Ef. 4:25
Pdt. Dawis Waiman, M.Div.
Bapak-Ibu Saudara yang dikasihi Tuhan, kehidupan orang Kristen sangat erat sekali dengan tindakan Allah di dalam menciptabarukan diri kita. Tanpa Allah menciptabarukan kita, kita tidak mungkin bisa menjadi orang Kristen. Tanpa Allah menciptabarukan kita, maka kita akan tetap menjadi orang-orang yang ada di dalam kuasa dosa, ada dalam suatu kekuasaan hukuman dari pada Tuhan Allah. Dan kita nggak mungkin bisa berubah dari kuasa kegelapan itu menuju kepada kuasa dari Kerajaan Allah, atau dari kerajaan kegelapan menjadi berada dalam Kerajaan Allah dengan usaha dan kemampuan atau kebaikan diri kita sendiri. Alkitab secara jelas sekali mengatakan menjadi manusia baru itu adalah tindakan Allah di dalam kehidupan kita. Menciptabarukan kita, menjadikan kita manusia yang baru. Tetapi pada waktu kita telah menjadi manusia yang baru Alkitab juga berkata kehidupan kita juga harus menyatakan kalau kita adalah manusia yang baru. Kehidupan kita tidak bisa lagi menyatakan bahwa kita ada di dalam kehidupan sebagai manusia lama tetapi betul-betul harus berpindah atau meninggalkan kehidupan yang lama, memiliki kehidupan yang baru. Ini istilah yang dipakai adalah kita pasti akan mengalami suatu perubahan yang radikal ketika kita menjadi seorang yang ada di dalam Kristus. Nah, makanya Paulus di dalam bagian ini berkata, ketika kita menjadi manusia baru kita harus menanggalkan manusia lama kita, dan kita harus mengenakan manusia baru yang Tuhan telah berikan dalam kehidupan kita.
Dan pada waktu kita berkata menanggalkan manusia lama, mengenakan manusia baru, pertanyaannya, kapan itu terjadi? Kadang-kadang kita sebagai orang Kristen berpikir “Saya mau percaya kepada Kristus,” baik, tetapi kehidupan saya di dalam iman kepada Kristus, itu nanti saja baru dinyatakan di kemudian hari setelah jauh dari saya beriman kepada Kristus. Tetapi pada waktu kita melihat kepada bahasa asli daripada kalimat Paulus di tempat ini, yaitu kata kerja yang digunakan untuk menyatakan “menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru”, kata yang digunakan itu menunjukkan peristiwa menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru, itu adalah peristiwa yang terjadi di saat kita percaya kepada Yesus Kristus. Jadi kita bukan percaya dulu, lalu kemudian hari kita baru melakukan apa yang kita imani tersebut. Tetapi pada detik kita percaya kepada Kristus, pada detik itu juga, kita sebagai orang Kristen harus menyatakan kita adalah orang Kristen, kita adalah orang yang hidup di dalam Kristus dan kita adalah orang yang sudah dilahirbarukan oleh Kristus di dalam kehidupan kita.
Nah, Bapak-Ibu Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita menggunakan istilah simbol kapan perubahan itu terjadi, maka kita bisa katakan ketika orang Kristen menyatakan diri dia di hadapan jemaat dan di hadapan Tuhan sebagai orang Kristen melalui baptisan yang dia terima; pada detik itu dia harus mengalami perubahan hidup dari manusia lama, menjadi manusia baru. Dan ini adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat: dua hal yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Manusia lama, manusia baru. Kehidupan lama berubah menjadi kehidupan baru. Orang yang manusia baru memiliki pembaharuan di dalam pikiran. Paulus berkata secara jelas sekali, ini adalah dua hal yang sangat erat sekali, berkaitan dan nggak mungkin bisa kita pisahkan satu dari yang lain. Misanya ambil contoh seperti ini: Kalau kita menjadi manusia baru, apa yang membuat kita bisa tahu kalau kita adalah manusia baru? Pemikiran yang diperbaharui; itu yang membuat kita bisa mengerti kita adalah manusia baru. Sebagai manusia baru, apa yang akan kita pikirkan? Paulus berkata, sebagai manusia baru, kita pasti memikirkan hal-hal yang baru. Jadi kita ndak mungkin bisa memikirkan sesuatu yang baru kalau kita belum diperbaharui terlebih dahulu. Kalau kita belum diperbaharui terlebih dahulu, dan diberikan pemikiran yang baru, kita ndak mungkin mengerti kalau kita adalah orang yang sudah diperbaharui oleh Tuhan Allah. Jadi itu sebabnya ketika kita baca tulisan-tulisan dari Paulus, Paulus selalu berkata kepada jemaat Efesus atau orang Kristen dengan kalimat, “Ingatlah, kamu adalah orang yang baru. Kamu tidak boleh lagi hidup menurut kehidupan yang lama. Kamu sekarang adalah orang yang sudah ditebus oleh Kristus yang menyelamatkan, anugerah Kristus, kamu adalah orang yang hidup di dalam terang dan kasih karunia Kristus. Maka jangan lagi hidup seperti orang yang ada di dalam kegelapan, yang tidak ada di dalam kasih karunia Kristus.” Itu hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang sudah ditebus oleh Kristus. Tanpa penebusan, tanpa karunia kelahiran baru, kita pasti tidak mengerti apa yang Kitab Suci ajarkan, dan kita tidak mungkin mengerti pentingnya memiliki kehidupan yang baru dalam diri kita yang percaya kepada Kristus.
Nah, Yesus juga sebenarnya mengajarkan hal ini. Kalau Bapak-Ibu melihat dan membaca misalnya Khotbah di Bukit, Matius (pasal – red) lima, enam, dan tujuh di situ, kita bisa melihat prinsip yang sama diajarkan oleh Tuhan Yesus yang saya percaya Paulus pun belajar dari hal tersebut. Bapak-Ibu bisa melihat, sebagai orang yang ada di dalam Kerajaan Allah, Yesus berkata apa? Dia harus mengalami suatu pemikiran yang berbeda dari orang dunia. Dia harus memiliki suatu cara bicara yang berbeda dari orang dunia. Dia harus memiliki suatu tindakan atau perilaku yang berbeda dari orang dunia. Dia harus memiliki sesuatu motif yang berbeda dari orang dunia. Dan dia harus memiliki suatu Ibadah yang berbeda dari orang dunia. Siapa orang percaya? Orang percaya adalah orang-orang yang bisa dikatakan orang yang begitu gampang dilihat perbedaannya dari orang dunia. Ketika orang melihat kehidupan dari orang Kristen, mereka langsung tahu, walau pun tidak ada simbol-simbol salib dan lain-lain, mereka langsung bisa tahu ini pasti orang Kristen dan mereka berbeda dari kami atau mereka tidak sama dengan kami. Kalau mau diilustrasikan, itu bisa seperti pakaian yang mencirikan profesi dari seseorang di dalam pekerjaannya. Di dalam dunia kita, dalam negara kita dan bahkan mungkin dunia, kita bisa mengenali profesi seseorang berdasarkan apa yang mereka pakai. Misalnya, seorang tentara memakai baju loreng-loreng hijau. Seorang pejabat sipil memakai baju coklat. Seorang polisi dengan seragam mereka sendiri sebagai seorang polisi. Begitu kita lihat seragam mereka kita langsung tahu, siapa mereka. Identitas mereka itu apa. Nah pada waktu orang melihat kehidupan kita sebagai orang Kristen baik dari kita punya cara bicara, perilaku kita, apa yang menjadi motif kita dalam melakukan sesuatu, dan bagaimana kita beribadah mereka harusnya bisa langsung mengerti “Ini orang Kristen, ini adalah anak Tuhan”, yang berbeda dengan diri mereka. Nah, Yesus sendiri di dalam pasal 7 (dari Matius – red) mempertegas hal ini dengan lebih tegas lagi. Yesus berkata, “Siapa anak Tuhan?” Anak Tuhan itu bukan orang yang mengatakan dirinya “Aku percaya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.” “Bukan orang yang memanggil Aku, ‘Tuhan, Tuhan’ yang ada di dalam Kerajaan Surga, tetapi mereka adalah orang yang membuktikan perkataan iman mereka yang percaya kepada Kristus itu melalui hidup yang mereka nyatakan di hadapan orang lain.” Itu adalah orang yang ada di dalam Kerajaan Surga. Jadi, menjadi anak Tuhan, baik Yesus mau pun rasul Paulus, mau pun rasul-rasul yang lain, mengatakan pasti ada suatu perbedaan, dan perbedaan itu pasti bisa dilihat oleh orang-orang dunia. Kalau tidak apa yang terjadi? Yesus berkata, itu hanya menyatakan kemungkinan bahwa kita bukan orang Kristen. Itu hanyalah menyatakan bahwa kita bukanlah orang-orang yang ada di dalam – dari Kerajaan Allah tersebut. Itu hanya menyatakan bahwa kita bukanlah orang-orang yang sudah dilahirbarukan dan menjadi manusia baru.
Saudara, hal yang sangat keras sekali, yang Yesus katakan, tetapi saya percaya kita harus mendengar ini dan kita harus memercayai ini sebagai suatu kebenaran. Karena ketika Tuhan menebus kita dari dosa, Tuhan menebus itu bukan hanya dengan uang, bukan hanya dengan sesuatu yang murahan, tetapi dengan nyawa Anak-Nya sendiri. Nah, pada waktu Dia menebus kita dengan nyawa Anak-Nya sendiri yang Kudus itu, kita nggak bisa menerima keselamatan saja dari Dia dan menginginkan dari keselamatan saja, tapi kita juga pasti menginginkan suatu kehidupan yang kudus. Karena apa? Karena Tuhan sudah memberikahn Roh-Nya yang Kudus di dalam kehidupan kita. Roh yang Kudus itu berarti Roh yang berbeda dari dunia, yang terpisah dari dunia, Roh yang mentaati Allah Bapa, Roh yang mentaati apa yang dikehendaki Yesus Kristus, dan itu semua adalah sesuatu yang Kudus. Karena itu ketika kita ada dalam kehidupan sebagai anak-anak Tuhan yang mengatakan dengan mulut kita, kita percaya kepada Kristus, maka yang terjadi adalah kita pasti memiliki suatu kehidupan yang kudus di hadapan Tuhan yang berbeda daripada kehidupan orang-orang dunia. Makanya Paulus berkata di dalam ayat yang ke-24, ketika kita mengenakan manusia baru, maka kita juga mengenakan kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.
Saudara, sekali lagi saya katakan, kapankah itu terjadi? Nantikah? Waktu saya sudah tuakah? Waktu saya sudah tahu umur saya sudah tidak panjang lagi baru saya mau berkomitmen untuk hidup kudus di hadapan Tuhan? Paulus berkata bukan. Tetapi pada waktu kita percaya kepada Kristus, itu saatnya kita mengalami perubahan. Jadi hidup kita sebagai orang Kristen, kita nggak bisa hanya menjadi orang yang bernostalgia dengan iman kita yang masa lalu. Saat saya ditanya, mau percaya Kristus atau tidak, lalu saya berkata saya percaya kepada Kristus, tetapi selama hidup saya saya tidak mencerminkan iman saya kepada Kristus, tapi yang saya lakukan adalah walau pun saya tidak memiliki perbuatan yang mencerminkan iman, saya terus ingat masa lalu, saya pernah percaya kepada Kristus, saya anak Tuhan, saya percaya kepada Kristus. Tapi kehidupannya tidak mencerminkan anak Tuhan sama sekali. Tapi pada waktu diri kita menyatakan bahwa kita adalah orang Kristen, itu adalah sesuatu yang bersifat present. Sesuatu yang sekarang ini yang harus terus-menerus kita nyatakan. Pertobatan itu, untuk percaya kepada Kristus, itu adalah sesuatu yang terjadi satu kali di masa lalu kita, pada waktu kita beriman kepada Kristus. Tapi pada saat kita hidup di dalam iman itu, saya yakin setiap orang Kristen pasti akan selalu mengalami pertobatan setiap hari di dalam kehidupannya. Suatu perubahan dari manusia lama untuk menjadi semakin nyata di dalam manusia baru. Itu akan terus terlihat dalam kehidupan kita. Makanya menjadi orang Kristen itu tidak hanya bisa bernostalgia terhadap apa yang telah Tuhan Allah kerjakan di masa lalu kita, tetapi kita harus bisa selalu melihat secara jelas pimpinan Tuhan yang jelas, dan karya Tuhan yang jelas dalam kehidupan kita sekarang ini juga. Saat ini, ketika berjalan bersama-sama dengan Kristus. Lalu, pada waktu kita berbicara sebagai orang Kristen, sebagai orang yang sering dilahirbarukan dan memiliki kehidupan yang baru sebagai manusia baru, harus mengalami perubahan dan kekudusan di dalam kehidupan kita.
Lalu aspek apa yang harus kita nyatakan di dalam kebenaran dan kekudusan itu? Bagaimana kita menghidupi kehidupan kita sebagai orang yang sudah ada di dalam Kristus itu? Kalau di sini Paulus memberikan aplikasi-aplikasi yang begitu mendetail sekali mengenai cara hidup orang Kristen yang kita bisa baca dari ayat 25 pasal yang ke-4 sampai pasal terakhir daripada Efesus. Begitu detail, begitu menyatakan bahwa apa yang menjadi kebenaran doktrin, teologi, itu pasti bisa kita terapkan di dalam kehidupan kita sebagai anak-anak Tuhan. Nah, apa yang ingin Paulus katakan di dalam ayat 25? Paulus berkata, “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.” Hal pertama yang Paulus ingin lihat dari kehidupan kita sebagai orang yang sudah ditebus dan dilahirbarukan oleh Tuhan adalah membuang dusta dan berkata benar. Kenapa Paulus bicara seperti ini? Saya akan bahas itu. Tetapi sebelum kita membahas hal itu saya ingin menyatakan ada dua hal yang kita perlu perhatikan. Hal yang pertama adalah pada waktu Paulus menuntut kita untuk hidup sebagai manusia baru lalu memberikan aplikasi ia mengatakan bahwa buanglah dusta dan berkata yang benar di hadapan orang– maka itu menunjukkan bahwa, ketika kita beriman kepada Tuhan, maka iman kita bukan hanya berbicara mengenai tidak melakukan apa yang Tuhan larang, tetapi iman itu juga berbicara melakukan sesuatu yang benar dan baik. Banyak orang berpikir seperti ini ya: Pada waktu saya hidup sebagai orang Kristen, kehidupan saya yang taat dan setia kepada Tuhan itu dinilai dari aspek apa? Oh saya tidak melanggar apa yang Tuhan larang dalam kehidupan saya. Jadi kalau Tuhan bilang, “Jangan berdusta!” – ya jangan berdusta. Kalau Tuhan bilang, “Jangan membunuh” – ya, saya tidak membunuh. Kalau Tuhan bilang, “Jangan mencuri!” – saya tidak mencuri. Kalau saya tidak melakukan apa yang Tuhan larang itu, atau apa yang tidak diperbolehkan oleh Tuhan, maka itu menyatakan saya adalah orang yang baik. Betul tidak? Saya adalah orang yang benar. Betul tidak? Pada waktu kita membaca ayat 25 ini, pasti konotasi atau kesan pertama kita langsung: dibawa kembali kepada apa yang Tuhan berikan di dalam Keluaran pasal 20. Di dalam pasal 20 itu dikatakan: “Jangan bersaksi dusta.” Yang di sini digunakan, “Buanglah dusta daripada kehidupan kita sebagai anak-anak Tuhan.”
Tapi, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, Paulus ketika berbicara mengenai keadaan ini, dia tidak berhenti di dalam hanya berkata, “Buanglah dusta”. Tapi, dia sertai di belakangnya itu dengan kalimat, “Berkatalah benar”. Artinya apa? Pada waktu kita hidup sebagai orang Kristen dan ketika kita hidup sebagai orang Kristen dan kita tidak berbohong, Paulus ngomong, “Tunggu dulu, kamu tidak berbohong, bukan berarti kamu sudah benar di hadapan Tuhan. Itu mungkin sebagian dari kebenaran yang kamu lakukan dalam kehidupanmu. Tapi dengan diamnya dirimu, itu tidak langsung harus menyatakan bahwa engkau adalah benar.” Mungkin engkau sedang diam untuk menyetujui sesuatu kesalahan. Kamu memang nggak berbohong. Kamu memang nggak berkata: Itu adalah sesuatu yang benar, seperti itu, walaupun itu salah. Tapi pada waktu kita diam, mungkin sebenarnya kita sedang berkompromi terhadap kesalahan yang dikatakan atau diperbuat oleh orang lain. Dan itu sebenarnya menjadikan kita juga adalah orang yang berdosa. Jadi, pada waktu Alkitab berbicara mengenai suatu perbuatan jahat, suatu perbuatan yang berdosa, Alkitab bukan hanya berkata: Oh berbuat jahat dan berdosa itu adalah suatu tindakan yang melanggar hukum Tuhan, atau melakukan suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang Tuhan katakan. Tetapi Alkitab juga mengatakan: Ketika kita tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan, itu berarti kita juga sudah berdosa. Makanya di bagian ini Paulus berkata, “Kamu bukan hanya harus buang dusta, tetapi kamu harus menggantikan itu atau menambahkan itu dengan suatu perkataan yang benar, yang kamu katakan.” Ini Yakobus juga katakan secara jelas sekali. Kita buka sama-sama ya, Yakobus 4:17, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” Jadi, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kita mungkin bisa berkata, saya orang yang baik, waktu saya tidak melanggar 10 perintah Allah yang berkata: Jangan ini, jangan itu, jangan ini, jangan itu. Tapi pada waktu kita melihat ada kejahatan di depan kita terjadi, kita diam, kita berdosa. Apabila kita mengetahui ada sesuatu yang baik, yang harus kita lakukan, tetapi kita diam dan tidak melakukan itu, kita berdosa. Ini adalah tuntutan daripada Taurat Tuhan dalam kehidupan anak-anak Tuhan. Dan ini juga adalah tuntutan dari Tuhan bagi orang-orang yang sudah diciptabarukan dan dilahirbarukan oleh Roh Kudus di dalam Yesus Kristus. Ini yang membuat kita berbeda dari orang dunia.
Nah, hal yang kedua adalah, pada waktu kita sudah dilahirbarukan dan hidup sebagai manusia baru, maka kehidupan untuk menanggalkan manusia yang lama menjadi manusia yang baru, itu adalah sesuatu tindakan yang mungkin kita harus lakukan bukan dengan cara berdoa. Saya berkata seperti ini, mungkin agak menjadi hal yang mengagetkan ya? Mungkin kita akan berpikir, “Oh orang Kristen kan diminta dan diperintahkan oleh Tuhan untuk berdoa, selalu berdoa.” Tetapi kenapa saya berkata: Hidup sebagai orang yang ada di dalam kehidupan manusia baru, dengan menanggalkan manusia lama, itu adalah suatu kehidupan yang bukan dilakukan dengan doa. Dan mungkin harusnya adalah saat kita ingin memiliki kehidupan yang baru itu, saya bisa katakan, itu bukan sesuatu yang kita perlu minta kepada Tuhan dalam doa kita. tetapi di dalam tindakan kita dan di dalam pikiran kita. Bahkan, mungkin saya bisa berkata seperti ini: Ketika seseorang mengira kalau dia bisa mengubah diri dia untuk memiliki kehidupan kudus melalui doa, maka itu mungkin saja adalah tipu muslihat iblis. Karena apa? Karena kita berpikir, mungkin kita berpikir seperti ini: “Saya adalah orang yang percaya kepada Kristus. Tetapi pada waktu saya percaya kepada Kristus, saya adalah orang yang juga lemah. Karena itu saya masih jatuh di dalam dosa. Kalau saya adalah orang yang lemah, saya masih jatuh di dalam dosa, walaupun saya adalah orang yang percaya kepada Kristus, apa yang harus saya lakukan? Saya harus berdoa kan? Saya minta kepada Tuhan untuk memberikan kuasa dan kekuatan hidup kudus di hadapan Tuhan dan di hadapan manusia.” Tapi begitu Saudara selalu berdoa seperti ini: minta Tuhan memberikan kuasa untuk hidup kudus dan hidup dalam kekudusan, dan hidup secara benar di hadapan orang lain. Saya tanya: Bapak, Ibu, Saudara berhenti tidak melakukan dosa dan memiliki kehidupan yang kudus? Berhenti, tidak? Jujur! Yang berbuat dosa, doa minta Tuhan untuk tinggalkan dosa, masih dosa tidak? Masih! Lalu setelah lakukan dosa, makin frustasi lagi nggak? Makin doa lagi kepada Tuhan, minta kasih kehidupan yang kudus. Masih dosa lagi nggak? Masih. Persoalannya di mana? Persoalannya adalah, kita berpikir kita lemah. Melalui doa itu kita berpikir, kita tidak mampu. Melalui doa itu kita berpikir bahwa solusinya itu ada di dalam tangan Tuhan, bukan pada diri kita. Itu sebabnya kita datang kepada Tuhan, kita meminta pertolongan dari Tuhan, tapi makin meminta pertolongan dari Tuhan, yang terjadi adalah kita makin jatuh dan terjerumus dalam dosa. Itu sebabnya saya berkata, kemungkinan ini bisa jadi adalah suatu tipu muslihat iblis, karena kita berpikir bahwa Tuhanlah yang menyelesaikan segala sesuatu. Padahal Alkitab berkata: Tuhan sudah memberi kuasa bagi setiap anak Tuhan untuk memiliki kehidupan yang kudus.
Agustinus itu pernah berbicara dengan istilah latin, kalau Saudara masih ingat, ada istilah:
Posse peccare. “Posse”– itu berarti dapat atau mampu. “Peccare” itu berbicara mengenai dosa. Jadi kalau bicara mengenai “posse peccare”, itu berarti dapat berdosa. Nah, pada waktu orang sebelum jatuh di dalam dosa, waktu manusia pertama dicipta oleh Tuhan Allah, dia statusnya apa? Dia tidak berdosa, statusnya, tapi dia bisa berdosa, jadi istilah latinnya adalah “Posse peccare”. Lalu setelah dia jatuh di dalam dosa, hidup sebagai manusia yang berdosa, apa yang terjadi? Dia bisa tidak melakukan suatu kebenaran dalam kehidupan dia? Agustinus bilang: Tidak bisa tidak, dia pasti akan selalu melakukan dosa. Istilah latinnya adalah “Non posse non peccare” – tidak mampu tidak berdosa. Lalu setelah dia ditebus oleh Kristus, dia hidup sebagai anak Tuhan, apa yang terjadi? Dia bisa tidak berdosa, istilah latinnya adalah “Posse non peccare” – bisa tidak berdosa. Lalu ketika dia hidup di dalam kesempurnaan di sorga bersama dengan Kristus, yang terjadi adalah dia tidak mungkin lagi berbuat dosa, istilah latinnya adalah tidak mampu berdosa – “Non posse peccare”.
Posse peccare
Non posse non peccare
Non posse peccare
Posse non peccare
Itu kehidupan orang Kristen. Jadi mau menyatakan apa? Saya mau soroti bagian yang ketiga ya. Agustinus berkata seperti ini, “Pada waktu engkau hidup sebagai orang yang sudah ditebus oleh Kristus, jangan berpikir kamu akan selalu hidup dalam dosa dan hanya bisa berbuat dosa lagi. Itu adalah orang yang belum ditebus oleh Kristus. Orang yang sudah ditebus oleh Kristus adalah orang yang mampu untuk tidak berdosa, mampu untuk hidup benar di hadapan Tuhan, karena apa? Karena Tuhan sudah memberikan kuasa itu dalam kehidupan setiap orang percaya. Maka pada waktu kita diminta untuk menanggalkan manusia yang lama, hidup sebagai manusia yang baru. Persoalannya adalah bukan hanya berdoa minta Tuhan memberikan kuasa untuk hidup sebagai manusia baru, kuasa untuk hidup sebagai manusia baru, kekuatan untuk hidup benar di hadapan Tuhan. Tetapi yang kita perlu lakukan adalah: mungkin kita perlu berpikir, “Hidup sebagai manusia baru itu bagaimana?” mungkin kita perlu berpikir, “Allah itu yang kita sembah itu seperti apa?” ini kita perlu merenungkan, “Karakter seperti apa yang Tuhan kehendaki dalam kehidupan kita, sebagai orang yang sudah ditebus oleh Kristus.” Dan apa yang menjadi kesaksian kita yang kita tampilkan di hadapan orang lain. Bagaimana orang melihat kita hidup seperti ini, kalau kita terus senantiasa hidup di dalam dosa. Apakah itu menjadi sesuatu yang baik di mata orang, atau tidak? Dan kita perlu mengambil komitmen untuk hidup secara benar di hadapan Tuhan.
Saya ambil contoh seperti ini ya, kadang-kadang ada orang yang hidup di dalam rasa takut yang begitu hebat sekali. Benar-benar takut, sampai membuat dia nggak bisa lakukan apapun. Mungkin tidur sulit, mau keluar rumah sulit, dan yang lain-lain sulit. Problemnya di mana? Dia doa kepada Tuhan untuk singkirkan rasa takut itu, tapi rasa takut itu tidak disingkirkan-singkirkan. Lalu bagaimana cara menyelesaikannya? Saya percaya, doa perlu, tetapi kunci permasalahannya bukan hanya di doa itu. Kenapa orang memiliki rasa takut yang besar sekali. Ada hal apa di balik itu? Saudara boleh coba tarik aplikasi yang lain, kehidupan Saudara di dalam pergumulan yang Saudara nggak pernah bisa keluar dari persoalan itu. Saya tanya, kenapa dia punya rasa takut yang begitu hebat? Coba tanya diri, bagaimana pengenalan kita akan Allah? Siapa Allah yang kita kenal, atau Saudara kenal dalam kehidupan Saudara? Apakah Dia adalah Allah yang Maha Kuasa yang sanggup melindungi hidup Saudara? Atau Dia adalah Allah yang terbatas di dalam kekuasaannya untuk melindungi hidup Saudara. Kalau Saudara punya konsep: aku takut ini, takut itu. Saya nggak bisa lakukan apapun karena saya begitu takut sekali. Mungkin dalam konsep Saudara adalah, Allah nggak mampu untuk menyelamatkan Saudara dan melepaskan Saudara daripada satu kondisi yang membuat Saudara begitu merasa ketakutan. Coba balik kepada Kitab Suci, Alkitab bilang apa? Allah itu mengatur segala sesuatu dan memimpin segala sesuatu yang diistilahkan dengan providensi. Jadi bukan hanya mencipta lalu meninggalkan ciptaan-Nya tetapi Allah setelah mencipta Dia memelihara ciptaan-Nya dan Dia mengarahkan ciptaan-Nya untuk menggenapi apa yang Allah kehendaki dalam rencana Allah. Dan ini membuat Allah pasti mengatur segala sesuatu bahkan hal-hal yang kecil dalam kehidupan kita itu juga diatur oleh Tuhan Allah. Makanya ada bagian dalam Kitab Suci yang berkata dadu dilempar jatuh nilai berapa itu ada di dalam ketetapan Tuhan, rambut kepala kita ketika jatuh itupun dalam kehendak Tuhan, dan Tuhan sanggup menghitung semua jumlah rambut di kepala kita. Ada kalimat yang berkata, “Engkau yang setia pada perkara kecil akan dipercayakan perkara yang besar, tapi kalau engkau menghendaki perkara yang besar tanpa bersetia pada perkara kecil maka kita nggak mungkin akan dipercayakan perkara yang besar.” Ini adalah prinsip Allah, cara kerja Allah, pribadi Allah, karakter Allah yang Kitab Suci ingin nyatakan bagi kita. Nah kalau kita mengerti Allah kita seperti ini, Dia maha kuasa, Dia sanggup mengatur segala sesuatu, kehidupanku ada di tangan Tuhan, kalau Tuhan berkehendak saya nggak mati walaupun seribu orang jatuh di kiri-kanan saya, saya juga nggak akan mati; saya tanya, masih perlu rasa takut nggak? Nggak, tapi persoalannya cara matinya gimana gitu ya? Itu yang bikin takut ya?
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya percaya Tuhan tahu yang terbaik dalam kehidupan kita. Dan Tuhan ingin kita berubah di dalam pemahaman kita akan diri Dia, pengertian kita akan kebenaran firman, merenungkan itu bukan cuma ketika kita jatuh dalam dosa, jatuh dalam suatu kelemahan langsung berdoa minta pada Tuhan tolong, tolong, tolong, tanpa merenungkan siapa Allah kita, siapa identitas kita sebagai orang Kristen, tapi kita perlu mengetahui, memikirkan dulu, “Saya anak Tuhan, wajar tidak sebagai anak Tuhan saya hidup seperti ini? Allahku itu siapa?” Walaupun saya jatuh dalam dosa, saya perlu memikirkan itu, “Allahku siapa? Seharusnya saya hidup seperti apa?” Baru kita doa minta pengampunan dari Tuhan dan kekuatan dari Tuhan, dan berkomitmen untuk hidup secara benar di hadapan Tuhan. Makanya Paulus di bagian ayat 25, ketika dia berbicara di ayat 22-24 bagaimana hidup sebagai manusia baru yang menanggalkan manusia lama, Paulus nggak langsung masuk ke dalam aplikasi: “Karena itu mari kita bersama-sama berdoa di hadapan Tuhan untuk Tuhan berikan kuasa hidup sebagai orang yang benar di hadapan Tuhan,” tapi langsung Paulus berkata, “Tinggalkan dusta, berkatalah benar satu dengan yang lain,” karena itu yang harus kita lakukan, itu yang harus kita komitkan dalam kehidupan kita sebagai orang percaya.
Apa yang dimaksud oleh Paulus dengan dusta yang harus kita buang dan tinggalkan? Saya percaya bahasa aslinya menunjukkan ini bicara bukan hanya dusta-dusta tertentu tapi ini adalah bicara mengenai dusta yang umum, yang luas. Dan pada waktu berbicara mengenai dusta yang luas itu bicara mengenai apa? Berkata sesuatu yang tidak benar sesuai dengan fakta, itu adalah dusta. Tapi pada waktu kita tidak berbicara sesuai dengan fakta, selain tidak berbicara sesuai dengan fakta sebagai dusta, kita tidak berkata dan diam diri juga mungkin adalah dusta. Pada waktu kita mengatakan separuh kebenaran itu juga adalah dusta. Jadi dusta itu apa? Pokoknya segala sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta atau konformasi dari kehidupan dan perilaku kita yang menyatakan kita setuju dengan yang tidak benar, itu semua adalah suatu dusta yang kita hidupi dalam kehidupan kita. Dan Paulus berkata kita harus meninggalkan itu. Jadi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, itu bukan hanya bicara mengenai apa yang kita katakan saja tetapi juga apa yang kita tunjukkan melalui perilaku kita yang sepertinya tidak berdusta tapi setuju dengan dusta. Jadi kadang-kadang mungkin bisa dibilang lirikan matapun bisa berdusta lho, ketika kita menyatakan sepertinya kita tahu yang benar tapi kita sok kaget, atau kita tahu yang salah, kita nggak setuju, tapi mata kita sepertinya setuju dengan yang salah itu, kita juga berdusta.
Dan kenapa kita harus tinggalkan itu semua? Sekali lagi saya harus katakan, karena dusta bukan gaya hidup orang Kristen, dusta adalah gaya hidup dari orang dunia ini. Bapak-Ibu boleh meneliti semua bidang profesi manusia dalam dunia ini, pekerjaan manusia dimanapun dia berada, dikuasai oleh apa? Umumnya oleh dusta, atau biasanya berdusta. Misalnya ambil contoh seperti ini: pengacara, kerjaannya apa? Membela kebenaran? Saya nggak yakin mereka membela kebenaran tapi membela uang yang diterima mungkin. Pengacara pasti berdusta. Dokter dusta nggak? Walaupun dokter bersumpah ya untuk menolong orang, saya tanya dokter dusta nggak? Kadang-kadang mungkin nggak ngomong yang benar lho. Kemudian guru, guru gimana? Tuhan Yesus berkata kepada orang Farisi, “Kamu orang Farisi dan ahli Taurat, kamu guru-guru, mengajarkan untuk tidak boleh ini dan tidak boleh itu, tapi kamu sendiri lakukan apa yang kamu katakan tidak boleh lakukan.” Pengkhotbah, pengkhotbah berdusta nggak? Sudah pasti ya? Mungkin sebagian lha ya, kita juga manusia yang harus berusaha untuk hidup benar di hadapan Tuhan. Lalu salesman? Apalagi. Bos? Dusta juga. Kemudian, iklan-iklan bagaimana? Semua iklan ngomong yang paling baik semua, bisa mengubah kehidupan seseorang, itu semua dusta. Politikus bagaimana? Apalagi ya. Jadi ada nggak lapisan masyarakat dalam dunia ini yang tidak berdusta? Saya yakin nggak. Dan bahkan di dalam kehidupan masyarakat mungkin ada suatu prinsip yang berkata, “Apa salahnya sih kalau saya mengatakan kebohongan kecil? Apalagi kebohongan untuk suatu kebaikan.”
Tapi Saudara, kalau kita hidup dengan cara seperti ini, Alkitab berkata itu berarti kita nggak ada bedanya dengan orang dunia. Kalau kita memelihara dusta, apa bedanya kita dengan orang yang belum percaya kepada Kristus? Paulus berkata nggak ada. Makanya kita sebagai orang percaya harus meninggalkan dusta karena dusta itu adalah bukan hanya milik dunia, cara hidup orang dunia, tetapi dusta itu dibaliknya ada suatu kuasa dan kuasa itu adalah kuasa iblis. Karena Alkitab berkata iblis adalah bapa segala dusta, dia adalah pribadi yang menjabarkan segala bentuk kebohongan, apapun itu mengenai diri dia, mengenai Allah, mengenai kematian, mengenai kehidupan kekal, mengenai Kristus, mengenai Roh Kudus, mengenai Sorga, mengenai neraka, mengenai yang baik dan tidak baik, itu semua dibaliknya ada kuasa iblis yang bekerja. Makanya saya tadi katakan tanpa anugerah Tuhan kita nggak mungkin memiliki pemahaman yang benar tentang Allah dan kita tidak mungkin memiliki ibadah yang benar di hadapan Tuhan Allah, karena begitu besar dan kuat kuasa dibalik segala sesuatu yang ada di dunia ini, yang mengikat mereka, dan kita butuh kuasa Tuhan untuk keluar dari situ. Tapi pada waktu Tuhan sudah memberikan kuasa untuk keluar dari situ, jangan kita serahkan kembali kepada Tuhan, kita harus belajar hidup seturut dengan kuasa yang Tuhan sudah berikan untuk kita jalani dalam kehidupan kita sebagai orang yang sudah ditebus dan diberikan kuasa itu. Dusta itu adalah cara hidup orang dunia yang dibaliknya ada kuasa iblis, tetapi Tuhan, Kitab Suci katakan, adalah Tuhan yang tidak pernah berdusta, Tuhan yang benar, Tuhan yang melakukan segala sesuatu untuk kebaikan dari pada ciptaan-Nya, itu adalah Tuhan kita. Makanya kalau kita berani mengatakan, “Saya memiliki Roh Kudus dan saya hidup di dalam terang Kerajaan Tuhan,” maka yang perlu kita lakukan adalah bukan hanya tinggalkan dusta, bukan hanya tidak melakukan sesuatu perbuatan yang merugikan orang lain melalui dusta kita, tetapi kita juga perlu lakukan sesuatu yang baik, yang benar, seperti Tuhan Allah kita yang tidak pernah berdusta dan selalu melakukan yang baik dan benar kepada ciptaan-Nya, kepada manusia, dan khususnya kepada anak-anak Allah.
Makanya pada waktu kita hidup dengan mengatakan, “Saya orang percaya tapi saya masih hidup di dalam dusta,” saya bisa katakan seperti ini, itu hanya menyatakan kita sedang melakukan suatu tindakan yang menyerang Allah secara pribadi melalui tindakan dusta yang kita lakukan. Kalau ini yang terus menerus kita pelihara, boleh nggak kita mengatakan diri kita anak Tuhan? Jawabannya tidak. Boleh nggak kita mengatakan bahwa kita berhak untuk menerima hidup kekal bersama-sama dengan Kristus di Sorga? Jawabannya pasti tidak. Nah ini dikatakan oleh Yohanes di dalam Kitab Wahyu 21:8. Tuhan melalui Yohanes begitu jelas sekali berkata pendusta tidak memiliki bagian di dalam Kerajaan Allah, tapi ada di dalam neraka dan hukuman dari Tuhan Allah, karena itu bukan karakter Kristus, bukan karakter Allah, dan Tuhan ingin kita hidup berdasarkan karakter Allah yang sudah menebus kita. Jadi kita sebagai orang Kristen harus berkata dusta atau berkata benar? Benar ya. Boleh nggak berkata dusta? Nggak boleh, tapi sekali-sekali mungkin bisa jatuh. Tapi bukan berarti kita menggunakan kemungkinan jatuh itu sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan dusta kita. Kalau kita menggunakan kemungkinan jatuh itu sebagai sesuatu pembenaran bagi diri kita, itu hanya menyatakan kita bukan hidup di dalam terang Tuhan tapi kita hidup di dalam kegelapan.
Sekarang saya mau tanya, kalau kita harus berbicara benar seorang dengan yang lain, apakah itu berarti mulai hari ini kita harus benar-benar jujur mengenai perasaan kita terhadap orang lain? Kalau orang menyakiti kita, kita ngomong, “Kamu sudah menyakiti hati saya lho, nggak boleh seperti itu,” atau kalau kita nggak suka dengan seseorang, kita ngomong, “Aku nggak suka dengan kamu,” boleh nggak? Jujur kan? Harus berkata benar kan? Dan kebenaran itu sesuai dengan apa yang ada di dalam hati kita kan? Jadi yang kita rasakan harus kita ungkapkan, seperti itu, kepada orang lain? Boleh nggak? Saya pikir yang dimaksudkan oleh Paulus nggak seperti itu ya. Pada waktu Paulus berkata, “engkau harus berkata benar,” ingat baik-baik, Alkitab berkata kita di dalam berbicara kebenaran itu, kebenaran itu harus dibicarakan berdasarkan kasih. Itu dicatat di dalam Efesus 4:15, “mengatakan kebenaran di dalam kasih.” Dan kalau kebenaran itu harus dikatakan di dalam kasih, fokusnya di siapa? Kita sering kali dengar dua perintah yang terutama, kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan segenap kekuatanmu, jiwamu, dan akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada waktu kita mengatakan kita mengasihi Allah kita harus mengasihi sesama kita. Lalu pada waktu kita mengasihi sesama kita, fokusnya di siapa? Di aku atau di orang lain? Di orang lain. Nggak pernah fokusnya kepada diri kita. Jadi pada waktu kita berkata, “Aku sakit hati lho sama kamu, aku benci lho sama kamu,” pertanyaannya adalah, fokusnya di siapa? “Saya ingin memuaskan perasaan saya yang disakiti itu supaya orang lain tahu,” seperti itu, dan “dia terpukul karena kata-kata saya kepada diri dia.” Kalau kita lakukan itu kita sedang tidak mengatakan kebenaran di dalam kasih. Jadi kalau kita diminta untuk mengatakan kebenaran, kebenaran kita itu haruslah sesuatu yang bertujuan untuk membangun orang lain, membangun hikmat mereka, membawa pertobatan dalam kehidupan mereka, baru di situ kita mengatakan kebenaran kepada mereka.
Tapi di dalam kasih itu berbicara mengenai suatu kebenaran yang bukan hanya membangun mereka tetapi kebenaran yang berdasarkan pengertian terhadap kebutuhan orang itu, terutama di dalam pertobatan dan keselamatan dan kebenaran di dalam Kristus. Saudara, jadi beda sekali. Pada waktu kita merasa sakit hati dengan seseorang kita mengatakan itu mungkin kita sedang melampiaskan kedagingan kita demi untuk menghakimi orang lain. Itu bukan kebenaran yang Tuhan maksudkan. Kalau kita orang yang sudah ditebus, apa yang harus kita lakukan? Kita harus bergumul sendiri. Pada waktu kita merasa sakit hati dengan orang, kita merasa tidak dimengerti oleh orang. Pada waktu kita merasa orang itu melakukan suatu kejahatan dalam kehidupan kita, coba belajar bergumul di hadapan Tuhan, belajar mengampuni, belajar berbesar hati untuk menerima perbedaan yang ada, dan belajar menyerahkan pergumulan itu ke dalam tangan Tuhan untuk Tuhan pelihara. Tapi pada waktu kita melihat sesuatu yang ndak benar dan perlu koreksi untuk kebaikan dari orang yang kita kasihi itu, kita perlu berbicara; dengan motivasi untuk membangun orang itu. Itu bicara mengenai yang benar. Jadi, di dalam berbicara yang benar bukan hanya menyatakan sesuai dengan fakta yang ada, tetapi fakta yang ada itu harus sesuai dengan standar kebenaran dari Tuhan Allah. Tetapi pada waktu kita bicara mengenai fakta dan sesuai dengan standar kebenaran dari Tuhan Allah, jangan lupa, kasih. Kalau kita nggak mengingat kasih itu, kita bisa menjadi penghakim-penghakim yang begitu kejam pada orang lain. Bukan membangun tapi justru menjatuhkan mereka.
Karena itu, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kadang-kadang di dalam mengatakan kebenaran kita mungkin perlu berpikir matang-matang bagaimana cara kita mengatakan kebenaran itu kepada orang lain. Supaya apa? Bukan menyinggung mereka dan tidak membawa suatu pertobatan dan perubahan, tapi kita harus mengatakan bagaimana supaya orang itu menyadari itu dan kembali kepada Tuhan dan hidup secara benar. Saya percaya Natan dan Daud itu menjadi salah satu contoh yang baik untuk kita ya. Siapa Natan? Seorang nabi Tuhan. Siapa Daud? Seorang raja yang mengenal Tuhan, yang memiliki hati seperti hati Tuhan. Tapi pada waktu Daud berdosa, berzinah dengan Batsyeba, Natan diminta oleh Tuhan untuk menegur Daud, dia nggak datang langsung kepada Daud dan ngomong sama Daud, “Daud, kamu sudah berdosa ambil isteri orang” seperti itu, tapi Natan datang berbicara dengan hikmat kepada orang yang berdosa itu dengan ambil ilustrasi ada tetangga yang punya satu ekor domba yang begitu disayangi, lalu karena ada tamu dari tetangga lain yang kaya dia ndak rela untuk menyembelih domba sendiri akhirnya dia mengambil domba dari orang miskin ini untuk dikorbankan dan bisa disantap bersama. Waktu Daud marah besar terhadap tindakan ini, Natan baru ngomong, kaulah orang itu. Jadi, kadang-kadang kita perlu hikmat untuk berbicara, seperti itu. Dan di dalam hikmat itu, Amsal berkata, kadang-kadang kita tidak perlu menyatakan semua fakta kebenaran yang kita ketahui kepada orang itu. Ini bukan dusta, tetapi ini adalah dalam kaitan dengan hikmat; karena pada waktu kita mengatakan semua ini mungkin justru bukan membangun tetapi menjatuhkan orang dan menjadi batu sandungan.
Jadi, siapa orang Kristen dan kehidupan seperti apa yang kita perlu lakukan pertama sebagai orang yang sudah ditebus oleh Kristus? Paulus berkata, buang dusta dan berkatalah benar seorang dengan yang lain. Tujuannya untuk apa? Satu sisi mencerminkan karakter Tuhan, karakter Kristus, tapi sisi lain tujuannya untuk apa kita berkata benar? Paulus berkata, untuk apa? Untuk sesama anggota. Maksudnya apa untuk sesama anggota? Itu menyatakan perkataan benar itu bertujuan untuk menjaga kesatuan dari tubuh Kristus. Perkataan yang benar itulah menjadi kunci kita menjaga keutuhan dari persekutuan yang ada di antara anak-anak Tuhan. Kalau Saudara hidup di dalam dusta, maka nggak mungin kita bisa menjaga persekutuan yang ada di dalam tubuh Kristus. Saya ambil contoh saja ya, isteri-isteri mau nggak hidup dibohongi suami? Saya yakin kita akan ngomong nggak. Suami saya bohongin saya, untuk apa saya mengikat suatu kesatuan dengan diri dia? Begitu pun juga dengan gereja. Untuk bisa adanya saling percaya satu dengan yang lain, untuk bisa adanya suatu sikap yang saling membangun satu dengan yang lain, untuk adanya sesuatu pelayanan yang melayani satu dengan yang lain di dalam kebenaran, kita harus berbicara benar, bukan kebohongan. Kalau kita nggak berbicara benar, bagaimana kita bisa meyakinkan orang lain untuk mengikuti apa yang kita katakan? Bagaimana kita membuat orang lain percaya bahwa yang kita katakan itu adalah suatu kebenaran kalau hidup kita suka bicara dalam kebohongan? Itu nggak mungkin. Makanya Yesus berkata, sebagai anak Tuhan, standar kita bukan hanya bicara tentang sumpah yang kita lakukan demi untuk mendukung perkataan kita itu benar atau tidak, tapi Yesus berkata, apa yang iya hendaklah kau katakan ya, apa yang tidak hendaklah kau katakan tidak. Kita harus menuntut suatu kehidupan sampai kepada taraf itu supaya pada waktu kita berbicara orang nggak perlu nuntut kita bersumpah, mereka sudah langsung percaya bahwa yang kita katakan itu adalah suatu kebenaran dan pribadi kita adalah pribadi yang bisa dipercaya oleh orang lain karena kita adalah anak Tuhan yang selalu mengatakan kebenaran dan menjunjung tinggi kebenaran; apa yang benar itu.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya percaya ini adalah suatu hal atau rencana yang luar biasa yang Tuhan ingin nyatakan kepada dunia melalui kehidupan kita sebagai anak-anak Tuhan; yang membedakan kita dari orang dunia. Ketika mereka melihat cara kita berbicara, mereka harusnya mereka langsung tahu, ini pasti anak Tuhan, bukan sama dengan mereka. Mungkin ada orang-orang dunia yang juga berkata jujur, tetapi saya tetap katakan, kejujuran mereka tetap ada beda dengan kejujuran dari anak Tuhan. Bedanya di mana? Bedanya adalah mungkin orang dunia berkata jujur dengan motivasi kebanggaan diri. Mungkin orang dunia berkata kejujuran karena takut untuk dihukum, karena takut mukanya dicoreng. Tetapi ketika anak Tuhan berkata kejujuran dan sesuatu yang benar, motivasinya adalah untuk kemuliaan nama Tuhan; bukan untuk kebenaran diri, dan bukan untuk kesombongan diri. Itu perbedaannya. Jadi Saudara, kalau kita hidup berdusta, saya mau katakan, itu bukan hanya merusak persekutuan yang ada di dalam anak Tuhan, tapi yang lebih celaka lagi itu juga merusak kehidupan iman kita dan kerohanian kita. Dan itu sangat merugikan sekali. Saya ambil contoh kayak gini ya. Mata kita pernah nggak menipu kita ya? Bisa nggak menipu kita? Bisa. Saya itu pernah nyetir mobil ya, ngantuk, bener-bener ngantuk. Dulu merasa kuat, kayak gitu, jadi nggak mau stop untuk istirahat. Jadi waktu nyetir itu saya pikir saya itu masih melihat ke depan, ini jalan tol. Saya pikir saya masih jalan, saya masih sadar, mata saya masih melek, di depan ada mobil. Eh tapi mendadak orang di sebelah saya langsung tepuk-tepuk, “Pak! Pak! Pak! Bangun Pak! Bangun Pak!” Begitu saya kesadar saya melek, ternyata apa yang saya lihat itu salah semua lho. Jarak mobil depan dengan saya itu bukan lagi seperti yang saya bayangkan tapi itu sudah dekat sekali. Saya tinggal rem tapi begitu rem pun masih tetap nyenggol mobil depan. Mata bisa menipu lho. Tapi pada waktu mata kita menipu, yang rugi itu siapa? Kita dan orang lain yang kita tipu. Itu juga sama dengan ketika kita berbicara sesuatu yang salah, jangan pikir kebohongan kecil itu adalah sesuatu yang baik. Belum tentu lho. Kebohongan kecil kalau itu bisa diketahui sebagai suatu kebohongan mungkin itu akan merugikan diri orang lain dan diri kita sendiri. Saya nggak ngomong ketika ditemukan saja ya, tetapi pada waktu kita mengatakan suatu kebohongan yang kecil, ingat baik-baik itu sebenarnya sudah merugikan. Bukan cuma diri kita dan orang lain, tapi ada satu pribadi lagi yang sungguh dirugikan yaitu Tuhan Allah sendiri yang sudah menebus kita dari dosa.
Jadi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya mau ajak kita bersama-sama membaca ayat 25 lagi bersama-sama ya. Dua, tiga, “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.” Kiranya Tuhan boleh memimpin kita dan kita boleh membangun kehidupan iman kita bersama-sama di dalam kebenaran; berkata benar seorang kepada yang lain, dan membuang dusta. Mari kita berdoa.
Bapa kami saat ini bersyukur kembali untuk firman-Mu, untuk kebenaran-Mu. Kami bersyukur kembali ya Bapa untuk penebusan yang telah engkau berikan dalam kehidupan kami dari manusia yang berdosa menjadi manusia yang baru di dalam Kristus. Kami sungguh bersyukur untuk anugerah-Mu ini dan kiranya Engkau boleh tolong kami, sertai kehidupan kami untuk mengerti kehidupan sebagai manusia baru itu sebenarnya seperti apa, terutama di dalam cara kami berbicara; sehingga ketika kami berbicara, kami boleh sungguh-sungguh menyatakan kebenaran Tuhan, dan kami boleh sungguh-sungguh menyatakan kalau kami adalah manusia yang bersumber dari Tuhan, dari terang dan bukan dari kegelapan. Tolong kami masing-masing ya Bapa, berikan kami anak-anak-Mu ini pengertian akan kebenaran ini, dan pengertian dan komitmen untuk boleh hidup benar di hadapan Tuhan dan di hadapan sesama, demi kemuliaan nama-Mu. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, yaitu Tuhan dan Juruselamat kami yang hidup kami telah berdoa, Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]