Rm. 12: 3-8
Pdt. Lay Hendra Wijaya, S.E., M.C.S., M.Th.
Bapak, Ibu, Saudara yang saya kasihi, pada waktu kita memikirkan kembali 22 tahun Tuhan sudah memimpin kita, maka pertanyaannya selalu “what next” perjalanan kita, akan kemanakah gereja ini, akan menuju ke arah yang mana, akan mencapai apakah gereja ini? Apakah kita kemudian boleh berpuas hati dengan mengatakan, “sudah 22 tahun, kami sudah cukup mantap berdiri, kami sudah cukup teguh, kami sudah cukup mapan, kami punya anggota mulai cukup banyak, kami mempunyai orang-orang yang melayani cukup banyak, maka kami sudah menjadi sebuah gereja yang diperkenan oleh Tuhan”? Apakah Saudara dan saya kemudian berpikir 22 tahun itu jalan terlalu singkat, 22 tahun itu belum apa-apa, 22 tahun dibandingkan kehendak Tuhan bagi hidup kita, bagi pekerjaan Tuhan di atas muka bumi ini, 22 tahun itu belum berarti apa-apa. 22 tahun itu baru satu langkah kecil yang kita capai. Itu sebabnya kita masih memerlukan firman Tuhan, kita memerlukan dorongan dari Tuhan, kita masih memerlukan api dari Tuhan membakar kita sekali lagi sehingga kita boleh mengerjakan lebih banyak lagi pekerjaan yang Tuhan sediakan bagi kita. Pagi hari ini saya mau mengajak kita memikirkan tentang bagaimana gereja itu boleh menjadi sebuah gereja yang diberkati oleh Tuhan, apa tanggung jawab Saudara dan saya sebagai jemaat, apa tanggung jawab Saudara dan saya melayani untuk mengejar, untuk membangun, untuk terus memompa diri untuk mencapai kehendak Tuhan yang seharusnya Tuhan tetapkan bagi kita sekalian. Apa yang patut kita kejar, apa yang patut kita buang, apa yang patut kita utamakan, apa yang tidak patut kita utamakan, mari kita pikirkan berdasarkan nasehat dan firman Tuhan kepada kita hari ini. Itu sebabnya saya sangat merasa bagian yang sudah kita baca dari Kitab Suci pada pagi hari ini menjadi nasehat penting yang Paulus berikan kepada jemaat di Roma, sekaligus menjadi nasehat penting yang firman Tuhan berikan kepada jemaat MRII Yogyakarta pada pagi hari ini.
Nah Saudara-saudara, bicara tentang gereja yang diberkati Tuhan, apa sih substansi, apa sih esensi gereja yang diberkati Tuhan? Maka Paulus kemudian waktu memulai pasal 12, Paulus mengatakan sebuah umat Tuhan yang diberkati Tuhan, sebuah gereja yang diberkati Tuhan adalah sebuah gereja yang terdiri dari orang-orang percaya yang sejati. Syarat pertama, prinsip pertama gereja itu akan diberkati Tuhan, syarat pertama gereja itu akan dipimpin oleh Tuhan: jikalau di dalam gereja itu ada orang-orang percaya yang sejati. Bagaimana kita menilai orang-orang Kristen yang sejati? Maka Paulus di dalam pasal 12:1-2 mengatakan, “demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Poin pertama Paulus mengatakan orang-orang Kristen yang sejati adalah orang-orang Kristen yang kemudian menyerahkan hidupnya, adalah orang-orang yang mau mempersembahkan hidupnya, adalah orang-orang yang menaruh hidupnya di atas mezbah Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang memberi totalitas hidupnya kepada Tuhan, itulah ciri pertama orang Kristen yang sejati. Tidak ada jalan lain, tidak ada kemungkinan lain Saudara menjadi orang Kristen yang sejati kecuali Saudara datang kepada Tuhan lalu mengatakan, “Tuhan, aku serahkan totalitas hidupku ke dalam tanganMu, sebagai persembahan yang hidup, sebagai ibadah kami yang paling sejati.” Saudara, ibadah kita yang paling penting di hadapan Tuhan bukan kembaktian Minggu, bukan Saudara pergi pelayanan, bukan Saudara terlibat dalam aktifitas gereja; tetapi ibadah yang paling penting adalah Saudara mengambil sikap, mengambil keputusan, menaruh seluruh hidupmu, menaruh totalitas hidupmu sebagai sebuah persembahan yang Saudara taruh di mezbah Tuhan, diserahkan kepada Tuhan. Yaitu engkau dengan tegas memutuskan antara hidup yang lama dan hidup yang baru. Engkau dengan tegas memutuskan hidup yang berdosa dengan hidup di dalam Tuhan. Sikap ini, prinsip ini tidak bisa dikompromikan, tidak bisa ditawar. Gereja yang diberkati Tuhan harus diisi oleh orang-orang yang mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan. Ini syarat pertama, ini poin pertama. Orang-orang Kristen yang sejati adalah orang-orang yang dengan tegas terus menerus melawan dosa, terus menerus membuang hidup yang lama, dan kemudian menjalani hidup yang baru. Itu sebabnya Bapak, Ibu, Saudara, dalam hidup kita kita perlu senantiasa menguji diri, hidup kita, di hadapan Tuhan, apakah sebagai orang percaya kita masih menyimpan dosa tertentu dalam hidup kita? Tuhan tidak akan berkati jikalau engkau sambil melayani sambil simpan dosa. Tuhan tidak akan memberkati gereja ini bila engkau orang yang melayani sambil Hari Minggu melayani Tuhan, hari lain pergi berjudi, hari lain Saudara pergi cari pelacur. Prinsip totalitas membuang dosa harus menjadi sebuah sikap keputusan penting di dalam konteks kita menjadi orang Kristen yang sejati. Pertobatan itu harus ditandai dengan sebuah tindakan keputusan yang membekas di dalam hidup kita. Saya sering memakai ilustrasi tentang orang menoreh karet, kalau orang menoreh karet, mengambil karet dari pohon karet, maka cara mengambil karet itu adalah tidak ada jalan lain kecuali menoreh. Waktu ditoreh karet itu maka pohon karet itu pasti ada bekasnya dan tidak bisa kembali lagi. Demikian juga Saudara dan saya waktu membuang dosa dan hidup lamamu, maka goresan pembuangan itu, memutuskan itu, akan menjadi sebuah bekas yang mengingatkan kamu seumur hidup tidak boleh kembali lagi kepada hidup yang lama. Itu sebabnya syarat pertama Bapak, Ibu, Saudara, gereja ini akan diberkati oleh Tuhan jikalau ada orang-orang Kristen sejati yang mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan secara totalitas.
Poin yang kedua, prinsip yang kedua adalah, di ayat ke-2 dikatakan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Yang kedua, orang Kristen yang sejati adalah orang yang akal budinya, cara berpikirnya sudah berubah. Dia tidak lagi menilai segala sesuatu dari ukuran dunia ini, dia tidak mengambil keputusan hanya dengan sekedar mengikuti arus dunia ini, melainkan dia adalah orang percaya yang melihat segala sesuatu dari perspektif Tuhan Allah, dari sudut pandang Tuhan, melihat dari atas bukan lihat lagi dari bawah. Dia tidak gampang ditarik oleh dunia ini, melainkan dia lebih gampang ditarik oleh Tuhan. Itulah ciri yang kedua orang Kristen yang sejati. Bapak, Ibu, Saudara, jika gereja ini dipenuhi orang Kristen yang mempunyai 2 ciri ini maka gereja ini menjadi gereja yang murni, gereja yang sejati, gereja yang diperkenan oleh Tuhan. Itulah sebabnya tiap-tiap kita perlu menguji diri di hadapan Tuhan: sudahkah kita menempatkan hidup kita, menaruh hidup kita dengan tuntutan hidup Kristen yang demikian ini? Jikalau Saudara terlalu gampang mengasihani diri, terlalu gampang kompromi, maka Tuhan tidak akan sertai kita. Celaka jika kita kemudian mengatakan, “Ya saya kan masih hidup di dunia ini, saya lemah, saya masih gampang jatuh.” Jatuh ke dalam dosa itu kadang terjadi bukan karena ada godaan, bukan karena pencobaan, tetapi kadangkala waktu pencobaan datang justru karena kita mengasihani diri kita sendiri maka kita kemudian menjadi gampang jatuh dalam dosa.
Saya ingat cerita yang Pak Tong sering katakan kepada kami hamba Tuhan tentang orang-orang zaman dulu bagaimana mereka hidup dalam dosa. Di Jawa Tengah ada satu orang tua, yaitu kakek dari Pendeta Kristian Budiman, orang tua ini bernama mpek Gombak. Mpek Gombak itu adalah satu orang yang suka judi, dia tidak bisa hidup tanpa judi, setiap hari dia pergi judi. Tetapi kemudian waktu John Sung datang kabarkan injil, kemudian dia bertobat, terima Tuhan. Sesudah dia terima Tuhan dia ambil satu keputusan penting pada satu hari, dia masuk ke dapur dan isterinya tidak tahu sedang apa dia di dapur, tiba-tiba dia ambil pisau potong babi yang besar lalu dia taruh ibu jarinya sendiri, dia potong ibu jarinya. Isterinya kaget kenapa potong tangan, lalu buru-buru ambil kain untuk bungkus tangannya. Dia bilang, “tangan ini yang suka bikin saya berjudi, tangan ini mencelakakan hidup saya untuk menjauh dari Tuhan, tangan ini yang membuat saya berdosa, harus dibuang.” Lalu sejak itu dia tidak mau keluar rumah lagi. Teman-temannya datang ketok pintu, “mpek Gombak, mpek Gombak, keluar,” mereka tunggu satu hari nggak keluar, dua hari nggak keluar, berhari-hari nggak keluar. Mereka cari lagi, “mpek Gombak ayo saatnya kita main lagi.” Mpek Gombak kemudian teriak, “jangan cari Gombak, Gombak sudah tidak ada, dia sudah mati, Gombak yang lama sudah mati, dan dia sudah tidak ada lagi.” Apa yang kita bisa pelajari dari ilustrasi ini? Yaitu keseriusan seorang Kristen membuang dosa, membuang kejahatan hatinya. Gereja ini akan diberkati oleh Tuhan jikalau gereja ini dipenuhi oleh orang-orang yang suka membuang dosanya dari hadapan Tuhan, amin? Saudara mau berjanji di hadapan Tuhan mau membuang dosa hidupmu? Saudara mau janji sama Tuhan? Nggak berani janji sama Tuhan? Saudara dan saya harus berani mengatakan, “Tuhan tolong saya buang semua dosa saya.” Dengan demikian baru saya menjadi seorang Kristen yang sejati.
Nah sesudah 2 prinsip Kristen sejati itu Paulus tegaskan, sekarang Paulus mengajarkan kepada kita, menasehatkan kepada gereja di Roma bagaimana seharusnya orang Kristen sejati itu hidup di dalam gereja, bagaimana mereka harus hidup sebagai orang Kristen di tengah-tengah jemaat, bagaimana mereka harus menjalankan kehidupan mereka pada waktu pikiran mereka sudah diubahkan. Pada waktu hidup mereka sudah mendapatkan hidup baru, bagaimana seharusnya mereka sekarang hidup bersama sebagai umat Tuhan di dalam gereja. Maka kemudian di dalam konteks ini Paulus memberikan 3 nasehat penting yang Saudara dan saya perlu belajar, 3 nasehat penting yang harus dikejar oleh orang-orang Kristen sejati di dalam gereja. Yang pertama Paulus mengatakan, kita sekarang perlu mempunyai konsep pengenalan diri yang benar, siapa kita sesungguhnya, bagaimana kita menilai diri kita di tengah-tengah umat Tuhan. Setiap orang perlu menilai diri, menempatkan diri dengan benar di hadapan Tuhan, menempatkan diri dengan benar di tengah jemaat, setiap orang harus tempatkan diri dengan benar. Yang kedua, setiap orang perlu bagaimana melihat orang lain. Ini poin kedua. Bagaimana kita melihat orang lain sesama orang percaya? Yang ketiga baru bagaimana kita memperlakukan karunia-karunia rohani yang Tuhan sediakan kepada gereja, bagaimana kita pakai karunia rohani itu, bagaimana kita oleh karunia rohani itu untuk mempermuliakan Tuhan. Ini 3 poin yang akan saya bahas pada pagi hari ini berdasarkan nasehat Paulus kepada jemaat di Roma. Sekarang kita akan perhatikan 3 prinsip yang Paulus nasehatkan kepada jemaat di Roma berkenaan dengan bagaimana orang Kristen sejati melihat diri mereka di tengah-tengah orang percaya, bagaimana gereja itu perlu dibangun bersama-sama berdasarkan prinsip ini.
Yang pertama, bagaimana kita sebagai orang percaya harus melihat diri kita? Bagaimana kita menempatkan diri secara benar di hadapan Tuhan dan juga sekaligus di hadapan manusia. Di dalam ayat ke-3 Paulus mengatakan, sekali lagi Paulus kemudian menasehatkan kepada kita untuk melihat diri kita dengan 2 sikap. Pertama, Paulus dengan tegas mengatakan kita harus melihat diri kita pertama dengan sikap negatif, yang kedua dengan sikap yang positif. Apa itu sikap yang negatif? Yaitu, “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu,” bukan hanya satu tetapi setiap orang, bukan hanya satu kelompok, bukan hanya satu pribadi, tetapi setiap orang, seluruhnya, satu gereja, diantara kamu “janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan.” Paulus mengatakan secara negatif, dengan kata lain Paulus ingin menasehatkan dengan mengatakan, “Hei orang-orang Roma, aku mendesak kamu, memberi nasehat kepada kamu, yaitu supaya di tengah-tengah kamu jangan ada orang yang menganggap dirinya super hebat diantara jemaat. Jangan ada orang yang kemudian menonjolkan diri, jangan ada orang yang menganggap diri lebih penting daripada orang lain.” Barangkali Paulus tahu bahwa di tengah-tengah jemaat Roma ada sekelompok individu, atau ada beberapa individu yang suka menonjolkan diri, mengganggap diri lebih baik daripada orang lain. Di semua gereja ada penyakit semacam ini, yaitu ada orang-orang yang selalu menganggap diri lebih baik dari orang lain, yang selalu menonjolkan diri, menjadi pemakai kesempatan pelayanan untuk menonjolkan diri, untuk mempertontonkan kehebatan diri. Orang-orang yang menonjolkan diri, orang-orang yang menampilkan diri hebat yang kemudian menunjukkan diri lebih baik dari orang lain. Sikap semacam ini bukan sikap orang yang benar. Bahkan di pasal 14, Paulus dengan jelas juga memberikan peringatan semacam ini, yaitu Paulus mengatakan sifat menonjolkan diri, suka membanggakan diri, suka meninggikan diri adalah sifat natur manusia yang berdosa. Saudara dan saya harus hindari, Saudara dan saya harus memelihara diri jangan jatuh di dalam sisi negatif ini.
Sifat negatif ini selalu muncul dalam 2 bentuk. Bentuk yang pertama adalah ada orang-orang yang kemudian mengganggap diri hebat. Orang-orang yang menganggap diri hebat adalah orang-orang yang suka menasehatkan orang lain; dia suka tunjukkan betapa hebatnya dia, betapa pintarnya dia, berapa banyak yang dia sudah kerjakan, berapa kuatnya dia, berapa kayanya dia, supaya orang kemudian berkesan bahwa apa-apa itu perlu bergantung pada orang satu ini. Orang-orang semacam ini akan menjadi penyakit yang merusak gereja. Orang-orang semacam ini menjadi titik yang memperlemah gereja, bukan memperkuat gereja. Orang-orang yang menonjolkan diri, menganggap diri hebat, menganggap dirinya segala-galanya sehingga semua orang perlu bergantung kepada dia, sikap negatif semacam ini harus kita buang, gereja harus dengan keberanian mengikis kerusakan kerohanian semacam ini. Yang kedua, sikap meninggikan diri juga bisa muncul dalam bentuk yang lain, yaitu sikap selalu merendahkan dirinya sepertinya rendah hati tetapi sebetulnya sedang meninggikan diri. Saudara pernah ketemu orang yang seperti merendahkan diri tapi meninggikan diri? Ada orang yang suka menampilkan diri seperti tidak punya apa-apa tetapi sebetulnya dalam motif hatinya ingin orang melihat bahwa dia lebih baik dari orang lain. Saya ambil satu contoh ilustrasi. Satu kali seorang pengkhotbah yang bernama Martin Lyoid Jones ada di stasiun kereta api, dia baru tiba dari luar kota London. Lalu dia sedang membawa koper turun dari kereta, tiba-tiba seorang lelaki datang kepada dia dan berkata, “Oh Doktor Martin Lyoid Jones, senang sekali bertemu dengan anda. Perkenalkan saya ini cuma seorang penyapu cerobong asap di rumah Tuhan, pelayanan saya tidak besar, saya bukan pengkhotbah, saya bukan pemimpin liturgi, saya bukan pemimpin apa-apa, saya cuma penyapu cerobong asap di gereja. Saya bukan siapa-siapa tapi anda adalah seorang yang punya karunia besar.” Saudara lihat pada waktu orang mengatakan kalimat semacam ini kira-kira Dr. Martin Lyoid Jones sikapnya harus apa? Kalau menurut Saudara seharusnya Martin Lyoid Jones ketemu orang itu lalu bagaimana? Martin Lyoid Jones dengan mata yang tajam melihat motif dalam hati orang itu, langsung Martin Lyoid Jones tidak berkata apa-apa, langsung dia pergi meninggalkan orang itu. Kemudian orang bertanya kepada Martin Lyoid Jones mengapa dia meninggalkan orang itu dengan cepat dan tidak berkata apa-apa lagi? Dr. Lyoid Jones mengatakan, “saya tahu motivasi orang ini, sebetulnya orang ini hendak menginginkan supaya saya mengoreksi dia, orang ini sebetulnya ingin saya mengatakan, “O nggak, pelayananmu cukup penting meskipun cuma menyapu cerobong asap, penting sekali bagi gereja dan kamu penting kerjakan ini, kalau tidak kamu sapu semua kotoran, asap itu akan masuk ke gedung gereja dan semua orang akan menghisap kotoran itu dan akan mendatangkan sesuatu yang merusak kesehatan semua orang yang berbakti, itu sebabnya perananmu penting dalam hal ini.”” Saudara lihat orang semacam ini bukan merendahkan diri, tetapi memakai sebuah trik yaitu pura-pura rendah diri tetapi dibaliknya adalah meninggikan diri. Orang itu mengharapkan kita akan mengatakan, “kamu penting lho bagi pekerjaan Tuhan.” Itu sebabnya Dr. Lyoid Jones kemudian mengatakan cara untuk membongkar orang seperti ini yang tampak rendah hati padahal motifnya meninggikan diri, yaitu bilang, “benar kamu memang bukan apa-apa, tanpa kamu kita akan jalan terus kok, tanpa kamu kita tidak akan terganggu apa-apa.” Terhadap orang-orang yang meninggikan diri, terhadap orang-orang yang pikir tanpa dia gereja tidak bisa jalan, katakan, “memang gereja akan jalan terus tanpa kamu.” Dan ini sebuah kerusakan yang akan merusak gereja.
Oleh sebab itu bagaimana seharusnya kita menilai diri kita di hadapan Tuhan? Paulus kemudian memberikan lagi nasehat yang positif dibagian ayat yang ke-3 bagian kedua, “Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” Paulus mengatakan secara positif kamu harus menilai diri, yaitu kamu harus menempatkan diri melihat dirimu melalui sebuah penilaian yang dikaitkan dengan ukuran iman, takaran iman yang diberikan Tuhan kepada kita. Bicara tentang takaran iman, istilah ‘takaran’ ini seharusnya kita terjemahkan, seorang penafsir yang bernama Kronfeld mengatakan kata ‘ukuran atau ‘takaran iman’ itu harusnya diganti dengan kata sandang, yaitu Paulus mengatakan hendaknya kamu menilai diri kamu memakai satu standar yang penting. Standar itu apa? Paulus tidak minta kita, orang percaya, melihat diri kita menurut ukuran dunia ini; Paulus tidak mendorong kita melihat diri kita berdasarkan feeling kita sendiri; melainkan Paulus mengatakan biarlah tiap-tipa kita waktu menilai diri memakai satu standar yang penting, yaitu Yesus Kristus. Biarlah tiap-tiap kita selalu melihat diri kita dari perspektif Tuhan Yesus, menilai, mengukur diri kita melalui hubungan kita dengan Kristus, itu menjadi ukuran bagi kita menempatkan diri kita. Itulah sebabnya biarlah tiap-tiap dari kita tidak menganggap diri kita lebih tinggi dari apa yang seharusnya, biarlah setiap orang melihat dirinya di dalam gereja, menempatkan diri dengan cara melihat bagaimana Kristus melihat dia. Kita itu bagi Kristus berguna atau tidak, kita bagi Kristus penting atau tidak. Pelayanan yang kita lakukan itu memuliakan Kristus atau tidak? Apa yang kita kerjakan itu mendatangkan orang memuji Tuhan atau tidak? Apa yang kita lakukan membuat orang bersyukur atau tidak? Itu ukurannya, bukan diri kita orang penting atau tidak penting, bukan kita diutamakan atau tidak diutamakan. Yang harus diutamakan adalah Kristus. Itu sebabnya jikalau kita betul-betul menjadikan Kristus itu ukuran maka kita akan mengalami, gereja ini akan mengalami jikalau gereja ini memakai Yesus Kristus menjadi tolok ukur dari semua sikap hidup kita maka gereja ini akan mengalami sebuah pengalaman rohani yang luar biasa. Di dalam Matius 5:3 Yesus berkata, “Berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Saya ingin memakai satu terjemahan berkaitan dengan ayat ini. Ayat ini sebenarnya ingin mengatakan betapa bahagianya mereka-mereka yang menyadari bahwa mereka tidak ada apa-apa dalam diri mereka, melainkan mereka cuma bergantung kepada Allah, bergantung kepada Kristus. Oleh sebab itu orang-orang yang bergantung kepada Kristus adalah orang-orang yang akan mewarisi Kerajaan Allah. Itu sebabnya Saudara dan saya di dalam jemaat di tempat ini harus tiap-tiap orang mengukur diri kita, menempatkan diri kita dengan satu ukuran, yaitu selalu melihat Kristus lihat saya itu baik atau tidak baik, Kristus melihat saya itu saya dipuji atau ditegur, hidup saya membuat orang bersyukur kepada Kristus atau membuat orang tersandung datang kepada Kristus. Bukan hanya sekedar melalui aktivitas gerejawi kita melainkan melalui keseharian kita dimana Tuhan tempatkan kita. Saudara dan saya tidak boleh memakai hidup yang 2 standar, Hari Minggu Saudara Haleluya, Hari Senin-Sabtu Halelupa, nggak bisa kan? Saudara tidak bisa memakai dua standar yaitu Hari Minggu Saudara seperti orang suci, Hari Senin-Sabtu orang tidak melihat kamu itu adalah orang Kristen yang sejati. Jikalau [ada] kemunafikan semacam ini akan mengakibatkan kerusakan kepada gereja, akan membuat orang tidak datang kepada Tuhan, akan membuat orang tersandung datang kepada Tuhan. Itu sebabnya Saudara dan saya harus dengan keras menuntut diri, menjaga diri untuk hidup dengan integritas, yaitu Saudara hidup antara Minggu dan dari Senin-Sabtu sama. Integritas itu artinya luar dan dalam itu sama, integritas itu orang kenal kita tidak ada perubahan, apa yang di dalam hati itu yang kita tampilkan. Hidup dengan integritas itu bukan berarti Saudara menjadi tidak aktif, menjadi bodoh, bukan; tetapi integritas adalah Saudara menunjukkan keaslianmu, kesungguhanmu, kesetiaanmu, kejujuranmu sebagaimana Tuhan melihat kamu. Terus kalau di tangan saya sekarang ada sebuah kaleng warna merah, kemudian kaleng itu tertulis merk minuman tertentu, lalu saya buka, ada gas ada soda, saya minum. Waktu saya minum itu terus saya lepeh, kenapa? Karena pahit, bukan manis. Artinya merk yang di luar sama yang di dalam itu tidak sama. Kalau yang di luar dan di dalam tidak sama, kemungkinan ada 2. Pertama, itu barang rusak, atau [kedua] itu barang palsu. Hidup orang Kristen juga seperti itu. Saudara dan saya orang tidak bisa melihat Saudara Hari Minggu begitu baik, begitu suci, Hari Senin-Sabtu kayak setan. Saudara, orang-orang sekitar kita akan melihat hidup Kristen kita dari jauh, orang akan menilai dari kejauhan. Itu sebabnya Paulus mengingatkan kepada mereka, “awasilah dirimu dan awasilah ajaranmu.” Ajaranmu benar tapi hidupmu tidak benar, Tuhan tidak akan berkati, akan membuat sandungan orang datang kepada Tuhan. Itulah sebabnya jikalau Saudara dan saya memakai Kristus sebagai standar maka Saudara dan saya kemudian akan menahan, akan mengekang keinginan untuk menonjolkan diri, akan kita kikis, akan kita kurung nafsu untuk menonjolkan diri dalam dunia ini. Itulah sebabnya Paulus mengatakan kalau engkau memakai Kristus sebagai standar maka kebanggaanmu, kesombonganmu dengan sendirinya akan diikat. Mereka yang kemudian menganggap diri lebih penting dari orang lain akan kemudian berhenti pada waktu mereka melihat Kristus itu sebagai standar. Inilah yang kemudian Paulus sebut sebagai satu sikap rendah hati yang matang. Sikap untuk tidak menonjolkan diri, sikap memakai Kristus sebagai standar, sikap memakai Kristus itu melihat kita sebagai tolok ukur bagaimana kita hidup. Itu adalah suatu sikap kerohanian, suatu sikap rendah hati yang sangat matang. Bagaimana kita, jemaat MRII Yogyakarta, harus melihat diri? Maka seperti Paulus katakan, “dengan berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku menasehatkan kamu, orang-orang Jogja, supaya diantara kamu jangan kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir sebegitu rupa sehingga kamu menguasai dirimu menurut ukuran Allah, menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing,“ seperti sebagaimana yang dikatakan oleh ayat yang ke-3. Jadi poin pertama yang diberikan Paulus kepada kita, bagaimana kita harus melihat hidup kita.
Yang kedua, sekarang kita melihat ayat yang ke-4 dan ke-5. Paulus kemudian memberikan nasehat yang kedua dengan mengatakan bagaimana seharusnya Saudara dan saya melihat orang lain, bagaimana Saudara dan saya membangun pekerjaan Tuhan ini dengan melihat saudara-saudara seiman di dalam persekutuan gerejawi di tempat ini. Kalau tadi kita mengatakan kita harus menahan diri, tidak mengutamakan diri melainkan mengutamakan Kristus, maka yang kedua ini bagaimana kita harus melihat orang lain. Sekarang Paulus memakai sebuah ilustrasi tentang hakekat gereja itu apa, yaitu Paulus kemudian memberikan ilustrasi supaya kita paham betul natur gereja itu apa. Paulus memakai ilustrasi tentang tubuh dan anatomi tubuh manusia itu Paulus berikan contoh. Natur dari gereja itu mirip tubuh. Muncul satu kata yang penting, bahasa Indonesia menterjemahkan “sebab sama,” kata “sama” di ayat ke-4 adalah sesuatu kata yang dikaitkan, yang tidak boleh dilepaskan dari ayat ke-3, yaitu ketika kita memikirkan diri kita dan menempatkan Kristus sebagai standar untuk mengukur diri kita. Hanya dengan kita memakai Kristus sebagai standar mengukur diri kita maka dengan standar itu pula kita baru bisa mengerti apa artinya tubuh Kristus. Di dalam konteks bicara tentang tubuh Kristus kemudian Paulus memberikan kita 3 poin untuk kita sadari bagaimana tubuh itu bekerja, demikian juga bagaimana gereja itu seharusnya hidup dan bekerja dalam dunia ini.
Poin yang pertama, Paulus katakan tubuh itu mempunyai kesatuan, di ayat ke-4 dan ke-5, itulah tubuh. Paulus menekankan bahwa tubuh itu cuma ada satu, satu tubuh, tetapi di dalam satu tubuh itu ada banyak anggota. Kesatuann itu adalah kesatuan yang riil, bukan kesatuan yang terjadi karena hura-hura. Saudara lihat ya, kalau tubuh kita tidak bisa terjadi tubuh itu tidak ada ikatan yang menyatukan. Bisa nggak tubuh itu kemudian bukan kesatuan yang betul-betul menyatu, yang riil? Nggak bisa kan. Tubuh itu harus riil, harus nyata; tubuh itu harus bisa dilihat, bisa dirasakan. Kesatuannya itu terjadi alamiah, tidak bisa tubuh itu bersatu tidak alamiah, demikian juga kesatuan orang percaya di dalam gereja ini tidak bisa terjadi tidak alamiah. Saudara bisa bersatu karena apa? Di dunia ini kita tahu masyarakat mengajarkan kepada kita kita bersatu kalau punya yang paling gampang musuh bersama, betul kan ya? Kalau ada musuh bersama, nah mari kita bersama-sama. Paling jelas kalau Saudara lihat pemilu, betul kan ya? Kalau pilih calon ini, maka semua menyatu di situ pilih ini. Tapi betul tidak penyatuan itu adalah penyatuan yang betul, penyatuan yang alami? Tidak, penyatuan ini karena kita mendapatkan untung karena punya musuh bersama, tapi waktu musuh tidak ada lagi, bersatu lagi nggak? Tidak bersatu. Itu bukan penyatuan yang asli, bukan penyatuan yang seharusnya, bukan penyatuan yang riil. Penyatuan yang riil adalah penyatuan seperti tubuh, yaitu antara tangan dan kaki itu dipersatukan dan tidak mungkin bisa dipisahkan penyatuan itu. Mata dan hidung, mata dan telinga, itu adalah penyatuan yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Demikain juga Paulus kemudian melukiskan penyatuan kita sebagai umat Tuhan adalah penyatuan seperti tubuh Kristus. Kita disadarkan sebagai tubuh Kristus kita telah memperoleh dari sumber yang sama, yaitu keselamatan kita. Kenapa kita perlu bersatu? Karena kita sudah terima keselamatan yang sama. Saudara dan saya sudah dari satu sumber keselamatan itu. Kita tidak bisa membeda-bedakan orang lain lagi karena kita sumbernya sama. Rasul Petrus kemudian memberikan sebuah penjelasan penting dalam hal ini. Mari kita baca 2 Petrus 1:4, “Untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu.” Yang kedua kita baca Yohanes 15:5. Rasul Yohanes mengatakan kita telah menerima sumber kerohanian atau hidup rohani dari satu sumber yang sama. Saudara dan saya itu masing-masing itu cuma carang. Kita bukan pokok. Pokok itu cuma satu yaitu Yesus Kristus. Itu sebabnya kita perlu bersatu, atau kita dipersatukan, karena kita sudah menerima dari satu sumber yang sama, dari satu sumber hidup, makanan yang sama dari pokok anggur yang satu itu. Itu sebabnya kita tidak bisa tidak bersatu. Harus bersatu. Bahkan kemudian kita lihat di Yohanes 17, Yesus juga berdoa bagi orang percaya supaya kita senantiasa dipersatukan. Oleh sebab itu, kesatuan itu menjadi unsur penting di dalam gereja yang bersaksi di tengah-tengah dunia ini.
Yang kedua, dalam konteks ini kita melihat orang lain, memperlakukan orang lain; kalau tadi kita bicara memperlakukan orang lain itu kita harus menyatu, mempunyai sikap suka bersatu sama orang lain, suka merangkul orang lain, suka menerima orang lain untuk bersatu, maka yang kedua Paulus mengatakan, ada keragaman. Tubuh itu beragam. Tubuh itu bukan cuma 1, modelnya tidak 1, tetapi ada banyak keragaman. Tiap-tiap anggota itu mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Demikian juga gereja yang sehat, gereja yang sehat itu adalah gereja di mana ada orang-orang yang menjalankan fungsi pelayanannya secara berbeda-beda. Bagaimana keragaman itu kemudian bisa diikat, tidak menjadi sesuatu yang liar? Keragaman itu tidak akan menjadi sebuah faktor yang merusak jikalau tolak ukur dan standarnya sama. Gereja jikalau kita masing-masing memang beda, tetapi kalau kita diikat oleh ukuran berdasarkan ukuran Kristus, maka ukuran itu akan menjadi garis menjaga supaya keragaman kita tidak menjadi keragaman yang memecah belah; keragaman itu tidak akan menjadi keragaman yang memisahkan kita. Menjadi bagian dari pada tubuh Kristus itu artinya apa di dalam konteks keragaman? Yaitu di mana tiap-tiap orang itu diberi kemungkinan untuk memaksimalkan keunikannya di dalam tatanan standar dari Kristus, di mana tiap-tiap orang itu karena keunikan dia; saya dengan Pak Dawis itu pasti beda, tidak mungkin sama. Di dalam gereja harus ada tempat di mana Pak Dawis bisa mengembangkan seluruh potensi dirinya, seluruh keunikannya, sesuai dengan karunia yang Tuhan beri; di mana memakai Kristus itu sebagai ukuran. Benar tidak benar itu ukurannya Kristus. Takarannya takaran iman yang diberikan itu. Demikian juga dengan saya, pasti beda dengan Pak Dawis. Tidak mungkin kita bikin penyeragaman. Tidak mungkin semua orang, gereja itu cuma punya satu model. Yang punya cuma satu model itu adalah orang-orang sosialis. Betul kan? Orang-orang komunis itu seragam. Kalau Saudara pergi ke Tiongkok atau ke Rusia, Saudara lihat semuanya seragam. Korea Utara, semua seragam. Bukan seragam cuma dalam bentuk lahiriah, tapi juga sampai cara ngomongnya sama, gitu ya. Itu bukan penyatuan, itu penyeragaman. Gereja tidak boleh ada tempat untuk bikin penyeragaman. Gereja perlu bersatu, penyatuan, tapi bukan penyeragaman. Gereja harus ada tempat di mana tiap-tiap orang itu kemudian memaksimalkan keunikannya untuk kemuliaan Tuhan. Saya kutip satu kalimat dari F.F. Bruce. F.F. Bruce mengatakan, jikalau Roh Kudus itu bekerja dengan bebas di dalam sebuah gereja, maka keragaman karunia itu tidak mungkin bisa dihindarkan. Jikalau ada Roh Kudus yang menaungi gereja itu, jikalau ada Roh Kudus yang menilik gereja itu, maka gereja itu kemudian akan dipenuhi dengan berbagai macam karunia sehingga karunia-karunia itu boleh dipakai untuk mempermuliakan Tuhan.
Poin yang ketiga, bagaimana kita lihat orang lain, kita perlu ada sikap mempersatukan, kita perlu ada sikap melihat keragaman itu penting; sekarang poin ketiga, di antara penyatuan dan keragaman, maka ada poin yaitu saling mengikat satu dengan yang lain, yang saya sebut sebagai mutualitas. Jadi poin ketiga, gereja itu perlu ada mutualitas. Mutualitas itu berarti di mana setiap anggota itu merasa dirinya adalah bagian dari orang lain. Saudara lihat saya tidak bisa kemudian menghidupi diri sendiri. Tidak bisa. Itu sebabnya dalam konteks kehidupan gereja Saudara tidak bisa tidak memperhatikan orang lain. Saudara juga tidak bisa tidak mau memperhatikan orang lain. Saudara harus mau diperhatikan orang lain, Saudara juga perlu memperhatikan orang lain. Itu mutualitas. Satu kelemahan yang sering terjadi di gereja adalah, ada orang yang suka dibezuk tapi tidak suka bezuk orang. Betul nggak? Ya? Jadi kalau Pak pendeta, Pak Dawis tidak bezuk, kamu nggak kebaktian. Nanti Pak Dawis bezuk baru kamu kebaktian. Gitu kan? Saudara, bayangkan kalau semua anggota seperti itu, bayangkan Pak Dawis mungkin satu hari perlu 36 jam, bukan 24. Nggak cukup waktunya. Tapi bayangkan jikalau gereja itu kemudian gerak sama-sama besuk semua anggota, lalu semua dibesuk dan semua saling besuk, maka gereja ini akan menjadi sebuah gereja yang kemudian orang merasa mempunyai ikatan satu sama lain, saling memiliki. Kalau Pak Susilo kemudian dekat dengan Pak Barus, Pak Barus dekat dengan Pak Dawis, Pak Dawis dekat dengan yang lain; Saudara lihat, jikalau semua orang itu diikat dengan satu sikap mutualitas, saling memperhatikan, maka gereja ini akan menjadi sebuah kesaksian yang dahsyat bagi dunia. Kedahsyatan Kisah Rasul, jemaat mula-mula, itu terjadi karena ada kehidupan bersama yang mutualitas, yang membuat orang kemudian tertarik jadi Kristen karena ikatan komunitas itu menjadi daya tarik yang luar biasa. Satu orang menderita, semua menderita. Satu susah, semua susah. Satu senang, semua senang. Tidak ada orang yang mengambil keuntungan dari orang lain, melainkan semua orang itu memberi, memberi. Ada tiap-tiap hari orang memberi sesuatu untuk mereka yang memerlukan. Itu Kisah Rasul pasal 2. Maka gereja itu menjadi gereja yang dahsyat luar biasa. Mereka belum buka mulut beritakan Injil, itu sudah jadi daya tarik bagi orang-orang untuk menjadi Kristen.
Saya bayangkan gereja di Jogja ini akan menjadi daya tarik luar biasa jikalau gereja itu dihidupi oleh orang-orang yang hangat, orang-orang yang suka memperhatikan orang, bukan diperhatikan. Bukankah Alkitab mengatakan lebih baik apa? Alkitab mengatakan lebih baik memberi daripada menerima. Itu etika Kristen. Itu tuntutan hidup Kristen. Saudara dan saya harus menjadi orang Kristen yang suka memberi. Gereja ini akan menjadi gereja yang diberkati jikalau semua jemaat membuka pintu untuk orang lain. Saudara, ingat, Abraham satu kali tiba-tiba muncul 3 orang mengunjungi kemahnya dia. Apa yang dia lakukan? Abraham bukan orang yang egois. Hari ini kita suka pasang rumah kita itu bukan cuma ada pintu tapi juga pagar gitu ya. Lalu kamu bilang, pak, ya itu untuk keamanan. Betul saya setuju untuk keamanan. Tetapi juga jangan lupa, pintu dan pagar itu perlu sering-sering dibuka. Kalau engkau ingin menerima berkat Tuhan, ingin menerima kasih karunia Tuhan, bukalah pintu dan pagar, maka berkat Tuhan akan masuk. Abraham waktu dia membuka tenda 3 orang itu datang dia tidak tahu itu malaikat Tuhan tiga datang, tetapi sikap Abraham yang hospitality, yang suka terima tamu, yang suka membuka diri itu, sehingga orang itu, dia bilang jangan pergi dulu. Dia keluarkan minuman, dia keluarkan makanan kepada 3 orang yang dia tidak kenal siapa. Tetapi 3 orang itu mengatakan, tahun depan, waktu yang sama seperti ini, kamu akan mendapatkan seorang anak laki-laki. Malaikat Tuhan kemudian memberikan janji dari Tuhan kepada Abraham. Saudara dan saya harus menjadi orang yang sangat suka membuka diri bagi orang lain, maka berkat akan turun kepada kita. Sebaliknya Saudara jadi orang yang suka mengurung diri, menutup diri bagi orang lain, Saudara tidak akan mendapat apa-apa kecuali dirimu yang kesusahan kemudian hari. Belajar menjadi orang Kristen yang suka membuka diri, suka buka pintu bagi orang lain. Hari ini jikalau MRII Jogja ini semua orang Kristen jemaat ini suka mengundang orang lain, tetanggamu diundang, waktu persekutuan wilayah undang tetanggamu, waktu persekutuan wilayah ajak sanak familimu, maka kita akan melihat berkat Tuhan turun memberkati kita.
Setiap kita perlu sadar di dalam konteks mutualisme. Sikap mutualisme itu adalah menekankan di mana setiap orang itu merasa bagian dari orang lain. Ketika ada satu anggota yang bersukacita, yang lain akan bersukacita. Pada waktu satu anggota menderita, maka seluruh anggota akan menderita. Itulah sikap mutualitas. Di dalam gereja tidak ada tempat untuk lone ranger, tidak ada untuk jagoan. Di dalam gereja tidak ada jagoan rohani dia tidak butuh orang lain, dia kuat terus menerus. Tidak ada. Setiap kita pasti ada masanya kita mengalami turun dan naik, dan pada saat turun kita perlu orang lain. Pada waktu naik kita akan membawa orang bersukacita bersama-sama. Saudara jikalau hari ini Saudara mengalami kebuntuan kerohanian, maka saya menasihatkan engkau, mungkin engkau waktu membaca Alkitab, waktu engkau berdoa, engkau suka lupa orang lain. Itu sebabnya kerohanianmu menjadi kering. Itu sebabnya baca Alkitabmu menjadi tidak limpah, doamu menjadi tidak menyenangkan, karena kamu terlalu fokus kepada diri. Saudara akan bertumbuh jikalau Saudara memerlukan orang lain. Engkau memberi kepada orang lain dan engkau menerima dari orang lain; engkau akan bertumbuh. Itu sebabnya Saudara tidak bisa mengatakan saya cukup doa sendiri saja di rumah. Persekutuan doa itu menjadi penting waktu Saudara bersama-sama bergumul pekerjaan Tuhan, bergumul untuk kehidupan kita masing-masing; itulah sebabnya kita akan melihat Tuhan yang menjawab doa kita dan kita akan melihat bagaimana Tuhan bekerja, kita akan bertumbuh bersama-sama. Saudara, di Singapur saya sering kali sedikit nyindir jemaat begitu ya, saya mengatakan, saya tahu kehidupan jemaat itu dari mana? Dari persekutuan doa. Kalau ekonomi baik, saya bilang, saya tahu. Kalau ekonomi baik pasti persekutuan doa sepi, karena semua orang sibuk cari uang. Betul kan? Tapi kalau krisis datang, semua orang rajin ke persekutuan doa. Mudah-mudahan ini tidak terjadi di Jogjakarta ya. Jadi kalau ada banyak PHK, ya, dagangan nggak laku, nah orang rame datang persekutuan doa minta berkat Tuhan. Kau jangan pikir bisa tipu Tuhan dengan cara seperti ini. Tuhan tahu keadaan kita sebenarnya. Biarlah kita kemudian membiasakan kita berdoa karena kita butuh orang lain, bergumul bersama-sama. Saudara melihat jikalau gereja ini kemudian, dari awal sekali lagi ya saya ringkas dari awal lagi, Saudara lihat jikalau gereja, alangkah indahnya jikalau gereja ini ada orang-orang yang kenal diri dengan benar, memakai Kristus itu sebagai standar, kemudian mereka memperhatikan tubuh Kristus dengan benar, maka hasilnya adalah kita kemudian boleh mengembangkan karunia yang Tuhan beri.
Sekarang saya masuk poin yang terakhir. Bagaimana sekarang kita melihat karunia-karunia rohani yang Tuhan sediakan bagi gerejanya? Ayat 6-8, mari kita membaca bersama-sama sekali lagi, ayat 6-8. “Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.“ Sekarang waktu kita bicara tentang karunia rohani, maka ada 3 prinsip dasar yang perlu kita catat berkenaan dengan karunia-karunia rohani. Pertama, Paulus mengatakan, semua jemaat tidak ada orang yang tidak mempunyai karunia. Semua orang percaya itu punya karunia. Tidak ada satu orang Kristen yang sudah di dalam Tuhan tidak mempunyai karunia. Paling tidak tiap-tiap orang mempunyai satu karunia. Itu sebabnya, Bapak, Ibu, Saudara yang saya kasihi, temukan karunia yang Tuhan beri kepada engkau. Setiap kita mempunyai satu karunia; paling sedikit satu. Ada yang dua, ada yang tiga, sesuai dengan karunia yang diberikan oleh Roh Kudus kepada kita. Saudara tidak bisa mengatakan saya tidak bisa melayani, saya nggak punya karunia. Mungkinkah engkau tidak mempunyai karunia untuk menyanyi, tapi kamu mungkin punya karunia untuk membesuk. Kamu tidak mempunyai karunia untuk pimpin kebaktian, tapi kamu mungkin mempunyai karunia untuk menasihati orang. Saudara, mendengar keluh kesah orang pun itu karunia. Gereja perlu nggak ada orang yang suka mendengar kesusahan orang lain? Perlu nggak? Saudara jangan hina karunia mendengar keluhan orang itu nggak penting. “Yang penting itu yang di mimbar, yang pimpin liturgi, yang jadi song leader, yang main musik, yang nyanyi jadi koor itu penting.” Betul, tetapi itu juga bukan yang paling penting. Selain yang muncul di depan, di mimbar, kita juga perlu ada karunia orang yang suka mendoakan orang lain diam-diam. Gereja ini akan diberkati oleh Tuhan jikalau di gereja ini ada orang yang mau mengerjakan karunia yang tidak kelihatan itu, memperkembangkan karunia yang tidak kelihatan itu, yaitu mendoakan orang.
Yang kedua, berkenaan dengan karunia rohani, Paulus mengatakan: tidak ada karunia yang lengkap. Bahkan di dalam 1 Korintus 12:27-28, Paulus list lagi karunia lebih banyak dari yang ada di Roma. Ada satu tempat di Alkitab Paulus meng-list-kan atau mengurutkan karunia itu ada 15, bahkan di tempat lain ada 19. Berarti karunia itu tidak ada limitnya, tidak ada yang lengkap. Yang ketiga, semua karunia rohani itu diberikan oleh Tuhan kepada kita dalam rangka memperkembangkan dan membangun jemaat. Jadi barangsiapa mempunyai karunia tertentu, bukan untuk menonjolkan diri tetapi itu untuk membangun jemaat, bukan untuk menunjukkan kehebatan diri, untuk membanggakan kita lebih daripada orang lain, itu bukan karunia yang asli. Di gereja tertentu mementingkan karunia Bahasa lidah. Bagi saya, karunia semacam itu nggak ada gunanya jikalau tidak membangun orang lain. Saudara jangan minder kalau orang tanya: Bisa Bahasa lidah nggak? Terus nggak bisa, kamu minder, gitu ya? Jangan minder! Apa gunanya? Paulus mengatakan, “Lebih baik aku mengatakan 5 kalimat yang berarti, membuat orang datang kepada Tuhan, daripada 1000 kata Bahasa lidah yang orang tidak mengerti.” Tidak ada gunanya. Hari ini kita menghadapi satu situasi Kekristenan yang sangat menakutkan. Orang memakai karunia rohani sembarangan, bukan untuk memuji Tuhan tapi untuk memuji diri. Ini menakutkan. Nah sekarang saya ingin menyelesaikan khotbah ini dengan cepat kemudian memperlihatkan contoh yang Paulus berikan kepada kita bagaimana kita memperkembangkan karunia rohani.
Ayat 6, ayat 6 Paulus mengatakan, “Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita.” Muncul pertama, karunia yang pertama disebut adalah karunia bernubuat. Apa itu karunia bernubuat? Di Bali saya pernah melayani, melayani di Bali, mengajar di Bali, waktu itu saya mengajar nabi dan nubuatan. Waktu setelah selesai, begitu selesai mengajar, datang 1 orang tua yang umur 60, “Pak saya perlu bicara. Setelah ikut pelajaran tentang nabi dan nubuatan itu saya perlu bicara.”
Lalu Bapak ini mengatakan, “Pak, saya korban ajaran tentang nubuatan yang salah.”
Saya tanya, “Maksudnya apa?”
“Maksudnya begini pak. Kira-kira 18 tahun yang lalu, saya baru Kristen belum lama. Saya dan istri saya pergi ke sebuah gereja, yang di mana pendetanya mengatakan dia mempunyai karunia nubuat. Lalu bernubuatlah pendeta itu setiap minggu; nubuat tentang ini, nubuat tentang itu.”
Lalu saya tanya, “Yang dinubuatkan itu terjadi nggak?”
“Kadang terjadi kadang nggak.”
Saya mengatakan, “Kalau nubuatan dari Tuhan itu pasti semua terjadi. Kalau nggak ada nubuatan, itu tidak terjadi, itu bukan nubuat tapi lu buat.”
Karunia dari Tuhan, nubuatan dari Tuhan pasti digenapi, karena Tuhan mengatakan, “Jikalau ada seorang bernubuat demi nama Tuhan, tidak terjadi itu pasti nabi palsu, rajam dia dengan batu sampai mati.” Itu Perjanjian Lama. Nah kembali ke bapak ini. Bapak ini mengatakan, “Sampai satu hari si pendeta yang nubuat-nubuat itu kemudian, “Kami suka duduk depan, karena kami suka dengar firman Tuhan.” Lalu satu hari pendeta itu mengatakan, “Hari ini saya mendapat visi dari Tuhan.” Lalu tiba-tiba, wah pendeta itu bilang, “Pernikahanmu salah. Itu sebabnya pernikahanmu banyak masalah, sering terjadi pertengkaran.”
“Wah, benar juga ya. Bertahun-tahun kita banyak konflik, bertahun-tahun kita ada masalah, wah kok tahu neh bapak pendeta? Wah nubuatannya hebat sekali.”
Lalu pulang suami istri mulai membicarakan nubuatan itu. Istrinya bilang, “Bener lho kita banyak masalah. Itu pendeta benar, nubuatnya benar. Kita harus koreksi.”
Suaminya bilang, “Lho, yang namanya pernikahan nggak ada orang menikah nggak ada masalah, betul nggak?”
Saya tanya orang yang menikah, hari ini yang menikah siapa? Coba angkat tangan! Yang menikah angkat tangan. Lah kalau kamu nggak angkat tangan, siapa? Saya tanya orang yang menikah, ada nggak pernikahan yang nggak ada masalah? Ada nggak pernikahan yang nggak pernah salah paham? Ada kan? Atau nggak ada? Nggak ada. Di dalam pernikahan pasti ada konflik, ada salah paham, ada salah pengertian.
Suami bilang, “Itu biasa.”
Istri bilang, “Nggak, itu nubuatan bener.”
Lalu kemudian mereka datang lagi ke pendeta itu konseling. Lalu pendeta itu konseling mengatakan, “Kalian harus pikir ulang pernikahan kalian, karena ini salah. Bukan kehendak Tuhan.” Saya juga bingung ya, kok dia bisa tahu bukan kehendak Tuhan itu.
Lalu kemudian, si istri mulai karena tegang mendengar kata nubuatan bahwa pernikahannya bukan kehendak Tuhan, maka si istri kemudian diam-diam pergi konseling dengan pendeta. Lalu istri tanya, “Pak Pendeta, kalau pernikahan saya dengan suami bukan kehendak Tuhan, yang kehendak Tuhan itu saya nikah sama siapa?”
Kira-kira dengan siapa?
Pendetanya bilang dengan dia. “Ini baru sesuai kehendak Tuhan, kamu menikah dengan saya,” kata pendeta itu. Dan bapak tua itu mengatakan, “Sejak konseling terakhir itu, 3 hari kemudian pagi-pagi istri meninggalkan secarik kertas di atas meja, membawa anak saya umur 3 bulan. Dan setelah 18 tahun ini saya tidak pernah ketemu lagi istri saya nggak tahu dimana. Saya bilang itu bukan nubuat, itu lu buat. Jangan percaya pendeta-pendeta yang bernubuat menganggap diri mempunyai karunia bernubuat tetapi tidak berdasarkan prinsip yang Alkitab beritakan. Itu pasti nabi palsu, itu pasti nubuatan palsu, jangan percaya itu.
Nah di dalam konteks ini, waktu Paulus berbicara, “Karunia yang pertama, jikalau seorang bernubuat, baiklah dia bernubuat sesuai dengan takaran iman.” Maksudnya apa? Nubuatan di dalam konteks Perjanjian Lama, sering dikaitkan bukan untuk prediksi hidup orang per orang. Bukan. Nubuatan dalam Perjanjian Lama tidak pernah bernubuat urusan kamu kaya atau miskin. Nubuatan dalam Perjanjian Lama, nabi tidak pernah nubuat tentang kamu sukses atau kamu gagal. Nubuatan Perjanjian Lama tidak pernah menubuat kamu menikah benar atau salah. Itu bukan urusan nabi. Tetapi nubuatan Perjanjian Lama sering dikaitkan dengan mengkomunikasikan kebenaran yang datang dari Tuhan. Nubuatan itu sering diakhiri dengan membangun jemaat atau menjatuhkan jemaat. Raja-raja Israel yang berdosa menyembah baal, nubuatan itu selalu menyatakan: Tuhan akan hakimi kamu, akan menghancurkan Kerajaanmu – itu nubuatan dari Tuhan. Itu sebabnya nubuatan hari ini harus dikaitkan dengan memberitakan Firman Tuhan, nubuatan itu adalah memberitakan Firman yang sejati. Nubuatan harus dikaitkan dengan keberanian hamba Tuhan menegur dosa. Nubuatan harus dikaitkan dengan keberanian hamba Tuhan untuk menyatakan kebenaran dan penghakiman Tuhan bagi manusia yang berdosa. Itu nubuatan. Bukan urusan hidup orang per orang, melainkan umat Allah. Nubuatan itu selalu berkaitan dengan urusan bagi umat Tuhan. Itulah sebabnya, waktu kita lihat di ayat yang ketiga, dengan mengatakan: Kristus sebagai ukuran kita. Maka orang yang bernubuat, itu orang yang harus memberitakan firman sesuai dengan ukuran yang Tuhan berikan kepada dia. Jikalau di dalam gereja ini ada orang yang Tuhan berikan karunia untuk berkhotbah, maka berkhotbahlah sesuai dengan takaran iman yang Tuhan beri, sesuai dengan standar iman yang Tuhan beri. Saudara pergi KKR Regional, itu adalah bagian dari Saudara memberikan berita firman, Saudara sedang memprediksi, bernubuat, menyampaikan kehendak Tuhan kepada manusia berdosa. Itu adalah bagian dari Saudara memperkembangkan karunia bernubuat. Maka Saudara jangan melarikan diri dari tanggung jawab untuk ikut dalam KKR Regional.
Yang kedua, Paulus selanjutnya mengatakan jikalau ada karunia melayani, biarlah dia melayani. Kata melayani ini, di dalam Bahasa Yunani mempunyai akar kata yang nanti dipakai di dalam sebutan tentang diaken. Di mana dikatakan para diaken itu dipercayakan Tuhan untuk memperkembangkan berbagai-bagai macam pelayanan. Oleh sebab itu, seorang yang melayani adalah seorang yang memperkembangkan bakatnya, memperkembangkan karunianya untuk dengan memberi dirinya sepenuh hati untuk melayani, sebagaimana Filipus kemudian melayani di dalam Kisah Rasul pasal 6. Jadi karunia melayani, melayani itu juga karunia. Gereja ini perlu ada orang-orang yang memperkembangkan karunia melayani. Berikutnya Paulus mengatakan, jikalau ada orang mempunyai karunia mengajar, baiklah dia mengajar. Mengajar itu berbeda dengan karunia bernubuat. Jikalau mengajar itu berkenaan dengan pengetahuan, memberikan Pendidikan di dalam pengetahuan, sedangkan bernubuat adalah sebuah pengajaran yang langsung sampai kepada hati kita. Itu bedanya nubuatan dan pengajaran. Pengajaran itu berkenaan dengan membawa mendidik kita di dalam pengetahuan, berkenaan dengan akal kita dengan pengetahuan, logika kita. Sedangkan nubuat itu bicara ke dalam hati nurani kita. Itu sebabnya guru-guru mempunyai tugas penting dalam hal ini. Termasuk guru-guru sekolah minggu. Kemudian berikutnya, Paulus mengatakan ada karunia untuk memberi nasihat. Gereja perlu ada orang-orang bijaksana yang suka menasehatkan orang, menasehatkan orang dalam hidup moral yang baik, memberi nasehat bagaimana melayani Tuhan, memberi nasehat memberi dorongan supaya orang hidup benar di hadapan Tuhan. Gereja perlu orang-orang semacam itu. Nasehat bisa muncul dalam bentuk berbagai macam bentuk. Bisa dalam bentuk dorongan, bisa dalam bentuk memberi peringatan. Gereja perlu ada orang-orang yang mempunyai mata yang melihat jauh ke depan. Waktu gereja dalam keadaan bahaya, waktu gereja salah jalan, para diaken, para penatua harus menjadi orang-orang yang mempunyai mata yang jauh memberi nasehat, memberi peringatan supaya gereja jangan jalan menuju jalan yang salah. Saudara melihat di dalam hal ini betapa indahnya jikalau semua karunia-karunia itu dikembangkan di dalam gereja.
Yang terakhir, Paulus kemudian mengatakan, jikalau ada orang mempunyai karunia memberi, ada orang-orang yang bermurah hati, yang suka memberi. Kata “memberi” ini harus diterjemahkan dengan satu sikap yaitu kesederhanaan, simplicity– kesederhanaan. Ini berkaitan dengan motif kita untuk memberi. Di dalam gereja kita perlu ada orang-orang yang mempunyai karunia untuk suka memberi. Oleh karena apa? Oleh karena gereja itu tidak selalu jemaat itu orang-orang yang keadaannya baik, mampu. Tapi gereja itu ada orang kaya ada orang miskin. Gereja itu harus ada tempat untuk orang kaya dan orang miskin. Gereja yang sehat itu tidak melulu isinya orang kaya. Kalau gereja anda gereja yang tidak ada tempat untuk orang miskin, itu gereja yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebaliknya gereja yang isinya orang miskinya melulu, tidak ada orang yang mampu, itu juga gereja tidak fair. Gereja yang sehat adalah gereja yang ada tempat untuk orang kaya dan tempat untuk orang miskin. Di konteks di dalam kehidupan gereja dan konteks kehidupan berjemaat, gereja memerlukan ada orang-orang yang suka memberi, suka menolong orang lain. Di mana waktu dia memberi, dia mempunyai motivasi yang murni dan cinta kasih. Gereja perlu ada orang-orang yang bukan seperti Ananias dan Safira. Saudara tahukah kasus Ananias dan Safira? Dia mau berkat Tuhan, dia sudah janji mempersembahkan persembahan kepada Tuhan tetapi dia tipu mengambil keuntungan diri. Maka dia dihukum oleh Tuhan, dimatikan oleh Tuhan. Waktu kita memberi, itu adalah salah satu cara sederhana kita mempermuliakan Tuhan. Membuat orang bersyukur kepada Tuhan dengan cara suka memberi.
Kemudian Paulus melanjutkan, jikalau ada orang yang mempunyai karunia memimpin, biarlah dia memimpin dengan semangat, dengan cara dia melatih kerohanian, semangat karunia rohani untuk memimpin dalam gereja. Baik itu para pendeta, baik itu para penatua, baik para diaken, baik para pengurus gereja. Semua itu perlu memperkembangkan kepemimpinan di dalam gereja. Seorang pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang bukan pemimpin yang ceroboh, melainkan pemimpin yang akan memperhatikan semua karunia itu perlu dikembangkan untuk kemuliaan Tuhan. Yang terakhir, jikalau ada orang mempunyai karunia bermurah hati, hendaklah orang itu kemudian bermurah hati dengan penuh sukacita. Menolong orang-orang miskin, memperhatikan orang-orang miskin, memperhatikan orang sakit, memperhatikan orang-orang lemah, memperhatikan orang-orang kurang beruntung. Fungsi ini perlu dijalankan oleh orang-orang yang punya karunia berbelas kasihan. Paulus mengatakan: jikalau engkau datang dengan simpati kepada orang yang menderita, datanglah dengan membawa cahaya sinar matahari dan ukupan di dalam wajahmu. Kalau Saudara membezuk orang sakit, jikalau Saudara membezuk orang-orang yang kekurangan, jikalau Saudara datang kepada orang-orang yang mengalami bencana, bawalah semangat pengharapan dari Tuhan kepada mereka. Itulah karunia berbelas kasihan.
Itulah 7 karunia rohani yang Paulus katakan harus dimiliki oleh gereja. Dan itu akan menjadi sebuah parfum, sebuah wewangian dari tubuh Kristus yang akan membuat dunia ini tertarik kepada gereja. Itulah nasehat Paulus kepada gereja bagaimana seharusnya menjadi sebuah gereja yang sehat. Itulah sebabnya jikalau hari ini Tuhan berbicara kepada engkau, perhatikan karunia hidupmu, apa yang belum engkau kembangkan? Apa yang belum engkau olah? Kejarlah itu untuk kemuliaan Tuhan. Saya rindu gereja ini, MRII Yogyakarta akan kemudian menjalankan, mengejar beberapa prinsip ini, sehingga gereja ini akan menjadi gereja yang boleh dipakai oleh Tuhan untuk mempermuliakan Tuhan dan akan menarik lebih banyak orang lagi datang kepada Tuhan. Saudara mau berdoa untuk hal itu? Berdoa minta Tuhan tambahkan karunia kepada gereja. Berdoa Tuhan minta memberi mempunyai karakter-karakter rohani yang baik dalam gereja ini. Minta Tuhan tambahkan orang-orang yang diselamatkan melalui gereja ini. Biarlah pekerjaan Tuhan di Yogyakarta boleh makin berkembang, makin berkembang, sehingga kita boleh mempermuliakan Bapa kita di Sorga. Selamat ulang tahun MRII Yogyakarta, biarlah di tahun-tahun mendatang kita menghasilkan buah lebih banyak lagi selama hari masih siang. Yesus berkata: Akan datang malam di mana tidak ada seorangpun akan bisa bekerja. Selama hari siang, selama kesempatan Tuhan beri, selama kemungkinan Tuhan sediakan, berbuahlah Saudara dan saya, sesuai dengan karunia rohani yang Tuhan beri sehingga kita mempermuliakan Tuhan. Pada akhirnya Tuhan akan berkata, “Hai engkau hambaku yang setia, beristirahatlah dari seluruh jerih payah.” Waktu kita ketemu dengan Tuhan. Amin. Mari kita berdoa.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]