Filipi 4:8-9
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Kalau kita melihat kondisi dunia di sekarang ini kita berada dalam kondisi yang serba tidak menentu. Kita berada dalam kondisi yang sebenarnya kalau kita mungkin mau katakan itu kita berada dalam kegalauan ya. Kita berada kalau situasi sekarang ini memang semua serba tidak pasti ya. Kalau kita lihat kondisi marketplace saja di saat sekarang gitu ya kita bisa lihat secara perekonomian itu kadang-kadang itu berita itu bisa silih berganti bisa di hari ini bilang, “Oh kelihatannya akan ada imbas sentimen positif dalam pergerakan perekonomian kita.” Tapi mungkin bisa dalam jeda berapa hari kemudian atau bahkan cuma berapa jam kemudian, “Wah ada lagi perkembangan lain,” bisa lihat sentimennya ke arah negatif ya. Nanti ada yang bisa lihat, “Oh IHSG itu bisa naik dan bisa turun.” Ya ada yang ngikutin mungkin harga dolar ya atau emas, “Wah ini lagi naik nih, wah lagi bagus nanti turun.” Dan seterusnya gitu ya. Sebab tidak menentu dalam kehidupan ini. Dan kadang-kadang meskipun dibilang, “Oh kelihatannya ini bisa akan positif, ini akan bergerak akan lebih baik,” ada sepertinya katakan seperti ada yang bilang, “oh ini loh kemungkinan kita di Desember itu sudah akan melakukan vaksinasi ya, dan seterusnya.” Ada yang bilang “Oh ini itu sepertinya bisa bergerak lebih ramai lagi, investor akan ramai-ramai masuk ya,” dan seterusnya. Tapi tetap saja dalam beberapa hal kita melihat di sektor real-nya itu, bisa kalau kita ngomong apa adanya ya, begitu lesu dan sepi ya. Dan ini kadang-kadang juga orang bilang ya memang mungkin ada perbedaan gap antara makro ekonomi dengan mikro ekonomi ya, jadi perekonomian secara negara dengan lokalnya di per masing-masing area juga ada beda gitu ya meski kedua halnya itu tentu saling kaitan. Tapi bagaimana di dalam situasi kaya gini itu kita melihat ada kegalauan tidak pasti. Kadang-kadang kita bisa dibikin semangat dengan berita yang ada, tapi terus kita lihat kok nggak ada kaitannya dengan kehidupan yang real ataupun sebaliknya orang bsia bilang negatif-negatif oh kelihatannya kita masih bisa juga jalankan ya seperti dalam pekerjaan kita dan seterusnya.
Nah bagaimana kita melihat dalam situasi yang serba tidak menentu ini bagaimanakah posisi kita sebagai orang beriman? Bagaimana kita menjalani kehidupan kita di tengah tantangan yang ada di depan mata ini? Ketika saya merenungkan bagian ini, saya tidak bisa nggak ya saya melihat iya ya kok entah gimana ya. Kalau mau dibilang entah gimana itu selama setidaknya dua tahun terakhir ya sejak saya datang pelayanan di sini ya, di Solo dan di Jogja, dan juga termasuk apa yang disampaikan oleh Pak Dawis yaitu kami berkhotbah itu mengambil tema lebih khususnya itu ambil kitabnya itu saya ambil Filipi lalu Pendeta Dawis mengambil dari Kitab Efesus meski terakhir ini sudah masuk kepada Kisah Para Rasul. Dan menarik karena ketika saya merenungkan dua kitab ini, ini adalah kedua kitab yang dituliskan Paulus ketika dia berada di penjara. Surat dari penjara ya. Dan saya percaya tentu ini ada bukti – di dalam Reformed tidak ada yang kebetulan, itu bukan suatu kebetulan – tapi ada maksud rencana Tuhan sebagaimana kita lihat Alkitab itu ada dua authorship, ada 2 penulis Alkitab ada penulis ilahi ada penulis manusianya. Kita juga percaya ada dua preachers in a sermon gitu ya, ada dua pengkhotbah di dalam khotbah yaitu ada pengkhotbah illahinya yang memimpin dan menggerakkan setiap kami pengkhotbah dan yang juga memimpin setiap kita ketika mendengarkannya. Dan meski dalam keterbatasan kami manusia untuk memahami ada maksud rencana Tuhan saya percaya itu Dia siapkan kita melihat bagaimana dalam situasi yang sulit itu untuk kita bisa memiliki pengharapan untuk tetap memiliki iman yang bersandar pada Kristus di tengah situasi yang serba tidak menentu itu.
Kalau kita melihat dalam konteks kehidupan Paulus ya, kembali lagi surat Filipi maupun juga surat Efesus itu sama, yaitu basically ya itu dituliskan Paulus ketika berada dalam kondisi di pemenjaraannya. Dan konteks Paulus kita bisa pikirkan seperti itu berada dalam situasi yang serba galau juga kalau mau dibilang, sangat suntuk malah kalau kita bisa bilang seperti itu ya karena kondisi dalam penjara. Penjara zaman dulu tidak seperti zaman sekarang. Zaman sekarang yang sudah lebih modern yaitu apa-apa bela hak asasi manusia. Kita bisa mungkin tahu juga perkembangan terakhir ada berita-berita tentang orang kalau masuk penjara lalu nanti dibilang, “Wah diperlakukan nggak adil atau penjaranya kurang manusiawi.” Wah itu bisa sampai negara yang harus atur siapin pemenjaraan yang lebih manusiawi dan seterusnya ya. Itu kita ada di zaman sekarang yang memang seperti itu. Ada pengacara-pengacara yang sedemikian pawainya juga bahkan orang yang dipenjara itu bisa lebih nyaman daripada dia di luar penjara ya.
Konon katanya ada orang-orang hebat-hebat, petinggi-petinggi itu masuk penjara itu katanya itu cuma masuk nama ya. Oh itu dipenjarakan di Nusa Kambangan ya pokoknya disana Nusa Kambangan ya. Saya pernah dengar dari ada rekan yang pelayanan ke penjara terus dari cerita orang-orang sana bilang, “Ah, itu mah cuma titip. Titip nama.” Saya sampai geleng-geleng kepala, “Hah? Titip nama?” “Iya jadi ada orang wakilin gitu ya.” Atau kira-kira mungkin, ini apa ya ala mungkin mahasiswa gitu ya kadang-kadang kalau nggak mau masuk kuliah titip absen. Jadi dia titip nama seperti titip absen terus nanti orangnya itu bisa dijemput pakai heli itu kemana jalan-jalan ya, ke Singapura atau kemana. Terus nanti berapa lama sekali, “Oh ada mau sidak,” ya diinfo, dikabarin, wih ini ada dosen, gitu kira-kira. Ada pak dosen jadi kamu kudu balik. Balik, ganti baju, ya masuk lagi di situ, diabsen, oh ada orangnya ini. Kalau perlu difoto ya jadi pencitraan, ini orang beneran di penjara. Tapi ada hari lain itu keluar dan bisa sangat nyaman.
Tapi zaman dulu, pemenjaraannya tidak seperti itu. Orang masuk penjara itu sebenarnya ada mengatakan sebenarnya mirip kayak ruang tunggu ya. Bukan sebagai tempat penahanan, saya mungkin akan bahas di kesempatan yang lain, tapi ruang tunggu adalah dia tunggu kapan disidang gitu, dan ini bisa hasilnya itu dia mati setelah disidang itu hasilnya dia dihukum mati atau tidak itu nanti tunggu ya. Tapi dia disana ya diperlakukan dengan sembarangan, semena-mena. Kalau sebelum disidang itu orangnya sudah mati, bagi pemerintah Roma ya sudah it’s a good riddance ya, sudah mengurangi kesibukan kita untuk mengurusi sidang orang ini, dia mati di penjara, ya selesai. Dan itu memang seringkali terjadi di pemenjaraan.
Jadi, kondisi Paulus itu sebenarnya sangat sangat suntuk kalau kita mau bilang. Dia tidak mengerti jelas itu hidup matinya seperti apa. Tapi heran ya baik kalau kita lihat di surat Efesus ataupun surat Filipi di sini, kita menemukan gambaran Paulus yang begitu punya yang apa saya sebut sebagai memiliki optimisme iman. Heran ya. Kita nggak menemukan banyak komplainan di sini, “Oh disini tempatnya ndak enak ya.” Atau seterusnya ngedumel gitu, nggak banyak. Dia lebih banyak itu justru berseru untuk orang-orang yang di luar. Itu sampai ada theolog yang mengatakan Paulus itu badannya di penjara tapi pikirannya, hatinya, imannya itu keluar melewati dinding-dinding penjara.
Tapi sebaliknya kadang-kadang kita itu bisa sebaliknya. Kita nggak di penjara ya, tapi pikiran kita yang memenjarakan kita, kita yang malah terkungkung ya. Apalagi ya karena Covid ini kita memenjara diri kita sendiri, dan seterusnya. Tapi kita lihat ya, Paulus itu meski badannya terkunci dirantai tapi dia itu pikirannya, benaknya, dan khususnya concern-nya untuk pekerjaan Tuhan tetap sampai tembus melewati dinding penjara itu, tidak dibelenggu. Kalau kita temukan itu ada ungkapan juga dalam bagian-bagian lain dia katakan, “Aku bersyukur karena Injil itu tidak bisa dibelenggu.” Maksudnya apa? Saya memang terbelenggu, saya memang benar-benar terantai, tapi firman Tuhan, pekerjaan Tuhan, kerajaan-Nya itu tidak bisa dibelenggu, tetap bisa berjalan, dan dia concern melihat keluar.
Kita menemukan dalam surat-surat Paulus meski dia dalam penjara, dia malah concern bicara tentang ada bidat di luar ya, tentang pengajaran sesat di luar, dia nggak sibukin masalah dia dalam kondisi dia di penjara seperti apa. Kenapa? Saya percaya di dalam bagian ini karena dia memiliki bukan cuma sekedar ini kadang-kadang mungkin kita kalo salah nangkap berpikir, “Oh ini positive thinking ya,” apalagi ala New Age itu. Saya percaya bukan di situ, tapi yang dia tekankan di sini dan khususnya di bagian ini, bagaimana kita memiliki mindset, cara berpikir, worldview itu ya memang melihat segala sesuatunya berdasarkan perspektif firman. Bagaimana kita memiliki worldview ini, cara berpikir ini, dan ketika bicara worldview ini bukan masalah jargon, “Oh ini mah cuma orang theolog atau cuma orang filsuf, seterusnya,” kenyataan tiap kita memiliki worldview itu. Setiap kita memiliki cara pandang dunia yang berbeda-beda entah kita sadar atau tidak sadar, entah kita mengakuinya atau tidak, entah kita bisa menjelaskannya dengan komprehensif atau tidak, setiap kita punya worldview masing-masing, setiap kita mempunyai cara berpikir mindset masing-masing ya.
Sederhana saja ketika misalnya tadi kita mau datang, misalnya kita bangun pagi lalu lihat hujan. Ya itu ada mindset kita masing-masing ya. Kira-kira ya kalau orang yang berpikir, “Yah hujan. Malas ibadah ah.” Ya sudah mindset-nya gitu. Ibadah itu apa? Kalau nyaman, cerah, saya datang ibadah. Tapi kalau hujan, ya mending nggak usah. Kira-kira patokannya kaya gitu, tiap orang punya ada worldview-nya. Dan saya di sini bilang ya tiap-tiap orang punya cara berpikir melihat dunia itu begitu. Masalah ini hujan, hujannya gede, atau hujannya kecil, itu tidak lepas itu tidak bukan cuma masalah dunia ini bergerak seperti apa, tapi kita meresponinya seperti apa. Dan herannya ya orang yang sama ya, yang lihat, “Nggak ke gereja kenapa? Hujan.” Tapi kalau ada kerjaan, “Wah ada nih projek 1M,” mau hujan geledek sampai anginnya kenceng, tembus, terobos itu angin kencang. Loh iya ini 1M. Nah ini masalah apa? Worldview. Kita ngomong ini masalah hujannya kah? Oh iya hujan, jadi dia nggak datang. Kita bisa aneka macam ya. Tapi kita lihat dalam tiap orang itu apa yang men-trigger kita, apa yang membuat kita itu – kalau dalam istilah psikologi itu ‘fight or flight’ – kita akan maju perang atau kita lari mundur itu adalah cara pandang kita dan mempengaruhi kita melihat setiap fakta-fakta yang ada di depan mata. Bagaimana kita responi itu tergantung cara berpikir kita kalau mau dibilang.
Kalau seperti konon Martin Luther katakan itu, “Kita tidak bisa menghalau burung itu kalau terbang di atas kepala kita tapi yang kita bisa hentikan itu adalah, yang kita bisa cegah itu adalah jangan sampai burung itu bersarang di atas kepala kita.” Itu istilah dari Luther gitu ya. Saya pikir-pikir itu nggak heran kenapa orang monk itu rambutnya bentuknya agak botak kayak sarang burung kali atau apa gitu ya. Tapi maksudnya apa? Ada hal-hal diluar ini yang memang kalau terjadi memang kita ndak bisa cegah sih. Ada burung terbang di atas kepala kita bisa teriak burung jangan terbang di atas kepala?! Ndak bisa. Tapi yang kita bisa cegah, dia nggak bersarang hingga stay di sini. Itu maksudnya adalah ada bagian-bagian dalam kehidupan ini terjadi memang kita nggak bisa kendalikan, tapi yang kita bisa kendalikan, yang kita bisa atur dan tanggung jawabkan di hadapan Tuhan bagaimana kita berespon terhadap hal itu ya. Bagaimana kita berespon terhadap permasalahan yang ada, bagaimana kita berespon menurut cara pandang firman atau tidak, itu yang bagian tanggung jawab kita di hadapan Tuhan.
Tuhan tidak akan terlalu banyak tanya pada kita, “Eh kenapa itu ya terjadi Covid?” Ya kali gitu ya. “Mengapa terjadi Covid di tahun 2020?” Tuhan tidak akan tanya ke kita. Selain memang kita tidak ada urusan bukan kita penyebabnya dan seterusnya, tapi Tuhan akan tanya, “Di tengah Covid ini kamu melakukan apa? Reaksimu seperti apa? Responmu seperti apa?” Itu sama dalam keseharian kita baik ada Covid atau nggak Covid, Tuhan nggak tanya itu, “Eh kok bisa ada lewat pelacur di depanmu?” Tapi Tuhan tanya, “Apa yang kamu lakukan ketika kamu lihat ada pelacur depanmu itu?” Itu bicara respon kita, tanggung jawab kita itu seperti apa dan ini bicara juga mindset cara berpikir kita.
Dan bagian ini adalah yang saya harap untuk kita renungkan bersama dan mau gali ya dan garap coba pikirkan, kita ini cara berpikirnya itu sesuai dengan firman atau tidak? Karena kenyataannya banyak orang Kristen ya itu sudah bisa bahkan dalam satu titik bisa sangat familiar dengan kisah-kisah Alkitab, tau kisah-kisah ini, tapi cuma jadi kisah doang, cuma menjadi cerita, tidak mengubah hidupnya atau setidaknya dalam pembahasan kita ini, tidak mengubah cara pandangnya bagaimana menghidupi seturut prinsip firman. Dan ini yang harus kita gumulkan karena masuk lebih ke mendalam ya, pengertian firman itu masuk lebih mendalam, bukan cuma data-data, bukan hanya sesuatu yang kita tahu tapi bagaimana cara berpikir kita sesuai dengan Alkitab atau ndak. Ini yang harus kita pikirkan sini.
Grant Osborne dalam komentarinya mengatakan ini berbicara dari – kalau dari fase pembahasan Paulus ya sebagaimana kalau kita lihat di dalam bagian-bagian sebelumnya – kaitannya itu dia bicara aspek iman lalu bagaimana dalam aspek perbuatan, maksudnya dalam perbuatan dalam kehidupan sebagai bukti atau sebagai buah dari iman yang sejati itu. Dan bagian sini kita melihat ketika Paulus bilang berpikirlah demikian, “Pikirkanlah semuanya itu,” itu berbicara adalah suatu right thinking will lead to right doing. Cara berpikir yang benar akan membawa kita kepada cara hidup yang memang juga yang benar, ya kan? Dalam kehidupan kita itu demikian dan sehingga meskipun ini ada prinsip-prinsip yang sederhana ya, saya setidaknya bahas 4 poin di sini tapi kita lihat ini adalah menjadi suatu pertanyaan dan challenge dalam kehidupan kita, kita akan menata kehidupan kita sesuai prinsip ini atau tidak. Jadi bukan cuma sekedar tahu gitu, tapi memang kita melihat ini menjadi dasar prinsip kita menjalani kehidupan dan terutama ketika kita mengambil keputusan-keputusan dalam kehidupan kita, itu sesuai dengan prinsip firman atau tidak, itu sesuai dengan prinsip Alkitab atau tidak.
Nah yang pertama ini dikatakan, “Semua yang benar.” Istilah yang benar ini bukan pakai dikaiosune ya, itu lebih righteousness, tapi ini bicara aletheia ya, kebenaran. Sehingga di bagian sini bicara itu ada suatu yang berbeda dengan apa yang disebut kebohongan, ya. Yaitu semua yang benar, pikirkanlah itu, yaitu adalah lihat kita tetap akan menghidupi yang benar itu atau tidak. Sederhana saja disini ya, paling basic mungkin kalau saya ambil contoh hari ini ya. Hari ini yang menjadi liturgisnya tadi kan ada Vikaris Lukman Sabtiyadi ya, rekan dan sebenarnya termasuk senior saya. Saya sebenarnya dulu waktu masih pemuda sudah mendengarkan dia membawakan renungan. Tetapi misalnya, ini kan kebenarannya ya memang liturgisnya Vikaris Lukman, tapi misalnya ya setelah dari ibadah gitu lalu saya pulang, saya ketemu jemaat di Solo, lalu tanya, “Oh tadi liturgisnya siapa?” Lalu saya bilang, “Oh liturgisnya itu Veri.” Bisa nggak? Ya bisa bisa saja, mulut saya toh saya mau ngomong kaya gitu ya bisa saja. Tapi itu kan bukan kebenaran, itu adalah kebohongan. Terus mungkin ditanya, “Loh rasanya belum lama ini Veri jadi liturgis deh?” Misalnya seperti itu. “Oh iya dia liturgis lagi ya,” dan bisa seterusnya seperti itu dan bisa saja saya lakukan itu tapi ketika itu terjadi, maka saya cuma menjadi self-deception, menipu diri sendiri, dan itu bukan kebenaran dan kenyataannya tidak akan merubah kebenaran apa-apa. Bisa nangkap ya? Ya faktanya memang tadi liturgisnya adalah Vikaris Lukman. Saya mau ngomong berkali-kali ya pokoknya, saya sangkali gitu ya, “Yang liturgis bukan Vikaris Lukman,” berkali-kalipun seribu kalipun sampai saya buat banyak orang percaya pun tidak merubah fakta kenyataannya liturgisnya adalah Vikaris Lukman. Itu bicara kebenaran. Itu bicara kebenaran, ya kita suka nggak suka, terima nggak terima, ya memang begitu. Dan ini bicara dalam iman kita adakah kita mengerti iman kita itu sedemikiannya?
Saya nggak tahu berapa dalam kesempatan kehidupan kita itu muncul di mana ada orang bertanya pada kita, “Yesus itu satu-satunya jalan untuk menuju surga ya?” Kita kalau ditanya itu kira-kira kita jawabnya apa? “Waduh iya nggak ya? O… iya.” “Waduh kamu itu sempit sekali. Ekstrim berarti. Berarti semua agama ini masuk neraka gitu?” Wah kita bisa dimaki-maki dan seterusnya. Tapi kalau kita lihat kembali, kenapa sih kita katakan Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruselamat, satu-satunya memang untuk bisa datang kembali kepada Bapa, satu-satunya penebus kita? Ya karena kembali perkataan Kristus sendiri itu bicara kebenaran. Ya itu memang masalahnya ya, Yesus sendiri yang ngomong itu, “Akulah jalan kebenaran dan hidup.” Dilanjutin lagi “Tidak seorangpun dapat datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku.” Jadi kalimat Yesus sendiri, jadi itulah dasar kebenaran kita. Jadi bukan suatu benar yang pokoknya – atau ada kadang-kadang istilah orang bule itu ‘your truth’ – kebenaran menurutmu gitu, tapi adalah kebenaran menurut ya memang fakta adanya.
Ada mungkin kadang kita bisa galau, ada kadang kita bisa rasa berubah, kita rasa nggak yakin satu lain hal, tidak merubah fakta itu, tidak merubah apa yang Yesus katakan di dalam Alkitab, tidak merubah faktanya dalam sejarah itu yang Dia nyatakan, itu yang Dia ajarkan, dan itu juga yang dipercaya orang Kristen sepanjang segala zaman. Bahwa memang keselamatan itu hanya melalui Kristus dan itulah yang dipegang oleh orang Kristen. Jadi, bukan ngotot-ngototan “Pokoknya ini saya percaya.” Nggak. Tapi ya masalahnya memang Yesus ngomong gitu. Jadi ini either saya mau tunduk kepada apa yang Kristus katakan sebagai kebenaran karena saya juga percaya Dia adalah Tuhan, ya saya percaya Dia adalah Sang Ilahi ya, terus yang Dia katakan ya tidak mungkin kepalsuan. Dan kalau memang Dia ngomong cuma satu jalan itu, ya mau nggak mau ya cuma Dia. Sehingga di sini kita ngerti bukan masalah ngotot-ngototan secara teologis kalau mau dibilang istilah itu atau ngotot-ngototan pokoknya, tapi adalah karena memang berdasarkan itu yang dikatakan Kristus dan itu yang saya percaya, dan ya biarlah Tuhan yang tolong saya bagaimana menghadapi pertanyaan-pertanyaan dan serangan dari orang luar. Tapi yang saya tahu itu yang saya percaya memang itu yang Kristus katakan dan itu yang saya hidupi ya.
Saat apapun dalam kehidupan kita, misalnya ya kalau misalnya kita katakanlah seperti dulu kita adakan ibadah KKR ya lalu misalnya di tengah KKR itu, ya sebut saja misalnya saya pengkhotbahnya, lalu ternyata ditengah KKR kerumunan itu karena kita ajak orang banyak datang, lantas ternyata ada yang nyusup sengaja merekam apa yang saya khotbahkan. Lalu dari rekamannya itu diputar ulang, diputar ulang, diputar ulang, “Wah ada kalimat ini.” Lalu dibilang, “Wah ini berarti penghujatan ya. Ini ada kalimat yang menghina agama,” atau apa, lantas saya ditangkap lalu saya disidang, lalu dipenjara. Nah kira-kira kita akan responnya apa kalau kejadian seperti itu? Mungkin kita akan pikir “Oh itu ya, soalnya khotbahnya itu terlalu keras sih atau singgung-singgung orang. Ya janganlah.”
Atau mungkin contoh lain lah seperti misalnya kita tengah ibadah offline di tengah wabah Covid seperti ini di mana tentu kita tetap jalankan sesuai protokol yang ada kita tetap jaga karena kita percaya kepada Tuhan bukan mencobai Tuhan. Nah lantas misalnya setelah beberapa bulan kita jalankan lantas misalnya ada yang positif. Lalu apa respon kita? “Oh makanya nggak usahlah ibadah offline. Makanya nggak usah datang-datang lah,” dan sebagainya. Perhatikan di sini ya, ada nggak sih diantara kita akan tanya, sebenarnya kita sudah lakukan itu benar atau tidak? Karena itu pertanyaan paling utama ditanya. Yang dikotbahkan benar atau tidak? Yang kita jalankan ini memang benar atau tidak? Sesuai prinsip firman atau tidak? Ataukah malah kita cuma pikir masalah untung-rugi, ya itu jadi filsafat utiliniarisme, itu sama orang dunia. Kalau untung saya datang, kalau rugi ya ndak usah. Atau cuma masalah pragmatis gitu ya kalau fine-fine, saya ikut, kalau ndak, ya jangan lah.
Berapa banyak orang gitu ya, kita akan bilang kita tidak boleh kompromikan kebenaran, tapi begitu muncul kesulitan, ya kompromi. Karena kebenaran itu cuma masalah untung-rugi, works atau ndak, cocok dengan dunia ndak. “Kalau saya hadapi di lapangannya Pak, wah ndak bisa. Ya sudah saya buang saja kebenarannya,” atau kebenarannya saya taruh di hari Minggu, ya waktu khotbah seperti ini baru ngomong kebenaran, tapi kehidupan ndak. Berapa banyak dalam kehidupan kita itu memikirkan, kembali lagi ya, semua yang benar ini bicara kebenaran itu, kebenaran yang kita sudah tahu, kebenaran yang saya percaya dalam berapa hal, yaitu sebenarnya dalam kehidupan kita, kita basic, kita sudah tahu, tapi kita hidupi ndak? Dan memang kita mengaku, menata kehidupan kita, sesuai konsep berpikir kita, ya apa-apa pikir ini: yang benar atau ndak? Ini kalau benar ya kita jalani, nanti, “Wah mentok Pak,” ya kita jadi tahu. “Ada kesulitannya Pak,” ya kita juga jadi tahu. “Wah bergumul Pak, sulit hidupi,” ya itulah kita doakan dan kita jalani minta pertolongan Roh Kudus, karena memang kita tidak sanggup jalankan kebenaran itu dengan kekuatan kita sendiri.
Lihatlah apa yang dialami Kristus, Dia yang menyatakan kebenaran dan Dia yang dianiaya. Tentu kita bukan masuk ke essence sebaliknya pokoknya kita cari paling teraniaya itu pasti benar, ndak seperti itu ya, kita ndak masuk ke eksentrik seperti itu, makin aneh ya itu baru benar, ndak, tetapi ketika kita hidupi kebenaran, lihatlah bahwa sadar ndak sadar, suka ndak suka akan ada yang memusuhi kita. Paling utama yang pertama memang dari si jahat itu sendiri. Setan memang ndak suka. Lho itu paling basic sekali. Kita pikir setan itu kerjaannya apa sih? Goyangin gentong gitu ya? Atau tahu-tahu itu speaker itu goyang-goyang, kenapa gitu ya? Yang lain semua tenang itu goyang-goyang sendiri atau melayang-layang gitu ya. Ya Pak Tong bilang setan gitu ya setan kelas rendah, tapi setan kelas tinggi itu justru keliaran di mana-mana, hasut kita, takut-takutin kita, terus hasut kita, dan memang ndak suka ketika kebenaran diberitakan. Dan atau mau menggoco dan menghancurkan gereja di dalam banyak hal gitu ya.
Tapi berapa makanya kita pikirkan itu kita jalankan itu sesuai dengan kebenaran atau tidak. Dan sama, ketika misalnya kita sudah jalankan protokol yang sesuai dengan prinsip yang ada, yang harusnya seperti apa, terjadi pun, itu ada efek yang kita bisa mengerti sebagai unintended consequences, sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan. Iya memang begitu. Jangankan bilang COVID, sebelum ada COVID, bisa nggak dalam kita ibadah itu ada yang mengalami celaka atau apa? Ya bisa saja. Ada kok dalam kisah orang kehidupan itu dia baru jadi Kristen, eh sudah dia jadi Kristen, tahu-tahu dia mengami musibah gitu, itu ada. Kemarin Pendeta Anton juga ada cerita ya, tentang, saya lupa Pendeta Anton atau Pak Billy ya, itu ada cerita tentang orang yang bertobat, dan sudah dia bertobat, baru dia jadi Kristen, baru dia dibaptis, keluar dari gereja, anaknya tabrakan langsung mati. Tapi bagaimana dalam kesulitannya, dia ini orang yang keras sekali, dia bisa ngomong, “Saya ampuni kamu, saya mengasihi kamu,” kepada orang yang melakukan tabrakan ini. Kita lihat itu adalah buah dari Roh Kudus yang mengerjakan demikian.
Dan itu kita lihat mengerti apa, ya memang kehidupan ini bukan per kita percaya Tuhan itu lantas semua happy ending ala fairy tale gitu, dongeng cerita ya masa kecil, tapi ada memang dimulailah ada tantangan. Karena mulai kita menjadi orang Kristen, sadar ndak sadar, suka ndak suka, itu berarti kita siap jadi musuhnya orang-orang yang memusuhi Allah. Orang yang memusuhi, ya sebenarnya di balik itu adalah setan dengan segala antek-anteknya yang memang memusuhi kebenaran itu, ya memang akan menggocoh dan melawan kita. Dalam banyak hal kita lihat ya memang tidak luput dari seperti itu. Itulah yang dialami para rasul, itulah yang dialami para nabi, itu yang dialami orang percaya di sepanjang zaman. Mereka bukan per jadi orang Kristen nyaman, lancar, Tuhan tidak pernah menjanjikan juga demikian, tapi justru, dalam banyak hal sejak kita menjadi pengikut Kristus, banyak tantangan. Kenapa? Karena Kristus juga mengalami banyak tantangan ini. Tapi ketika kita masuk ke dalam tantangan, kesulitan yang ada, biarlah kita bukan sekedar mencari challenge gitu ya, tapi adalah terutama kita mengerti kita sudah berjalan dalam kebenaran atau ndak? Kita menghidupi kebenaran itu atau tidak? Kita on track atau tidak? Karena itu yang dijalani Kristus.
Kristus ketika masuk dalam pelayanan-Nya, kalau sekedar Dia mau cari menderita ya langsung saja dari awal mulai pelayanan langsung disalibkan. Lho genap juga rencana Tuhan kan? Pokoknya Dia mati menebus dosa. Tapi kalau kita lihat tidak demikian, kenapa? Karena memang bukan Kristus itu, apa ya, bukan datang itu sekedar mau cari mati, “Oh ini kayaknya lebih menantang ini kalau sampai tersalib gitu ya. Wah semakin benar-benar bagus ini, dicambukin, oh, tambah lebih banyak, tambah lebih banyak gitu ya, cambuk lagi lebih banyak, pakunya, oh, kurang banyak, coba paku-paku semua,” ya ndak begitu. Tapi itu sebagai unintended consequences ketika menjalankan kebenaran, dan terutama sebenarnya di dalam banyak bagian kalau kita melihat di dalam Injil Yohanes, itu meng-highlight di dalam waktunya Tuhan. Ini juga. Kebenaran, ya, juga kaitannya dengan waktunya Tuhan. Ada kesulitan-kesulitan yang sudah waktunya, memang dalam waktunya Tuhan, ya kita jalani.
Kalau kita mau bilang dalam satu, kadang istilah dalam kehidupan gitu ya, kalau bisa, kalau bisa lebih cepat, kenapa harus lebih lambat gitu kan. Tapi sebaliknya juga bisa ada benarnya sih, kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang. Ini bukan masalah kita susah-susahin atau apa ya, ndak, ini bicara waktu Tuhan. Ada kadang-kadang kesulitan juga dalam kehidupan kita bisa lihat ya setidaknya itu belum jadi sekarang atau belum kita hadapi sekarang. Terus kita hidupi saja yang ada, tapi kita bersiap dan antisipasi, bersiaplah ketika ada muncul tantangan-tantangan itu. Dan kita jalani itu kenapa? Yang penting sudah memang ini yang benar, dan memang sudah waktunya Tuhan untuk saya sangkal diri, pikul salib, mengikut Kristus, memang ini salib yang sudah sepatutnya saya pikul dalam waktu Tuhan, ya sudah saya pikul. Bukan sengaja pikul-pikul sembarangan yang ndak perlu, ya.
Sebagaimana saya pernah juga berapa kali katakan ya, itu Kristus katakan sangkal diri, pikul salib, tapi bukan berarti semua salib harus kita pikul. Pikullah salib yang ditetapkan Tuhan, memang dalam waktu-Nya, memang sudah masuk rencana Tuhan ya demikian. Dan itu berarti kita bergumul di hadapan Tuhan, kita jalani. Saya sudah jalan dalam track yang benar atau ndak, kalau sampai kita ada keluar, doakan, gumulkan, dan minta belas kasihan dari Tuhan, minta ampun pada Tuhan, minta untuk kita kembali, kembali dalam track yang benar. Jalankanlah dalam track yang benar itu. Ada kesulitan? Ya ada kesulitan, tapi biarlah kita lihat dalam bagian ini, kalau memang itu sudah track yang benar, itulah yang Tuhan kehendaki, dan itulah yang pantas, yang layak kita jalani. Kenapa? Karena itu masuk rencana Tuhan.
Ya, menarik itu makanya kalau kita lihat dalam Injil Yohanes ada berapa kali itu Kristus dingomong sama orang dunia itu, “Kamu lakukan ini!” Dia bilang, “Waktunya belum tiba, waktunya belum tiba.” Itu sebenarnya kadang-kadang kalau kita mau baca mungkin agak comedic gitu ya, itu kemudian eventually Dia lakukan juga gitu ya. Kita pikir kenapa ya kayak gitu, tapi itu lho, karena Kristus mengerti waktu Tuhan itu yang utama, rencana Bapa itu. Kalau memang sudah waktunya, ya jalanin, tapi kalau bukan, ya jangan. Dan itu kita dipersiapkan juga dalam kehidupan kita itu demikian, semua yang benar itu, kita apakah mindset kita pikir itu yang di situ lho, ini benar atau tidak, ini kebenaran atau kepalsuan, ini sesuai dengan prinsip yang memang kaku, ataukah cuma pragmatis saja. Pragmatis itu gini ya, orang pragmatis itu ya apa, pokoknya apa yang works, apa yang bisa jalan ya itu aja dijalanin gitu ya. Kalau saya belajar untuk ujian besok, sudah mati-matian, “Wah ini kayaknya nggak bisa lulus ni,” terus besoknya itu ada teman lempar itu jawabannya, ya pragmatis aja, ambil. Ya itu orang pragmatis gitu, apa yang works, apa yang jalan, ada di situ ya saya terima saja, “Oh ini anugerah Tuhan, Tuhan bukakan saya jalan, kasih saya jawaban.” Ya ndak seperti itu. Orang pragmatis akhirnya cuma akan melihat jalanin apa saja, apa saja dihalalkan yang penting ya saya bisa hidup, kira-kira seperti itu.
Ada berapa banyak kita pikirkan kita jalan dengan benar atau ndak? Dalam satu artian tertentu ya, kalau kita mau coba mengandaikan ya, andai kata Kristus, waktu itu, Dia bilang ketika Dia bergumul di Getsemani itu ya, “Jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki,” andaikata Kristus, andaikata ini ya, tidak mau minum cawan itu, Dia masih hidup untuk berapa lama, masih bisa, lho memang iya, tapi bisa nangkap maksud saya ya, tentulah kita bilang oh ya itu bukan kehendak Bapa dan seterusnya, iya, maksudnya apa? Ya ini jadi bukan masalah yang penting hidup, yang penting bisa tidak susah gitu, tapi kalau memang kehendak Bapa, dan memang kehendak Bapa menghendaki dalam rencana dan izin-Nya itu adalah untuk kita meminum cawan pahit itu, minumlah cawan pahit itu. Karena sudah kehendak Bapa. “Oh, tuh kan, karena minum itu jadinya menderita.” Tapi itu kehendak Bapa ya jalankan. Bisa nangkap ya? Orang pragmatis akan pilih ya, kalau susah, “Ya gua kan masih ada nalar gitu ya, gua pengen hidup aja,” gitu ya. Kalau memang Tuhan mau cabut nyawa kita di titik itu, kenapa kita lari? Kenapa kita mundur? Kalau memang sudah itu waktu-Nya – bisa lihat ini ya di dalam perspektif ini ya saya berbicara – dan itulah kita jalani, kenapa? Karena concern kita, kembali lagi bukan nekad-nekadan bukan ingin adu keberanian, tapi adalah yang benar itu seperti apa dan itu yang kita mau jalani. Sehingga ketika nanti kita kembali pada Tuhan ya, Tuhan lihat ya kamu sudah menggenapi apa yang sepatutnya.
Kristus itu, dalam sejarah itu, kita lihat umurnya itu singkat lho. Pelayanan begitu banyak, pelayanan-Nya singkat lho. Saya sudah sampai di umur segini ya, saya baru sadar, iya ya, saya bahkan dapat kesempatan pelayanan kalau mengukur tahunnya, lebih banyak lho. Tapi dibanding Kristus, sudah seberapa efektif? Seberapa efisien? Seberapa sungguh-sungguh benar on track atau tidak? Karena Tuhan bukan tanya kita berapa tahun pelayanan, berapa banyaknya kuantitasnya, tapi kualitasnya yang utama gitu ya, dan di dalam kualitas itu ada kuantitas tertentu yang bicara maksimumnya, itu adalah memang sesuai rencana Tuhan atau tidak. Dan itu yang kita harus tanamkan dalam kehidupan kita, itu yang terus kita pikirkan dalam kita mengambil juga setiap keputusan-keputusan dalam kehidupan.
Lanjut, poin ke-2 adalah dikatakan semua yang mulia. Terjemahan ESV dia pakai istilah honorable, karena kadang mulia itu berkesannya apa gitu ya, tapi memang ada bagian ini tentu bicara suatu yang mulia, sesuatu yang memang bermartabat lah kalau mau pakai istilah gitu, ya. Sesuatu yang memang kita lihat sebagai sesuatu yang mulia, suatu yang memang dihormati, kira-kira seperti itu. Alkisah ya ada katanya konon seorang bapak meninggal, lalu anaknya datang ke kedukaan itu menangis, menangis, menangis, sudah nangis, nangis gini, ya, waduh papa, nangis, saya sedih sekali, lalu sambil dia nangis ada orang datang bisikin dia, “Eh kamu tau nggak, itu saudara-saudara mu lagi kumpul di sana, lagi bicarakan warisan, nggak ajak kamu lho.” “Hah? Ini bicara warisan nggak ajak saya? Persetan, ini papa meninggal,” hapus cari mata langsung pergi bicara warisan. Ya orang ada yang kaya gitu. Kenapa? Karena langsung ributin masalah uang doang. Banyak orang itu membuang kehormatannya itu demi uang. Heran ya, tahu papa itu lebih berharga daripada uang, tapi ya itu, sampai rebutin uang, aduh, lupakan lah, papa sudah mati, sekarang saya urusin warisan saya. Saya heran ya terakhir-terakhir ini banyak sekali, ini memang zaman susah, tapi heran juga itu ada artis itu bisa jual diri demi dapat uang berapa sih. Heran juga saya itu. Sudah mungkin begitu cantik, terkenal, uangnya juga mungkin banyak ya, tidak puas-puas, bisa juga jual diri.
Saudara-Saudara, ingatlah satu ini: pikirkanlah yang mulia, pikirkanlah yang terhormat, dan jagalah kehormatanmu itu. Zaman memang susah tapi jagalah kehormatanmu itu. Kalau pun sampai susah, sampai kita jual usaha gorengan pun, ya ndak apa-apa, tapi yang penting jangan jual diri. Jangan jual diri. Lifestyle kita bisa naik, bisa turun, itu adalah hal yang biasa dalam kehidupan ini, tapi kalau kehormatan itu sudah dibuang, dengan cara apa lagi kita mau kembalikan? Maaf ya, terus terang saya ngomong, kamu nangis-nangis datang ke kami pun, kami ndak bisa help gitu. Kami ndak bisa ngapa. Itu sama ya, orang mau datang konseling, “Kenapa Pak?” “Ya, saya ini bergumul ya, bagaimana dalam pekerjaan pelayanan.” Ya kami biasa konseling. Ada mau konseling, “Kenapa?” “Iya pak, ini sudah hamil di luar nikah, gimana?” Terus bertobat gitu ya, nanti kempes gitu ya, perutnya. Hilang ke mana? Oh, terbang ke surga. Ya nggak ada! Kamu akan tanggung akibatnya. Dan itu mau sampai apapun ya sudah begitu nasibnya terjadi. Oh sudah jual diri, oh mau di bagaimanapun ndak bisa.
Maafkan ya saya pakai perbandingan yang agak ekstrim ya, maafkan ya, bahkan orang kalau pernah perokok, sampai minum-minuman keras, lalu kemudian bertobat, orang bilang apa? Jos, kasi jempol. Kenapa? “Dia dulu perokok lho, sekarang sudah berhenti. Dulu dia peminum, berhenti.” Tapi orang kalau sudah jual diri, oh, dia sudah bertobat, orang masih ingat, maafkan ya saya katakan ya, kenyataannya dalam culture kita gitu, oh tetap ingat dia pelacur. Ingat dia jual diri. Tetap ingat, waktu kesulitan dia jual dirinya. Ya kita mengerti sih kesulitan dia, tapi ya kok kayak gitu ya? Jaga kehormatanmu. Jaga kehormatan kita. Saya bicara gini sendiri saya juga pernah alami kesulitan ketika dalam studi, dalam pelayanan dulu. Itu saya juga pernah hadapi sih. Dalam kesulitan tertentu ya memang sampai tanpa tabungan, ya saya jalani. Sampai, saya pernah alami itu ya, itu uang cuma di bawah bantal gitu ya, sampai juga ya, sudah ndak ada di bantalnya, bantalnya di mana gitu ya. Pokoknya adalah di dompet sisa itu, ya sisa itu aja gitu ya. Tapi jangan jual kehormatanmu. Pikirkanlah yang mulia, pikirkanlah apa yang terhormat, ingat harkat dirimu itu di mana.
Itulah seperti saya pikir kemarin, kalau yang apa dikatakan juga Pak Tong dalam khotbahnya di SPIK, dia katakan itu, Adam ketika dia sudah berbuat dosa lalu ditanya, “Adam dimanakah engkau?” Itu bicara kamu sudah keluar dari posisi seharusnya, ingatlah posisi semestinya kamu ini apa. Kamu sudah dicipta menurut gambar dan rupa Allah segitu mulianya, tapi kamu malah memilih keluar dari jalan yang benar, memilih jalan sendiri. Lalu apa? Akhirnya cuma bisa menutupi malu. Ditanya di manakah engkau? Aku telanjang, tutupi dengan pakai daun. Ya itu, itu selalu manusia pakai ada berbagai macam cara ya. Dalam tafsiran pak Tong bilang itulah pendekatan agama, pakai cara dunia untuk tutupi apa yang memalukan. Tapi cara Tuhan kemudian beranugerah, dengan memberikan ada pakaian kulit itu. Nantinya banyak yang mengatakan itu bagian dari persiapan bicara adanya yang dikorbankan untuk menebus dosa-dosa kita. Itu jalan Tuhan, jalan anugerah, memang beda dengan jalan cara manusia. Tapi di situ ya, makanya kita bilang dalam bagian ini, ingatlah di mana posisi kita. Sulit? Iya sulit, tapi ingatlah yang mulia itu. Ingatlah kita diciptakan untuk kekekalan, bukan hanya untuk dunia ini. Sampai harus mati, ya sudah, sampai kita ini turunin, kita aduh katanya dulu terkenal sekarang jualan gorengan, ya ndak apa-apa, daripada kita jual diri. Karena ingat, di mana harkatmu, di mana nilaimu, sebagai manusia yang dicipta menurut gambar rupa Allah, dan terlebih yang ditebus oleh darah anak-Nya yang tunggal, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus. Di mana nilai kita? Jaga itu, jaga kemurnian kita.
Dan lanjut lagi berikutnya, kita lihat lagi di bagian ini, ini bicara mungkin kita pikir simple ya, sederhana, tapi kita mengerti, ini Paulus katakan bukan lagi kondisi nyaman di kelas tulis, “Ini semua yang benar, semua yang mulia,” ndak, dia lagi di penjara. Orang itu kadang-kadang ya, kalau hidup nyaman, dia akan jalani, “Oh saya memang ada bermartabat, mulia”, tapi waktu sulit, sulit sekali, “ya sudah lah, apapun lah dijual.” Jual iman, ya, jual diri, jual apa yang ada, pokoknya jual, yang penting apa? Untung, untuk hidup, ya itu orang pragmatis gitu, yang penting hidup. Ingatlah hidup bukan untuk hidup itu sendiri tapi hidup adalah bagi Kristus, maka mati keuntungan, itu sebagaimana Paulus katakan di bagian sebelumnya. Hidup adalah Kristus, mati keuntungan. Hidup bukan demi hidup itu sendiri, apalagi hidup untuk apa? Kesenangan, untuk nama, untuk gengsi. Buat apa itu semua? Tapi ingatlah nilai diri kita di hadapan Tuhan.
Saya lanjut berikut nya, poin ke-3 lalu dikatakan juga semua yang adil, istilah bahasa Yunaninya adalah dikaios ya, ada nuansa justice di situ, keadilan, sehingga bagian sini kita bisa lihat itu sebagai bicara semuanya adil itu adalah semua yang tidak berat sebelah ya. Itu bisa bilang fairness gitu ya, yaitu kita berlaku adil. Dalam kehidupan kita juga menghadapi tantangan demikian. Semua orang tahu kita harus berlaku adil tapi ketika muncul tantangan itu depan mata, kita akan tetap menjalankan prinsip keadilan atau tidak? Karena itu nanti bisa isu etika. Saya melihat di berapa waktu lalu ada tayangan satu klip ya, ada seorang bapak di ruang persidangan, terus dikatakan di dalam sidangnya ini, “Oh ini ada bapak dari korban,” yaitu anak perempuannya itu dibunuh oleh ada seorang pembunuh, pembunuhan berantai gitu. Lalu tadinya itu si bapak itu duduk, tenang, tunggu-tunggu, mulai sidangnya, dia lihat jam gitu ya, sambil tunggu, tiba-tiba dia lihat dari situ ada pintu terbuka, lalu masuk ada orang pakai baju oranye gitu ya. Oh ini napinya, langsung dia loncat langsung mau lawan, langsung mau matikan. Kenapa? Oh ini yang habisin dulu anak saya. Kita lihat dalam kehidupan ya, oh harusnya adil dong ikuti jalannya persidangan. Tapi ada dalam realita itu, kenyataannya itu sulit.
Kita lihat Paulus itu menghadapi kayak demikian seperti apa. Kita dalam kehidupan itu kita kalau lihat, mengerti konteks Paulus itu di penjara, dia itu bisa di-bully habis-habisan, digebukin sama para napi, para pidana lainnya, ataupun sama tentara-tentara. Itu kan yang terjadi? Bahkan kehidupan sekarang itu lumrah kok terjadi. Mungkin si prajuritnya itu lagi ribut, cekcok sama istri, jadi bete, ketemu orang ini digebukin. Ya bisa saja. Tapi kita lihat ya Paulus tidak membalas kejahatan dengan kejahatan tapi kejahatan dengan kebaikan. Dia nggak berat sebelah, yaitu apa? Dia tetap memberitakan Injil kepada mereka. Itu mau menyatakan ada kebaikannya. Kenapa? Karena saya dengan kamu sama-sama kita orang berdosa. Tapi saya cuma bersandar kepada keadilan Tuhan, itu satu sisi, dan berharap ada belas kasihan Tuhan bagaimana kalau bisa lihat ada kesempatan kamu mendengarkan Injil.
Dan heran ya Paulus itu masuk penjara, ya dia penginjilan di penjara. Benar-benar penginjilan di penjara bukan cuma masuk, isi satu sesi chapel, pulang gitu ya, benar-benar penginjilan all out di dalam. Injili para tawanan, injili para prajurit, dan itu tentu kita temukan nanti di bagian akhir-akhir surat ada salam dari para tawanan yang bersama dengan aku dan juga dari para prajurit yang ada di istana kaisar. Itu bicara apa? Itu buah Injilnya. Kenapa? Karena dia melihat apa yang adil itu dia jalankan, dia tidak balas kejahatan dengan kejahatan, dia bukan – kalau mau pakai istilah, avengers – pembalas kejahatan, tapi dia menyatakan kebaikan dan terutama bicara tidak berat sebelah. Saya pun orang berdosa yang membutuhkan belas kasihan sama seperti kamu, dan karena itu memang panggilan saya memberitakan Injil. Kamu terima nggak terima itu bergantung pada anugerah Tuhan. Tapi saya beritakan, bukan saya keep Injil itu, bukan saya simpan untuk diri saya, tapi dia beritakan. Dan di dalam anugerah Tuhan ternyata memang Tuhan beranugerah untuk mempertobatkan para tentara, para narapidana yang bersama dengan Paulus itu. Itu bersandar kepada keadilan Tuhan. Kita lihat sini jadi itu bukan masuk ke favoritisme kalau dibilang. Tiap-tiap kita ada favoritisme, suka kencenderungan yang ini, saya sukanya ono-ono, saya sukanya kalau pelayanan yang ini ini. Tapi berapa banyak yang kita lihat adil itu bicara itu yang fair, melihat dari sudut pandang Tuhan, Tuhan inginnya seperti apa karena itulah yang adil.
Di dalam bagian lain, dan memang kesempatan lain saya juga pernah sampaikan dalam Persekutuan Doa, bicara di dalam Mazmur itu banyak bicara tentang dalam pergumulan pemazmur, ia mengalami banyak ketidakadilan namun dia menyerahkan penghakiman kepada Tuhan. Itu artinya apa? Ya dia serahkan penghakiman memang pada Tuhan. Mungkin ya kita bisa baca, itu ada lho dalam bagian-bagian Mazmur itu dia bilang, “Tuhan hukumlah mereka yang berdosa, hukumlah mereka yang begini, ganjarlah mereka.” Kita mungkin bisa bicara, “Ini apa ya, ini kok Mazmur doain atau bahkan menyanyikan untuk menghukum orang lain?” Tapi kalau kita mengerti secara teologisnya itu bukan karena ini itu puitis ya, itu adalah terutama bicara dia menyerahkan penghakiman itu pada Tuhan. Artinya apa? Biarlah Tuhan yang menyatakan penghakimannya, bukan saya main hakim sendiri. Bukan saya pikir, apalagi Mazmur Daud oh berkali-kali mau dihabisi oleh Saul. Waduh kita nggak mengerti pahitnya Daud itu kalau melayani itu seperti apa. Bela-belain Saul habis-habisan. Kita tahu ya dulu untuk dia nikahi anak Saul itu disuruh bikin kerat kulit khatan berapa itu orang Filistin, saya nggak mengerti ya mana yang lebih sulit membunuh orang Filistin atau mengerat kulit khatan mereka. Menyunatkan orang Filistin untuk dijadikan maharnya, mas kawinnya. Itu kalau kita pikir ini Daud mau lakukan kayak gitu kepada Saul sampai itu illogical ya, nggak masuk akal, mboten mboten, itu dia lakukan. Tapi dibalas apa? Saul itu balas dengan terus mau jahatin, jahatin, mau hancurin, mau bunuh Daud. Kita kalau jadi Daud sudah pahit, ngapain lah. Tapi kita lihat dia nggak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, dia balas kejahatan dengan kebaikan. Dan di dalam bagian Mazmur kita temukan pergumulan dia, dia serahkan penghakiman kepada Tuhan, biarlah Tuhan yang menjadi hakim atas kesulitan dan pergumulannya ini.
Menyerahkan penghakiman pada Tuhan itu berarti pertama-tama ya biar Tuhan yang melakukan penghakiman menurut waktu dan porsinya Dia. Iya kan? Contoh misalnya saya dan Vikaris Lukman berantem, misalnya, kami sih baik-baik saja, misalnya saya berantem saya nggak suka warna dasimu, lalu saya naik ke pengadilan. Itu artinya saya siap apa? Bisa saya yang salah lho. Itu pertama-tama lho ya. Kita dalam keseharian begitu kan? Kita kalau ribut sama orang, biasanya kalau orang Indonesia, orang Asia itu selesaikan secara kekeluargaan. Maksudnya apa? Ya jangan naik ke penghakiman atas begitu. Kenapa? Karena selain bayar duit, rugi bayar pengacara dan seterusnya, belum tentu kamu yang menang, bisa kamu yang kalah karena berarti kamu tidak hakim sendiri, kamu serahkan ke pihak yang berotoritas di atas. Dan bisa ketika perkaranya itu dibahas dan dikupas semuanya satu per satu, ternyata kamu pihak penuntut ini kamulah yang salah dan dan kamu yang akan dituntut pertanggungjawaban atas hal ini.
Bisa jadi apa? Misalnya saya ribut dengan Lukman, dibilang ya saya ini yang melakukan pencemaran nama baik. Bisa saja toh? Saya yang kena denda. Rugi dong. Itu artinya serahkan penghakiman pada Tuhan. Saya tidak ambil hakim sendiri, serahkan pada Tuhan biar Tuhan yang menghakimi, biar Tuhan yang menilai, dan yang terutama biarlah Tuhan yang menilai dengan takaran porsinya, waktunya seperti apa. Kalau kita serahkan penghakiman pada Tuhan ya seperti itu. Kita tidak main hakim sendiri. Bagaimana Tuhan? Biar Tuhan nyatakan. Ada bagian kalaupun Tuhan memang, ini kita ngomong sederhana black and white saja ya, ini A yang benar terus B yang salah, yang mana Tuhan akan hakimi? Ya memang B ini salah tapi kapan penghakimannya? Porsinya seberapa? Itulah artinya kita serahkan kepada Tuhan, bukan saya ambil hakim sendiri. Itu artinya kita pikirkan yang adil, kita serahkan biarlah Tuhan yang bertidak dalam waktu rencana-Nya. Ada intervensi Tuhan, ada waktunya, dan kita belajar bersabar menunggu. Dalam bagian itu serahkan pada Tuhan.
Dan termasuk sebenarnya di dalam bagian ini saya percaya ini bukan nuansanya itu untuk kita jadi ala avengers, pembalas dendam revengers gitu, tapi ada kalau ternyata kemudian hari Tuhan itu tidak menghukum dia seperti sepatut dia terima tapi malah beranugerah untuk dia bertobat, kita justru bersukacita. Nah itu saya pikir menarik ya di dalam pembahasan kemarin juga Pak Billy ada sempat singgung itu kan di dalam salah satu buah roh itu kesabaran, long-suffering. Long-suffering itu apa? Itu bukan cuma sabar, ditempeleng kasih pipi sebelah, kasih lagi sebelah, terus saja kiri kanan kiri kanan, nggak seperti itu. Tapi kita bersabar, long-suffering siap menderita kesulitan bukan cuma supaya dia dihabisi terakhir – kalau kita melihat menyerahkan penghakiman pada Tuhan – tapi long-suffering kita menantikan pertobatan karena itulah yang juga Tuhan nyatakan pada kita.
Bukankah Tuhanlah yang paling berhak menghabisi kita karena memang kita orang berdosa? Dan Dialah yang layak sepatutnya menghabisi kita dan menghukum kita di dalam neraka. Dan kenyataannya Dia menyatakan anugerah-Nya, kasih-Nya, di dalam waktu rencana-Nya, sebagaimana Kristus datang ke dalam dunia dan Kristus yang menanggung hukuman itu dan menggantikan kita, kita mendapat anugerah. Itu kita lihat ya pengertian long-suffering ada patience, kesabaran, karena kita serahkan penghakiman pada Tuhan, ya termasuk kalau Tuhan ternyata di akhirnya memberikan grace, memberikan anugerah-Nya, belas kasihan-Nya, mercy itu kepada siapa yang mau Dia kasihi. Dan ketika kita lihat, “Wah teryata saya serahkan penghakiman pada Tuhan, orangnya bertobat,” ya saya bersukacita. Ya itu saya lihat memang tipis tapi beda perspektifnya, dan ini kita bicara antisipiasi seperti apa kalau kita bicara serahkan penghakiman pada Tuhan. Yaitu kita menantikan Tuhan yang berintervensi, Tuhan menyatakan kehendak-Nya, dan ketika ada pertobatan, kita bersukacita. Karena apa? Karena berarti itulah kehendak Tuhan. Karena sebagaimana Dia juga nyatakan belas kasihan-Nya kepada kita, kita juga yang sepatutnya juga dimurkai kok. Tapi kenyataannya Tuhan berbelas kasihan kepada kita.
Dan saya percaya inilah yang dimaksud Paulus, semua yang adil, yaitu panggilan dia adalah sebagai pemberita Injil kepada siapa saja tidak ada favoritisme. Saya nggak bisa bayangin kesulitannya gitu. Kalau kita jadi Paulus, kita tadi mau pelayanan misalnya ke jemaat Filipi, eh digrebek, ditangkap, terus misalnya ada Yudasnya, pengkhianat. Kita digrebek, ditangkap, digebukin, saya nggak bersalah digebukin atau ditindakin dengan tidak adil dan seterusnya, masuk penjara. Kita mungkin pikirnya apa? Pokoknya saya mau layani Filipi, Filipi, Filipi, itu doang kan? Tapi Paulus lihatnya dalam perspektif Tuhan, yang benar, yang mulia saya jaga harkat martabat saya, saya tidak sangkali iman, dan yang adil, berarti Tuhan mungkin ada rencana mempertobatkan orang yang tangkap saya ini. Dan itu yang dia lakukan. Karena Injil itu memang tidak pandang bulu, harus beritakan kepada siapa saja, bukan hanya untuk orang-orang kita suka, bukan hanya untuk orang-orang yang kita senang, teman main kita, termasuk kepada musuh kita, itulah artinya kita mengasihi musuh kita.
Berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu, karena itulah yang Kristus perintahkan dan itu yang Dia lakukan. Dia mengasihi kita selagi kita masih seteru – kalau mau pakai bahasa Paulus dari kitab Roma – Allah menyatakan kasih-Nya kepada kita selagi kita seteru, itu Dia mengasihi kita, kita adalah musuh-Nya. Dan Kristus bersyafaat pada orang yang menganiaya Dia. Di atas kayu salib Dia berkata, “Ya Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Kalau kita jadi Kristus itu apa ya, “Bapa, sekarang ini, turunin hujan api, habisin mereka karena ini sudah jelas perbuatan mereka seperti apa.” Tapi ampuni mereka itulah menyatakan belas kasihan Tuhan dan ada prinsip keadilan, dan menariknya justru di saat yang waktu itulah Kristus yang sebaliknya rela menderita menanggung ketidakadilan itu. Dia menanggung menderita di situ.
Ini kita lihat sebenarnya bicara prinsip keadilan juga ada aspek sacrifice di sana ketika kita serahkan penghakiman pada Tuhan terus ya kalau mau dibilang kita ada menderita secara kita lihat ada penganiayaan yang masih terus berlanjut karena kita tidak balas juga dan terus berjalan di dalam titik-titik tertentu pastinya dalam pembahasan ini, tapi terus ketika kita melihat ini, kita belajar long-suffering di situ dan menantikan penghakiman Tuhan. Itulah artinya menjadi orang percaya, dan ini yang dikaitkan di dalam pembahasan Paulus. Ketika misalnya dia injili orang nggak mau bertobat, ya sudah ada penghakiman terakhir kan, itu juga serahkan penghakiman pada Tuhan. Tapi selagi masih sempat, saya injili. Selagi sempat, dia gebukin saya, saya sudah teler, pingsan misalnya, besoknya bangun, injili. Ini yang gebukin mulai bingung kan, “Ini orang kemarin gua bikin benjol, dia bangun masih bengkak ini, eh dia mau kepada saya ini tentang kabar baik, good news, Injil yaitu ada Kristus mati. Apa sih gua gebuk lagi.” Besok diinjili lagi.
Kita kalau pernah alami penginjilan tahu ya betapa sulitnya menginjili orang yang tidak mengenal Tuhan. Kita padahal di era modern, maaf ya siapa sih yang tidak tahu istilah nama ‘Tuhan Yesus,’ Dia mati di kayu salib? Itu lambang Kristus itu sudah di mana-mana. Tapi di zaman Paulus jauh lebih sulit, “Saya bicara tentang siapa Yesus, Tuhan.” “Oh ada Tuhan yang lain bukan kaisar? Bakar, gebukin! Kamu mau menentang ya?!” Habis itu dia ngomong, “Bagaimana Dia menebus dosa kita?” “Iya Dia mati di kayu salib.” “Itu kan kriminal?! Itu kebodohan sekali! Itu yang kamu beritain, yang kamu bela sebagai Tuhan bodoh banget.” Itu dihina habis-habis seperti apa. Tidak heran Paulus dalam kitab Roma itu katakan aku tidak malu akan Injil, meski terjemahannya dalam bahasa Indonesia pakai aku punya keyakinan kokoh akan Injil. Bicara itu aku tidak malu akan Injil meskipun di-bully, meski dicemooh seperti itu, dia tetap beritakan karena yang hadir ada biarlah kesempatan Injil itu boleh diberitakan seluasnya. Saya tidak tahu siapa orang pilihan Tuhan tapi saya beritakan saja dan saya serahkan penghakiman pada Tuhan. Kalau memang Tuhan nyatakan belas kasihan-Nya, saya bersyukur karena itu berarti maksud rencana Tuhan tergenapi. Saya cuma alatnya yang dipakai bagi kemuliaan nama-Nya.
Lanjut kemudian poin ke-4, semua yang suci. Istilah hagnos itu suatu yang pure, suatu yang tidak tercemar, tidak bercampur dengan yang lain. Ini bicara maksudnya kita jauhkan diri dari kecemaran. Jauhkan diri dari hal-hal yang bisa mengotori kita, dari hal-hal dunia yang bisa mengikat kehidupan kita. Kenyataannya memang kita ada dalam peperangan dalam kehidupan kita itu seperti itu. Ada theolog yang mengatakan kita selamat itu sudah ada satu kepastian di hadapan Tuhan, namun bagaimana kita jalani kehidupan ini, dalam satu artian itu ya bisa gagal, bisa sukses, kalau mau dibilang seperti itu. Memang dalam penetapan rencana Allah tidak ada yang gagal, tapi kalau kita lihat dalam bagian ini, tanggung jawab kita bisa berbuah atau tidak, itu ada bagian tanggung jawab kita. Tuhan sudah berikan kepastian keselamatan, kita mau jalanin nggak mengerjakan keselamatan itu menghasilkan buah-buah yang banyak, buah-buah yang manis, itu bicara bagaimana kita menjalani kehidupan ini, dan bagaimana semua yang suci itu, semua yang pure itu jaga kemurnian kita, jaga kesucian kita, jauhkan kecemaran-kecemaran itu.
Ada kecemaran-kecemaran dunia memang dunia itu lebih suka kalau kita itu sama seperti dunia, dunia itu begitu kok. Memang kita lebih mirip dunia itu dunia lebih senang, iya kan? Itu sama kalau kita bekerja ya pertama kali kita masuk kerja misalnya, ternyata rekan kerja ini semua perokok eh kita nggak pernah merokok. Kira-kira mereka bilang apa? “Bagus kamu jangan merokok kayak kami,” sambil merokok? Lho nggak. Dia bilang apa? “Ah sok suci kamu, ayolah ikut kita ini nggak apa-apa gini.” Memang dunia ingin kita mengikut mereka, tapi pertanyaannya kita tetap menjaga kemurnian kita, tidak dicemari dengan dosa itu adalah bagian tanggung jawab kita di depan Tuhan. Ada bagian kita tidak mau itu dan kita memikirkan apa yang benar sesuai dengan prinsip firman kita beritakan, dan apa yang mulia, apa yang, kalau mau di bagian lain itu apa yang memuliakan Tuhan, dan kita jaga hal-hal itu.
Ini bagian ini kita bukan jaga image gitu ya tetapi memang kita image of God, jaga itu. Bukan untuk munafik tapi jaga kemurnian kita untuk bisa lebih efektif dipakai untuk kemuliaan Tuhan. Goalnya di sana. Bukan jaga-jaga untuk diri sendiri, bukan, tapi untuk bisa dipakai efektif kemuliaan Tuhan, memperkenalkan Tuhan sesuai dengan prinsip rencana Tuhan, dan semua yang suci itu kita mengerti prinsip dari Alkitab juga mengajarkan seperti apa hidup yang suci, seperti apa image sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran firman itu kita hidupi, 10 hukum kita tahu, bagian-bagian Alkitab lain juga dijelaskan, dan bagaimana kita mengerti ya kita yang hidup tidak dicemari dengan hal lain itu ada bagian tanggung jawab kita.
Kecemaran ini juga ada unsur bicara bercampur dengan elemen-elemen lain. Ada yang mengatakan istilah ini mirip kayak istilah untuk dunia perlogaman itu bicara sama seperti kalau kita ambil bongkahan emas, itu bukan kita ambil langsung emas murni, nggak, tapi ini bongkahan emas bercampur dengan lain-lain lalu harus dibakar, dibakar, dibakar, dibakar dengan panas berkali-kali supaya apa? Yang cemar itu tersingkirkan. Supaya bagian-bagian lain itu terpisah dari yang murni. Dan bagaimana kita jaga kemurnian itu, emas 24 karat itu, ya nggak dicampur logam lain. Kemurnian itu di sana, dan inilah bagaimana kita menjaga kehidupan kita itu tidak bercampur dengan yang lain.
Kadang-kadang dalam kehidupan kita, kadang-kadang dalam pelayanan, ataupun dalam pekerjaan keseharian itu bisa masuk, slip, masuk dalam motivasi kita itu ada mixed motivation, ada motivasi yang lain. Mau sih memuliakan Tuhan tapi saya juga dilihat dong. Mau sih untuk kemuliaan Tuhan, rencana Tuhan, tapi saya juga terpandang, saya dapat nama dan seterusnya. Ataupun ada motivasi-motivasi lain, “O iya ini untuk pekerjaan Tuhan tapi saya juga dapat cuan, dapat untung di situ.” Itu selalu ada mixed motivation, motivasi yang bercampur, dan ini yang Paulus katakan itu jangan, jangan, pikirkanlah yang suci yang murni itu.
Kadang-kadang memang dalam kehidupan tanpa kita sadari bisa masuk campur motivasi yang lain. Tapi itulah bagi saya, saya mengerti itu yang dikatakan para reformator, “Gereja Reformed adalah gereja yang terus mereformasi dirinya.” Maksudnya apa? Terus ada pemurnian itu. Ada bagian kadang-kadang karena keterbatasan kita manusia ataupun memang kelemahan kita dan dosa kita sebenarnya, ada bagian yang kita tidak sadar sudah masuk kecemaran itu. Kalau sudah masuk gimana? Ya keluarin. Jangan bilang, “Wah udah kadung pak, udah terlanjur, udah terlanjur masuk ya biarin.” Lho nggak. Singkirkanlah selagi bisa, bersihkalah, bersihkanlah itu. Sebagaimana Calvin katakan orang yang suci itu, saint itu bukan orang yang tidak dosa sama sekali, tapi setiap hari dalam kehidupannya dia menyadari ada dosa-dosa kecil yang ada dalam kehidupan yang mungkin orang lain tidak lihat, orang lain tidak tahu, dan mungkin orang lain akan tepuk tangan. Banyak hal kadang kadang begitu, tapi kemudian dia bertobat atas hal itu dan dia meninggalkan hal itu. Itulah orang suci. Menyadari dosanya, menyadari kelemahan kita, dan membersihkan diri kita, terus dimurnikan karena sebagaimana kita mengerti pengudusan itu memang tidak sempurna selama di dunia ini tapi kita proses, proses, lebih baik lagi, lebih baik kenapa? Untuk memuliakan Tuhan, menyenangkan Tuhan, karena itu yang berkenan di hadapan Dia.
Dan di sinilah saya kira dari 4 prinsip ini kita melihat ini menjadi pola berpikir kita berpikir secara Alkitabiah itu seperti apa supaya kita bukan menjadi orang Kristen abangan, orang Kristen KTP, atau Reformed KTP, Reformed yang cuma pokoknya punya surat baptis. Nggak. Tapi adalah kita masuk bagaimana prinsip-prinsip iman kita itu dalam pertimbangan-pertimbangan kehidupan kita dan kita mengambil keputusan bagaimana kita melibatkan Tuhan atau tidak. Bukan hanya saya, me and myself. Atau mungkin yang berkeluarga me and my family. Kalau itu sama saja dengan ateis praktis. Iya ateis praktis. Itu istilah Pak Tong berapa tahun yang lalu dia suka ngomong. Di gereja ngakunya beriman, di luar gereja jadi ateis. Tidak ada kaitan, Tuhan sudah saya tinggalkan di gereja, apalagi di gedung ini atau di Kranggan, lagi jauh, channel-nya jauh Pak jadi ini pisah.
Banyak orang itu jadi ateis praktis dan bahkan tidak sedikit orang dalam menjalani kehidupannya dalam bergereja juga menjalankan seperti itu, tapi makanya dalam bagian ini saya percaya ketika ada tantangan dan dorongan, seruan dari Paulus ini untuk kita renungkan dengan hati yang remuk, untuk kita minta pertolongan Tuhan kita bisa jalankan seperti apa. Dan minta Tuhan singkapkan kepada kita semua kecemaran itu, semua yang tidak benar itu untuk disingkirkan, kebohongan itu untuk kita singkirkan, dan bagaimana kita mau berjalan dalam kebenaran itu karena kita melihat sungguh hidup kita itu dikontrol oleh Tuhan. Hidup kita bukan saja kita ngomong Tuhan berdaulat, tapi sungguh kita lihat kedaulatan-Nya nyata atas kehidupan kita dan dengan gentar kita jalani demikian meski di tengah kesulitan yang ada. Mari kita satu dalam doa.
Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah (KS)