Flp. 2:5-8
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Di dalam bagian ini kita menemukan apa yang disebut sebagai Christian Paradigm, yaitu suatu paradigma cara berpikir Kristen. Istilah paradigma itu berarti cara konsep berpikirnya, paradigmanya itu seperti apa. Ya kalau seperti di awal tadi saya rasa juga bukan kebetulan ya, saya dititipkan untuk suatu pengumuman, ketika kita melihat ada ansambel, ada suatu pujian seperti ini, itu ada paradigma orang masing-masing reseptif berbeda-beda. Ada orang yang wah bersyukur ya, ada orang bisa main seperti ini, dan paradimanya adalah , “yang penting bukan saya, ada orang yang kerjain dan saya cuman duduk menyaksikan saja.” Ada orang paradigmanya demikian, cara berpikirnya demikian dan dia hanya ingin menikmati. Tapi ada orang paradigmanya berpikir, “Wah ini ada kesempatan seperti ini bisa kita berbagian berjuang di dalamnya dan ini berarti ada suatu wadah untuk kita bisa bagian talenta kita masing-masing itu untuk bisa kita garap dan kembangkan sejak bersama.” Dan terlebih di dalam pelayanan gereja, itu bicara paradigma sih, cara berpikirnya. Sama kan katanya itu ada yang mengatakan tu sampai ketika misalnya, ketika kita lihat di kita perjalanannya ya, misalnya tadi perjalanan dari tempat kita datang ke sini, lalu ada lampu merah, lalu kita lihat lampu merah itu, kita kan , ya orang tahu lah ya pokoknya lampu merah itu berhenti gitu kan, anak kecil nggak punya SIM juga tahu, lampu merah itu berhenti. Tapi paradigmanya orang itu akan beda-beda, ada orang yang berpikir, “Oh pokoknya lampu merah berhenti, bagaimanapun keadaannya itu berhenti,” tapi kadang orang berpikir, “Merah ini, oh kayaknya nggak ada polisi, wah, labas aja, oh masih sepi saya maju saja,” karena paradigmannya yang penting saya ga ketangkep, gitu ya. Itu zaman di berapa tahun lalu itu pernah ada iklan gitu ya buka promosi, itu adalah suatu iklan itu ketika orang lewatin lampu merah , lalu muncul polisinya dari katanya semak-semak itu muncul tanya, “Kenapa kamu melanggar?” Lalu dia jawab, “Saya nggak liat bapak.” Itu ya cara paradigm-nya begitu, “Kalau nggak ada polisi ya saya langgar aja, tapi kalo ada polisi, wah itu baru saya tidak melanggar,” jadi dia bukan lihat masalah tata tertib lalu lintasnya bukan masalah berpikir kalau saya melanggar ini membahayakan nyawa orang lain. Kita kalau melanggar itu, membahayakan nyawa orang lain, baik orang yang jalannya itu benar walaupun juga ada aspek-apek lainnya tapi dia cuma berpikir “yang penting saya tidak ketangkap pak,” dan itu masalah paradigma, cara berpikir cara pandang, saya kira akan bahas lebih lanjut lagi tentang paradigma. Seperti apakah lalu paradigma orang Kristen yang seharusnya? Bagaimanakah harusnya cara pandang, cara konsep berpikir orang Kristen, dan itu yang dipaparkan oleh Paulus di dalam bagian ini, Filipi 2 : 5 -8 dan selanjutnya sebenarnya sampai ayat 11 tapi kali ini bahas sampai ayat 8 saja yaitu membahas tentang cara pandang, cara berpikir orang Kristen.
Dan terjemahan Indonesia itu dikatakan “Hendaklah kamu dan hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Ya sebenarnya istilah dan perasaaannya itu hendak muncul dalam bahasa aslinya karena itu cuma bilang cara berpikir, ya tapi mungkin karena orang-yang Indonesia ketika menerjemahkan kok cuma berpikir lalu kesannya dingin jadi dimasukkan ke dalamnya perasaan. Ya karena memang sih sebenarnya dalam nuansa aslinya juga, itu bukan cuma masa konsep pikir logikanya, tapi keseluruhan konsep kehidupan orang itu seperti apa. Dan inilah kita dapat cara paradigma orang Kristen seperti apa, yaitu yang pertama untuk mengerti identitas Kristus itu sendiri sebagai Dia adalah Tuhan, itu paradigma paling pertama, yaitu kenapa kita menjadi Kristen? Justru karena start dari titik ini, yaitu bukan karena, “Oh kita mengerti , oh saya tau ini doktrin Allah Tritunggal,” segala macem, jarang, jarang orang menjadi Kristen karena itu, “Oh atau karena Alkitab itu dituliskan dalam Perjanjian Baru itu 5800 ada manuskrip Perjanjian Barunya itu begitu banyak dasarnya bisa bertanggung jawab,” jarang orang start menjadi Kristen dari doktrin Alkitab. Tapi kalau kenapa orang menjadi Kristen justru start dari sini yaitu dari Kristologi, start dari mengerti identitas Kristus itu sendiri, bahwa Dia itu bukan hanya manusia biasa, tapi Dia adalah Tuhan. Dia Tuhan kita, Dia adalah Allah Anak itu sendiri yang menjelma menjadi manusia, dan itulah yang kita pahami dan karena kita menjadi Kristen. Jadi bahkan istilah Kristen itu kan kita menjadi Kristen istilah Kristen itu adalah Kristus kecil, kita menjadi pengikutNya, kita mengikut Kristus, bukan karena Dia itu orang saleh, bukan karena Dia itu nabi, bukan hanya karena Dia itu baik, tapi karena Dia itu Tuhan itu sendiri. Jadi start dari situ, yaitu justru menjadi jelas paradigmanya kenapakah menjadi Kristen. Itu harus jelas. Dan kenyataanya kadang-kadang ada orang paradigmanya kenapa menjadi Kristen? Oh iya itu orangtua saya ya. Kadang-kadang tetap kita bisa ketemu model begini ya, kenapa kamu Kristen? “Oh iya orangtua Kristen, oh saya dari kampung Kristen, oh kakek, opa saya dari dulu itu di gereja, atau kakek moyang saya tu dari dulu itu biasanya memang terlibat pelayanan gereja , jadi ya saya Kristen,” kalau begitu itu cuma Kristen tradisi, cuma Kristen hanya karena saya lahir di keluarga Kristen. Tapi berapa banyak kalau kita mengerti Kristen yaitu bicara iman kita secara personal, secara pribadi di hadapan Tuhan, yaitu tidak lepas dari pengenalan kita secara pribadi akan siapakah Tuhan itu sendiri siapa, dan terutama itu bicara siapakah Kristus itu sendiri. Oh Kristus itu adalah Tuhan dan kepadanyalah saya bersandarkan hidup saya dan saya mengandalkan hidup saya.
Saya ingat sekali beberapa waktu lalu, yaitu sudah cukup lama sih sebenarnya, ya mungkin sudah ada sekitaran 10 tahun lalu. Ketika saya masih pelayanan dulu di Karawaci sebagai ya jemaat awam, lalu ada salah satu sharing dari pembina remaja, gitu ya, pembina bicara, “Wah saya itu lahir dari keluarga Kristen, saya itu dari lahir dari anak-anak juga sekolahnya sekolah Kristen, pergi ke sekolah minggu, pergi ke remaja, aktif juga di pemuda, dari dulu saya rasa saya sudah Kristen lah.” Tapi dia cerita satu hal yang mengaggetkan saya, dan sampai sekarang itu masih selalu mengingat itu, dia bilang begini, “Tapi saya baru jadi Kristen itu waktu pemuda.” Jadi ini dia sekarang sudah ibu-ibu, gitu ya, dia bilang, “Dulu itu saya dari lahir itu keluarga Kristen, saya dari kecil itu ke sekolah Kristen, dari kecil itu ke sekolah minggu, dari saya remaja itu ke sekolah Kristen, dari remaja juga saya aktif ikut dari PA remaja dan segala sesuatunya, saya waktu pemuda juga ikut PA pemuda, saya aktif di dalam pelayanan,” tapi kemudian di dalam pelayanan mahasiswa, dia ngomong setelah di tahun kesekian dari waktu dia kuliah itu, dia baru bilang, dia baru menjadi Kristen. Lho kenapa? karena dia ngomomg, “Karena saya dari dulu pikir, ya saya kan baik-baik aja, saya Kristen karena ya memang saya baik-baik saja kok, tapi sampai ketika saya mulai saya baru sadar, oh Kristus itu mati bagi orang berdosa, dan saya ini orang berdosa, dan saya yang membutuhkan Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat saya.” Bayangkan, jadi ini baru dia, baru moment of truth–nya gitu, baru dia itu bilang, “Oh ya Yesus itu mati bukan cuma buat si itu, bukan cuma buat si ono teman saya yang nakal-nakal itu, oh ya yang penting saya baik, enggak, dia baru sadar Kristus juga mati buat saya dan saya butuh bertobat dan percaya pada Dia, kalau tidak saya juga nggak diselamatkan. Jadi itu baru masuk pada pengenalan Kristus secara pribadi dan bukan cuma secara data, dan bukan cuma secara tradisi. Dan saya melihatnya berapa dari kita itu juga punya background seperti itu, berapa banyak dari kita apa alasan hari ini kita datang beribadah kepada Tuhan, “Oh karena saya Kristen ya, saya datang ke gereja, ataukah karena kita sadar saya datang beribadah kenapa? karena saya ini percaya Kristus itu sebagai Tuhan, dan bukan cuma sekedar orang baik ya, di dunia ini banyak yang “baik-baik” tapi Dia itu Tuhan dan Dia itu bukan hanya manusia biasa, dia bukan nabi, kalau cuma nabi itu kita nggak perlu rayakan Dia punya kelahiran, kematian, dan semua itu nggak perlu sampai seperti itu. Dan bahkan tadi itu sempat di-sharingkan oleh liturgis nggak perlu kita itu berkorban sampai besar bagi Dia kalau cuma nabi, kalau cuma orang.
Tapi justru paradigma Kristen, cara pandang orang Kristen, cara berpikirnya adalah karena justru melihat center-nya, fokusnya adalah Kristus, dan Dia adalah Tuhan. Dan dilanjut ketika Dia bilang karena adalah Tuhan, Dia juga bukan cuma sekedar a god. Di dalam seperti orang saksi Yehovah itu dia bilang seperti suatu Tuhan. Dia bukan Tuhan itu sendiri tapi semacam Allah level dua. Tapi dalam bagian ini kita menemukan Dia itu setara dengan Allah Bapa, yaitu ketika bicara identitas Kristus itu kudu jelas, bukan sekedar, “Oh ya, ya, Dia itu Tuhan.” Maksud Tuhan itu apa? Apa Tuhan Allah kelas dua sebagaimana dipahami oleh saksi Yehovah dan juga beberapa aliran-aliran yang bidat lain? Tapi Dia itu adalah Allah yang kemudian setara dengan Allah Bapa. Dia itu bukan sepertiga Allah tapi sepenuhnya Allah, sepenuhnya Allah. Dan itu masuk kepada doktrin Allah Tritunggal. Memang dalam bagian ini itu adalah dalam proses pembelajaran tapi kita ngerti Dia itu setara dengan Allah Bapa. Dan ini bukan suatu formula karangan gereja tapi memang sudah dari mulanya itu dicatat di dalam Kitab Suci. Jadi bukannya bahan tambahan-tambahan “Oh tradisi di konsili-konsili baru muncul,” nggak, itu sudah dari lebih dulu sebelum konsili-konsili rapat sudah dalam Kitab Suci. Konsili itu hanya mencetuskan dan memformulasikan apa yang ada di dalam Kitab Suci. Tapi semua bahan pokoknya bahan ajarannya esensinya semua sudah ada di dalam Kitab Suci.
Nah Kitab Suci secara lebih dulu sudah menyatakan bahwa Dia dalam rupa Allah tidak mengambil kesetaraan sebagai milik-Nya yang harus dipertahankan, itu nanti kita bahas lagi di bagian berikutnya, tapi itu bicara Dia itu memang setara dengan Allah. Maksudnya Dia setara dengan Allah itu apa? Jadi Dia itu sepenuhnya Allah. Dia tidak kurang, Dia tidak lebih rendah dari Allah Bapa, Dia itu setara dengan Allah Bapa. Tapi kemudian Dia yang merendahkan diri-Nya sedemikian rupa. Dan inilah kita mengerti di dalam bagian pertama kita bicara di dalam paradigma Kristen itu seringkali true theology is God center. Bahwa teologi yang benar adalah berfokus pada Tuhan kita. Dan ini menjadi dasar pemikiran dalam banyak karya. Selalu kemudian ketika kita bicara teologi yang benar itu apa sih? Ya fokusnya itu pada Tuhan bukan pada manusia. Dan kita justru yang belajar menyesuaikan diri mengikut Tuhan dan bukan sebaliknya. Siapa ikut siapa itu penting di sini. Kita ikut Tuhan atau kita minta Tuhan ikut kita? Itu penting. Center-nya itu siapa, fokusnya itu siapa. Sama seperti di zaman dulu itu orang mengerti di dalam ilmu pengetahuan science itu ada mengerti dengan istilah geosentris ya. Itu bahwa pusatnya dari seluruh alam semesta itu bumi, lalu semua yang lain itu memutari bumi. Itu geosentris ya. Semua orang dalam dulu itu mengertinya matahari dan semua planet-planet itu mengitari bumi, jadi pusatnya itu bumi. Tapi kemudian ilmu pengetahuan lebih lanjut maju dan memang sebenarnya Alkitab tidak pernah ajarkan geosentris, itu cuma penafsiran orang yang keliru tentang geosentris. Jangan salahkan Alkitabnya. Kita yang menafsir dan tafsiran kita bisa keliru. Tapi kemudian ditemukan O sebenarnya pusatnya bukan bumi, tapi heliosentris, yaitu pusatnya matahari. Lalu semua planetarium ini mengitari matahari. Semua planet-planet itu mengitari matahari dan akhirnya senternya justru di mataharinya. Dan di sinilah kita mengerti istilah sentris itu dia pusatnya dan kita yang meng-adjust, menyesuaikan dengan itu.
Jadi sama ketika kita bilang meski di dalam sehari-hari kita mesti ngomong, “O matahari terbit,” itu bukan matahari terbit dia muncul lalu ia turun seperti itu, nggak. Itu matahari terbit itu karena kita yang muncul menghadap dia dan ketika dia terbenam karena kita yang bergerak membelakangi dia. Bisa nangkap ya. Karena fokusnya dia, bukan saya. Bukan fokusnya itu bumi tapi fokusnya matahari. Dan sama ketika kita berbicara mengenai teologi yang benar itu dasarnya apa, yaitu kita fokus ikut Tuhan. Dan bagaiaman sikap kita pada Dia dan itu yang diajarkan Kitab Suci, bukan masalah Tuhan itu ikut kita. Zaman sekarang itu ada orang kebalik-balik ya, masalah hal kayak gini saja itu banyak orang kebalik. “Oh kalau saya ikut Tuhan itu saya bisa claim, saya bisa kaya hutang saya dihapus semua, urusan saya lancar.” Itu kita suruh Tuhan ikut kita atau kita yang seharusnya belajar ikut Tuhan? Ini basic ya, simple sekali. Kita ini ikut Tuhan atau Tuhan ikut kita? Siapa ikut siapa? Siapa Tuan, siapa yang hamba? Itu harusnya jelas di dalam doktrin yang benar itu bukan antroposentris tetapi teosentris. Fokusnya itu adalah Tuhan dan menyenangkan Tuhan, bukan menyenangkan manusia. Berapa banyak di dalam kehidupan kita itu harusnya kita sadar kehidupan kita bukan menyenangkan manusia tapi memang menyenangkan Tuhan dan Tuhan saja. Dan antroposentris bicara fokus menyenangkan manusia dan bisa dua hal kita senangkan orang lain ya kan, apa apa ikutin orang lain senangnya apa kita kasih, gitu ya. Customer is a king. Gitu kan. Pelanggan itu Raja jadi dikasih apa yang kita mau itu kita sediakan. Itu satu hal orang akhirnya cuma ikuti saja apa kata orang dan akhirnya kehilangan prinsip. Kehilangan prinsip kita pegang sebenarnya di mana.
Ataupun di dalam aspek lain bagi saya ya antroposentris itu juga adalah bicara ini juga kan sama-sama manusia, yaitu bukan cuma menyenangkan orang lain tetapi menyenangkan diri kita sendiri. Karena istilah manusia ini berarti mengikuti apa yang kita sukai. Mengikuti kesenangan kita sendiri. Setiap kita punya kesenangan-kesenangan sendiri, pasti. Setiap kita pasti punya kesukaan-kesukaan sendiri pasti. Tapi pertanyaan adalah, kita berani nggak sangkal kesenangan itu jika demi kita ikut Tuhan? Karena bukan Tuhan yang ditarik sesuaikan kita, tapi kita yang tarik diri kita, paksa diri kita, ikut sesuai Tuhan. Itu baru teosentris bukan antroposentris. Dan bagaimana kita ukur kehidupan kita itu? Sejauh mana kita itu drajat fokusnya menghadapnya itu kepada Tuhan? Makanya di dalam istilah itu pertobatan, ketika orang bertobat itu dari dosanya itu apa sih? itu kan dalam bahasa Ibaraninya ngomong suv, suv itu kan putar balik. Tuhan di sana, saya itu tadinya berjalan kesini, saya suv itu putar balik, saya berjalan ke sini, menghadap sini, berbalik dari jalan gelap menuju terang. Bukan karena Tuhannya sekarang balik ikut saya tapi karena saya geser, sekarang saya ikut Dia. Itu pertobatan. Tapi kalau orang menganggap, “O saya bertobat itu apa? Karena Tuhan kasih saya kaya,” berarti ya Tuhannya yang diputer ikut saya. Kalau sama seperti zaman dulu itu ya, kita nonton tv, kalau ada yang masih di zaman dulu itu kita msih pakai antena tv itu misalnya kita mau nonton channel-nya jam tujuh, cuma ada TVRI, ya kita setel ini antenanya seperti apa itu kita geser-geser oh sampai kesini baru pas, baru bisa tune, baru bisa muncul jelas gambarnya. Itu kita yang geser antena kita untuk menyesuaikan ke sana. Kan kita bukan bilang, “Waduh ini antenanya kok susah banget dapat channel-nya, ya sudah ini lho stasiun TVRI nya pindah samping rumah saya aja supaya gambarnya jelas.” Nggak kayak gitu tho. Siapa ikut siapa? Kita ya meng-align, meng-tune, meng-syncronize diri mengarahkan supaya in tune dengan pusatnya. Dan bukan pusatnya yang kita tarik ke hidup kita.
Dan sama sebenarnya kalau kita bicara kita syncron ikut Tuhan itu seperti itu. Padahal meski kita tahu dalam kebanyakan hal, dalam banyak hal kita itu, kita itu hidup itu dengan ada bayangan pikiran kita sendiri. Secara default, secara umumnya, secara otomatis dalam kehidupan kita itu kita sendiri suka pikir hidup itu kan berdasarkan works kita ya, perbuatan kita, achievement kita, tradisi kita, pengalaman kita, komunitas, perasaan kita atau masuk akal nggaknya, tapi berapa banyak kita mau tundukkan, bukan kalau Tuhan itu masuk akal saya baru saya percaya Dia, tidak, tapi saya tundukkan akal saya itu tunduk kepada Tuhan. Itu baru kita percaya kepada Dia, bukan mengikuti Tuhan yang masuk akal kita, tapi justru yang di luar akal kita ya akal kita yang belajar untuk mengikuti Dia. Bukan Tuhan yang mengikuti tradisi kita, tapi tradisi kita yang kita berani geser, berani robah, kalau itu tidak sesuai dengan arah firman Tuhan. Dan kita lihat supaya kita itu hidup menurut firman Tuhan itu sendiri. Inilah prinsip firman menjadi daging itu, yaitu firman yang menjadi daging, lalu firman itu yang akhirnya mengubahkan kita dan menuntun kita. Memang dalam kehidupan ini ya, lebih mudah untuk kita itu selalu andalkan pikiran kita dan ya itu ya, saya rasa secara default orang juga andalkan itu. Ya kan? Sederhana saja, Bapak Ibu, kalau misalnya anda sakit lalu sudah terbaring di rumah sakit, apa yang pertama anda pikir? “Oh asuransi saya gimana? Tabungan gimana?” Ya kan? “Oh, bisa klaim nggak?” Ya itu karena memang mengandalkan pengalaman dan kekuatan dan pemikiran logika kita sendiri. Tapi ada nggak kita belajar, “Tuhan, apa yang Engkau ingin saya belajar melalui kejadian ini? Apa bentukan Tuhan ketika Tuhan izinkan saya mengalami sakit penyakit ini?” Itu baru kita belajar ikut Tuhan dan bukan ikuti pemikiran kita sendiri. Di sini ada beberapa mahasiswa, bagaimana ketika kalian juga menghadapi ujian sekolah? “Oh saya doa Pak. Saya doa.” Iya doa, doa aja kan? “Doa, terus ya sudah saya belajar. Kita benar-benar andalkan Tuhan atau kita itu sembari.” Saya bukan bilang tentu kita nggak belajar, gitu ya. Ataupun kalau ke rumah sakit itu ya pokoknya saya doa saja nanti saya masuk sendiri. Ya nggak seperti itu. Tapi sambil kita itu pakai semua sarana-sarana itu, tapi adakah kita, hati kita itu ya, dan terutama iman kita itu bukan kita sandarkan pada itu.
Nah itu sebenarnya tantangan orang zaman modern. Kita sudah begitu banyak tools, alat, dan kecanggihan segala sesuatunya, tapi kita lihat hidup kita tidak disandarkan pada itu, tapi pada Tuhan. Dan Dia memakai sarana itu sejauh mana yang kita bisa pakai, tapi kita tetap andalin Dia. Kembali ya, jangan salah tangkap lalu saya bilang, oh kalau seperti ini, oh kalau gitu depositonya buang aja gitu. Ya saya nggak bilang gitu. Saya nggak bilang anda juga berhenti aja dari kerjaan, bukan, tapi, sembari kita kerja sambil kita punya tabungan dan segala sesuatunya, tetap kita sandar itu pada Tuhan. Karena kenapa? Dalam kehidupan ini ada banyak hal-hal itu di luar dari kekuatan, kontrol kita. Kalau kita bersandar pada yang itu, maka ketika Tuhan mau intervensi ada suatu pekerjaan Tuhan yang di luar dari nalar kita, di luar dari pikiran-pikiran kita, di luar dari struktur, bentukan yang kita buat sistem itu ya, kita tidak akan bisa lihat kerjakan itu. Karena kita lihat, yah mau kerjakan ini, yah tabungan saya ini segini. Ya nggak bisa kerjain. Tapi kalau kita belajar sandar Tuhan, tabungan saya berapa ya saya kerjakan. Tabungan saya sedikit, saya kerjakan pelayanan saya. Tabungannya banyak, saya tetap kerjakan pelayanan Tuhan. Kenapa? Karena yang utama Dia. Center-nya Dia. Bukan tabungan saya, bukan uang saya, dan semuanya yang lainnya. Apakah yang kalau di dalam teologi reformed itu ada istilah itu dengan 5 sola itu ya. Tahu ya? Sola scriptura, hanya Alkitab. Lalu hanya iman. Hanya Kristus. Lalu, hanya anugerah, dan juga kemudian, kemuliaan hanya bagi Tuhan saja. Tapi kalau saya mau tanya dalam kehidupan kita secara praktiknya, apa menjadi “hanya” dalam hidup kita? Apa yang menjadi sola dalam hidup kita? Pokoknya ada ini. Apa menjadi itu ya, bagian titik kita ngomong terdalam secara reflektif kita pribadi, apa yang paling titik terdalam yang, yang penting itu, jalan. Jangan-jangan kalau kita nggak aware ya, sola kita itu bukan Sola Kristus, bukan Sola Gratia, bukan Soli Deo Gloria segala macam ya sebenarnya sola duit. Yang penting ada duit, ya hanya yang penting ada duitnya ya saya jalanin. Sembari iman kita ngomong, oh itu 5 sola itu saya hafal semua tapi dalam praktik kehidupan, kita menjadi atheis praktis, atau ya kita lebih materialistis dari banyak orang lain. Ya itu keputusan dan akhirnya kita membuat keputusan-keputusan buruk karena begitu.
Kalau kita lihat di dalam kisah Alkitab yang mencatat dalam kehidupan ini ada kita semua pasti akan bergumul dan mengambil suatu keputusan. Makanya paradigma, cara berpikir kita, seperti apa? Dan Alkitab mencatat, bagaimana keputusan yang buruk membuat itu orang-orang percaya itu gagal menjalani kehidupannya di dunia ini. Secara doktrin keselamatan saya tidak bahas lengkap di sini, tapi kita tahu, keselamatan itu pasti tidak akan hilang karena keselamatan kita bukan digantung pada perbuatan kita tapi pada Kristus; penggenapannya dan lunasnya, genapnya di atas kayu salib. Once saved, always saved. Satu kali selamat pasti tetap selamat. Kekekalan, hal yang kekal itu tidak bisa hilang. Itu tidak bisa hilang dan kita tahu itu jaminannya dari Kristus sendiri. Tapi yang dalam kehidupan ini kita lihat adalah setan yang bisa gagal itu bukan membuat kita kehilangan keselamatan, tapi membuat kita gagal di dalam menjalani kehidupan ini. Saya ambil saja 2 kisah di dalam Kitab Kejadian di dalam Perjanjian Lama ya, bandingkan kisah seperti Nuh, seperti Nuh dengan Lot. Kalau kita lihat bagaimana contoh dari kehidupan Nuh yang struggle, dia bergumul bangun bahtera. Dan di zaman ketika dia bangun bahtera orang bilang, oh bodoh kamu. Ngapain buat kapal segede itu. Ngapain sih, akan turun hukan, ah banjir itu kayak apa, orang juga nggak ngerti ya. Zaman itu nggak ada kejadian ya seperti kadang-kadang ini kalau hujan gede oh banjir gitu ya. Nggak. Zaman itu nggak ada seperti itu, semua masih kehidupan yang baik. Ngapain bikin perahu segede itu terus juga di atas bukit. Kamu gila ya? Bangun ngapain? Dan dia bangun itu lama lho. Dan mula bukan itu, dan di dalam bagian lain di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama mencatat, dia bukan saja bangun itu, dia injili orang untuk masuk ke dalam bahtera itu. Tapi semua itu ngomong, aduh kamu itu bodoh sekali. Ngapain kamu lakukan itu? Dan singkat cerita kita tahu pada akhirnya cuma Nuh dengan sekeluarganya itu yang naik bahtera. Cuma 8 orang naik bahtera itu. Tapi kita lihat dalam catatan Alkitab, mencatat bahwa, bagaimana Nuh itu membuat keputusan yang tepat dan dia taat pada Tuhan sesuai dengan apa yang Tuhan perintahkan pada dia. Dari dia bangun bahtera, dia bangun selesai jadi, langsung besoknya turun hujan? Ya nggak ya. Tanda-tandanya aja nggak ada. Sampai itu puluhan tahun malah, baru turun hujan air bahnya itu dan baru orang baru sadar, wah itu ternyata itu gunanya dibangun. Tapi semua sudah terlambat. Contoh kedua itu adalah kita melihat, bandingkan dengan hidupnya Lot, apa keputusan yang diambil dalam kehidupannya. Oh ketika dia berseteru dengan Abram omnya itu lalu dia bilang, oh yaudahlah kita pisah saja, pisah saja dari Abram. Sudah pisah lalu pikir oh itu saya lihat itu, dekat Sodom Gomora itu, daerah Yordan sana, oh itu seperti taman Tuhan. Ini bicara paradigma. Ini bicara cara pandang. Oh situ subur, tapi dekat-dekat dengan itu gengnya berdosa situ. Oh tapi nggak apa-apa, yang penting subur. Ya to? Yang penting subur, nanti perpuluhan tak kasih Tuhan, begitu ya. Orang banyak orang pikir seperti itu. Oh nggak apa-apa korupsi, nanti habis itu uangnya juga saya kasih Tuhan dukung pelayanan Tuhan. Rupamu. Dan di situlah kita lihat bagaimana Lot itu dari ambil keputusan yang salah memisahkan diri dari Abram dan berlanjut dimana dia masuk ke dalam kehidupan yang makin lama makin rusak dan hancur. Dan bahkan kalau tanpa Perjanjian Baru yang dicatat dalam 2 Petrus, kita mungkin juga pikir Lot itu sebenarnya orang terhilang, sampai 2 Petrus mencatat sebenarnya dia itu orang benar. Maksudnya adalah bukan karena hidupnya benar tetapi dia itu sebenarnya percaya pada Tuhan hanya saja kehidupannya itu gagal. Dan itu kita jangan pikir, “Oh Lot gagal nggak apa-apa yang penting selamat tho? Ya sudahlah saya kayak Lot saja.” Ya nggak dong, hidupnya gagal. Kita lihat Nuh, kita lihat Lot, yang mana yang menggenapi panggilan dalam hidupnya? Dalam hal ini kita belajar untuk merendahkan diri kita di hadapan Tuhan dan kembali kita fokus pada Tuhan. Paradigma, cara berpikir, dalam mengambil keputusan, kita lihat ini menyenangkan Tuhan atau menyenangkan diri? Kalau itu menyenangkan Tuhan, meski saya tidak suka, jalankan. Sebaliknya, ketika itu menyenangkan diri kita tapi kita tahu itu tidak menyenangkan Tuhan, jangan dipilih. Sederhana, karena kita tahu fokusnya itu pada Tuhan, pusatnya itu adalah Tuhan sendiri dan bukan diri kita.
Inilah yang kita mengerti dalam pengertian ini, saya masuk poin kedua, kalau kita punya pengertian inilah paradigma yang benar barulah kita mengerti apa artinya ortodoksi itu sendiri. Ajaran yang ortodoks, orthodoxy itu sendiri berasal dari istilah Yunani: orthos dan doxa, itu adalah right faith atau right believe, yaitu iman yang benar, iman yang arahnya lurus sesuai dengan apa kata Tuhan dan bukan kata orang. Contoh sederhana ya, kalau saya misalnya mau mengenal sang liturgis, namanya Yudha, lalu saya tanya orang, “Yudha itu seperti apa?” atau saya tanya langsung, direct, ke dia? Ketika saya tanya Yudha sendiri dan dia ngomong, “Oh saya orangnya begini, begini,” itu baru ortodoksi, baru sesuai definisinya bukan kata orang tapi menurut kata orangnya sendiri, kata pribadinya itu sendiri. Dan tentu jika bicara mengenal Tuhan, orang suka mengatakan, “Oh Tuhan itu begini, Oh Tuhan itu begitu,” tapi tanya Tuhan sendiri itu seperti apa berdasarkan Kitab Suci-Nya, berdasarkan kalimat Dia sendiri yang mengatakan Dia itu seperti apa, bukan menurut definisi kita. Kadang-kadang orang sering bilang, “Kenapa sih di dalam Perjanjian Lama Tuhan itu jahat ya, nggak suka saya Perjanjian Lama karena Tuhannya jahat hukum-hukum orang.” Lalu tanya, “Lalu Tuhan itu maunya bagaimana? Harusnya Tuhan itu kayak apa?” “Oh Tuhan itu harusnya baik, sama mungkin seperti kakek-kakek yang lemah lembut, panjang sabar, nggak pernah marah, diapain juga dikasih-dikasih.” Kalau begitu Tuhan menurut versimu, bukan menurut Tuhan itu sendiri. Dan kalau di sini kita mengerti bagaimana pentingnya, sentralnya peranan Kitab Suci, wahyu Tuhan itu menjadi landasan kehidupan kita yang benar itu seperti apa. Kalau nggak, kita semua itu nebak-nebak aja, “Oh Tuhan begini, Tuhan begitu,” nggak pernah dengar apa kata Tuhan tentang diri-Nya sendiri. Teologi sejati itu bukan berdasarkan kata orang, sebanyak apapun itu, sekuat apapun logikanya, tradisinya, dan hal-hal lainnya, tapi berdasarkan apa yang dikatakan Kitab Suci. Because true theology is not according to majority, not according to rationality, tradition, or empiric, but according to The Scripture. Sesuai menurut kata Alkitab, itu baru teologi yang sejati, bukan kata orang. Kata orang itu gosip, kata orang mau sebanyak apapun ya itu nggak benar, kembali apa kata Tuhan? Dan kalau kita kembali pada kata Tuhan, kembali pada Kitab Suci maka kita tahu pengertian yang benar itu seperti apa. Kita itu kebanyakan sudah suka ngarang-ngarang sendiri Tuhan itu seperti apa, memproyeksikan diri kita sendiri bahkan Tuhan itu seperti apa, tapi jarang sekali kita mau pikirkan apa yang Tuhan ngomong tentang diri-Nya sendiri seperti apa. Dan malah kalau kita baca Alkitab, “Nggak bisa begitu dong!” Kita ini ikut Tuhan atau Tuhan harus ikut kita? Kalau kembali kita mau belajar apa itu fokus pada Tuhan, apa itu ajaran ortodoks, baru kita bisa belajar memang ikut Dia ngomong begini ya begini, bukan kata kita, bukan kata orang, tapi menurut kata Tuhan itu sendiri. Itu kita mengerti sebagai ortodoksi.
Tapi juga kemudian di dalam Alkitab, menarik di dalam Kitab Suci itu selain pertama mengajarkan ortodoksi tapi dia bukan hanya mengajarkan ortodoksi tetapi dia juga mengajarkan apa yang kita mengerti dengan istilah orthopraxy, yaitu the right practise. Kita bukan hanya membutuhkan the right doctrines, itu tentu perlu, tapi kita juga kemudian butuh right attitude, right behaviour towards God, bagaimana sikap kita yang benar pada Tuhan, itu juga penting. Sikap kita kepada kebenaranNya itu juga penting. Menarik, saya ketika merenungkan bagian ini saya ingat apa yang dicatat dalam Yakobus 2:19, dikatakan bahwa “Kamu percaya bahwa Tuhan itu Esa? Itu baik, tapi Setanpun percaya bahwa hanya ada satu Allah dan mereka gemetar.” Di dalam salah satu kelas yang saya ikuti, yang dibawakan oleh Profesor Peter Lillback, dia adalah rektor dari Westminster Theological Seminary, di dalam kelas itu dia lempar satu pertanyaan, “Menurut kamu, who is the greatest theologian?” Wah siapakah teolog paling besar? Lalu saya pikir-pikir, mungkin teolog besar itu John Calvin, atau lebih mundur lagi mungkin Luther, atau mungkin yang lebih besar itu Agustinus, atau mungkin Paulus. Menarik Profesor Peter Lillback menjawab kami, “The greatest theologian is Satan himself.” Teolog terbesar itu adalah Setan itu sendiri, kenapa? Ya dia jawab sederhana, karena dia pahami Alkitab lebih baik dari kita; dan dia bukan cuma pahami Alkitab, kita aja baca Alkitab suka bolong-bolong ya. Kadang-kadang orang ngomong ke saya, “Pak kalau nggak bisa tidur baca Alkitab,” memang itu buat nina bobok ya? Setan itu paham Alkitab semuanya dan dia bahkan saksi sejarah dari awalnya itu. Sebelum Adam jatuh kita kan cuma baca Alkitab, itupun ya kita tahu Alkitab itu bukan ensiklopedia, bukan bermaksud mencatat semua detil tapi Alkitab Setan itu tahu semua. Taman Eden seperti apa bentuknya kita nggak mengerti, Setan tahu. Dia tahu Adam dan Hawa mulanya seperti apa, dia tahu kehidupannya seperti apa, dia tahu permulaannya sampai zaman sekarang. Dia mempelajari semua itu, dia punya sejarah data dan datanya itu lengkap dari Kitab paling pertama sampai Kitab paling terakhir, bahkan catatan sejarah semua itu dia saksi sejarah, dia memperhatikan semua. Menarik ketika kita merenungkan bagian ini, Setan itu kalau kita pelajari dalam Alkitab ternyata ketemu Setan itu ternyata juga ciptaan Tuhan. Dan memang Tuhan ciptakan semuanya, termasuk Setan ini; Tuhan tentu bukan ciptakan Setan, sebenarnya Dia ini menciptakan malaikat tapi kemudian malaikat ini yang jatuh dan ini akhirnya yang kita kenal dengan Setan.
Saya pikir ini menarik begitu ya, Tuhan ciptakan malaikat tapi kemudian dia jatuh dan menjadi Setan. Itu menurut saya agak aneh kalau dipikir-pikir. Jadi dia ini ceritanya dari Sorga tapi lalu dia keluar dari situ. Kita kalau tanya orang dunia ya, semua orang, semua agama itu pasti setuju mau masuk Sorga. Ya kalau kita tanya orang Budha, “Setelah hidup ini mau kemana?” “Oh ke Nirvana.” Nirvana itu tiada lagi keinginan, tiada lagi penderitaan. Kita tanya orang muslim juga mau masuk Sorga. Kita tanya semua agama mau ke Sorga. Bahkan mungkin kalau kita tanya atheis, “Di sana ada Sorga setelah hidup ini, ada tempat yang tidak lagi ada penderitaan,” oh atheis juga mau masuk surga . Tapi setan ini sudah di surga kok malahan keluar. Alkitab memang tidak mencatat banyak kenapa dia keluarnya. Tetapi menarik di dlm karya dari John Milton yg berjudul Paradise Lost Itu dia mencatat bahwa ketika setan itu memberontak kepada Tuhan dan meninggalkan surga dia berkata ada satu kalimat ini “Better to reign in Hell, than to serve in Heaven,” lebih baik bertahta di neraka daripada melayani di surga. Jadi kalau kita tanya setan itu punya ortodoks ga sih. Dia tau kebenaran? Punya. Tahu kebenaran bahkan percaya juga tapi tidak akan pernah tunduk taat dan mengikuti Tuhan. NEVER. Nah itu setan. Tau kebenaran? Tahu. Tahu lengkap semua teologinya tapi tidak kan pernah tunduk. NEVER. Itulah kenapa dia pilih keluar. Itulah kenapa dia pilih keluar. Ngerti semua kebenaran tapi cuma kognitif saja, iman yang mati adanya iman yang hanya sekedar pengertian tapi dia tidak pernah mau tunduk pada Tuhan. Dan inilah kita mengerti dalam bagian ini kalau kita renungkan baik baik dalam kehidupan kita seberapakah kita yang sudah tau kebenaran kita tahu belajar dari berbagai sarana anugerah melalui firman yang diberitakan baik di mimbar minggu ini maupun minggu minggu sebelumnya. Kita tahu kebenaran padahal kita juga tau tunduk pada kebenaran itu. Kalau gak apa bedanya kita dengan setan itu sendiri. Karena disini alkitab mengutip makanya di dalam kitab suci bukan hanya ajar ortodoksi ajaran yang benar itu tentu landasan point titik pertama yang penting tapi karena juga berlaju pada otokrasi bagaimana praktek kehidupan kita sikap kita pada kebenaran itu, itu penting karena bagian situ bisa mengisi celah apa yang kurang dari sekedar ortodoksi semata yang bukan cuma sekedar untuk tahu knowledge saja, pengetahuan saja, tapi kita melihat bagaimana sikap kita terhadap kebenaran itu. Dan itu kita melihat itu yang dipaparkan dalam Kitab Suci.
Poin selanjutnya adalah di dalam bagian ini saya mau menegaskan kita kembali dalam bagian ini adalah bagaimana setan itu meninggalkan surga itu demikian. Dalam bagian ini mencatat bagaimana Kristus itu juga meninggalkan surga tapi dengan cara yang berbeda. Di bagian ini kita menemukan bagaimana Kristus itu yang rela mengosongkan dirinya. Dia mengosongkan diriNya disini tentu bukan berarti Dia berhenti menjadi Allah karena Allah tidak bisa berhenti. Allah sendiri tidak bisa berhenti menjadi Allah, kalau bisa berhenti itu gagal, itu tidak bisa seperti itu. Itu aja dulu kita belajar matematika itu kan, tak terhingga tambah tak terhingga ya tetap tak terhingga bukan 2, tak terhingga. Lalu kalau kita bilangkan tak terhingga dikurangi tak terhingga tetap tak terhingga karena nggak bisa hilang angka tak terhingga, itu memang angka kekal nggak bisa hilang. Sehingga ketika Dia menginginkan untuk mengosongkan diri-Nya tentu maksudnya bukan Dia kehilangan ke-Allah-anNya atau setengah Allah, nggak. Seperti Richard Nelson mengatakan dalam commentary-nya bahwa secara paradoks mengosongkan diriNya adalah dengan menambahkan kemanusian, itu bukan dengan mengurangi ke-Allah-anNya kepada diriNya tapi dengan menambahkan natur manusia itu sehingga Ia menjadi tampil seperti manusia biasa. Nah inilah pengosongan diriNya. Dia merendahkan diriNya di hadapan sesama semuanya. Ini cuma anak tukang kayu lho. Kita baca dalam Perjanjian Lama bagaimana setiap Allah menampakkan diri Israel gemetar, gentar, “Oh kami tidak sanggup melihat Allah,” dan di dalam banyak catatan akhirnya justru orang yang sentuh dekat langsung lihat Allah justru langsung akan mati. Musa ketika melihat itu “Oh kamu nggak bisa liat Saya langsung, kalau kamu lihat Saya langsung kamu akan mati.” Tapi kemudian ketika Sang Anak ini menjadi manusia, itulah pengosongan diriNya yang merendahkan diriNya sedemikian sehingga orang cuma liat “Oh ini cuma anaknya Yusuf, Maria, cuma anak tukang kayu, seperti anak manusia biasa.” Itu pengosongan diriNya. KemuliaanNya tersembunyikan di situ, dan memang itu yang semacam Dia tahankan dan Dia lepaskan dulu untuk sementara, tapi Dia bukan berhenti menjadi Allah. Kita melihat makanya di dalam, seperti juga tadi dari awal saya katakan, semua agama memang justru mau klaim ke surga kan, mau naik ke surga semua, mau naik ke surga. Bahkan di dalam aliran aliran tertentu dari agama Budha ya, justru berpikir kalau kita mencapai kesempurnaan menjadi budha bisa mencapai seperti itu. Semua memang justru mau klaim surga kok. Tapi Kristus justru datang untuk klaim kita. He comes to claim the earth. He comes to claim us. Dia datang untuk mencari kita. Dia datang memang meninggalkan surga justru dengan kerelaanNya yang bagi agama lain bisa kesannya aneh atau bodoh tapi Dia turun ke dalam dunia ini, bahkan mau menderita bagi kita. Kenapa? Karena Dia mengasihi kita. Karena kasihNya itu. Karena Dia datang mencari yang terhilang. Di datang bukan untuk mencari orang yang benar justru Dia datang untuk mencari orang yang berdosa, dan kita lah orang berdosa itu.
Menarik kalau kita banyak sekali yang bisa dibahas sebenarnya di dalam bagian ini. Tapi saya teringat adalah seperti pernah pendeta Ivan katakan bahwa di dalam filsafat orang Yunani seperti Plato dan kawan-kawannya, biasanya itu mengatakan ketika mau ngomong kasih selalu pengertian kasih itu apa? Yaitu pengertiannya adalah something lacking. Ada sesuatu yang kurang, dan karena itu saya mengasihi sesuatu itu. “Kenapa kamu mencintai pacarmu?” “Iya karena dia itu ganteng,” maksudnya itu saya itu kurang rupawan ya kan. Atau dia pintar, ini ni saya goblok sih Jadinya saya suka sama dia. Jadi konsep mengasihi karena lacking, karena saya berkekurangan makanya saya mengasihi. Dan kalau kita melihat apa yang dinyatakan Kristus ini Dia nggak kekurangan apa-apa lho, kita yang berkekurangan dalam banyak hal. Dia tidak berkekurangan justru Dia yang memilih menjadi begitu kekurangan dengan mengosongkan diriNya demi mengasihi kita. Jadi kasihNya itu adalah kasih memang kasih ilahi itu sendiri. Kasih agape bukan kasih secara nafsu, eros, bukan kasih karena ingin merebut sesuatu tapi justru untuk mengorbankan diriNya demi yang dikasihiNya. Dan itu yang Kristus lakukan. Dimana Lord of the Lord become servant of all. Dia adalah Tuan di atas segala tuan bisa menjadi hamba bagi segalanya. Itu perendahan diri Nya.
Dan poin berikutnya adalah saya catat ketika Kristus merendahkan dirinya sedemikian, Ia lakukan out of a comfort zone, keluar dari zona nyamanNya. Kita bisa bayangkan ya, Kristus itu ketika Dia di surga dari kekal sampe kekal, dari sebelumnya Dia itu seperti apa O Dia itu dinyanyikan, dipuji, kemudian ya tentu sebelum Dia menciptakan segala sesuatunya itu Dia menikmati relasi yang kasih yang intim, yang interaktif, harian ya di dalam Allah Tritunggal itu sendiri dan menikmati segala sesuatunya. Lalu setelah Dia mencipta dunia ini dan segala sesuatunya, Dia kan ribuan tahun itu setelah Dia cipta kan dunia itu kan Dia selalu disambut, dan dinyanyikan, dipuji oleh para malaikat. Seperti ensambel dan paduan suara kita ya. Dipuji, dinyanyikan malaikat dengan harpa, dengan permainan yang luar biasa; datang ke dunia, yang sambut Dia itu binatang, yang sambut Dia itu bau pesing, di kandang itu. Tapi itulah, Dia lakukan itu sebagai kasihNya kepada kita. Dialah Sang Raja yang meninggalkan zona nyamanNya, Dia mencari kita yang terhilang. Apa yang sudah kita bisa kerjakan bagi Dia? Relakah kita tinggalkan juga zona nyaman kita dan mengikuti Dia? Biarlah kita ingat apa yang Kristus lakukan bagi kita yang terhilang ini.
Poin berikutnya lagi adalah Dia lakukan itu demi interest orang lain, bukan demi interest Pribadinya. Dia lakukan ini bukan karena Dia senang, tapi memang itu dilakukan untuk kepentingan kita. Nah itu, orang kalau mau lakukan karena ini kan? Oh keluar dari zona nyaman, kenapa? Ya biasa orang lain karena ada untung, ya toh? Sederhana saja. Kita kalau mau keluar dari zona nyaman, “Wah karena di situ ada untung pak, jadi saya pergi ke sana.” Ya saya pikir itu bisa lebih, cuma pindah kerjaan. Mana ada orang pindah kerjaan, “Kenapa pak? “Karena situ gajinya lebih kecil, jadi saya pindah ke situ.” Ya nggak ada. Orang itu salah parkir. Karena ada untung, saya keluar dari zona nyaman saya. Tapi Kristus itu keluar, bukan karena untung, tapi justru bersiap rugi. Tapi bukan karena semata-mata demi rugi itu, tapi Dia tahu, ketika Dia merugi, kita untung. Kita untung kenapa? Karena kita bisa ditebus, diselamatkan. Dia justru turun ke bawah untuk membawa kita kembali kepada Bapa itu. Jadi untuk kepentingan kita. Dan itulah kasih itu sendiri. Inkarnasi itu justru bukan untuk kepentingan dari Tritunggal sendiri. Allah itu tidak punya kewajiban selamatkan kita. Siapa yang bisa kasih kewajiban buat Tuhan? Dia segalanya Dia penuhi, Dia nggak wajib kok selamatkan kita. Tapi Dia rela memilih gitu, Dia berinisiatif memilih itu. Allah Bapa yang berinisiatif memang merencanakan keselamatan dan Allah Anak yang rela menjalaninya. Dan itu yang dilakukanNya.
Dan poin berikutnya, Dia melakukan itu adalah demi kebaikan kita. Dan itu sebagai wujud ketaatanNya kepada Allah Bapa. Nah saya pikir ini juga penting untuk kita ingat. Dan banyak hal ketika kita kerjakan dalam pelayanan, dalam banyak hal ketika kita kerjakan segala sesuatunya, ingatlah kita lakukan bukan untuk manusia tapi lakukanlah bagi Tuhan. Kita justru kalau kerjakan apa-apa karena untuk manusia, demi untuk manusia, pasti kecewa kok. Kita kalau lihat orang, pasti kecewa. Tapi kalau kita lihat Tuhan, ya kita itu yang tidak mengecewakan, itu yang worthed kita kerjakan semuanya. Semua jerih payah kita untuk Dia. Bahkan kadang-kadang gitu ya, saya ketemu kadang konteks orang tertentu itu terus ngomong, dia bilang, “Iya pak, saya juga rasa diri saya begini.. gini.. gini..” Saya bilang, “Iya, makanya jangan lihat diri. Kalau lihat orang, kamu juga orang, kan? Kalau lihat diri, kamu juga bisa kecewa.” Tapi kalau lihat Tuhan, yang sudah mengasihi kita sedemikian, kita lihat pada Dia, dan kita taat pada Dia. Dan kita melakukan bagaimana kita nyatakan kasih Kristus itu kepada sesama kita, bukan karena orang yang lain itu layak dikasihi, tapi sebagai wujud ketaatan kita pada Bapa. Itu baru kita ngerti konsep kasih yang benar. Kalau dia layak dikasihi, itu lumrah, itu umum, itu.. bahkan di bagian Alkitab lain mengatakan: Itu orang apa bedanya kamu dengan orang dunia? Tapi kalau kita ngerti beneran, kasih dari Allah yang demikian merendahkan diriNya, berkorban untuk mengasihi kita yang terhilang, kita baru mengerti seperti apakah kasih Kristus itu.
Kita melihat dalam bagian ini bagaimana teladan yang ditunjukkan oleh Kristus. Dan saya ada lihat, catat beberapa hal itu: What is the cause of incarnation? Apa korban, apa yang dikorbankan oleh Kristus ketika Dia berinkarnasi menjadi manusia? Tiga hal. Yang pertama itu glory, lalu form of servant, dan akhirnya death, even death on the cross. Yaitu pertama Dia rela mengorbankan kemuliaanNya itu. Semua orang dunia mengejar mulia, Kristus melepas kemuliaanNya itu, yang memang haknya Dia lepaskan demi kita. Itu penyangkalan diri. Dan Dia mengambil rupa seorang hamba. Dia ini Tuan lho, menjadi hamba. Kita aja kalau dari sudah biasanya, apalagi ini berapa yang mungkin kalau sebagai boss di perusahaan ya, itu kita disuruh kerjain sesuatu yang remeh, kita bilang, “Kamu kira saya babu?” Gitu ya? Ini Dia Tuan, Tuan di atas segala tuan rendahkan diri menjadi hamba. Dan rendahkan diri sedemikian sampai Dia itu mati, bahkan mati di kayu salib. Dipermalukan sedemikian di atas kayu salib. Demi apa? Untuk show off tunjukkan: “Lihat nih!”? Bukan. Tapi demi kita. Karena setiap kita lihat salib, kita terus ingat, seharusnya saya yang disalib itu. Tapi Kristus datang dan tidak saya. Itulah perubahan drastis dalam rupa sampai merendahkan diriNya sampai mati di kayu salib. Tapi itulah yang dijalani Kristus. This is Christ’s spirit. Inilah spirit dari Kristus, yang berbeda dari Satanic’s spirit. Spirit dari setan yaitu ingin merebut yang bukan haknya. Akhirnya dia rendahkan. Sebaliknya spirit dari Kristus itu adalah justru dengan rela melepaskan hakNya, yaitu kemuliaanNya dengan jalan merendahkan diriNya sedemikian. Dan itu lakukan apa? Kalau setan itu demi dirinya, tapi ini justru demi kita. Dan kalau kita mengerti seperti ini, inilah cara paradigma kita sebagai orang Kristen. Inilah cara pandang kita dan kendala kehidupan kita melayani Dia. Pertanyaannya: Sudahkah spirit Kristus ini sungguh kita hidupi? Sudahkah hidup kita sungguh sudah berfokus kepada Dia? Sudahkah kita juga belajar untuk rela melepaskan hak kita, merendahkan diri kita sedemikian? Demi Kristus yang sudah memang lebih dulu melepaskan hakNya dan rela merendahkan diriNya sedemikian untuk mati di kayu salib.
Di depan kita ada rangkaian pelayanan KKR dan banyak bentuk pelayanan. Adakah kita belajar juga berbagian di dalamnya? Adakah kita belajar untuk mengambil ya itu pelayanan, kalau kita mengambil sebagai pelayanan. Kenapa? Bukan karena hamba Tuhan suruh kamu, bukan karena pengurus ajak kalian. Tapi karena Kristus sudah lakukan untuk kita. Mari kita satu dalam doa.
Bapa kami dalam Sorga, kami bersyukur untuk firmanMu yang kembali mengingatkan kami. Kami sadar kami orang-orang berdosa dan kami sadar, ya Bapa, begitu banyak dosa yang kami terus nikmati, dan ego kami, kecongkakan kami yang begitu besar. Tapi bagaimana Kristus datang merendahkan diri, mati di kayu salib untuk kami yang terlihang, yang harusnya binasa ini. Kami berdoa bersyukur untuk semua ini, ya Bapa. Dan kami berdoa juga, ya Tuhan, biarlah apa yang sudah dikerjakan Kristus bukan untuk saja kami nikmati saja. Tapi kami juga belajar berbagian meneladani Dia, meneladani Tuhan kami yang menjadi contoh kami seumur hidup bagaimana juga mentaati kehendakMu, ya Bapa. Pimpin setiap kami karena kami pun ditebus dan dijadikan anak-anakMu. Biarlah kami boleh belajar mentaati Engkau, sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh AnakMu yang tunggal itu, yang sudah datang ke dalam dunia, mengosongkan diriNya, mengambil rupa seorang hamba, dan taat bahkan sampai mati di kayu salib. Terima kasih Bapa untuk semua ini. Biarlah visi akan pengorbanan Kristus, kerendahan dan salib Kristuslah yang mewarnai kehidupan kami, pribadi lepas pribadi. Dan juga ketika kami mengambil banyak keputusan-keputusan penting dalam hidup ini. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]