Ef. 5:25-33
Pdt. Dawis Waiman, M.Div.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita melihat pada kehidupan keluarga saat ini, mungkin kita ada suatu keprihatinan di dalam keluarga-keluarga, termasuk juga di dalam keluarga-keluarga Kristen. Kenapa begitu? Karena pada waktu kita melihat, siapa yang memiliki tanggung jawab di dalam keluarga, yang utama sekali, yang menjadi tulang punggung keluarga, maka saya pikir pertama suami akan berkata, “Itu adalah tanggung jawab kami sebagai seorang kepala keluarga, sebagai seorang laki-laki untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga.” – walaupun tidak semua laki-laki seperti itu. Tetapi ketika berbicara mengenai hal-hal yang bersifat rohani dalam kehidupan keluarga, dan apa yang menjadi urusan internal keluarga, maka suami-suami kemudian berkata,”Itu adalah urusan dan tanggung jawab istri-istri.” Dan suami sama sekali tidak memiliki peran atau keaktifan atau pengorbanan atau kerelaan untuk menyediakan waktu demi untuk kehidupan berkeluarga bersama istri ataupun bersama dengan anak-anak. Jadi pada waktu anak-anak bertumbuh, yang mungkin anak-anak lihat adalah mamanya. Mama yang setengah mati berkerja, berkorban, tapi papanya sama sekali tidak peduli. Lalu pada waktu mamanya mau ingin papanya terlibat di dalam kehidupan keluarga atau berbicara dengan anak-anak dan bicara bahkan dengan istri sendiri, kelihatannya tidak ada satu waktu khusus yang bisa sediakan bagi keluarganya, karena dia sudah terlalu capek sepertinya dengan urusan pekerjaan di luar atau mungkin tidak mau bergabung atau tidak mau meluangkan waktu dalam kehidupan keluarga.
Dan ini sebenarnya adalah sesuatu yang benar atau tidak? Saya percaya kalau kita melihat kepada Alkitab, maka kita akan mendapatkan bahwa ini adalah suatu prinsip yang tidak sesuai dengan Alkitab. Tanggung jawab di dalam keluarga, itu bukan hanya di dalam tangan mama, atau istri, tetapi justru, Alkitab berkata, itu adalah tanggung jawab di tangan daripada suami karena suami adalah kepala dari istri, suami adalah kepala dari keluarga. Tapi kalau suami akhirnya tidak menjalankan peran ini dengan sesungguhnya, dengan seperti apa yang Tuhan kehendaki untuk dijalankan, sangat wajar sekali kalau kemudian perempuan-perempuan merasa bahwa mereka tertindas dan diperlakukan secara tidak adil sehingga mulai muncul suatu gerakan feminisme. Walaupun memang di dalam Alkitab dikatakan, salah satu akibat daripada dosa perempuan yang dia lakukan dengan memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, hukumannya adalah bukan hanya mengalami sakit bersalin, tetapi juga akan berkuasa atas suami. Tetapi, akibatnya dari pada apa? Saya percaya juga akibat dari suami tidak melakukan atau mengambil peran sebagai seorang kepala di dalam kehidupan keluarga tersebut. Jadi kalau mau berkata: Siapa yang salah kalau terjadi sesuatu keberubahan ordo yang ada di dalam keluarga? Siapa yang salah kalau istri tidak mau tunduk kepada suami? Siapa yang salah kalau anak-anak kemudian memberontak, atau anak-anak menjadi anak-anak yang tidak tahu aturan, atau tidak lagi hormat kepada orang tua, atau bahkan mungkin akhirnya ketika dewasa mereka tidak menghargai iman yang dimiliki oleh orang tua dan mulai meninggalkan iman Kekristenan? Mungkin kita bisa ngomong, “Bukannya iman itu adalah sesuatu yang merupakan kasih karunia Tuhan di dalam kebutuhan kita. Karena itu kita nggak bisa paksa dong orang untuk percaya kepada Tuhan? Tapi itu adalah karunia Tuhan yang menggerakkan hati seseorang, melahirbarukan hatinya untuk bawa orang itu datang kepada Tuhan Allah.” Tapi, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, jangan lupa, kita juga ada tanggung jawab. Kita juga ada suatu peran yang Tuhan ingin kita berbagian di dalam rencana keselamatan Tuhan, bukan sebagai seorang Juruselamat, tetapi sebagai keluarga-keluarga yang diberikan suatu tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak di dalam Tuhan.
Saya sangat tidak setuju sekali kalau keluarga Kristen punya prinsip Pancasila. Maksudnya, dasar Negara Indonesia itu kita tidak akui? Bukan begitu! Tapi maksud saya adalah panca agama. Kita berikan kebebasan kepada anak kita untuk memilih agama apa yang mereka kehendaki. Dari kecil, kita berikan kebebasan. “Kamu mau ke gereja, itu adalah tanggung jawabmu. Kamu tidak mau ke gereja, itu tanggung jawabmu, itu terserah, itu yang terbaik yang kamu pikirkan seperti apa. Kamu mau pergi ke vihara, ke kelenteng, ke masjid, itu terserah kamu, itu tergantung pergaulanmu, itu adalah kebebasan beragama.” Saya percaya Alkitab tidak pernah mengajarkan ini. Alkitab dari awal, di dalam Kitab Maleakhi berkata, “Ketika seorang laki-laki, anak Tuhan, menikah dengan seorang perempuan, anak Tuhan, tujuan dari pernikahan itu adalah melahirkan anak-anak ilahi.” Anak-anak ilahi berarti, mereka harus dibesarkan di dalam keluarga Kristen, mereka harus dididik berdasarkan prinsip kebenaran firman Tuhan dalam hidup mereka, sampai mereka besar, sampai mereka pemuda-pemudi, sampai mereka bisa memutuskan sendiri apa yang menjadi tanggung jawab, dan apa yang menjadi iman yang mereka akan ambil. Baru dari situ, mereka kemudian akan menjadi orang yang berjalan bersama dengan Tuhan atau tidak, itu adalah tanggung jawab mereka. Tapi sebelum itu, tanggung jawab orang tua untuk mendidik sampai mereka menjadi orang yang bisa memutuskan apa yang menjadi iman mereka. Itu bukan hak asasi, selama anak itu masih kecil. Mungkin kita bisa ngomong, hak asasi itu bicara tentang kebebasan untuk memilih agama. Tapi selama anak itu ada di dalam naungan orang tua, pemeliharaan orang tua, itu menjadi tanggung jawab orang tua untuk membesarkan anak di dalam iman yang dimiliki oleh orang tua tersebut. Saya percaya ini adalah kebenaran yang Tuhan ingin kita miliki, kita jalankan dalam hidup kita.
Lalu pertanyaannya adalah, yang menjadi tanggung jawab itu siapa? Yang memiliki tanggung jawab itu. Apakah mama saja? Alkitab bilang, bukan mama saja, tetapi itu juga adalah menjadi tanggung jawab dari papa, atau suami di dalam keluarga. Tapi sayangnya begini ya, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kita bisa melihat di dalam, kalau kita komparasi di dalam budaya yang ada dan di dalam keagamaan yang ada, dan perhatian seseorang kepada pentingnya pendidikan agama kepada anak-anak. Saya percaya, sampai hari ini, bangsa Yahudi itu tidak bisa dikalahkan. Mereka memiliki waktu yang begitu banyak sekali untuk dicurahkan bagi pendidikan iman buat anak-anak mereka. Saya bicara orang Yahudi yang taat di dalam ibadah mereka ya. Kemungkinan mereka bisa menghabiskan 360 jam setahun, mungkin bahkan lebih, untuk anak-anak mereka. Itu orang Yahudi. Karena di dalam Ulangan pasal 6 dikatakan: Mereka harus mendidik, mengajar, memperingatkan anak mereka tentang hukum-hukum Tuhan, setiap hari, setiap saat ketika mereka ada bersama, baik mereka berjalan, waktu mereka di rumah, waktu mereka mau istirahat, waktu mereka makan, mereka harus ingatkan anak-anak mereka akan apa yang menjadi janji Tuhan dan kebenaran firman Tuhan. Jadi orang Yahudi begitu tekun dan setia sekali dalam mengajarkan kebenaran ini bagi anak-anak. Yang kedua siapa? Yang kedua itu adalah Katolik. Katolik lebih, mungkin, kira-kira lebih kurang 200 jam dalam satu tahun untuk mendidik anak dan memperhatikan anak-anak. Lalu yang ketiga adalah Protestan. Protestan kurang sekali tapi mendingan dibandingkan ada kelompok yang lain. Tapi walaupun dikatakan tetap mendingan, jauh sekali dibandingkan dengan Katolik. Rentangnya itu terlalu besar sekali. Kalau Katolik kira-kira 200-an jam, Protestan hanya 52 jam. Tiap minggu satu jam, datang ke gereja untuk ikut Sekolah Minggu, habis itu pulang. Saya tanya, orang tua didik anak di dalam kebenaran firman tidak? Saya pikir jarang sekali. Sangat minim sekali. Lalu yang akhirnya kemudian kelompok Injili yang jauh lebih tidak memerhatikan kebenaran untuk pendidikan firman bagi anak-anak tersebut. Nah Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, siapa yang harus bertanggung jawab? Gereja kah? Saya percaya bukan hanya gereja. Gereja hanya punya waktu 52 jam di dalam satu tahun untuk mendidik anak-anak tersebut. Lalu siapa yang memiliki peran yang paling besar, tanggung jawab paling besar untuk mendidik anak-anak itu, dan kerohanian dalam keluarga? Saya percaya itu adalah bukan hanya tanggung jawab mama tetapi juga tanggung jawab suami.
Makanya di dalam gereja kadang prihatin ya. Di dalam keluarga juga prihatin. Saya percaya cerminan dari keluarga itu dibawa ke dalam gereja. Kalau suami-suami tidak memiliki suatu kesadaran akan pentingnya rohani, pentingnya suatu pergumulan dalam iman dan pertumbuhan dalam iman, wajar kalau di dalam gereja laki-laki jarang sekali terjun dalam pelayanan dan terutama di dalam mengajar Sekolah Minggu, karena mereka nggak merasa perlu, itu adalah urusan perempuan, urusan istri di dalam mendidik anak-anak. Bahkan celakanya lagi adalah, itu adalah urusan anak muda, bukan urusan orang tua. Bapak-Ibu kalau mempelajari mengenai dunia pendidikan, maka Bapak-Ibu akan menemukan satu hal, orang-orang yang mendidik anak-anak, guru-guru yang mendidik anak-anak yang kecil, tidak pernah, yang sungguh-sungguh mengerti ya, tidak pernah serahkan pendidikan itu kepada anak remaja atau pemuda yang nggak punya pengalaman tetapi mereka akan serahkan kepada seorang pendidik yang memiliki sekolah tertinggi untuk mendidik anak-anak tersebut. Karena anak-anak adalah seorang yang masih lugu, masih polos, masih gampang dibentuk, masih gampang diarahkan, tidak seperti orang tua yang sudah susah sekali untuk diarahkan. Dan untuk bisa mendidik mereka menjadi orang yang bertanggung jawab di kemudian hari, orang yang memiliki iman yang teguh, siapa yang punya peran? Saya percaya bukan anak muda, bukan remaja, tapi orang tua yang sudah memiliki iman yang teruji, dia yang harus bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak kecil. Dan itu harus dimulai dari seorang kepala keluarga yang memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan rohani di dalam keluarga, masing-masing keluarga Kristen. Karena itu, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kemudian kita lanjutkan kembali, kenapa suami-suami atau kepala keluarga itu tidak mementingkan apa yang menjadi kebutuhan keluarga, kebutuhan rohani di dalam keluarga, atau pertumbuhan atau keperkembangan dari pada keluarganya? Karena mungkin di dalam budaya kita, kita sudah terpaku dengan satu prinsip bahwa, kalau kita mau bicara mengenai budaya, laki-laki tanggung jawabnya di luar, istri tanggung jawabnya di rumah. Bahkan sekarang di dalam zaman feminisme, kelihatannya istri pun tidak perlu bertanggung jawab sepenuhnya di rumah, tapi boleh bertanggung jawab bekerja di luar, dan menyerahkan urusan rumah tangga kepada, celakanya lagi adalah, kepada orang yang sama sekali bukan keluarga, bukan orang tua di dalam membesarkan anak. Tapi ini kalau kita bicara mengenai suatu keadaan atau pandangan yang ada di dalam masyarakat.
Alkitab sendiri berkata apa? Alkitab berkata, kenapa suami tidak memiliki peran atau tanggung jawab di dalam keluarga? Sebab paling mendasar adalah karena suami tidak tunduk di bawah firman Tuhan. Karena Alkitab berkata, suami adalah kepala istri. Tapi kemudian dia berkata, “Itu bukan tanggung jawab saya.” Kalau bukan tanggung jawab suami, siapa? Padahal Alkitab berkata itu adalah tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga. Dan bahkan mungkin, suami itu adalah orang yang betul-betul tidak peduli terhadap apa yang menjadi kebenaran firman di dalam kehidupan mereka. Bapak Ibu boleh lihat ini dari banyak hal ya. Boleh lihat dari PA yang dihadiri, boleh lihat dari Persekutuan Doa yang dihadiri, boleh lihat dari banyaknya pelayan laki-laki atau perempuan di dalam gereja. Itu memperlihatkan seberapa care seorang laki-laki dibandingkan seorang perempuan terhadap hal-hal yang rohani dalam kehidupan dia, apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam kehidupan dia. Saya nggak ngomong semua perempuan lebih baik dari laki-laki, ada yang laki-laki lebih baik tentunya, ada yang perempuan juga tidak peduli akan hal ini. Tetapi kita sudah bahas mengenai istri sebelumnya, makanya hari ini saya mau fokus kepada suami-suami. Itu adalah peran suami, atau dosa suami yang membuat suami tidak terlalu peduli akan urusan keluarganya. Dia tidak tunduk dan taat pada apa yang menjadi kebenaran firman. Itu yang membuat dia tidak peduli dengan apa yang terjadi didalam kehidupan keluarga, dan apa yang terjadi dalam pergumulan istrinya. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kita pernah lihat di dalam 1 Petrus 3:7 ya. Petrus berkata, “Hai suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu.” Bijaksana berarti, hai suami, hiduplah dengan suatu pengetahuan, pengertian akan isterimu, bahasa yang lebih tepat. Dan sebagai kaum yang lebih lemah, hormatilah mereka terutama sebagai pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang. Jadi Petrus mau berkata, sebagai seorang suami, apa yang menjadi tanggung jawab dia sebagai seorang kepala? Tanggung jawabnya adalah dia harus mengerti apa yang menjadi kesulitan istrinya, dia harus mengerti apa yang menjadi pergumulan istrinya, dia harus mengerti apa yang menjadi kekhawatiran istrinya, dia harus menjadi seorang yang mengerti apa yang menjadi pengharapan dari istrinya, dia harus mengerti bagaimana kesulitan istrinya di dalam membesarkan anak, dia harus mengerti bagaimana susahnya istrinya harus mengurus segala sesuatu yang ada di dalam keluarga itu, dia harus mengerti segala sesuatu, dan sebagai seorang yang memiliki kekuatan yang lebih besar dari istrinya dia harus menjadi seorang yang melindungi istrinya. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, seorang suami tidak boleh menjadi orang yang tidak pedulian tetapi dia harus menjadi orang yang sungguh-sungguh mengerti apa yang menjadi pergumulan yang ada di dalam keluarga, karena seorang pemimpin tidak mungkin menjadi seorang pemimpin yang baik kalau dia tidak pernah tahu apa yang menjadi situasi, bahaya, dan kebaikan, kelemahan, dan kekuatan yang ada di dalam keluarganya.
Di dalam bagian ini, kalau di dalam kita kembali kepada Efesus pasal yang ke-5, Paulus menggunakan suatu istilah. Ketika seorang suami menjalankan semua prinsip yang dikatakan di dalam 1 Petrus tersebut, Paulus menggunakan satu kata untuk menjelaskan itu semua yaitu suami-suami harus mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi jemaat. Lalu kasih seperti apa yang suami harus berikan kepada istrinya tersebut atau kepada keluarganya? Yaitu sebuah kasih yang sacrificial. Sacrificial itu apa? Kasih yang berkorban, mengorbankan dirinya bagi istri dan anak-anaknya. Itu harus terjadi. Mungkin kalau kita lihat di dalam perkembangan dunia ini, saya percaya tidak ada orang yang tidak bergumul di dalam cinta. Baik itu orang Kristen ataupun bukan orang Kristen, mereka pasti mengalami suatu proses di mana mereka akan bergumul dengan apa yang namanya cinta. Tapi saya tanya yang namanya cinta itu apa? Saya pernah dengar satu lagu Katie Melua, dia tentang lagunya itu judulnya apa, saya menjadi seperti seorang yang gila kayak gitu. Lalu di dalam lagu itu dia bertanya, “Kenapa ya setiap kali saya lihat laki-laki itu matanya dan segala macam, saya jadi seperti orang yang gila? Aku nggak ngerti kenapa seperti itu, punya perasaan seperti ini? Aku ini orangnya sudah cukup tua lho, secara usia saya cukup dewasa tapi kenapa begitu melihat kepada laki-laki itu saya menjadi seorang yang bertingkah laku seperti anak remaja lagi yang berusia belasan tahun?” Dia bingung-bingung, akhirnya dia tahu satu hal, dia bilang, “Oh saya tahu ternyata ada koneksi antara laki-laki itu dengan rasa gila di dalam pikiran saya dan hati saya.” Itu cinta bukan? Cinta itu apa? Saya bersyukur sekali ketika kita membaca Kitab Suci, Alkitab tidak memberikan kita suatu pengertian yang tanpa dasar tanpa arah yang jelas atau definisi yang jelas sekali.
Pada waktu kita berbicara mengenai cinta, Alkitab tidak pernah berkata cinta itu hanya berdasarkan feeling atau perasaan semata. Dunia seringkali mengidentikkan cinta dengan perasaan, emosi yang saya miliki terhadap seorang yang lawan jenis itu cinta, perasaan suka seperti itu. Tetapi pada waktu Alkitab berbicara mengenai cinta, yang dimaksud dengan cinta itu adalah seperti Kristus mengasihi jemaat dengan mengorbankan diri-Nya, itu cinta. Jadi ketika seorang suami berani berkata, seorang laki-laki berani berkata kepada istirnya atau seorang perempuan, “Aku mencintai engkau,” pertanyaannya adalah engkau berani tidak belajar mengorbankan dirimu di dalam segala hal demi untuk kebaikan pasanganmu? Kalau kita tidak berani untuk melakukan itu, itu bukan cinta. Kalau kita ingin melakukan itu kita tidak mengerti apa yang menjadi kebaikan pasangan kita, itu juga bukan cinta. Itu hanya memberikan suatu kebaikan yang bersifat mungkin emosional, tetapi kita tidak tahu itu akan menghancurkan kehidupan dari pasangan kita dan keluarga kita. Jadi kita harus mengerti apa itu kebenaran, apa itu menjadi kehendak Tuhan, apa yang terbaik bagi pasangan kita, lalu kita harus mencurahkan, mengorbankan diri kita, bukan mementingkan diri kita kembali, hanya diri kita, tetapi kita harus mencurahkan seluruh tenaga kita, pikiran kita, waktu kita demi untuk pasangan kita dan keluarga kita. Itu berarti seorang suami mengasihi istrinya atau keluarganya. Karena Kristus sendiri telah menjadi teladan itu bagi diri kita dengan melihat bahwa kita adalah jemaat dan dia adalah Tuhan, dan seorang suami adalah wakil Kristus. Dia digambarkan seperti seorang, seperti Kristus yang menjadi kepala yang mengasihi daripada istrinya yang adalah jemaat.
Jadi Alkitab bicara soal kasih yang sangat jelas sekali mengenai hal ini ya. Suatu dasar yang tidak bisa kita tawar menawar lagi dalam kehidupan kita. Kalau kita ingin mengatakan diri kita Kristen, mulai hari ini saya harap bapak-bapak mulai belajar bertanggung-jawab terhadap kehidupan istri dan anak-anaknya. Bapak-bapak mulai belajar berkorban untuk kebaikan istri dan anak-anaknya. Dan kalau mau ditanya sampai seberapa jauh saya harus belajar berkorban? Berapa jauh? Kristus ngomong sampai kapan? Sampai mati. Itu yang harus terjadi. Jadi itu bukan sesuatu yang boleh ditawar ya. Kalau kita mengatakan diri kita Kristen, belajar mulai tidak terlalu lagi mementingkan diri kita tetapi kita mulai belajar bagaimana mengasihi pasangan kita dengan mengorbankan waktu kita, pikiran kita, tenaga kita, walaupun mungkin bapak-bapak sudah lelah bekerja di luar dengan urusan yang di luar, tetapi tanggung jawab keluarga tetap ada di tangan suaminya. Saya percaya bukan hanya Alkitab yang berbicara mengenai hal ini ya. Seorang kepala punya tanggung jawab yang besar itu dimengerti oleh orang dunia sekalipun kok. Bapak ibu kalau lihat dari dunia pekerjaan, kalau sampai suatu company itu mengalami kerugian, yang diganti itu siapa? Yang bertanggung jawab siapa? CEO-nya kan? Kalau sebuah, kita memiliki sebuah, misalnya, PSSI, PSSI itu Persatuan Sepak Bola Se-Indonesia ya, kita punya tim, tim andalan Indonesia. Lalu tim ini kita tandingkan dengan tim lain dari negara lain, lalu kalah misalnya, tidak berprestasi. Yang kita ganti itu pemainnya atau pelatihnya? Pelatihnya. Dan ini adalah suatu prinsip yang saya percaya itu juga dinyatakan oleh Kitab Suci dalam kehidupan keluarga. Sebagai seorang pemimpin jangan takut memiliki pikiran yang pusing akibat urusan-urusan yang bukan hanya di luar saja tetapi ada di dalam keluarga. Karena kita kalau ingin menjabat sebagai seorang pemimpin dan kepala dalam keluarga, itu sudah menjadi resikonya. Tetapi resiko yang lebih besar lagi adalah semua tanggung jawab, kerusakan di dalam keluarga itu ada di dalam tangan suami dan bukan di dalam tangan istri semata. Makanya pada waktu Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Adam bisa berkata “Tuhan itu akibat perempuan ini lho yang membuat saya jatuh di dalam dosa, bukan saya yang mau makan tetapi perempuan ini yang memberikan buah itu kepada saya sehingga saya memakannya,” salah siapa? Bapak-bapak pasti suka kalau ngomong istrinya yang salah, tapi Tuhan enggak gampang ditipu lho, Tuhan ngomong, “Oke kamu bilang istrimu salah, baik, memang dia salah dia makan, tetapi tetap ingat kamu kan kepala,” karena itu Tuhan ketika memberikan hukuman Dia bukan hanya diberikan kepada ular yang mencobai, tetapi Ia juga memberikan hukuman kepada istrinya Hawa itu, tetapi Dia juga hukuman kepada Adam sebagai seorang suami yang telah mengijinkan istrinya berdosa di depan mata dia, dan bahkan dia mau terlibat untuk ikut berdosa bersama-sama dengan istrinya. Kita kalau melihat kehidupan yang ada di dalam keluarga, lalu kita tutup mata kita tidak mau ambil pusing, lalu kita cuma tahu sebagai seorang kepala kita menyalah-nyalahkan apa yang terjadi di dalam keluarga, saya percaya itu bukan seorang kepala yang baik, tetapi kepala yang tidak bertanggung jawab di dalam kehidupan keluarganya, karena kepala seharusnya punya suatu tanggung jawab kepada apa yang terjadi di dalam kehidupan keluarga.
Yang kedua adalah tanggung jawab itu, mungkin saya tadi sudah singgung sedikit, tanggung jawab itu bukan hanya bersifat pendidikan, bukan bersifat apa yang menjadi kebutuhan pasangan, apa yang menjadi pergumulan dan kesulitan apa yang mereka hadapi dalam kehidupan mereka, tetapi seorang kepala juga harus menjadi kepala yang memperhatikan kerohanian daripada istrinya. Di sini dikatakan adalah “Kristus menyerahkan diri-Nya kepada jemaat untuk menguduskannya sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan Firman.” Berarti pada waktu Kristus datang ke dalam dunia ini, karena begitu besar kasihNya , Dia mau mati di atas kayu salib, kematian-Nya bukan suatu kematian yang selesai begitu saja untuk menyelamatkan manusia, tetapi Dia memiliki tujuan, satu tujuannya lainnya untuk menguduskan manusia itu, untuk menyucikan mereka, untuk membuat mereka layak di hadapan Tuhan, di hadapan BapaNya. Dan sebagai suami, suami adalah wakil Tuhan di dalam keluarga, tanggung jawab suami adalah apa? Tanggung jawab suami adalah turut menguduskan istrinya, turut menyucikan istrinya dalam kehidupan dia. Artinya adalah suami jangan cuma bepikir masalah masalah fisik, masalah penampilan dari pasangannya, tetapi suami harus memikirkan masalah rohani dan kedewasaan iman dari pasangannya. Dan Ibu-ibu juga, engkau mau menarik hati suamimu? Caranya bukan dengan berdandan yang menarik-menarik yang seksi-seksi seperti itu, apalagi di depan umum, karena Alkitab berkata secara spesifik sekali, kalau kencantikan seorang istri itu bukan terletak dari bagaimana dia berdandan dan ditampilkan di muka umum dan termasuk di muka suami, walaupun mungkin juga bukan berarti istri enggak perlu dandan sama sekali di depan suami ya, saya percaya ada bagian itu, tetapi kalau seorang istri dan seorang suami punya prinsip engkau harus tampil di depan saya karena itu daya tarikmu di depan saya, itu yang membuat aku mencintai engkau, saya pikir itu terlalu naïf, terlalu dangkal sekali di dalam mengerti cinta, karena apa? Karena semua orang pasti akan menua, semua orang pasti akan mengalami sakit di dalam hidupnya, semua orang yang secantik apapun akan menjadi seorang yang tidak menarik lagi di dalam kehidupannya. Lalu daya tarik yang sesungguhnya apa? Di dalam 1 Petrus 3 dikatakan istri harus punya daya tarik internal, rohani yang sungguh-sungguh takut akan Tuhan, itulah yang menjadi kecantikan orang istri dan daya tarik istri di hadapan suaminya. Karena itu suami yang bijaksana, dia bukan hanya suruh istrinya olah raga, suruh istrinya melangsingkan diri, suruh istrinya diet, suruh istrinya dandan semenarik mungkin, tapi perhatikan kerohanian istrimu, pertumbuhan imannya, bawa dia mengenal Kristus, bawa dia hidup di dalam pengudusan dan penyucian di dalam kebenaran firman, dengan begitu Saudara memelihara keutuhan keluarga Saudara. Apa yang membuat seseorang itu tidak lagi ingin mempertahankan kesatuan keluarga? Saya percaya yang pertama adalah mungkin karena dia sudah melakukan dosa yang terlalu jauh dalam hidup dia. Yang kedua adalah karena dia tidak pernah menyelesaikan masalah dalam hidup dia dan dia terus menumpuk kebencian dan dendam di dalam hatinya terus menerus sampai pada titik puncak dia meledak dan tidak bisa menahan lagi. Tapi kalau kita membawa diri kita bertumbuh di dalam iman, bertumbuh di dalam kasih Kristus, kita membawa pasangan kita bertumbuh di dalam Kristus, saya yakin itu akan menghindarkan kita dari dosa. Tapi di sisi lain itu akan membuat kita memiliki hati yang ingin selalu mengampuni dalam hidup kita dan tidak menyimpan dendam atau menyimpan bangkai yang tidak berguna, yang bau itu dalam hati kita yang membuat keluarga kita akan hancur. Jadi seorang suami memiliki tanggung jawab bukan hanya sebagai seorang kepala, bos yang memerintah istri, tetapi seorang suami harus memiliki suatu tanggung jawab untuk mengerti apa yang menjadi pergumulan istri dan demi untuk bisa istrinya hidup di dalam kebaikan dia mau berkorban demi untuk kebaikan istrinya tersebut, tetapi juga memimpin istrinya di dalam pertumbuhan kesucian hidup dia dan kebenaran firman Tuhan.
Yang ketiga adalah, pada waktu berbicara mengenai seorang kepala, apa yang harus menjadi suatu sikap yang dinyatakan oleh seorang suami? Dia bukan hanya mengerti dengan berkorban diri apa yang menjadi kebutuhan istrinya tetapi dia harus menjadi seorang yang memperlakukan istrinya seperti dirinya memperlakukan tubuhnya sendiri. Maksudnya apa ya dia harus memperlakukan istrinya seperti diri dia memperlakukan tubuhnya sendiri? Itu dicatat di dalam ayat 28, di sini dikatakan “ketika juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatnya sama seperti Kristus terhadap jemaat karena kita adalah anggota tubuhNya.” Saya percaya ini berbicara kalau seorang suami yang berkata dia mengasihi istrinya maka kasih itu harus disertai dengan suatu keinginan dan suatu tindakan untuk memelihara istrinya seperti dia memelihara dirinya sendiri. Atau istilah lainnya seperti ini, kalau Bapak-bapak merasa lapar, Bapak-bapak akan menunda makan tidak? Kalau Bapak-bapak merasa butuh rekreasi, Bapak-bapak menunda rekreasi tidak? Kalau Bapak-bapak merasa bahwa ada sesuatu yang merupakan hobi dan harus dikejar, Bapak-bapak akan kejar itu atau tidak? Apa yang Bapak-bapak merasa itu adalah “sesuatu yang saya ingini, saya rasa itu perlu, itu adalah kesenangan saya, dan demi untuk mendapatkan kesenangan itu saya harus segera lakukan itu,” maka lakukan hal yang sama kepada istrimu. Istri punya kesenangan apa, penuhi. Istri punya suatu kerinduan apa, coba dengarkan dan coba lakukan itu. Istri punya suatu pengharapan apa, coba jawab harapan tersebut. Kalau istri merasa itu adalah suatu kebutuhan yang mendesak jangan ditunda-tunda, lakukan itu saat itu juga untuk penuhi apa yang menjadi kebutuhan istri. Saya percaya itu bukan sesuatu yang gampang. Tetapi inilah yang menjadi suatu dasar kita bisa berkata saya mengasihi pasangan saya atau istri saya. Kenapa begitu? Karena Alkitab berkata ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan maka mereka bukan lagi dua tetapi mereka adalah satu. Nah kesatuannya bersifat apa? Saya percaya kesatuan ini bukan sesuatu yang hanya bersifat spiritual saja tetapi di dalam bagian ini Paulus mau mengajar kita melihat itu adalah satu kesatuan yang dimulai dari kesatuan fisik yang ada diantara laki-laki dan perempuan. Mungkin kalau mau ambil contoh adalah seperti ini ya, ketika seorang menikah kesatuan fisik dikatakan sebagai sebenarnya bukan hanya bicara kesatuan seksual saja ya tapi mungkin kita bisa ambil dari contoh itu. Laki-laki ketika menikah dengan seorang perempuan, dia bersetubuh dengan seorang perempuan lalu melahirkan seorang anak, anak itu anak siapa? Gabungan antara papanya dan mamanya. Satu tidak? Itu satu. Jadi pada waktu seorang menikah jangan dilihat kita berdua lagi dua kepentingan, dua tujuan, dua arah, dua kebutuhan, kita itu satu. Dan bahkan di dalam 1 Korintus 6:16 di situ dikatakan ketika seorang laki-laki berani bermain-main dengan seorang pelacur dia sudah mempersatukan diri dia dengan pelacur tersebut. Pasti ada suatu konsekuensi ketika seseorang berani bermain-main dengan seorang perempuan yang selain dari pada istrinya, bahkan kita bisa ngomong kalau dia berani tidak peduli dengan pasangannya dan dia berani melakukan sesuatu dosa terhadap pasangannya, bahkan dia berani kemudian untuk memutuskan meninggalkan pasangannya. Kesatuan itu menjadi sesuatu yang akan menuntut konsekuensi dalam kehidupan Bapak-Ibu, suami dan istri, tapi terutama juga kepada suami. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ketika seseorang yang sudah dipersatukan Alkitab bilang mereka tidak boleh dipisahkan, dan itu berarti bahwa pada waktu seseorang itu sudah menjadi satu memang mungkin terjadi suatu kesalahan, bisa saja kita jatuh di dalam dosa dan melakukan suatu kesalahan di dalam kehidupan kita atau kita bisa mengeraskan hati kita untuk tidak mau mempertahankan apa yang menjadi kehendak Tuhan di dalam sebuah kehidupan keluarga kita, tetapi pada waktu kita mengambil keputusan tersebut untuk memisahkan pasangan kita dari kehidupan kita Tuhan mengasihi tidak? Saya percaya Dia punya kuasa untuk mengampuni dan kembalikan kasihNya kepada diri kita, tapi ingat satu hal kalau dia bertobat sungguh-sungguh dihadapan Tuhan, dan yang kedua dia pasti ada bagian dari diri dia yang tidak pernah mungkin selesai. Ada sesuatu yang menjadi masalah dalam hati dia yang tidak pernah beres yang menjadi konsekuensi dari keputusan dia tersebut yang merusak atau merobek kesatuan yang ada yang sudah dipersatukan oleh Tuhan Allah. Itu suatu cacat yang akan dibawa seumur hidup dia.
Jadi sebagai seorang suami kita harus belajar mengasihi istri. Kasih yang seperti apa? Kasih yang mengorbankan diri. Kasih yang seperti apa? Kasih yang menuntun istri kita hidup di dalam penyucian. Kasih seperti apa? Kasih yang melihat apa yang baik bagi istri seperti kasih seperti kita memperlakukan diri kita apa yang baik bagi diri kita. Itu kita berikan kepada istri kita. Tapi dari prinsip ini juga bapak ibu harus perhatikan suatu hal bahwa yang namanya kasih bukan memenuhi segala keinginan kita. Suami punya peranan mengasihi untuk memperdulikan apa yang menjadi kebutuhan pasangan dan keluarga, bukan memenuhi semua yang diinginkan istri dan keluarga. Paham ya. Pada waktu kita di hadapan Tuhan, Tuhan berkata Dia adalah Allah yang adalah Bapa kita di dalam Kristus. Lalu pada waktu Dia adalah Allah kita dan Bapa kita di dalam Kristus, apa yang menjadi pekerjaan Allah itu dalam kehidupan kita? Salah satunya adalah Dia memenuhi apa yang menjadi permohonan kita, doa kita yang kita minta kepada Bapa kita. Ada di dalam injil dikatakan apa yang engkau minta Tuhan akan penuhi, mintalah, carilah, ketuklah, maka Tuhan akan menjawab atau memberikan apa yang kita minta itu. Tetapi ada suatu jawaban, “Kalau bapaku di dunia saja mengerti bahwa kalau anakmu minta roti tidak akan diberi batu, meminta ikan tidak akan diberi ular, apalagi Bapaku di sorga, Dia mengerti apa yang terbaik bagi diri kita.” Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, Tuhan tahu bahwa Dia adalah pemelihara hidup kita seperti seorang suami memelihara kebutuhan istrinya. Dia tahu apa yang menjadi pergumulan kita, kebutuhan kita. Kalau Bapak-Ibu pengin lihat pengertian ini, Bapak-Ibu bisa lihat dari Kitab Keluaran. Di dalam Kitab Keluaran bangsa Israel berdoa ratusan tahun meminta Tuhan mengeluarkan mereka dari Mesir. Saat itu Tuhan tidak menjawab jawab. Tetapi ketika waktunya tiba, di situ Tuhan berkata kepada Musa, “Aku sudah memperhatikan, Aku tahu segala kesulitan yang dialami umat-Ku Israel, segala pergumulan mereka Aku tahu semuanya itu. Makanya Aku utus engkau Musa untuk membawa mereka keluar.” Jadi pada waktu Tuhan mengerti segala kebutuhan kita, kesulitan kita, itu seperti seorang suami mengerti apa yang menjadi pergumulan dari pada istrinya. Tetapi satu hal, ketika Tuhan menjawab Tuhan tidak selalu menjawab Tuhan tidak selalu menjawab berdasarkan apa yang kita minta, apa yang kita inginkan, tetapi Tuhan menjawab berdasarkan apa yang kita sungguh-sungguh perlukan di dalam kehidupan kita. Jadi wajar ya kalau misalnya di dalam satu kehidupan keluarga isteri pengin minta ini dan itu, kadang-kadang suami bisa ngomong tidak ya. Dan saya percaya itu juga menjadi salah satu dasar menyatakan suami itu memiliki otoritas di dalam kehidupan keluarga. Jadi, belajar kasih itu melibatkan suatu care, kepedulian, kepedulian terhadap pasangan kita yang dinilai berdasarkan apa yang menjadi kesenangan kita juga, apa yang kita anggap penting, apa yang kita butuhkan, kita harus perlakukan hal yang sama kepada pasangan kita seperti kita memperlakukan diri kita. Itu namanya kasih.
Yang keempat adalah, pada waktu seseorang menikah, ini bicara tadi tentang kesatuan juga, maka Bapak, Ibu, dan Saudara yang dikasih Tuhan, pernikahan itu adalah sebuah pernikahan yang tidak boleh diceraikan oleh manusia. Karena pada waktu ePaulus berbicara mengenai pernikahan itu, di dalam ayat 31, di situ dikatakan, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.” Pengertian ini satu sisi adalah bicara mengenai kita sudah dipersatukan, jadi apa yang menjadi kebutuhan isteri, kebutuhan kita juga. Tetapi di sisi lain, satu ini juga berbicara mengenai suatu keadaan yang tidak boleh dipisahkan sampai kematian memisahkan. Karena ini adalah satu kebenaran yang tercatat di dalam Kitab Kejadian dan juga di dalam Matius Pasal yang ke 19, “apa yang sudah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia,” kalau sampai terjadi perceraian itu adalah akibat kekerasan hati manusia tetapi bukan kehendak Tuhan Allah. Karena itu pada waktu seseorang ingin menikah, sudah menikah, segala yang menjadi kelemahan isterinya, segala yang menjadi kekurangan pasangannya, segala yang menjadi kejelekannya, itu menjadi satu paket di dalam pernikahan tersebut, di mana kita tidak boleh lagi membuka mata lebar-lebar untuk melihat segala kejelekan itu lalu mengkritisi pasangan kita, tetapi, kalau saya pakai istilah Pak Tong, “Kita harus menutup sebelah mata terhadap pasangan kita.” Selama pacaran harus buka dua mata, selama setelah menikah tidak pernah boleh buka dua mata lagi terhadap pasangan kita, tetapi menutup sebelah mata karena kita tidak perlu lagi, atau tidak boleh lagi mengkritisi, dan menjelekkannya, dan menjadikan itu sebagai alasan kita berpisah dengan pasangan kita.
Kalau Saudara sudah menikah, itu adalah konsekuensi yang harus Saudara harus tanggung seumur hidup Saudara, dan Saudara harus jalankan seumur hidup Saudara. Karena itu, yang penting apa? Yang penting adalah mulainya, bukan setelahnya untuk mengkoreksi itu, itu sulit sekali saya percaya. Yang penting adalah kita mulai dengan jalan yang benar. Perhatikan ya, para pemuda dan pemudi, perhatikan baik-baik. Kalau engkau ingin menemukan keluarga yang diberkati oleh Tuhan, mulailah dengan cara yang benar, sesuai dengan prinsip firman Tuhan, jalankan segala yang firman Tuhan katakan mengenai pasangan yang baik itu seperti apa, yaitu pasangan yang ada di dalam Tuhan, pasangan yang takut akan Tuhan dalam hidupmu. Lalu kalau Saudara kemudian tanya, siapa pasangan yang takut akan Tuhan itu, siapa yang paling tepat untuk diri saya, jawabannya apa? Saya percaya, kalau Saudara betul-betul ingin hidup berdasarkan pimpinan Roh Kudus di dalam hidup Saudara, dipenuhi oleh Roh Kudus, yang berarti Saudara ingin berjalan sesuai dengan kebenaran firman dalam hidup Saudara, Saudara akan menemukan pasangan yang cocok untuk Saudara, yang tepat sesuai dengan kehendak Tuhan. Permasalahannya, kita sering kali tidak menjadikan Alkitab sebagai penuntun untuk menentukan siapa pasangan yang tepat itu atau yang bukan tepat lah ya, pasangan yang sepadan dengan diri kita. Kita ndak gunakan Alkitab punya perkataan untuk menuntun, tapi kita gunakan perasaan kita untuk memilih seseorang itu. Dan bahkan perasaan itu sering bertentangan dengan kebenaran firman Tuhan. Setelah itu apa? Setelah itu bukan biarkan segala sesuatu berlalu begitu saja dan akan menempatkan pada posisinya sendiri, saya percaya ada hal lain yang perlu kita pertimbangkan.
Yang kedua adalah, dia bukan hanya seorang yang takut Tuhan, dia bukan seorang yang betul-betul memiliki cinta akan Tuhan, tetapi dia juga memiliki reputasi yang baik di dalam masyarakat. Ini yang seringkali kita lupa ya. Waktu seorang anak muda jatuh cinta, dia ndak pandang reputasi pasangannya, yang dia lihat adalah “saya suka dia, dia suka saya, selesai masalah.” Dia juga enggak terlau pertimbangkan mengenai imannya bagaimana. Beberapa waktu yang lalu, anak saya mendadak WA saya, lalu dia bilang kayak gini “Pa, Papa pernah bahas tentang pernikahan beda agama kan?” Saya tanya, “Memang kenapa?” Lalu Mamanya jawab “Alkitab ndak pernah boleh ijinkan pernikahan beda agama.” Habis itu ndak pernah bicara lagi, pas setelah beberapa hari kemudian saya tanya “Waktu itu kalian bicarakan apa sih dalam kelas?” “Iya, waktu itu ada guru yang mengangkat masalah ini, tetapi…” Saya tanya “Lalu tanggapan teman-teman bagaimana?” “Ya, ada….akhirnya…” “atau akhirnya guru itu bagaimana melihat nya?” “Akhirnya guru itu serahkan pada masing-masing orang untuk memutuskan itu bagaimana,” karena apa? Di antara teman-temannya sendiri ada yang berpacaran beda agama, itu membuat akhirnya guru tidak berani mengambil sikap juga. Nah Saudara, pada waktu seperti ini, yang terjadi, saya tanya, “temanmu bagaimana sikapnya?” “Dia jengkel, marah terhadap apa yang gurunya bahas, atau tema itu, yang dibahas itu.” Ini realita ya, kita pernah muda, semua orang yang muda mungkin pernah mengalami ini, walaupun tidak semua. Waktu sudah jatuh cinta, ndak peduli ngomongan Alkitab apa, ndak peduli omongan orang tua seperti apa, yang penting saya suka dia, dan semua orang yang berbicara jelek mengenai pasangan kita, kita anggap musuh, walaupun orang itu berjasa di dalam membesarkan kita. Kita ndak bisa seperti itu Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kita harus buka mata. Maksudnya Saudara-saudara ya, Bapak-Ibu sudah ndak bisa diganggu lagi, Saudara-saudara, kita harus buka mata, kita harus menerima masukan, kita harus lihat reputasi orang yang akan kita hidup bersama itu seperti apa di pandangan orang lain, dia orang yang bertanggung jawab tidak, dia orang yang hidup sesuka hatinya tidak, dia adalah orang yang cuma manis di mulut rayuannya atau dia adalah orang yang betul-betul memiliki hidup yang suci, yang dihargai, dan dihormati oleh teman-teman yang lain, yang dipercaya oleh teman-teman yang lain, yang sungguh-sungguh takut Tuhan atau tidak? Reputasi seperti itu, kita harus bisa lihat dan bukan hanya cinta saja, tetapi bagaimana dia berperilaku di dalam masyarakat.
Lalu yang ketiga, perhatikan pergaulannya juga. Saudara, siapa yang menjadi temannya? Pergaulan seperti apa yang dia miliki? Apakah dia seorang yang terlibat di dalam persekutuan dalam gereja atau dia lebih suka memilih kebebasan di luar? Ingat baik-baik, dalam 1 Korintus ada kalimat, pasal 15 itu, “Pergaulan yang buruk merusak sesuatu yang baik, merusak yang baik.” Kalau kita tidak memperhatikan pergaulan dari orang tersebut, kita suka dengan dia, karena mungkin juga salah satunya adalah kita terlibat di dalam pergaulan itu, maka kita ndak punya kepekaan melihat itu benar atau tidak benar ya. Tapi kalau Saudara-saudara di luar, lalu Saudari di-approach oleh seorang pemuda dan Saudari melihat diri dia, salah satu faktor adalah coba lihat pergaulannya. Kalau dia biasa di dalam pergaulan yang buruk, jangan pikir dia bisa menjadi seorang yang baik dengan begitu gampang. Dan saya tekankan seperti ini ya: “Jangan pernah punya prinsip menikah untuk mengubah orang.” Ulangi saya ya, Pemuda ya, Pemudi: “Saya tidak boleh punya prinsip menikah untuk mengubah orang.” Ayo ulangi! Karena kalau Saudara punya prinsip itu, saya yakin Saudara akan tersandung di dalam perjalanan pernikahan Saudara, karena perubahan terhadap hati seseorang itu adalah satu perubahan yang hanya bisa dikerjakan oleh Allah Tritunggal. Jadi bukan kita punya kemampuan untuk mentransformasi seseorang, bukan punya kemampuan kita untuk menyelamatkan seseorang, bukan kemampuan kita untuk menjadikan seseorang itu baik. Itu adalah satu pekerjaan yang hanya bisa dikerjakan oleh Allah Tritunggal, oleh perubahan hati yang berdampak pada perilaku di luar. Kalau dia tidak pernah bisa memiliki suatu perubahan hati yang takut Tuhan dan tunduk di bawah kebenaran firman Tuhan, jangan pernah harap bahwa dia akan menjadi seorang pasangan yang akan betul-betul baik dan berkenan di hadapan Tuhan, yang bisa membawa kebahagiaan dalam kehidupan keluarga Saudara, kecuali Saudara mengandalkan kompromi-kompromi dalam hidup Saudara. Jadi, jangan jadikan relasi sebagai dasar untuk mengubah seseorang, maksud saya pernikahan. Tetapi Saudara harus membiarkan Tuhan bekerja untuk mengubah orang itu sendiri dalam waktu Tuhan, setelah itu baru Saudara putuskan untuk menikah, itu yang benar. Sebelum itu terjadi, saya harap jangan ambil suatu langkah yang gegabah. Karena apa ? Konsekuensinya adalah Saudara akan menghadapi dia seumur hidup Saudara. Ingat ya, pernikahan adalah seumur hidup, pernikahan adalah sesuatu yang tidak mungkin dibatalkan. Walaupun Saudara bercerai itu bukan pembatalan di hadapan Tuhan, Tuhan akan memperhitungkan Saudara berdosa. Walaupun ada pengampunan dari Tuhan, mungkin Tuhan bisa mengampuni dan memang Tuhan berkuasa mengampuni, tapi ingat, Saudara akan terus membawa cacat di dalam hati Saudara yang tidak mungkin bisa hilang seumur hidup Saudara, Saudara harus hidup dengan itu.
Nah sekarang, kenapa kita harus berbicara mengenai semua ini? Kenapa suami harus punya prinsip-prinsip kasih seperti ini yang mengorbankan diri, yang menuntut pengudusan, penyucian, yang memperhatikan istrinya seperti dia mengasihi tubuhnya sendiri, lalu yang menjaga pernikahan itu sampai kematian memisahkan, sebabnya kenapa? Jawabannya itu ada di dalam ayat 32. Di dalam ayat 32 dikatakan, “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” Artinya adalah pada waktu kita menikah maka pernikahan itu bukan hanya berbicara mengenai dua orang yang berbeda jenis kelamin dipersatukan karena membawa perasaan cinta satu dengan yang lain, suka dengan suka, tetapi keluarga Kristen adalah sebuah keluarga yang dibangun untuk memberi suatu kesaksian tentang hubungan Kristus dengan jemaat. Ini harus menjadi motivasi Saudara di dalam menikah. Tiap kali saya di dalam bimbingan pra-nikah saya tanya, “Kenapa kamu mau menikah?” Biasanya akan dijawab dengan diam, jarang sekali ada pasangan yang berkata, “Karena saya ingin menyatakan relasi antara Kristus dengan jemaat dan jemaat dengan Kristus,” terlalu rohani ya, nomong seperti ini ya? Tetapi Bapak, Ibu, Saudara, ketahuilah ini yang menjadi dasar kita membbangun keluarga yang kokoh, yang sukses. Karena ketika Saudara memutuskan segala sesuatu Saudara punya pertimbangan bukan aku lagi, perasaanku seperti apa, aku yang dirugikan, nama baikku yang dicela, tetapi Saudara akan selalu melihat keputusanku berdampak apa kepada nama Tuhan. Nah itu akan membuat Saudara berjaga di dalam menjalani kehidupan ini, Saudara tidak akan sembarangan di dalam memutuskan, Saudara tidak akan sembarangan di dalam memperlakukan pasangan Saudara. Ambil contoh kayak gini ya, di dalam Alkitab bilang ketika seorang percaya kepada Kristus maka dia akan menjadi anak Allah, dan sebagai seorang suami ketika dia menghadapi istrinya dia harus perlakukan istrinya seperti siapa? Seorang yang bukan hanya istrinya tetapi seorang teman pewaris dari Kerajaan Allah. Artinya dia harus memperlakukan istrinya seperti dia memperlakukan diri dia di hadapan Tuhan Allah. Kalau dia memperlakukan istrinya secara tidak beres berarti dia harus berhadapan dengan Allah atau Bapa dari istrinya ini.
Kalau mau ambil contoh mungkin pergumulan saya saja ya, anak saya sudah mulai gadis, sudah pemuda, walaupun ya dua-duanya saya tetap perhatikan di dalam pergaulan mereka dan saya berpikir pasangan hidup mereka bagaimana, dan saya dan istri mulai persiapkan hati kalau suatu hari ada cowok datang ke rumah itu bagaimana kayak gitu. Apalagi dia sekarang mau kuliah, kalau kuliah di tempat lain yang tidak sama-sama dengan kami, pergaulan dia seperti apa, siapa pasangan hidupnya yang nanti dia akan tempuh bersama, kita tidak tahu. Dan dibandingkan anak perempuan dengan laki-laki, sebagai papa-mama kadang lebih protektif sama yang mana? Perempuan. Kenapa perempuan ya? Ya pokoknya tahulah ya perempuan. Perempuan lebih protektif, dan ndak sembarangan untuk boleh mau berelasi sama anak perempuan kita. Kalau apalagi dia adalah orang yang tidak mau menghargai anak perempuan kita ini. Saya yakin kita akan marah besar sekali sebagai orang tua. Nah kalau seorang suami tidak memperlakukan istrinya dengan baik, tahu tidak mungkin itu bisa kita ibaratkan kalau Yesus berkata, “Kalau ada seseorang yang berani menyesatkan yang kecil ini, salah satu dari yang kecil ini lebih baik batu kilangan diikat di lehernya dan dilemparkan ke dalam sungai,” karena apa? Kita mencelakakan anak Tuhan, anak Bapa. Bapa dia adalah Tuhan dan enggak ada jalan keluar untuk Tuhan membenci perceraian. Tuhan enggak suka anakNya diperlakukan dengan sembarangan. Dan ingat, yang menjadi anak Tuhan itu bukan cuman suami, istripun adalah anak Tuhan. Jadi kita enggak boleh memperlakukan mereka dengan begitu rendah dan hina tapi kita harus memperlakukan mereka dengan suatu penghormatan bahwa mereka adalah teman persekutuan kita yang akan menikmati kekekalan bersama-sama dengan diri kita di surga. Saudara kalau berani main-main terhadap anak Tuhan, Saudara siapkan saja hati dihajar oleh Tuhan. Makanya di dalam surat Petrus itu dikatakan kalau engkau berani bermain-main dengan istrimu, memperlakukan dia dengan tidak baik, jangan harap doamu akan didengar oleh Tuhan, Tuhan akan menutup pintu itu. Dan ini bukan hanya dikatakan di dalam surat Petrus tapi juga dalam kitab Maleakhi. Tuhan benci perceraian. Kenapa doamu di mezbah tidak dijawab oleh Tuhan Allah? Persembahanmu tidak dijawab oleh Tuhan Allah? Sebabnya karena engkau menceraikan istri masa mudamu. Itu dijawab Tuhan tegas sekali. Karena itu Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya percaya yang memotivasi seseorang untuk hidup di dalam suatu kehidupan keluarga yang utuh, yang baik sampai kematian memisahkan itu adalah pengertian bahwa saya harus membangun sebuah keluarga berdasarkan pengertian, dan itu untuk kemuliaan Kristus dan menyatakan hubungan Kristus dengan jemaaat-Nya. Kalau Saudara anggap ini aneh, Saudara anggap ini terlalu muluk-muluk, ada bahaya pasangan Saudara itu adalah orang yang mungkin tidak melihat pernikahan untuk sesuatu yang kudus, sesuatu yang harus dipertahankan sampai kematian memisahkan. Jadi hati yang takut Tuhan, cara melihat dari sudut pandang Tuhan, itu menjadi dasar kita menikah. Dan apa yang menjadi tujuan Tuhan untuk dinyatakan dalam kehidupan keluarga itu adalah sesuatu yang harus kita nyatakan dalam kehidupan kita atau menjadi tujuan dalam kehidupan keluarga kita. Itu yang benar.
Dan bagi pasangan yang belum menikah, saya ada tambah satu lagi. Kalau Saudara ingin berpacaran dengan seseorang, untuk menjadikan dia pasangan hidup Saudara, jangan main-main dengan seks sebelum menikah. Ingat ya, jangan bersetubuh sebelum menikah. Karena apa? Itu hanya menunjukkan kalau Saudara tidak mengerti kehendak Tuhan. Karena kehendak Tuhan adalah kekudusan hidup Saudara, kehendak Tuhan adalah menjaga kehormatan dari pernikahan. Ibrani 13:4 kita baca sama-sama ya, “Hendaklah kamu semua penuh hormat kepada perkawinanan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur sebab orang-orang sundal, pezinah akan dihakimi Allah.” Siapa yang mencemarkan tempat tidur? Dia mereka adalah pezinah dan pesundal. Jadi Tuhan melihat seseorang yang belum menikah bersetubuh sebelum menikah, ataupun yang sudah menikah berani main-main dengan pelacur atau laki-laki lain atau perempuan lain, Tuhan anggap dia bukan anak Tuhan, dia adalah pesundal atau pezinah, dan dia tidak menghormati ranjang pernikahan atau kekudusan di dalam pernikahan dan ada konsekuensi yang akan dia terima dari Tuhan Allah. Tapi kalau dia sebelum menikah dia lakukan itu, saya yakin judgement dia, penilaian dia tidak akan pernah sepenuhnya benar. Karena apa? Dia lebih dikuasai oleh hawa nafsu dan dosa lebih daripada menundukkan diri di bawah firman Tuhan dan kehendak Tuhan di dalam membangun keluarga. Bagaimana mungkin dia bisa membangun sebuah keluarga yang diberkati oleh Tuhan kalau dia bermain-main dengan dosa dalam kehidupan dia? Jadi ini adalah suatu kebaikan kita. Perintah Tuhan ini saya harap Bapak, Ibu, Saudara melihat bukan sebagai suatu halangan untuk kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang kita inginkan, tetapi biarlah ini sebagai suatu kebenaran yang Tuhan berikan demi supaya Saudara bisa berjalan dengan baik dan berbahagia dengan kehidupan yang memuliakan Tuhan dan tidak terus dihantui oleh rasa bersalah, kekecewaan, kemarahan, kebencian, rasa jadi korban dan segala seuatunya yang membuat Saudara menderita seumur hidup Saudara. Jalankan apa yang menjadi prinsip firman, saya yakin Saudara akan diberkati dan keluarga Saudara akan diberkati. Bukan berarti tidak ada masalah tetapi Saudara tetap akan disertai Tuhan dan diberkati oleh Tuhan dan diberi kekuatan melalui masalah yang Saudara hadapi dalam kehdupan kelaurga kalau kita sama-sama ingin menundukkan diri di bawah kebenaran firman Tuhan. Kiranya Tuhan boleh berkati kita. Mari kita berdoa.
Kami berdoa bersyukur Bapa untuk firman-Mu. Kami berdoa bersyukur karena Engkau senantiasa boleh berikan terang-Mu sebagai pedoman hidup kami. Engkau boleh menyatakan apa isi hati-Mu bagi kami, Engkau boleh nyatakan segala sesuatu bahkan kebaikan yang boleh kami nikmati dalam kehidupan ini, karena itulah yang menajadi dasar Tuhan mencipta kami dan membentuk kami dengan tujuan tersebut. Dan kiranya Tuhan, kami boleh dikaruniakan kekuatan untuk bisa hidup seturut seperti kebenaran firman Tuhan dalam kehidupan kami. Kami berdoa bersyukur Bapa, mohon Tuhan boleh memberkati setiap keluarga Kristen yang ada di tempat ini, kiranya mereka boleh membangun keluarga Kristen didasarkan pada terang firman Tuhan yang menjadikan Kristus dan relasi Kristus dengan jemaat sebagai pedoman dalam kehidupan keluarga mereka dan dasar di dalam mereka membangun keluarga. Dan bagi merek a yang masih single dan berpacaran kiranya Engkau juga boleh menjaga kekudusan kehidupan mereka untuk senantiasa hidup di dalam pimpinan Tuhan dan kepenuhan dari Roh Kudus sampai mereka menikah dan hidup di dalam pernikahan atau keluarga yang juga dibangun di atas dasar kebenaran firman. Tolong berkati gereja-Mu ini ya Tuhan, tolong berkati anak-anak-Mu, sucikan mereka dan kuduskanlah mereka, dan biarlah setiap kebenarn firmanMu boleh senantiasa menjadi pimpinan untuk mereka jalankan dalam kehidupan mereka. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa, Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]