Flp. 2:19-24
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Di dalam bagian ini kita menemukan adanya suatu, ini bagian suatu narasi ya. Memang umumnya di dalam pembahasan Paulus dia berupa pengajaran, dia ada urutan logikanya, tetapi di dalam bagian ini kita menemukan ada suatu narasi dan saya percaya kita bisa belajar banyak dari narasi di sini tentang pelayanan, yaitu sebagai konteksnya yang terutama konteks dekatnya, tapi juga di dalam kaitannya dengan kehidupan kita karena memang pelayanan itu bukanlah suatu segmen atau suatu bagian saja, part of life, suatu bagian dari kehidupan, melainkan keseluruhan kehidupan kita itu sendiri adalah pelayanan di setiap waktunya. Ibadah dan bagaimana pelayanan kita di hadapan Tuhan itu adalah keseluruhan hidup ini karena kelak Tuhan akan minta pertanggungjawaban kita dihadapan-Nya itu berbicara keseluruhan kehidupan kita, adakah kita lakukan sepenuhnya bagi Dia, bagi kemulian Dia atau tidak. Dan yang ini bisa saya lihat banyak hal yang tentu bisa renungkan bagian ini, tetapi minimal ada beberapa poin yang bisa kita pelajari dalam bagian ini di dalam Paulus mengerjakan pelayanannya dan itu menjadi gambaran keseluruhan hidupnya.
Yang pertama adalah kita bisa melihat bagian ini adalah bicara pengharapan dalam Tuhan Yesus sendiri. Pertama itu bicara pengharapannya dia dasarkan di dalam Tuhan Yesus sendiri. Di dalam kehidupan Paulus dia mengerjakan banyak hal di dalam pelayanannya tapi setiap di dalamnya dia mem-planning mengerjakan segala sesuatunya dia bukan saja menyusun secara logikanya, memikirkan secara, “ohh kita harus siapkan seperti ini dan seperti itu,” tetapi dia selalu bergumul bagaimana mengikuti arah, direction dari Tuhanitu sendiri, bagaimana mengikuti arah dari Tuhan sendiri. Karena dalam kehidupan kita sering kali ketika kita menyusun rencana jarang sekali kita lantas menggumulkan memikirkan Tuhan ingin mengarahkan kita kemana. Seringkali di dalam kehidupan ketika kita mengerjakan sesuatu, kita menyusun rencana, kita mempertimbangkan segala sesuatunya, tentu di dalam banyak hal kita bisa mempertimbangkan banyak hal seperti misalnya aspek keuangan, ataupun di dalam rencana, ataupun aspek talenta kita, kemampuan kita. Tetapi kemudian di dalam ketika sebelum kita mengambil keputusan selalu yang paling penting selalu kita harus tanya itu adalah adakah saya berjalan sesuai dengan track rencana Tuhan atau tidak, apakah saya sudah mengikuti arah rencana dari Tuhan atau tidak. Dan itu adalah suatu yang penting sekali.
Saya ingat sering kali di dalam berapa kesempatan ketika mengikuti rapat master class bersama dengan Pak Tong. Lalu biasanya setelah bicarakan poin-poin rapat, bahas ini itu, setelah beberapa poin kadang-kadang di tengah-tengah itu lalu Pak Tong bilang, “mari kita satu dalam doa.” Lalu berdoa dan setelah doa rapat lagi lanjut. Nah itu pertama-tama saya pikir itu agak heran gitu ya, karena kita biasanya memang kita doa itu di awal dan di akhir doang, kira-kira begitu kan. Jadi “setengah jimat” atau kebiasaan gitu ya? Jadi sebelum mulai rapatnya kita doa dan kalau sudah selesai, sudah kira-kira niatnya saya sudah mau pulang, ya sudah tutup dengan doa, seperti itu. Tetapi di situ saya ingat ketika di ruangan itu, dan agak heran gitu ya karena setelah doa saya sempat pikir ini apa sudah selesai, setelah doa ya lanjut lagi rapatnya, bahas lagi sesuatu yang lain. Tapi makin lama saya memikirkan ternyata memang di dalam semua itu Pak Tong bukan hanya sekedar membuat jeda seperti itu tetapi memang untuk bersama memikirkan apa yang diputuskan ini apakah sesuai dengan rencana Tuhan atau tidak, pertanyaannya itu di situ. Dan selalu makanya harus kita gumulkan ini rencana Tuhan atau tidak.
Apalagi di dalam kehidupan ini kenyataanya kita tidak hanya diperhadapkan dengan apa yang baik dan yang jahat, ya itu pergumulan umum, tetapi kadang ada kalanya dalam kehidupan ini kita diperhadapkan dengan pilihan antara yang baik dengan yang baik juga. Ya memang ada kalanya dalam kehidupan kita bergumul “bagaimana Pak saya mau taati ini, taati ini yang benar dan bagaimana melewatinya yang jahat,” ya itu ada bagian pergumulan kita dan kita minta pimpinan Tuhan, kuasa dari Allah Roh Kudus mampukan kita menolak kejahatan, menolak dosa dan memilih yang benar, memilih yang baik. Tetapi kenyataanya dalam kehidupan ini setelah kita percaya Tuhan Yesus, setelah kita menjalani kehidupan, kita tidak selalu biasanya cuma yang baik dengan yang jahat tetapi antara yang baik dengan yang sama-sama kelihatannya baik. Nah di dalam bagian ini, dan mungkin porsinya bukan cuma dua, bisa tiga, bisa lebih, dan di dalam menggumulkan itu kita harus bergumul itu sehingga menjadi pergumulan yang sulit ya antara ini dengan itu sama-sama baik, atau bahkan masih ada lagi ada opsi ke-3 dan ke-4, sama-sama baik tapi lalu yang saya harus pilih yang mana. Dan di situlah ada bagian kita bergumul itu bukan lagi ukur semua pro-kontranya, kelebihan-kekurangannya, plus-minusnya, meski kita bisa buat skema seperti itu ya, tapi kemudian lalu kita pikirkan Tuhan ingin saya jalani yang mana. Dan ketika itu yang kita pilih, ketika yang kita gumulkan itu sungguh bahwa itu rencana Tuhan, maka kita akan jalani itu dengan lebih ada suatu kepastian, dengan lebih adanya suatu arah yang jelas karena kita sudah mengikuti track-nya Tuhan. Nah ini di dalam kehidupan kadang-kadang kita jarang ya memikirkan di dalam aspek itu, kita cuma cuma berfikir antara yang baik dan jahat, ataupun kadang sulit dan mudahnya, seperti itu, yang mana yang lebih gampang dan biasanya cenderung kita akan memilih yang lebih gampang. Bagaimana kalau Tuhan memang ingin kita berjalan di jalan yang lebih sulit? Namun sebaliknya kadang ada orang masuk ekstrim sebaliknya, “pokoknya saya pilih jalan yang paling susah, yang paling susah itu pasti jalan Tuhan.” Oh nggak tentu, nggak tentu juga seperti itu. Sebenarnya kita diperintahkan memang untuk sangkal diri, pikul salib, dan mengikut Kristus, tapi bukan berarti setiap salib harus kita pikul ya, bukan berarti setiap anda ketemu ada karung ya ini saya pikul, setiap beban harus saya pikul, nggak seperti itu juga.
Sehingga pertanyaannya itu di dalam pergumulan kita, terutama di dalam bagian ini, ketika Paulus merenungkan di dalam dia menyusun rencananya di dalam pelayanan, selalu yang digumulkan itu “saya sedang berjalan di dalam rencana Tuhan atau tidak.” Dan itulah sebabnya Pak Tong sering berapa kali ketika dalam beberapa kesempatan gitu ya, saya ingat sekali dia suka ngomong itu dia orang yang lambat. Saya pikir ini Pak Tong sudah secepat itu bagaimana dia lambat, gitu ya. Dia sudah secepat itu. Tapi dia mengatakan selalu dia lebih lambat di dalam mengambil keputusan karena tiap sudah gumul, pikir, pikir, pikir, habis itu doa dan coba renungkan lagi, gumulkan lagi sebelum ambil keputusan itu. Lebih lambat ambil keputusan karena supaya memang lebih pasti ini melihat ini memang pimpinan Tuhan atau tidak, di situ maksudnya. Karena Pak Tong suka ngomong kayak gitu, jadi ketika mau ambil keputusan lebih lama, tapi setelah ambil keputusan dan memang lihat ini pimpinan Tuhan, langsung segera dan secepatnya dikerjakan. Tetapi sebelum itu dia akan lebih lambat, karena apa ? Karena di bagian ini dia bergumul, bahkan Pak Tong pun bergumul mau melihat dimana pimpinan Tuhan di dalam kehidupan kita.
Itulah sebabnya saya juga tidak terlalu heran ya meskipun ada kesulitan memang di posisi Reformed gitu ya, kalau Pak Tong itu pakai istilah dalam bicara kehendak Tuhan dia baginya 4, kalau Reformed itu kan baginya dua, tapi Pak Tong itu baginya 4. Yaitu pertama, ada yang ditetapkan; lalu ada yang dipimpin. Ada kehendak Allah itu bicara penetapan-Nya, lalu ada pimpinan-Nya, lalu ada perizinan-Nya, dan terakhir adalah pembiaran-Nya. Maksudnya adalah apa? Bagaimana kita menggumulkan ini pimpinan Tuhan atau tidak. Memang bisa banyak aspek dibahas itu, tapi itu dalam kehidupan kita, kita gumulkan pimpinan Tuhan ke mana? Bukan kita pikir penetapan Tuhan yang mana, ya kita nggak tau. Kita tidak akan tau penetapan Tuhan sampai ketika itu terjadi. Sebagaimana para reformator katakan, R.C. Sproul juga katakan demikian, sehingga kita bukan gumulkan penetapan Tuhan apa, ya. Dan kita juga ndak bisa bilang, “Oh, Tuhan tetapkan besok kasih hujan,” ya nggak bisa. Kita hanya manusia, hamba Tuhan pun manusia. Ya, hanya Tuhan yang bisa tetapkan kalau mau besok itu hujan ya hujan, terjadi seperti itu misalnya. Tapi kita nggak bisa menggumulkan seperti itu, tapi kita gumulkan Tuhan memberikan pimpinan saya seperti apa dan saya ambil arah seperti apa. Banyak hal dalam pergumulan kita seperti misalnya, para pemuda menggumulkan tentang pasangan hidup, ya bukan cuma pilihannya pilih yang seiman atau yang beda iman. Ya itu wajar sih, tapi pada akhirnya kita tahu kita pilih yang seiman, tapi di antara yang seiman, saya pilih yang mana, ya itu kan pergumulan. Di dalam kita memilih pekerjaan misalnya, ya kita akan milih pekerjaan yang baik, pekerjaan yang sesuai dengan prinsip kebenaran firman, lalu kita gumulkan saya bekerja di mana, saya bekerja di company, perusahaan yang seperti apa. Dan nanti memang masih ada pergumulan lain yaitu kita menggumulkan timing–nya, waktu nya. Karena bagaimana pun juga, hal yang tepat tapi di waktu yang salah itu menjadi salah juga sih. Ya, seperti kadang-kadang misalnya ada orang memilih pasangan lalu, “Oh, pasangannya benar, tapi, timing–nya, waktunya itu belum pas.” Ya itu misalnya, ya kamu masih muda, kamu masih ke-muda-an, jadi tunggu dulu lah, kamu selesaikan dulu study mu, atau kamu belajar, kamu sampai cukup dewasa dulu baru berpacaran, dan seterusnya. Jadi, bukan cuma bicara masalah keputusannya itu saja itu pilihannya apa, tapi waktunya seperti apa.
Dan di dalam bagian ini, Paulus menggumulkan adalah ketika dia menaruh pengharapan dalam Kristus, dia selalu bergumul mengikuti arah dari Tuhan. Ini sebenarnya memang dijelaskan oleh Hansel Walter di dalam commentary-nya, di dalam mengikut menyusun perencanaan pelayanan misinya, dia mengikuti arah dari Tuhan, dan dia belajar untuk taat kepada rencana Tuhan dalam mengerjakan. Kembali lagi seperti saya pernah katakan, taat itu tidak sama dengan setuju. Kalau setuju, ya nggak butuh taat. Ya iya tho. Kita kalau sudah sama-sama setuju nih misalnya, saya dengan ko Leo yang satunya gitu ya ngobrol, oh kita mau ke arah satu tempat, sama-sama mau ke tempat itu, sama-sama kami setuju, ya nggak ada butuh taat. Tapi ketaatan itu adalah muncul dan menjadi suatu pergumulan, ketika adanya justru ketidaksetujuan itu. Kembali lagi, kalau kita itu setuju ya, seperti seorang hamba Tuhan yang pernah katakan kalau memang sudah setuju, ya nggak butuh taat. Sehingga ketika terjadi ketidaksetujuan, adanya terjadi perbedaan pendapat, apalagi untuk hal-hal yang sebenarnya tidak mutlak adanya, tidak salah secara prinsip, itu adalah bagian, sebenarnya kesempatan untuk kita belajar saya taat. Apalagi itu ketika ada pimpinan kita, ataupun di dalam konteks tertentu, ya kita melihat dia adalah orang yang dipercayakan sebagai atasan kita. Saya di dalam banyak hal pun, di dalam pelayanan, kadang-kadang saya ada ditanya gitu ya, “gimana dalam pelayanan?” Saya melihat ya seperti itu, di dalam saya berelasi juga, di dalam pimpinan saya, ya gembala yang ada ya, baik seperti saya di sini dengan Pak Dawis, maupun di sebelumnya, saya selalu melihat hal yang sama, saya selalu teringat apa yang diajarkan oleh Pendeta Agus di dalam kelasnya, dia bilang ya atasan itu, ya maksudnya pendeta di atas mu, ketika kamu menjadi vikaris atau penginjil bawah, itu dia bilang, dia pakai sampai minimize seperti ini, sederhana, “yang penting itu dia bukan buat dosa, ya, dia nggak ngajar sesat, ya kamu taat aja.” Gitu ya. “Oh nggak dong pak,” terus dibantah, tapi terus dipikir lagi, kenapa ya dia ngomong gitu ya. Dan makin lama saya gumulkan, iya sih, karena memang ada detail-detail tertentu memang orang bisa beda pendapat. Dan kadang ya, ketika kita tajam sekali dalam perbedaan pendapat itu, tapi kalau kita gumulkan itu akarnya sebenar nya itu bukan hal esensial juga. Kadang-kadang kita bisa debat sesuatu yang sebenarnya level opini ya, atau pendekatan, atau approach, metode, ya itu kembali lagi itu memang bisa kita debatkan dan diskusikan, tapi biarlah kita ingat itu tidak mutlak. Karena yang mutlak adalah Alkitab, yang mutlak adalah Kitab Suci, yang mutlak adalah pengajaran, doktrin yang prinsip-prinsip yang sejati. Seperti yang di dalam sejarah gereja ya, benar seperti yang dikatakan Pendeta Agus, ya, pimpinan saya juga nggak ngajar lantas bukan Tritunggal, ya misal nya, empat tunggal, atau segala macem, kan nggak. Dia kan bukan lalu lantas ngajar Yesus itu bukan Tuhan, Dia itu cuma setengah Tuhan, kan nggak. Ya, dia juga nggak menyimpang dari doktrin Reformed, tapi lalu pendekatannya, approach–nya, memang bisa beda. Dan di dalam bagian itu, ketika kita bisa juga beda pendapat, dan menyuarakan, mendiskusikan posisi kita, kan tidak harus sampai titik setuju. Tapi bisa sampai titik, ya, memang beda pendapat, ya saya taat pada pimpinan, saya taat pada rencana bapak, karena memang bapak lah pemimpin saya, yang ditempatkan di atas saya, dan karena itu saya taat.
Dan di bagian ini, juga dalam relasi kita dengan keluarga kita. Di dalam Alkitab dikatakan “hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umur mu di tanah yang dijanjikan Tuhan Allah mu.” Meski di bagian itu tidak ngomong berarti kamu harus taat 100% pada orangtua, ya, karena memang kita harus lebih taat kepada Tuhan daripada kepada orangtua, tapi bagaimana pun juga, kadang-kadang ada yang orangtua ajarkan, atur kepada anaknya, yang sebenarnya secara prinsip itu kalau kita lihat tidak bertentangan dengan Alkitab, tapi memang kita rasa nggak enak, nggak cocok, atau nggak setuju, itu adalah bagian memang kita taat, submit, kepada orangtua juga. Itu kita harus belajar taat di situ. Dan kenapa? Karena itu modal kita ketika kita belajar taat pada orang yang Tuhan, di dalam kedaulatan-Nya, tempatkan di atas kita; entah orangtua, entah atasan kita, entah di dalam pimpinan dalam gereja dan seterusnya. Dan juga memang aspek lain lagi bicara pemerintah. Di dalam bagian itu lah kita belajar, secara hati kita itu selalu punya hati yang lembut yang memang punya ada suatu meekness, suatu kelembutan hati yang selalu mau taat kepada pimpinan Tuhan. Karena kalau kita nggak bisa taat pada pimpinan di atas kita, bagaimana kita bisa mampu kita sedang taat pada pimpinan Tuhan? Lho yang di atas aja patuh, ya kembali lagi ya ini tentu saya tu ngomongnya tu bukan masalah di atasnya ngajar yang keliru, atau perintahkan kita yang bertentangan dengan Alkitab, nggak, saya nggak masuk ke situ pembahasan saya hari ini, tapi bicara adalah ketika dia mengajarnya itu secara prinsip itu tidak bertentangan dengan Alkitab, pertanyaannya adalah kita mau belajar taat atau nggak?
Dan kalau hati kita bisa punya hati yang biasa belajar taat ya, di situ sebenarnya jadi pembentukan bagi hati kita juga, bagi iman kita, memang untuk belajar lembut, taat pada pimpinan, rancangan Tuhan. Karena ketika mau taat pimpinan rancangan Tuhan itu jauh lebih sulit lagi. Pak Tong sendiri juga pernah ngomong seperti itu, dia pernah ngomong, “orang mau belajar taat, ikut gerakan ini, ikut taat arahan dari saya itu banyak yang bilang susah, “susah ikut pak Tong.”” Pak Tong ngomong, “Tahu tidak, saya lebih susah untuk mau ikut Tuhan.” Ya bukan dalam artian untuk percaya Tuhan ya, tapi maksud nya mau ikut track rencana Tuhan itu, pak Tong sendiri bergumul dan jauh lebih sulit lagi. Karena arahan dari Tuhan itu jauh lebih, karena breakthrough, yang melewati batasan-batasan yang kita pikirkan, dan tuntunan Tuhan, tuntunan dan tuntutan dari Tuhan itu kadang memang melewati yang lebih sulit lagi. Dan itu, ketika saya bagian itu saya renungkan ya, beberapa kali Pak Tong ngomong seperti itu, iya saya pikir iya betul sih seperti itu. Kita baru aspek, misalnya ya kami yang bawahannya belajar taat pada pimpinan, belajar taat pada pak Tong, misal nya, ini ada WRF, seperti ada SPIK Pneumatologi ya, seperti itu. Tapi bagaimana Pak Tong bergumul taat pada pimpinan Tuhan, itu jauh lebih sulit lagi, jauh bergumulnya lebih berat lagi, dan lebih sulit mau tahu ini arahnya seperti apa. Dan biarlah dalam bagian ini, kita sebagai, mungkin secara umum konteks kita di sini, yaitu kita belajar memang taat pada rencanaNya. Dan ketika kita biasa menaruh hati kita taat kepada yang dituntut dari atas, dari situlah kita belajar dibentuk mengetahui ada rencana Tuhan. Bagaimana mungkin kita bisa bilang, kita mentaati rencana Tuhan sehingga kita ndak pernah biasa taat pada pimpinan di atas kita. Ya sebagaimana dalam bentuk lain, tentu Alkitab sendiri mengatakan, “bagaimana mungkin kamu mengatakan kamu mengasihi Tuhan yang tidak kamu lihat, kalau kamu tidak mengasihi sesamamu yang terlihat, saudaramu yang terlihat.” Ya sama seperti itu ya. Saya menarik dari prinsip itu ya sama, bagaimana mungkin kita bilang sudah taat pimpinan Tuhan, kita ndak pernah taat kepada pimpinan yang Tuhan tempatkan di atas kita. Kembali lagi ya, ya orang-orang yang sebenarnya secara prinsip mengajarkan hal yang benar, yang sesuai dengan Alkitab, hanya saja ada opini tertentu, pendekatan tertentu, metode tertentu yang beda dengan pendapat kita, beda dengan kesukaan kita, atau ya kita ndak setuju di waktunya. Tapi di situ sebenarnya ada bagian kita belajar taat. Belajar taat. Biasakan belajar taat, sehingga ketika waktunya Tuhan bukakan kehendak rencanaNya, kita sudah lebih siap untuk mau taat.
Di situ, di bagian sini, dan itu menjadi bagian pergumulan Paulus sendiri. Dia sendiri dalam menyusun rencana berkali-kali, tadinya Paulus mau pergi ke Makedonia, dibelokkan ke mana. Dia tadinya mau pergi pelayanan ke mana, dibelokkan lagi ke mana. Berkali-kali alami seperti demikian. Mungkin kalau kita jadi Paulus, “Ya sudahlah, nggak usah buat rencana, gitu ya.” Ya nggak bisa juga, pasti ada buat planning, tapi akhirnya berkali-kali nanti bisa dibelokkan, nanti terjadi hal lain. Dan ketika itu terjadi, ya Paulus cuma melihat ini berarti pimpinan Tuhan. Dan apalagi kalau kita lihat dalam konteks Surat Filipi ini, mana mungkin Paulus itu buat rencana : “ Ooo saya buat rencana.” Apa ? “Pelayanan di penjara.” Oo pelayanan di penjara ini bukan, kalau kami di Jakarta itu ada ya pelayanan ke penjara. Jadi datang, masuk, terus dikasih badge, pulang, ya kan. Ini memang tinggal dalam penjara, pelayanan dari dalam penjara itu. Ini tidak mungkin direncanakan manusia, tapi kita lihat, itu sesuai pimpinan Tuhan. Dan ketika itu terjadi, dan Paulus taati, kita mendapatkan surat seperti Filipi ini, maupun surat seperti Efesus, Kolose, dan yang lain-lain. Ini kita lihat di dalam terang kebenaran, dia makanya menaruh pengharapannya pada Tuhan Yesus Kristus sendiri, bukan hanya pada waktunya. Kalau secara aspek manusia mungkin orang lihat, “Wah, gagal.” Lha iya toh, dia rencana ke kota A, eeh ndak sampai, akhirnya malah masuk penjara, terus nongkrong di situ beberapa tahun. Nah, itu kan gagal. Tapi bagi Paulus, ya itu memang rencana Tuhan. Dan bahkan di dalam pergumulan seperti itu, Tuhan memberikan wahyuNya, memberikan FirmanNya yang spesifik, yaitu seperti Surat Filipi dan juga ada beberapa surat lainnya dan juga bahkan menjadi warisan bagi gereja. Kita bayangkan ya kalau Paulus itu ndak mau taat, seperti apa ? Sangat banyak alasan sih untuk kalau mau ya, “Saya nggak mau taat,” tapi akhirnya ya tidak bisa menjadi berkat seperti yang kita bisa nikmati, seperti yang kita bisa baca dalam Surat Filipi. Kembali lagi, saya bicara dalam aspek pimpinan Tuhan, bukan bicara dalam aspek kedaulatan Tuhan yang memang semua pasti terjadi sesuai rencanaNya.
Saya lanjut, berikutnya di dalam dia menaruh pengharapannya kepada Kristus dia itu mencari persetujuan, perkenaan Tuhan saja dalam menyusun rencana. Kembali lagi itu karena dia belajar mau taat sehingga dia hanya mencari persetujuan Tuhan. Di dalam bagian ini Pak Tong pernah mengatakan ketika kita mengerjakan suatu pelayanan, pertama-tama yang kita gumulkan adalah ini pimpinan Tuhan atau tidak. Itu aspek vertikal selalu yang utama karena itu menjadi jangkar kita terutama, saya kerjakan ini kenapa. Kita bukan mencari persetujuan manusia, bukan aspek horisontalnya tetapi terutama melihat dari aspek vertikal, ini memang pimpinan Tuhan atau nggak, dan kita gumulkan lagi, gumulkan lagi. Dan di dalam perjalanan waktu ketika aspek vertikal itu sudah firm, pasti, kita yakini ini memang pimpinan Tuhan, nanti di dalam perjalanan waktu Tuhan akan munculkan setiap aspek horisontalnya, baik untuk orang-orang yang mengkonfirmasi ataupun di kemudian hari itu mengkonfirmasi memang keputusan itu tepat ataupun kadang-kadang di dalam konteks tertentu bisa jauh sekali baru terkonfirmasi. Ya sama seperti Hudson Taylor ketika pertama kali dia gumulkan untuk bermisi ke China, dia bukan yang pertama kali pelayanan ke China ya tetapi dia pertama kali masuk ke China daratan, jadi masuk ke pedalamannya, banyak yang lain itu cuma bermisi di misalnya Shanghai atau Hongkong, beberapa kota-kota besar yang memang bersentuhan dengan Inggris. Tapi ini dia memang mau masuk ke pedalaman. Mulanya dia tidak dapat dukungan tapi dia punya kepastian memang secara aspek vertikal, secara aspek dia pribadi bergumul di hadapan Tuhan, memang ini pimpinan Tuhan, dia jalankan, dia gumulkan, dia taati, dia jalani. Dan ada banyak memang yang dia kerjakan dan di dalam kesulitan yang dia hadapi itu, dia beberapa tahun kemudian akhirnya nyata bahwa memang yang dia kerjakan memang sudah pimpinan Tuhan, dan baru kemudian hari orang mengkonfirmasi tindakannya. Tapi dalam pelayanan dia memang akhirnya itu berdirinya lembaga pelayanan yang sekarang di China itu, yang kita kenal sekarang dengan OMF dan seterusnya itu start dari pelayanan ini.
Mulanya memang tidak ada konfirmasi tetapi di dalam pelayanan itu dia mulanya bisa saja orang sampai tentang tidak setuju tetapi dia lihat ini jelas pimpinan Tuhan, ini tidak bertentangan dengan prinsip Kitab Suci, itu pertama, tidak bertentangan dengan prinsip Kitab Suci; ini bisa jadi berkat bagi banyak orang, bagi pekerjaan Tuhan, ya dia kerjakan. Tapi tiba waktunya dalam perjalanan waktu Tuhan mengkonfirmasi bahwa memang ini adalah pekerjaanNya, yaitu akhirnya terkumpul juga orang-orang di kemudian hari yang tergerak dan berbagian di dalam pelayanan Hudson Taylor tersebut. Dan itu kita lihat, ada aspek konfirmasi manusia di kemudian hari, itu memang mengkonfirmasi memang betul yang kita kerjakan, tapi kembali dari titik pertama kita harus lihat yang kita cari approval itu bukan dari manusia tapi dari Tuhan sendiri. Ada dinamikanya di sini. Kembali lagi ini aspek vertikal itu yang utama, tapi kemudian aspek horisontal itu di kemudian hari bisa muncul, entah setelah kita gumulkan pasti dan kita share mungkin pada keluarga kita atau pada kerabat kita dan mereka mengkonfirmasi ya memang itu adalah pimpinan Tuhan dikerjakan bersama-sama, itu bisa muncul langsung seperti itu tetapi juga bisa muncul di kemudian hari. Tapi yang pasti adalah aspek vertikal itu harus utama dan itu menjadi dasar kita mengerjakan sesuatu itu, kalau nggak, kita cuma dipengaruhi aspek situasional. Kadang-kadang dalam kehidupan juga seperti itu ya, kita kerjakan pelayanan kenapa, ya karena situasinya begini, atau karena disuruh. Atau kadang seperti anak remaja itu saya tanya, “kamu kenapa sekolah?” Ayo ini yang pemuda kenapa kuliah? Terus nanti ada yang jawab, “Oh supaya pintar, supaya bisa tercapai cita-cita,” tapi ada yang jawab begini, “karena disuruh mami.” Jadi besok-besok kalau maminya nggak ada ya nggak ke sekolah. Aspek-aspek horisontal seperti itu kita lihat bisa berubah dalam kehidupan ini. Tetapi biarlah kita melihat selalu di dalam aspek vertikal itu menjadi dasar keputusan kita mengambil sikap dan mengerjakakan suatu pelayanan itu.
Saya lanjut, dan dia punya keyakinan teguh karena dia mempercayakan dirinya dalam Tuhan sendiri. Dia menaruh pengharapan pada Kristus bahwa apa yang dijalani ini meski kelihatannya bodoh, meski kelihatannya konyol, ya iya to dipenjarakan seperti itu, tetapi dia menaruh pengharapannya bahwa ini pimpinan Tuhan, sehingga meski sekarang kelihatannya sulit tapi Tuhan akan pakai untuk pekerjaan-Nya dan itu adalah bagian untuk kerajaan Surga yang lebih besar dari yang dia bisa lihat pada masa ini. Dan itu ada aspek maka dia menaruh kepercayaannya itu kepada Tuhan sendiri dan bukan kepada aspek manusia. Di dalam bagian ini ya, saya rasa simple, dan semua orang kalau ditanya, “Percaya Tuhan?” Ya pasti percaya Tuhan. Tanya orang Kristen percaya Tuhan tidak, ya pasti percaya Tuhan. Tuhan siapa? Ya Tuhan Yesus dong pasti. Tetapi pertanyaannya adalah ketika kita mengambil keputusan di dalam pergumulan kita, adakah kita memepercayakan hidup kita pada Tuhan? Itu adalah pergumulan yang lain. Adakah kita mempertaruhkan nasib kita kepada Tuhan dan biarlah Tuhan yang memegang nasib kita di dalam tangan-Nya? Itu adalah suatu pergumulan kan dari pada sekedar ngomong, “Ya saya percaya Tuhan. Saya percaya Tuhan.” Dalam bagian ini, Paulus menaruh nasibnya, dan di dalam apa yang dia kerjakan itu di dalam Tuhan sendiri dan biar Tuhan yang pakai seperti apa, biar Tuhan yang pakai untuk tujuan kerajaan surga meski dia berada di dalam kesulitan dan seperti mengalami pergumulan yang buntu di dalam penjara, di dalam pemenjaraannya.
Dan karena itu saya masuk ke dalam poin yang kedua, yaitu di dalam kehidupan pelayanan Paulus, pernah dia di dalam pekerjannya menaruh pengaharapannya kepada Tuhan Yesus. Dan yang kedua di dalam kehidupan pelayanan kita belajar bahwa kadang-kadang kita mengalami cul-de-sac, jalan buntu di dalam pelayanan ataupun di dalam kehidupan kita, bisa terjadi seperti itu. Lho lha iya to. Paulus pergi pelayanan ke kota, eh buntu, akhirnya masuk penjara. Tetapi di dalam bagian ini ketika kita mengalami cul-de-sac, adanya suatu jalan buntu di bagian itu apa yang kita bisa belajar memang bergantung pada Tuhan sih. Memang segala sesuatunya tidak berada di bawah kontrol kedagingan kita tapi kita berada di bawah kontrol kendali Tuhan sendiri, yaitu dia bergumulnya pimpinan Tuhan itu dia jalani. Ketika dia secara aspek secara rohani dia kerjakan, aspek horizontal mengalami jalan buntu, ya dia tahu itu memang berada dalam kontrol kendali Tuhan juga. Di dalam bagian ini ketika di dalam kehidupan baik dalam pekerjaan, studi, maupun hal-hal lainnya dan terutama di dalam pelayanan, secara totalitas bicara itu ketika kita mengalami ‘gang buntu’ itu apa yang kita bisa belajar di situ? Yang bisa kita belajar ya memang yang berdaulat itu hanya Allah sih. Hanya Allah lah yang ketika Dia merencanakan sesuatu pasti berjalan sesuai rencana-Nya itu, dan tidak mungkin gagal. Dan hanya Allah yang mengatakan dalam Kitab Suci: “rencana-Ku akan Kulaksanakan, apa yang Kutetapkan akan tetap terjadi.” Tetapi manusia, ketika mengerjakan sesuatu, sudah merencanakan sesuatu, bisa terjadi gang buntu, bisa terjadi mentok, dan sebagai macamnya bisa terjadi.
Di dalam bagian itu kita bisa belajar yang pertama dan memang segala sesuatu itu bukan di bawah kontrol kendali kita tetapi di bawah kontrol kendali Allah. Dan ketika berada di bawah kontrol kendali Allah, tidak tentu sesuai dengan bayangannya kita. Ketika Paulus diberikan pimpinan Tuhan untuk jalan ke sana, eh malah terjadi dia masuk penjara. Paulus kan tidak tahu detailnya. Paulus kan tidak tahu bahwa ternyata dalam perjalanan ke sana akhirnya masuk dalam penjara. Dan ketika Paulus masuk dalam penjara dia tidak langsung dapati, ”Oh saya tahu nih, saya akan tulis kitab Filipi,” seperti itu. Dia kan nggak tahu. Ya dia mengalami gang buntu di situ. Yang dia tahu di situlah ada aspek-aspek itu ketika terjadi di dalam kehidupan kita, kita bisa belajar bahwa ya let God be God, let man be man. Biarlah Tuhan itu Tuhan dan manusia itu manusia. Memang manusia dalam kenyataannya di dalam kehidupan kita, kita bisa kadang ketemu jalur buntu itu. Ya kita belajar mengaku dan berserah kepada Tuhan, karena tidak semua ada di bawah kendali kontrol pengaturan kita. Ketika orang berkata mengerti kedaulatan Allah itu bukan cuman ngomong, “oh pokoknya semua itu kedaulatan Allah, terus kita lakukan apapun seenak dewe pasti terjadi,” ya bukan begitu tetapi kita mengerti bahwa hanya Dia yang berdaulat dan saya tidak. Saya cuman hanya berespon dan bertanggung hjawab pada kedaulatan-Nya. Saya hanya belajar berespon bertanggungjawab pada apa yang Dia bukakan, bertanggung jawab pada apa yang Dia nyatakan dalam kehidupan. Baik dalam pergumulan saya pribadi maupun di dalam saya mentaati firman-Nya. Sampai di dalam aspek-aspek lainnya dan ketika terjadi gang buntu, ya saya yang penting saya masih dalam tracknya Tuhan dan itu tidak buntu, yang penting saya kerjakan saja.
Dan memang dalam kehidupan ini, sebagaimana kita lihat dalam Kitab Suci, justru mencatat ada berkali-kali planning bisa mengalami buntu. Kita bisa lihat saja di dalam kisah Perjanjian Lama, seperti dalam pelayanan Musa. Musa itu dipanggil, dia itu nabi apa sih? Musa itu nabi apa sih? Musa itu nabi exodus, Musa itu nabi Keluaran, yang membawa Israel itu keluar dari tanah Mesir, masuk ke tanah Kanaan. Iya kan? Harusnya seperti itu. Dan itulah mengapa dia dipanggil menjadi nabi Tuhan, menjadi wakil Tuhan, membawa bangsa Israel ke tanah Kanaan. Tapi kalau kita baca, sampai akhir dari kehidupan Musa kan gagal. Gagal lho itu pelayanan Musa. Ya dia berhasil tarik keluar, tapi kalau bisa dibilang itu lebih kepada pekerjaan Tuhan ya, sepuluh tulah itu. Berhasil bawa mereka keluar tetapi kan gagal bawa Israel masuk tanah Kanaan. Dan bahkan dia sendiri nggak bisa, nggak boleh masuk tanah Kanaan. Secara manusia itu kita bisa lihat failed, gagal. Tapi ketika itu yang dialami Musa, kita lihat pelayanan Musa itu seperti buntu, tapi memang kemudian hari Tuhan bangkitkan Yosua, meneruskan pelayanan Musa untuk bawa Musa kepada tanah Kanaan itu. Nah itu menarik ya. Kita dalam kehidupan itu bisa seperti itu. Musa dari awal dipanggil menjadi wakil Tuhan untuk apa? Membebaskan bangsa Israel dari perbudakan, dan masuk tanah Kanaan, bawa masuk ke dalam tanah yang berlimpah susu dan madu. Itu sudah yang berkali-kali diomong.Terakhir dia nggak bawa masuk. Artinya apa? Ketika itu ada masalah kesalahan dari Musa, tapi kita lihat itulah bagian kita belajar mengukur kesuksesan kita bukan menurut lifetime-nya kita, bukan menurut rentang waktu kehidupan saya, karena Tuhan akan meneruskan ke berikutnya. Kalau saya buntu, berarti Tuhan akan bangkitkan orang lain untuk teruskan pelayanan ini.
Kembali lagi ya, Musa itu buntu tapi kemudian untuk apa? Ya untuk muncul Yosua itu ya. Dan malah kalau kita bandingkan ya, meskipun Musa itu besar sekali, jauh lebih besar dari Yosua. Yosua itu backgroundnya apa? Apa sih kalau mau dibandingkan, cuma background budak itu, Musa ini lho terpelajar, 40 tahun dia itu di Mesir. Tapi kemudian Yosua itulah yang mensukseskan Israel masuk ke tanah Kanaan dan memenangkan begitu banyak peperangan di dalam penguasaan tanah Kanaan itu. Di bagian ini saya melihat di dalam banyak hal, satu aspek itu ada bisa kita renungkan lihat, itulah mau menyatakan kedaulatan Allah dan memang bisa jadi ini semua semata-mata bukan karena achievement pencapaian Musa, tapi terutama adalah karena anugrah dari Tuhan sendiri, yang memimpin Israel sehingga bisa masuk tanah Kanaan itu. Selain memang, masalah lain itu adalah generasi pertama yang semua lihat tulah itu, yang lihat semua itu mukjizat begitu banyak. Mereka makan manna tiap hari, bayangkan, kita makan? Nggak! Manna itu nggak pernah lihat, gitu ya. Mereka yang makan manna, mereka generasi pertama yang makan manna itu. Mereka menyaksikan begitu banyak mukjizat itu, merekalah yang justru tidak masuk Tanah Kanaan. Nanti malah generasi kedua. Kenapa? Karena pemikiran itu. Ketika buntu, tapi kita memang bergumul selalu, yang penting kita bergumul dengan Tuhan, lihatlah Tuhan akan bangkitkan generasi berikutnya, yang akan meneruskan pekerjaan itu. Karena pekerjaan atau pelayanan itu tidak digantungkan pada kita, tapi digantungkan pada Tuhan sendiri. Hal yang sama pada Elia dan Elisa. Elia, ketika dalam pelayanannya, ketika sudah menang perang itu, di atas gunung, lalu bilang, “Wah saya sudah mengalahkan nabi Baal.” Yang sampai nabi Baalnya semua dibunuh, wah turun hujan dan segala sesuatunya. Di mana setelah itu kan anti-klimaks kehidupannya. Malah terakhir ya sudah, Israel belum juga bertobat, belum sampai banyak seperti apa, dan Elia rasa galau, maka dia juga minta mati. Tapi kemudian Tuhan katakan, “Masih ada 7000 orang yang Aku sisakan, yang tidak tunduk pada Baal.” Dan terutama juga ada Elisa yang kemudian meneruskan pelayanan dari Elia.
Di sini ketika Paulus mengalami pelayanannya buntu, ya Tuhan bangkitkan Timotius. Ya kita harus melihat seperti itu. Ketika buntu, maka Tuhan pasti akan bangkitkan orang lain yang akan meneruskan pekerjaan itu. Dan kita harus melihatnya itu ke depan seperti itu, melihat visi itu ke depan seperti itu. Bukan hanya untuk kita kerjakan, kita nikmatin sekarang. Bukan hanya untuk sukses di dalam masa hidup saya. Tapi adalah saya sukses meneruskannya ke berikut dan biarlah yang orang berikutnya meneruskan pekerjan itu sendiri. Saya ingat dalam suatu ilustrasi yang pernah Pak Tong cerita ya, entah ada seorang yang sangat kaya, suatu hari dia itu hitung uangnya, hitung uangnya. Dia orang yang sangat kaya. Setelah hitung seharian, dari pagi sampai malam, dia setelah hitung-hitung itu semua, kekayaannya, lalu dia nangis. Lalu istrinya tanya, “Pak, kenapa nangis?”
Dia jawab, “Setelah saya hitung uang saya, ternyata uang kita itu cukup untuk 7 turunan. (Lanjut menangis…)”
Terus si istri tanya, “Lho, lantas kenapa nangis kalau cukup 7 turunan?”
“Iya, lalu saya pikir, keturunan ke-8 gimana?” Nggak gitu dong! Keturunan -8 itu ada anugrahnya sendiri, keturunan 8 ada itu berkatnya sendiri. Kita memang nggak bisa kontrol semuanya. Ada bagian kita serahkan pada Tuhan dan biar Tuhan, kita lihat, Tuhan yang pimpin keturunan selanjutnya itu seperti apa? Kita jangan melihat semuanya itu berada dalam seolah-olah kita bisa atur semua sampai detailnya. Dan seolah-olah kalau kita sudah bisa untuk sampai yang sesuai bayangan kita, lalu kita bisa lega, baru bisa tenang, Nggak! Itu adalah bagian ketika simpananmu terkotak (?menit 36:33), hanya berjalan dengan iman, itu adalah apa? Seperti satu kaki menapak di tanah, satu kakinya tuh melayani di udara. Bukan kaya orang yang distrap, gitu ya. Tapi kira-kira, bayangin itu maksudnya adalah apa? Kita memang nggak napak 2-2nya. Ada setengah, memang 1 kaki terangkat di udara, itu artinya apa? Di situ kita belajar bersandar pada Tuhan. Tentu bukan melayang semuanya. Ya itu di dalam pergumulan kita, di antara kita bersandar, kita mengerjakan yang terbaik yang kita bisa lakukan, kita bertanggungjawab dengan aspek yang kita bisa kerjakan. Tapi tetap semua yang kita siapkan itu biarlah tidak menghilangkan persandaran kita kepada Tuhan.
Sehingga di dalam ini, kita nggak masuk di dua kutub ekstrim ya. Ada karena ekstrimnya, “Pokoknya bersandar Tuhan sepenuhnya!” Jadi apa? Nggak usah ada tabungan, nggak ada asuransi segala macam, ya nggak maksud seperti itu. Tapi meski anda bisa punya tabungan yang baik, anda punya deposito dan segala sesuatunya, biarlah kita lihat, kita tidak bersandar kepada itu. Tetap ada aspek lain, ya memang kita lihat, sisanya itu, ya biar Tuhan yang memimpin. Karena, itulah berjalan dengan iman, melangkah dengan iman, mengerjakan segala sesuatunya, lihat di dalam aspek pimpinan Tuhan. Dan kalau masih di dalam kehidupan kita, meski kadang-kadang bisa ada yang anxious, yaitu kekhawatiran yang nggak habis-habis, kita belajar justru menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan. Kembali lagi, ayat-ayat seperti bicara tentang kekhawatiran, itu adalah bagian yang memang bukan karena orang itu ekstrim, gitu ya, fatalisme, “Oh, saya sudah nggak pakai tabungan, nggak belajar. Ujian besok, oh saya percaya Tuhan akan memberikan saya kelulusan.” Rupamu! Gitu ya! Ya kamu belajar, belajar sungguh-sungguh, tapi nanti hasilnya serahkan pada Tuhan. Dan di dalam aspek-aspek lain, itu serahkan, karena Tuhan akan nyatakan, bukakan mungkin di kemudian hari, yang belum kita lewat sekarang. Dan itu yang dialami oleh Paulus di sini.
Saya lanjut adalah ketika, poin ketiga adalah, ketika dia percayakan kepada Timotius di sini, kenapa dia percayakan pada Timotius? Karena dikatakan, Timotius inilah yang sejiwa dengan Paulus. Sejiwa dengan Paulus – ini yang dikatakan. Dikatakan, di dalam Bahasa Indonesianya mengatakan: dia itu punya satu roh dengan Paulus. Atau di dalam lainnya itu bisa ngomong: like-minded, punya sepikiran, atau sejiwa, punya spirit yang sama dengan Paulus. Dan karena itu maka dia percayakan kepada Timotius. Nah ini saya pikir hal yang menarik, karena kalau kita renungkan dan pikir lebih mendalam, ini hal yang besar. Paulus katakan dan sebut Timotius itulah yang sehati sepikir dengan dia, yang begitu sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan jemaat. Saya pikir kalau kita lihat secara konteksnya, secara biblical, ini hal yang besar sekali, kenapa? Karena kita harus ingat bahwa background Paulus itu, dia orang Farisi, kalau lebih tepatnya itu, dia Yahudi totok. Dia sangat kolot sekali dan sangat Yahudi yang ketat sekali. Beda dengan Timotius, Timotius itu sendiri background-nya bukan Yahudi, dia adalah campuran dimana mamanya itu Yahudi Kristen, sedangkan papanya itu orang Yunani. Dan dia background-nya bukan lahir besar dalam agama Yahudi. Tetapi ketika saya renungkan bagian ini, kok bisa ya Paulus itu ngomong Timotius itu yang sejiwa, sehati, sepikir dengan dia. Yang bagian ini kalau kita pikir, padahal background-nya orang Yahudi, mereka itu gaya hidupnya sangat berbeda dengan orang-orang Yunani, dengan orang-orang yang sejaman itu, dengan semua orang lain. Mereka sangat beda tapi kok bisa ngomong yang sejiwa itu justru Timotius.
Saya bisa bayangkan di dalam kehidupan Paulus itu dalam belasan tahun atau bahkan puluhan tahun lama hidupnya dari dia lahir, kecil, dia dibesarkan sebagai Yahudi. Dia dibesarkan yang sehati, sepikir, sejiwa adalah teman-teman rekannya itu adalah seorang Yahudi, bukan yang lain. Dan bahkan kalau saya mau lebih ekstrim, bukan dari ras yang lain. Bukan dari suku etnis yang lain, yang sehati, sejiwa dengan dia, ya sama-sama Yahudi. Tapi kemudian dalam pergumulan kehidupan dia akhirnya setelah kemudian hari malah Allah panggil dia menjadi seorang Kristen, dan makin lama makin lepas dengan relasi kedekatannya dengan orang Yahudi. Meskipun ada orang-orang Yahudi juga yang akhirnya menjadi seorang Kristen, dan justru mula-mulanya mayoritas orang Kristen adalah orang Yahudi. Ini saya ngomong etnisnya, karena Yahudi itu nyampur definisinya baik sebagai bangsa, sebagai etnis, sebagai agama. Itu nyampur memang. Dan di dalam pergumulan seperti itu, kok Paulus bisa ngomong yang sejiwa dengan dia adalah Timotius? Terkadang memang dalam kehidupan kita bisa menemukan ternyata orang yang dekat kita itu bukan orang yang punya, yang share, yang memiliki nilai atau mimpi yang sama dengan kita. Kadang-kadang dalam kehidupan ini orang yang kita pikir dekat, dari dulu lho ini teman main gua dari kecil sampai besar tapi ternyata pemikirannya bisa beda lho, orang-orang yang kita pikir yang paling dekat, orang-orang yang kita pikir inilah yang satu etnis dengan saya, satu ras dengan saya, ternyata bisa kemudian hari itu beda pandangan, beda nilai, dan beda arah ke depan dari kita. Dan di saat yang sama ternyata Tuhan munculkan orang lain yang background-nya totally beda dengan kita tapi ternyata, kalau secara obyektif kita mau melihat saja, bahwa dialah yang memilki pikiran yang sama, sejiwa dengan kita, dan memiliki arah tujuan yang sama dengan kita yaitu bagi pekerjaan Tuhan.
Kembali lagi, ini hal yang sederhana sih, tetapi dalam kehidupan bisa muncul demikian dan pertanyaannya adalah adakah kita memilih tetap yang demikian ketimbang yang pertama tadi? Saya ingat di dalam satu kesempatan Pak Ivan itu bilang ke kami bahwa ketika Pak Tong suruh dia dirikan SKC (Sekolah Kristen Calvin), iya lalu itu SKC itu didirikan,lalu bilang “iya kamu cari guru.” Lalu Pak Ivan itu lalu cari guru-guru, kira-kira siapa yang bisa masuk di SKC, Lalu akhirnya diseleksi segala sesuatunya. Dan dia bilang di dalam menyeleksi itu ada banyak orang tapi kira-kira dia bisa bagi menjadi dua kelompok ini, yang pertama ini adalah kelompok orang-orang yang punya background pendidikan yang sangat tinggi, sudah mahir, punya skill yang baik ya, karena memang sudah pengalaman jadi guru, sudah sekian tahun, ini yang apply ya, sudah punya pengalaman sebagai guru itu lama, tapi itu bukan orang Reformed atau baru-barulah seperti itu, ya baru datang, yang datanglah satu-dua kali, ini ada seperti ini, tapi punya pengalaman yang CV-nya jelas seperti itu. Tapi kemudian ada grup kedua, yaitu orang-orang yang masih shekia gitu ya, yang masih culun-culun seperti itu, ya pengalaman gurunya, ngajar nggak ada, baru juga lulus S1 misalnya seperti itu, tapi kemudian mereka adalah orang-orang yang sudah nangkap spiritnya Reformed itu sendiri seperti apa, sudah punya pemikirian Reformed, memang jemaat di GRII entah di berbagai cabang yang berbeda tapi memang sudah jemaat di GRII. Dan ketika mau memilih diantara kedua kelompok ini, pak Ivan bilang, “Kalau ini yang terjadi ya, selalu ingat pilih yang kedua, bukan yang pertama,” kenapa? Karena kamu pilih yang kedua, oh memang masih culun pak, kemampuannya masih terbatas, Pak Ivan bilang skill itu bisa dilatih, kemampuan itu bisa dilatih, itu bisa disesuaikan dengan berjalannya waktu, tapi yang pertama ini kamu mau tunggu hatinya masuk gerakan kita, mau tunggu sampai kapan? Dari mana tahu kalau memang Tuhan tidak berikan anugerah keselamatan, kembali ya itu tetap anugerah Tuhan, kamu nggak bisa minta-minta, sampai akhirnya, dan itu jangan dipaksa lho, orang kalau hatinya memang nggak di gerakan kita ya, mau dipaksa sampai apa juga ga bisa, karena itu masalahnya memang hati bukan aspek cuma bicara perasaan ya, tapi itu memang menjadi kepercayaan yang paling dalam, dan memang ya dia hatinya nggak di kita. Skill-nya ada tapi hatinya nggak di gerakan ini. Dan Pak Ivan bilang selalu pilih yang kedua itu karena akhirnya kadang-kadang kita harus mengakui meski orang yang “kita rasa nggak sreg” tapi merekalah yang punya sejiwa dengan kita, itu yang harus lebih utama daripada aspek-aspek pengalaman, ataupun kemampuan, dan lain-lain. Skill, pengetahuan itu bisa dilatih, bisa belajar, tapi bicara rohani itu tidak bisa dipaksakan. Memang pada akhirnya, kembali lagi kita bisa doakan, kita bisa ajak, tapi pada akhirnya kalo memang beda ya nggak bisa diapakan, dan harusnya kita cari yang persatuan itu yang esensi dari awal itu, sehati sejiwa, sepikir itu. Adakah kita melihatnya itu yang seperti itu?
Dan biasa teringat juga ada sharing dari teman saya yang dulu di berapa tahun yang lalu, dia ngomong, “Oh saya kalau berteman, berteman dengan siapa saja, bisa berteman dengan siapa saja, mau dia background-nya apa, fakultasnya mana, jurusan mana, terserah, mau dari suku ras mana, saya nggak pilih, bisa berteman dengan siapa saja. Tapi kalau pilih pasangan ya saya ada referensi ras tertentu,” itu kata dia seperti itu. Ya meskipun saya terpikir, ya tapi jangan lupa ya terutama itu harus seiman, tapi memang kadang ada unsur karena itu pemikiran corporate solidarity itu, yaitu adanya rasa solidaritas, kebersamaan kalau itu satu suku, satu rumpun, satu ras serperti itu, dan itu memang sangat lumrah dalam kehidupan kita. Kembali lagi, kita nggak boleh rasis, dan saya bersyurkur juga GRII itu nggak ada rasis gitu ya, hamba Tuhan kita itu aneka macam background, suku, ras, dan bahasa, itu kita justru bersyukur seperti itu, dan kita nggak bisa pilih-pilih, dan terutama adalah yang penting karena memang yang mempersatukan kita itu, adalah bukan masalah ras dan bukan masalah warna kulitnya, tapi adalah sama ditebus oleh darah Kristus, itu pemersatunya. Pemersatunya adalah satu jiwa, satu Roh, yaitu sama karena dapat dari Roh Kudus yang sama. Dan itu harusnya menjadi pemersatunya. Dan saya lihat itu besar sekali ketika Paulus ini background–nya itu orang terdidik, besar sekali orang yang background yang pemilihan ketat sekali, ya pun itu kehidupannya beda sekali. Dia lebih ekstrim sekali, ini Yahudi itu ekstrim sekali bedanya, mereka bahkan cara masaknya itu juga beda sekali, tapi sudah sebegitunya dia kehidupan background, dia dilahirkan, dididik seperti itu lho puluhan tahun. Tapi kok dia bisa ya nanti ngomong, “ternyata yang sehati-sepikir dengan saya, sejiwa dengan saya itu adalah justru Timotius,” orang yang beda dengan dia, tapi dia lihat Roh-nya sama, itu yang penting, itu yang penting. Dan bahkan dia percayakan pelayanan itu kemudian pada Timotius. Saya lihat ya di dalam ke bagian ini, meski ini hal yang sederhana, apakah kita punya kebesaran hati seperti Paulus? Melihat seperti itu, bukan berdasarkan preferensi ras, ataupun suku, ataupun intelektual, ataupun pandangan-pandangan latarbelakang manusiawi, tapi kita lihat adakah memang pimpinan Roh yang sama sampai pada orang itu dan kalau sampai pada orang itu, biarlah dia yang meneruskan pekerjaan itu. Dan itu yang dikatakan Paulus di sini bahwa liatlah yang teruskan pekerjaan Tuhan itu akhirnya Timotius, bukan Yahudi loh, nggak asli lho, iya yang penting Roh-nya asli, dialah yang meneruskan. Tapi banyak orang itu lebih pentingkan dari aspek-aspek yang lain kan, saya mau itu yang warnanya itu sama dengan saya, saya mau itu yang background-nya sama dengan saya, saya mau itu yang level kekayaannya sama dengan saya, tapi Paulus itu mengukurnya dari aspek rohani, rohani itu memang sama dengan saya dan dialah yang meneruskan, ini penting sekali.
Dan itulah yang dikatakan dan direkomendasikan Paulus, bahwa yang keempat adalah, Timotius itu terbukti bahwa dia kesetiaannya itu telah teruji dan bahwa dia telah menolong aku dalam pelayanan injil sama seperti seorang anak yang menolong bapaknya. Kesetiaannya itu teruji, bahwa dia itu memang terbukti bahwa dia setia mengerjakan pelayanan yang dipercayakan pada dia. Dan memang loyalitas Timotius itu yang besar sekali, bukan saja bicara dia loyal melayani itu demi Paulus, tapi ada dia melayani karena dan semata-mata demi Injil, demi Tuhan yang sama yang disembah oleh Paulus. Dan itulah dia lihat, inilah yang akan menjadi penerus saya. Inilah yang akan menjadi successor saya, inilah yang menjadi penerus dari pekerjaan pelayanan yang saya kerjakan. Dan memang menarik kalau kita lihat sejarah gereja nanti bapak-bapak gereja kemudian, itu hanya sedikit sekali orang Yahudi. Ada orang Yahudi ya, tapi campur lebih banyak itu dari suku ras lain. Kenapa? Karena memang melihat lebih ke doktrinnya yang sama, iman yang sama, itulah yang akan meneruskan pekerjaan Tuhan, bukan di kulitnya, tapi masuk ke dalamnya, masuk di dalam rohnya itu. Sebagaimana, dan di bagian keempat ini bicara, yaitu kita harus mencari orang yang meneruskan pekerjaan Tuhan, sebagaimana di bagian sini from founder to successor gitu ya. Dari seorang pendiri kepada penerus, dari guru kepada muridnya, memang kita harus meneruskan pelayanan itu pada orang berikutnya.
Di sini mungkin ada berapa dari kita mengerjakan pelayanan sebagai guru Sekolah Minggu. Adakah kita lihat kita ini teacher, ngajar student kan? Tapi kita lihat kita ngajar ini bukan cuma murid. Kita lihat, percayakan suatu saat murid ini yang akan meneruskan pekerjaan Tuhan, dan dia akan jadi teacher, dia akan jadi guru juga. Karena sama seperti saya juga dulu itu juga diajar di Sekolah Minggu, dan kemudian hari setelah dewasa, ternyata Tuhan pakai mengajar lagi ke generasi selanjutnya. Itu baru jalan. Memang kita dipanggil menjadi murid yang memuridkan. Kita memang, kita kalau hanya berpikir, “oh yang penting saya sudah percaya Tuhan Yesus, oh yang penting saya sudah menjadi murid Yesus yang setia,” maka kalau kita cuma mengerti amanat agung itu yang penting syukur sampai saya, saya selamat pasti masuk surga, maka kalau sampai kita sampai situ saja, kita gagal mengerti bahwa amanat agung, berita Injil itu bukan hanya untuk berhenti di kita, tapi itu kita teruskan lagi ke berikutnya. Untuk kita teruskan lagi ke berikutnya, ke murid selanjutnya. Kalau sampai berhenti dari kita, “oh saya bersyukur saya sudah tahu Injil. Oh saya bersyukur saya sudah tahu amanat agung,” maka itu justru menyetop amanat agung itu, perintah Tuhan cuma sampai di kita. Harusnya kita pikir, teruskan lagi ke berikutnya, teruskan lagi ke selanjutnya. Itulah sebabnya kita melakukan pelayanan seperti KKR. Itulah sebabnya juga kita ada, meski saya tidak pahami sampai detilnya untuk yang di konteks Jogja, yaitu di dalam pembahasan diskusi untuk pembangunan gereja. Kenapa kita kerjakan demikian? Kenapa kita harus kerjakan, garap lebih banyak itu, dan kadang-kadang orang pakai istilah itu kayak buang duit gitu ya, buang duit ke laut, seperti itu, kerjakan habis seperti itu? Karena memang kita ngerti bahwa firman Tuhan itu jangan sampai berhenti di kita saja. Jangan puas sampai di kita saja, tapi kemudian itu berlanjut ke orang lain, ke generasi selanjutnya ini. Dan bahkan di dalam berapa kesempatan seperti saya katakan di jemaat di Solo ya, actually, saya ngomong ke anak-anak remaja, itu saya ngomong, kami yang tua ini janji iman ya, tapi yang nikmati itu kamu sebenarnya. Sorry to say ya, tapi memang kami yang tua ini yang janji iman, yang kerja berat semuanya, tapi memang yang akan menikmati kamu. Tapi ini bukan untuk mau tandingan, tapi untuk melihat bahwa kalau itu nanti kemudian hari kalian menikmati, lihatlah kalian, ingatlah bahwa bukan saja jerih lelah sebelum kalian, tapi ingatlah bahwa untuk kalian teruskan lagi ke berikutnya.
Karena itu baru amanat agung kita kerjakan, bukan cuma stop di kita. Karena kita lihat, itulah yang harus kita teruskan, terus kita kerjakan. Terus kita kerjakan, terus kita bagikan, beritakan pada orang-orang selanjutnya. Tapi kalau kita ingat ya, gereja Filipi ini, ada yang tahu nggak gereja Filipi ini di mana? Ada yang pernah nggak ya jalan-jalan pergi lihat, gereja Filipi ini di mana sekarang? Saya ingat sharing dari Richard Pratt itu suatu ketika itu dalam salah satu kelasnya dia ngomong, dia ikut tur, ya tur gitu ya daerah Turki sana, lalu jalan, “Oh ini areanya Asia minor ya. Ini dulu 7 gereja Asia kecil yang dilayani oleh Paulus.” Lalu sudah lihat tempat-tempatnya, inilah tempat makannya, tempat ininya lah, ininya lah, itu segala macam, terus Richard Pratt itu tanya, “oh gerejanya dulu yang mana?” Terus tour guide-nya itu ngomong, eh, oh itu, dia tunjuk ke bawah. Terus Richard Pratt lihat ke situ, tahu nggak apa yang dia lihat? Masjid. Ya itu mereka lihat, itu dulunya gereja, tapi karena tidak ada yang teruskan pekerjaan Tuhan, habis, habis generasi itu. Dan Richard Pratt ngomong, itu dia percaya adalah karena memang 7 gereja di Asia minor itu tidak mengindahkan ada peringatan Tuhan yang dicatat di dalam kitab Wahyu. Dan di bagian itu kita lihat gereja itu bisa habis seperti itu. Karena apa? Karena tidak dipikirkan penerusnya siapa. Sebagaimana Edmund Burke pernah mengatakan, “all that is necessary for the triumph of evil is that good man do nothing. Yaitu adalah ketika orang yang benar, orang yang tahu sudah pengajaran benar itu tidak mengerjakan apa-apa, cuma berpangku tangan, cuma jadi penonton, di situlah kejahatan akan muncul.” Dan ketika gereja pikir, “oh nggak apa-apalah, dia aja, dia aja yang jadi pelayan, dia aja yang masuk, akhirnya adalah orang-orang yang tidak benar, akhirnya serigala-serigala yang masuk ke gereja, akhirnya akan merusak gereja, yang adalah orang-orang yang sebenarnya tidak punya spirit yang sama dengan Paulus, hanya mencari kepentingan sendiri. Kita jangan berpangku tangan, kita jangan pikir, “oh biar dia, biar dia,” akhirnya orang yang nggak benar itu yang teruskan gereja. Dan jangan heran itu sebabnya gereja habis, habis satu per satu. Semua kitab yang kita baca ini, semua gereja-gerejanya itu mana? Sudah habis satu per satu. Karena apa? Karena mereka tidak pikirkan, yang teruskan pelayanan berikutnya siapa. Dan ketika kita bisa nikmati ibadah seperti hari ini, adakah kita pikirkan, siapakah akan meneruskan pelayanan kita di sini? Siapakah akan meneruskan pekerjaan Tuhan di sini? Dan adakah kita juga berbagian menggumulkan dan mendoakannya, dan mempersiapkan orang yang kelak akan berdiri di mimbar ini dan memberitakan Injil pada generasi selanjutnya? Mari kita satu dalam doa.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]