Ef. 4:26-27
Pdt. Dawis Waiman, M.Div.
Bapak-Ibu Saudara yang dikasihi Tuhan, pada waktu kita berbicara mengenai pasal 4 ayat yang – mulai dari ayat yang ke-20 dan seterusnya, ini kita sedang berbicara mengenai kehidupan sebagai manusia baru. Paulus berkata sebagai orang yang sudah diciptabarukan oleh Allah, atau dilahirbarukan oleh Roh Kudus, maka kita bukan lagi orang-orang yang merupakan manusia lama, tetapi sekarang kita adalah orang yang disebut sebagai manusia yang baru. Karena kita adalah manusia yang baru, apa yang harus kita lakukan? Kita bukan hidup dengan santai, hidup dengan tanpa ada suatu perubahan dalam diri kita. Tetapi Paulus berkata kalau kita adalah orang yang sudah diciptabarukan oleh Allah sebagai manusia baru, maka kita perlu hidup sebagai manusia baru; menyatakan kalau kita memang sungguh-sungguh manusia yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus dalam kehidupan kita. Dengan begitu kita harus menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru. Dan pada waktu kita berbicara mengenai menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia yang baru, maka itu berkaitan erat dengan kehidupan yang meninggalkan dosa dan hidup di dalam kekudusan. Atau istilah lainnya adalah meninggalkan kehidupan yang ada di dalam perpecahan dan memiliki kehidupan yang ada di dalam kesatuan. Kenapa begitu? Karena pada waktu dosa bekerja di dalam diri seseorang, maka dosa akan membawa kita masuk ke dalam perselisihan dan perpecahan dalam kehidupan daripada Tubuh Kristus atau sama orang-orang Kristen. Banyak sekali contoh di dalam Kitab Suci mengenai hal ini. Terutama di dalam kitab 1 Korintus, kita bisa melihat di sana ketika Paulus melihat kepada Jemaat Korintus, Paulus sadar 1 hal. Paulus berkata, “Engkau adalah orang-orang Kristen, itu benar, tetapi engkau adalah orang-orang yang bukan hidup menuruti hikmat Allah. Tetapi engkau hidup menurut hikmat manusia.” Maksudnya adalah, jemaat Korintus itu adalah jemaat Kristen yang belum dewasa secara rohani atau bahkan bisa dikatakan mereka mungkin belum percaya kepada Kristus walau pun mengatakan diri mereka adalah orang Kristen. Lalu, apa yang terjadi dalam kehidupan mereka? Banyak sekali dosa yang terjadi dalam kehidupan Korintus. Ada perzinahan, ada kesombongan di situ, ada hal-hal yang bisa dikatakan tidak layak dilakukan oleh orang Kristen karena bahkan orang dunia pun tidak melakukan dosa seperti yang orang Korintus lakukan, yaitu berzinah dengan orang tua sendiri.
Tapi yang lain lagi adalah ketika kita melihat kehidupan orang Kristen, ada sesuatu pengelompokan di dalam kehidupan jemaat itu. Ada orang-orang Kristen yang berkata ‘Aku dari golongan Paulus’; ada orang-orang Kristen yang mengatakan aku dari golongan Petrus. Ada orang yang mengatakan ‘Aku dari golongan Apolos’; bahkan ada yang mengatakan ‘aku dari golongan Kristus’ yang menunjukkan bahwa mereka adalah yang paling tinggi, paling benar, yang paling bahkan sombong, dibandingkan semua golongan yang lain. Bapak-Ibu Saudara yang dikasihi Tuhan, ada pengelompokan. Mereka nggak bisa berbaur; mereka ngggak mau berbaur, mereka nggak mau bergaul dengan orang-orang Kristen yang lain, dan mereka merasa kelompok mereka itulah yang eksklusif dan itulah yang benar, dan mereka nyaman dengan kelompok mereka sendiri. Dan bahkan mereka merendahkan kelompok yang lain. Apa yang menyebabkan itu? Karena mereka hidup menurut hikmat manusia, atau istilah lainnya adalah karena mereka hidup menurut cara hidup manusia lama. Mereka tidak menanggalkan manusia lama tetapi mereka justru menjalani kehidupan sebagai seorang yang masih seperti manusia lama, walau pun mereka mengatakan diri mereka adalah orang Kristen. Tetapi pada waktu kita hidup di dalam kehidupan manusia baru, hal yang berbeda terjadi. Kehidupan manusia baru tidak akan membawa kita ke dalam perpecahan, tetapi justru ke dalam persatuan.
Kalau Bapak-Ibu masih ingat pembahasan kita dua minggu yang lalu, kenapa kita perlu berbicara secara jujur? Kenapa kita perlu berbicara secara benar dalam kehidupan kita? Di dalam ayat yang ke-25, di situ ada satu kalimat: “…karena kita adalah sesama anggota.” Maksudnya adalah kita perlu berbicara jujur dan benar, karena jujur dan kebenaran itu menjadi dasar bagi suatu kehidupan, kesatuan anggotta Tubuh Kristus. Kalau kita tidak menjaga kejujuran dan kebenaran di dalam percakapan kita, maka itu menjadi hal yang paling mendasar untuk memupuk atau memicu kepada sesuatu kecurigaan, dan akhirnya ketidakpercayaan, dan berujung kepada perpecahan di dalam kehidupan antara jemaat Tuhan. Tapi di sisi lain, Paulus juga berkata, kita bukan hanya perlu berbicara jujur dan benar sebagai orang Kristen, tetapi Paulus juga meminta kita untuk menjaga kemarahan yang kita lakukan, seperti yang dikatakan di ayat 26: “Apabila engkau marah, janganlah engkau berdosa.” Maksudnya apa? Ini adalah 2 hal yang saya percaya menjadi hal yang mendasar untuk kita memiliki kesatuan di dalam kehidupan orang percaya atau menjadi dasar orang untuk memiliki suatu kehidupan yang kudus dalam kehidupan kita. Ini adalah dua hal yang, saya percaya juga, bukan sembarangan disebutkan dalam urutan tersebut, tetapi adalah sesuatu yang berasal dari yang paling sering dilakukan orang menuju ke yang agak kurang sering dilakukan oleh seseorang. Kebohongan, perkataan yang tidak jujur; saya pikir itu lebih sering kita hidupi atau kita katakan dibandingkan kemarahan yang kita nyatakan dalam kehidupan kita. Makanya Paulus urutkan seperti itu. Tetapi kita harus tahu. Pada waktu kita melihat kepada 2 aspek cara hidup seperti ini, itu bukanlah hidup yang Paulus katakan sebagai hidup sebagai manusia baru, tetapi justru itu adalah hidup sebagai manusia yang lama, yang bisa berujung kepada perpecahan di dalam Tubuh Kristus.
Nah, Bapak-Ibu Saudara yang dikasihi Tuhan, apa yang dimaksud Paulus dengan “Apabila engkau marah, janganlah engkau berdosa”? Ada orang-orang Kristen yang mengartikan kalimat ini dengan pengertian “Kalau kita dikatakan: Apabila engkau marah, jangan berdosa”, itu berarti kita tidak boleh marah. Tapi kita harus menekan kemarahan kita, menjaga emosi kita, sebisa mungkin yang kita lakukan.” Karena kemarahan itu mungkin identik dengan dosa. Tapi pada waktu kita melihatbpada perkataan Paulus di bagian ini, saya percaya Alkitab punya pengertian yang jauh berbeda dari pemahaman ini. Apabila engkau marah, tapi jangan berdosa, itu bukna berbicara mengenai kita tidak boleh marah, kita harus menekan emosi kita, supaya kita sebisa mungkin tidak menyatakan itu atau menunjukkan itu dalam kemarahan yang kita lakukan. Ada bahkan orang yang berkata seperti ini ya: salah satu dasar yang dia tunjukkan untuk menyatakan bahwa Yesus adalah orang yag berdosa dengan mengutip ayat bahwa Dia marah.
Apakah kemarahan itu adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan? Apakah ketika Kristus marah, itu adalah sesuatu yang berdosa untuk dilakukan? Saya percaya, kalau kita perhatikan bagian lain dari pada Kitab Suci, maka kita akan mendapatkan bagian-bagian di mana murid-murid dan para rasul itu mengatakan Yesus tidak berdosa. Pada mulut-Nya tidak ada dusta. Pada Diri-Nya ada sepenuhnya kebenaran. Dia adalah Orang yang satu-satunya Pribadi yang layak untuk membawa Diri-Nya dipersembahkan pada Allah karena Allah berkenan kepada Diri-Nya, dan Allah hanya bisa berkenan kepada orang yang tidak berdosa sama sekali. Itu berarti kalau kita berbicara mengenai Kristus, Kristus pasti tidak berdosa. Lalu bagaimana dengan kemarahan yang ditunjukkan oleh Kristus pada beberapa bagian dari Kitab Suci? Mislanya kalau Saudara baca daripada surat Markus,pasal 3 ayat yang ke-5, di situ Yesus dikatakan Dia berduka cita karena kedegilan dari orang-orang Yahudi, orang-orang Ahli Taurat. Boleh dibuka, sambil ya. Kita agak banyak buka ayat pada hari ini. Markus 3 ayat yang ke-5; mengenai Yesus menyembuhkan pada hari Sabat, seorang yang kerasukan di dalam Bait Allah. Pada waktu Yesus melihat sekeliling-Nya, lalu Dia bertanya manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat? Berbuat baik atau berbuat jahat? Menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang? Orang-orang yang berkumpul dalam Bait Allah itu dikatakan mereka diam saja, nggak ada respon sama sekali, tapi kemudian di ayat 5 dikatakan, “Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: “Ulurkanlah tanganmu!” Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu. Lalu keluarlah orang-orang Farisi dan segera bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Dia.” Jadi di satu bagian ini dikatakan Yesus marah.
Ada bagian lain lagi, misalnya dikatakan Injil Lukas pasal 13 ayat yang ke-15. Ketika Yesus masuk ke dalam Bait Allah, di situ Yesus menemukan ada seorang perempuan yang kerasukan setan yang begitu lama sekali sampai akhirnya tubuhnya itu begitu bongkok. Dan pada waktu Yesus melihat pada perempuan ini, maka Yesus berkata kepada ibu ini: “Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” (ayat 12 -red). Tapi pada waktu Yesus berbicara seperti ini, orang-orang yang ada di situ nggak suka akan tindakan Kristus. Lalu Yesus kemudian berkata kepada mereka: “Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?” Suatu kemarahan yang begitu besar muncul dari pada hati Kristus terhadap kedegilan dari pada orang-orang Farisi yang ada di dalam Bait Allah itu. Sehingga mereka nggak bisa melihat lagi bahwa jiwa manusia itu lebih berharga dari jiwa binatang. Nah, itu sebabnya Yesus marah kepada orang-orang tersebut. Satu bagian lagi mungkin yang terkenal sekali, di awal permulaan dari pelayanan Yesus Kristus, ketika Dia masuk ke dalam Bait Allah, Dia menemukan orang-orang pedagang di situ, ada yang nukar uang, ada yang jual lembu, ada yang jual burung, dan ada yang jual domba di situ. Dan ketika Yesus melihat perdagangan itu adalah suatu perdagangan yang tidak jujur, sesuatu yang menista Nama TUHAN, Dia langsung mengambil tali, membuat itu menjadi cambuk, dan Dia dengan kemarahan, Dia membalikkan dagangan daripada orang-orang, melepaskan domba dan kambing, lalu mengusir mereka dari pada Bait Allah.
Bapak-Ibu Saudara yang dikasihi Tuhan, apakah ini adalah suatu kemarahan yang Suci? Apakah ini adalah suatu kemarahan yang benar? Apakah ini adalah suatu kemarahan yang diperbolehkan untuk dilakukan oleh Yesus Kristus? Ataukah ini adalah suatu kemarahan yang dikatakan sebagai kemarahan yang berdosa? Saya percaya, apa yang dilakukan oleh Kristus, itu adalah suatu kemarahan yang benar. Itu bukan suatu kemarahan yang sembarangan yang dilakukan oleh Kristus. Kenapa? Kalau kita perhatikan dengan baik-baik, setiap poin kemarahan yang Yesus lakukan, itu bukan kemarahan yang lepas kontrol dan tidak ada arahnya, dan tidak ada maksudnya. Tetapi kemarahan Kristus adalah satu kemarahan yang ditujukan atas dosa dan kejahatan, kedegilan hati yang dimiliki oleh manusia. Dan pasa waktu Dia sendiri membalikkan barang dagangan di Bait Allah, kalau Bapak-Ibu perhatikan, itu bukan kemarahan yang betul-betul lepas kendali tetapi masih ada di dalam kontrol. Karena itu kita bisa berkata kemarahan Kristus bukanlah kemarahan yang ada di dalam dosa, tetapi itu adalah kemarahan yang benar dan bahkan Alkitab sendiri berkata, Allah yang kita sembah itu bukan Allah yang tidak pernah marah. Ada satu bagian di dalam Perjanjian Lama, yang berkata Allah itu selalu marah. Bapak-Ibu boleh baca dan cari dari bagian itu. Berarti kemarahan bukan hal yang salah untuk kita lakukan dalam kehidupan kita. Karena apa? Kristus sendiri lakukan itu dalam kehidupan Dia. Bahkan kalau Bapak-Ibu baca dari Roma pasal 1 ayat 16 dan 17, lalu masuk ke dalam ayat 18, Paulus juga berkata hal yang seperti itu. Paulus bilang, “Aku percaya kepada berita pemberitaan, pada Injil. Aku punya keyakinan yang kokoh akan berita Injil itu, karena berita Injil itu memiliki kuasa untuk menyelamatkan nyawa manusia. Dan orang benar itu dibenarkan oleh iman.” Lalu di ayat 18, Paulus bilang apa? “Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” Dan menariknya lagi adalah, 2 Korintus 7:10-11. Kalau kita lihat surat 1 Korintus, yang sebelumnya saya kutip, jemaat hidup di dalam dosa, jemaat hidup di dalam perzinahan, perselisihan, kesombongan, pertikaian dan segala macam dosa yang ada di dalam dunia ini. Di dalam 2 Korintus 7:10-11 dikatakan, mereka sadar nggak? Mereka bertobat tidak? Mereka bertobat. Yang membuat mereka bertobat apa? Yang membuat mereka bertobat apa? Karena mendengarkan kemarahan atas dosa itu. Karena mereka sendiri marah terhadap dosa mereka, yang mereka lakukan. Itu yang membuat akhirnya mereka muncul dukacita di dalam hati mereka, dan mereka betul-betul merasa jengkel terhadap diri mereka dan mereka tidak lagi mau hidup di dalam kehidupan yang berdosa itu.
Saya percaya, ini adalah salah satu aspek yang kita perlu pertumbuhkan di dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen, untuk bisa menghadapi atau mematikan dosa yang kita miliki dalam hidup kita. Sesuatu yang nanti kita akan bahas, yang bagi kehidupan orang Kristen sendiri, mungkin kita bisa jatuh ke dalam satu kondisi, ketika kita berlakukan dosa, kita nggak merasa bahwa itu adalah sesuatu yang fatal, sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang harusnya dijauhi, sesuatu yang jahat, dan kita bisa nyaman dalam kehidupan itu. Kita nggak ada satu kemarahan sama sekali terhadap tindakan yang kita lakukan, yang jahat dan berdosa tersebut. Padahal Paulus, maupun Kristus, setiap kali melihat perbuatan dosa, mereka bukan mendiamkan itu, tetapi mereka menyatakan kemarahan terhadap dosa itu. Kalau pakai Bahasa daripada Pemazmur 97:10, pemazmur bilang, “Hai orang-orang yang mengasihi Tuhan, bencilah kejahatan!” Bagaimana dengan kehidupan kita? Ada nggak sikap membenci kejahatan? Dan kenapa kita perlu membenci kejahatan, bukankah kita telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus? Bukankah kita sekarang hidup sebagai manusia yang baru, dan kita telah dikatakan menanggalkan manusia lama dan hidup sebagai manusia yang baru?
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita perhatikan kembali, saya ingatkan kembali akan khutbah 2 minggu yang lalu, dikatakan: Memang kita hidup sebagai manusia baru, tetapi apa yang terjadi dalam kehidupan kita, masih bisakah kita jatuh ke dalam kehidupan manusia lama? Mungkin! Tapi pada waktu kita jatuh ke dalam kehidupan lama, apakah itu berarti bahwa kita betul-betul dikuasai oleh hidup sebagai manusia yang lama lagi? Alkitab bilang tidak. Seperti ilustrasi Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Perjanjian, ketika dia telah lepas daripada kuasa Firaun, mereka ada di padang gurun, mereka adalah orang-orang yang merdeka, tidak lagi di bawah kuasa perbudakan daripada Raja Firaun. Tapi pada waktu mereka ada di dalam perjalanan di padang gurun itu, mereka masih terus memikirkan kehidupan yang lama, cara hidup yang lama, yang dikatakan lebih nyaman dan lebih baik daripada keadaan mereka yang ada di padang gurun. Mereka ingin kembali ke Mesir, tapi tubuh mereka gimana? Tubuh mereka di padang gurun, pikiran mereka balik ke Mesir. Berarti mereka bisa kembali lagi, tidak? Jawabannya: Nggak bisa! Jadi sebagai manusia baru, kita mungkin bisa kembali terpengaruhi oleh manusia lama kita, tetapi kita nggak mungkin bisa dikuasai oleh kehidupan manusia lama. Kita tetap adalah manusia baru, tetapi kemungkinan bisa kembali ke manusia lama, dipengaruhi oleh kehidupan yang lama, ini yang membuat kita harus hati-hati.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kita memang orang yang sudah dibenarkan oleh Allah, tetapi ingat kita masih bisa jatuh di dalam dosa. Saya percaya, perspektif ini harus menjadi sesuatu yang kita pegang baik-baik dalam kehidupan kita. Kalau tidak, kita akan menjadi orang yang merasa diri paling benar, karena apa? Mungkin karena kita sudah menjadi orang Kristen tapi padahal kita sedang menghidupi cara hidup berdosa dan pada waktu kita hidup itu, kita nggak sadar kalau kita adalah orang berdosa dan sedang berdosa dalam kehidupan kita. Saya nggak tahu pernah ambil contoh atau tidak di tempat ini. Misalnya, suami istri marah. Saya pernah ngomong ya? Pada waktu suami istri marah, nggak bicaraan, siapa yang pertama kali inisiatif biasanya untuk memulai pembicaraan? Suami atau istri? Istri? Suami? Istri-istri gimana? Waktu suami memulai pembicaraan, istri-istri masih menjual mahal nggak? “Pokoknya saya tetap belum mau bicara dulu, jangan ganggu saya, jangan sentuh saya!” Begitu? Ibu-ibu, saya mau tanya, sikap seperti ini, dilakukan karena ibu-ibu benar atau ibu-ibu justru sedang melakukan dosa? Sedang apa, benar atau melakukan dosa? Ini contoh pernikahan. Kalau mau contoh yang lain bisa. Mungkin kita kadang-kadang terprovokasi untuk melakukan sesuatu tindakan yang kita pikir benar, saya percaya kita seringkali, kemudian baru sadar kalau kita itu melakukan yang salah. Padahal kita sudah begitu kekeuh sekali untuk mempertahankan kalau kita benar.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kita masih bisa jatuh dalam dosa. Dan pada waktu kita berdosa, kadang-kadang kita bisa berpikir kalau kita sedang melakukan sesuatu yang benar. Pada waktu kita, misalnya, mencontek, bagi mahasiswa yang kuliah, saya tanya: Contek itu dosa atau benar? Dosa kan? Tapi tanya, saya tanya, kalau nggak nyontek, sejahtera nggak hati? Nggak sejahtera. Berarti nyontek itu benar atau dosa? Dan kalau mau tanya lagi, kita ini orang Kristen atau bukan? Katanya sudah lahir baru, kan? Hidup sebagai manusia baru. Kok nyontek itu merasa tidak sejahtera, padahal itu adalah dosa. Contoh lainnya misalnya, kita dapat tetap menonton video porno, tapi pada waktu kita nonton, tak ada rasa bahwa itu adalah sesuatu yang berbahaya, itu adalah sesuatu yang Tuhan benci dalam hidup kita. Dan itu adalah sesuatu akar daripada suatu perbuatan dosa yang perzinahan dalam keluarga. Kita merasa baik, baik, karena apa? Saya nonton sama istri saya, dan suami saya kok, bukan orang lain? Kadang waktu kita menipu orang lain dalam bisnis… orang Kristen kadang nggak lepas kan dari Minggu ya, saya tanya, ada nggak perasan kalau itu salah? Pada waktu kita mematikan usaha orang lain, apakah kita berpikir, Oh ini adalah teori dagang, maka kita harus melakukan, mematikan orang lain. Atau kita sadar, teori dagang juga harus disertai dengan kehidupan kesaksian sebagai orang Kristen, di mana kita nggak bisa mematikan orang begitu saja, tiap orang ada porsinya masing-masing oleh Tuhan. Tapi pada waktu kita lakukan itu, ada nggak perasaan bahwa kita salah? Kalau mau diurut, masih begitu banyak hal yang kita seringkali lakukan, termasuk salah satunya adalah kebohongan dalam hidup kita. Bahkan bukan dikatakan kebohongan, mungkin, kita beralih sebagai semacam kebijaksanaan untuk berbohong. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pinter sekali ya orang Kristen yang walaupun sudah hidup sebagai manusia baru, bisa memanipulasi pikirannya, nilai-nilai kebenaran, sehingga pada waktu dia melakukan dosa, dia masih bisa berpikir kalau itu adalah sesuatu yang benar. Dan bahkan anehnya lagi adalah, dia masih bisa berpikir kalau dia adalah anak Allah. Ini adalah hal-hal yang sangat berbahaya sekali.
Kalau kita mengerti kalimat Paulus di dalam surat-surat Efesus, yang selalu mengingatkan: “Hai kamu jemaat Efesus, ingatlah dahulu kamu bukan orang yang hidup dengan memiliki Allah. Ingatlah dahulu kamu adalah orang yang hdiup dengan kerohanian yang sudah mati di hadapan Allah. Jangan lagi kamu hidup seperti orang dunia, orang dunia yang memiliki hati yang degil, hati yang kelam, hati yang seperti kapalan, yang tidak lagi peka terhadap teguran akan dosa atau perbuatan dosa. Bahkan ketika kamu melakukan dosa, kamu akan merasa dirimu tetap benar, ketika kamu lakukan dosa. Jangan lagi hidup seperti itu!” Kenapa? Sebabnya karena, kita masih ada kemungkinan bisa jatuh ke dalam kondisi seperti itu. Dan pada waktu kita jatuh dalam kondisi seperti ini, sikap apa yang harus kita bangun? Saya percaya, salah satu sikap itu adalah mempertumbuhkan rasa marah terhadap dosa yang kita lakukan. Saya pikir, bukan sesuatu yang gampang, karena kadang-kadang atau seringkali dan bahkan mungkin, biasanya, kita nggak terbiasa untuk marah dan merasa nggak masalah, dan bahkan mempertanyakan diri kita sendiri, ‘Kok heran ya, saya melakukan dosa, tapi rasanya nggak ada apa-apa.’ Karena perasaan kita itu sebenarnya sudah rusak oleh dosa, tetapi kita perlu tetap menyadari, kita harus pertumbuhkan perasaan itu menurut perasaan yang benar seperti yang Allah miliki dalam hidup kita. Dan itu bukan sesuatu yang Tuhan berikan itu sih, pertama kali, maka kita bisa lakukan dan miliki itu. Tetapi itu juga adalah sesuatu yang harus kita pertumbuhkan dalam kehidupan kita. Jadi pada waktu Allah marah terhadap dosa, sikap kita bagaimana? Kita harus membangun satu sikap yang juga marah terhadap dosa. Dan dengan seperti ini, saya pikir kita akan lebih memiliki satu kepekaan untuk bisa memiliki kehidupan yang semakin sesuai dengan karakter Kristus atau kehidupan yang ada di dalam kekudusan seperti yang Tuhan kehendaki. Jadi, kita masih bisa jatuh dalam dosa, kita harus membangun sifat marah pada diri kita.
Tapi bagaimana dengan dunia? Saya pikir dunia, terhadap dunia pun, kita harus melakukan hal yang sama. Kita nggak bisa hidup nyaman dengan diri kita sendiri. Saya belum pernah katakan ini ya, orang Kristen itu adalah orang yang Tuhan panggil untuk menjadi terang dan garam dunia. Berarti, pada waktu kita hidup di tengah-tengah dunia ini, satu-satunya pengharapan bagi dunia ini adalah orang Kristen. Kalau orang Kristen nggak ada, maka dunia ini nggak ada pengharapan sama sekali, karena dunia ini ada dalam kegelapan. Kalau orang Kristen tidak menjalankan fungsinya sebagai terang dan garam, maka dunia ini juga nggak ada pengharapan sama sekali. Dan salah satu pengharapan yang harus dapat dilihat oleh orang dunia apa? Orang Kristen tetap menjalankan peran hidup yang kudus dan menyatakan perbuatan ini adalah perbuatan yang berdosa dan salah satu aspeknya adalah ketika kita menemukan orang dunia berbuat dosa, bukan kita ikut-ikutan dalam kehidupan dosa itu, tapii kita harus menyatakan itu adalah sesuatu yang salah; kalau nggak, kita sedang menjerumuskan manusia berdosa untuk lebih cepat lagi dihancurkan dan dihukum oleh Tuhan, dan kitapun mungkin akan dituntut oleh Tuhan karena kita tidak berjalan sebagai terang dan garam di tengah-tengah dunia ini. Ini adalah hal yang serius sekali, dan Tuhan panggil kita untuk itu.
Sekarang, saya akan melanjutkan lagi. Paulus berkata, “Apabila engkau marah janganlah engkau berbuat dosa, atau berdosa.” Berarti bahwa ini bukan sesuatu hukum yang negatif, tetapi hukum yang positif. Kita boleh marah. Kenapa kita boleh marah? Karena kita adalah gambar Allah. Kalau Allah yang mencipta kita adalah Allah yang bisa marah, maka kemarahan itu adalah sesuatu yang natural ada di dalam diri kita karena Tuhan menanam itu dalam diri kita. Hanya pada waktu kita marah Paulus kasih satu catatan “jangan kamu berdosa,” maksudnya apa? Kamu boleh marah tetapi jangan marah dengan cara-cara yang berdosa. Lalu cara-cara yang berdosa ini seperti apa? Saya ada list-kan mungkin 4 cara dimana kita bisa katakan kemarahan itu adalah kemarahan yang berdosa. Pertama adalah kemarahan yang muncul dari tabiat yang buruk. Ada orang-orang yang seringkali kalau kita ajak dia bicara dia emosional sekali kan, lalu pada waktu kita ngomong sama dia, “Kamu kok suka sekali marah-marah sih?” Biasanya dia ngomongnya bagaimana? “Ya ini sudah bawaan saya, ini diri saya, saya memang pemarah.” Itu adalah kemarahan tabiat. Saya mau tanya, boleh nggak? Nggak boleh ya, kenapa nggak boleh? Dosanya dimana? Masalahnya adalah, pada waktu Tuhan melahirbarukan kita, Tuhan tidak membiarkan kita hidup dengan cara manusia lama. Kalau kita meng-klaim itu adalah bawaan lahir, kita hanya meng-klaim kalau diri kita itu hidup seperti manusia lama. Dan sifat manusia lama kita apa? Ya marah-marah. Kalau begitu sebagai manusia baru harus bagaimana? Ya belajar bersabar, belajar mengontrol kemarahan yang kita miliki, bukan melampiaskan kemarahan itu. Jadi tabiat marah itu bukan sesuatu yang baik, itu adalah sesuatu yang harus kita kendalikan karena kita adalah manusia yang baru.
Yang kedua adalah kemarahan yang dimunculkan karena mudah terprovokasi. Ada orang-orang Kristen ketika dengar sesuatu hal langsung meledak, langsung terpancing. Dia nggak lagi mempertimbangkan benar-salah tapi yang ada adalah hatinya langsung terbakar dan ikut-ikutan orang lain punya tindakan. Ini adalah hal yang pasti akan membawa kepada suatu kehidupan yang jatuh di dalam dosa, saya percaya, karena dia nggak punya kontrol diri dan tidak punya pertimbangan. Masih ingat 1 Korintus 13, Bapak-Ibu? Bunyinya apa? “Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, kasih itu tidak cemburu, kasih itu tidak memegahkan diri dan tidak sombong, ia tidak melakukan yang tidak sopan, ia tidak mencari keuntungan diri, ia tidak pemarah, dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” Secara positif Yakobus katakan di dalam Yakobus 3:17, “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.” Jadi kalau kita memiliki hikmat dari atas maka kita harus memiliki kemurnian, pendamai, ramah seorang terhadap yang lain, penurut, penuh belas kasihan, dan buah-buah yang baik. Ada yang menarik ya, penurut di situ. Kita orang-orang di dalam budaya sekarang ini kadang-kadang saya heran ya, seringkali melihat orang yang penurut itu lebih kepada pengertian negatif, sebagai orang yes-man. Tapi di sini justru dikatakan, salah satu hikmat dari atas itu adalah memiliki hati yang penurut. Suami-suami, kalau engkau ingin menjadi seorang pemimpin yang baik, hiduplah menuruti kehendak Allah dalam kehidupanmu, maka engkau akan jadi seorang pemimpin yang baik. Isteri-isteri, kalau engkau mau menjadi seorang isteri yang baik, belajarlah menuruti apa yang menjadi perkataan suamimu, kalau suamimu adalah orang yang takut akan Tuhan; ini penurut. Tetapi di sisi lain adalah kita harus penuh dengan keramahan, dan itu berarti kita tidak gampang marah. Jadi kalau kita lihat hukum Tuhan, hukum Tuhan bukan hanya berbicara mengenai larangan, tetapi hukum Tuhan harus berbicara mengenai sesuatu yang positif juga. Bapak-Ibu kalau tidak melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum Tuhan, bukan berarti kita sudah tidak berdosa, bukan berarti kita adalah orang-orang yang pasti benar. Tetapi kalau kita belum lakukan sesuatu yang positif, itu hanya menunjukkan kita juga masih berdosa. Bapak-Ibu mungkin nggak marah tapi kalau Bapak-Ibu tidak melakukan sesuatu yang penuh dengan kemurahan, belas kasih, dan hidup di dalam keramahan dengan orang lain, mungkin nggak marah sih, tapi nggak menyapa orang, nggak menegur orang, nggak menolong orang; kita masih hidup di dalam dosa. Jadi ada sisi positif dari pada hukum yang harus kita lakukan dalam hidup kita. Hal yang kedua tadi dikatakan pada waktu kita hidup, jangan gampang terprovokasi untuk ikut-ikutan dan terpancing di dalam kemarahan oleh keadaan apapun, karena itu adalah suatu dosa yang harus kita hindari. Yang ketiga adalah kemarahan yang tidak terkendali, kemarahan yang berlebihan, itu juga harus kita hindari.
Yang keempat adalah berdasarkan perkataan dari Paulus di dalam ayat yang ke-26, “Janganlah kamu berbuat dosa, janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu. Jadi pada waktu kita marah, kita tidak boleh biarkan marah kita tetap ada sampai matahari terbenam.” Maksudnya apa ya? Saya pernah ditanya sih, pengertiannya maksudnya apa, kalau kita kaitkan dengan kemarahan yang berdosa? Kalau Bapak-Ibu tetap marah sampai matahari terbenam, itu artinya apa? Bapak, Ibu, Saudara sedang menyimpan kemarahan, nggak mau mengampuni tapi menyimpan kemarahan itu di dalam hati. Dan yang menarik adalah, pada waktu kita lihat di dalam ayat 26, itu ada 2 istilah “marah,” kan? Satu “apabila engkau marah,” di awal, dan yang kedua adalah “sebelum padam amarahmu,” di bagian terakhir. Ini bicara mengenai amarah yang sama bukan? Jawabannya bukan ya. “Marah” yang ada di bagian awal itu orgizō, bahasa Yunaninya. Marah yang disebut sebagai “amarah” di bagian akhir itu adalah parorgismos. Dan Paulus bicara, “Kamu kalau sampai menyimpan kemarahanmu ketika matahari terbenam, itu berarti kamu menyimpan kemarahan yang parorgismos, artinya apa? Kita adalah orang yang tidak mau melepas kemarahan itu tapi kita memupuk kemarahan itu, kita memelihara kemarahan dan kejengkelan yang ada dalam hati kita, sampai akhirnya kemarahan itu menetap di dalam hati kita, dalam bentuk kebencian, kepahitan, bahkan rasa dendam kepada orang yang menyakiti hati kita. Jadi kalau kita adalah orang-orang yang hidup di dalam kehidupan sebagai anak-anak Allah, jangan simpan dan pelihara kemarahan itu sampai akhirnya berujung di dalam kepahitan, kebencian, dan rasa dendam yang besar terhadap orang yang kita anggap telah menyakiti kita atau merugikan diri kita. Kalau kita jatuh dalam kondisi ini, kita sudah jatuh di dalam suatu kehidupan kemarahan yang berdosa.
Sekarang, kita sudah lihat marah itu boleh, marah yang berdosa itu seperti apa; pertanyaan berikutnya adalah apa yang harus kita lakukan untuk bisa menghadapi dan mengatasi kemarahan yang berdosa? Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, untuk bisa mambahas ini saya mau angkat terlebih dahulu kenapa kemarahan itu menjadi sesuatu yang harus tidak menjadi sesuatu yang di luar kendali kita ya, atau kenapa kita tidak boleh memiliki kemarahan yang berdosa. Salah satu dasar yang paling penting adalah pada waktu kita marah dengan cara berdosa, itu berarti kita membiarkan kemarahan itu mengontrol diri kita dan bukan kita yang mengontrol kemarahan tersebut. Pada waktu kemarahan itu mengontrol diri kita, salah satu aspeknya adalah itu disebabkan karena kita mengikuti cara hidup kita sebagai manusia yang lama dan berdosa. Pada waktu kita mengikuti pikiran kehidupan yang berdosa ini, dimana kemarahan itu kita biarkan menguasai diri kita, Bapak-Ibu tahu nggak itu sebenarnya kita sedang membuka pintu bagi iblis untuk mengontrol dan menguasai hidup kita. Tidak ada pintu yang lebih besar yang kita buka bagi dosa dan kontrol dan pengaruh iblis daripada kita membuat diri kita dikuasai oleh kemarahan. Karena pada waktu kita jatuh di dalam kemarahan yang besar dan membiarkan kemarahan itu menguasai diri kita, yang terjadi dalam kehidupan kita itu adalah kita akan membuang semua pertimbangan-pertimbangan kita sebagai seorang manusia, dan yang akan terjadi adalah kita akan mengikuti insting kita dan kekuatan kita di dalam kita melampiaskan kemarahan kita. Atau istilah lainnya mungkin “gelap mata” ya yang terjadi. Saya pikir orang Kristen nggak bisa jatuh ke dalam kondisi seperti ini. Tapi kalau kita biarkan itu terjadi, kita seperti orang buta; dan pada waktu kita lakukan itu kita sebenarnya tanpa sadar mungkin kita sedang dibimbing dan dipimpin oleh iblis untuk melakukan dosa yang betul-betul mengerikan dalam hidup kita, akibat kita membiarkan diri kita dikuasai oleh kemarahan.
Salah satu contoh dari Perjanjian Lama adalah kehidupan Adam dan Hawa. Kalau selama ini kita selalu lihat dari aspek iblis itu mencobai Hawa dengan membuat dia mempertanyakan hikmat Allah atau perintah Allah, kebenaran Tuhan Allah. Pernah nggak kita melihat pada waktu iblis itu membujuk Hawa untuk mempertanyakan Allah punya perintah sebagai sesuatu yang benar dan baik, di dalam hati Hawa mungkin muncul kemarahan; marah karena “kenapa Allah tidak jujur kepada kami? Kenapa Allah berbohong?” Iblis ngomong kalau makan nggak mati, Allah ngomong kalau makan kamu pasti akan mati. Iblis ngomong kalau kamu makan, kamu akan jadi seperti Allah. Allah itu takut kamu menjadi seperti Allah makanya Allah nggak buka itu bagi kamu. Berarti Allah sedang menghalangi sesuatu yang baik bagi saya, untuk saya miliki dalam kehidupan saya. Itu memunculkan satu kemarahan terhadap Allah. Akibatnya apa? Dia kemudian melakukan dosa. Saudara, hati-hati, kalau kita dikuasai oleh kemarahan, saya pikir firman Tuhan pun kita anggap itu nggak berguna dan berlaku lagi. Kita anggap itu adalah sesuatu yang bahkan mungkin tidak benar dan tidak bijak untuk kita lakukan; nggak rasional untuk kita lakukan, yang lebih rasional adalah kita lampiaskan kemarahan kita kepada orang yang layak menerima kemarahan itu. Tetapi kalau kita jatuh dalam kondisi ini, kita sebenarnya sudah jatuh di dalam dosa.
Jangan biarkan kemarahan yang kecil itu terus dipupuk, terus dipelihara. Bahaya. Kalau kita memiliki hati yang mungkin kesal dengan seseorang, jangan biarkan itu terus ada di dalam hati kita, lalu ditambahi dengan bukti-bukti lain untuk mendukung kekesalan hati kita kepada orang lain. Itu akan merugikan diri kita dan membuat kita jatuh di dalam satu kemarahan yang berdosa, dan bahkan ada di bawah kuasa dari pada iblis. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, orang yang hidup di dalam kemarahan yang tidak bisa dikendalikan, atau membiarkan kemarahan menguasai diri dia, atau kemarahan yang berdosa, sebenarnya dia memiliki kehidupan yang bertentangan dengan Injil. Saya ulangi ya, kalau Bapak Ibu membiarkan Bapak Ibu memiliki terus hidup di dalam kemarahan yang berdosa, maka itu berarti Bapak, Ibu, Saudara sedang memiliki kehidupan yang bertentangan dengan Injil. Kenapa bertentangan? Karena Injil itu adalah suatu berita kasih karunia. Injil itu adalah suatu berita pengampunan dan kemurahan dari Tuhan Allah. Injil itu adalah suatu berita di mana Allah berinisiatif menyatakan kasihnya kepada manusia atau kepada diri kita ketika kita adalah orang-orang yang baik kah? Yang pantas dicintai kah? Yang lucu kah? Yang taat kah? Yang lebih baik dari orang lain kah? Di dalam Surat Roma bilang, ketika Injil diberikan, ketika Allah memberikan Kristus Anak-Nya untuk mati bagi kita, kita adalah orang yang ada di dalam dosa; orang yang ada di dalam perseteruan dengan Allah, bukan orang yang benar di hadapan Tuhan Allah.
Saya bahas ini di dalam Persekutuan Doa kemarin. Kenapa kita suka menghakimi orang? Karena kita merasa diri kita lebih baik dari orang. Nah pada waktu kita merasa diri kita lebih baik dari orang dan kita menghakimi orang lain, kita sering kali nggak sadar kalau kita sebenarnya lakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh orang tersebut. Cara ngatasinya bagaimana? Sebelum kita menghakimi orang lain, coba lihat, kita sebenarnya layak nggak diampuni atau sebenarnya kita layak untuk dihakimi oleh Tuhan Allah? Coba lihat diri dulu, seberapa besar dosa yang kita lakukan dalam kehidupan kita dan bahkan ketika telah kita lakukan dosa itu, pernah nggak kita pikirkan Tuhan sebenarnya harusnya menghukum kita atau mengampuni diri kita? Saya pikir kita akan lebih condong kepada Tuhan harusnya mengampuni diri saya kalau saya yang berdosa, Allah itu kasih. Tetapi kalau orang yang berdosa, kita itu adil. Dan bahkan keadilan yang kita tunjukkan sering kali adalah keadilan yang tidak seimbang. Dan kita nggak rela menyerahkan pengadilan itu kepada Tuhan Allah karena kita merasa mata ganti mata, gigi ganti gigi, itu nggak adil, yang adil itu adalah “mata ganti mata dan plus gigi, itu baru adil.” Makanya kita nggak rela lepaskan itu kepada Tuhan. Tapi Saudara, itu semua adalah bertentangan dengan berita Injil. Di dalam Surat Roma Paulus berkata seperti ini, adakah orang yang mau mati bagi orang yang benar? Nggak ada. Mungkin tidak ada. Adakah orang yang mau mati bagi orang yang baik? Mungkin ada. Adakah orang yang mau mati bagi orang yang jahat? Bapak, Ibu, Saudara mau mati bagi orang jahat? Saya pikir kita nggak mau kan? Tetapi Paulus bilang, tapi Kristus mati bagi engkau yang jahat. Kau dan saya yang jahat ini. Pada waktu kita masih adalah seteru dari Tuhan Allah, Kristus mati bagi diri kita. Makanya kalau kita hidup di dalam kemarahan kepada orang lain, maka itu hanya menyatakan kita memiliki kehidupan yang bertolak belakang dengan Injil. Kalau kita hidup dengan satu kemarahan, dikuasai dengan kebencian kepada orang lain, itu hanya menyatakan kita masih dalam kehidupan yang belum menerima kasih karunia, pengampunan dari pada Kristus. Dan itu adalah kehidupan sebagai manusia lama, bukan hidup sebagai manusia baru.
Bapak Ibu masih ingat perumpamaan tentang pengampunan. Saya pikir itu perumpamaan yang bagus sekali ya. Ada satu orang yang berhutang 10 ribu talenta, ada 1 orang yang berhutang 100 dinar. Satu dinar itu upah 1 hari kerja. Satu talenta itu upah 1 tahun kerja. Lalu orang yang punya hutang 10 ribu talenta ini karena nggak bisa bayar hutangnya bahkan sampai mati pun mungkin nggak bisa bayar, punya anak cucu dan cicit pun mungkin nggak bisa bayar, akhirnya raja memanggil dia lalu raja ngomong, kamu kan nggak bisa bayar, sekarang aku akan jual kamu dan keluargamu semuanya sebagai budak. Lalu orang ini berkata, raja, tolong sabar dahulu. Aku pasti akan melunasi hutang yang aku miliki kepada engkau. Tolong sabar dahulu. Kasih saya waktu. Rajanya bilang, sudahlah, karena dia jatuh belas kasih, dia tahu nggak mungkin orang ini bayar, kecuali dia jadi raja mungkin ya, baru bisa habis bayar hutang sebesar itu. Rajanya bilang, saya kasih kamu pengampunan. Kamu nggak perlu bayar hutang 10 ribu talenta itu. Kamu boleh keluar sebagai orang merdeka. Lalu ketika dia keluar, dia bertemu dengan teman baiknya yang berhutang 100 dinar. Lalu apa yang dia lakukan? Dia tangkap orang itu, dia serahkan kepada algojo, dia suruh orang menyesah saudaranya ini, walaupun temannya ini ngomong sabar dulu teman, aku pasti bayar. Aku bukan nggak mau bayar. Aku pasti bayar. Tolong kasih waktu bagi aku. Dia nggak peduli. Hari itu juga dia harus bayar hutang. Saudara, pada waktu teman-teman dari orang yang berhutang yang 100 dinar ini mengetahui itu, Alkitab mencatat, mereka datang kepada raja dan mengadukan tindakan orang yang berhutang 10 ribu talenta itu kepada raja. Lalu apa yang terjadi? Kita buka ya Matius 18. Matius 18:31 “Melihat hal itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” Kita bisa jatuh dalam kondisi seperti ini. Ada bahaya itu. Tapi kalau kita jatuh dalam kondisi ini, saya mau ingatkan, itu bukan cara hidup anak Tuhan yang telah mendapatkan pengampunan dari pada Kristus.
Ada satu hal lagi, mungkin bisa dikatakan dua hal, kalau kita memiliki Roh Kudus, pasti ada buah Roh dalam hidup kita. Dan salah satu buah Roh itu adalah kesabaran, kemurahan, sukacita, dan kelembutan. Tapi hal yang lebih, yang perlu kita perhatikan juga, pada waktu kita hidup di dalam kemarahan dan kebencian, sebenarnya kita gagal di dalam mengerti doktrin tentang gereja. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita perhatikan surat Efesus, surat Efesus itu bicara tentang gereja kan? Dan gereja yang ditebus oleh Kristus itu adalah gereja yang digambarkan sebagai satu tubuh. Kesatuan tubuh yang dengan beda-beda anggota. Setiap orang Kristen itu ketika dia menjadi orang yang percaya dalam Kristus, dia bukan orang-orang individu-individu yang tidak ada hubungannya dengan orang Kristen yang lain, tetapi kita memiliki relasi yang erat, relasi organik dengan orang-orang Kristen yang lain. Nah pada waktu kita marah, kita menyakiti saudara seiman mereka yang lain, itu adalah kita sedang menyakiti anggota tubuh kita sendiri. Cuma susah ya ngeliat kayak gini ya? Saya marah dengan orang kok, bukan marah kepada tubuh saya sendiri. Saya menyakiti orang kok. Saya bukan menyakiti tangan saya sendiri atau perut saya sendiri, kepala saya sendiri, atau kaki saya sendiri. Tapi kalau kita berpikir seperti ini, kita sebenarnya sedang dalam kondisi yang tidak mengerti konsep tentang tubuh atau gereja. Kita masih kurang itu dalam pengertian tentang kebenaran firman Tuhan. Maksud Paulus adalah, kalau kita sungguh-sungguh mengerti kita adalah sesama tubuh, kita nggak mungkin hidup terus-menerus menyakiti teman seiman kita atau saudara seiman kita. Kita harusnya mengampuni dia, dan kita belajar mengasihi dan menerima keberadaan dia di tengah-tengah kehidupan kita karena kita adalah satu tubuh. Satu tubuh membuat itu nggak mungkin menyakiti tubuh sendiri.
Saya harap pada waktu kita mendengar seperti ini, itu bukan suatu pengetahuan bagi Bapak Ibu saja, Saudara, tetapi ini adalah suatu kebenaran realita yang harusnya dimiliki oleh setiap hidup dari pada orang Kristen. Kita harus lihat dengan kaca mata Tuhan, jangan dengan kaca mata kita sendiri. Dan itu membuat kita bisa makin menyatakan kehidupan kesatuan dalam persekutuan, dan melalui kehidupan kesatuan dalam persekutuan itu kita bisa membawa kemuliaan bagi nama Tuhan kita. Setiap kali kita berkumpul, setiap kali kita bersekutu, saya percaya kalau kita mengerti poin ini dengan baik, yang kita akan tampilkan itu bukan kemarahan, tetapi kasih kepada sesama saudara seiman kita. Kiranya Tuhan boleh memberkati kita.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]