Flp. 2:5-11
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Di dalam bagian ini kita menemukan pembahasan bahwa Kristus mengosongkan diri-Nya. Kristus mengosongkan diri-Nya ini tentu pengertian ‘menosongkan diri’ ini bukan Dia berubah dari Allah lalu Dia kehilangan Allah-Nya, Dia berhenti menjadi Allah, tentu bukan seperti itu. Tapi kalau kita melihat di dalam teks Yunaninya itu memakai bentuk participle, yaitu penjelasan, kalimat-kalimat selanjutnya itu adalah menjelaskan apa maksud pengosongan diri itu. Saya pikir jenis participle itu sama kalau dalam Bahasa Indonesia itu: meja bundar, ‘bundar’nya menjelaskan meja itu. Kita nggak bilang ‘bundar’nya bundar apa tapi bentuk istilah bundarnya itu adalah menjelaskan dari mejanya itu seperti apa. Dan sama di dalam bagian ini ketika dikatakan Dia mengosongkan diriNya, “Dia dalam rupa Allah, tapi tidak mengangggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri.” Nah mengosongkan diriNya itu seperti apa dijelaskan di statement-statement berikutnya, yaitu “dengan mengambil rupa seorang hamba.” Nah jadi kita mengerti di sini Kristus itu tetap sepenuhnya Allah, Dia tidak berhenti menjadi Allah, tapi ketika Dia menjadi manusia apa maksudnya Dia mengosongkan diriNya? Yaitu Dia mengambil rupa seorang hamba ini. Yaitu perendahan diriNya yang sedemikian sampai Dia yang harusnya adalah Tuan, Dia yang adalah Lord kemudian menjadi servant, menjadi hamba dan Dia menundukkan diriNya sedemikian. Dan juga dijelaskan lagi: dengan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dia yang adalah Pencipta kemudian merendahkan diriNya menjadi ciptaan. Dan dilanjutkan bagaimana Dia merendahkan diriNya dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib.
Di sini kita mengerti bahwa tentu ketika Dia sampai mati demikian, saya sendiri mengertinya bahwa kematian itu sendiri secara umum bukan original intention dari Tuhan, yaitu bukan sesuatu yang dimaksudkan dari Tuhan, keinginan Tuhan secara diriNya. Dalam artian Tuhan itu bukan setelah ciptakan segala sesuatunya baik dan sangat baik, lalu Dia pikir, “Ahh bosan seperti ini, bikin ada kematian,” nggak. Tuhan kita bukan seperti itu. Tapi karena memang manusia itu secara naturnya diciptakan itu di dalam ketetapan Allah Dia melihat termasuk manusia itu jatuh dalam dosa, dan karena upah dosa itu ialah maut, maka karena itulah perlu Kristus datang dan Kristus perlu datang untuk mati menggantikan kita. Dari sini kita lihat kematian Kristus pun ini menjadi sesuatu yang ditetapkan dan sesuatu yang necessary for our salvation, menjadi sesuatu yang harus diperlukan untuk keselamatan kita. Dan itulah yang menjadi kita mengerti kematian Kristus ini bukan saja dari satu aspek, “Oh karena banyak orang-orang yang benci Dia, Oh karena ada orang-orang Yahudi yang iri Dia,” tapi ada sesuatu yang ditetapkan oleh Allah, bukan karena Allah Bapa senang melihat Allah Anak itu menderita ataupun melihat bahkan sampai Allah Anak itu harus mati, bukan karena demikian, tapi adalah demi keselamatan kita. Sebagaimana dikatakan oleh John Owen di dalam bukunya itu mengatakan bahwa kematian Kristus adalah kematian yang mematikan kematian itu sendiri, the death of the death by the death of Jesus Christ. Jadi kematian Kristus itu adalah kematian yang mematikan kuasa kematian itu sendiri. Dan inilah kita melihat itu yang dialami oleh Kristus dalam kehidupanNya. Dan kehidupanNya dalam dunia ini Dia bukan saja datang untuk melakukan berbagai tindakan mukjizat ataupun tibdakan seperti orang bilang, “Oh Dia melakukan banyak mengkoreksi tafsiran-tafsiran orang Yahudi di zaman itu yang sudah menyimpang, bukan cuma itu tapi tujuan utama Kristus memang adalah untuk mati di kayu salib, dan di situlah puncak dari pelayanan Kristus adalah dengan penyangkalan diriNya sedemikian dan perendahan diriNya sedemikian sampai Dia mati di atas kayu salib.
Di sini, di dalam pengertian ini kita melihat apa yang terjadi ketika di atas kayu salib, apa yang kita ngerti di atas kayu salib itu ketika di dalam catatan dari Matius maupun juga di dalam Injil Markus itu mencatat satu kalimat yang diutarakan oleh Kristus adalah “Eli, Eli lama sabakhtani,” yaitu Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Bagi kita, ketika kita melihat bagaimana Kristus sedemikian matinya, nahas seperti itu, matinya itu mungkin kalau dalam istilah orang lain kok kayaknya kena azab, Dia itu mati kayak dikutuk. Kita mengerti adalah memang itu menggenapi rencana Tuhan. Tapi kalau kita melihat secara fenomena kita lihat kayaknya sangat mengerikan dan sangat memilukan bahkan sampai Dia itu teriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Di satu aspek kita secara manusia akan melihat bahwa ketika Kristus sudah sampai di titik itu, “Wah ini sudah titik kegagalanNya, ini adalah titik akhir dari karirNya.” Tapi kalau kita melihat justru kenapa di dalam pencatatan Matius dan Markus malah hanya mencatat kalimat ini. Saya percaya adalah justru itu menyatakan puncak dan titik akhir dari tujuan pelayanan Kristus itu sendiri. Jadi bukan antiklimaks tapi itulah klimaks nya, yaitu itulah tujuan Dia datang ke dalam dunia ini mengerjakan pelayanan itu. Apa yang kita bisa renungkan di dalam bagian ketika Kristus mengatakan, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dan seperti tadi juga diomongkan oleh liturgis kita sisa beberapa minggu menjelang masuk kepada Jumat Agung, dimanakah kita merenungkan hal ini?
Di bagian ini ada banyak hal yang bisa dibahas sebenarnya, tentu untuk kalimat dari Kristus ketika kematian di atas kayu salib itu, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Bagian ini pertama tentu itu adalah suatu kutipan dan menggenapi apa yang dinubuatkan di dalam Mazmur 22. Yaitu yang dinubuatkan di dalam Mazmur 22 bahwa ketika diucapkan oleh Daud pertama kalinya, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” dalam Mazmur 22. Mungkin di dalam pergumulan Daud dia ada dalam suatu pergumulan dia berasa seperti dia ditinggalkan seperti itu ya. Meski itu kita mengerti hanya seperti metafora atau mungkin Cuma pengalaman suatu perasaan Daud sendiri tetapi tidak pernah sebenarnya dialami oleh Daud seperti itu. Dan ternyata pencatatan di dalam Mazmur 22 itu bukan Cuma menjadi reflesi pergumulan Daud secara pribadi tapi ada nubuatan yang kemudian berbicara dialami oleh Mesias, Sang Anak Daud itu, yang benar-benar secara literally itu dialami oleh Kristus, Dia benar-benar mengalami dibuang. Ya memang kembali ini menjadi suatu misteri karena bisa Dia dibuang seperti itu tapi kita tidak bisa menyangkali bahwa hal ini benar-benar terjadi.
Dan di bagian ini berikutnya juga yang kita bisa renungkan di bagian itu apa artinya ketika Dia mati di atas kayu salib? Itu juga menjadi suatu penghinaan yang begitu besar yang dialami. Kadang-kadang ada orang bilang ke saya seperti ini, “Iya pak, saya sih tidak takut mati, tapi saya takut itu matinya seperti apa.” “Saya sih kalau mati nggak takut.” Kenapa? “Ya pokoknya mati kan selesai gitu, saya sebagai orang percaya saya yakin masuk Sorga, tapi matinya bagaimana, proses matinya seperti apa,” wah itu kadang mengerikan. Ada matinya perlahan-lahan, ada matinya menderita panjang sampai akhirnya baru napas terakhir, itu kan tersiksa seperti itu. Dan kadang-kadang ada orang ngomong, “Iya walaupun kematian itu sih sebagai orang percaya kita nggak takut tetapi matinya bagaimana itu kita bisa cukup takut.” Dan di bagian ini kita menemukan bagaimana kematian Kristus itu Dia itu dipermalukan sedemikian. Kita bisa bayangkan ya bagaimana Kristus yang selama ini dielu-elukan, selama pelayananNya Dia itu dipuji-puja, Dialah Sang Anak Daud, lalu Dia juga yang banyak dirujuk sebagai Guru, lalu banyak juga orang yang kagum akan pelayanan Dia, akan kalimat-kalimat pengajaran Dia, akan mukjizat yang Dia lakukan. Bahkan ketika Dia pertama kali masuk Yerusalem itu semua mengelukan Dia, “Hosana, Hosana bagi Anak Daud.” Tapi kemudian setelah dielu-elukan sedemikian, orang-orang itulah yang kemudian, beberapa jam kemudian, teriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Dan itu kalau kita melihat Oh itu berarti sudah gagal secara pelayanan Kristus. Tapi kalau kita lihat itulah yang memang harus ditanggung oleh Kristus, Dia dipermalukan, dihina sedemikian.
Bahkan kalau kita tahu sebenarnya ketika disalibkan itu bukan hanya sebagai mungkin kalau kadang-kadang orang-orang di konteks di zaman sekarang lihat salib itu “seperti keren,” ada orang bisa pakai salib, kalung salib. Tapi jaman dulu salib itu adalah lambang penghinaan. Lambang itu adalah orang yang dihukum salib itu adalah orang yang memang kriminal kelas kakap, hukuman capital punishment itu, hukuman mati yang paling puncak, yang kalau dihukum penjara seumur hidup itu tidak cukup ya terakhir dihukumnya ya disalib. Dan hukuman salib itu adalah sifat nya adalah untuk memberi efek jera juga ya. Bagi semua orang yang kira-kira melawan Romawi nasibnya terakhir adalah disalibkan. Dan disalibkan itu kita lihat dipermalukan karena apa. Karena sebenarnya orang yang disalibkan itu ditelanjangi. Dan kalau kita tahu aslinya itu bukan seperti yang dilukisan oh biasanya ada cawat ya. Itu karena sebenarnya di lukisan itu yang ingin memperhalus ya. Aslinya itu memang di telanjangi, telanjang bulat habis-habisan dan dipermalukan, dan mati perlahan-lahan. Dia akan ditancapkan paku lalu dia juga berdarah, dibiarkan mereka itu mati perlahan-lahan seperti mati sampai kelelahan kehabisan darah dikit demi sedikit keluar darahnya dan tidak langsung dimatikan seperti itu. Jadi itu adalah suatu lambang penghinaan yang begitu rupa. Itu kira-kira kalau dalam kehidupan kita, kalau misalnya kita punya ada kenalan saja yang masuk penjara kita akan merasa malu, ya kan. Saya pernah ada suatu kesempatan itu di, bukan jemaat di sini, itu diminta di jemaat kita tempatnya itu besuk ada keluarga nya itu yang masuk penjara. Lalu bezuk untuk layani, dibezuk dan tidak gampang masuk sana terus ketemu untuk injili di sana. Dan di bagian itu pun itu cenderung apa ya kayak diam-diam gitu lho, malu ya kan. Kita akan cenderung untuk nutup-nutupin, sebagai seorang manusia akan sangat malu akan hal itu. Dan ketika pun minta untuk lakukan bezuk kita tidak akan ngomong siapa-siapa. Itu baru kategori masuk penjara. Bayangkan kalau sampai itu dipermalukan mati jadi tontonan seperti itu, disalibkan. Itu adalah sesuatu yang sangat sangat memalukan.
Dan suatu penghinaan yang besar yang dialami oleh Kristus. Tapi itulah yang dialami Dia. Dan sampai puncaknya adalah ketika Dia menyerukan, “Eli, Eli, lama sabakhtani,” Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Di sinilah yang seperti Arthur W Pink katakan ini bagian yang kita mengerti apa maksud Kristus ketika Dia katakan, “Ya Bapa, jikalau mungkin sekiranya mungkin biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tapi biarlah bukan kehendak-Ku yang terjadi namun kehendakMu.” Apakah yang dimaksud dengan cawan murka yang dialami oleh Kristus ini? Kita mungkin satu sisi pikir “Oh itu Dia tidak ingin dipermalukan,” gitu? “Oh Dia tidak ingin mati. Dia takut mati,” ya Mungkin juga bisa seperti itu. Tapi dari Arthur W Pink katakan dan banyak teolog teolog lain juga mengatakan bahwa terutama dalam cawan murka yang dialami Kristus itu adalah ketika Dia meneriakkan “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku,” karena itu adalah berarti Dia menerima murka Allah begitu rupanya dan Dia ditinggalkan oleh Allah Bapa sedemikian. Memang secara misteri di sini memang Dia mengalami demikian. Sebagaimana dalam Habakuk 1:13 bagian a-nya saja, dikatakan bahwa “MataMu,” matanya Tuhan, “itu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak akan memandang kelaliman.” Di bagian sini adalah Allah Bapa yang di dalam kekudusanNya yang suci adanya ketika Dia kemudian hukuman dosa itu ditimpakan kepada Kristus. Kristus yang tidak berdosa dijadikan berdosa. Dan ketika dalam status itulah Dia itu ditinggal kan oleh Allah Bapa. Di bagian ini itu yang dialami oleh Yesus Kristus diatas kayu salib, itu penghinaan dan perendahan sedemikian rupa. Diatas itulah kita melihat ke-absolut-an kekudusan Allah dan penghakimanNya. Allah yang kudus, Allah yang tidak bisa mentolerir dosa. Ya yang Kalau kita lihat kembali saja dari peristiwa Adam dan Hawa. Adam dan hawa itu dosanya apa sih? Cuma salah makan buah kan? Salah makan buah aja langsung diusir dari Taman Eden. No excuse dan tidak ada second chance, langsung tanpa kompromi, langsung memang dikatakan pada hari engkau makan engkau mati. Itu eksekusinya langsung jelas.
Apalagi kalau dibandingkan dengan kehidupan kita sehari-hari, berapa banyak dosa yang kita lakukan? Tapi kemudian kita mengerti bahwa dosa kita itu ditimpakan kepada Kristus, dan itulah yang Dia alami ketika di atas kayu salib itu. Dia yang tidak berdosa tapi kemudian dijadikan berdosa menggantikan kita. Sebagaimana dikatakan dalam 2 Korintus 5:21 juga. Di sini dan pak Tong mengkaitkan bagian ini dan mengatakan di sini Kristus sedang berdiri sebagai orang berdosa karena Dia yang tidak berdosa itu, Dia yang tidak mengenal dosa itu, dijadikan berdosa di sini. Dia itu menanggung hukuman dosa kita. Ada commentary juga mengatakan bahwa di dalam sepanjang catatan Alkitab Yesus itu setiap menyebut Allah Bapa itu Dia panggil sebagai Bapa ya kan. Sama tadi seperti kita setelah doa syafaat kita udah bersama-sama menaikkan doa Bapa kami, kita berdoa kan “Bapa kami yang di surga,” itu yang diajarkan Yesus. Jadi Yesus sendiri selalu menyebut Allah Bapa itu sebagai Bapa. Tapi hanya di bagian ini muncul Dia sebut sebagai “Allah-Ku, Allah-Ku,” mengapa? Karena itulah menyatakan menjadi suatu misteri keterpisahan Allah Bapa dengan Allah Anak. Dan di bagian ini, seperti pak Tong maupun juga seperti John Piper mengatakan, di bagian inilah kita mengerti sebagai apa yang dialami Kristus sebagai neraka itu sendiri. Bukankah di dalam pengakuan iman rasuli itu kita ada menyebutkan itu kan? Dia disalibkan, mati, dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut . Terjemahan Indonesia ya. Kita mengerti “Oh Dia mengalami neraka.” Seperti apakah Dia mengalami neraka itu? Di sinilah kita mengerti neraka yang dialami Kristus itu justru ketika Dia meneriakkan “Eli, Eli, lama sabakhtini” itu. Di bagian sini pak Tong mengatakan bahwa teriakan ini bukan perkataan Kristus sebagai Pribadi Kedua Allah Tritunggal yang berseru kepada Allah Bapa, kepada Pribadi yang Pertama, tapi teriakan Kristus sebagai status Dia sebagai pribadi yang menanggung dosa seluruh manusia. Termasuk dosa anda dan saya. Menjadi status hukum mati. Kita bisa bayangkan ya, Dia yang begitu suci, yang begitu mulia, direndahkan sedemikian sampai menjadi hamba, menjadi ciptaan, dan bahkan sebagai orang yang hukuman. Menjadi orang yang menerima hukuman itu menggantikan kita.
Dan inilah yang kita mengerti sebagai titik terendah dari perjalanan Kristus dalam mencari orang berdosa. Dan sambil kita melihat naas-nya nasibnya Kristus seperti itu, sambil kita bisa melihatnya dengan sebagai suatu syukur, kenapa? Sebab jika Kristus tidak pernah ke situ maka itulah yang akan menjadi tempat anda dan saya. Kalau kita pikir kadang-kadang neraka itu seperti apa sih? “Oh itu pak, tempat orang disiksa, dihukum.” Ya Itulah juga penggambaran Kristus alami di saat itu. Tapi yang terutama itu bukan masalah satu tempat, “Oh suatu lokasi dimana ada banyak apinya, dihukum” seperti itu, tapi orang yang di neraka itu cuma akan terus menerus menyesali dosanya; dan orang di neraka itu hanya akan terus berfikir “mengapa saya tidak bertobat. Mengapa saya tidak mau menerima Kristus. Mengapa saya melakukan ini dan itu dan ini dan itu,” sampai terakhir dia akan bertanya, “Mengapa Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Karena Allah adalah Allah yang kudus dan juga Allah yang kasih adanya, tapi di neraka itulah tempat absennya kasih Allah, dan yang ada hanyalah murka-Nya disana. Dan orang di sana itu hanya cuma bisa terus bertanya, “Mengapa Engkau meninggalkan aku dan selamanya dibuang disana?” Itulah kita mengerti pengertian neraka itu sendiri. Neraka itu bukan “Oh itu pak, ada orang disiksa, dicambuk-cambuk,” bukan cuma itu. Itu adalah tempat absennya Allah, absennya kasih Allah di situ dan yang ada cuma murka Allah di sana. Dan orang yang di sana dibuang selamanya. Dan itulah yang kita mengerti setiap kita melihat kepada Salib Kristus, setiap kita mengingat apa yang dialami Kristus. Bukan hanya melihat secara iba, secara terharu. Karena bagi saya, orang yang bukan Kristen juga bisa terharu. Yang sederhana, ketika mereka nonton film The Passion of the Christ, oh iya bisa terharu, tetapi tetap tidak bertobat, tidak percaya Kristus. Karena cuma melihat, kasihan ada orang diperlakukan demikian, tetapi jika kita sebagai orang percaya bisa lihat, bukan cuma kasihan kepada Kristus, tetapi terutama melihat, harusnya saya yang alami, tapi kemudian Kristus alami untuk menggantikan saya, sehingga itu juga menjadi dasar keselamatan kita.
Sebagaimana Arthur W Pink katakan di bagian itu kita lihat ada kasih Allah yang begitu nyata, yaitu di satu sisi ada kehadiran Allah karena ada penghakiman, ada penghukuman dilaksanakan, tapi juga ada kasih Allah, karena kita yang berdosa tapi bukan kita yang menerima hukuman itu, tetapi Kristus yang menerimanya menggantikan kita. Dan itu menjadi dasar akan keselamatan kita bahwa tidak ada lagi penghakiman bagi kita, karena Kristus sudah menggantikan kita. Sehingga kita orang percaya setiap melihat kematian Kristus, kembali kita bukan cuma melihat, “Oh Dia betapa kasihannya,” lalu kita malah dalam extreme lain malah salah-salahin orang Yahudi, terus extreme-nya sama seperti Hitler mungkin, oh itu gara2 orang Yahudi. Bukan! Kita justru melihat, kita itu bukan seperti Kristus, justru mungkin malah lebih mirip orang Yahudi itu, yang kalau bukan dilahirbarukan oleh Allah Roh Kudus, kalau bukan karena Allah berbelas kasihan memberikan kita iman, kitapun akan teriak sama kok, “salibkan Dia, salibkan Dia.” Kadang-kadang kita itu punya gambaran Kristus berbeda dari umumnya, kita punya seringkali gambaran Kristus yang tidak Alkitabiah. “Oh Kristus itu pokoknya baik-baik,” tapi jangan lupa, Kristus yang sama juga yang menegur orang-orang yang biasa rajin ke gereja, para orang Farisi atau ahli Taurat, juga mungkin orang-orang kaya kita, orang yang belajar-belajar Alkitab, itu yang ditegur oleh Kristus dengan kasih. Dan Kristus sendiri juga, dalam satu sisi Dia juga menyatakan bagaimana ucapan bahagia, tapi Kristus juga yang mengatakan, barang siapa yang tidak mengasihi Aku lebih dari suaminya, lebih dari istrinya, lebih dari ayahnya, lebih dari ibunya atau lebih darI anak-anaknya, itu tidak layak. Itu membuat Kristus menjadi tokoh yang sangat Kontroversial. Menjadi tokoh yang membuat orang Yahudi yang mula-mulanya itu senang, admire Dia, akhirnya malah membenci Dia dan bahkan menyalibkan Dia. Dan sebenernya di dalam Kisah-kisah Alkitab di bagian itu, kita itu jangan terlalu cepat, buru-buru mereferensikan diri kita itu seolah-olah seperti Kristus. Oh tunggu dulu, jangan-jangan kita lebih mirip seperti orang Yahudi di zaman itu, yang tidak mengerti Kristus, yang cuma dapat untung, “Oh Dia berikan kesembuhan pada saya, saya terima Dia, tetapi kemudian Dia mengajarkan suatu ajaran-ajaran yang beda dari pandangan saya, ya sudah salibkan saja.” Karena itulah yang dialami Kristus sebenernya. Tapi itu yang kemudian kita tahu, di balik semuanya itu menggenapi rencana Allah Bapa dalam keselamatan, untuk penebusan dosa kita. Dan itulah yang dialami oleh Kristus di sini.
Pak Tong sendiri mengatakan dalam bukunya, 7 perkataan salib, Bapak, Ibu bisa membaca lagi jika ingin merenungkan bagian itu, Pak Tong mengatakan kita kalau mengerti kalimat ini ya, itu di dalam tafsiran Pak Tong , dia mengatakan ketika Kristus mengatakan, “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku” itu terkandung satu kalimat, dari Allah Bapa kepada kita bahwa, “anakKu, anakKu, Aku tidak akan meninggalkan engkau, karena Aku sudah pernah meninggalkan Kristus bagimu.” Itu memang suatu misteri tapi itu memang, karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, pada setiap orang yang berdosa itu, sehingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal, sehingga setiap orang percaya padaNya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal. Dan itu bukan tanpa bayar, bukan tanpa korban, Allah tidak pernah mengampuni, oh yang penting dimaafin, dimaafin saja, pasti ada yang bayar. Suatu konsep sederhana di dalam hidup kita, kita jangan pikir kayak “cheap forgiveness,” pengampunan yang murah. Sederhana saja, misalnya saya berjalan ke sini, misalnya buru-buru lalu nabrak suatu mobil, tidak sempat rem, sehabis itu turun orang yang punya mobil, ternyata jemaat. “Oh tidak apa-apa Vikaris Leo. Buru-buru ya mau ibadah? Nggak apa-apa, dimaafin-dimaafin.” Selesai ya ini? Sebenarnya tidak, dia memaafkan saya, iya. Tapi saya tanya, itu bempernya yang penyok, waktu dia maafin selesai? Ting… pulih sendiri? Tidak kan. Kalau ada yang memaafkan, itu ada yang membayar harga, yaitu maksud dia itu, dia yang tanggung akibatnya. Dia tanggung ini mobilnya rusak, ada penyok dimana, ya dia yang perbaiki. Dan itu selalu makanya, kita mengerti ya, pengampunan tidak mungkin ada tanpa pembayaran harga, dan itu kita mengerti ketika Kristus, ketika Allah Bapa memaafkan kita, dan ketika Ia mengaruniakan Kristus, itu bukan tanpa ada harga yang mahal dibayar. Itu sebenernya ditanggung oleh Kristus sendiri. Dan itu yang dialami Kristus, pengosongan diriNya sedemikian, Dia merendahkan diriNya sedemikian rupa.
Kita kembali dalam bagian ini, ketika kita merenungkan ini ya, Dia mengosongkan diriNya sedemikian rupa, dan itu menjadi suatu perendahanNya yang sedemikian. Dan Dia juga taat menjalani ini. Tetapi ketika Dia menjalani demikian, Dia tidak lupa identitasnya sebagai Anak Allah. Dan dimana Dia bilang, ketika kita menjalani kehidupan kita, kita mengerti ketika kita ditebus oleh Kristus, kemudian kita dijadikan status sebagai anak-anak Allah. Ini makanya di dalam theology Adoption, Anak Allah mengalami perendahan demikian, Anak Allah itu yang adalah Allah, menjadi manusia, supaya kita yang manusia ini, orang-orang berdosa, kemudian diangkat menjadi anak-anak Allah. Ini dalam doktrin Pengadopsian yang dilakukan untuk keselamatan kita ini. Dan di sini kita mengerti bagaimana Kristus merendahkan sedemikian itu untuk pemulihan status kita, orang-orang berdosa. Tapi ini kemudian dijalankan Kristus dengan begitu rupa selama pelayananNya di dunia. Saya sendiri ketika merenungkan apa yang yang Kristus lakukan, itu menjadi suatu yang luar biasa. Kita ingat saja misalnya ketika dulu Kristus itu dibawah asuhan Yusuf dan Maria, lalu Dia di Bait Suci, ada yang ingat kisah itu ya, di dalam Lukas. Lalu ketika Dia umur 12, Dia ketemu, Oh Yesus itu di Bait Suci. Dicari-cari ternyata Dia masih di Bait Suci, lalu Yusuf dan Maria kembali ke Bait Suci, “Nak, kenapa Kamu tidak ikut orang tuamu pulang?” Lalu, kalau kita jadi Yesus jawabnya apa ya? “Tidak tahukah kamu? Aku ini Penciptamu”? Tetapi Kristus mengatakan, “Tidak tahukah kamu, bahwa Aku harus diam di rumah Bapa,” tetapi setelah itu, Dia tetap tunduk kepada Yusuf dan Maria. Dia tetap tunduk karena di dalam bagian ini memang ada perendahan diri Kristus itu sedemikian dan tetap taat kepada orang tua asuhNya di dalam bagian ini, Yusuf dan Maria. Dia tetap ikut mereka, sebelum waktunya memang akhirnya nanti Dia memulai pelayananNya, dan mulai memisahkan Diri setelah Dia dewasa nanti.
Di sini kita melihat ada peranan Kristus menaklukkan diriNya sedemikian. Dan itu menjadi suatu pembelajaran di dalam kehidupan kita juga, seperti apakah kehidupan yang merendahkan diri itu sendiri. Kembali ya, perendahan diri disini bukan berarti minder, bukan seperti itu. Kembali juga, Pak Tong kadang-kadang ngomong ke kami, kalaupun jadi miskin tidak apa, tapi jangan pernah hina diri, jangan pernah self pity, jangan pernah hina diri saya. Kristus pun tidak pernah hina diri demikian, Dia sampai merendahkan diriNya, menaklukan diriNya pada sistem yang ada, tetapi Dia tetap ingat diriNya, statusNya adalah Anak Allah. Dan Dia jalani demikian. Dan saya percaya, ketika saya merenungkan bagian ini, saya pikir itulah yang menjadi gambaran kehidupan kita sehari-hari maupun di dalam pelayanan di gereja. Ketika kita mengerjakan pelayanan dalam gereja, itu kan sebenarnya kita belajar menjadi pelayan kan? Menjadi pelayan itu ya memang status di bawah kan. Pernah ada orang tanya pada saya, “Kenapa ya pak, biasanya orang melayani di gereja itu kebayakan orang kaya?” Ini pernah terpikir gitu nggak ya? “Oh pak biasanya orang yang melayani di gereja itu orang-orang kaya pak.” Yang pertama nggak harus seperti itu, dan kepengurusan juga orang yang dipilih itu tidak harus orang yang kaya, tapi kadang-kadang memang, nggak ngerti ya, mungkin karena orang yang lebih berada itu lebih punya ada waktu untuk mau terlibat pelayanan gitu ya, dan kadang-kadang bilang ya kan untuk beli jas atau pakaian itu juga butuh modal, ya ya okelah seperti itu, lalu ada yang berpikir “Oh iya jadinya seperti kadang gambaran itu orang-orang kaya itu yang melayani di dalam gereja.” Kembali lagi yaitu nggak mutlak, di GRII juga nggak mutlak seperti itu, orang yang sederhana pun bisa berbagian di dalam pelayanan. Tapi saya pikir menarik ketika di dalam orang-orang kaya pun terlibat dalam pelayanan gereja , itu kan dia posisi sebagai pelayan dan pelayan itu merendahkan dirinya. Saya kasih contoh saja sederhana misalnya di antara kita ini misalnya ada tuan lalu kalau ajak apa ya misalnya ada orang-orang bawahan kita di pabrik mungkin atau apa. O datang ibadah, lalu itu dari persepsi, cara pandang dari pelayannya, apa bawahannya ini datang gereja dia akan melihat “Loh tuannya ini kan” yang keren ya, pakai jas, atau pake kemeja putih, segala macem itu atau pake dasi dan segala macamnya, tapi di saat itulah kita lihat berganti posisinya itu, karena kenapa? Kemudian sang bos nya ini yang notabene dia pelayanan kemungkinan dia berdiri mungkin di depan pintu tadi menyambut orang masuk. O itu simple lho ya, tapi itu kita lihat itu berbalik lho posisinya biasanya kan yang berdiri stand by di depan itu kan yang memang anak buah gitu ya, tapi ini gantian bosnya yang berdiri di depan yang mengambil posisi pelayannya itu , semua orang sudah dipersilahkan duduk “Oh ya silahkan duduk,” orang pelayanan ini memang begitu bisa nangkep ini ada ya berbalikan di dalam umumnya dengan strata sosial. Sampai kalo jalankan juga kantong persembahan , ya. mungkin kalo kita yang jadi posisi bawahan itu melihat, “Oh ini bosnya ini jalanin kolekte gini sambilkan dia tunggu, oh ini biasa di dalam kehidupan itu kan, siapa tunggu siapa, kebalikan.
Tapi sebenarnya di dalam pelayanan itulah meski kadang-kadang memang ada orang kaya yang terlibat dalam pelayanan itu kita melihat itu menjadi suatu pembelajaran bagaimana sikap pelayan itu, yaitu mengutamakan yang di depan lebih dari pada saya, yaitu sebagai sikap pelayanan yang memang yang demikian, kenapa? Karena kembali lagi ini bukan masalah sistem gereja saja, atau umumnya di dalam gereja saja, tapi terutama adalah itu dicontohkan oleh Kristus sendiri, Dia mengutamakan kita lebih daripada diriNya, dan yang itulah yang menjadi pengosongan diriNya. Kembali saya kembali selalu mengingat dan seperti tadi juga diumumkan oleh liturgis ya, kita akan kedepan mengadakan KKR paskah yang dipercayakan ada di Jogja di sini maupun di Solo, ayok kita sama-sama berbagian dalam pelayanan ini. Dan dibagian itu kita sebenarnya dalam pelayanan itu ya, kita bener-bener menjadi pelayan, sikap pelayan itu ada, ya iya to mulai dari sederhana kok, usher itu iya selalu gitu kan, usher itu kan kerjanya duduk, bukannya “Itu kursi saya,” Oh engga, itu posisi bos gitu ya. Tapi orang sebagai usher itu justru merelakan, ya dahulukan yang lain dulu. Dan bukankah kadang-kadang ketika di dalam event-event tertentu misalnya kursi sampai penuh, bukankah sudah praktek umum yang pelayan-pelayan itu yang berdiri ya, karena apa? Karena memang itulah artinya menjadi pelayan itu, itulah artinya perendahan diri itu, itulah artinya pengosongan diri itu. Dan kembali lagi, bukan karena kita mau sok-sok merendahkan diri, bukan, tapi kita belajar mengamini apa yang dilakukan Kristus karena Dia merendahkan diriNya juga ke dalam dunia. Dia yang Tuan yang mengambil posisi hamba, Dia yang tinggi yang mengambil posisi terendah, Dia yang mengambil posisi terendah sedemikian rendahnya demi peninggian, dan restorasi pemulihan bagi kita orang-orang berdosa. Berapa banyakkah di dalam kita merenungkan makna kematian Kristus, makna pengosongan diri Kristus sedemikian?
Dan yang poin kedua yang saya mau katakan, bagaimana juga pengertian pengosongan diri Kristus ini bukan hanya sebagai suatu kebenaran yang objektif, yang bahkan kadang cenderung impersonal, tapi menjadi suatu kebenaran yang personal ya. Ini pernah dicetuskan oleh Arthur F. Holmes dalam bukunya All Truth Is God’s Truth. Di dalam bab 3, dia mengatakan bahwa, kebenaran itu bukan cuma berbicara objektif saja , tapi ada aspek personal dalam kebenaran itu. Personal di sini bukan maksudnya relatif tapi sebagai sesuatu yang sangat bermakna dan menjadi suatu semacam keprihatinan yang relegius dari hati yang terdalam ya. Mengetahui adalah mengetahui bagi dirinya di mana seorang itu menata kehidupannya dan mempraktekannya, menjadikannya bagian dalam kehidupannya, yaitu kita mengerti kebenaran itu menjadi kebenaran yang personal. Ya saya pikir sederhana saja, sama seperti ketika misalnya Saudara akan menyebrang jalan lalu tiba-tiba ada truk, [lalu orang teriak] “Eeh ada mobil, awas ada mobil!” Begitu, kita kira-kira, “Oh tunggu ya, saya renungkan dulu” gitu? Saya renungkan dulu oo ada mobil nggak ya, terus saya harus langkah atau bagaimana, atau kita langsung itu mundur? Kalau kita langsung mundur, di saat itu kita ngerti bahwa kebenaran yang diteriakin, :Eeh awas ada mobil!” itu bukan cuma statement tapi menjadi suatu kebenaran yang personal bagi kita, yang kita terima, dan kita hidupi langsung. Kita akan aktif lakukan dan kita akan responi secara langsung.
Apa lagi di bagian ini pak Tong juga pernah mengatakan bahwa “Christ is the subjectivity of the truth in person,” Kristus adalah subyectivitas kebenaran itu di dalam Pribadi. Sehingga ketika kita berespon pada Kristus, kita berespon itu bukan cuma bicara “Oh saya mencintai Kristus, saya mengasihi Kristus,” tapi pertanyaan kita tunduk pada Kristus nggak? Kita tunduk pada Sang kebenaran itu atau nggak? Karena kebenaran itu menuntut suatu respon dan suatu tindakan, bukan cuma “Oh saya timbang-timbang, saya pikir-pikir,” ya enggak. Kalau kita masih timbang-timbang dan pikir seperti itu sebenarnya lebih cenderung kita itu menolak dan entah dalam anugrah Tuhan kapan waktunya kita itu terima. Cuma ada dua macam ini ya, yaitu entah kita itu terima kebenaran itu atau kita tolak. Orang bisa kadang bahasa halusnya “saya timbang-timbang, saya pikir-pikir dulu,” tapi bagi saya itu sebenarnya berarti yang dia belum terima sebagai suatu kebenaran yang personal itu. Bisa nangkap Bapak, Ibu di sini ya? Yaitu kebenaran itu bukan cuma bicara sebagai sesuatu yang benar di dalam proposisi kalimatnya saja, secara objektif, tetapi ada aspek personalnya yaitu memang menjadi bagian dari diri kita atau tidak? Dan berapa banyak kita juga mengerti pengosongan Kristus itu menjadi teladan kehidupan juga? Orang Kristen itu bukan “Oh saya percaya Yesus, yes-yes, saya bisa jadi kaya, saya bisa jadi hebat,” seperti itu. Ngggak. Belajar mengosongkan diri dulu karena itulah yang Kristus lakukan. Justru yang lebih nyata dalam selama pelayananNya di dunia ini, pengosongan diriNya sedemikian, Dia yang mengambil rupa seorang hamba, Dia yang menjadi pelayan padahal Dia seharusnya dilayani. Bukankah Yohanes pembabtis sendiri mengatakan bahwa Dia yang akan datang itu membuka tali kasutNya saja saya tidak layak.” Itu mau ngomong apa? Dia itu begitu tinggi, begitu mulia, tapi Dia bisa merendahkan diriNya sedemikian bahkan sampai mencuci kaki para murid, termasuk mencuci kaki Yudas. Kita di dalam pelayanan kita pernah nggak ya alami itu sampai situ?
Mungkin dalam kehidupan kita pun, kita kadang nggak tahu kan siapa orang pilihan atau nggak? Kristus itu tahu Yudas ini akan mengkhianati Dia, tetapi tetap Dia juga akan cuci kakinya Yudas. Itu perendahan diriNya itu sedemikian total dan bahkan sampai bisa mungkin suatu gambaran itu, suatu sikap baik bahkan kepada musuh itu sedemikian. Sikap baik kepada musuh itu dan sambil semua orang sudah teriak-teriak “Salibkan Dia, salibkan Dia,” Kristus mengatakan kalimat pertama, yaitu “Ya Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” malah memberikan pengampunan itu. Di tengah semua murid-murid itu sudah tinggalkan Dia, Petrus sudah meyangkal Dia , tetap Dia menjalankan misiNya itu penebusan untuk mati menggantikan dosa para murid temasuk Petrus yang menyangkal Dia, dan termasuk kita yang dikemudian hari yang juga mungkin pernah menolak Dia, sebelum kita akhirnya mendapat Kristus. Berapa banyak kita ingat, itulah yang dikerjakan Kristus bagi orang berdosa, merendahkan diri dulu, taat dulu, menundukkan diri pada kehendak Allah Bapa dulu, dan dilakukan itu bukan untuk benefit diri, justru Dia rugi. Dia ndak untung, Dia rugi. Tapi rela rugi demi orang lain, demi kita. Dan di mana kembali dalam poin-poin ini bicara kebenaran ini biarlah menjadi suatu kebenaran personal yang kita terima dalam kehidupan kita, yang sungguh-sungguh mempengaruhi kehidupan kita. Saya pikir sederhana saja, semua orang Kristen kalau kita tanya “Eh tahu gak sih kalau ibadah itu penting?” Ya tahu lah. Saya rasa kita tanya semua orang Kristen ya ibadah itu penting tahu. Tapi saya rasa sampai ya, sampai orang itu meyakini secara pribadi, bahwa ibadah itu benar-benar penting, barulah dia akan mementingkan beribadah. Kalau kita tanya orang Kristen, berdoa, baca alkitab itu penting nggak? Pasti. Coba di sini, siapa yang bilang, siapa merasa berdoa dan baca Alkitab itu nggak penting angkat tangan. Ya nggak ada tho? Kita semua pasti rasa ini penting. Tapi kenapa kita nggak baca? Kenapa kita malas melakukannya? Ya karena kita belum melihat itu sebagai suatu kebenaran yang personal, sebagai sesuatu yang memang penting dan ada urgensinya dan kepentingannya itu memang kita lakukan sehari-hari. Ya dalam bagian ini memang seharusnya kita belajar dan dan terus mendoakan hal ini.
Kita itu bukan cuman tahu berdoa “Oh Tuhan, saya susah, kasih tolong.” Mungkin kalau kita mentalnya bolak-balik seperti itu, kita nggak ada bedanya sama orang yang pegang teologi sukses. Kalau sudah sakit, dia minta sembuh. Tentu kita bisa minta, tapi kalau bolak-balik cuman minta itu, ya saya rasa kita nggak ada bedanya secara kerohanian dengan orang-orang di karismatik dia yang pegang teologi sukses. Tapi kalau kita memang secara doktrin jelas kembali kepada Alkitab, ada kalanya memang dalam pergumulan itu, mungkin bisa ingatkankan kita untuk “Tuhan mohon berikan saya kekuatan atau iman yang lebih cukup untuk bersandar berharap padaMu.” Kembali lagi saya berkata bukan kita nggak bisa minta seperti itu, bisa, meski belum langsung sembuh seperti itu. Kembali saya berdoa saya berharap ada kalanya memang Tuhan ijinkan, ada kalanya kita minta Tuhan tolong kuatkan iman saya, atau mungkin itu memang jadi proses pembelajaran untuk kita lebih bersandar, berserah sama Dia.
Dan bagian ketiga adalah perendahan diri-Nya demikian dan itu menjadi suatu cerminan bagaimana kehidupan orang Kristen juga merendahkan diri demikian. Kita lihat setelah Dia sangkal diri sedemikian sampai akhirnya Dia pun di ayat yang sembilan dikatakan “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia.” Tentu di sini Allah Bapa. “Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan Dia nama di atas segala nama supaya di dalam nama Yesus bertekuk lutut semua yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi. Dan segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa.” Di bagian ini ini kita melihat perendahan diri setelah Yesus merendahkan demikian baru Dia ditinggikan. Ini kita lihat proses ini selalu ada di dalam kehidupan kita. Banyak orang itu justru gagal karena belum apa-apa langsung mau ditinggikan padahal belum mengalami perendahan diri. Padahal kita tahu seperti di bagian ini there is no resurrection without death itself. Tidak ada kebangkitan tanpa adanya kematian itu sendiri. Dan tidak ada peninggian tanpa melalui jalan perendahan. Dan di dalam satu kesempatan Pak Tong, menarik, Pak Tong pernah katakan bahwa, “Kristus sendiri secara aktif merendahkan diriNya, dan secara pasif Dia ditinggikan oleh Allah Bapa,” Saya ulang kalimat ini, “Kristus itu secara aktif merendahkan diriNya, kemudian secara pasif Dia ditinggikan oleh Allah Bapa,” Demikian kata dari Pak Tong. Tetapi kadang-kadang dalam kehidupan kita itu justru kita lebih suka itu sebaliknya. Ya justru natur orang berdosa itu demikian. Kita lebih suka itu secara aktif meninggikan diri, maka akhirnya kita itu secara pasif kita direndahakn oleh Allah Bapa. Kita itu justru seharusnya sebagai orang Kristen taat seperti Kristus. Taat seperti Kristus ya merendahkan diri. Kembali ini bukan bicara minder, bukan menjadi nanti apa-apa: ayo terima pelayanan ini “Oh saya nggak mampu, saya nggak bisa,” itu bukan, ya itu memang tidak mau terlibat aja, cuma mau jadi penonton. Bukan itu maksud saya ya. Tapi ini bicara perendahan dirinya justru ketika dia terlibat pelayanan itu perendahan diri. Karena kita kan menjadi pelayan kan di situ. Justru kalau anda cuma hadir di KKR ya itu jadi bos, ya dilayani kan bukannya melayani? Lebih rendah mana, melayani atau dilayani? Tapi ketika kita terlibat dalam pelayanan kita tahu bahwa itulah bagian kita belajar menaati apa yang dilakukan Kristus juga, meneladani apa yang dikerjakan Kristus, yaitu Dia yang secara aktif merendahkan diriNya tetapi kemudian Allah tidak akan membiarkan Kristus sedemikian rupa, dan Dia itu kemudian ditinggikan.
Dalam kehidupan ini kita melihatb juga nggak lepas selalu seperti itu. Ada aspek kita kadang dalam kehidupan ini mengalami perendahan. Ada juga kalanya kita mengalami peninggian. Tapi biarlah kita melihat belajar itu mengejar dengan rela dan secara aktif kita justru mau memilih merendahkan diri. Bukan untuk mengejar posisi untuk naik ditinggikan, bukan, biarlah di dalam waktunya itu Tuhan yang akan mengangkat kepala kita, bukan karena kita angkat kepala kita sendiri tetapi kita justru lebih belajar untuk merendahkan diri kita. Dalam kehidupan kita sebagai manusia, kita memang tidak luput dari kelemahan dan kita jatuh dalam dosa juga. Dan Allah tahu kelemahan-kelemahan dan keberdosaan kita itu, lalu apakah yang Allah lakukan? Saya lihat Allah biasanya ketika melihat kita yang sering kali sombong dan seringkali merasa diri kuat itu maka biasanya Allah berikan konteks untuk kita itu bisa bertumbuh. Biasanya ada dua macam konteks. Yang pertama itu Dia kasih konteks positif, yaitu melalui pemberitaan firman. Ya seperti ada pemberitaan firman, seperti ada PA, seperti ada di sini STRIY, seminar, persekutuan doa, di sini kita belajar ada konteks postif menjadi pengajaran bagi kita, mengoreksi kita, mengarahkan kembali, pengajaran. Dan ini kita melihat sebagai konteks positif yang Tuhan sediakan, termasuk kesempatan kita untuk melakukan KKR seperti ini. Bukankah ketika kita melangsungkan KKR ini dalam kegentaran kita bergumul bagaimana caranya ini kita jemaat cuma seratusan mau KKR hadirkan sampai dua ribuan orang sampai seperti itu? Kita sadar bahwa pakai nalar saja itu di luar kemampuan kita. Tapi kalau kita belajar bergumul mengenai konteks positif seperti ini justru membuat kita makin belajar berdoa dan bersandar kepada Tuhan. Memang itu konteks yang Tuhan berikan.
Tapi saya lihat di dalam kehidupan ketika orang tidak mau masuk di dalam konteks positif ini biasanya akhirnya Tuhan berikan suatu konteks jenis kedua yaitu konteks negatif. Yaitu akhirnya Tuhan pukul kita baru kita itu belajar menaati. Saya kadang sulit juga mengerti di bagian ini, tapi kenyataannya tidak bisa dipungkiri terkadang orang mengalami seperti itu. Kadang ada orang itu selagi dia sehat “ayo pelayan-pelayan,” “Ah ndak mau, nanti aja, nanti aja, nanti aja.” Sampai akhirnya dia terpukul bangkrut atau kena sakit parah baru deh dia ke gereja. Baru deh mau ikut pelayanan. Baru mau baca Alkitab. Sebenarnya ya, kalau kita mau belajar kita jangan mau tunggu konteks yang negatif ini. Selama Tuhan masih memberikan konteks yang positif, kita belajar terlibat konteks yang posistif. Jangan tunggu sampai Tuhan berikan, bertobat dan belajar. Tapi saya percaya ketika Tuhan berikan konteks negatif seperti itu, itu bukan karena Tuhan benci kita. Bukan. Justru karena Tuhan sayang pada kita. Kenapa Tuhan bisa pukul kita dengan keras? Ya karena Tuhan ndak mau kita nakal maka dirotani. Tapi Tuhan tidak mau jadikan kita anak-anak gampangan. Seperti Ibrani 12 katakan. Lalu untuk kita itu kembali padanya. Maka di situ lihat kadang-kadang di dalam ketika kita ada hal-hal tidak baik dalam kehidupan kita, itu mengajarkan kita untuk lebih lagi mau bersandar pada Dia, untuk mau menunduukan diri pada Dia. Sebagaimana John Owen katakan dalam bukunya Mematikan Dosa, ketika kita mematikan dosa, setelah kita mematikan dosa di situ baru ada pertumbuhan rohani, tanpa adanya kita mematikan dosa, kita menundukkan diri kita itu demikian, kita juga tidak bisa ada pertumbuhan secara kerohanian kita. Dan termasuk kadang di dalam konteks yang negatif itu pun, ketika Tuhan berikan pada kita itu adalah sifatnya bukan sebagai penghakiman, tapi sebagaimana banyak orang para teolog katakan itu sebenarnya sebagai suatu bentuk pendisiplinan. Pendisiplinan anak-anak Tuhan supaya dia kembali ikut pada Tuhan, kembali dia bisa sinkron mengikuti isi hati rencana Tuhan. Dan saya nggak tahu berapa dalam kehidupan kita, kita juga mengalami hal-hal yang demikian. Hal-hal yang iya, sejak kita dapat pengalaman pahit, belajar dari pengalaman pahit, baru kita belajar itu pelayanan lebih serius. Setelah kita alami suatu hal yang tidak mengenakkan, baru kita belajar untuk mau lebih tekun lagi beribadah. Tapi kalau kita melihat di balik semua itu, sebenarnya kita justru bersyukur ya kalau masih Tuhan berikan bagian itu.
Saya ingat itu di dalam satu ketika itu di dalam ada satu grup WA, itu grup WA ada seorang apa ya, di dalam grup WA itu campur-campur lah, ada Hamba Tuhan juga, ada beberapa, ada saya juga di dalam. Lalu ada satu orang tanya, gitu, “Pak, gimana ya Pak, ini saya ada om, om saya itu kaya, lalu dia juga orangnya baik, tapi dia nggak percaya Tuhan Yesus. Bagaimana ya supaya injili dia ya?” Terus ada orang kasih saran, “Beginilah, kamu coba dekatin ini, coba apa ya, pakai filsafat mungkin, atau ajak ngomong atau gimana-gimana ya.” Tapi kemudian adalah seseorang yang lebih senior secara rohani itu tiba-tiba ngomong gini, “doakan supaya ommu itu bangkrut, sakit-sakit, baru dia itu bisa bertobat.” Saya baca WA itu sambil saya heran ya gitu, saya pikir, oh kok dia ngomong gini. Tapi ya orang senior gitu ya, okelah gitu. Dan sambil saya renungkan coba pikir-pikir gitu ya, iya, sayangnya kadang-kadang manusia itu begitu bebalnya itu sampai begitu. Kalau belum dipukul sampai seperti itu ya nggak bertobat ya. Nggak mau tobat kan? Itu pun ada banyak orang sudah dipukul habis, tetap keras hati. Tetap tidak mau tunduk. Tetap tidak mau bertobat. Tetap rasa dirinya semua. Tetap rasa dirinya bisa atur semuanya sampai akhirnya tiba waktunya dia lewat seperti itu. Tapi berapa banyak dalam kehidupan kita, kita justru belajar ketika Tuhan masih memberikan hal-hal yang baik dalam kehidupan kita, kita masih bisa beribadah di sini secara rutin dengan relatif aman dan baik, biarlah kita tidak melewatkan kesempatan-kesempatan yang ada. Ketika kita masih bisa melangsungkan ibadah yang lebih baik dengan lebih leluasa; tidak banyak orang itu bisa menikmati ibadah dengan lancar sebaik seperti kita. Biarlah kita menangkap kesempatan itu selama masih ada. Dan kita lihat, kenyataannya ketika kita keras hati, kalau Tuhan sayang kita, justru Tuhan pukul kita supaya kita balik. Kita mungkin kadang-kadang pikir, oh lebih baik dia mati tenang, Pak. Oh mati tenang? Nggak bertobat, ya kita tahu akhirnya itu seperti apa. Bagi saya, meski saya sebagai Hamba Tuhan saya nggak pernah doakan orang itu sakit menderita seperti itu ya. Ya iyalah masa orang sakit saya datang, oh puji Tuhan kamu sakit ya biar tobat. Saya nggak begitu sih. Tapi itu jauh lebih baik. Dia menderita sesaat sebentar di dunia ini, tapi kemudian dia menikmati sukacita di kehidupan selama-lamanya; daripada sebaliknya. Daripada sebaliknya. Di sini kita melihat di dalam kehidupan Kristus dicontohkan bagaimana tanpa adanya suatu kematian, tanpa adanya perendahan, tidak ada peninggian. Dan memang di tengah dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini, kadang-kadang paradoks seperti ini dan ironis seperti itu tidak terhindarkan terjadi.
Saya akan tutup dengan suatu kisah yang saya dengarkan di beberapa waktu yang lalu, sharing dari seorang rektor di seminari yang dia men-sharing-kan di dalam sharing-nya itu dia mengatakan bagaimana ada seorang mahasiswanya itu adalah seorang mahasiswa dari Turki, gitu ya. Ada seorang rektor, rektor di sekolah seminari lalu dia sharing tentang adanya murid dia itu mahasiswa dari Turki. Lalu dia tanya, oh bagaimana kamu masuk ke seminari ini, kamu masuk sekolah teologi ya, oh bagaimana kamu menjadi Kristen, kamu latar belakangnya orang Turki, dan semuanya. Menarik di dalam sharing dari mahasiswanya ini, dia mahasiswanya ini cerita gini, bagaimana dia itu mau menjadi Kristen. Mahasiswanya cerita ini, ada pernah seorang misionaris, misionaris mungkin dari barat gitu ya, datang ke Turki. Ya kita tahu ya, Turki itu sendirinya negara mayoritas Muslim tapi mungkin agak sekuler juga ya. Dan relatif aman untuk orang ibadah di sana. Dan mahasiswa itu mengatakan, ada pernah seorang misionaris saya tahu dia itu suka khotbah gitu ya, dan dia itu kelihatannya open, apa ya, street preaching gitu ya, khotbah di pinggir-pinggir jalan, kadang-kadang itu ada beberapa orang suka lakukan itu terus dia khotbah di depan publik, penginjilan seperti itu. Dan mahasiswa ini mengatakan bahwa orang itu khotbah sudah sekian lama, misionaris ini melayani di Turki sekian lama, lalu suatu ketika di tengah khotbahnya itu lalu kemudian ada berdiri seseorang yang marah-marah. Seorang laki-laki yang marah lalu langsung bunuh, dicelurit itu misionarisnya langsung misionarisnya itu mati di tempat. Dan itu menggemparkan di daerah Turki situ. Ini kejadian beneran ya. Itu menggemparkan dan, loh padahal kan Turki ini toleran. Kok bisa sampai ada misionaris ini dibunuh begitu? Lalu kemudian berita itu diliput oleh wartawan lalu akhirnya dipanggillah istri dari misionaris itu. Dan ditanya, apakah yang akan kamu katakan kepada negara ini yang kemudian itu akhirnya suamimu mati di tempat ini? Istrinya itu mengatakan kalimat yang sederhana saja. Dia mengatakan bahwa, yang saya mau katakan kepada negara ini adalah, di dalam Kristus saya mengampuni orang yang membunuh suami saya itu. Dan pemuda ini, orang Turki itu, dia melihat hal itu dari berita dan dia cuma geleng-geleng kepala dan pikir, ini yang tidak ada di iman saya. Dan itu yang membuat dia itu, statement sederhana ya, di dalam Kristus saya mengampuni pembunuh suami saya. Dan orang ini dia akhirnya bertobat, dia percaya pada Kristus. Dan singkat cerita dia menjadi Hamba Tuhan dan masuk di seminari. Sederhana saja. Tapi dari situ kita melihat, aspek lain yang mungkin orang yang tidak menerima Kristus itu melihat itu sebagai suatu kebodohan. Rugi kok. Sudah sampai sini mati kayak gitu. Mati konyol. Tapi kalau kita ngerti itulah iman kita, yang berbeda dari iman-iman yang lain. Yang berbeda dari kepercayaan-kepercayaan yang lain. Justru adanya suatu pengampunan, adanya suatu perendahan sedemikian, dan yang mahasiswa teologi ini katakan, dia akhirnya percaya kepada Kristus. Dan mungkin pelayanan misionaris itu, mungkin kalau dia masih hidup, selama dia hidup dan dibanding setelah dia matinya seperti itu, mungkin lebih banyak orang yang bertobat melalui kematiannya itu. Ironis, ya. Tapi itulah yang dipakai Tuhan untuk menumbuhkan lebih banyak lagi jiwa kembali kepada-Nya. Sebagaimana telah diteladankan oleh Kristus dulu, karena Kristus sudah lebih dahulu mati demikian, adakah kita juga rela menyangkal diri kita untuk kebangunan kota ini, demi kebangunan sesama kita? Biarlah ini yang menjadi sesuatu yang kita renungkan, apa arti kematian dan kebangkitan Kristus itu bagi keselamatan kita, dan bagi orang-orang sekitar kita. Mari kita satu dalam doa.
Bapa kami dalam sorga, kami berdoa bersyukur untuk firman-Mu. Kami berdoa bersyukur ya Bapa, untuk pengorbanan Anak-Mu yang tunggal Yesus Kristus, yang mati menebus dosa kami, yang bangkit untuk keselamatan kami, dan menjadi teladan bagaimana kami menjalani kehidupan kami sebagai pengikut Kristus. Kami berdoa ya Bapa, kami mohon ampun pada-Mu apabila sering kali kami tinggi hati, apabila kami sering merasa diri mampu, dapat menjalani kehidupan kami. Tapi kami berdoa kiranya Engkau yang menundukkan kami dan mengajarkan kami bagaimana merendahkan diri kami dan terutama juga mematikan dosa kami, dan dengan itulah kami boleh mengalami suatu kebangkitan rohani dan kami boleh dipakai menjadi saluran berkat untuk kebangkitan rohani bagi banyak juga orang-orang di sekitar kami. Terima kasih Bapa semua ini. Kami berdoa biarlah ketika kami merenungkan apa yang dikerjakan Kristus bagi kehidupan kami, untuk keselamatan kami, biarlah itu yang menjadi modal kami untuk kami beritakan pada siapa saja yang kami temui dalam kehidupan ini. Terima kasih Bapa untuk semua ini. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]