Flp. 1:3-5
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Ketika kita melihat dalam kehidupan ini maka ada satu fakta yang sebenarnya tidak bisa kita sangkali, yang tidak bisa kita hindarkan, yaitu fakta penderitaan di dalam kehidupan ini. Penderitaan adalah hal yang tak terhindarkan di dalam kehidupan ini. Suka atau tidak suka, kita mengalami penderitaan. Anak, bahkan bayi dari lahirpun dia sudah mengalami penderitaan itu bukan? Kalau kita melihat misalnya bayi dari dia lahir lalu dia nangis, kenapa? Misalnya lapar. Nangis kenapa? Karena misalnya dia haus. Dan dia menangis itu menggambarkan dia menghidupi adanya suatu penderitaan, ada beban dalam kehidupan dia. Lalu terkadang bayi itu mungkin dalam benaknya berpikir, “Oh coba seperti koko saya atau seperti cici saya yang sudah lebih gede hidupnya akan lebih baik.” Nah kita kadang-kadang punya optimisme kayak gitu ya, utopia, “Oh kalau saya lebih dewasa saya akan lebih baik, maka saya akann terlepas dari penderitaan.” Makanya kadang kita ketemu anak kita kalau yang belum sekolah lalu lihat kokonya atau cicinya yang sudah sekolah pingin juga, “Saya juga mau sekolah.” Dia pikir kalau sekolah itu lebih bagus, tapi ya mungkin di sini banyak pemuda tahu ya sekolah tidak jadi lebih baik, justru menambah penderitaan. Dan memang akhirnya itu yang dia hadapi, ketika dia masuk SD baru dia mengerti lho ada kesulitannya; atau saat masuk TK dia lihat ternyata ada penderitaannya sendiri, ada kesulitannya tersendiri lalu selalu ada semacam ide pikiran “Oh kalau ke depan lebih baik, kalau saya bisa naik jenjang lebih baik,” tapi ternyata kita menemukan bahwa bukan berjalan lebih baik tetapi justru penderitaan itu makin lama makin akumulatif. Justru kehidupan kita yang semakin dewasa kita sadar justru penderitaan dan kesulitan yang kita hadapi itu bukannya makin berkurang tapi justru makin bertambah. Apalagi kalau masih dikaitkan dengan tanggung jawab kita sebagai manusia itu juga makin banyak dan beban makin berat. Dan kita menemukan justru penderitaan itu adalah fakta, realita yang tidak terelakkan dalam kehidupan ini.
Menarik ketika memikirkan tentang penderitaan, saya teringat tentang ada salah satu agama yaitu, ya saya sebut saja agama Budha yang di dalam seluruh konstruksi susunan agamanya itu justru berfokus memecahkan masalah ini, yaitu masalah penderitaan. Kalau kita mau teliti dan coba dalami dengan lebih fair dan juga dengan lebih apa adanya dalam pergumulannya itu karena menjawab masalah penderitaan. Dan ini nggak lepas memang dari background Sidharta sendiri, yaitu Sidharta yang tadinya memang hidup dalam istana lalu suatu saat dia keluar dan berjalan melihat satu-satu orang, melihat prajuritnya, dia melihat bangsanya, dia melihat rakyatnya, dan dia melihat ternyata fakta penderitaan itu begitu real di luar istana itu. Mungkin sebelumnya dia alami yaitu ketika misalnya pesta kerajaan maka ada undangan, semua datang pakai pakaian bagus, semua prajuritnya bajunya juga keren-keren, rapi, semuanya kelihatan bagus sekali, semua tampil dengan dipoles begitu indah dan bagusnya. Tapi kemudian ketika dia berjalan keluar dari istana dia menemukan, “Lho ternyata kehidupannya tidak seindah di dalam istana.” Bahkan orang-orang, “Lho kamu kan yang saya ketemu di salah satu pesta, kok sekarang kamu mengalami suatu kesulitan?” Dan dia menemukan justru ternyata di luar dari tembok itu dia menemukan fakta realita kehidupan itu. Itu yang mengejutkan dan menjadi suatu kekagetan bagi dia sendiri saat melihat ternyata di luar istana itu begitu banyak penderitaan, dan itu dia tidak bisa sangkali. Dan akhirnya memang dalam pergumulan Sidharta dia melihat ada fase kehidupan dari lahir, tua, sakit, dan mati; 4 fase kehidupan yang silih berganti, dan memang dalam pemikiran dia tidak lepas dari pengaruh India karena memang dia seorang India. Terus dia akhirnya melihat ada perputaran nasib, samsara, yang putar terus, dan melihat kehidupan ini terus diwarnai penderitaan.
Lalu bagaimana caranya terlepas dari penderitaan itu? Dalam pergumulan Sidharta dia menemukan bahwa sebenarnya penderitaan itu bagaimana solusinya. Sebenarnya masalahnya itu bukan untuk kita hilangkan penderitaan itu karena berbagai macam cara juga tidak bisa, tapi dia mengatakan bahwa penderitaan itu akarnya karena adanya keinginan. Di dalam pergumulan Sidharta dia menyadari kenapa orang menderita, karena adanya keinginan, sesuatu yang lebih baik, dan karena itu saya mengejarnya dan saya menderita. Dan dia mengatakan, jadi problem penderitaan itu nggak lepas dari keinginan, kalau saya bisa melepaskan keinginan saya maka saya akhirnya tidak mengalami penderitaan. Dan justru kalau kita mengerti ada istilah nirvana, nir dan vana, yaitu tidak adanya keinginan itu. Jadi bayangan dia tentang sorga itu bukan ada malaikat-malaikat, bukan begitu, tapi itu adalah nirvana, tidak adanya lagi keinginan sehingga mengimplikasikan bahwa tidak ada lagi penderitaan, itulah sorganya. Sehingga kalau kita lihat pandangan dari orang budhism ini saya lihat kurang lebih banyak mirip pandangan orang stoa, yaitu filsafat orang Yunani yang memikirkan bahwa hidup ini harus melepaskan keinginan, melepaskan perasaan. Kalau orang stoa itu pakai istilah “saya memiliki tapi juga seperti tidak memiliki.” Jadi saya punya barang ini, tapi juga seperti tidak punya barang ini, sehingga kalau suatu saat barang ini hilang, atau nggak ada lagi, atau rusak, ya saya tidak merasa terjadi distance. Dan memang kita melihat akhirnya gambaran dewa-dewanya juga seperti itu kan, dewa-dewa yang tidak punya pathos, tidak punya emosi, yang sepertinya dingin dan tenang sekali menghadapi kehidupan ini. Dan tidak heran makanya gambaran dewa-dewa Yunani yang klasik itu justru dewa yang apathy, apathos, tidak punya suatu passion, tidak punya suatu perasaan emosi. Nah itu kira-kira jawaban dan pergumulan dunia yang bicara tentang penderitaan.
Tapi saya percaya di dalam banyak hal justru kekristenan memberikan suatu jawaban, solusi yang lebih baik terhadap penderitaan itu. Dan itu kita temukan di sini. Yang pertama yaitu kita temukan bahwa yang benar Allah itu bukanlah Allah yang distance, yang tidak punya perasaan terhadap dunia ini. Justru Allah dalam Kitab Suci menyatakan bahwa Allah yang justru berintervensi dengan dunia ini, Dia justru masuk dan berinteraksi. Allah yang bisa murka dan yang juga bisa menjadi begitu sedihnya, yang pakai istilah itu Allah “menyesal” di dalam terminologi bahwa Dia sedih melihat ketimpangan dan kecongkakan kerusakan manusia. Jadi Allah itu bukan apathos tapi justru Dia punya perasaan ketika melihat kekacauan yang terjadi dalam dunia ini. Dan kita masuk ke dalam pergumulan seperti apakah jawaban kekristenan terhadap penderitaan. Dan di sini kalau kita melihat apa yang dialami Paulus jelas sekali di bagian ini diapun bukan sedang menuliskan rumusan tentang penderitaan, dia sendiri mengalami penderitaan. Paulus itu jelas sekali ya, dia itu masuk dalam penjara dan saya rasa kita lumrah sekali dan cukup jelas penjara itu tempat yang nggak enak. Ya kadang-kadang mungkin di zaman sekarang kita menemukan ada penjara yang kayaknya justru lebih enak daripada di luar penjara, tapi di zaman dulu itu penjaranya sangat tidak enak. Paulus dirantai, Paulus juga disiksa. Dan bahkan di dalam surat ini mencatat untuk kebutuhan dia makan sendiri kadang juga nggak cukup, dan akhirnya butuh Timotius dan Epafroditus yang datang mencukupkan kebutuhan makannya. Itu bedanya dengan penjara zaman sekarang, penjara sekarang kayaknya harus ada hak asasi manusia. Tapi zaman dulu tidak seperti itu, benar-benar penjara dan benar-benar disiksa.
Saya pikir di bagian ini Paulus sangat bisa dan lumrah sekali yang justru malah dia akhirnya memikirkan dirinya sendiri dan mengeluhkan nasibnya di dalam penjara. Kita kalau sudah dalam penderitaan kita fokusnya ke situ kan. Dan juga mungkin sangat mudah kalau saya pikirkan dia mungkin mendengarkan bisikan setan untuk iri dengan orang di luar sana yang situasinya lebih aman, tapi kalau kita lihat yang Paulus katakan di dalam sini dia justru menyatakan blessing bagi orang lain. Nah itu yang menarik dari bagian ini, yaitu di tengah penderitaannya justru dia menyuarakan suatu sukacita. Di sini kembali kalau kita bicara tentang problem penderitaan, saya pikir memang salah satu kunci dalam masalah penderitaan yaitu menarik dan menggeser fokus kita kepada diri sendiri. Sederhana saja ya, misalnya saya hari ini jalan ya seperti biasa, dan kita rasa biasa saja kan, nggak ada itu kita merasa “oh kaki saya bagus,” kecuali narsis banget. Tapi suatu ketika misalnya lutut kita itu sakit, herannya maka fokus kita akan bolak-balik digeser ke lutut itu. Pagi, siang, malam terus, “Lutut saya sakit, lutut saya sakit.” Masalah penderitaan itu menggeser fokus. Dan akhirnya entah kita menikmati suatu pesta, makanan yang enak pun bolak-balik kita bilang lutut kita ini, lutut ini lho masalah, dan di situ kita melihat penderitaan itu menggeser fokus kita kepada diri kita. Dan di sini kita melihat salah satu masalah penderitaan justru menggeser fokus kita, kita jadi gagal fokus. Dan bahkan kita bisa menangisinya. Apapun penderitaan yang Bapak-Ibu alami hari ini, masalahnya adalah selalu fokus kita terus ke situ kan. Sampai mungkin bahkan titik ini, sedang ibadah pun Saudara masih memikirkan itu terus kan. Kita berada di zaman yang katanya sudah maju tapi kenyataannya justru anxiety, kekhawatiran itu justru terus semakin menjadi-jadi. Bahkan konon katanya di zaman yang sudah maju ini, yang katanya kita sudah punya solusi untuk berbagai macam masalah yang dihadapi, justru katanya zaman ini adalah zaman yang dibutuhkan makin banyak psikolog dan psikiater, karena makin banyak orang depresi, makin banyak orang yang stres.
Saya pikir kadang-kadang kalau orang tidak aware ya masalah penderitaan ini, orang rasa hidupnya baik-baik saja, itu entah Saudara sedang mimpi, atau kedua ya mungkin memang anda tenggelam di dalam dunia ini, sehingga tidak lagi menemukan adanya ketegangan antara iman kita dengan dunia yang seharusnya berbeda. Dari titik ini saja bahwa iman kita seperti apa dan hidup kita dengan pandangan-pandangan dan falsafah dunia itu yang sangat berbeda bukankah itu menimbulkan suatu ketegangan dan menghasilkan suatu penderitaan di tengah kehidupan kita. Kembali biarlah kita melihat bahwa seperti Kristus katakan bahwa kita memang tidak dipanggil keluar dari dunia ini tapi kita juga bukan berasal dari dunia ini, dan itu tak terlepas adanya suatu ketegangan dan konflik di situ. Kita bukan untuk sengaja cari masalah tapi memang ini adalah hal yang tak terhindarkan kalau kita menghidupi identitas kita sebagai orang Kristen.
Ketika merenungkan ini saya juga teringat ada suatu buku yang ditulis oleh Chris Lungaard “Musuh dalam Diriku,” the enemy within. Dia mengatakan bahwa dala kehidupan kita ada suatu nilai kedagingan yang akan terus menarik fokus kita untuk mengikuti itu. Dan di situ Chris Lungaard sesuai dengan John Owen mengatakan kamu harus mematikan dosa itu setiap hari, matikanlah ego itu karena dia akan terus menarikmu untuk kamu melihat hal itu dan tidak melihat kepada Tuhan. Dan sebenarnya dalam penderitaan itu justru membuat kita berfokus kepada diri, berfokus kepada ego itu. Dan makanya kita mengerti istilah egois kan, bagaimana sih orang egois itu? Ya terus fokus kepada diri kan. Apalagi ketika penderitaan itu dialami. “Ya saya sedang susah,” ketika misalnya suatu saat kita alami suatu susah lalu jadi marah-marah, mencak-mencak, terus besok-besoknya bilang, “Oh sorry ya kemarin soalnya lagi susah jadinya saya marah.” Di bagian ini sebenarnya menarik seperti Epithetrus itu mengatakan bahwa justru penderitaan itu justru mengungkapkan siapa pribadi orang itu. Kadang-kadang malah kita kambing hitamkan, “Oiya sorry ya kemarin itu lagi lapar makanya saya emosi.” Bagi Epithetrus memang kamu begitu sebenarnya. Misalnya ketika ruangan di sini AC nya mati kita bagaimana? Masih di sini nggak atau kemudian satu-satu kipas-kipas, makin lama muncul satu persatu, “Oh ayo coba pengurus, ini siapa sih yang supervisor ayo coba urus ini bagaimana.” Belum bisa nyala, lalu kemudian satu-satu ngedumel, “Ah ini kenapa sih hotelnya begini,” siapa yang masih mendengarkan khotbah? Siapa yang memperhatikan bahwa kita masih tetap ibadah meski dalam situasi yang tidak menyenangkan ini. Nah bagi Epithetrus justru dikatakan ketika kesulitan itu tiba justru menyatakan karakter kita sejauh mana, menunjukkan keaslian, kesejatian kita seperti apa. Katanya kalau sama pasangan itu katakan, “Oh saya sayang kamu,” tapi kalau sudah lapar Oh saya minum dulu, makan dulu, “Kamu belum makan? Oh iya ini ada sisa.” Dan seperti blessing in disguise ya, suffering ketika Tuhan izinkan dalam kehidupan kita kadang-kadang justru untuk memperkenalkan kepada diri kita sih akan diri kita sendiri, biarlah kita sadar ternyata kita begini, ternyata standar iman saya masih segini. Kita mungkin bisa berpikirnya jauh sekali, teologinya maju sekali tapi kayaknya kok perbuatan kita, hidup kita itu jauh sekali ya, karakter kita itu jauh. Chris Lungaard katakan memang seperti orang yang otaknya besar tapi badannya kecil sekali. Pengertian besar tapi hidupnya itu kecil sekali. Nah itu masalah penderitaan dalam kehidupan ini.
Ketika merenungkan ini kembali lagi saya pikir penderitaan itu masalahnya selalu menarik kita justru fokus kepada diri dan menjadi egois, makin nyata kelihatan menusia egoisnya itu seperti apa. Saya teringat ada di beberapa dekade yang lalu ada satu lagu yang syairnya “why does the sun go on shining.” Mungkin nadanya kesannya romantis tapi kalau kita pikir kalimatnya itu aneh sekali lho. “Kenapakah matahari tetap bersinar, kenapa semuanya tetap berjalan, kenapa dunia ini tetap ada, don’t they know it’s the end of the world, tidakkah mereka tahu ini adalah akhir dunia ini, kenapa? Karena Kristus datang? Karena ada banyak penderitaan? Bukan, because you don’t love me anymore. Jadi itu masalah penderitaannya. Itu menyatakan egoisme manusia. Ketika dia mengalami penderitaan bukan hanya stop dia fokus ke diri sendiri tapi dia justru mau menarik semua, “Lihat saya, look at me i am suffering, dan kalian harus melihat saya.” Itulah masalah penderitaan, bukan hanya menarik fokus kita kepada diri tapi kita mau tarik semua orang. Orang yang begitu ramainya bisa posting-posting segala macam itu kan mau tarik, “Ayo lihat saya, perhatikan saya,” terus mau seluruh dunia ini memperhatikan diri kita. Jadi pergeseran fokus itu bukan cuma dari kita kepada kita sendiri tapi kita juga mau tarik semua orang fokus kepada kita. Masalah penderitaan itu sebegitu ekstrimnya sampai begitu.
Tapi bagaimana menghadapi penderitaan ini? Saya teringat apa yang dikatakan Timothy Keller dalam satu buku yang tipis sekali berjudul the freedom of self forgetfulness, suatu kebebasan untuk melupakan diri. Di dalam salah satu chapter-nya dia mengutip pikiran dari C.S. Lewis yang mengatakan bahwa bicara esensi dari kerendahan hati injili itu seperti apa? Yaitu bukan orang yang merasa dirinya kurang, misalnya diajak pelayanan, “Oh nggak saya nggak bisa,” bukan itu. It’s not about thinking more or thinking less of myself, it is thinking of myself less. Justru memikirkan diri sendiri itu yang kurang, bukan merasa diri kurang. Tapi orangyang sungguh rendah hati dia tidak pikirin dirinya. Kta pernah alami nggak? Misalnya kita ketemu seseorang lalu kita cerita banyak hal dalam pergumulan kita terus dia itu begitu memperhatikan kita, kisah kita, pergumulan kita, pengalaman kita, dan dia begitu excited-nya untuk memperhatikan apa yang kita alami. C.S. Lewis mengatakan itulah orang yang rendah hati karena dia bukan fokus kepada dirinya tapi dia fokus kepada anda. Dia bukan excited bercerita apa yang dialami tapi dia excited akan apa yang kamu alami, dia mau tahu, dia mau mengenal anda. Di situlah kita mengerti suatu kebebasan dan mungkin sebagai suatu untuk melupakan diri. Di sini bukan escapist, bukan kita melarikan diri dari kenyataan tapi karena kita fokusnya bukan pada diri tapin kepada yang lain. Dalam hal ini kita mengerti suatu istilah altruism. Altruism itu berasal dari kata alter yaitu sesuatu yang lain. Ini justru lawan kata dari egoism. Egoism itu fokus kepada diri, tapi altruism itu justru fokus kepada yang di luar diri. Kalau kita mengerti justru inilah yang menjadi jawaban yang saya pikir lebih baik ketika bicara penderitaan, yaitu kita bukan lagi fokus kepada diri tetapi fokus kepada yang di luar sana. Tapi berapa banyak dalam kehidupan kita itu terlalu peka dan memperhatikan apapun yang berkaitan dengan diri kita, keluarga kita, pekerjaan kita, usaha kita, dan semuanya tentang kita; me, me and me. Dan kita bisa sampai terlalu peka dan memperhatikan apa yang orang katakan tentang diri kita, maupun apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Jadi bawaannya fokus pada diri, kapan kita pikirkan orang lain?
Kadang-kadang saya pikir, dalam konteks kita GRII, menarik kalau kita melihat pelayanan di GRII itu orang kalau disuruh pelayanan, misalnya “Ayo KKR Regional.” “Oh takut lah Pak, nanti sesatin orang, nanti kalau persiapan nggak bagus nanti sesat.” Ya betul juga sih punya perasaan seperti itu, jangann sampai sesatkan orang, tapi bukan lantas karena kita takut menyesatkan orang lalu kita pikir “ya sudahlah kita nggak usah lakukan apa-apa. Ya sudahlah daripada saya sesatkan orang ya saya diam, saya nggak ikuti, saya pasif aja.” Trus nanti suatu saat kita bertemu Tuhan, “Oh Tuhan, tenang, saya tidak sesatkan siapa-siapa.” Nggak, Tuhan akan tanya, “Berapa banyak penyesatan di luar sana dan engkau diam saja.” Berapa banyak oranng di luar sana yang terhilang di dalam pengaruh sekularisme, atheism, dan banyak falsafah-falsafah dunia tapi malah kita diam saja, kita yang punya kebenaran tapi kita tidak bersuara kepada mereka malah kita terlena dalam kenyamanan kita dan membiarka orang-orang sekitar kita bergumul dalam kesesatan mereka, dan kita berpangku tangan saja. Biar kita mengingat sin itu ada 2 macam, sin by comission and sin by omission. Sin by comission yaitu kita aktif melakukan apa yang dilarang Tuhan, tapi ada juga sebaliknya yaitu kita secara pasif tidak melakukan apa yang Tuhan perintahkan. Dua macam dosa. Betul ada dosa yang orang secara aktif melakukan pennyesatan, tapi jangan pikir kamu juga tidak berdosa ketika kamu pasif membiarkan begitu banyak kesesatan dan kamu berpangku tangan saja, itu sin by omission. Tentu kita setuju pengajar itu harus benar dan bertanggung jawab, tapi berapa banyak justru kita belajar mempersiapkan diri kita sedemikian. Dan bukan fokus kepada diri, jika fokus kepada diri selalu orang akan bilang saya tidak pernah siap, kapan kita siap? Tapi justru dalam kegentaran itulah kita maju dalam pelayanan, dan di situlah kita melihat Tuhan memimpin ketika kita mengerjakan itu bergantung kepada Dia dan bukan karena self confidence tetapi berganntung kepada Tuhan.
Kembali ke bagian ini, Paulus itu justru tidak iri dengan orang yang di luar sana yang bisa lebih aman, tapi justru dia bisa bersukacita bagi orang di luar sana. Dalam kehidupan kita sering kita bisa nggak sih bersukacita untuk orang yang mendapat berkat? Kita kan kadang kalau ada kesulitan, “Oh Pak, tolong doakan ini saya belum dapat jodoh.” OK sini semua pemuda didoakan, eh temannya duluan dapat jodoh, kita bisa nggak juga berdoa “Bersyukur Tuhan, dia sudah dapat jodoh. Bersyukur Tuhan, doanya dijawab. Bersyukur Tuhan, dia sembuh meski saya masih sakit” kenapa? Karena kita harusnya fokus bukan pada diri tapi pada di luar, karena toh Tuhan menjawabnya. Di sini kita melihat altruism itu sendiri dilihat sebagai suatu medication of egoism, jadi obat bagi egoisme kita sehingga tidak fokus pada diri sendiri. Kadang-kadang kita juga kan melihat, ini dalam realita, ketika misalnya dalam satu keluarga itu sakit. Dalam satu keluarga itu jika mulai entah pada anaknya atau papanya duluan sakit, karena serumah maka menjalar satu persatu sakit, satu flu semuanya flu. Tapi menariknya, biasanya ketika satu persatu sudah tumbang, bapaknnya sudah tepar, anaknya sudah nggak jelas, biasanya ibunya yang masih kasih obat kepada suami dan anak-anaknya. Saya percaya sebenarnya ketika kita menguji secara klinis mungkin dia juga sakit, tapi dia pikirnya bukan cuma melihat saya tapi altruism, itu semangat untuk melihat kepada yang di luar, bukan kepada diri. Dan terlebi di sini kita melihat Paulus ketika di tengah penderitaannya di dalam pemenjaraan di penjara justru yang dia utarakan itu bukan, “Oh lihat saya di penjara susah ini,” tapi justru dia mengatakan, “Aku mengucap syukur kapada Allahku setiap kali aku melihat kamu, dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam berita injil, mulai dari hari pertama sampai sekarang ini.” Fokus kepada yang di luar. Menarik di sini kita lihat dalam kehidupan Paulus, justru dalam pemenjaraannya dia berdoa bagi orang yang di luar. Ayo kita kalau berdoa isinya apa? Aku dan aku kan? Kesulitanku, pergumulanku, keluargaku, adikku, anakku, semuanya ku, ku, ku, kapan kita doakan buat dia, kapan kita doakan buat yang lain? Tapi Paulus di tengah kesulitannya justru dia menemukan sukacita dan bisa mengucap syukur karena melihat kamu. Paulus tidak mengucap syukur karena dipenjara, tidak, Paulus ini nggak gila kok, “Tetapi aku mengucap syukur setiap kali aku melihat kamu, karena engkau di luar sana lebih baik, berarti Tuhan masih pelihara kehidupanmu, berarti injil yang aku beritakan tidak sia-sia, bahwa masih ada orang di luar sana yang percaya.” Dan ini yang didoakan oleh Paulus.
Menarik ketika di dalam commentary dari Grant Osbourne untuk surat ini, dia mengatakan ada 3 unsur di dalam doa Paulus ini. Yang pertama, dia bersyafaat. Bayangkan ya, di penjara dia syafaat untuk orang yang di luar penjara. Kita yang di luar penjara aja kapan kita mau doakan orang yang di dalam penjara? Di dalam doanya ini Grant Osbourne mengatakan pertama kali ada bicara frekuensinya, yaitu dia “setiap kali aku ingat kamu,” berarti dia terus berulang-ulang mengingat orang lain. Berapa banyak dala kehidupan kita itu kita mau berdoa bagi orang lain? Biasa kan kalau kita disuruh, “Oh doakan saya ya,” “Oh iya iya saya doakan,” kita doakan sekali, besoknya? Nggak ada ingat. Tapi kalau kesulitan, penderitaan kita, kita doakan terus, pagi, siang, malam, “Tuhan tolong, Tuhan tolong.” Kapan kita juga berdoa dengan bertekun bagi orang luar? Itu baru mengerti apa artinya doa. Dan di sini itu yang Paulus katakan, dia berulang kali, setiap kali mengingat jemaat Filipi dia terus mengucap syukur karena Tuhan berarti memelihara mereka, dan dia terus berdoa untuk mereka. Bicara frekuensinya, berulang-ulang. Kita kalau dalam pelayanan pun, misalnya KKR, oh ada banyak sesi-sesi, oh doakan ya ini untuk pelayanan KKR, kita doakan sesi kita, kita doakan nggak sesi yang lain? Kalau hari ini Pak Dawis khotbah di Solo, kita doakan nggak untuk yang di Solo? Itu baru kita mengerti altruism, itu baru kita pikir untuk yang lain, bukan hanya bagiku, bukan hanya bagi gerejaku, bukan hanya bagi keluargaku, tapi juga bagi yang lain. Mereka itu membutuhkan doa kita.
Dan yang kedua, Grant Osbourne mengatakan dia fokus kepada yang di luar. Memang demi injil dia ditahan dalam penjara tapi dia bersyukur karena dia lihat injil itu bisa sampai kepada orang-orang dann terus mereka hidupi dan terus mereka beritakan kemana saja, dan mereka justru semakin bergiat mengerjakan pelayanan itu. Jadi fokusnya itu, pertama berbicara kepada Tuhan yaitu frekuensinya paling banyak kita doakan itu apa, lalu fokusnya kepada siapa, yang diluar kah atau yang di dalam? Berapa banyak orang itu sampai sudah dewasa, berpuluh tahun jadi Kristen, tetap isi doanya egois. Kalau anak kecil saya nggak heran ya, ya memang anak kecil egois, tapi kita kalau sudah dewasa masih terus fokus ke diri berarti kita sebenarnya rohani masih kanak-kanak. Justru orang dewasa itulah bisa fokus kepada yang di luar dan bukan pada dirinya sendiri. Dan ketika dia berfokus itulah sungguh ternyata suatu sukacita. Di sini kita melihat kehidupan Kristen itu adalah sesuatu yang diwarnai dengan hidup yang penuh sukacita. Suatu sukacita bukan karena kita dapat berkat terus dalam diri kita, kenyataannya memang nggak selalu toh, tapi karena ada berkat Tuhan bagi gereja-Nya dan kitapun bisa bersukacita akan hal itu. Di sini kita melihat ada campur tangan Tuhan, pemeliharaan Tuhan dalam hidup kita yang mana memimpin kita dalam suatu hidup yang bersukacita; tapi juga ada campur tangan Tuhan dalam hidup orang lain yang membawa mereka juga dan melepaskan mereka dari problem. Dan kitapun harusnya juga bisa bersukacita di tengah kesulitan yang ada selama Tuhan masih menyatakan pemeliharaan-Nya pada gereja. Kapan kita terakhir berdoa untuk yang lain? Kapan kita masih sungguh ngotot doakan untuk pekerjaan Tuhan di tempat lain, atau kita cuma ngotot tempat kita terus?
Salah satu pengkhotbah yang besar yaitu temannya George Whitfield, waktu dia hidup di zamannya itu dia juga pengkhotbah besar, juga khotbah, KKR juga, terus dan di situ makin bertambah-tambah jemaat. Kayaknya saya pertamanya kurang banyak, trus dia lihat George Whitfield itu makin besar, makin besar, kok saya tidak terlalu bertambah. Tapi terus dia akhirnya belajar, “Ya sudah, kalau Tuhan memang mau pakai dia ya saya doakan aja dia. Kita kalau fokus pada diri, “Kenapa saya tetap kecil dan dia yang besar?” Kalau Tuhan memang mau pakai dia, kita doakan dia, kenapa tidak? Yang menarik ketika temannya George Whitfield itu terus mendoakan maka Tuhan tumbuhkan gerejanya. Itu adalah jalannya Tuhan sendiri. Dan di sinilah Paulus itu mengucap syukur sekali, kenapa? Karena begitu banyak orang-orang Filipi yang tetap dalam persekutuan dalam berita injil. Di sini kalau saya kaitkan dengan apa yang Paulus sebelumnya tuliska dalam Roma, karena ini adalah Kitab yang sebelumnya dia tuliskan, dalam Roma 1:16-17 dia menyatakan injil itu apa, “Sebab aku tidak malu akan injil karena injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman.” Dan inilah yang dia syukuri, ternyata injil yang aku tidak malu ini juga tidak malu dihidupi oleh mereka. Itu yang dia lihat, itu yang dia fokuskan, dan itu yang membuat dia bersukacita. Sebenarnya kalau kita melihat Paulus di sini mau berjuang begitu banyak demi injil dan bahkan sampai dia dipenjarakan, saya percaya dalam banyak hal Paulus juga tahu kok kalau mau beritakan injil dengan cara lebih aman bisa kok. Misalnya kita perlu penginjilan dimana? Oh yang gampang gini saja Pak, dibisikin aja. Dibisikin, “Eh kamu percaya injil? Percaya Tuhan Yesus? Ya kalau percaya Tuhan Yesus pokoknya masuk sorga.” Nggak usah pakai metode apa-apa pokoknya percaya? Percaya, Oh bagus. Oh kamu nggak percaya? Ya sudah enyahlah kamu, ya karena orang Reformed kan begitu, kalau kamu nggak percaya itu dosamu, percaya berarti anugerah, terserah saya ngomongnya kayak apa. Tapi kalau kita perhatian Paulus itu sebenarnya juga tahu, bisa saja dia itu pemberitaan injilnya hanya dalam skop yang kecil-kecil dan terus yang kecil-kecil saja. Tapi kenapakah Paulus justru dengan berani memproklamasikan injil itu, berani berdiri di depan begitu banyak orang mengumandangkan injil yang justru penuh resiko? Karena dia tahu injil itu untuk banyak orang, memang untuk dikumandangkan bagi banyak orang dan bukan hanya bagi orang-orang sedikit-sedikit doang, karena injil sendiri adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan, dan itulah yang dia beritakan meskipun hal itulah yang membawa dia kepada penjara. Dia bersyukur di luar sana ada orang tetap bergiat untuk hal ini. Kembali dia fokusnya kepada orang luar.
Berapa banyakkah kita sendiri mau berjuang demi injil? Dalam kehidupan ini banyak orang justru mau berjuang mati-matian tetapi demi kekayaan kan? Kalau kita pernah ada alami misalnya pagi-pagi pergi ke bandara karena kita ambil flight pertama, biasanya ada ketemu tuh orang-orang yang pagi-pagi sudah pakaian rapi, jas, lalu sibuk telpon sana-sini, urusan bisnis. Ini jam 6 pagi, jam 6 pagi sudah rapi karena pergi ngantor, ada urusan bisnis keluar. Kita coba kira-kira besok kita adakan ibadah jam 6 pagi, datang nggak? Oh jangan lah Pak, keterlaluan, masak 6 pagi ibadah, lebih siang lah. Tapi kalau bisnis, ada panggilan telpon bos, “Ayo jam 6 pagi ini kita berangkat,” berangkat. Orang itu memang kalau mau mati-matian seringkali hanya kejar harta, kalau demi harta bangun pagipun dibela-belain, demi untung saya bangun pagipun saya kerjakan, tapi kalau ibadah ya sudahlah gerejanya diatur disesuaikan. Kapan kita yang mengatur diri kita menyesuaikan Tuhan? Itu baru kita fokus keluar, bukan pada diri. Dan belum lagi banyak orang juga fokus mengejar pada kedudukan, posisi, power itu. Kadang-kadang ada juga orang seperti itu kehidupannya terus mengejar kapan karir saya naik. Dikasih gaji cukup, pemeliharaan cukup, pikir jabatannya naik dan kadang ya sudahlah dikasih naik jabatannya jadi manajer apa gitu, kerjanya persis sama tapi dikasih jabatannya nama baru trus dia senang “hore naik jabatan.” Kayaknya dapat placebo jabatan, tapi dia senang karena orang itu kejar tahta, kejar posisi, kejar kedudukan. Di dalam orang Jawa itu ada bilang istilah harta, tahta, wanita, itu yang dikejar manusia. Coba di sini kalau ibadah itu seperti apa, saya ingat dulu kalau ibadah sering, “Jam 9, jam 9,” arah jam 9, ooh itu siapa ya? Ini fokusnya kemana lihatnya? Berapa banyak kita itu memang sungguh mencari Tuhan? Di dalam sejarah umat manusia kita melihat itulah orang mati-matian berjuang, kejar, ‘sangkal diri’ katanya, ‘pikul salib’ katanya, demi apa? Bukan demi injil, tapi demi harta, demi tahta, demi wanita, itu yang dikejar-kejar manusia. Tapi saya tanya kepadamu jemaat MRII Yogyakarta, berapa banyak kita mau mati-matian demi injil itu? Dan kita tidak malu atasnya. Ini yang dinyatakan Paulus, dan itulah dia melihat begitu banyak meski dia dipenjara tapi masih ada orang sana yang juga punya persekutuan yang sama dalam injil, dan itu dia bersukacita. Karena injil yang sejati itu bukan injil yang hanya untuk diri sendiri, itu adalah injil yang egois, tapi injil yang sejati itu sendiri altruis, justru untuk orang yang di luar.
Kalau kita mengingat apa yang dialami oleh reformator yang bernama Martin Luther, Luther sendiri mengalami pergumulan akan keselamatannya kan. Kalau kita melihat kisah Luther ya, dalam kehidupannya awal-awal itu dia kan bergumul tentang keselamatan pribadinya. Karena itu dia bolak-balik datang minta ampun pada romonya, “Romo minta ampun saya berdosanya begini,” “Ya sudah kamu diampuni Luther.” Jalan turun, ingat oh saya ada dosa ini, “Oh romo minta ampun saya ada dosa ini,” “Ya sudah kamu diampuni.” Dia jalan turun lagi lalu ingat masih ada dosa lagi, datang minta ampun lagi, bolak-balik seperti itu. Akhirnya Luther terus bergumul seperti apa kita bisa diselamatkan, seperti apa untuk kita bisa dapat kepastian keselamatan? Oh kamu coba jalan ziarah, lakukan latihan-latihan seperti ini, kamu meditasi seperti ini, kamu berpuasa, kamu lakukan ini, ini, ini. Akhirnya Luther jalani semua tetapi tetap tidak pernah bisa memberikan kepastian keselamatan. Perbuatan baik apapun Luther sadar di hadapan Tuhan kita ini berdosa, tapi apakah kepastian keselamatan kita? Yaitu kembali kepada Roma 1:16-17 inilah Luther itu sadar bahwa inilah kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh imannya.” Dan di sini menjadi suatu seperti bunyi dengung lonceng reformasi di dalam hati Luther, “Oh ternyata saya diselamatkan bukan karena perbuatan baik tapi karena anugerah Tuhan, dengan percaya kepada Kristus itulah saya dapat keselamatan, dan inilah kabar baik, inilah kabar sukacita; bahwa semua pengorbanan kematian dan kebangkitan Kristus itulah dasar keselamatan saya, bukan perbuatan saya. Itu pergumulan pribadi kan, terus dijawab Tuhan kan, setelah itu selesai? Kenapa Luther memakukan 95 tesisnya di pintu gereja Withenberg? Karena di sini kita mengerti spirit reformasi itu bukan hanya untuk saya yang tahu tapi bagaimana orang-orang di luar sana yang belum tahu. Resiko nggak dia pakukan itu? Ya resiko jelas. Dan bahkan setelah mengalami banyak pergulatan dia tahu situasinya itu dia bisa mengalami penganiayaan sampai mati. Kenapa Luther itu tidak “Ya sudahlah kamu nggak mau setuju dengan saya ya sudah yang penting saya selamat sendiri, saya sudah tahu iman yang benar, yang penting saya selamat,” tapi kenapa dia mau dengungkan reformasi itu? Karena memang kebenaran itu dan anugerah keselamatan injil itu bukan untuk diri kita sendiri tapi untuk di luar. Dan itu memang resiko, dan itulah yang didengungkan oleh Luther, kenapa? Karena altruism itu. Yang dia pikirkan justru keselamatan harus kita yakinkan selama di dunia ini, mengerti bahwa Kristus itu bukan hanya bicara “Oh Kristus yang mulia di sorga nanti,” tapi bagaimana kita juga mengalami penghinaan dan penderitaan seperti Kristus di dalam dunia ini. Dia mengerti Kristus itu now, bukan hanya nanti. Now dan here and now, itu yang harus dihidupi, dan itu harus dijalani karena inilah hal yang paling bernilai untuk diperjuangkan.
Kembali biarlah kita melihat bahwa memang Tuhan perintahkan kita untuk sangkal diri, pikul salib, dan mengikut Dia, tapi itu bukan berarti semua salib itu harus kita pikul; tidak semua salib harus kita pikul, tapi pikullah salib yang sudah Tuhan tempatkan bagi kita sesuai dengan konteks kita, sesuai dengan pergumulan kita, dan terutama demi injil-Nya karena itulah salib yang bernilai, yang berharga untuk kita pikul, yang punya nilai kekal. Bukan karena harta, bukan karena tahta, bukan karena wanita, dan hal-hal lainnya. Dan ini yang membuat Luther berjuang. Menarik di dalam kisah Luther, di akhir hidup Luther itu dia justru merasa begitu pesimis. Di awal dia begitu semangat tapi makin ke belakang itu tulisan-tulisan dia justru pesimis karena di dalam banyak hal Luther itu melihat ternyata apa yang dia bayangkan tentang reformasi itu tidak terjadi. Lho ada Pak gerejanya Lutheran. Iya, kembali Luther itu bukan mau bikin denominasi baru, dia mau perubahan dari gereja Katholik itu sendiri. Tapi dia melihat begitu banyak justru reformasi itu ditentang tak habis-habisnya dan ternyata injil yang sejati itu terus dihambat, dan begitu banyak reformator baik lainnya juga mati satu persatu. Sehingga di akhir hidupnya itu dia merasa begitu gagal. Bahkan suatu ketika itu dikatakan dalam tulisan Luther dia bangun pagi lalu bertemu dengan isterinya yang pakai baju berkabung. “Oh siapa yang meninggal?” “Yang mati suami saya.” “Lho ini saya masih hidup.” “Ya kamu hidup tapi kayak orang mati.” Jadi dia begitu pesimis, begitu apatis dalam kehidupannya, dia merasa bahwa reformasi itu gagal. Tapi saya pikir itulah yang harusnya, kalau kita pikirkan lebih dalam, biarlah kita kembali melihat seperti Paulus ini, yaitu bukan hanya melihat di dalam kacamata horisontal zaman kita, tapi yang kita perjuangkan itu untuk generasi ke depan. Luther yang dia kerjakan memang sepertinya reformasi gagal di zamannya tapi ternyata api reformasi itu masih berjalan kan sampai hari ini. Gereja kita hari ini nggak dilihat Luther, tapi biarlah kita tangkap spirit reformasi itu kiranya terus memikirkan jauh ke depan yang melampaui batas pikiran kita, dan itulah saat kita layangkan pandangan kita melampaui batasan fenomena manusia dan kita terus bersandar pada Tuhan, itulah kita lihat ada kehendak Tuhan yang melampaui apa yang Tuhan bukakan di dalam zaman kita.
Di dalam tulisan yang dituliskan Paulus, bukankah tulisannya masih kita wariskan hari ini? Ini lho tulisan orang dalam penjara. Dimana pemerintah Romawi? Sudah nggak ada. Dimana para serdadu itu? Dimana Kaisar itu? Sudah mati dihapus dalam sejarah. Tapi injil yang dituliskan dan diperjuangkan oleh Paulus terus kita hidupi, dan suratnya masih kita bacakan 2000 tahun kemudian. Inilah kalau kita mengerti, perjuangan kita, injil yang kita mengerti itu bukan hanya untuk hari ini, bukan hanya untuk kita di sini, tapi untuk generasi ke depan, dan lebih banyak lagi orang-orang di luar sana yang belum kita lihat hari ini. Biarlah kita melihat ini perjuangan kita, ini yang terus kita proklamasikan. Dan biarlah di dalam persekutuan dengan injil itulah juga mendatangkan sukacita yang sejati dalam kehidupan kita. Pertanyaannya adakah kita juga berbagian dalam persekutuan injil ini?
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]