Filipi 4:11-12
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Di dalam bagian ini kita menemukan suatu penjelasan yang jelas yaitu suatu situasi di mana Paulus berada dalam penjara dan kadang di sana memang pasti serba kekurangan, serba kesulitan, dan di dalam zaman itu kembali lagi penjaranya itu lebih mirip seperti tempat tunggu. Ada memang kadang-kadang penjara yang mana cuma seperti tahanan rumah itu sebenarnya beda terminologi, itu kalau kita lihat di akhir Kisah Para Rasul, Paulus dikatakan dia berada seperti tahanan rumah dan di situ dia bisa bebas menginjili dan seterusnya tanpa terhalang. Itu menarik ya, adalah penutup dari Kisah Rasul itu seperti itu. Tapi yang dialami di sini kelihatannya itu situasi yang berbeda ya, dan ini adalah memang lebih dia dipenjara sampai di mana dia tidak ada kebebasan, dan dia bahkan serba kekurangan bahkan sampai makanannya saja membutuhkan Epafroditus ke sana, diutus dari jemaat Filipi itu untuk memberikan pada dia.
Nah di bagian ini ketika kita lihat sehingga ketika Paulus mendapatkan bantuan perhatian dari jemaat itu, ya tentu ada suatu sukacita di sana bahwa jemaat memperhatikan dia, namun menarik kalau kita hayati di ayat 11-12 ini dan sebenarnya keseluruhan dari seluruh Kitab Filipi, ini bukan cuma sekedar ucapan terima kasih. Ini bukan cuma seperti kalau zaman sekarang itu ada mungkin berapa kita kalau dalam pernikahan terus kalau sudah ada kasih hadiah nanti kita akan balas ucapan terima kasih. Kadang-kadang ada orang yang masih melakukan hal itu juga, “Jangan lupa dong kasih balas surat terima kasih, ucapan terima kasih,” dan seterusnya. Dalam kesempatan-kesempatan lain ada demikian. Seingat saya juga kalau dalam kedukaan kita berikan amplop, berikan suatu uang kedukaan biasanya dikasih kertas kecil biasanya itu ucapan terima kasih. Dan biasanya karena itu sudah biasa sekali, kita anggap itu sekedar basa basi, cuma ungkapan yang terima kasih atas pemberian.
Tapi kalau kita lihat apa yang dituliskan Paulus ini bukan cuma sekedar ucapan terima kasih, terlebih lagi meski ada konteksnya di sana, tapi terlebih lagi ini adalah bagian dari Kitab Suci sehingga kita bisa menggali, mendalami apa yang dipaparkan di sini. Dan menarik ketika yang Paulus katakan itu meski dia bersyukur dan tentu dia dengan genuine mengatakan dia berterima kasih atas pemberian mereka, tapi makanya kita muncul di ayat 11 yang seperti mem-balance. Dia katakan bahwa, “Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.” Jadi bagian ini menariknya meski sederhana tapi dia itu mau mengajarkan satu sisi dia bilang terima kasih atas pemberianmu, dan itu sudah di bagian sebelumnya, namun dia bilang dia katakan ini bukan karena kekurangan tapi dia belajar mencukupkan diri. Sehingga di bagian ini meski sederhana itu dia mau ajarkan relasi Paulus dengan jemaat Filipi itu bukan didasarkan pada sekedar asas manfaat. Atau setidaknya dalam konteks ini dia mau supaya jemaat itu jangan miss untuk mengerti bahwa dia itu relasi itu bukan sekedar berterima kasih karena adanya pemberian itu, tapi terutama itu dia bersyukur, bersukacita ketika pertumbuhan yang dialami oleh jemaat.
Kembali lagi ini beda tipis antara kalau saya khotbah yang lalu, 2 minggu lalu, yaitu saya sebut antara pelayanan dengan pelayanannya itu kita perlu membedakan. Tidak untuk memisahkan tentunya karena itu saling berkaitan, tapi kita perlu bedakan. Itu saling berkait tapi itu kenyataannya itu tidak persis sama. Pelayanan itu bisa terus berjalan meski pelayannya diganti. Dalam pekerjaan pelayanan yang Tuhan kenyataannya Dia memakai para pelayan, tapi ini harus dibedakan, tidak bergantung, tidak persis sama di situ. Dan itulah sebabnya juga makanya ketika misalnya dalam kita relasi satu sama lain, itu di dalam bagian ini sederhananya Paulus itu bersyukur atas pribadi, kalau mau dibilang, pribadi dari jemaat-jemaat Filipi itu sendiri dan bukan sekedar pemberian pribadi itu. Bisa nangkap ya? Bukan cuma gift-nya, bukan hanya pemberiannya, tapi memang dia mensyukuri dan terutama itu adalah yang dia cintai itu adalah pribadinya, bukan hanya propertinya, kalau mau dibilang seperti itu.
Kalau jokes ngomong antara pemuda ya zaman saya dulu bilang, “Oh kita itu pokoknya mengasihi pribadinya.” Kenapa? Ya pokoknya misalnya seorang pemuda bilang kenapa kamu naksir pemuda itu? “Iya saya seneng pribadinya, karena dia punya mobil pribadi, punya rumah pribadi, punya tabungan pribadi, deposito pribadi, dan seterusnya. Jadi saya senangi pribadinya.” Nah kita mengerti kalau di dalam bagian ini berarti yang disenangi bukan benar-benar pribadinya tapi milikinya itu. Kembali itu memang saling berkaitan tapi biarlah kita mengerti kasih dan terutama relasi yang mendalam itu bukan cuma sampai titik kepada apa kepemilikannya, apa benefit yang bisa pribadi itu berikan, tapi biarlah sampai kepada pribadi yang bersangkutan itu. Jadi sedalam-dalamnya itu.
Dan ini yang diingatkan Paulus di dalam meski sepintas ini ya, dia katakan bahwa dia relasi dengan jemaat itu bukan asas manfaat utilitarianisme di sini. Mungkin di berapa dari kita ada yang familiar ada yang kurang familiar dengan istilah ini tapi itu ya selalu permasalahan filsafat di situ sih. Kita kadang nggak tahu istilahnya, kita nggak familiar dengan istilahnya misalnya utilitarianisme ini apa, tapi karena filsafat itu sudah sebegitu kuatnya itu merambah ke berbagai bidang, dan khususnya banyak mereka masuk dalam musik, sehingga kita itu bisa menjalaninya tanpa sadar. Itu banyak permasalahan di situ ya. Pak Tong itu sendiri makanya sering katakan seringkali seni itu sebenarnya adalah suatu alat untuk menyampaikan suatu worldview, untuk menyampaikan suatu pemikiran.
Kembali lagi kita bisa banyak kehidupan itu misalnya kalau bilang asas manfaat utilitarianisme apa sih ya saya nggak tahu, terus kita langsung asumsi saya berarti nggak hidupi. Belum tentu. Kita nggak bisa senaif itu. Dalam kehidupan saja misalnya dalam bagian aspek pelayanan misalnya ajaran-ajaran bidat, sabelianisme, kita mungkin pikir ah apa itu. Tapi dalam kehidupan kenyataannya banyak yang mengajarkan demikian, dan mungkin sebagian juga kita pernah menerimanya atau menghidupi seperti itu. Karena masalahnya adalah selalu seperti itu, mazhab-mazhab itu, pemahaman-pemahaman dalam filsafat itu masuk dengan cara yang lebih subtle, dan apalagi pakai lokomotifnya itu biasanya seni dan berbagai literatur dan pendekatan yang halus sehingga bisa masuk dalam kehidupan kita tanpa kita sadari.
Nah utilitarianisme itu sendiri apa? Paling simple, sederhananya dalam ungkapan itu adalah the greatest good for the greatest number. Menjadi kebaikan yang paling baik untuk paling banyak orang. Jadi kalau itu baik bagi banyak orang, wah itulah itu semua bergerak ke sana. Jadi apa-apa bekerjanya gitu. Saya kerja apa-apa pikir itu menjadi yang terbaik untuk kebaikan banyak orang, bagi mayoritas. Dan itu akhirnya mungkin sepintas kalau kita dengarkan, “Bagus dong, masak kita kerjakan untuk kepentingan sendiri, untuk benefit sendiri, atau kelompok tertentu,” dan seterusnya, tapi akhirnya utilitarianisme ini masuknya itu adalah akhirnya adalah relasi antar manusianya itu berkait manfaat. Berkaitannya manfaat yaitu seseorang itu bisa dilihat dia itu baik atau tidak dari dia itu berfaedah nggak bagi masyarakat, dia ini berfaedah nggak bagi banyak orang. Kalau berfaedah bagi banyak orang, berarti baik. Sebaliknya ketika ada keberadaan seseorang yang mengganggu bagi masyarakat atau dianggap tidak memberi faedah bagi masyarakat, ya dianggap tidak berguna.
Jadi asas kaitan orang satu sama lain itu ya kamu bisa memberi saya benefit apa. Itu masalahnya di situ ya. Kembali lagi ini bukan kita masuk ke ekstrimnya jadi kita bergerak ke arah individualistis ya, tidak memberi berkat bagi yang lain, tentu bukan di situ poinnya. Tapi masalahnya adalah -isme itu mengarahkan kita satu sama lain relasi itu asas untung-untungan, asas manfaat. Selama misalnya Vikaris Lukman bisa memberikan hormat kepada saya, saya berteman dengan dia. Selama saya bisa memberikan manfaat kepada Vikaris Lukman, maka dia akan berteman dengan saya, jadi relasinya manfaat. Sehingga satu saat saya rasa tidak menguntungkan lagi berelasi dengan Vikaris Lukman, ya bye bye. Ya itu permasalahannya. Dan sebenarnya dalam satu artian ada orang bilang ya Yesus disalibkan justru karena dirasa tidak bermanfaat bagi orang Yahudi khususnya bertentangan dengan tradisi orang Yahudi ya dan seterusnya. Jadi itu kita bisa lihat itu ada masukan ke sana, dan akhirnya relasi itu untung-untungan.
Atau mungkin paling sederhana dalam kehidupan itu kadang-kadang kalau kita mau uji bagaimana kita relasi dengan sesama, itu dan kita mengasihi, melayani sesama, itu salah satu patokannya gini, misalnya kita sudah bantuin teman kita, kita bantuin, satu titik kita kesulitan, kita minta dia bantu. Terus kalau dia nggak bantu, kita kesel. Tapi terus kita akan muncul kalimat ini, “Tau gini gua nggak tolongin lu dulu.” Nah itu kan. Ada kayak gini, “Waduh tahu begini ya dulu saya tolongin kamu lho, sekarang saya susah kamu nggak bantuin. Tahu begitu saya nggak tolongin kamu dulu.” Nah kalau kayak begitu dulu waktu kita menolong dia itu tidak tulus, tidak ikhlas. Ada UD-nya, UD bukan ujung-ujungnya duit, tapi ada udang di balik batu. Ada udang di balik apa, pokoknya ada niat yang lain yaitu kalau saya membuat kamu begini, ada tujuan yang lain. Dan kalau saya nggak dapat, saya akan rasa rugi. Lho kalau kayak begitu berarti kita berbuat baik itu tujannya demi kebaikan itu sendiri ataukah ada di tempat lain?
Di dalam bagian ini ketika menjelaskan bagian ini itu saya harap untuk kita merenungkan ini meski sederhana, tapi kenyataannya sangat massive dalam kehidupan kita itu di mana-mana itu bergeraknya gitu. Dalam kita relasi misalnya juga dalam perusahaan itu misal dalam kita tempat bekerja, kenapa kita tetap bekerja di perusahaan itu? Karena dia gaji saya, dia kasih benefit. Coba kalau saya rasa gajinya nggak kasih dengan sepatutnya saya dapat, nanti kita akan rasa buat apa saya kerja di sini. Memangnya pelayanan? Gitu ya. tapi kalau gereja kayak gitu ya terpaksa dan seterusnya. Tapi itu kalau kita ngukurnya cuma asas manfaat pasti suatu saat akan kita ketemu kalau nggak menguntungkan ya bisa putus relasi itu. Tapi selalu menguntungkan ya saya akan jalani. Dan tidak heran makanya dengan asas ini tidak heran kalau kayak ada perkumpulan orang kaya, wah semua mau channel masuk ke sana. Perkumpulan orang-orang kaya, orang-orang top di situ. Kita semua mau masuk. Kenapa? “Ya supaya dapat channel, Pak. Syukur-syukur dapat job, proyek,” dan seterusnya. Itu selalu asasnya itu manfaat. Coba ada perkumpulan orang-orang miskin kita mau datangi nggak? Paling sering yang kayak gini kita nggak mau datang kenapa? “Nanti jangan-jangan saya dipelorotin, Pak, dimintain bantuan jadi merugi merugi.”
Seringkali makanya di dalam bagian ini masuk di dalam konsep kehidupan kita, sadar nggak sadar dan menggerakkan motivasi kita. Dan paling masalah terutama adalah ketika masuk di dalam gereja juga. Akhirnya semuanya itu hitung-hitungan. Saya ini kasih uang berapa, Tuhan kasih saya apa. Ini selalu jadi, kalau saya bilang secara sederhana, permasalahan di dalam theologi sukses itu di situ. Karena akhirnya sama Tuhan itu relasi utilitarian, saya kasih Tuhan sejuta, maunya Tuhan nanti balikkan saya sepuluh juta atau kalau bisa seratus juta. Lho ini, ini memberikan persembahan, perpuluhan, atau buat pancingan? Kasih teri dapat kakap gitu ya dan seterusnya. Jadi akhirnya relasi kita dengan Tuhan juga – kalau orang masuk dalam theologi sukses itu – akhirnya selalu begitu, juga utilitarianisme, cuma mau manfaatkan Tuhan. Dan meski dengan klaim-klaimnya, “O ya karena Tuhan janji,” dan seterusnya. Tapi kita menemukan tidak seperti itu. Karena sebaliknya di dalam Alkitab itu menyatakan kalau sampai susah kita tetap ikut Tuhan atau nggak? Itu pertanyaannya.
Kembali lagi ya kalau saya tentang perjelas di sini karena poinnya itu bukan per se tentang kalau kita susah itu kita minta tolong pada Tuhan itu boleh dan memang ada tempatnya, tapi apakah relasi kita dengan Tuhan cuma hitung-hitung untung-untungan seperti itu? Kalau seperti itu kita nggak mengerti apa artinya menjadi anak-anak Allah, apa artinya menjadi umat pilihan-Nya, dan apalagi kalau sampai Tuhan minta kita ‘merugi’ kita itu pasti banyak yang tidak rela. Akhirnya nggak mengerti seperti apa pelayanan itu.
Nah saya kembali dalam sini, Paulus itu menyatakan, dalam bagian ini Gordon Fee menjelaskan bahwa di bagian ini kita nggak bisa luput bahwa Paulus itu mengingatkan meskipun dia senang menerima bantuan dari jemaat, tapi relasi dia itu bukan seperti itu, untung-untungan. Pelayanan supaya saya dapat bantuan, pelayanan supaya dapat sokongan, dan seterusnya. Meski ketika dia dapat, dia juga dengan rendah hati bersyukur menerimanya karena itu ada ekstrim lagi ya, sombong. Maksudnya itu kayak ya saya nggak membutuhkan ini terus dikasih, “O ya nggak apa-apa saya tidak butuh saya tidak butuh.” Itu untouchable gitu ya seolah-olah itu kayak di atas angin terus, “Saya nggak butuh. Saya nggak butuh,” itu ada masalahnya lagi, itu jadi nggak realistis juga dan tidak seperti yang digambarkan di dalam kehidupan para nabi dan para rasul. Tapi bagaimana ketika kita mengerjakan pelayanan itu biarlah kita kerjakan demi kemuliaan nama Tuhan dan demi pelayanan itu sendiri.
Kita kalau sudah kerjakan, korbankan, ya sudah tanpa pamrih, dengan tulus benar-benar demikian. Ketika suatu saat akhirnya sepertinya saya merugi di situ, saya nggak dapat imbalan balik yang saya harapkan, mungkin, meski dalam satu artian itu bisa manusiawi, ya kita bisa belajar ya sudah nggak apa-apa. Toh kerja saya sudah bisa kerjakan pelayanan itu sejauh yang saya bisa kerjakan di dalam waktu Tuhan. Dan saya serahkan semua ke dalam tangan Tuhan bukan untung-untungan, bukan untuk dapat uang, juga bukan mendapat jabatan, nama, dan seterusnya, nggak, tapi adalah bagi kemuliaan nama Tuhan. Dan ketika pun ketika sulit yang dihadapi Paulus ini dia ingatkan bahwa kukatakan ini bukan karena kekurangan tapi dia belajar mencukupkan dirinya itu. Nah itu jadi di bagian pertama itu dia counter tentang utilitarianisme ya, relasi untung-untungan dengan relasi dengan jemaat dan juga dengan sesama itu seperti apa, dan terutama kaitannya itu dengan Tuhan.
Lalu poin kedua adalah dia katakan bagaimana dia mencukupkan diri dalam segala hal. Istilahnya ini menarik ya karena itu dari bahasa Yunaninya autarkés itu adalah suatu content, dia itu independen, ada contentment di sana, dia itu bisa belajar mencukupkan diri dalam berbagai keadaan. Dia tidak dipengaruhi oleh keadaan itu. Ini mem-balance juga gitu ya, dia semacam kalau kita lihat dalam bagian itu mau imbangi. Dia tidak bergantung pada dia belajar mencukupkan diri dengan segala keadaan, dan ini bicara ya itulah kedewasaan hidup dia. Kedewasaan seorang itu bagaimana dia belajar mencukupkan diri dalam segala keadaannya itu. Nanti ada kesulitan ya dia hadapi. Ketika ada kelimpahan, ya dia juga hadapi. Hidupi dengan itu. Dan dia tidak terganggu ya kalau mau dibilang, secara kerohaniannya dan juga dalam relasinya di tengah ada kelimpahan ataupun kekurangan itu.
Nah ini dalam kehidupan kita dalam kita relasi dengan Tuhan itu juga yang pertama harus begitu ya. Orang kalau cuma kalau mengerti misalnya oh saya bersyukur karena apa? “Tuhan kasih saya berkat, saya berdoa Tuhan jawab.” Ya amin kita juga bersyukur untuk hal itu. Tapi bisa nggak sebaliknya ketika Tuhan pun memberikan kerugian, tapi kita mengerti ini adalah memang seturut kehendak Tuhan kita belajar taat menerimanya juga. Tentu ini bagian bukan bagian yang karena kita lalai atau sembrono, sembarangan dalam berusaha dan seterusnya, bukan di situ, tapi ada ketika bagian itu pun kita tidak terganggu relasi dengan Tuhan.
Selalu saya lihat makanya di dalam bagian ini, ketika masuk theologi sukses itu nggak bisa di sini. Karena begitu pengajaran masalah tentang dalam theologi sukses masalahnya kan di situ ya, kalau orang jatuh miskin, “Ini pasti kamu ada dosa karena kita anak Allah, kita pasti kaya.” Ya pertanyaannya itu ingatlah kita itu ada fase already not yet dan belum sepenuhnya, kita masih menantikan langit dan bumi yang baru. Tapi saya kembali sini adalah kenyataannya tidak mutlak seperti itu. Tuhan bisa, benar, memberikan berkat kepada orang dan anak-anaknya itu ada kelimpahan, tapi ingatlah kadang-kadang juga ada kekurangan. Dan kalau langsung selalu pikir, “Kenapa ya saya miskin? Ini jangan-jangan ada dosa.” Terus saya minta ampun minta ampun. “Tuhan tapi saya sudah minta ampun kok tetap miskin?” Atau paling basic sederhana kalau anak kita sakit, sudah membiru lalu kita bilang, “Oh ini pasti ada dosa,” ada dosa entah di anaknya entah di bapaknya terus berdoa minta ampun, tengking, tengking. Ya bawalah ke dokter gitu, nggak bisa dengan tengking tengking gitu.
Kembali lagi karena selalu pengertian dari theologi sukses itu adalah dia selalu one-sided, sangat one dimensional begitu. Hanya melihat di sana, tidak melihat keseluruahannya. Tidak melihat keseluruhannya bahwa kenyataannya Tuhan bisa memberikan kesulitan tantangan dalam kehidupan kita, dan bahkan kita bisa disalahmengerti, kita bisa memang dianiaya, di-bully, dan seterusnya, tapi selama kita itu dalam relasi dengan Tuhan kita mengerti kita berjalan dalam kehendak rencana-Nya ya kita taati itu ya.
Dan kembali lagi ya tentu ini bukan untuk dorong kita masuk ke ekstrim sebaliknya asketisme, semakin menderita semakin bagus. Seperti kalau dalam pemikiran di dalam agama Hinduisme misalnya itu adalah dengan menyiksa diri. Bagaimana rohani? Ya kamu puasa, puasa ya. Bisa memang sebagai latihan rohani tapi kalau cuma demi puasa itu sendiri ya nanti lama-lama di situ ya, bertapa, semedi, menyiksa diri kalau perlu terus bertapa di goa air gitu ya. Makin tersiksa makin nggak enak, “Oh itulah saya lepaskan kebergantungan dengan hal yang badani ini,” nggak seperti itu. Kita ya melihatnya penderitaan itu, itu adalah hal yang tak terhindarkan tapi juga bukan untuk kita kejar-kejar cari seperti itu karena kenyataannya kita bisa masuk juga dalam penyimpangan, ada penderitaan-penderitaan yang nggak perlu gitu ya.
Tapi bagaimana di dalam berbagai kesulitan maupun juga kelimpahan yang Tuhan sediakan kita belajar mencukupkan diri itu. Kedewasaan itu ada di sana gitu ya dan ini biarlah kita belajar itu dengan lebih ada sifatnya itu koreksi diri ya, crosscheck kepada diri kita sendiri juga. Kita mungkin sesudah dewasa di dalam satu titik ya, tapi kita juga bisa ada masih kekanak-kanakannya di bagian lain, dan itu permasalahan dalam kehidupan ini. Kita tidak ada itu kaya sudah dewasa, sudah itu terus nggak pernah turun gitu. Kenyataannya kerohaniannya orang bisa naik turun. Dan itu adalah bagian setiap ketika membaca merenungkan bagian ini, itu bagian istilahnya untuk kita koreksi diri, introspeksi diri kita. Kita sendiri bisa ada jatuh bangun di dalam bagian ini, kedewasaan itu tidak suatu yang konstan ya, tapi kita belajar konsisten. Ini bisa bedakan ya kalau konstan itu ya konstan pokoknya ini saya lepas ya ini turun ke bawah begini. Ini konstan gravitasi gitu ya nggak akan berubah.
Tapi konsisten itu bisa ada naik turunnya tapi dia bisa itu di dalam kestabilan tertentu karena kita itu kehidupan itu nggak begitu ya. Kita bukan mesin ya, kita bukan hukum alam yang konstan yang tak berpribadi, tapi kita bisa jatuh bangunnya itu, tapi bagaimana kita belajar untuk konsisten. Kalau sudah kita sadar kita ada mundur rohani kita belajar maju lagi gitu ya. Kalau ada satu bagian itu kita sudah bertumbuh kita bersyukur gitu ya tapi ingatlah kita terus bergumul dalam kehidupan ini. Kedewasaan itu baik bicara dari aspek secara fisik maupun juga ya tentu yang lebih terutama dalam aspek rohani kita, mental kita gitu ya, dalam menghadapi berbagai situasi itu apakah kita bisa tetap seperti Paulus katakan ini mencukupkan diri dalam segala keadaan? Mencukupkan diri dalam segala keadaan.
Dan di dalam bagian ini menariknya ya ketika ada yang bilang kalau Gordon Fee bilang ini seperti meteor stoikisme gitu ya, oh dia belajar self-sufficient gitu. Tapi kalau kita lihat secara keseluruhan dia bukan masuk ke stoikisme ya. Stoikisme itu ya filsafat yang lain lagi yang pokoknya cukup pada diri, cukup pada diri. Tapi di bagian ini Paulus belajar dia itu sufficient in Christ, yaitu dia belajar mencukupkan diri di dalam Kristus karena di dalam Kristus dia rasa cukup itu, kecukupan itu adalah karena ada di dalam Tuhan.
Nah ini bisa kelihatan antara juga mirip atau sepertinya mirip gitu ya, jadi kira-kira gini kalau orang stoik itu dia alami penderitaan, “Oh nggak apa-apa ini ujian karakter saya ya ujian saya itu bisa lebih sabar. Kala dalam kelimpahan ini juga ujian bagaimana saya itu tidak foya-foya misalnya ya, tidak jadi lupa diri,” dan seterusnya ya. Bagi kalau orang Kristen mungkin bisa kelihatan kaya sepintas di situ sama. Tapi yang bedanya itu pada motivasi dan spirit paling lebih dalamnya yaitu kita mengerti adalah ketika ada dikasih pun kerugian, kita belajar bergumul di hadapan Tuhan, apa artinya saya belajar cukup di hadapan Tuhan ya? Saya nggak tergoyang di sana. Dan ketika Tuhan izinkan ada kesulitan, kita belajar bergumul apa maksud Tuhan di balik semua ini? Dan juga makanya ketika Tuhan berikan kelimpahan, apa artinya Tuhan memberikan kelimpahan ini?
Menarik itu ya kalau dalam bagian kisah Alkitab kita temukan, saya ambil dari Perjanjian Lama gitu ya seperti yang dialami Yusuf ya. Dalam banyak lika-liku yang dia alami itu dia belajar bagaimana terus bergantung pada Tuhan itu loh. Itu kadang-kadang orang kan maunya seperti Yusuf, “Wih jadi Perdana Menteri, jadi tangan kanan Firaun.” Ya mau nggak dituding, difitnah berkali-kali, masuk penjara, sampai alami penderitaan panjang sekali baru terakhir itu kayak naik sedikit gitu kalau mau dibilang seperti itu. Kita cuma mau ending-nya kan? Tapi selalu ada penderitaan lebih dahulu sebelum kepada kemuliaan. Demikian juga Pak Tong katakan itulah yang dialami Kristus, menderita dulu baru kemuliaan ada. Dan itupun kita mengerti di dalam aspek lain secara kita mengerti itu penderitaan itu secara voluntary, secara sukarela kita melakukannya. Secara aktif kalau mau dibilang di situ, dan nanti kita dipermuliakan itu sebenarnya secara pasif ya. Itu kita jangan kebalik di sini. Tapi saya kembali lagi di sini ya. Ketika menjalani demikian sampai di titik yang sulitnya itu kita lihat tetap ada dia tetap bergumul dan tetap bersandar pada Tuhan.
Dan menarik itu ya lalu di dalam satu mimpi pada Firaun itu kan dikatakan itu kan ada tujuh tahun kelimpahan, tujuh tahun masa penderitaan. Mungkin kalau kita cuma tahu gitu ya tanpa tahu mimpi itu kan mungkin pikir oh iya sama aja toh. Maksudnya gini, tanpa dikasih tahu Firaun oleh Yusuf, hal itu akan tetap terjadi kan? Lalu apa sih benefit-nya yang disampaikan arti mimpinya dari Yusuf ini? “Oh, jadi tahu ya arti mimpinya?” Saya percaya bukan cuma situ ya, tapi kalau kita lebih dalam itulah bagaimana me-manage kehidupan ini sendiri. Karena kalau orang tidak sadar adanya masa kelimpahan lalu nanti ada masa kekurangan, dia nggak belajar saving di tengah kelimpahan yang ada supaya mencukupkan diri ketika muncul kesulitan itu. Dan itu kita mengerti biasanya dari Yusuf sendiri mengerti bagaimana memeliharakan apa tafsiran dari mimpi yang memang tentu dari Tuhan yang diberitahu ke dia, dan menariknya nanti di akhir dari Kitab Kejadian itu pasal 50 bagian akhir dia katakan itu tujuannya untuk memeliharakan kehidupan suatu bangsa, specifically tujuannya malah untuk memeliharakan kehidupan Israel gitu ya. Itu makanya bagian situ kita kalau mau renungkan bagian itu ya, ya ada kelimpahan ya ada kekurangan. Tapi itu dialami dan belajar mencukupkan diri dalam Tuhan dan meresponi dengan bijaksana di hadapan Tuhan itu.
Kadang-kadang kita kalau salah pahami juga bagian aspek ini ya kadang-kadang juga bisa misalnya di dalam doktrin Reformed itu sangat kental bicara tentang predestinasi. Kadang-kadang orang pikir ini sama kaya takdir, nasib gitu ya. Kenapa kamu lahirnya kaya? “Oh, ya itu takdir saya itu nasib saya.” Kenapa miskin? Kenapa menderita? “Oh, iya itu nasib.” Tapi apa bedanya predestinasi dengan takdir atau nasib seperti itu? Beda sekali. Karena takdir itu sangat-sangat impersonal ya. Saya ulang ya, salah satu yang pokoknya paling keliru itu adalah takdir itu bersifat impersonal. Kenapa kamu begini? Ya sudah emang begini, inilah yang disuratkan bagi saya, inilah yang dituliskan buat saya ya sudah saya jalani. Memang saya tadinya susah ya susah, saya tadinya memang selalu senang ya selalu senang ya sudah saya jalani saja. Tapi kalau kita mengerti dalam predestinasi itu bersifat personal, yaitu ini adalah kehendak Tuhan, berarti ada tujuannya dong. Lah iya dong, ada tujuannya karena berarti ketika ada suatu kesulitan diberikan, ada maksud Tuhan di balik itu. Dan sebaliknya ketika Tuhan memberikan suatu kenikmatan di sana juga ada maksud Tuhan di sana, bagaimana kita bergumul itu selalu relasinya itu dengan Tuhan, apa maksud Tuhan ketika Dia hadirkan itu.
Banyak orang itu cuma bisa terima-terima saja akhirnya gagal mengerti sebenarnya maksud Tuhan, bentukan Tuhan apa, kenapa kita dihadirkan, dilahirkan di tahun ini kalau mau dibilang gitu ya, di keluarga seperti ini, kondisi seperti ini, zaman seperti ini, dan biarlah kalau kita memang punya relasi yang hidup di hadapan Tuhan kita bisa bergumul mengerti apa bentukan yang Tuhan nyatakan dalam kehidupan kita karena tiap-tiap orang beda dalam bagian ini. Dan memang meski kuncinya sama, bagaimana kita belajar mencukupkan diri dalam segala hal, dan kita bisa bergumul mengerti maksud Tuhan apa ketika Dia hadirkan, izinkan dalam kesulitan dalam kehidupan kita maupun dalam pimpinan-Nya ketika kita melihat ada berkat-berkat Tuhan ataupun talenta yang Tuhan berikan, maksud Tuhan itu apa. Nah itu kita gumulkan di situ. Kalau takdir ya ujungnya saya dapat, terus saya just kira-kira live up gitu ya pokoknya saya hidup ya sudah bertahan hiduplah, survive dengan situasi yang ada. Tapi ketika kita mengerti itu ada dari maksud pemberian Tuhan, itu adalah suatu yang personal diberikan, maka kita gumulkan maksud Tuhan apa ketika Dia kasih saya hal ini, apa maksud Tuhan ketika Dia izinkan hal ini terjadi.
Dan di bagian ini saya percaya ketika kita kembali dalam Paulus ini dia belajar ya segala hal dia belajar mencukupkan diri di dalam Kristus. Dan ini kadang-kadang ya kalau kita juga melihat gitu ya, kita mengerti dalam kehidupan itu segala di dalam Roma 8:28, “Kita tahu sekarang Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan.” Biarlah kita mengerti kebaikan yang diberikan kepada kita itu bukan cuma bagi kita per se, tapi ada untuk kita bertumbuh semakin serupa Kristus karena di ayat 29-nya dikatakan demikian. Jadi kita bukan cuma mengerti oh pokoknya Tuhan kasih baik, baik ke saya, baik, baik kepada saya, ya nggak. Kita mengerti kalau Dia berikan sesuatu itu adalah untuk kita bertumbuh semakin serupa Kristus, itulah kebaikan itu sendiri. Jadi kebaikannya bukan bilang kenyamanan kita atau untung-untungan kita, kembali lagi itu bukan asas manfaat ataupun bukan sekedar, “Oh kita kuat mentalnya kaya ala orang stoik gitu,” tapi untuk kita mengerti kita dipakai menggenapi rencana Tuhan dalam kehidupan kita.
To be fair saja kalau kita ngomong misalnya dalam bagian itu ya ketika kita mengerti segala sesuatu dalam penetapan rencana Tuhan dan Dia berikan dalam kehidupan kita, ketika misalnya dialami Ayub, apa sih kebaikan bagi Ayub itu alami penderitaan seperti itu? Kalau mau jujur ya, Ayub juga rasa nggak ada baiknya. Lah iya toh ngapain itu dialami semua habis terus akhirnya oh iya dipulihkan lagi gitu ya. Kalau kita sukanya terakhir pulihnya doang. Tapi kalau kita mengerti kebaikan yang dimaksudkan situ adalah bukan saya kalau mau tafsirkan bagian ini, itu belum tentu sesuatu yang benar-benar Ayub itu bisa respon, “Oh ini suatu kebaikan ya, saya dari hidupnya kelimpahan, saya sudah taat Tuhan, saya menderita susah sekali kehilangan semua anak gitu ya sampai boroknya itu harus pakai beling untuk korek-korek seperti itu, oh akhirnya pulih, baik,” gitu. Nggak. Saya yakin itu bisa kayak bergumul ini tujuannya apa? Tapi kemudian hari kita mengerti adalah ternyata kisah itu adalah untuk dituliskan dalam Kitab Suci yang menjadi kebaikan, dan kalau mau dibilang jadi buah pelayanan, apa kesaksian kehidupan Ayub itu bagi orang Kristen sepanjang segala zaman. Dan itu dia nggak tentu lihat. Jadi melampaui gitu ya, kalau kita bisa nangkap sini kita melihat secara totalitasnya itu bagi orang percaya segala zaman sebenarnya. Selain memang bicara tipologi pada Kristus. Kita mengerti adalah itulah yang dinyatakan di sana. Apakah Ayub mengerti semua itu, ya tidak.
Sama halnya kalau kita baca misalnya seperti silsilah di dalam Matius gitu ya, pembuka gitu kan, oh anak ini memperanakkan ini memperanakkan ini memperanakkan ini kan anaknya ini. Kita tanya dia apa adanya kalau kita mau fair gitu ya apa adanya dan jujur tidak mistik gitu ya pikir terlalu ngawur-ngawur gitu, itu si Rut waktu ikut Naomi itu pikirnya apa sih? Bangsamu adalah bangsaku, Allahmu adalah Allahku, yaitu itu aja cetusan imannya kan kalau mau dibilang sederhana. Ia belajar bersandar pada Tuhan dan dia percaya pada Tuhan. Kira-kira ya kalau kita tanya Rut ya, kenapa ikut Naomi kembali ke Israel? “Iya karena Tuhan persiapkan saya jadi nenek moyangnya Tuhan Yesus.” Ya nggak ada lah, nggak ada yang berpikir seperti itu. Kita bisa lihat ini ya maksud saya. Ya dia nggak bisa lihat bahkan sampai mati dia nggak paham tujuannya itu sampai situ. Apalagi kalau kita mengerti yang tulis Kitab Rut kemungkinan besar bukan Rut sendiri ya. Tapi itu ada dipakai di dalam relasi rencana Tuhan, kalau di dalam ending dari Kitab Rut, mempersiapkan Raja Daud. Tapi nanti diteruskan lagi dalam Injil Matius, diteruskan ini mempersiapkan Mesias. Apakah Rut mengerti panggilannya sampai sebesar itu? Ya nggak. Tapi dia taati, dia taati, ya dia jalani seperti apa sesuai dengan prinsip firman dia jalani, ya ternyata Tuhan pakai ya. Itu kalau kita mau lihat secara lebih luas itu ada maksud rencana Tuhan dalam kehidupan kita dan kita belajar bergumul di dalam bagian itu.
Saya kembali di sini dan menarik ya kemudian di ayat 12-nya itu katakan, saya terjemahkan ulang ya karena kalau mengikuti teksnya itu bisa agak beda, “Aku tahu bagaimana menjadi kurang dan aku tahu bagaimana berkelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala keadaan aku telah belajar rahasia untuk menghadapi kebanyakan maupun kelaparan, kelimpahan maupun kekurangan.” Nah ini kita menemukan di ayat 12 ini suatu ungkapan merisme ya, itu secara bahasa merisme itu seperti, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi,” lalu kita tanya loh planet lain di mana, bulan di mana, itu bahasa merisme itu bicara keseluruhan atas sampai bawahnya gitu ya. Mazmur 1:2 “Orang yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.” Oh, berarti sore nggak boleh ya, subuh nggak boleh. Loh bukan, itu bicara keseluruhan, merisme gitu ya. Dan itu bicara itu loh dengan fase kehidupan itu seperti itu di ekstrim kutub satu dan kutub sebaliknya kita menjalaninya itu. Nah ini yang dimaksud Paulus. Dan Paulus menjalani itu ada dia mengalami kekurangan dan kelimpahan itu ya. Dia menjadi itulah seni kehidupan, itu adalah rahasia seni kehidupan bagaimana menjadi orang Kristen.
Jadi kita bukan orang Kristen itu bukan cuma sekedar, “Oh kalau saya kelimpahan, kelimpahan, kelimpahan,” itu masuk theologi sukses. Tapi juga bukan ke ekstrim sebaliknya pokoknya asketisme pokoknya kita kurang terus menderita terus makin menderita kayaknya makin rohani, ya nggak. Kita nggak masuk ke sana. Tapi bagaimana kita mengerti rahasia ya kalau mau pakai istilah itu mueo dalam bahasa Yunaninya itu rahasia atau mau dibilang suatu seni kehidupan orang Kristen menyikapi ada kekurangan maupun kelimpahan itu.
Kalau saya merenungkan di dalam bagian ini ketika bicara kekurangan itu seperti apa ya? Misalnya lah kalau saya contoh ya misalnya ada seorang pemuda kalau dia bekerja lalu gajinya 5 juta itu kira-kira besar nggak? Mungkin ada yang kita rasa besar atau ya kecil ya lumayan gitu ya. Tapi kalau misalnya kita contohkan seperti salah seorang pendeta di kita ya, yang dulunya dia itu sudah bekerja di dunia sekuler dan dapat gaji sampai 1 milyar per tahun lalu dia jadi hamba Tuhan terus gajinya 5 juta per bulan, itu besar nggak? Kecil sekali kan sebenarnya. Tapi di sini kita mengerti kekurangan, kelimpahan itu dari perspektif mana? Ada di dalam bagian ini kadang-kadang kita mengerti ada perspektif dari apa yang kita pikir seharusnya atau sepatutnya atau sebelumnya itu dimiliki ya. Tapi ketika kita melihat ada kejadian seperti itu ya terjadi itu dalam kehidupan hamba Tuhan ataupun juga setiap kita ya bisa alami itu, biarlah kita mengerti ini berarti masuk, kalau mau dibilang, dalam kelas rohani yang Tuhan sedang siapkan dalam kehidupan kita untuk kita belajar rahasia atau seni kehidupan itu sendiri seperti apa. Kalau mau dibilang itu supaya biarlah kita itu ketika sampai miskin sekali itu nggak sampai sangkal Tuhan, tapi sampai kaya juga nggak ‘norak’ sampai lupa diri, lupa Tuhan.
Nah kehidupan itu kadang menggocoh dari berbagai segi kadang membentuk kita ketika Tuhan hadirkan. Selalu permasalahan adalah ketika kita tidak mau tidak rela masuk ke sananya nanti kita bisa berdelusi lah, “Wah ini zaman sekarang nggak apa-apa saya keluar saja, tidak ada itu penyakit itu ah COVID itu bohong apalah itu kita jalan,” delusi itu kaya nggak ada apa-apa gitu ya. Kita nggak masuk ke sana. Tapi gimana itu kita singkapi ketika kesulitan itu real, nyata di hadapan kita, bagaimana kita belajar bergumul di hadapan Tuhan. Bagaimana kita belajar mengerti bahwa, “Oh mungkin ya selama ini Tuhan sudah kasih kita masuk di les kelimpahan sekarang masuk di les kekurangan.” Seperti apa kita jalani? Kalau di masa kelimpahan, oh kita belajar bisa bersyukur memuji nama Tuhan, waktu masa kekurangan kita bisa nggak tetap memuji memuliakan nama Tuhan? Nah itu ada ujian dalam kehidupan itu dan itu ada seninya gitu ya.
Kalau mau dibilang itu ada teman saya dulu itu kami pemuda ngomong itu ya, itu kira-kira kalau orang yang bahagia itu apa? Itu dia ungkapkan dengan makanan gitu ya, bisa makan di restoran yang top juga bisa makan yang di emperan dan tetap bisa menikmatinya. Wah dia bilang itu baru mengerti apa itu makanan itu enak atau nggak, dan hidupnya tidak dikontrol oleh lidah kalau mau dibilang di situ ya. Tapi ada orang baru dapat kelaparan sedikit wah sudah nggak bisa. Ah maunya cari yang kenyang kenyang kenyang sebaliknya. Tapi sebaliknya juga ada orang yang karena selalu susah gitu ya tetapi sebenarnya motivasi dalamnya itu terus mau cari kekayaan, terus mau cari kelimpahan. Begitu dapat kelimpahan, langsung tinggalkan gereja.
Saya heran juga kenapa kadang ada begitu ya. Ada kadang-kadang ada cerita tentang orang itu waktu dulu dia kehidupannya masih sederhana wah dia rajin pelayanan ikut pekerjaan Tuhan gini gini gini. dia memberikan persembahan ya giatlah pokoknya terbaik yang dia bisa berikan. Terbaik yang bisa dia berikan. Tapi kemudian ketika dia naik jabatan, eh, eh, sudah ndak pelayanan lagi, tinggalkan gereja, dan seterusnya. Saya heran lho, lho kan ini baik. Kembali lagi ya, kita jangan masuk ke ekstrem, “Oh kalau gitu makanya orang Kristen jangan naik jabatan,” lho bukan di situ. Permasalahannya bukan di situnya, tetapi bagaimana dia sikapi kenaikan jabatan itu, dan kenaikan gajinya, kenaikan bisa mungkin dalam kehidupannya itu seperti apa. Apakah dia jadi terbawa, tergiur dengan kenikmatan itu sampai akhirnya melupakan Tuhan? Itu permasalahannya. Termasuk sebaliknya juga bisa ada gitu ya, ada orang bisa mengalami kesulitan sekali, sampai akhirnya lupakan Tuhan. Padahal sebenarnya di dalam bagian ini kita ingat sebenarnya ketika Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita, Dia sedang membentuk kita di sana.
Paulus sendiri kalau kita lihat secara, mau secara apa adanya gitu ya, tadi juga sempat di awal oleh Pak Hendra ya, oleh liturgis katakan, dia ini sebenarnya background-nya apa? Oh, itu orang top, dari orang Farisi, di antara kalangan Yahudi, dia ini golongan top. Dia aja bisa akses sampai dapat itu surat dari Mahkamah ya untuk bisa menganiaya orang Kristen, jadi dia akses ke atasnya itu bisa sampai segitunya. Dan di bagian ini, kalau kita lihat, pelajari secara sistem perekonomiannya atau sosial kehidupannya zaman itu, ya dia ini berada. Oh, Paulus itu orang berada, tahu apa itu benar-benar kenyang. Mungkin bertahun-tahun sebelumnya dia juga menjalani kehidupan itu secara kenikmatan. Ya iyalah dia posisinya terhormat, tinggi kok di dalam posisi jabatan orang Yahudi zaman itu ya. Kembali lagi ya, ketika kita membaca Farisi itu kita harus mengertinya secara melihat apa adanya, ya memang seperti itu. Tapi bisa sampai mengalami kemiskinan sebegininya sampai dipenjara, sampai ndak makan berapa hari. Kita ndak bisa bayangkan seperti apa kesulitan yang dihadapi. Mungkin bisa jadi kayak, “Kalau gini buat apa saya ikut Tuhan? Rugi!” Tapi bagian sini Paulus bilang itu saya belajar seni kehidupan, bagaimana mengikut Tuhan itu seperti apa. Belajar waktu kelebihan seperti apa, waktu alami kekurangan seperti apa, dan ini adalah suatu proses ya bukan suatu yang instan.
Saya percaya di dalam bagian ini bukan cuma suatu syair-syair indah yang dituliskan Paulus, “Oh, bagusnya tulis begini, tulis begini,” tapi dari refleksi perenungan dia yang mendalam dengan firman Tuhan, dan tentu bagian ini juga Roh Kudus yang memimpin dia untuk bisa menuliskan demikian dan mengarahkan dia untuk menuliskan hal itu, dan kita lihat itulah yang dijalani oleh Paulus, dan itu yang diingatkan kepada jemaat.
Dalam kehidupan kita, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dalam kehidupan kita di dalam relasi satu sama lain biarlah kita ingat kesulitan tantangan itu memang selalu bisa hadir dalam kehidupan. Di dalam bagian ini saya ingat kalimat dari Pendeta Calvin Bangun ya dia katakan, “Setiap masa ada kesulitannya dan setiap kesulitan ada masanya.” Ya itu menarik ya, “Setiap masa ada kesulitannya.” Ya itu kadang-kadang orang pikir kalau minimal lah engkong saya almarhum, dulu suka ngomong, “Zaman kamu ini sudah enak, dulu engkong susah, gitu ya, zaman dulu susah, zaman dulu susah, sekarang enak, semua enak ya.” Ya engkong saya tidak alami COVID gitu ya, kalau kayak gini sekarang susah gitu ya. Tapi sebenarnya kalau kita mau fair, sebenarnya zaman dulu susah dan sekarang enak, itu zaman sekarang juga ada kesulitannya sendiri. Setiap masa itu ada kesulitannya. Cuma memang mungkin dia lihat dari perspektif angle yang lain yaitu maksud dia adalah, mungkin ya, “Dulu itu ya engkong ke mana-mana itu harus naik sepeda, wah sekarang kamu ada kendaraan, mobil, cepat gitu sampai tujuan.” Ya tapi kesulitan kita ada berbeda juga, bukan hanya karena masalah transport kita bisa cepat sampai tujuan itu semua masalah beres. Dalam perspektif atau angle, sudut pandang yang lain, ada kesulitan yang berbeda, sehingga setiap masa itu sebenarnya ada kesulitannya masing-masing. Kalau kita mau buka untuk champion ya, yang mana lebih susah, yang mana lebih susah, zaman dulu lebih susah atau zaman sekarang lebih susah? Tidak seperti itu. Tapi kita lihat setiap masa itu ada kesulitannya masing-masing, dan kita belajar menghadapi kesulitan yang berbeda-beda di dalam aspek yang berbeda dalam kehidupan, dan kita dibentuk melalui itu.
Dan sebaliknya, kalimat keduanya dikatakan juga, “Setiap kesulitan ada masanya,” yaitu kesulitan itu ya ndak selama-lamanya. Ada periodenya. Sehingga ketika kita alami suatu kesulitan, biarlah kita ingat belajar bagian ini, bersabar, karena ndak selama-lamanya. Berapa lama? Ya kita nggak tahu. Seperti misalnya pandemi ini berapa lama? Kita berharap lebih cepat, kita mendoakan supaya ini berlalu, ditangani dengan vaksin dan semuanya, tapi ya ada masanya. Dan di dalam fase masa ini kita belajar bersabar dalam bentukan Tuhan seperti apa. Setiap masa ada kesulitannya dan setiap kesulitan ada masanya. Dan kita belajar bersabar, “Oh, ada kesulitan ini,” ya ingatlah ini ndak selama-lamanya.
Menarik ya, ketika dalam bagian ini saya teringat juga gitu ya, seperti dalam kisah yang Tuhan Yesus ceritakan tentang Lazarus dan orang kaya, itu sederhana sih cerita itu ya, tapi menarik, indahnya itu Lazarus bisa dibilang sulit, sulit terus kehidupannya, bayangkan sampai dia matinya itu dalam kustanya, itu tidak ada makanan, sebegitu itu, mati seperti itu, terus boroknya itu dijilat anjing. Siapa sih kita sulitnya itu sampai segitu? Kira-kira gitu ya. Aduh, miskinnya, sulitnya mungkin sampai seperti begitu. Tapi di surga dia duduk di pangkuan Abraham. Menarik ya, di surga itu kalau mau dibilang ya, masalah kasta-kasta sosial kayak gini, yang kaya sama miskin bisa sama. Karena kuncinya adalah bukan masalah di kekayaannya atau kemiskinannya, tapi adalah bagaimana dia itu beriman kepada Kristus sampai di akhir hidupnya, ya itulah yang membawa kita ke sana.
Tiap-tiap kita punya kisah sendiri, tiap-tiap kita mengalami tantangan yang berbeda, dan berproses secara berbeda juga dengan lika-liku yang ada, tapi biarlah kita melihat itu bentukan Tuhan dalam kehidupan kita. Ada konteks kehidupan yang apalagi kalau masuk dalam bergereja yang mana lebih majemuk lagi, berbagai macam bentukan lagi ke dalam karakter yang berbeda, kita lihat itu Tuhan bentuk kita. Kadang-kadang Pak Tong itu pernah bilang ya, kadang dalam pelayanan ketika dia alami, oh ada itu kalanya itu orang koreksi dia, tegur, “Oh kamu salah ini, kamu salah ini,” dapat cemoohan, dia belajar bersabar, tidak goyang. Terus setelah dia jalan, pelayanannya di fase lebih belakang, oh orang suka puji, “Oh bagus khotbahnya, bagus khotbahnya,” nah dia ingat di bagian itu Tuhan ingatkan dia juga, kamu sudah kuat hadapi kalau kritikan kenceng masuk, gimana kalau dapat pujian masuk, kamu goyang ndak?
Nah itu, dalam kehidupan itu selalu ada begitu ya bisa silih berganti, bisa juga ada fasenya masing-masing seperti apa, tapi kita lihat apakah kita tetap mengerti kita itu bergantung pada Tuhan dan menjalankan panggilan kehidupan kita. Dan ini yang ditekankan Paulus di sini, bagaimana dalam kesulitan yang berat yang dia juga sulit pahami – kita tidak bisa bayangkan seperti apa kelaparan dia juga hadapi di situ dan dia mungkin misalnya waduh seperti apa itu rasanya dulu bisa makannya kenyang gitu ya, kenyangnya itu seperti apa tapi juga bisa alami kelaparan seperti apa – dia belajar tidak bergantung pada hal yang gitu. Dan itu adalah kematangan, kedewasaan yang tetap kita lihat ya Paulus itu makin sulit ke dalam, justru makin bertumbuh secara kerohaniannya, makin lebih tajam lagi dipakai bisa menyampaikan kebenaran firman. Dan kita lihat itu ada pertumbuhan, pertumbuhan di sana. Karena memang kehidupan kita di sini kan cuma musafir, cuma sementara, dunia ini fana. Bukan fana dalam artian tidak ada artinya, tapi memang akan berlalu. Yang Tuhan sediakan bagi kita itu di langit dan bumi yang baru yang akan datang, dan kita menuju ke sana, menuju ke sana, dan kita bergerak seperti demikian.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dalam bagian ini, kalau kita lihat dalam narasi lebih besarnya lagi di dalam Kitab Filipi, maka kita akan diingatkan ini semua dijalani Paulus, saya percaya, bukan hanya per se karena dia orang rohaniawan, tapi karena dia ingat itulah yang telah diteladankan oleh Yesus Kristus sendiri. Dialah yang memiliki kesetaraan dengan Allah itu tapi yang memilih mengosongkan diri-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba, lalu Dia taat, taat sampai mati di kayu salib. Itu adalah perendahannya sedemikian, Kristuslah yang dari permulaan itu menikmati segala kelimpahan dari kekal sampai kekal, relasi dengan sukacita dengan Allah Bapa, selalu berada di samping Bapa, selalu berada dalam persekutuan yang indah, interaksi Trinitarian di dalam pribadi Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus, saling mengasihi, saling, saling memiliki, saling mereka keakraban, cinta kasih, di dalamnya. Tapi kemudian harus mengalami, mengambil rupa seorang hamba, Dia menjadi ditelanjangi ketika datang ke dalam dunia ini.
Dia harus ambil rupa yang begitu rendah di bawah, demi apa? Demi menggenapkan rencana Bapa. Dan itu dialami Kristus juga. Tapi sebagaimana Dia belajar, sebagaimana Dia itu taat kepada Bapa, dari kekal, sampai juga dengan sini, Dia juga menjalani ketaatannya itu terus menerus, bukan hanya ketika dalam kelimpahan surgawi di sana, yang memang sepatutnya Dia miliki, Dia taat, tapi juga sampai minusnya, sampai mati di kayu salibnya, tetap taat kepada Bapa, menggenapi rencana Bapa. Itulah ada kelimpahan, ada kekurangan, itu juga dialami Kristus. Dan kita mengerti kenyataannya itu menjadi satu kebaikan, kebaikan apa? Bukan kebaikan buat diri Dia, rugi lho, bener-bener rugi lho Kristus itu, tapi menjadi kebaikan bagi kita, umat-Nya, menjadi suatu kebaikan yang altruist, menjadi kebaikan bagi yang lain, menjadi pribadi yang lain, dan itulah yang saya percaya bagian ini Paulus melihat itu yang dikerjakan Kristus, dan dia teladani.
Setiap kesulitan, kita mengingat Kristus sudah lebih dahulu menjalani itu. Setiap kita belajar sangkal diri, pikul salib, biarlah kita ingat Tuhan kita sudah lebih dahulu sangkal diri, pikul salib dan menjalani, mentaati kehendak Bapa. Bagaimana Kristus menjalani kesulitannya itu bukan karena Dia sengaja cari susah. Karena memang sudah waktunya, sudah waktunya, memang menggenapi misi-Nya. Dan di tengah semua ini ketika jalani, ya setan tidak tinggal diam. Kalau kita lihat itu saja, begitu kan kejadiannya, Kristus menjalani pergumulan itu dalam pelayanan Dia, Dia mengerti klimaksnya itu adalah Dia naik di atas kayu salib. Tapi dalam pencobaan dialami Tuhan Yesus, itu dialami berkali-kali apa? Untuk menjauhkan dari salib itu sendiri.
Oh, kalau kita pikir, “Setan baik ya, tidak mau Yesus disalib, tidak mau Yesus menderita, ya, lebih rohani gitu ya,” lho ndak. Kita mengerti dia itu mau melawan misi dari Kristus sendiri. Menarik ya di bagian sini, D. A. Carson juga mengatakan gitu ya. Ketika apa pencobaan yang dialami Tuhan Yesus itu sebenarnya itu untuk apa sih? Untuk supaya kamu tidak perlu kemuliaan itu tanpa, kamu bisa dapat itu tanpa salib. Taruhannya itu di salib. Taruhannya itu di sana. Itu seperti, “Oh kamu bisa dapat kejayaan, kemuliaan itu tanpa perlu menderita.” Tapi Kristus lebih memilih menderita, kenapa? Bukan karena senang menderita, kembali lagi ya, tapi karena kalau itu memang kehendak Bapa, ya Saya jalani. Itu kalau memang itu kehendak Bapa, ya Saya jalani.
Dan itu kita lihat, sampai narasi akhirnya sampai Dia bergumul di Getsemani itu, ya memang, “Ya Bapa jikalau sekiranya mungkin biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku.” Itu cawan murka Allah. Kalau kita pikir bagi Kristus apa Tuhan Yesus tidak mau selamatin kita, gitu ya? Lho tapi Dia bergumul itu memang Dia bukan senang menderita gitu, bukan orang seneng cari mati gitu, YOLO gitu, “Oh, hidup cuma sekali, cari mati aja gitu,” ndak. Tapi kalau memang, jikalau sekiranya mungkin biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tapi biarlah bukan kehendak-Ku, secara manusia, tapi kehendak-Mu yang dari Ilahi itu yang berjalan. Dan itulah maksud di dalam doanya dalam Getsemani itu. Dan di dalam bagian ini juga ketika itu dialami Kristus, itu karena mengerti adalah untuk menggenapi rencana Bapa. Menggenapi rencana Bapa. Kalaupun harus sampai menderita sedemikian, yang penting rencana Tuhan tergenapi. Jalan, genap, karena itulah makanan Kristus memang ndak lain adalah untuk melakukan kehendak Bapa, makanannya adalah untuk melakukan kehendak Bapa.
Pendeta Benyamin Intan katakan, ini istilahnya masih sesuatu yang hakiki, makanan itu kan sesuatu yang esensial dalam kehidupan kita. Tapi Kristus pengertiannya itu yang esensial apa? Kalau orang Asia itu nasi gitu ya, apa apa kalau makan itu nasi ya, kalau belum nasi belum kenyang gitu ya. Tapi yang esensial bagi Kristus adalah kehendak Bapa, kehendak Bapa, kehendak Bapa itu digenapi ndak. Dan terus fokuskan kehidupannya di sana. Ketika waktunya sudah tiba, Dia harus naik disalibkan, Dia akan disalibkan. Tapi kalau belum tiba ya Dia juga tidak kejar-kejar ke sana. Berkali-kali itu ada di dalam narasi, apa yang dicatat dalam Injil ya, ketika Dia ada bagian mau ditangkap, Tuhan Yesus hilang dari sana, kenapa? Waktunya belum tiba. Waktunya belum tiba. Tapi kalau waktunya sudah tiba, kita jangan mundur dari situ. Dan itu yang diteladankan Kristus sampai mengalami pukulan sampai sedemikiannya, tapi adalah menggenapi rencana Bapa demi keselamatan kita.
Sehingga di dalam bagian ini, saya percaya, ketika Paulus renungkan bagaimana hidup meneladani Kristus itu, itulah sebabnya nanti di bagian lain itu dia katakan, “Ikutlah aku seperti aku ikut Kristus.” Di bagian ini saya sudah pernah khotbahkan sebelumnya itu bisa kesannya sombong, “Ikut aku,” oh emangnya dia siapa gitu. Cuma maksudnya adalah karena saya sudah berusaha sedemikian mengkonkritkan, mengkristalisasikan bagaimana mengejawantahkan apa yang Kristus masukkan, yang Dia capai dalam misinya, yang saya hidupi dalam konteks saya. Dia bukan sekedar ikut Kristus tampilan luarnya gitu ya, kenyataannya Paulus kemungkinan besar mati dipenggal kan, dia bukan disalib. Ikutnya apa? Ya itu ikut bagaimana sangkal diri, pikul salib sampai akhir. Kalau memang misinya sampai di titik sana, ya kerjakan sampai situ. Paulus di akhir hidupnya itu dia sampai dipenggal di kota Roma ya, tapi kita mengerti ya sudah genap, sudah genap, karena memang sudah waktunya di situ. Tapi kalau memang belum waktunya, ya dia akan lakukan berbagai hal. Ya itu dia pelayanan, apa yang dia bisa lakukan ya, dia juga ada ketika dia dituding macam-macam ya dia ajukan juga keberatan, naik banding, dan seterusnya. Itu bukan karena masalah dia tidak bisa terima nasib dia, kalau gitu mau dibilang, tapi ada dia mengerti ya ini belum waktu nya. Bergumul lihat apa yang kita kerjakan.
Menarik ya kalau kita di dalam kehidupan Paulus, dia ini orang yang sudah mengalami pelayanan itu aneka macam. Berjalan lewat darat, berjalan lewat laut, sampai terkatung-katung di atas, itu ya, kena kapal karam, dan seterusnya, berbolak-balik masuk penjara. Mungkin ya, kalau orang yang bilang, bilang kepahitan, paling pahit itu Paulus mungkin. Udah kerjain begini susah, masih dapat makin susah, makin susah. Kalau orang mau kerjakan kan juga masih ada lagi disalah mengerti oleh dari gereja dan seterusnya, itu kita temukan di surat-suratnya, belum lagi ada bagian yang ketika dia layani, malah gerejanya tadinya diajar benar, eh masuk serigala, ajar yang nggak bener. Itu bisa kecewa sekali. Tapi di dalam bagian ini, sampai di penjaranya dia bukan sekedar, kembali ya, dia bukan senang menderita juga bukan sekedar senang dapat bantuan dari jemaat, tapi dia lihat kehendak Tuhan terjadi. Ternyata, pekerjaan Tuhan itu jauh lebih besar dari apa yang bisa saya kerjakan. Lebih besar dari yang saya bisa pikirkan dan gembalakan. Tuhan tumbuhkan jemaatnya melalui berbagai bentuk pelayanan-pelayanan yang sederhana dan tidak sempurna ini.
Dan itu kita lihat, itu yang diarahkan Paulus, dan itulah dia mengerti apa itu kecukupan itu sendiri. Dan ada ungkapan suatu kepuasan di sana, ada suatu sukacita di situ ya, karena memang surat Filipi ini surat sukacita, itu lahir dari situ. Kembali ya, dia bukan sukacita, “Hore saya masuk penjara,” nggak, dia bukan orang gila. Juga bukan sekedar senang, “Hore saya dapat hadiah,” bukan. Tapi bersukacita karena kehendak Tuhan jadi. Di dalam berbagai hal yang tidak bisa kita bayangkan, ternyata pekerjaan Tuhan tetap berjalan. Dan selagi saya hidup Tuhan masih mau pakai, saya taat, saya jalani, saya jalani dalam berbagai fasenya dalam bagian mencukupkan diri, dalam banyak hal.
Di dalam berbagai kesulitan Paulus lah justru makin banya kita temukan surat-suratnya. Sampai ya nanti, mungkin di kesempatan lain, bahas itu sampai surat 1 Timotius, 2 Timotius itu. Itu karena dia sudah di titik-titik terakhirnya di penjaranya itu. Terus kita pikir, “Supaya kita bisa berkarya bagi Tuhan apa ya? Masuk penjara?” Ya ndak tentu begitu ya. Kembali, tiap-tiap kita itu menjalankan panggilan kita masing-masing dalam bergumul di hadapan Tuhan, dan biarlah ketika Tuhan hadirkan ada kesulitan, ada kekurangan, ataupun kelimpahan, kita belajar mencukupkan diri dalam Kristus, dan bagaimana kita mengerti bagaimana hidup dalam menggenapi rencana Bapa dalam kehidupan kita. Kiranya di semua ini kita boleh ditumbuhkan imannya semakin bersandar kepada Kristus, dan bagaimana visi salib itu semakin nyata dalam kehidupan kita dan menguatkan kita hari demi harinya. Mari kita satu dalam doa.
Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah (KS)