Flp. 1:13-14
Vik. Leonard Chandra, M.Th.
Di dalam bagian kita menemukan ada suatu penderitaan yang dialami oleh Paulus sehingga sampai dia dipenjarakan. Dan kita kembali mengingat bahwa ini adalah salah satu surat yang dituliskan Paulus ketika dia berada di penjara. Yang menarik adalah di tengah penderitaan ini, dia justru menuliskan surat dan surat ini bukan banyak berbicara kesulitan dia di penjara, tapi justru surat ini dituliskan untuk menguatkan jemaatnya, bahkan disebut sebagai surat sukacita, ketika dituliskan surat Filipi ini.
Menarik ketika saya merenungkan bagian ini, saya teringat di berapa waktu yang lalu, gitu ya, ada suatu berita tentang ada seorang anak muda, gitu ya, kayanya pemudi, dia itu sedang liburan di suatu tempat, lalu dia liburan di tempat itu. Lalu dia melihat, oh di tengah hiburan, di tempat sana, suatu resort ada tempat untuk pemeliharaan ikan hiu, gitu ya, mungkin kalau ada beberapa yang tahu. Lalu di tengah-tengah ikan hiu itu, dia “Wah, ikan hiunya cantik sekali, pelihara gitu.” Lalu dia dapat ide, “Oh, coba saya itu berenang di atas ikan hiu itu, lalu sudah pakai gayanya gini, lalu difoto.” Begitu ya kira-kira. “Oh, itu keren kan, bisa berenang di atas ikan hiu. Lalu dipotret lalu nanti dipublish seperti itu di social media.” Singkat cerita kalau kita ada yang tahu kisah itu, gitu ya, kenyataannya setelah dia mau foto seperti itu, demi posting, kenyataannya malah dia digigit oleh ikan hiu, lalu sampai akhirnya dilarikan segera ke rumah sakit. Kalau kita pikir, aduh itu karena hanya demi posting di social media saja, sampai harus sebegitunya nekatnya kalau mau dibilang, gitu ya. Lalu dia sampai digigit ikan hiu dan dilarikan ke rumah sakit. Saya terus terang ya, kalau kaya ketemu yang begituan, saya juga heran, kok ada yang kaya model begini? Bodohnya kaya begini, habis itu harus sampai dilarikan ke rumah sakit seperti itu. Terus mungkin sebagai hamba Tuhan, andaikata ini terjadi pada jemaat kita, lalu mungkin pengurus ajak, “Yuk, pak Leo kita pergi besuk.” Sambil saya besuk di rumah sakit, mungkin saya sambil geleng-geleng kepala, ini yang harus saya tangisi penderitaan dia atau kebodohan dia, gitu ya? Ya ini, ya kamu yang salah. Ya kita menemukan dari kisah itu dan sebenarnya banyak kalau kita membaca saja berita dalam dunia ini, ada banyak penderitaan yang dialami oleh umat manusia. Tapi pertanyaannya, apa penyebab penderitaan itu? Itu akan menjadi kunci yang penting.
Kenyataannya, ada orang yang menderita kenapa? Karena kebodohannya sendiri, karena kesalahannya sendiri. Dan itu terus nanti bilang, “Oh ini saya tanggung, saya pikul salib, pak!” Rupamu tanggung salib, gitu ya, itu bukan pikul salib, itu karena kesalahanmu sendiri. Ada orang melakukan kesalahan-kesalahan dan kebodohan-kebodohan, dan akibatnya dia menderita. Tapi itu bukanlah suatu penderitaan yang berharga, itu bukanlah suatu penderitaan yang bernilai. Belum lagi memang ada orang diikat karena dosa, dia jatuh ke dalam penderitaan. Kadang-kadang kalau orang merokok, lalu dia merokok gitu, “Wah, merasa kebebasan, kebebasan.” Actually, itu bukan dia merasa kebebasan. Actually, he burnt it. Actually, orang membakar kebebasannya ketika dia merokok itu. Kenapa? Karena sejak saat itu dia diikat oleh rokok itu. Akhirnya dia nggak bisa bebas lagi kan? “Oh, kalau saya merokok itu, rasanya bebas, rasanya manly, rasanya jago.” Gitu ya? Ya sejak itu kamu diikat rokok itu, dan akhirnya kamu justru kehilangan kebebasan. Dan itu ya, selalu model dosa itu adalah justru menjerat kita, mengikat kita, dan akhirnya menjatuhkan kita kepada berbagai-bagai lubang, berbagai-bagai penderitaan. Lalu kalau kita lihat, ya ini suatu kesulitan yang kita harus pikul, biarlah kita waspada dan mawas menilai bahwa itu sebenarnya bukanlah salib yang Tuhan ingin kita pikul. Kembali ya, memang di dalam panggilan kita mengikut Tuhan, kita harus sangkal diri, pikul salib, ikut Tuhan. Tapi bukan berarti setiap salib harus kita pikul. Pikirkanlah baik-baik, apa penderitaan yang pantas kita pikul apa yang tidak pantas. Dan hal-hal yang tidak pantas itu sebenarnya hanya menjadi membuat kita hidupnya itu makin menjauh dari kehendak Tuhan, makin jauh dari kehendak Tuhan.
Kalau kita kembali melihat di dalam apa yang dialami Paulus ini, mungkin banyak orang lihat, “Oh, ini kenapa dia dipenjarakan? Ya, karena dia nekat sih, penginjilannya tuh sampai terbuka seperti sampai akhirnya dia ditangkap, dan seterusnya.” Tapi kalau kita lihat ini, penderitaan yang dialami Paulus bukanlah suatu tujuan tapi melainkan efek yang diterima oleh Paulus. Saya percaya, dalam kehidupan Paulus dan sama seperti setiap kita, kita bukannya itu sengaja mau cari penderitaan, kecuali yang bodoh-bodoh kaya gitu ya. Tapi orang kalau yang waras, berpikir dengan akal sehat, dengan sungguh bertanggung jawab di hadapan Tuhan, dia itu tidak ada orang normal itu sengaja mau cari penderitaan. Yang kita kejar itu adalah panggilan Tuhan, yang kita tujukan mata kita itu kepada Tuhan. Tapi kemudian ketika kita menjalaninya, ada suka maupun duka, itu adalah efek. Kembali ya, tujuan, goal-nya itu Tuhan, tetapi ketika menjalaninya, ada penderitaan yang muncul, itu adalah side effect, yang memang tak terhindarkan dalam kehidupan. Termasuk ketika memberitakan Injil, yang dilakukan oleh Paulus di sini. Dan ketika dia mengalami efeknya itu, sampai dia dipenjarakan, dan kita tahu kehidupan Paulus itu bukan cuma dipenjarakan sekali, beberapa kali dia keluar masuk penjara, dan juga dia mengalami siksa, karena untuk sebagai orang hukuman itu dia sudah dicambuk berkali-kali, kita tahu itu di dalam bagian surat yang lain menyatakan demikian. Dia juga pernah, dalam pelayanannya itu sampai kapalnya karam. Kapal karam berarti sudah hampir mati, di zaman itu ya nggak ada pelampung kaya sekarang ya. Itu pun zaman sekarang ada pelampung pun belum tentu selamat, apalagi zaman dulu. Wah itu kalau kapal karam, ya itu sudah bayangannya, ya mungkin mati gitu. Eh tahunya lolos. Coba kalau kita alami itu, “Oh, berikut saya penginjilan lagi ya?” Biasanya kita kan kalau gitu, “Wah trauma pak. Saya trauma soalnya kapal karam sih, hampir mati gitu lho.” Jadi kaya, “Ya, saya sih mau sih penginjilan, tapi kalau sampai hampir mati gitu, ya jangan dulu deh, jangan dulu.”
Berapa banyak kita justru melihat kalau kaya gitu saya stop. Ketika saya akan mengerjakan pelayanan kalau saya ada waktu luang, saya akan mengerjakan pelayanan ya kalau saya memang waktunya bisa. Berapa banyak kita melihat, ketika ada hambatan pun kita berani terobos atau tidak? Ketika kita mengerjakan panggilan Tuhan, adakah kita melihat itu, ketika ada tantangan, bahkan penderitaan sekalipun, kita tetap tekun lakukannya. Kenapa? Bukan karena kita nekat, bukan karena seperti ya itu ya tadi yang ilustrasi awal itu: karena lihat hiu, justru sengaja mau terjun ke sana, bukan. Tapi karena kita tahu itu kehendak Tuhan maka kita jalankan. Apapun resikonya, kita jalankan. Karena apa? Karena itu kehendak Tuhan dan itu yang dijelaskan oleh Paulus di sini. Dia mengalami suatu penderitaan yang berharga, yang worthed dijalankan sebagai pengikut Kristus. Di sini kita lihat, ya banyak orang zaman sekarang itu mengatakan, “Kalau kita ikut Tuhan, pasti sukses, pasti kaya.” Ya itu sama saja dengan kaya mau menang lotre, gitu kan? Itu kekristenan teologi kemakmuran, kekristenan yang hanya menawarkan untung, dukunisme seperti itu, itu bukanlah kekristenan yang asli. Kekristenan yang sejati, ketika kita kembali kepada Kitab Suci, justru adalah ketika orang ikut Tuhan, resiko di depan menderita, bahkan sampai mati.
Itulah artinya kita menjadi pengikut Kristus. Kenapa? Karena Kristus pun sudah lebih dulu, rela mati di kayu salib untuk menebus dosa kita. Itu yang kita lakukan. Itu yang kita lakukan. Kalau Kristus saja berani meresikokan hidupNya, bahkan sampai mati kayu salib untuk menebus dosa kita. Kenapa kita tidak berani ambil resiko? Kenapa kita nggak berani ambil resiko? Demi ikut Tuhan, demi ikut Tuhan. Kembali lagi, bukan karena semata-mata demi resikonya itu sendiri, tapi biarlah kita lakukan itu demi Tuhan, demi mengikut Tuhan. Dan itu menarik di bagian ini, adalah ketika Paulus kerjakan dengan sungguh, maka itu menjadi suatu kesaksian yang luar biasa, yang dia katakan di sini bahwa itu, di ayat 12, menyebabkan kemajuan Injil. Bagaimana itu menyebabkan kemajuan Injil? Dia katakan di ayat 13, “Sehingga telah jelas bagi seluruh istana, dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus.” Istilahnya itu, bagi orang istana itu, praitōrion – itu berarti kumpulan orang istana. Itu kan, kalau kita ngerti, orang Istana itu bayangannya dan konsep berpikirnya itu, kalau dibilang doktrinnya ya, itu sebenarnya itu selalu fokus kepada Kaisar kan? Kalau kita perhatikan, di zaman itu, bukankah penguasaannya adalah Kaisar Roma dan mungkin Nero di situ ya. Jadi saat zaman itu, penguasanya itu adalah Kaisar dan prajurit-prajurit Roma itu ketika mengerjakan apa-apa, mereka tahu pokoknya lakukan ini demi Kaisar, demi Kaisar. Ketika prajurit Roma itu maju berperang, kenapa? Demi Kaisar, disuruh kaisar sih, saya lakukan. Bahkan ketika mereka ditangkap, dipenjarakan, ya juga demi kaisar. Sebaliknya ketika ada orang dipenjarakan, ketika ada orang dibunuh, ketika ada orang sampai ditahan di dalam pemenjaraan. Maka mereka lihat, ya ini orang karena lawan kaisar. Sederhana ya. Jadi titik kontak poinnya itu adalah kaisar. Kami pro-dia, maka ya kamu jalankan ini, atau kamu lawan dia, ya makanya kamu menderita. Kira-kira gitu. Kamu ikut kaisar, maka kamu akan hidup bahagia, kamu sukses. Kuncinya di kaisar, dia penguasa kok. Nah, kamu lawan dia? Ya kamu akan menderita, kamu akan ditahan, dipenjara.
Tapi di bagian ini, itu menarik, di dalam kisah ini, justru di dalam pemenjaraan Paulus, kesaksiannya itu begitu luar biasa, sehingga orang-orang istananya itu bisa dirubah cara konsep pandangannya, iya kan? “Oh banyak orang memang di penjara ini, aneka macam. Intinya sih, mereka lawan kaisar. Tapi satu ini, dipenjarakan kenapa? Bukan karena kaisar, tapi karena Kristus. Karena Kristus lah dia dipenjarakan, itu menjadi suatu kesaksian luar biasa.” Berapa banyak dalam kehidupan kita itu kita bisa menjadi suatu kesaksian yang nyata, sampai sedemikian, bahkan orang yang berbeda pandangan dengan kita, bahkan beda iman sekalipun, “kamu lakukan ini memang karena kamu pengikut Kristus.” Karena kita Kristen, Kristen adalah Kristus kecil, dan kita menjalankan panggilan kita itu sesuai; bukan kita mencocokkan Kristus ikut kita tapi justru kita mencocokkan diri kita mengikut Kristus. Dan di bagian itu, ketika Paulus lakukan, justru itu menjadi suatu kesaksian luar biasa. Sederhana saja, kita kalau pergi pelayanan, kalau ada yang pernah pelayanan di penjara. Itu kira-kira kita hafal nggak sih semua ini, orang tahanan si ini dipenjarakan karena apa, ini dipenjarakan karena apa. Kita kadang-kadang, ya sudahlah, ini orang di penjara kan banyak. Siapa yang mau ingat satu-satu kejahatannya, gitu ya? Paling kalau sidang baru diingat: Oh, coba buka perkamennya, namanya misalnya Leo, gitu ya, kalau saya misalnya lah gitu, oh dipenjarakan kenapa? Alasannya ini ini. Oh Paulus, alasannya ini ini. Kan seperti itu. Tidak ada yang menghafal. Apalagi orang-orang penjara itu. Tapi sedemikian luar biasa kesaksian dari Paulus itu, jadi orang lihat, orang ini lho ya, bolak balik masuk penjara, karena apa? Ya karena Kristus itu. Kenapa kamu masuk penjara? Kamu mencuri ya? Kamu masuk penjara karena mau ini ya Mau menantang Kaisar, mau memberontak? Oh bukan. Kenapa? Karena Kristus. Bolak balik karena itu. Bolak-balik karena itu, sampai akhirnya bohwat. Itu orang pemerintahan Romawi cuma lihat, ini memang pengikut Kristus. Udah itu aja. Kenapa dia dipenjarakan? Ya karena Kristus. Kaisarnya sudah ganti-ganti, kalau kita ingat sebelumnya juga ada Kaisar Vespasianus, kemungkinan zaman Paulus juga; kaisarnya sudah ganti tapi orangnya ini tetap ikut Kristus. Itu yang tidak berubah.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, setiap kitapun kadang mengalami penderitaan kan? Sederhana saja, bagi rekan-rekan yang mahasiswa, kalau anda sampai malam lembur begadang, ya kecuali orang yang suka begadang, kalau orang sampai lembur begadang itu kan ada alasannya, istilahnya begadang itu ya jangan cuma begadang lah tapi ada artinya, ada alasannya itu kenapa. Kalau, kenapa begadang? Ya untuk main game; itu bodoh banget ya, terus besok sakit-sakitan, flu. Tapi kenapa ada mahasiswa itu begadang? Oh besok ini ujian. Jadi karena kampus, karena tujuan dari perintah dosen misalnya mendadak besok harus kumpul paper. Kalau orang kerja, kenapa orang kerja sampai lembur? Kadang-kadang memang saya ketemu orang lembur memang hanya senang lembur, tapi rata-rata kenapa sih kita sampai rela lembur? Karena bos kita kan? Bos kita suruh, “Kamu lembur ya,” ya lembur, mau gimana. Kalau kita misalnya pagi ini mau datang ke gereja tiba-tiba ditelpon, “Eh kamu masuk kantor ya,” kita tetap ke sini atau pergi ke kantor? Mungkin sambil ngedumel tapi ke kantor juga. Alasannya kan adalah karena bos. Tapi adakah kita bisa melakukan sesuatu sedemikian jelasnya sampai akhirnya orang lain lihat, “Dia lakukan ini karena Kristus.” Karena Kristus, ini menjadi kesaksian yang nyata sekali. Karena sebagaimana kita mengerti istilah kesaksian itu di dalam bahasa Yunaninya adalah martureō, dan ini menjadi akar kata martir itu sendiri, ataupun dalam salah satu tri tugas gereja adalah marturia. Jadi jangan kita suka berpikir “Oh orang martir itu apa?” “Itu lho Pak, orang pahlawan-pahlawan iman yang rela mati” atau mungkin setengah nekad. Nggak, mereka mati itu akar katanya martir dari martureō berarti mereka bersaksi, mereka mati karena kesaksian. Ada orang mati karena kesaksian yang beda-beda kan. Dalam kehidupan kita itu ada orang mati kenapa? Wah karena dia penjahat, itu kesaksiannya, dan semua keturunannya malu seumur hidup. Tapi orang-orang Kristen, khususnya jemaat mula-mula, justru satu persatu mati bukan karena satu atau lain hal tapi karena mereka bersaksi bagi Kristus. Itulah artinya mereka menjadi martir, martureō, bersaksi bagi Kristus, menyatakan bahwa Kristus lah Tuhan atas diri mereka, Tuan, Lord of lords, Tuan di atas segala tuan yang kepadaNya mereka tunduk. Itu yang ditaati oleh orang-orang Kristen zaman itu.
Dan ketika merenungkan bagian itu, saya teringat salah satu jemaat kami yang pernah bergumul, bukan di cabang sini, dia bersaksi bahwa di dalam kehidupan dia itu dia punya toko di tempat trade center. Dan dia buka toko setiap hari sampai suatu ketika dia memang sadar bahwa orang Kristen itu seharusnya Hari Minggu itu Sabat, dan kalau Sabat itu harusnya ya tutuplah tokonya. Saya nggak tahu ya di sini siapa yang memikirkan itu. Di Hari Sabat itu ada rest, ada peristirahatan dan kita berhenti di situ dulu untuk sementara. Lalu jemaat kita ini bergumul, bolak-balik bergumul ini tutup nggak ya. Sampai akhirnya suatu ketika dia tetapkan “Ya sudahlah saya tutup.” Jadi Senin-Sabtu buka, Minggunya tutup. Padahal kita kalau yang biasa buka toko itu tahu ya, justru mall itu ramainya kan di Minggu, tapi dia tutup. Dan konon katanya dia bilang karena lokasi gereja kami itu nggak terlalu jauh dengan lokasi mall nya, kadang kalau bunyi bel dari mall itu dia kayak teringat, “Aduh tokoku tutup.” Tapi dia bergumul dan tetap komit “Nggaklah, ini Sabat, saya tutup.” Ya itu memang pergumulan dia pribadi. Tapi kita andaikata pas lagi Minggu sudah selesai ibadah lalu kita jalan di mall itu sampai lewat di depan pintu tokonya, apa yang akan kita temukan? Satu tulisan: HARI MINGGU TUTUP. Terus kita tanya-tanya, kenapa ya dia Hari Minggu tutup? Sederhana ya, dia tulis saja “Hari Minggu tutup” dan saya pernah ketemu juga ada rumah makan seperti itu, itu kan orang nggak perlu dijelaskan “konsep Sabat itu gini-gini lho, prinsipnya itu begini,” tapi langsung kesaksian jelas semua orang tahu ya dia tutup karena dia Kristen, that simple kan. Karena kadang memang suatu tindakan itu justru berbicara lebih kuat daripada kata-kata. Kita bisa bolak-balik argumen, “Oh harusnya konsepnya begini-begini,” sudah kita lakukan saja, itu sudah kesaksian nyata. Setiap orang heran ya, Minggu semua buka, ramai, ini satu tutup. Itulah menjadi kesaksian yang nyata apa artinya kita hidup bagi Kristus, apa artinya bahkan kita rela dipenjarakan bagi Kristus, mengalami kesulitan bagi Kristus. Saya berdoa dan berharap setiap kita ketika kita berhadapan dengan tarikan dunia, kesaksian hidup kita itu bisa begitu kuat, begitu nyata sehingga tatkala misalnya kita menolak untuk bisnis di hari Minggu, itu biarlah orang langsung tahu, “O iya karena dia Kristen.” Tatkala misalnya kita menolak menerima suap, O iya karena dia Kristen. Kenapa kita menolak pergi ke pelacuran? Ya karena dia Kristen. Atau bahkan misalnya seorang anak muda bisa menolak berpacaran dengan yang beda iman? Ya sederhana saja, “not because i don’t love you but because of Christ, He is my Lord and i am His servant.” Bahwa karena Kristus, dan Dia adalah Tuan atas hidupku dan saya hambaNya dan saya mentaati Dia. Itu kesaksian yang nyata, kesaksian yang dihidupi oleh Paulus.
Dan menariknya di bagian ini, poin berikutnya adalah Osbourne mengatakan ada double meaning di sini. Pengertian kesaksian dia dipenjarakan karena Kristus itu bisa bermakna, pertama, dia dipenjarakan gara-gara Kristus, penyebabnya adalah Kristus; namun yang lebih penting lagi adalah bukan saja secara kacamata horisontal tetapi melihat secara vertikal. Bahwa Kristuslah yang merancangkan semua situasi ini untuk menggenapi tujuanNya. “Saya dipenjarakan karena Kristus,” jadi bagi semua orang lain dia dipenjaraka karena apa? Oh karena dia Kristen sih, dia ikut Tuhan. Tapi secara kacamata vertikal Paulus melihat “saya dipenjarakan kenapa?” Karena Kristus, karena rencananya Kristus, karena Kristus yang mau dibalik semuanya ini adalahh saya dipakai menjadi saksi bagi orang-orang di istana itu. Dan di situlah berarti kacamata yang melihat bukan hanya secara apa penderitaan yang kita alami di dalam dunia ini, tapi melihat dibalik semua ini ada Allah yang berdaulat, yang mengerjakan segala sesuatunya untuk mendatangkan kebaikan. Kebaikan bukan yang versi kita tetapi menurut rencana Allah. Coba kita pikir ya kalau misalnya ada meeting pengurus di zamannya Paulus, “Ayo kita pikir, next trip-nya kita pelayanan kemana?” Memanngnya bisa gitu lalu pengurusnya pikir, “Ya sudahlah Paulus, berikutnya kamu pelayanan penjara.” Pelayanan penjaranya bukan tengok, bezuk orang tapi masuk di dalam selama beberapa lama. Nggak mungkin kan? Saya rasa sesadis-sadisnya pengurus nggak sampai gitu, tapi ini berarti ada sesuatu yang diluar ekspektasi manusia, diluar dari perencanaan Paulus. Tapi dia lihat ketika ini terjadi, ini karena Kristus. Kalau memang Kristus ingin saya pelayanan di penjara, ya lebih baik saya di penjara daripada di luar. Berapa banyak kita itu memikirkan sampai situ? Kalau Kristus hari ini menginginkan anda mengerjakan suatu pelayanan, apakah anda akan mengatakan iya, apapun resikonya, atau kita nego dulu bisa nggak dikurangi, bisa nggak ya ngak usah sampai dalam penjara lah tapi saya bolak-balik aja masuk. Tapi adakah kita punya hati yang sungguh mau taat dan lihat ini kedaulatan Dia, ini adalah rencana Dia, karena pelayanan itu bukan milik kita, bukan rancangan kita tapi itu adalah milik Tuhan sendiri. Dan kepada siapa Tuhan ingin kita layani, kepada merekalah kita pergi. Itulah yang seharusnya kita lihat dalam kehidupan kita. Paulus itu sudah alami banyak sekali, berkali-kali dia itu buat planning, nggak jadi. Buat planning mau pelayanan kemana, eh malah belok, kapalnya karam terus nggak sampai di tujuan malah ke tempat lain. Mau pergi ke tempat yang baru untuk next mission trip, eh malah dipenjarakan. Tapi di situ Paulus melihat, kembali lagi, dia dimurnikan juga, dia dibentuk juga, “Oh ternyata pelayanan ini memang dikerjakan untuk Kristus, menggenapi rencana Kristus.” Dan kalau kita mengerti istilah hamartia, meleset dari sasaran, berarti harus pas di titiknya itu, itulah hamartia, meleset dari poin yang mau dituju.
Dan berapa banyak saat kita mengerjakan pelayanan kita memikirkan di dalam konsep ini? Bahwa kalau kita tidak melakukan seperti yang ingin Kristus tujukan, itupun adalah hamartia. Bisa bungkusannya bagus, “saya pelayanan kok, saya kerjakan ini, saya bersaksi, saya sebut nama Tuhan kok.” Itulah tidak heran kenapa kita temukan di dalam Matius pasal 7 mengatakan “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu, “Tuhan, Tuhan,” dia akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” “Oh Tuhan, bukankah kami melakukan mukjizat demi namaMu? Bukankah kami bernubuat demi namaMu? Bukankah kami mengusir setan demi namaMu?” Langsung dijawab, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, Aku tidak mengenal engkau, enyahlah kamu pembuat kejahatan.” Kenapa? Karena mereka bukan mau melakukan kehendak Allah. Bisa nangkap poinnya di sini? Bukan masalah aktivitasnya, tapi kamu lakukan bagi siapa, tujuannya siapa? Dan ketika tepat sesuai dengan mau Tuhan, itu baru pelayanan. Kalau tidak tepat itu tidak ada gunanya. Lho secara menusia kan luar biasa gitu ya, ada orang melakukan mukjizat, ada orang bernubuat, itu terjadi, bernubuat terjadi, dia usir setan juga terjadi, tapi ternyata yang belum pernah dia lakukan apa? Kehendak Bapa, dan itu adalah meleset dari sasaran, hamartia, itupun adalah dosa. Berapa banyak kita kalau kerjakan pelayanan pikirkan secara obyektif, dengan jujur di hadapan Tuhan, ini kehendak Tuhankah? Kalau kehendak Tuhan, seberapa susahnya kita kerjakan. Ini kehendak Tuhan, bukan cuma ikuti apa kata manusia. We are not people pleaser, we are God pleaser. Kita hanya mencari perkenanan Tuhan saja, bukan perkenanan manusia. Memang paling baik adalah ketika kita memperkenankan Tuhan lalu kemudian sesama kita juga sama-sama mendukung, tapi kenyataannya tidak selalu demikian kan, adakalanya kita memang mau menyenangkan Tuhan dan akhirnya kita dibenci oleh sesama. Adakalanya ketika orang bilang, “Ya saya beritakan injil itu ya saya dengarkan dia dulu lah, jangan langsung serang, halus caranya,” saking halusnya ya sampai nggak beritakan injil juga. Kenapa? Karena lebih jaga relasi horisontal ini, “sosial itu jangan sampai masalah, jangan sampai konflik.” Tapi kita konflik dengan Tuhan? “Ya biasalah Tuhan itu maha pengasih, maha penyayang.” Kita itu suka pikir kayak gitu, padahal di mata Tuhan lihat ini dosa.
Kalau kita perhatikan seberapa detil di dalam Kitab Suci itu mencatat begitu detil-detil kecil apa yang bisa kelihatannya baik tapi kalau di mata Tuhan itu salah itu adalah dosa. Saul dengan Daud, kalau kita banding saja ya, kalau kita mau ngomong secara sisi manusia bukankah Saul itu raja yang lebih baik daripada Daud? Oiya lho, Saul itu ketika sedang menghadapi perang, semua prajurit, semua jenderal sudah siap-siap, “ini musuh sudah dekat, kita tunggu nabi Samuel, nabi Samuel nya telat, ya sudahlah persembahkan saja supaya maju perang, tetap kok bagi Tuhan.” Itu sangat masuk akal sekali, sangat logis sekali, dan sangat pro kepada rakyat, sanggat sangat pro kepada rakyat. Tapi lalu Tuhan bilang, “Oh iya bagus kamu senang kepada rakyat”? Nggak, Samuel marah kan. Samuel marah bukan masalah telatnya tetapi hatimu itu condong kepada rakyat bukan kepada Tuhan. Kalau kita lihat lagi di dalam peperangannya hadapi Raja Agag, dia lakukan perang, Tuhan sudah perintahkan habisi semua, tapi dia bilang “Oh nggak apa-apalah, ada hal-hal yang baik ini, yang bagus-bagus dikasih ke tentara pasukannya. Lalu ada raja ini kan masak sih sampai dibunuh, ya sudahlah biarkan saja dia hidup. Itu Samuel sampai datang memurkai, dia bilang, “kamu melawan Tuhan.” Bukankah secara sosial itu sangat baik? Kita ngomong apa adanya, obyektif lho ya, Saul itu kalau kita lihat secara raja jauh lebih baik dibanding Daud yang begitu jadi raja malah lakukan macam-macam, malah berzinah dengan Barsyeba, dan seterusnya. Secara pandangan manusia kita lihat bagusan Saul, tapi di hadapan Tuhan lebih baik Daud, kenapa? Karena meski dia ada berdosa, ketika dia ditegur dia berbalik kembali kepada Tuhan, bertobat. Karena memang hati Daud itu terus mau menyenangkan Tuhan. Betul dia bisa gagal, ada dia jatuh dalam dosa dengan begitu fatal. Sampai kalau kita lihat di dalam sisi anak-anak Daud saja, kita lihat Yonatan itu anaknya Saul dan anak-anak Saul itu tidak ada yang sampai memberontak, kudeta terhadap bapaknya; jadi mungkin dia ini keluarganya juga baik sekali. Tapi Daud? Habis-habisan kan, Absalom memberontak, anak-anaknya saling bunuh-bunuhan. Tapi kembali, kalau kita melihat bukan dari sisi mata manusia tetapi sisi mata Tuhan, barulah kita tahu apa artinya memperkenankan Tuhan. Berapa banyakkah kita lihat dalam kehidupan kita kehendak Tuhan itu yang harus terjadi dalam kehidupan ini? Dan menggumulkan masing-masing setiap kita, apa panggilan Tuhan atas hidup kita. Kadang-kadang ketika saya bertanya, “Coba gumulkan apa panggilanmu.” Jawabannya, “Oh pokoknya bukan jadi hamba Tuhan pak.” OK andaikatapun masih bisa digumulkan karena saya juga baru tahu panggilan menjadi hamba Tuhan dikemudian hari, tetapi andaikatapun clear bukan menjadi hamba Tuhan, kalau begitu panggilanmu apa? Kita harus gumulkan itu, apa panggilan Tuhan atas hidup kita. Dan terkadang memang secara obyektif Tuhan hadirkan di dalam konteks kehidupan kita, yaitu seperti misalnya ketika kita dipercayakan pelayanan KKR Regional, kita berbagian nggak? Itu saja salah satu bentuknya, ini kehendak Tuhan obyektif. Ketika nanti kita mau membangun gereja, kita mau berbagian nggak? Itu adalah kehendak Tuhan yang obyektif di kehidupan kita, pertanyaannya kita responi mau taat atau nggak, kita mau lakukan atau nggak?
Dan di sini kita lihat itulah yang dikerjakan oleh Paulus yang sampai sedemikian dia rela berkorban untuk mengerjakan semua itu. Dan kita lihat bukan saja penyebabnya, cause-nya, tetapi juga result-nya. Jadi hasilnya itu seperti apa, yaitu kita temukan di ayat 14, “Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut.” Di sini kita lihat ketika kita rela menderita bagi Tuhan itu efeknya bukan cuma untuk kita tapi justru bagi sesama kita, orang-orang percaya, rekan-rekan seiman kita justru didorong makin berani beritakan injil. Pertanyaannya start dari kita mulai dulu nggak? Pak Tong itu suka mengatakan “you say, you pay,” kamu ngomong ya kamu kerjakan. Kadang-kadang orang tafsirkan “Oh maksudnya kalau kita protes, “Pak Tong kenapa nggak begini?” Ya sudah kamu yang kerjain,” ya sudah jangan mengkritik gitu ya? Kadang ada orang menganggap ini untuk membungkam kritikan orang. Tapi saya yakin kalau kita tafsir secara lebih positif, maksudnya kalau memang Tuhan berikan kamu suatu beban di situ, kerjakanlah, janngan tuntut orang, mulailah kamu kerjakan. Kadang orang mengatakan, “Oh jemaat Reformed itu dingin,” kalau kita memang merasa jemaat kita dingin ya sudah start dari kamu yang sudah hangat dulu toh, cobalah menghangati sesamamu. Kalau kita lihat, “Oh jemaat kita kurang concern mengerjakan ini,” ya start lah, berarti Tuhan sudah memberikan beban kepada kamu, kerjakanlah itu. Dan ketika itu memang obyektif, sungguh dari Tuhan, nanti kenyataannya Tuhan akan menggerakkan orang-orang lain itu juga dikuatkan melalui apa yang kita kerjakan. Nah itu yang saya lihat bedanya. Ketika orang kerjakan sesuatu pelayanan demi memang aktualisasi diri, untuk dia pamer, akhirnya dia mandeg, dia menderita, ya orang tinggalkan. Tapi kalau kita start kerjakan dulu, kita tahu ini jelas visi Tuhan, panggilan Tuhan, lihatlah dalam proses waktu justru ada konfirmasi dari Tuhan adalah salah satunya sesama kita juga melibatkan.
Dan ini saya lihat yang dikerjakan Paulus. Dia kerjakan pelayanan ini sampai masuk penjara, bukannya bikin efek jera, bukannya bikin yang lain trauma, “Oh kalau begitu jangan pelayanan seperti Paulus, lihatlah hasilnya dia dipenjara.” Tapi justru jemaat Filipi dan juga banyak yang lainnya justru bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut. Bukankah luar biasa kita lihat di sini apa yang dikerjakan oleh Paulus, dia kerjakan dengan tidak takut dulu, akhirnya orang lain juga berani berjuang dengan sama tidak takut. Dan itu kita lihat berarti pelayanan itu memang bukan hanya untuk aktifitas kita sendiri tapi demi membangunkan jemaat Tuhan. Itulah pelayanan, kita kerjakan bagi Kristus, Dialah penilai akhir dari apa semua yang kita kerjakan. Dan di situ kita lihat dalam bagian ini justru menguatkan orang makin berani beritakan injil. Kenapa? Karena injil itu jadi nyata, begitu nyatanya. Karena orang suka bilang, “Oh kalau kamu percaya Kristus kamu nanti sehat, nanti kamu sembuh, kalau kamu kere nanti bisa jadi kece, kamu bisa jadi kaya,” itu adalah kekristenan yang lotere, kekristenan yang ya semua juga bisa begitu, dukunpun bisa begitu. Tapi kekristenan yang sejati justru ditumbuhkan melalui proses penderitaan yang ketika bagi orang lain itu kalau kita kerjakan suatu pelayanan sampai susah tetap kita tekun kerjakan maka orang akan bertanya-tanya, “Kok dia mau ya?” Sebaliknya kalau kita kerjakan pelayanan kita tambah sehat, tambah kaya, sukses, siapa yang tidak mau? Semua juga mau begitu. Tapi ketika itu sampai titik penderitaan, kesulitan itu, di situ membuat orang bertanya-tanya imannya ini seperti apa. Iman kita seperti apa? Iman kita sampai bisakah untuk menguatkan orang lain? Minimal dalam lingkungan kita saja, dalam mungkin keluarga kita. Adakah kesaksian dimana kita itu sedemikian nyata sampai orang lihat, “Ya memang kamu itu pengikut Kristus.”
Ketika misalnya kita dengan berani, dengan teguh, menyatakan status identitas kita sebagai orang Reformed misalnya di tengah-tengah orang-orang yang tidak Reformed, tentu bukan untuk kita cari debat dan ribut, tapi adakah akhirnya orang bisa lihat, “Ya memang kamu kerjakan ini kamu punya konsistensi dalam mengerjakan apa yang kamu katakan”? Saya pikir dalam banyak hal sebenarnya kenapa sih orang-orang itu menolak doktrin Reformed ya karena salah satunya karena orang Reformed itu sendiri, yaitu pintar ngomong, action-nya nggak ada. NATO, No Action Talk Only. Cuma berani debat-debat tapi terus nanti tindakannya dia nggak berani. Tapi kalau kita berani mengambil langkah dan terutama bukan cuma sekedar beraninya demi berani itu sendiri tapi demi Kristus, itu justru menjadi kesaksian yang luar biasa. Itu panggilan kita, inilah artinya kita hidup sudah diselamatkan itu untuk apa. Kristus sudah mati menebus dosa kita dengan mati di kayu salib, menyangkal diri, memikul salibNya, mentaati kehendak Bapa sampai mati; kitapun mengikut Dia belum sampai mencucurkan darah, masa sih kita nggak mau sangkal diri? Masa sih kita nggak mau memikul salib yang Tuhan ingin kita pikul? Dan kenyataannya jika anda tidak mau memikul salib, kuk yang Tuhan sediakan bagi kita, justru kita akan memikul kuk yang buatan kita, masuk di dalam penderitaan-penderitaan yang tidak ada habisnya, penderitaan yang tidak ada nilainya, penderitaan yang sebenarnya hanya untuk memuaskan orang-orang dunia dan bukan memuaskan hati Bapa. Kehidupan kita itu kita hanya berada di dunia ini sementara.
Saya terkadang katakan itu coba kita bayangkan ya, misalnya kita hidup di dunia ini berapa tahun sih? 78 tahun menurut Musa di dalam Mazmur 90. Oiya 70 tahun, kalau kuat 80 tahun, setelah itu adalah apa? Kekekalan. Kekekalan itu apa Pak? Panjang. Berapa tahun? Pokoknya panjang. Ya OK lah kita katakanlah 1 trilyun tahun gitu ya, itu aja sudah meminimalisir dari angka tak terhingga gitu ya. Satu trilyun dibanding 70 sampai 80 itu ada bandingannya nggak sih? Nggak sebanding, nggak ada bandingannya. Tapi menariknya di dalam kehidupan kita 70-80 tahun ini di dunia yang sementara ini, apa yang kita kerjakan, bagaimana kita merespon kepada Tuhan, itu mempengaruhi bagaimana kekekalan nanti. Itulah Pak Tong suka mengatakan itu, susah dulu, senang kemudian. Gitu ya. Berakit-rakit dahulu memang senang-senang kemudian. Tapi maksudnya kan kamu susah dulu, ya selama dunia ini susah dulu. Setelah itu senang. Senangnya berapa? Panjang sekali. Triliunan tahun, apa artinya 70 tahun ini, 70-80 tahun ini? Dibanding kita memilih, oh senang dulu. Oh ya sudah, terus anda susahnya triliunan tahun. Coba, kita mau pilih yang mana? Tapi berapa banyak memang kita itu dikecohkan dengan spirit nowadays, hanya untuk hari ini saja. Saya hidup hanya untuk hari ini. Kita gagal melihat kepada kacamata kekekalan itu. Kekekalan yang, ya saya katakanlah angkanya 1 triliun tahun saja, itu begitu limpahnya, begitu luasnya. Dan di situ yang harusnya kita ngerti, saya persiapkan untuk itu. Hidup kita ini persiapan untuk itu. Apa yang akan kita bawa ketika kita bertemu Tuhan kelak? Jika hari ini kita divonis oleh dokter, Bapak atau Ibu, kamu terkena cancer yang fatal, yang stadium 4 sudah tingkat terakhir. Waktu hidup anda cuma sisa 1×24 jam. Apa yang akan anda lakukan? Saya pernah tanyakan ini pada remaja terus bilang, oh kalau begitu saya akan berdoa kak. Oh kalau gitu saya akan rajin baca Alkitab. Oh kalau gitu saya akan rajin PI, misalnya gitu. Oh saya akan minta maaf kepada orang tua saya. Ya biasalah anak remaja gitu ya. Saya minta maaf kepada orang tua saya, minta maaf kepada kakak saya gitu ya. Oh cuma 1×24 jam ya kak? Nggak bisa lebih lagi? Iya memang nggak bisa lagi. Ya udah saya coba pikir apa yang saya bisa kerjakan dengan sisa itu. Ya oke ada plot twist di sini, kenyataannya waktu anda lebih dari itu. So, why don’t do it now? Kenapa nggak lakukan sekarang? Selama masih ada kesempatan di hidup ini, pakailah menjadi saksi bagi Kristus. Pakailah memberitakan Injil-Nya, selagi anda masih punya waktu, selagi anda masih diberikan nafas hidup, karena itulah panggilan kita setelah kita diselamatkan; panggilan kita setelah diselamatkan.
Kalau kita menemukan di dalam Kitab Suci, kita menemukan kisah seperti Lot, orang yang kalau kita baca Perjanjian Lama itu kita pikir, ah hidupnya ini apa sih, cuma ponakan Abraham yang nggak tahu diri gitu ya. Ya terserahlah gitu. Eh sampai Perjanjian Baru baru kita dikejutkan dengan tulisan dari Petrus, Lot itu orang benar. Lho itu Lot orang benar berarti dia diselamatkan dong? Berarti dia orang percaya? Iya. Dan di sini saya menarik satu prinsip bahwa di dalam doktrin keselamatan itu sepenuhnya anugerah Allah dan secara nilai rohani itu adalah sepenuhnya anugerah Allah, maka keselamatan itu pasti, final, dan tidak bisa digagalkan. Once saved, always saved. Satu kali kita selamat, sungguh sudah dilahirbarukan oleh Allah Roh Kudus, kita seterusnya selamat. Itu kehidupan rohani kita, status rohani kita di hadapan Tuhan tidak bisa berubah. Tapi yang bisa setan lakukan adalah apa? Menggagalkan kehidupan jasmani anda, kehidupan kita yang di dunia ini. Itu yang bisa gagal. Sehingga Lot kita lihat kisahnya itu jadi apa? Aduh, malu. Apalagi lebih malu lagi apa, oh ternyata dia adalah orang pilihan, orang benar, ini benar dari mana? Yang bener! Gitu ya kira-kira. Ini benar dari mana? Tapi itu kita lihat, itulah kehidupan yang sudah gagal menghidupi karya keselamatan itu, yang gagal mentaati perintah Tuhan, gagal menggenapi rencana Tuhan. Tapi selamat? Ya tetap selamat. Karena itu secara nilai rohani. Tapi berapa banyak kalau kita pikirkan, hidup kita selama di dunia ini itu berarti kita hidup bagi Kristus, mati adalah keuntungan, seperti juga Paulus katakan dalam Kitab Filipi; itu baru kita bisa kutip. Jangan cuma, oh satu-satu ingat ya, kalau saya mati, tulis, hidup adalah Kristus, mati adalah keuntungan. Bener nggak kayak gitu? Sungguhkah hidupnya sudah bagi Kristus? Jangan-jangan mati adalah keuntungan, ya orang bilang, “ya untung dia udah mati, ya memang kita yang buntung sih” gitu ya? Dianya sih nggak untung gitu ya. Kita bersyukur dia udah mati gitu ya. Kehidupan kita itu bersaksinya itu seperti apa? Siapa yang kita saksikan dalam kehidupan kita? Biarlah kita kerjakan terus, meski kadang-kadang memang seperti berjalan di tengah kegelapan. Tapi kita tahu tangan Tuhan yang memegang tangan kita melangkah demi selangkah.
Saya mungkin tutup dengan ada satu, sebagai aplikasi dan ilustrasi di dalam satu buku Twelve Christian Leaders on Bible Study. Itu ya, ada satu buku yang ditulis, itu ada 12 para, Christian Leaders itu apa ya, pemimpin, orang-orang Kristen, teolog-teolog, yang sangat pakar, dan mereka menuliskan tentang bagaimana mempelajari Alkitab gitu ya. Bagaimana studi Alkitab. Menarik di dalam salah satu teolog itu, dia menyatakan ada pengalamannya seperti ini. Dia bilang, iya terkadang saya membaca Alkitab dan saya membacanya, saya menemukan bahwa ketika saya baca, wah saya nggak ngerti ya. Terus saya berdoa, Tuhan, tolonglah saya, karena saya nggak ngerti ini bagian ini saya rasa aneh, saya nggak ngerti karena gini. Dan ya kadang Tuhan tolong langsung saat itu ngerti, kadang juga ya sudahlah mungkin lain kali baru saya bisa ngerti. Tapi menariknya kalau itu mengatakan dan betapa menakjubkannya bahwa ketika saya kembali lagi kepada perikop itu setahun atau mungkin 5 tahun kemudian saya akan berkata bahwa, saya bingung kok dulu saya nggak ngerti bagian ini. Nah, di sini teolog itu mengatakan, itulah tanda berarti saya bertumbuh. Ada yang kita bagian baca nggak ngerti begitu, ya sudah teruskan saja. Di sini saya lihat, di dalam membaca Alkitab, itu keep on reading, and it’s okay, keep on reading. Nanti suatu saat ya tiba waktunya Tuhan kita akan dibukakan. Karena memang Kitab Suci itu memang untuk lifetime kok, seumur hidup kita, dan bahkan melampaui itu. Dan memang ada kalanya ya kita menghidupi itu, kita baca Alkitab, oh nggak ngerti. Ya sudah, teruskan lagi, lanjutkan lagi perikopnya, karena mungkin kelak justru akan Tuhan bukakan sampai kita malah lihat kok dulu saya nggak ngerti ya, gitu ya, tapi itu berarti kita bertumbuh. Dan sebaliknya, menarik dalam kehidupan kita gitu ya, kadang-kadang juga ada kalanya ketika kita membaca suatu bagian dalam Kitab Suci lalu kita pikir, oh saya sudah tahu, oh kisah ini kan, Daud lawan Goliat. Oh iya saya sudah tahu. Oh sudah ngerti bagian itu. Oh Musa itu mengayunkan tongkatnya lalu terbelah itu Laut Teberau. Oh saya sudah ngerti. Sampai berapa tahun kemudian kita baca lagi bagian itu baru kita ngerti, oh dulu saya belum mengerti bagian ini. And again, that’s the sign you’re growing. Itulah tanda anda bertumbuh. Karena kenapa? Karena ketika anda membaca lagi bagian itu baru anda mengerti, ada bagian detil-detil tertentu dari kisah itu yang tidak ada anda sadari sebelumnya. Atau melihat dari aspek-aspek lainnya, memahami konteks penulisan kitabnya dengan lebih baik lagi, dan itu artinya kita bertumbuh semakin mengenal Kitab Suci itu, mengenal perikop bagian itu.
Dan saya lihat di sini di dalam menafsirkan Alkitab sama seperti khotbah saya yang lalu juga, itu ada bagian juga kita membaca kehidupan kita. Ada memang bagian-bagian dalam kehidupan kita yang kita tidak bisa pahami mengapa hal ini terjadi. Tapi, ya it’s okay, keep on living. Teruskanlah hidup, karena memang kita mengerti bahwa kita hidup oleh karena iman dan bukan karena kita melihat. We are living by faith and not by sight. Dan di situ kita belajar menundukkan diri kita di bawah kedaulatan Tuhan yang mengatur segala sesuatunya, dan kita menyadari memang ada hal-hal di luar kontrol kita. Dan nanti dalam perjalanan waktu kita baru lihat, oh itu toh maksudnya Tuhan bentuk saya selama ini. Sama, Paulus juga ketika alami ini, dia bukan dari hari pertama masuk penjara, hore masuk penjara, gitu. Nggak. Tapi dalam pergumulan dia di dalam penjara, kesulitannya, tantangan yang dihadapi, bahkan kemungkinan dia mati, tapi dalam tahun demi tahun dia lihat ternyata inilah misinya. Inilah mission trip-nya. Dan dalam refleksi itu baru dia ngerti, oh ternyata untuk inilah saya dipenjarakan, yaitu karena Kristus, dan justru sungguh Kristus ditinggikan karena itu. Dan itu membawa dia menjadi suatu ucapan syukur, dan bahkan surat sukacita. Kenapa? Karena Puji Tuhan, yang saya kerjakan sekarang ini bukan kami salah strategi sampai menyebabkan kemunduran Injil, tapi justru memang menyebabkan kemajuan Injil. Dan itulah gol yang penting. Itu gol yang penting. Kita atur segala sesuatunya itu yang penting kita genapi rencana Tuhan.
Dan sebaliknya, terkadang ada dalam kehidupan yang kita pikir kita sudah pahami, kita lakukan seperti itu karena satu lain hal, mungkin suatu saat berapa tahun baru Tuhan bukakan, oh itu ada bentukan Tuhan. Ada bentukan Tuhan. Pak Tong itu pernah mengatakan, Musa itu 40 tahun pertama dalam hidupnya, dia cuma tahu I am something. Lalu dia di Mesir, dia jagoan, dia hebat. Oh saya sudah tahu memimpin, sudah mengerti kok kepemimpinan. Dia belajar dari tempat yang paling mutakhir, paling maju di zaman itu. Kalau mau dibilang negara adidaya di zaman itu, ya itu Mesir. Dia belajar semuanya itu karena dia adalah anak dari putri Firaun. Dia pikir, I am something, 40 tahun pertama. Lalu dia pikir, oh saya sudah bisa jadi pemimpin, dia mau ambil langkah, ternyata belum waktunya Tuhan. Akhirnya apa? Masuk fase berikut kan, 40 tahun kemudian, I am nothing. Saya bukan siapa-siapa. Saya cuma apa? Gembala kambing domba. Itu ya. Dia misalnya sudah belajar, oh bagaimana membangun piramid. Coba sampai sekarang siapa yang tahu bangun piramid? Sampai sekarang great mistery ya itu gimana bangunnya itu ya? Mungkin ada pesawat alien kah atau apa gitu ya? Kok bisa bangun begitu. Tapi Musa ngerti itu. Di 40 tahun pertama. 40 tahun kemudian, dia mau ngomong sama siapa? Ngomong ini lho cara bangun piramid. Yang jawab dia, mbeek, mbeek. Ya gitu. Dia langsung rasa dia ini, I am nothing. Saya nothing. Direndahkan sedemikian. Kenapa? Itu adalah proses Tuhan supaya dia menuju 40 tahun kemudian lagi, yaitu God is everything, bahwa Tuhanlah segala-galanya dan Tuhanlah yang akan membebaskan umat-Nya dalam waktu rencana-Nya. Dan di situ Musa menjalani semua itu dia lihat, ya memang Tuhan Engkaulah yang berdaulat. Saya menjalani proses ini, yang penting genapi rencana-Mu. Saya nggak tahu di hari ini kita berada berasa kita ini something kah atau justru kita berada di dalam fase I am nothing, tapi saya harap kita melihat semuanya bahwa God is everything. Dialah yang kita tuju, Dialah yang kita layani seumur hidup kita. Dan ketika itu kita kerjakan, kita dipakai berbagian di dalam sejarah keselamatan di mana Tuhan memakainya, yang digenapi oleh sang Anak-Nya, yaitu Yesus Kristus, yang sudah mati menebus dosa kita, itulah Injil sejati. Kisah kematian dan kebangkitan Kristus, kiranya itu yang kita wartakan dan hidupi setiap hari.
Mari kita satu dalam doa. Bapa kami dalam sorga, kami berdoa, bersyukur untuk kebenaran firman-Mu. Kami berdoa, bersyukur karena dalam kehidupan kami ini, sesungguhnya ada banyak hal di luar kendali kami, tapi kembali kami belajar bahwa sesungguhnya itu ada di balik kendali-Mu, karena Engkaulah yang berdaulat dan kami tidak. Dan ajarlah kami ya Tuhan untuk boleh diproses, dibentuk menjadi alat demi kemuliaan nama-Mu, dipakai menjadi saksi-Mu, sehingga hidup yang satu kali ini boleh dipakai bagi-Mu dan kemuliaan nama-Mu saja. Terima kasih Bapa, semua ini. Hamba-Mu berdoa untuk setiap kami, setiap jemaat-Mu dalam pergumulan masing-masing, baik di dalam studi, di dalam pekerjaan, di dalam relasi, dan di dalam banyak hal-hal lain yang dalam pergumulan kami, biarlah kami boleh dipakai menjadi saksi-Mu sehingga Kristus itu yang ditinggikan dan dimuliakan, bukan hanya lewat ucapan kami, tapi dengan kehidupan kami. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]