik dalam perjanjian lama, perjanjian Kristus yang akan datang, mau pun perjanjian baru tentang Kristus yang sudah datang menggenapi rencana Bapa untuk keselamatan kit. Inilah bahasa kasih Allah. Sehingga ketika kita mau mengatakan kita mengasihi Allah, harus sesuai dengan prinsip Firman ini. Karena inilah bahasa kasih-Nya Dia. Dengan kita mentaati perintah-Nya, dan bukan mengikuti konsep pikiran, ide-ide kita sendiri, harusnya mengikuti dari sudut pandang Allah sendiri. Di situ baru kita tahu bagaimana membalas kasih Allah itu. Karena inilah, Kitab Sucilah bahasa kasih-Nya Allah kepada kita. Itu berbicara tentang laki-laki. Lalu, kemudian kedua. Bagaimana berbicara aspek dari sisi perempuan, sebagai wanita. Di dalam Efesus juga masih di dalam pasal 5 itu mengatakan: Istri harus tunduk kepada suaminya. Di situ tanggung jawab istri itu tunduk kepada suaminya. Justru untuk tunduk kepada suaminya sebagaimana jemaat juga tunduk kepada Yesus Kristus. Dan di sini ada ketertundukan yang pasti kepada ordo yang mana. Ingat ya, kalau kita perhatikan di dalam Alkitab, dikatakan perempuan itu adalah helper, bukan herder ya. Penolong, bukan penodong gitu kan. Jangan-jangan besok-besok bezuk jemaat lalu ketemu ada plang kuning tulis: “Awas! Istri Galak!” Waduh, kasihan banget, gitu ya. Apalagi plus: “Putri saya juga.” Waduh, kasihan, gitu ya. Loh, nggak ingat, justru peran perempuan itu menjadi helper, bukan jadi herder; justru menjadi penolong bukan menjadi kepala bagi suaminya, tapi justru menolong suaminya, helper bagi suaminya.
Dan saya teringat ketika bagian ini itu justru Pak Tong sendiri sering mengutip bahwa dibalik kesuksesan seorang pria: “Behind the great man, there is always a great woman.” Dibalik seorang pria yang sukses, yang berhasil, yang hebat, dibaliknya justru selalu ada wanita-wanita perkasa. Bukan perkasa seperti ini (berotot -red), seram gitu ya. Tapi yang justru menjadi helper dari suaminya itu, jadi helper bagi laki-laki. Dan di situ dia mengalami peran tanggung jawab seperti itu. Kita bisa melihat sendiri dari kehidupan Pendeta Stephen Tong sendiri. Justru, kita melihat pelayanan beliau yang besar, itu tidak lepas dari peranan perempuan dari istri. Mulai dari Ibunya yang membesarkan dia, bagaimana jadi anak yang takut akan Tuhan, dan juga bagaimana peranan dari istrinya Pak Tong. Kita kan mungkin jarang tahu ya seperti apa, gitu. Kita mungkin itu suka lihat, “Oh, Pak Tong itu hebat. Oh, Pak Tong itu hebat.” Mungkin, ada istri-istri yang bilang, “Oh ya,” tuntut suaminya, “Kamu itu harus kayak Pak Tong,” gitu. Dia lupa dia itu bukan seperti istri Pak Tong, gitu ya, bukan seperti shīmù Tong. Tapi kita bisa lihat istri Pak Tong justru sangat men-support pelayanan beliau, dan mendukung ketika, apalagi Pak Tong tinggalkan keluarga berapa lama, sekian lama kerjakan pelayanan. Bagaimana dia itu mendidik anak-anaknya untuk tetap berjalan di dalam jalan Tuhan. Untuk taat Bapaknya ini meninggalkan mereka itu bukan karena tidak mengasihi mereka, tapi karena mengutamakan Tuhan. Dan itu bagaimana kita, anaknya sampai sekarang, satu-satu besar itu tetap orang Kristen, tetap cinta pada Tuhan, tidak punya kepahitan, benci pada Kekristenan. Meski bapanya sering absen dari rumah. Itu kita lihat tidak lepas dari justru peranan dari istrinya Pak Tong. Sebaliknya apa? Kembali ya, tetap dibalik layar, nggak kelihatan di depan sini, melayani Tuhan. Tapi kita lihat dibalik layar dulu. Ada apa? Ada banyak orang-orang yang bekerja di sana. Ada banyak orang yang justru mendukung pelayanan yang ada dan terutama bagi saya istri Pak Tong itu, menjadi helper yang baik; bagi pekerjaan dan pelayanan beliau. Sehingga kita bisa melihat pelayanannya, bisa terus maju, justru karena ada istrinya sebagai helper. Dan juga, bukan cuma helper, juga menjadi mother, menjadi ibu bagi anak-anaknya. Yang artinya mendidik membesarkan anak-anak yang dipercayakan dalam Tuhan.
Sehingga, karena itulah saya masuk pada poing berikutnya, ketika bicara tentang tanggung jawab anak itu seperti apa? Kita bisa baca sebenarnya ketika kita lihat dari Ulangan 21:18-21. Ketika pertama kali saya baca ini, saya pikir, wah, hukumannya kejam ya. Anak yang nakal langsung dibawa ke tengah kota, dilempari dengan para tua-tua, gitu ya, dilempari sampai dia mati. Kok Alkitab ini mencatat seperti ini? Mungkin kita bisa sepintas berpikir, “Oh, kejam ya. Anak nakal, tidak mau taat, kok dilempari batu? Langsung mati.” Tapi bagian ini, ketika kita membaca dan kita menyadari sedalam-dalamnya konteksnya, itu tidak seperti langsung demikian. Ini justru ada makna implisitnya, yaitu, kalau saya pikir, apalagi dalam konteks dunia kuno, yang bahkan zaman sekarang juga ada, punya anak itu kan susah. Zaman dunia ini pun anak sudah lahir, eh keguguran. Atau kadang keguguran dalam kandungan. Dan bahkan ada yang sudah lahir ga tahan berapa lama, berapa bulan umurnya, eh, meninggal, karena tidak kuat jantungnya atau pun organ-organ lainnya. Jadi, dan itu bahkan bagian itu bisa masih terjadi masa kini. Saya pun melihat, masa kini, yang masa sudah modern, masih banyak, anak-anak itu mati, dari masih kecil. Jadi kalau punya anak itu adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang tidak mudah didapatkan. Sehingga ketika orang tua lain membaca ayat ini lalu berpikir, “Oh, iya. Kalau anak saya nakal, sudah bawa aja ke tua-tua untuk dibunuh,” ya enggak. Tapi justru dia akhirnya orang tua ini sadar ayat ini berbicara terutama bagi orang tua, maka first decree, dekrit pertama saya harus ajarkan pada anak saya itu tahu, taat, udah itu. Tahu, bagaimana taat pada orang tuanya. Sehingga kita di sini kita mengerti tanggung jawab anak justru yang pertama-tama itu taat pada orang tua. Selama dia masih hidup di dalam rumah orang tuanya, selama dia masih di bawah nanungan dari orang tuanya, dia harusnya taat kepada orang tua.
Dan itu yang harusnya kita tanamkan kepada anak-anak kita. Tahu tanggung jawab mereka itu untuk taat. Dan itu justru yang menjadi modalnya yang paling besar. Anak-anak kita tidak tentu menjadi anak-anak yang paling pandai, dapat piala, dapat penghargaan paling hebat. Tapi kalau kita ajarkan dia taat, dari kecil, dari dia muda, itu modal dia supaya seumur hidup terus taat dan tunduk kepada Tuhan. Karena kalau dia dari kecilnya, “Saya tidak mau taat kepada orang tua,” makin dewasa justru dia makin liar, atau makin tidak mau taat kepada siapa-siapa dan akhirnya juga memang tidak bisa taat pada Tuhan ya. Dan itu sebenarnya dia sudah mati dari kecil. Kalau kita lihat, dia tidak pahami posisi dia sebagai anak. Tanggung jawab dia sebagai anak untuk taat kepada orang tua. Dan di sini kita lihat peran penting dari orang tua untuk mengajarkan kepada anak-anaknya supaya taat. Orang tua itu justru di dalam sepuluh hukum Kitab; hukum pertama kedua ketiga keempat itu semua sangat penekanan dalam relasi bertikal. Nanti lima sampai sepuluh itu relasi horizontal berdasarkan prinsip dari relasi vertikal, yaitu berdasarkan prinsip relasi kita kepada Allah menjadi dasar kita berelasi pada sesama. Nah, kalau kita perhatikan hukum ke-5 ini, kan relasi yang pertama itu berbicara tentang relasi sesama manusia itu justru dimulai dengan “Hormatilah ayahmu dan ibumu!” Berarti relasi di mana kita menghormati orang tua kita itu sangat penting diajarkan kepada anak-anak. Dan kembali, ayat itu bukan cuma berbicara bagi saya, ketika menafsir bagian itu, bukan hanya untuk melihat “Oh, ini ayat untuk anak-anak. Oh, ini tuh, Nak. Baca ini ayat, Firman Tuhan hukum ke-5 hormati orang tuamu jadi hormati saya, hormati saya.” Bukan cuma itu. Ayat itu pun berbicara bagi orang tua yaitu jadilah orang yang bisa dihormati oleh anak-anaknya. Bisa nangkap ya Saudara? Lihat justru dari perspektif sebaliknya, lihat, berarti tanggung jawab kita jadilah orang itu yang bisa dihormati. Itu sama seperti membaca itu ayat “Oh, suami, kasihilah istrimu.” Oh, terus istri cuma nuntut, “Iya, kasihi saya, kasihi saya,” itu sesuai ayatnya itu. Bukan cuma itu tapi jadilah istri yang bisa dikasihi suamimu. Dan sebaliknya, ketika istri tunduk kepada, tunduk kepada suamimu! Lalu suami cuma bilang, tuntut, tuntut aja neh, “Hak saya nih, kamu harus tunduk!” Nggak, bagian ayat itu pun, berarti berbicara bagi suami: Jadilah suami yang pantas ditaati dan ditunduki oleh istri. Di situ kita bisa melihat dari aspek tanggung jawab, ada tanggung jawab kita dan ayat itu bukan untuk kita pilih-pilih, oh ini ayatnya untuk si itu, untuk si ini. Nggak! Semua ayat firman Tuhan, ini adalah untuk setiap kita. Dalam konteks kita apapun, kita bisa melihat, kita pahami sebagai tanggung jawab kita. Dan apalagi sebagai orang tua, justru banyak kegagalan di dalam keluarga, itu justru karena banyak orang tua tidak menjadi orang tua yang bisa dihormati oleh anak-anaknya.
Kadang-kadang itu kalau kita terapkan rule, peraturan, kita sendiri taati nggak? Ketika kita itu tidak taati peraturan yang kita buat sendiri, wah itu akan backfire, itu akan meng-counter productive. Kita akan menjadi merusak sendiri peraturan yang kita buat. Ketika misalnya, kita bilang ke anak-anak kita: “Malam, langsung tidur, tidak usah main.” Sudah anak-anak masuk kamar, kita sendiri di ruang tamu nonton. Nah ini kita sendiri tidak ngikutin aturan kita, ini gimana? Begimana kita lalu maksa anak kita: “Hormati saya, hormati saya!” Kamu sendiri bisa dihormati atau nggak? Saya teringat sekali memang di dalam bagian ini, itu ada yang Pak Tong sendiri katakan dan ajarkan kepada kami, hamba-hamba Tuhan yang di bawah dia. Yaitu dia katakan: “Sepertinya kamu itu bisa belajar doktrin Reformed dari saya, bahkan cara-cara khotbah saya bisa kamu pelajari, kamu bisa ikut-ikuti. But you should gain your own respect. Kamu harus mendapatkan sendiri respect dari jemaat Tuhan, yaitu kamu sendiri jadi hamba Tuhan pantas dihormati atau nggak? Bukan hanya bilang: “Ayo jemaat taat, ayo jemaat taat!” Nggak! Kamu sendiri orang yang pantas ditaati atau nggak? Ini melihat dari aspek tanggung jawab kita. Dan Pak Tong katakan, justru ini yang tidak bisa ditransfer, tidak bisa…”Oh saya sudah baca buku-buku Pak Tong. Oh saya sudah ikuti pelayanan pak Tong.” Otomatis, kita ini langsung bisa dingerti, “Oh kamu murid Pak Tong,” langsung diakui, langsung dihormati. Nggak tentu! You should gain your own respect. Kamu harus mendapatkan sendiri respect dari orang kepada orang kepada kamu, yaitu dari melihat bagaimana tingkah laku dan kehidupan kamu sendiri. Ini suatu yang harus kita perjuangkan dan dapat sendiri. Bisa tangkap segini ya? Bukan cuma suruh pakai status saja, tapi tanggung jawab saya apa? Dan buktikanlah itu dengan integritas hidupmu, baru kamu bisa direspect, baru orang lihat, memang sungguh kamu hamba Tuhan atau nggak. Dan itu sama, baik berbicara kita sebagai pengurus, baik kita sebagai aktivis, baik kita sebagai orang tua, ataupun anak-anak muda di sini, karena kelak kamu pun akan memangku tanggung jawab itu. Banyak anak muda itu nggak sadar ya, kalau ketika kita dewasa itu, kita akan memangku tanggung jawab itu. Kamu akan dilihat oleh anak-anak di bawahmu, kamu itu bisa ditaati atau nggak? Kamu itu bisa jadi teladan atau nggak? Atau cuma ngomong doang. Oh pintar, lancar teologi Reformed-nya. Hidupnya ya, lancar juga ke arah dosa. Tidak mengikuti sejalan. Bagaimana bisa mendapat respect dari sini?
Dan ketika merenungkan apa yang dikatakan dengan Paulus di sini, justru saya sadar bahwa ketika Paulus memperkenalkan dirinya, dia sadar betul, identitas dia itu berkait kepada Kristus, yaitu dia adalah budak dari Kristus Yesus sendiri. Dan disini dia mengatakan bahwa Paulus juga dengan satu aspek, dia justru mengatakan: “Saya ini budak.” Saya lihat dia ketika mengirimkan surat kepada jemaat di Filipi, kepada jemaat di Filipi dan juga para penilik dan diaken, dia memperkenalkan diri bukan: “Oh saya rasul.” – nggak, dia ngomong, “Saya ini cuma budak.” Tapi menariknya, ketika dibaca oleh para jemaat, kepada para diaken, penilik, mereka lihat, “Oh ini tulisan budak?” Ya nggak. Paulus itu perkenalkan dirinya, “Saya ini budak.” Tapi ketika dibaca jemaatnya, dilihat, “Oh ini rasul, ini rasul.” Di situ Paulus itu mendapatkan pengakuan kerasulannya sendiri juga di hadapan Tuhan, tanpa harus dia claim, claim ngomong: Saya ini rasul. Di sini saya lihat sebagai bentuk kerendahan hati dari Paulus sendiri. Senang aja ya kita misalnya kalau dapat tulisan dari pembantu kita, “Tuan ini ada begini…” Kita baca dengan betul-betul, atau ah udah lah pembantu, simpan aja gitu. Tapi ini tulis dari budak, sampai jemaat, justru jemaat menarik, “Oh ini rasul ini, tidak main-main, ini harus kita taati betul. Dan ini bahkan harus disalin, dikopi, dan dibagikan lagi kepada jemaat-jemaat yang lain.” Di situ kita melihat, sungguh kerasulan Paulus bukan hanya ucapan lidah dia saja, tapi diakui oleh jemaat, diakui di hadapan Allah dan sesama. Kenapa diakui di hadapan Allah? Karena masuk dalam Kitab Suci. Karena bagian lain juga tetap katakan dia adalah rasul kan? Dan itu dinyatakan masuk dalam Kitab Suci, berarti Allah pun mengakui kerasulan dia. Bukan hanya diakui oleh manusia, tetapi terutama juga Tuhan sendiri.
Dan ketika mungkin bisa kaitkan lagi, kenapa ya, seperti ini saya pikir, apa yang dilakukan oleh Kristus sendiri, yang adalah Tuhan kita, yang adalah Tuhan kita, tetapi juga yang menjadi teladan di mana kita hidup. Seorang itu pernah bertanya suatu pertanyaan yang kayaknya menantang gitu ya, dia bilang, “Coba cari di dalam Alkitab, di mana Yesus bilang: “Saya Tuhan, sembah Saya!” Coba cari di mana ayatnya Yesus bilang: “Saya ini Tuhan, sembah Saya!” Terus kita coba buka ayatnya. “Oh, ayatnya memang nggak bunyinya gitu, tapi Yesus bilang: “Sebelum Abraham ada, Aku sudah ada. Aku dan Bapa adalah satu. Aku memiliki kemuliaan sebelum dunia ini dijadikan.” “Oh nggak mau, nggak mau, saya maunya ayat yang persis tulis, Yesus ngomong: Saya Tuhan, sembahlah saya!” ya bodoh juga ya kalau bikin kategori kalau gitu, harus persis ayatnya gitu, nggak ada memang. Tapi, menariknya adalah ketika kita memperhatikan di dalam Kitab Suci, dan ketika saya renungkan secara teologis: Iya ya, kenapa ya Yesus itu tidak pernah claim ngomong, “Saya Tuhan, sembah saya!” tapi justru, ungkapan paling sering yang dipakai oleh Yesus ketika memperkenalkan dirinya, “Saya adalah Anak Manusia” — Yesus itu bukan datang bilang, “Saya Anak Allah, Saya Anak Allah!” Nggak, “Saya Anak Manusia… Saya Anak Manusia… Saya Anak Manusia.” Tapi sembari Dia mengakui dirinya sebagai Anak Manusia, dan memang tentu itu adalah betul, karena Dia sepenuhnya Allah dan sepenuhnya juga manusia. Tapi saya lihat itu sebagai kerendahan hati dari Kristus, menyatakan dirinya: Saya ini Anak Manusia. Tapi kemudian, saksi dari Allah Bapa sendiri mengkonfirmasi: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepadaNya Aku berkenan.” Jadi Allah Bapa sendiri mengaku, “Ini AnakKu, ini Anak Allah.” Malaikat-malaikat pun sudah bersaksi, “Ini sungguh Yang Kudus dari Allah.”
Para manusia sesama Dia, sampai Yesus bilang, “Saya hanya Anak Manusia, Saya Anak Manusia.” Mereka pun mengakui, “Sungguh, Engkau adalah Anak Allah, bukan hanya Anak Manusia.” Bahkan setan-setan pun mengakui, “Engkau adalah Anak Allah.” Ini kita bisa lihat itu, seperti Kristus bukan hanya mengaku sendiri. Sampai musuhnya, setan itu saja ngaku, “Kamu itu sungguh adalah Anak Allah.” Di situ kita melihat justru status dan tanggung jawab Kristus itu sungguh nyata dalam kehidupannya, dalam integritas hidupnya yang sungguh menyatakan bahwa sungguh Dia adalah Anak Allah. Meski, Dia tidak sering mengeluarkan statement seperti itu. Dan lebih cenderung seperti implied saja dan tidak eksplisit. Tapi kemudian juga kita mengerti: Kenapa ya Yesus itu juga tidak pernah ngomong, “Ayo sembahlah Saya!” tapi murid-murid menyembah Dia. Di sisi lain juga Dia tidak menolak kan penyembahan mereka dan berarti betul. Tapi saya pikir menarik ya, dalam Kristus, kehidupan Dia, Dia tidak pernah bilang, Dia cuma ada mengatakan, “Percayalah kepada Bapa dan percaya juga kepadaKu.” Tapi Dia nggak bilang, “Sembahlah pada Bapa, kamu juga sujud sembah saya!” Tapi yang Kristus pernah lakukan adalah suatu tindakan yang mencuci kaki para murid, mencuci kaki para murid. Itu adalah pekerjaan apa? Itu pekerjaan budak, itu pekerjaan hamba yang rendah, yang justru biasa mencuci kaki orang-orang yang dalam rumah. Tapi Kristus yang adalah guru, yang adalah tuan, yang adalah Raja di atas segala raja, justru mengambil posisi mencuci kaki para murid. Bukan cuma mencuci kaki para murid, di antara murid-murid itu juga termasuk Yudas, kan? Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana itu Kristus itu mengambil suatu sikap kerendahan hati sedemikian sampai penyangkalan dirinya, sampai rela mencuci kaki Yudas. Coba kita saja ya, misalnya sini kita ada slek dengan ada jemaat di sini, kita mau cuci kakinya nggak? “Oh saya nggak cuci kakinya, Pak, saya siram sekalian!” Kena siram orangnya. Tapi ya itulah, kamu bukan Tuhan Yesus. Tapi Tuhan Yesus itu justru rela mencuci kaki Yudas, yang jelas Yesus tahu ini bukan orang pilihan. Dan bukan cuma itu, ini adalah murid yang kelak, akan sebentar lagi, akan mengkhianati gurunya, guru yang selama ini sudah tidak henti-hentinya mengajar dan bersama-sama dengan dia siang dan malam. Tetap Yesus itu rela, merendahkan dirinya sedemikian. Jika hari ini kita berkata: Saya Kristen, saya Reformed, saya murid Stephen Tong. Permisi tanya, kalimat itu pengakuan kita sajakah atau diakui di hadapan Allah dan sesama kita? Mari kita satu dalam doa.
Bapa kami dalam Sorga, kami bersyukur untuk firmanMu. Dan kami berdoa untuk menyerahkan setiap diri kami. Kiranya Engkau yang pimpin kami saja, Bapa, sungguh boleh hidup sesuai dengan firmanMu, sesuai dengan kebenaranMu, untuk menghidupi tanggung jawab dan status kami di hadapanMu saja. Dan biarlah kiranya Allah Roh Kudus saja yang menopang kami, memampukan kami menghidupi kebenaranMu. Terima kasih Bapa untuk semua ini. Kami berdoa, ya Tuhan, kiranya di dalam setiap tanggung jawab, dan pekerjaan yang Engkau percayakan untuk kami laksanakan biarlah kami lakukan dengan sungguh untuk menyenangkan Engkau saja. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa, Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]