Mat. 21:18-22
Pdt. Yan Wira Nugraha, S.E.Ak., M.Th.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ketika kita membaca perikop Yesus mengutuk pohon ara ini, kita tidak boleh lepas dari perikop sebelumya dan perikop setelahnya. Ini adalah salah satu ciri bagaimana teologia Reformed itu memberikan satu penafsiran terhadap bagian-bagian Alkitab. Waktu kita membaca bagian sebelumnya tentang Yesus menyucikan Bait Allah, bagaimana, apa yang disampaikan oleh Yesus, apa yang dilakukan oleh Yesus ketika Dia mengobrak-abrik pedagang-pedagang binatang, hewan-hewan kurban di pelataran Bait Allah; Yesus tidak menginginkan bahwa rumah Bapa-Nya itu dijadikan sarang penyamun. Artinya, Yesus ingin supaya kesucian gereja itu dipelihara. Secara literal, kita bisa melihat, bahwa Yesus menginginkan rumah Tuhan itu bukan menjadi ajang orang mencari keuntungan diri, tetapi rumah Tuhan adalah tempat di mana orang percaya boleh datang dan beribadah kepada Allah. Tetapi waktu kita melihat arti yang secara spiritual, arti rohani, kita juga bisa melihat bahwa siapa Bait Allah? Bait Allah adalah hidup kita; tubuh kita ini adalah bait Roh Kudus. Tuhan pun juga menginginkan agar kita boleh memelihara bait Roh Kudus yang Tuhan telah tebus dengan darah-Nya yang mahal. Maka ketika kita melihat bagian ini, Tuhan mengajarkan kita bagaimana kita hidup di dalam kesungguhan, kesucian hati di hadapan Tuhan. Setelah itu kita masuk ke dalam bagian ketika Yesus mengutuk pohon ara, yang nanti kita akan urai bersama-sama, dan setelah itu kita juga tidak bisa lepas dari pertanyaan mengenai kuasa Yesus di mana dalam bagian ini, orang-orang Yahudi, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mempertanyakan, dari mana kuasa Yesus ketika Yesus mengutuk pohon ara. Ketika Yesus ada di dalam Bait Suci, Dia melihat orang-orang Israel mempergunakan atau menyalahgunakan fungsi dari Bait Allah orang-orang Israel. Setelah perikop Yesus mengutuk pohon ara, Dia juga menemui, atau bertemu dengan orang-orang Israel yang mempertanyakan tentang dari mana kuasa Yesus ini berasal. Bapak, Ibu, Saudara, tentu kita tidak bisa melepaskan apa yang sebenarnya menjadi inti dari perikop Yesus mengutuk pohon ara ini. Di ayat terakhir, di ayat 22, sering kali ayat ini yang nanti salah dimengerti oleh begitu banyak, terutama dari gereja-gereja karismatik yang radikal. Ketika saya dulu kurang lebih 8 tahun ada di gereja karismatik, saya pun juga terkunci dengan satu pola ini: firman Tuhan mengatakan, apa saja yang saya minta, itu bisa dipenuhi, dan itu menjadi satu hal yang mendorong emosi saya, mendorong satu pola pikir saya; asal saya percaya, saya berdoa, apa saja yang saya minta pasti saya akan dapatkan. Tapi ternyata bukan itu Saudara.
Maka pada pagi hari ini saya mengajak kita melihat apa yang sebenarnya menjadi pesan dari bagian ini. Bapak, Ibu, Saudara, sekarang kita perhatikan di dalam ayat 18, “Pada pagi-pagi hari dalam perjalanan-Nya kembali ke kota.” Kita lihat Alkitab sering kali memberikan satu gambaran perjalanan itu sebagai bagian dari kehidupan Tuhan Yesus. Perjalanan atau journey itu menjadi satu bagian ketika Kristus itu datang ke dalam dunia dan memang yang menjadi misi utamanya datang ke dalam dunia adalah untuk perjalanan. Perjalanan untuk apa? Untuk memberitakan Kerajaan Allah, untuk menyampaikan misi dari Allah sendiri, misi penyelamatan yang sebelumnya didahului dengan berita Kerajaan Allah. Berita Kerajaan Allah itu harus menjadi pendahulu sebelum Dia menggenapkan karya-Nya di atas kayu salib. Maka apa yang dicatat oleh kesaksian-kesaksian dari penginjil-penginjil, baik Matius, Markus, Lukas, Yohanes, sebagai penginjil-penginjil yang sinoptik, melihat sendiri, melihat langsung dari kesaksian mata kehidupan Tuhan Yesus, mereka selalu memperhatikan apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Dari desa ke desa, dari kota ke kota, hanya untuk memberitakan Injil. Maka teladan inilah yang harus perlu dicontoh oleh gereja. Gereja itu tidak boleh berhenti di dalam memberitakan Injil. Gereja harus terus memberitakan Injil. Berkali-kali Pdt. Stephen Tong selalu mengatakan, gereja yang berhenti memberitakan Injil, sesungguhnya gereja itu sedang bunuh diri, lambat laun pasti gereja akan mati. Waktu kita memberitakan Injil, kita mungkin tidak tahu apakah jiwa yang kita dapatkan dari hasil penginjilan tersebut; tetapi cara Tuhan unik. Kadang kita memberitakan Injil kepada anak-anak, dengan setia kita lakukan tugas kita, maka Tuhan kadang-kadang tanpa kita bisa pikirkan dengan logika, hadirkan orang-orang dari tempat lain, hadirkan orang untuk bisa menerima pengajaran yang kita ingin nyatakan kepada orang-orang, pada jemaat. Itulah cara Tuhan, Bapak, Ibu, Saudara. Maka firman Tuhan tidak boleh dikunci hanya di dalam satu tempat, satu gedung gereja saja, karena gereja itu bukan bicara gedung. Gereja itu adalah umat yang sudah dipanggil keluar. Gereja adalah umat percaya. Pemberitaan Injil melalui gereja, melalui umat percaya, tidak boleh dibatasi hanya dalam tembok-tembok saja. Gereja harus memberitakan Injil, dan firman Tuhan itu harus diberitakan.
Lalu kalimat berikutnya, “dalam perjalanan-Nya kembali ke kota, Yesus merasa lapar.” Bapak, Ibu, Saudara, satu kalimat sederhana yang pendek, dituliskan oleh Matius, memberikan satu gambaran yang jelas sekali. Di sini, di bagian ini, kita bisa melihat gambaran; Matius juga ingin menekankan bahwa Kristus itu adalah 100% manusia sejati. Kemanusiaan Kristus itu tampak jelas ketika kalimat ini tercantum. Yesus merasa lapar, ya. Dwinatur Kristus itu memang kita pahami. Kita sudah terbiasa dengan mendengar kalimat, Yesus adalah 100% Allah, Yesus juga adalah 100% manusia. Tentu untuk mendalami kalimat ini perlu pembelajaran lebih khusus. Bapak, Ibu, Saudara bisa dapatkan melalui STRIJ ya, atau sekolah teologia STRIY mungkin ya. Nah, Bapak, Ibu, Saudara, karena untuk memahami dwinatur Kristus, kita perlu sebuah proses. Otak kita yang terbatas tidak bisa memahami dwinatur Kristus dengan sangat-sangat sederhana ya. Otak kita itu sudah terpolusi. Otak kita itu terbatas. Bagaimana mungkin kita bisa memahami pribadi, natur Kristus yang luar biasa agungnya; sehingga ketika kita melihat sisi di mana Yesus diungkapkan sebagai manusia sejati, sering kali hal ini juga akhirnya memberikan sebuah serangan dari pihak-pihak luar terhadap kita orang-orang Kristen. Nah, Yesus bisa merasa lapar, berarti Yesus manusia sejati bukan? Ya. Kalau Yesus manusia sejati, kenapa engkau jadikan Dia Tuhan? Saudara, sering kali serangan-serangan ini datang kepada kita, lalu bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkan sebuah argumentasi yang cukup-cukup Alkitabiah untuk bisa menjawab bahwa Dia memang adalah manusia sejati, tapi bukan berarti kita menjadikan Dia sebagai Allah. Tidak. Tetapi Allah sendiri menyatakan Kristus ke dalam dunia sebagai Tuhan dan tentu ini menjadi suatu proses panjang ketika memberikan sebuah penjelasan. Namun ketika Dia datang ke dalam dunia, Dia menunjukkan benar-benar kesederhanaan-Nya sebagai manusia. Proses yang dijalani-Nya pun dari sejak bayi seperti manusia, Bapak, Ibu, Saudara dan saya. Bahkan sering kali Alkitab memberikan gambaran bagaimana sifat-sifat manusia itu ada di dalam diri Kristus, sampai dengan hal yang ketika Ia merasa lapar pun, itu tercatat di dalam Kitab Suci. Waktu Ia merasa lapar. Bapak, Ibu, Saudara yang pernah merasa lapar itu tentu sangat menginginkan makanan, sangat mengharapkan adanya makanan untuk bisa dimakan. Rasa lapar itu rasa yang normal di dalam tubuh kita sebagai tubuh jasmaniah. Maka, pada waktu kita melihat tentang rasa lapar yang ada di dalam diri Kristus, artinya kita bisa melihat, memang Dia adalah manusia sejati; memang Dia adalah 100% manusia yang sangat memahami apa yang dirasakan oleh manusia. Hal ini bisa menolong kita. Kalau kita merasa lapar, sering kali kalau ada orang yang miskin merasa lapar, dia mengeluh kepada Tuhan, Tuhan, kenapa kami kok hidup dalam kekurangan, kami hidup kelaparan. Tuhan pun juga pernah merasakan lapar. Salah satu kenapa Dia harus datang dari sorga ke dalam dunia untuk bisa memahami apa yang Bapak, Ibu, Saudara dan saya rasakan; untuk bisa mengerti apa yang Bapak, Ibu, Saudara rasakan. Satu kisah yang sering kali Bapak, Ibu, Saudara alami juga, sering kali saya juga mengalaminya, ketika misalkan kunjungan di dalam ke rumah sakit, begitu, ketika kunjungan di rumah sakit lalu bertemu dengan seorang yang sedang stroke lalu dia terbaring lemah, lalu dia tidak berdaya dengan kondisinya yang sudah cukup parah begitu, hanya bisa membuka mata, hanya bisa bernafas dengan tersengal-sengal, lalu kita datang, kita hanya mendoakan, lalu sering kali orang yang besuk ini mengatakan dengan kalimat yang mungkin enteng begitu ya. Mengatakan, “Pak, yang sabar ya yang sakit ya, sabar Pak ya.” Mungkin dia dalam hati, “Rupamu. Kau nda rasakno.” Gitu ya, kalau bahasa Jawanya begitu. Kamu nggak merasakan apa yang saya rasakan. Coba kamu rasakan, tentu kamu tahu bagaimana sih ngomong sabar itu enak sekali. Bapak, Ibu, Saudara, Kristus itu mengerti seluruh pergumulan manusia; bahkan penderitaan-Nya yang tertinggi, puncak penderitaan-Nya Dia sudah tanggung semua di atas kayu salib. Dia sudah tanggung semua penderitaan Bapak, Ibu, Saudara dan saya. Pergumulan Bapak, Ibu, Saudara yang terbesar apa sih, yang kita bisa banggakan di hadapan Tuhan? Nggak ada. Pergumulan kita yang terbesar ketika kita sudah serahkan dalam tangan Tuhan, itu namanya bergantung kepada Tuhan, maka Tuhan sudah nyatakan bahwa, kemarilah kepada-Ku, hai engkau yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Penderitaanmu semua sudah Kutanggung di kayu salib. Bapak, Ibu, Saudara, kalau kita memahami konsep ini, kita benar-benar sangat menikmati bagaimana pemeliharaan Tuhan dalam hidup kita, ya.
Yesus merasa lapar. Di ayat 19 kita langsung melihat bagaimana penulis menyajikan dua natur Kristus di dalam kisah yang bersamaan. Kita perhatikan, “Dekat jalan Ia melihat pohon ara lalu pergi ke situ, tetapi Ia tidak mendapat apa-apa pada pohon itu selain daun-daun saja. Kata-Nya kepada pohon itu: “Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya!” Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu. Melihat kejadian itu tercenganglah murid-murid-Nya.” Bapak, Ibu, Saudara, jelas sekali kalau Tuhan Yesus merasa lapar, Dia sedang perlu makan. Tapi Dia tidak minta kepada murid-muridnya. Dia tidak minta, misalkan berkata, “hei Petrus, hei Yohanes, kamu bawa roti nggak?” Nggak ya. Tuhan Yesus ingin mengajarkan kepada setiap kita sebuah prinsip, bahwa Dia adalah Allah yang berkuasa untuk menciptakan alam semesta ini. Pohon ara pun adalah milik Dia, dan Dia menghendaki pohon ara itu ada buahnya. Tapi waktu kita perhatikan di dalam Markus 11, coba, ayat paralel Markus 11:13. Ini perikop yang sama. Ayat 13, “Dan dari jauh Ia melihat pohon ara yang sudah berdaun. Ia mendekatinya untuk melihat kalau-kalau Ia mendapat apa-apa pada pohon itu. Tetapi waktu Ia tiba di situ, Ia tidak mendapat apa-apa selain daun-daun saja, sebab memang bukan musim buah ara.” Nah, kalau Bapak, Ibu, Saudara langsung berpikir, lho ini bukan musim buah ara. Tapi Yesus ketika ingin mendapatkan buah itu karena merasa lapar, ingin mendapatkan buahnya, Dia tidak mendapatkan; dan Dia malah mengutuk pohon itu. Kok seolah-olah tindakan Yesus itu semena-mena. Nah nanti kita akan lihat kenapa, apa yang sebenarnya terjadi. Tuhan hanya menginginkan satu hal, yaitu ada buah yang bisa dimakan untuk menghilangkan rasa lapar. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, waktu Tuhan Yesus tidak mendapati buah dalam pohon itu, tentu ada hal yang aneh, kenapa? Karena sebenarnya Tuhan Yesus atau Matius terutama yang menulis kitab ini, tidak ingin fokusnya itu hanya dalam sebuah konteks atau apa yang dilakukan Tuhan Yesus saja, tetapi kita bisa melihat konteks secara keseluruhan, apa sebenarnya pesan yang ingin Tuhan Yesus sampaikan kepada murid-murid-Nya bersama-sama dengan Dia. Nah, perhatikan Bapak, Ibu, Saudara, tadi saya mengatakan, setelah kita melihat natur Kristus sebagai manusia sejati, penulis kitab ini, yaitu Matius, langsung memberikan satu komparasi, perbandingan, bahwa Kristus adalah Allah sejati. Dia menunjukkan kuasaNya yang besar sekali atas pohon yang Dia ciptakan sendiri, atas tanaman, tumbuhan yang Dia ciptakan sendiri dengan firmanNya. Dengan firmanNya, Dia mengatakan, “Jadilah Pohon!” Maka pohon itu jadi. Maka terlalu mudah ketika Dia mengatakan, “Keringlah!” dan matilah pohon itu. Terlalu mudah, Bapak, Ibu, Saudara. Dan ketika pohon itu diciptakan, Tuhan mengatakan, “Berbuahlah!”
Saudara, waktu kita melihat di dalam Matius tadi, apa yang salah di dalam pohon ara? Tentu nanti kita akan membahasnya. Bapak, Ibu, Saudara, di dalam perbandingan-perbandingan itu; Kristus adalah Allah sejati, ketika Dia menyatakan kuasa untuk mengutuk pohon ara sehingga menjadi kering, tetapi ketika Dia merasa lapar, Matius pun juga menunjukkan bagaimana Dia adalah manusia sejati. Dwi natur Kristus, bagaimana kita memahami. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, memahami dwi natur Kristus sudah diberikan kuncinya oleh Alkitab sendiri. Terkadang kita tidak bisa memahami secara logika, bagaimana kita bisa memahami dwi natur Kristus? Apakah Yesus itu 50% Allah – 50% manusia? Bukan! Apakah Yesus itu 100% Allah tapi seperti bayang-bayang manusia? Juga bukan! Apakah Yesus itu 100% manusia tetapi punya kuasa Allah? Juga bukan! Semua itu adalah bidat-bidat pada abad-abad pertama yang sudah digugurkan. Tetapi Alkitab sendiri memberi gambaran: Kristus adalah 100% manusia, 100% Allah. Bagaimana kita bisa memahaminya? Alkitab memberikan kunci, yaitu di dalam Pengkhotbah pasal 3, “Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk menabur, ada waktu untuk melakukan memberi, ada waktu untuk menerima” – artinya apa? Kita memahami dwi natur Kristus adalah di dalam waktu yang bergantian. Kenapa bisa demikian? Karena kita adalah manusia yang terbatas di dalam ruang dan waktu. Kita adalah manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Ketika kita dibatasi oleh ruang dan waktu, kita tidak bisa berpikir keluar dari ruang dan waktu. Waktu kita berpikir keluar dari ruang waktu, seolah-olah tidak sampai otak kita, itu yang disebut supralogika. Sehingga Alkitab seringkali memberikan gambaran, cara memahami dwi natur Kristus, adalah seperti dalam waktu yang bergantian. Seperti 2 sisi mata uang, pada saat detik “Tik” – kita melihat satu sisi, detik “Tik” yang sama kita tidak bisa melihat sisi yang lain. Ada saatnya Tuhan menyatakan diri sebagai manusia sejati, ada saatnya Dia menyatakan diri sebagai Allah sejati yang kita bisa lihat dari sisi yang berbeda. Bapak, Ibu, Saudara, ketika kita bisa memahami secara komprehensif, secara luas, cara pola pikir yang paradoksikal, yang seolah-olah bertentangan tetapi sebenarnya berjalan beriringan, maka kita akan banyak memahami prinsip-prinsip yang dituangkan di dalam Kitab Suci, karena Alkitab itu penuh sekali dengan pola-pola paradoks, penuh sekali dengan prinsip-prinsip yang seolah-olah, misalkan: Salib itu hina atau mulia? Dua-duanya. Di puncak salib inilah Kristus menyatakan kemuliaanNya yang terbesar. Tapi manusia selalu melihat kehinaan karena salib ini adalah penghakiman, suara penghakiman penjahat yang paling hina. Paradoks inilah yang menjadi kunci kita bisa memahami iman Kristen secara limpah.
Nah Bapak, Ibu, Saudara, ketika kita kembali kepada problemnya si pohon ara ini. Kita kembali muncul pertanyaan, “Kan memang betul, Pak, pohon ara pada saat itu sedang tidak musim? Apakah Tuhan Yesus semena-mena ketika mengutuk pohon ara ini?” Misalkan, Bapak Ibu, Saudara ya, kita menanam pohon mangga. Biasanya, kalau di Gempol itu banyak sekali pohon mangga, pohon mangga itu biasa berbuah pada bulan-bulan September, Oktober, November itu musim-musimnya pohon mangga. Dan ketika, misalnya kita menanam sampai waktunya musim berbuah, sudah beberapa kali periode buah, lalu misalkan pada bulan-bulan April, Mei begitu, misalkan kita lapar, misalkan saya lapar, lalu berusaha, waktu lapar saya pingin mangga. Pada saat saya kepingin mangga, saya datangin pohon mangga itu, lalu saya lihat, “Wah pohon mangga, celaka ini tidak berbuah. Kenapa kok kamu nggak berbuah?” lalu saya marah, saya ambil kapak, saya tebang pohon itu, sampai pohon itu rebah. Langsung kita berpikir, “Waduh, Bapak yang goblok.” Begitu ya? “Bapak yang bodoh, sudah tahu ini bukan musim, Bapak mengharapkan buah pohon mangga.” Nah bukankah ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus? Bukankah seolah-olah Tuhan Yesus semena-mena? Ada satu kunci yang kita bisa pahami dari bagian ini. Kalau kita lihat, apa sih sebenarnya signifikansi dari pohon ara. Pohon ini banyak tumbuh di wilayah Timur Tengah, ya, terutama banyak di wilayah Kanaan. Dan pohon ini sangat manis buahnya sehingga seringkali menjadi konsumsi bagi masyarakat setempat. Dan memang bisa langsung bisa dimakan. Kalau kita perhatikan, pada perikop: konteks Yesus mengutuk pohon ara, kita tidak bisa kaitkan perikop sebelumnya dan perikop setelahnya. Perikop sebelumnya adalah Yesus berhadapan dengan orang-orang Israel ketika Dia ada di Bait Suci. Orang-orang Yahudi sendiri, orang-orang Israel itu, Israel itu artinya Putra Mahkota Allah, dia dispesialkan oleh Allah menjadi umat pilihan. Dia juga dari suku, adalah suku Yahudi. Orang-orang ini yang justru menjadikan bait Allah sebagai tempat jual beli, mencari keuntungan pribadi. Berarti Tuhan marah kepada siapa? Orang-orang Israel.
Setelah itu, perikop setelahnya, waktu setelah Dia mengutuk pohon ara, juga Dia berhadapan dengan orang-orang Yahudi, bahkan ini imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat. Pada saat Yesus berhadapan dengan mereka, mereka mempertanyakan, “Dari kuasa siapakah Engkau mendapatkan kuasa untuk mengeringkan pohon ara ini?” Saudara, ketika kita mengkaitkan 2 hal ini, di tengah-tengah kita membaca Yesus mengutuk pohon ara di depan murid-muridNya. Artinya apa? Artinya sebenarnya, cerita ini, kisah ini sebenarnya adalah sebuah kisah sindiran, Saudara. Kisah sindiran yang Tuhan Yesus tunjukkan kepada orang-orang pilihan. Kisah sindiran yang Tuhan tunjukkan kepada orang-orang Israel yang adalah orang-orang yang sudah dipilih Allah, dikhususkan bagi Allah, bahkan dengan mata kepalanya sendiri, mereka dituntun keluar dari tanah Mesir. Dengan mata kepala sendiri, mereka melihat keajaiban-keajaiban Tuhan, dengan 10 tulah Dia memberikan gambaran dewa-dewa Mesir kuno. Bahkan ketika menyebrangi Laut Teberau, mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Laut Teberau terbelah dan mereka berjalan di tanah yang kering. Setelah mereka menyebrang, mereka dipimpin dengan tiang awan dengan tiang api. Betapa ketika mereka menyaksikan sendiri tetapi iman mereka itu seringkali disebut sebagai iman yang naik turun. Betapa orang-orang Israel itu adalah orang-orang yang sungguh-sungguh, sangat-sangat apa ya? Sangat-sangat tidak percaya siapa yang sudah memimpin mereka keluar dari Tanah Mesir. Dan ketika Kristus itu hadir di tengah-tengah mereka, ya, melalui perjalanan panjang mereka mengalami pergolakan jatuh bangunnya iman; pada saat mereka ditindas, mereka teriak minta tolong, Tuhan kirimkan nabi, Tuhan kirimkan penindas juga, bangsa-bangsa yang menindas mereka. Baru mereka minta tolong, ketika Tuhan kirimkan hakim-hakim, kirimkan raja, mereka baru bebas. Tetapi, mereka tetap mengharapkan, “Mana Raja yang Tuhan janjikan? Mesias yang Tuhan janjikan memberikan kami kedamaian selama-lamanya.” Tapi ketika Mesias itu datang di depan mata mereka, mereka pun tetap tidak percaya. Saudara, jadi jangan harap, ketika banyak orang-orang Kristen mengharapkan, “Siapa tahu kalau ada mukjizat besar, mereka pasti percaya.” Belum tentu, Saudara. Belum tentu. Saya kenal sendiri dengan orang-orang Kristen pada saat saya dulu ada di gereja Karismatik. beberapa pemuda-pemuda, saya kenal sekali, waktu mereka bersaksi, bagaimana kecelakaan hebat, mereka patah tulang, ya patah tulang, terus mereka berdoa minta kesembuhan. Dan memang ajaib, Saudara, cuma dalam berapa bulan saja, itu mereka langsung pulih. Mereka bersaksi, “Wah Tuhan kasih mukjizat, Tuhan kasih mukjizat.” Tapi, berapa bulan kemudian mereka hidup lagi berdosa, hidup lagi sangat mendukakan hati Tuhan, hidup lagi seolah-olah bukan orang Kristen. Mukjizat tidak menjamin orang itu bisa percaya kepada Allah. Maka Bapak, Ibu, Saudara, pada waktu kita memperhatikan bagaimana Tuhan yang ada di depan mereka, yang sudah menjadi manusia ada di depan mereka, diperlakukan seperti itu, tapi Tuhan tetap mengasihi mereka. Apa lagi ketika Tuhan berhadapan dengan umat sendiri, Dia seolah-olah ingin mengatakan, “Pada saat di Bait Allah, Saya tegur keras umat-Ku, Saya hajar keras umat-Ku, apalagi mereka yang mengacaubalaukan atau mereka yang tidak menyucikan Bait-Ku, Aku kacaukan mereka. Tapi pohon ini, yang adalah, walaupun itu mungkin bisa disebut makhluk hidup tapi berbeda dengan manusia dan hewan, pohon ini seolah-olah, ketika tidak menghasilkan buah, langsung dikutuk dan kering.
Saudara, Tuhan tetap, dalam tindakan ini, dua tindakan ketika Dia menyucikan Bait Allah dengan waktu Dia mengutuk pohon ara, tetap ada perbedaan. Perbedaannya apa? Dia tetap menunjukkan kasihNya kepada manusia, kepada Bapak, Ibu, Saudara dan saya. Betapa banyak manusia itu mengecewakan Tuhan tapi Tuhan tetap memberikan pemeliharaanNya. Terkadang Dia memberikan hajaran, justru hajaran-hajaran itu adalah karena wujud kasihNya kepada kita, mengingatkan kita untuk supaya kita segera kembali kepadaNya. Tapi pohon itu tidak ada kesempatan lagi, tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuah lagi, selama-lamanya. Mengerikan bukan? Jangan sampai kita justru dianggap Tuhan sebagai kaya pohon-pohon ini. Nah, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, lalu apa hubungannya pohon ara ini dengan umat Israel? Seperti tadi saya katakan, ini sebuah sindiran kepada umat Israel sebenarnya. Pohon ara memang memberikan sebuah sejarah panjang. Di dalam sejarah kehidupan bangsa Israel, pohon ini memberikan makna-makna simbolis dan sekaligus simbol-simbol bahwa memang Israel itu ada kaitan yang erat. Misalkan, ketika Adam Hawa jatuh di dalam dosa, Alkitab di dalam Kejadian pasal 3 sudah mencatat bahwa pohon ini, daun dari pohon ara ini dipakai untuk menutupi ketelanjangan Adam Hawa. Saudara, artinya apa? Artinya pohon ini memang punya hal yang spesial, kalau kita terjemahkan lebih rinci lagi, Tuhan mau memakai pohon khusus ini, pohon ara ini, supaya daunnya menutupi ketelanjangan dari manusia yang jatuh dalam dosa akibat ingin menyamai Allah. Tuhan masih mengasihi Adam Hawa, sehingga pohon ini harus daunnya harus dipatahkan dan menutupi manusia yang sedang terbuka matanya karena merasa malu. Lalu berikutnya, selain Tuhan memakai pohon ini. Pohon ini juga seringkali digambarkan hidup bersama dengan pohon anggur memberikan kesejahteraan bagi orang Israel. Kalau kita memperhatikan, misalkan 1 Raja-raja 4:25, dikatakan demikian, “sehingga orang Yehuda dan orang Israel diam dengan tenteram, masing-masing di bawah pohon anggur dan pohon aranya, dari Dan sampai Bersyeba seumur hidup Salomo.” Artinya, pohon ini seringkali dipakai menjadi simbol yang memberikan kesejahteraan. Orang-orang Yehuda dan Israel sejahtera di bawah pohon anggur dan pohon ara. Pohon ini bisa memberikan kehidupan yang layak bagi mereka. Kalau konteks saat ini, mungkin bisa menjadi sumber penghasilan bagi orang-orang Israel. Lalu pohon ini juga melukiskan tentang Israel itu sendiri. Kalau kita lihat di dalam Yeremia 8:13, dikatakan, “Aku mau memungut hasil mereka, demikianlah firman TUHAN, tetapi tidak ada buah anggur pada pohon anggur, tidak ada buah ara pada pohon ara, dan daun-daunan sudah layu; sebab itu Aku akan menetapkan bagi mereka orang-orang yang akan melindas mereka.” Tuhan sudah menetapkan musuh-musuh yang akan melindas Israel, karena Tuhan tidak mendapatkan buah dari mereka. Maka Bapak, Ibu, Saudara, kita sudah ada suatu gambaran bahwa sebenarnya pohon ini merupakan suatu simbol sindiran Tuhan kepada orang-orang Israel. Dan Tuhan menuntut buah yang harusnya muncul dari pohon ini. Pak, bukankah itu tidak musim? Nah sekarang kita langsung split, kalau pohon kita bisa maklum, tapi sekali lagi, ini adalah sindiran Tuhan kepada orang-orang Israel. Kalau sindiran Tuhan kepada umatNya, buah yang seharusnya dihasilkan oleh umatNya apakah musiman? Saudara, sebagai orang Kristen, buah yang Bapak, Ibu, Saudara hasilkan apakah musiman? Tentu tidak, Tuhan menuntut kapan saja hidup kita harus selalu berbuah.
Maka di dalam bagian ini apa yang sebenarnya Tuhan ingin ajarkan kepada kita? Yang pertama, Tuhan menuntut kita harus selalu berbuah, harus setiap waktu kita berbuah. Kenapa? Karena hidup kita ini sudah bukan milik kita lagi, Galatia 2:20 jelas, “Hidupku bukan punya aku lagi tapi Kristus yang hidup di dalamku.” Kita sudah ditebus dengan darahNya yang mahal, kita dibeli lunas dengan darahNya yang mahal sehingga apapun yang kita inginkan seharusnya bukan menjadi keinginan kita tapi kita bertanya, “Tuhan, apakah keinginanku ini menjadi bagian dari keinginanMu?” Inilah hidup bergantung kepada Tuhan, hidup diatur oleh Sang Raja diatas segala raja, itu bukan hal yang mudah, sekali lagi ya, bukan hal yang mudah. Bapak, Ibu, Saudara diatur orang aja paling nggak mau, anak-anak kecil aja diatur orangtuanya nggak mau apalagi kita yang sudah dewasa. Diatur oleh Tuhan, kita sering munculkan kalimat ini, diatur oleh Tuhan, wah rasanya ya Tuhan yang adalah Roh Allah yang tidak kelihatan, kita diatur oleh Tuhan sehingga kita melayani Tuhan, misalkan. Tetapi apakah mudah? Tidak. Diatur oleh Tuhan itu luar biasa ketat, dan itu perlu pergumulan yang tiap hari itu semakin mengikis keinginan ke-aku-an kita, mengikis sifat-sifat yang menyenangkan diri kita. Waktu kita mengikis ke-aku-an kita, itu sakit Saudara. Sebuah kalimat yang saya baca di dalam sebuah renungan pagi, luar biasa mengatakan, “Tuhan Yesus itu tidak segan-segan untuk mengeluarkan kalimat-kalimat yang sangat-sangat menyakitkan sampai kita tidak terasa tersakiti.” Dia tidak segan-segan melalui firmanNya begitu keras kepada umat yang dikasihiNya, sampai kita tidak kerasa tersakiti. Dibentuk oleh Tuhan itu nggak enak, sehingga kita harus dipaksa untuk berbuah, harus kita mau nggak mau harus berbuah.
Hal kedua waktu kita merenungkan bagian ini, apakah berbuah itu sifatnya pasif atau aktif? Sifatnya kita hanya menunggu atau kita yang harusnya bergerak, kita maju? Bapak, Ibu, Saudara mungkin pernah mengalami sebuah pengalaman ketika menanam pohon. Menanam pohon di tempat yang sama, dari biji yang sama, dari satu buah yang ada dari biji yang sama saya tanam bareng-bareng, lalu berharap ada 2 pohon yang tumbuh. Lalu disirami bareng-bareng, dipupuk bareng-bareng, waktu tumbuh kelihatan yang satu lebih dominan, yang satu lebih kecil. Dan ketika mulai gede, yang satu tumbuhnya cepat, yang satu tumbuhnya kecil. Muncul pertanyaan, kok bisa ya? Kadang-kadang orang kalau menanam buah-buahan itu akan muncul pengalaman seperti ini. Kok rasanya ini bibitnya sama bagusnya, dikasih pupuk sama bagusnya, tapi kok cepat berbuahnya itu berbeda-beda. Kadang ada yang satu pohon buahnya lebat sekali, ada yang satu pohon buahnya sedikit sekali. Ternyata waktu kita coba selidiki apa yang sebenarnya menjadi faktor penentu dari buah itu, ada keaktifan dari akar tersebut. Akar yang sudah tertanam, tertancap di dalam tanah, itu bukan bersifat pasif, menunggu pemeliharaan dari pemiliknya, tidak, tapi akar-akar itu terus berjuang menerobos ke dalam tanah, mencari sumber-sumber air, sumber-sumber nutrisi untuk disalurkan ke pokok pohon. Keaktifan itulah yang sebenarnya memberikan buah cepat kepada pohonnya. Bapak, Ibu, Saudara, bagaimana dengan kita? Kitapun demikian, berbuah itu bukan hal yang pasif, tapi buah yang dihasilkan setelah kita ditebus oleh darah Kristus itu sifatnya aktif. Untuk berbuah itu menuntut keaktifan diri kita. Akar itu harus terus menerobos ke dalam. Kalau kita bicara akar, akar hidup kita itu apa? Iman kita, iman kita itu harus terus mencari. Bagaimana kita berusaha untuk memahami kenapa saya beriman demikian, kenapa saya bisa percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, kenapa saya percaya Alkitab satu-satunya firman Tuhan, kenapa saya percaya Alkitab ini adalah wahyu Tuhan yang tidak bisa salah. Kita mencoba untuk terus menggali, menggali, sampai kita benar-benar memiliki pondasi yang kuat, maka pasti hidup kita akan limpah dengan buah. Bapak, Ibu, Saudara, waktu kita menyadari hal itu maka menjadi refleksi seberapa banyak keaktifan dari akar-akar, dari iman Bapak, Ibu, Saudara untuk menggali tentang kebenaran iman yang Bapak, Ibu, Saudara percaya. Sejauh manakah? Kalau misalnya kita lihat ya waktu kita mempelajari firman Tuhan, firman Tuhan katakan, “Akulah air hidup, barangsiapa minum dari air yang Kuberikan maka dia tidak akan pernah haus lagi selama-lamanya.” Darimana kita bisa mendapatkan air hidup ini? Dari firman. Waktu kita terus menerus mau mempelajari firman kita akan terus menerus dipuaskan dengan firman. Waktu kita dipuaskan dengan firman maka pondasi iman kita akan semakin kuat. Waktu pondasi iman kita semakin kuat kita akan bisa otomatis meluap dengan buah-buah yang bisa dinikmati orang lain.
Bapak, Ibu, Saudara, hal ketiga yang kita bisa pelajari adalah jika kita tidak berbuah, dalam konteks ini tidak berbicara masalah keselamatan, kalau kita tidak berbuah maka Tuhan tidak akan pernah memakai kita. Tuhan tidak akan pakai kita. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, seperti apa yang Tuhan Yesus sindir, Dia menuntut buah dalam hidup orang percaya itu bukan musiman. Jangan kita berbuah “ya kalau hari Minggu saja kita menunjukkan buah-buah pertobatan kita,” kalau hari Minggu saja seolah-olah kita senyum baik-baik dengan orang Kristen, apalagi dengan sesama, kalau sudah keluar dari gereja, ya sudahlah, kehidupan duniawi kita, entah itu nipu sana-nipu sini, hidup berdosa di sana-sini, itu seolah menjadi kehidupan yang terpisah. Hidup seperti ini disebut dualisme. Dualisme itu kita memisahkan bahwa “saya harus punya kehidupan rohani kalau saya di gereja. Kenapa? Karena saya beribadah kepada Tuhan. Kalau saya tidak kelihatan rohani, saya bukan orang Kristen. Tapi kalau di luar, saya mau melakukan apa saja, kan Tuhan nggak tahu, kan Tuhan itu adalah Allah yang adalah Roh, Dia nggak tahu.” Maka kitapun melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhanpun seolah tidak ada beban bagi kita. Kehidupan dualisme seperti ini Tuhan tidak inginkan, Tuhan justru inginkan ada hidup yang sinkron, hidup yang sesuai dengan apa yang kita katakan, yang muncul dari hati kita.
Lalu kira-kira buah-buah apa saja yang Tuhan harapkan? Hidup kita terdiri dari jasmani dan rohani, hidup kita adalah tubuh dan roh. Jiwa dan roh itu sama, jiwa dan roh itu seringkali dalam Alkitab digunakan dengan secara bergantian. Teologia Reformed mengajarkan dikotomi, sebagaimana manusia itu terdiri dari jasmani dan rohani maka manusia itu adalah tubuh dan roh atau jiwa. Maka ketika kita sadar hidup kita adalah terdiri dari tubuh dan roh, maka buah yang kita hasilkan itu roh menghasilkan buah Roh, maka tubuh menghasilkan buah-buah pertobatan. Saudara, sederhana sekali. Buah Roh darimana? Seperti yang ditulis di dalam Galatia 5:22, “buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” “Kasudabarmurbaitiamahdir” begitu kan akronimnya. Inilah yang harusnya muncul dari kehidupan kita. Bagaimana kita bisa menunjukkan kasih kepada orang lain, bagaimana kita bisa menyatakan, baik kepada Tuhan maupun kepada orang lain ya, kepada sesama. Bagaimana kita juga menunjukkan kesetiaan, kesetiaan baik kepada Tuhan maupun kepada sesama. Vertikal dan horisontal itu juga tidak boleh dipisah-pisahkan. Jangan hidup kita itu hanya vertikal saja tapi horisontal, relasi dengan sesama itu kaku dan tidak ada kehangatan. Ini yang akhirnyamenyebabkan gereja-gereja Protestan seringkali mendapatkan julukan gereja yang kaku-kaku luar biasa ya, gereja tidak ada kehangatan. Saya harap gereja Reformed itu justru bisa menggabungkan keduanya ya, ada kehangatan di dalam relasi, ada juga kebenaran ketika kita memahami siapa Kristus, siapa Allah sejati. Kasih, sukacita, damai sejahtera, kebaikan, kemurahan, dan sebagainya itu harus muncul dari hidup kita. Dan buah Roh itu tidak bisa dimiliki oleh orang di luar Kristus. Sekali lagi, buah Roh tidak bisa dimiliki oleh orang di luar Kristus. Orang di luar Kristus seolah-olah dia bisa mengasihi, seolah-olah dia bisa setia, seolah-olah dia bisa menguasai diri, tetapi secara prinsip sebenarnya itu bukan penguasaan diri, bukan kasih, bukan kesetiaan, bukan kebaikan seperti yang ditunjukkan di dalam Alkitab. Karena kasih di dalam Alkitab itu berbeda dengan bagaimana orang mengasihi di luar Kristus. Ini satu renungan yang panjang lagi untuk membahas hal ini.
Lalu bagaimana dengan buah pertobatan? Buah pertobatan ditunjukkan dari apa yang kita lakukan, dari iman kita masuk kepada pikiran, pikiran kita masuk ke dalam kelakuan kita, kelakuan kita dimulai dari kata-kata kita. Bagaimana buah kata-kata kita untuk setiap waktu Bapak, Ibu, Saudara munculkan dari mulut kita? Apakah kata-kata yang seringkali kita munculkan itu justru merajam orang-orang disekitar kita dengan hinaan-hinaan kita, dengan umpatan-umpatan kita, ataukah kata-kata kita itu bisa membuat orang merasa damai, membuat orang merasa bersukacita, membuat orang terbangun? Bapak, Ibu, Saudara dan saya bisa merefleksi. Lalu bagaimana dengan tindakan-tindakan kita? Apakah tindakan-tindakan kita itu sudah memberikan satu teladan yang baik kepada orang-orang di sekitar kita? Jangan sampai orang-orang di sekitar kita itu melihat kita sebagai orang Kristen itu “pancet ae lho,” itu kalau orang Jawa bilang ya. “Dari dulu jadi orang Kristen kok pancet ae,” begitu kira-kira ya. Pancet-nya itu pancet nggak bener atau pancet bagaimana, tapi kalau pancet ae, tetap seperti itu saja, artinya nggak ada perubahan. Seharusnya hidup kita harus memberikan perubahan. Bapak, Ibu, Saudara, buah itulah yang Tuhan harapkan dari kita.
Nah selanjutnya kita bisa melihat bagian di ayat berikutnya, di ayat 20 sampai seterusnya. “Melihat kejadian itu tercenganglah murid-murid-Nya, lalu berkata: “Bagaimana mungkin pohon ara itu sekonyong-konyong menjadi kering?” Lalu Yesus menjawab,” ini pertanyaan tentang kuasa, kenapa kok pohon itu sekonyong-konyong menjadi kering? Lalu jawaban Tuhan Yesus unik sekali, “Yesus menjawab, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu percaya dan tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang Kuperbuat dengan pohon ara itu, tetapi juga jikalau kamu berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! hal itu akan terjadi.” Bapak, Ibu, Saudara, ayat ini seringkali disalah mengerti. Ketika dulu saya berada di gereja lama, di Karismatik, seringkali menjadi sebuah klaim, “Nah itu lho yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, itu adalah bicara soal iman, kalau kamu beriman, percaya, dan tidak bimbang,” katanya, “kamu bisa melakukan, bahkan memindahkan gunung sekalipun itu bisa, apalagi cuma minta harta-harta, yaa cuma minta mobil Ferrari, BMW, Mercedes, gampang,” katanya. Saudara, kita perhatikan apakah ayat ini ngomong itu sih? Sekarang kita lihat, ayat ini tidak ngomong hal itu, tidak ngomong masalah iman. Ayat ini ngomong apa? Coba perhatikan jawaban Tuhan Yesus ya, jawaban Tuhan Yesus mengatakan “kalau kamu tidak bimbang,” artinya murid-murid itu percaya dan tidak bimbang, “maka kamu akan bisa,” pertama, melakukan seperti apa yang Tuhan Yesus lakukan, yaitu mengutuk pohon ara, kalau arti literalnya; kedua, mencampakkan gunung ke dalam laut. Mengutuk pohon ara dan mencampakkan gunung ke dalam laut, ini bicara apa sih dua ini? Hal yang baik atau yang kira-kira mengerikan? Kalau yang mengerikan Saudara, gunung sudah bagus-bagus ngapain kita mau buang ke dalam laut? Kira-kira begitu ya. Ini bicara tentang kuasa penghakiman sebenarnya. Bicara tentang penghakiman artinya apa? Tuhan ingin bicara kepada murid-muridNya, “Hai murid-muridKu, kalau kamu percaya dan tidak bimbang,” perhatikan, arti percaya itu faith, faith itu bukan positive thinking, faith itu kepercayaan kepada Pribadi Allah sendiri, percaya kepada PribadiNya bukan percaya kepada janji-janji yang sebenarnya tidak pernah diucapkan dari Sang Pribadi itu. Saudara kalau percaya kepada orang, itu benar-benar kita trust kepada orang, kita percaya pasti yang dikatakan orang itu benar, tapi kalau kita sudah nggak percaya kepada orang, “Ahh orang itu nggak bisa dipercaya.” Saudara, kalau kita percaya kepada Allah, faith itu adalah kita meletakkan seluruh hidup kita kepada obyek iman, yaitu Kristus. Dia bukan hanya obyek tapi sekaligus Dia adalah subyek dari iman kita karena Dialah yang menganugerahkan iman kepada kita dan iman itu kita pakai untuk percaya penuh kepada Pribadi-Nya.
Waktu kita percaya penuh kepada Pribadi-Nya, kita bisa pegang seluruh apa yang dikatakanNya. Dari mana kita tahu? Seluruhnya tertuang di dalam Kitab Suci, maka yang tidak tertuang di dalam Kitab Suci itu kita nggak perlu pegang ya. Apalagi, “kalau kau bayar persepuluhan, Tuhan pasti akan ganti 10 kali lipat,” lho dari mana? Saya pernah dengar sendiri Bapak, Ibu, Saudara ya, dengar sendiri dengan telinga saya dan melihat sendiri salah satu pendeta yang minyak urapan itu ya; dia mengatakan demikian, “Hai anak-anak muda, kalau engkau percaya kepada Yesus, engkau meletakkan iman, maka mintalah kepada Dia. Siapa hari ini yang naik sepeda motor? Berdoa, pasti tahun depan kau datang pakai stir bundar,” mobil maksudnya ya, “minta jangan tanggung-tanggung, pasti Tuhan kasih.” Wah saya waktu lihat kaget, “Lho begini ya,” dengan kebesaran seorang pendeta besar dia ngomong janji Tuhan, “kalau engkau percaya, minta, pegang janji Tuhan, hari ini engkau sepeda motoran, pakai helm, buka helm kamu, tahun depan pakai stir bundar.” Saudara, kapan Tuhan Yesus janji kayak begitu untuk kalian? Nggak ada, nggak pernah ada janji kayak gitu. Maka satu persatu kalau Saudara perhatikan sekarang baru beredar di media sosial, salah satu hamba Tuhan besar juga akhirnya teologianya melenceng semua. Dan Saudara, kita hanya pegang teguh apa yang Tuhan janjikan, selama kita setia mengerjakan tanggung jawab kita dalam gerakan Reformed ini, ajarkan setiap pengajaran yang bertanggung jawab, Tuhan akan percayakan kaki dian itu di dalam gerakan kita, Tuhan akan tambah-tambahkan jiwa-jiwa yang mulai terbuka. Salah satu jemaat, satu keluarga itu pindah ke Gempol, tempat kami, waktu saya tanya, namanya Ricky, “Rick, kenapa kok kamu bisa ke sini ya?” Dia jawab begini, “Iya pak, saya bertahun-tahun ke gereja itu, orangtua saya dibaptis di sana,” yang minyak urapan tadi, ”bertahun-tahun saya di gereja itu tapi bertahun-tahun saya perhatikan kok yang diomongin itu-itu saja ya, berkat-berkat saja, dan diri sendiri, kesaksian diri sendiri. Lalu saya mulai tanya, benar nggak ya ini firman yang saya dengar.” Nah ketika kamu berpikir seperti itu, bukan kamu sendiri yang pikir, itu adalah Roh Kudus yang bekerja di dalam pikiran kamu. Saudara, setelah dia menemukan wah rasa syukurnya besar sekali. Bapak, Ibu, Saudara, anugerah Tuhan itu ketika datang kita kadang-kadang nggak bisa pikirkan dengan otak kita.
Sekarang kembali lagi, saat Tuhan mengatakan “kalau kamu benar-benar beriman dan tidak bimbang,” kata “tidak bimbang” itu di dalam bahasa Yunaninya “diakrinō,” diakrinō itu bukan berarti tidak punya ketetapan, bukan. Tapi diakrinō artinya itu memisahkan diri. Sehingga kalau saya terjemahkan dengan kalimat yang berbeda, “kalau kamu percaya kepada Pribadi Kristus, dan memisahkan diri dari kehidupan orang-orang dunia ini, maka kamupun juga akan bisa memiliki kuasa penghakiman seperti yang Aku lakukan kepada pohon ara ini.” Saudara, hal ini bicara apa? Waktu kita sebagai murid-murid Kristus berani memisahkan hidup kita dari dunia ini, artinya hidup yang terpisah dari dunia, tidak ikut arus dunia, maka Tuhan akan memberikan kepada Bapak, Ibu, Saudara, dan saya kuasa penghakiman. Kita berani menegur dosa, kita berani mengatakan itu salah. Seringkali kuasa ini tidak dimiliki oleh orang yang bersama-sama ada di dalam arus itu bukan? Kalau orang sama-sama satu gerombolan, sama-sama pemabok, lalu salah satu orang mengatakan, “Hei kamu jangan mabok,” nggak ada kuasa Bapak, Ibu, Saudara. Tapi kalau salah satu misalkan sudah keluar, sudah Tuhan lepaskan, akhirnya dia hidupnya rohani sekali, ketika dia datang ke teman-temannya, “Hei sekarang kamu jangan mabok,” ada kuasa. Maka kalimat ini Tuhan khususkan kepada murid-muridNya, dan Bapak, Ibu, Saudara, dan saya, kita yang adalah murid-murid Kristus harusnya kita berani untuk memisahkan diri dan percaya penuh sehingga Tuhan juga berikan kepada kita kuasa rohani untuk menyatakan, “engkau salah.” Kalimat ini seringkali dipakai oleh orang-orang, “sudahlah jangan menghakimi.” Saudara, itu adalah kalimat yang sebenarnya kurang tepat, tidak tepat. Kenapa? Kalimat “jangan menghakimi” itu seolah-olah mereka tidak punya hak, “sudahlah, orang Kristen itu tidak punya hak menghakimi, penghakiman itu hanyalah haknya Tuhan.” Betul itu haknya Tuhan, tetapi jangan salah ketika kita sudah memiliki satu posisi yang jelas maka kitapun juga berani mengatakan, “nggak usahlah.”
Menghakimi itu sebenarnya kalau lebih lanjut lagi kita dipakai Tuhan. Lihat ya, dalam pengadilan hakim itu kan bukan hanya menentukan salah, tetapi sekaligus vonis, “Kamu salah dan penjara 3 tahun.” Terkadang kita seringkali hanya menyatakan, “Eh kamu salah.” “Waduh, jangan menghakimi.” Jadi nggak tepat. Kalau kita mengatakan kamu salah, kalau kamu teruskan nantu Tuhan yang akan menyatakan penghakimanNya kepada engkau. Saudara, seolah-olah Tuhan pakai murid-muridNya, hamba-hambaNya untuk menyatakan satu teguran dan sekaligus apa yang Tuhan akan nyatakan di dalam kemurkaanNya ketika orang-orang yang berdosa terus saja hidup di dalam keberdosaan. Sehingga ayat ke-22 ini berkaitan juga dengan ayat-ayat sebelumnya. “Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya.” Jadi nggak bisa ayat ini hanya dicomot satu ayat ini saja lalu wah kayak pendeta-pendeta Karismatik yang radikal ya, “Lho kan apa saja yang kamu minta, Ferrari, BMW, Mercedes, apa saja lho.” Tuhan bilang nggak, ini kaitannya dengan yang sebelumnya. Kalau kamu bisa memisahkan diri dan percaya maka kamu akan diberikan kuasa rohani, kalau kau sudah memiliki kuasa rohani, numpang tanya, berani kita minta apa saja? Kalau Bapak, Ibu, Saudara yang sudah lama sekali belajar di dalam teologia Reformed, banyak sekali mendapatkan kelimpahan, sekarang saya tanya, berani nggak berdoa minta sama Tuhan, “Tuhan, minta BMW, minta Ferrari,” hayo berani nggak? Kita nggak akan semena-mena kan mintanya, nggak akan sembarangan kita minta. Kita minta pasti belajar peka, “Waduh waktu saya berdoa seperti ini kira-kira sesuai nggak dengan kehendak Tuhan? Kalau nggak sesuai dengan kehendak Tuhan, aduh saya nggak akan berani minta.” Maka permintaannya pun adalah permintaan yang Tuhan berkenan: “Tuhan, saya minta jiwa-jiwa; Tuhan beri kesempatan kami untuk memberitakan injil, saya minta, kira-kira orangtua saya, keluarga saya, mereka belum dengar injil, kasih kesempatan mereka dengar injil,” itu lho bicara apa saja itu, karena permintaannya nggak aneh-aneh pasti, selalu berkaitan dengan apa yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita nggak akan pernah minta yang aneh-aneh, yang di luar dari kehendak Tuhan, kalau kita sudah memisahkan diri dari dunia ini. Dan inilah yang menjadi sebenarnya bagian dari pesan yang kita ingin renungkan bersama-sama, dimulai dari kehidupan kita yang berbuah. Maka Tuhan menginginkan hidup Bapak, Ibu, Saudara, dan saya selalu berbuah setiap hari supaya kita terus dipakai oleh Tuhan sampai Tuhan datang kedua kali. Mari kita berdoa.
Bapa di dalam Sorga, firmanMu sudah kami renungkan. Kami mohon Tuhan beranugerah kepada setiap kami, kiranya kami boleh terus memikirkan apakah kami sudah menghasilkan buah-buah yang bisa Tuhan nikmati. Tuhan, tolonglah kami yang lemah ini, berikanlah kepada kami satu semangat untuk kami terus aktif di dala kami menikmati firman yang Tuhan telah anugerahkan supaya kami semakin bertumbuh, kami semakin besar iman kami, dan kami boleh menghasilkan buah-buah yang boleh dinikmati Tuhan dan juga boleh dinikmati sesama. Terima kasih Bapa di Sorga. Materaikanlah firmanMu kepada setiap jemaatMu sehingga jemaatMu boleh semakin diberkati dan semakin bertumbuh. Inilah doa ucapan syukur kami. Hanya di dalam nama Tuhan kami Yesus Kristus, kami berdoa dan kami bersyukur. Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]