Vik. Nathanael Marvin
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pada hari ini saya ingin mengajak kita merenungkan bagaimana kehidupan kita itu dipenuhi dengan 2 pilihan, yaitu dipenuhi oleh Roh Kudus mau pun dipenuhi oleh keegoisan diri kita sebagai manusia. Hidup oleh Roh Kudus atau hidup oleh roh ku, ya, roh diri kita sendiri, ego kita sendiri. Ini adalah 2 jalan kehidupan kita sebagai manusia, mau hidup oleh Roh Kudus, dipenuhi Roh Kudus ataukah hidup dipenuhi ego kita sendiri, hidup dipenuhi keinginan, ya pemahaman yang dari dunia, yang dari diri kita yang berdosa sendiri.
Nah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bicara soal parenting, atau pola asuh anak, pola asuh anak ini biasanya ada 4 jenis di dalam mengasuh anak. Dan 3 pola merupakan pengasuhan yang sifatnya ke dalam diri, egoisitas manusia, keegoisan manusia yang berpusat pada diri sendiri, hanya memikirkan diri saja, bukan Tuhan dan semata, 3 pola tersebut. Tetapi 1 pola asuh yang benar atau yang tepat adalah berfokus kepada diri anak tersebut, mengasihi anak tersebut, bahkan memikirkan tentang Allah sendiri. Ini adalah 4 pola pengasuhan.
Yang pertama kita bisa pelajari ada pola pengasuhan atau parenting style ini sifatnya adalah permissive atau berpola perijinan. Orang tua akhirnya sangat menyayangi anaknya, sangat menghormati anaknya, dan mengijinkan anaknya untuk melakukan segala sesuatu yang dikehendaki anaknya, meski pun itu bertentangan dengan moralitas secara umum mau pun bertentangan dengan Firman Tuhan. Apa pun itu boleh, apa pun itu baik, bahkan dosa pun silahkan lakukan asal tidak merepotkan orang tua. Ini berarti pola asuh membebaskan anak -anak, memberhalakan kebebasan tanpa aturan sehingga anak itu bebas melakukan apa saja. Bisa dikatakan bahwa pola pengasuhan ini adalah pola orang tua yang takut pada anak, terlalu takut anak. Takut anak mereka sedih, takut anak mereka trauma, putus asa, hilang pengharapan, dan takut anak mereka itu menderita, takut anak itu disakiti, sehingga anak itu dimanja terus, diijinkan ngapa – ngapain ya, bebas. Ini kita bisa katakan sebagai “yes parent” atau “helicopter parent”, orang tua yang memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh anak, jangan sampai anak ini merasa kurang. Ini keluarga yang bebas sekali, dengan kata lain ini adalah orang tua yang sungguh -sungguh memanjakan anaknya dan salah satu ciri dari anak yang menjadi manja itu adalah egois, memikirkan diri saja, memikirkan bahwa kepenuhan diri itu harus dimiliki oleh anak tersebut, harus keinginannya dinomor satu kan.
Dan di dalam Alkitab ada orang tua yang seperti ini, ya, ada orang tua yang seperti ini yaitu adalah Imam Eli. Imam Eli punya 2 anak yaitu Hofni dan Pinehas, dan kedua anak ini yang seharusnya ditugaskan sebagai imam malah dibiarkan oleh Imam Eli, yaitu mereka melakukan dosa apa saja? Hofni dan Pinehas melakukan dosa yaitu mereka tidak hormat kepada Tuhan dan juga tidak mengasihi Tuhan. Tidak hormat kepada Tuhan, tidak beribadah dengan sungguh-sungguh, tidak mengasihi Tuhan. Dan yang selanjutnya mereka tidak adil terhadap jabatan mereka sendiri sebagai imam, mereka tidak lakukan tugas mereka sebagai imam dengan sungguh-sungguh. Ketika ada korban persembahan diberikan, mereka sembarangan makan yang tidak merupakan hak mereka dari korban persembahan tersebut. Mereka pakai garpu, ya garpu, kemudian ambil makanan tersebut, masak dimakan sebebas-bebasnya. Mereka itu sangat jatuh ke dalam dosa perut, gluttony ya, dosa ingin makan terus, makan terus, ingin memenuhi perut dengan apa yang mereka suka. Ini adalah dosa para imam, dosa para hamba Tuhan, bisa demikian, inginnya memuaskan perut, perut, dan perut.
Kemudian mereka memang memandang rendah untuk korban untuk Tuhan, dan akhirnya mereka sungguh-sungguh tidak memandang hormat terhadap persembahan, mereka memainkan persembahan yang diberikan oleh jemaat. Gambarannya sekarang adalah berarti Bapak, Ibu, Saudara sekalian, seorang hamba Tuhan itu tidak memakai uang persembahan dengan bijaksana, ya memakai uang persembahan seenaknya demi memuaskan hawa nafsu hamba Tuhan tersebut. Kemudian bukan saja dosa tersebut Bapak, Ibu, Saudara sekalian, tetapi Hofni dan Pinehas juga jatuh ke dalam dosa perzinahan, bagaimana mereka tidur dengan pelayan-pelayan perempuan di Kemah Suci, mereka berzinah dengan para perempuan.
Nah kemudian yang ditegur oleh Tuhan siapa? Tentu Hofni dan Pinehas ditegur oleh Tuhan, tetapi Tuhan juga menegur orang tuanya, yaitu Imam Eli. Imam Eli ditegur oleh Tuhan, “Kenapa kamu tidak menegur anak-anakmu yang sudah melakukan dosa yang begitu besar. Kenapa Imam Eli kamu membiarkan mereka? Kenapa kamu tidak memarahi mereka padahal mereka jatuh ke dalam dosa. Kamu itu bukan mengasihi anakmu, kamu itu justru mencelakakan anakmu sendiri.” Sehingga akhirnya Tuhan harus menghukum Hofni dan Pinehas dengan tangan Tuhan sendiri. “Kenapa kamu memandang rendah korban persembahan untuk Tuhan?” Bahkan dikatakan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, teguran kepada Imam Eli adalah, “Kenapa kamu lebih menghormati anak-anakmu sendiri? Kenapa kamu lebih menghormati anak-anakmu sendiri daripada Tuhan?” Itu adalah kegagalan dari pola asuh Imam Eli. “Anak-anakmu itu sudah menghujat Allah, kamu tidak memarahi mereka.” Ini adalah salah satu pola asuh kepada anak yang sifatnya permissive.
Lalu yang kedua, yang salah, yang egois ya, pola asuh yang egois adalah pola asuh yang otoriter, pola asuh seperti di barak tentara, atau militer ya, pola asuh militer. Semua kata orang tua harus dituruti oleh anak. Anak itu anak atau budak? Anak itu anak atau bawahan? Anak itu anak atau pembantu? Sampai tidak bisa dibedakan. Karena apa? Orang tua terlalu keras, orang tua terlalu memaksakan kehendaknya. Begitu anak tidak melakukan kehendak orang tua, orang tua langsung memberikan gelagat yang benci, yang nggak suka, nggak enak. Sehingga anak itu tertekan terus, tertekan terus, lalu memikirkan terus orang tua, akhirnya anak itu memikirkan bahwa Tuhannya itu adalah orang tua karena orang tua terlalu keras, terlalu memaksakan segala sesuatu. Satu kali salah anak tersebut di mata orang tua dimarahi berkali-kali, dikata-katai kasar, dikata-katai perkataan yang tajam sekali, sehingga anak itu ketakutan, tidak merasa bebas, maka ingin sekali anak itu keluar dari keluarga tersebut. “Udah lah nggak ketemu orang tua itu lebih enak kok. Otoriter sekali orang tua saya.” Wah akhirnya marah sekali anak tersebut, dan akhirnya menjadi anak yang keras juga. Hidupnya bukan dipenuhi dengan kasih, bukan dipenuhi dengan hal-hal baik, tetapi anak tersebut dipenuhi dengan kekerasan, kekasaran, itulah yang akhirnya dimiliki oleh anak. Dan akhirnya hidupnya pun menjadi keras.
Semua harus lapor orang tua, sudah umur 20 tahun, sudah dianggap dewasa, pemerintah saja anggap umur tersebut sudah dewasa, 17 tahun, 18 tahun, 20 tahun, pemerintah ini anggap adalah orang yang bisa mengambil keputusan sendiri, tetapi orang tua, sebagai orang tua yang sudah terpola keras kepada anaknya, sudah puluhan tahun, tetap anggap anak tersebut adalah harus diatur, harus dipantau. Pukulan rotan, sapu, ya, sapu lidi, semua pernah dirasakan oleh anak tersebut. Memilih pasangan hidup, dipilihin. Mau beli rumah, dipilihkan. Wah sampai semuanya itu diatur oleh orang tuanya. Wah diancam.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada 1 nasihat dari Pendeta Stephen Tong mengatakan bahwa, “Tidak ada anak yang bisa berubah bila dia dipukul, diancam, dan dikerasin terus menerus.” Nggak akan berubah. Itu hanya sebatas fenomena saja, dia takut maka dia berubah pada waktu di depan orang tua nya. Tetapi hatinya itu nggak bisa berubah. Yang bisa merubah orang itu adalah kasih Tuhan. Dengan kata lain orang tua ini sering memarahi anak, dan sering mengekang anak dengan ancaman emosi orang tua sendiri. Mungkin nggak marah, ya, mungkin nggak marah, tapi diancam, “Anakku kalau kamu melakukan hal tersebut, papa marah.” “Kalau kamu melakukan hal tersebut, mama sedih.” Wah anak ini terkekang sekali. Itu adalah pola asuh yang sangat salah juga ya, sangat egois juga di dalam kehidupan keluarga.
Yang ketiga, yang salah juga, yaitu adalah pola asuh pengabaian, acuh tak acuh. Orang tua punya anak tetapi merasa dirinya nggak punya anak, membiarkan anaknya besar diasuh oleh siapa pun boleh, silahkan, yang penting hidup saya enak, nyaman, nggak perlu lah anak itu adalah beban. Orang tua apatis, tidak peduli pada pertumbuhan anak. Anak jadinya adalah beban yang mengganggu. Punya anak, anak nggak pernah diajak ngobrol. Punya anak, nggak pernah pergi diajak ke tempat makan, tidak pernah diajak jalan-jalan, nggak pernah didisiplin, nggak pernah dikasihi, anak itu betul-betul dicuekin, diabaikan. Dengan kata lain, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, orang tua ini sering mengabaikan anak. Dan orang tua yang membiarkan anak, ini bahaya sekali. Apalagi kalau kita tau natur anak itu adalah berdosa, kita semua berdosa. Namanya orang berdosa, kalau dibiarkan, bukan lebih baik. Namanya berdosa nih, kalau dibiarkan, tidak ada teguran, tidak ada nasihat, pasti akan menjadi lebih buruk. Berarti, orang tua yang acuh tak acuh ini adalah menjerumuskan anak untuk melakukan dosa, dipimpin oleh dirinya sendiri, dipimpin oleh natur yang berdosa. Sehingga kita bisa lihat ini adalah relasi yang terputus antara orang tua dan anak, tidak saling kenal mau pun saling mempengaruhi.
Nah 3 pola pengasuhan anak ini, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini adalah pola pengasuhan orang tua yang egois tentu ya, orang tua yang tidak ada Roh Kudusnya, ini adalah sangat mengerikan sekali. Maka tidak heran bila anak bertumbuh menjadi orang yang lebih egois dibandingkan dengan orang tuanya. Karena orang tuanya sendiri egois kok. Hal yang natural adalah anak itu semakin egois, bahkan lebih egois. Nah lalu kita bisa berargumen, “Ada kok orang tuanya egois, tapi kok anaknya baik-baik ya?” Oh itu bukan karena usaha orang tua, karena anugerah Tuhan. Bukan karena orang tuanya begitu, “Oh ya nggak apa-apa ya, egois aja, anaknya tetap bisa baik.” Bukan, karena ada anugerah Tuhan, ada Firman Tuhan yang diterima anak tersebut, ada orang-orang yang memperhatikan dan mendoakan anak-anak tersebut.
Nah pola pengasuhan egois, atau pola berelasi dengan sesama juga secara egois, itu bisa membawa kepada kesukaran. Jadi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pola pengasuhan ini, bukan saja hubungannya antara orang tua mau pun anak. Tetapi pola ini pun kita bisa perlakukan kepada sesama kita manusia, teman kita. Kita bisa permissive sekali kepada teman kita, sahabat kita, “Ya silahkan kamu lakukan itu.” Kita bisa otoriter sekali, “Kamu harusnya lakukan ini, kalau tidak lakukan ini saya marah.” Kita juga bisa abaikan teman-teman kita. Nah itu adalah pola yang umum di dalam relasi manusia. Tetapi kalau kita lakukan ya, kita lakukan pola pengasuhan atau pola relasi yang egois, itu pasti akan membawa kepada kesukaran dan kekacauan, sebab semuanya itu fokus kepada kepentingan diri sendiri, mengisi hidup itu dengan ego, mengisi hidup itu dengan keinginan diri sendiri, pengennya apa, maunya apa, lakukan, bukan kepentingan Allah.
Dan yang ke-4, pola pengasuhan anak yang ke-4, yang bagus, sesuai dengan anugerah umum adalah pola pengasuhan otoritatif. Otoritatif berarti orang tua sadar sebagai wakil Tuhan, sebagai orang yang diberikan kepemimpinan di dalam keluarga, kemudian menghargai anak-anaknya itu sebagai individu, yang semakin dewasa individu tersebut semakin diberikan kebebasan. Semakin kecil, berarti masih semakin diatur, sampai dia akil balik, sampai dia semakin dewasa, orang tua tersebut memberikan kebebasan, ya memberikan sungguh-sungguh kelonggaran kepada anak tersebut. Tetapi orang tua juga berani untuk menegur dengan keras dan juga mengasihi, memperhatikan kebutuhan anak-anaknya. Nah ini adalah relasi yang bisa kita katakan dekat, sekaligus jauh. Ini adalah relasi yang paradoks, orang tua rasanya jauh dari anak, sehingga anak bisa menghormati orang tuanya, dan juga anak juga rasa dekat dengan orang tuanya karena orang tuanya itu mengasihi anak-anaknya. Mereka bisa tarik ulur dengan bagus, tidak terlalu mengekang, tetapi juga tidak terlalu membebaskan juga, sungguh-sungguh seimbang. Mereka memantau kedewasaan dan kerohanian anak-anak mereka, mereka kenal anak mereka, dan juga dibutuhkan oleh anak-anak mereka, dan juga bisa bersahabat dengan anak-anak mereka mau pun teman-teman dari anak mereka. Nah itu adalah otoritatif, otoritas orang tua itu dijalankan dengan kasih dan kebaikan, disiplin dan kasih itu seimbang. Dengan kata lain, orang tua ini berhikmat dalam pola pengasuhan.
Nah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pola ini ya, ini suatu hal yang luar biasa indah, Tuhan itu bisa menganugerahkan kepada orang yang bukan Kristen sekali pun. Mereka bisa bijaksana, mereka pun dipercaya menjadi pasangan suami istri, mereka pun dipercaya memiliki keluarga, mereka pun dipercaya punya anak. Itu berarti anugerah umum Tuhan itu Tuhan memang memberitahu bagaimana orang tua itu mengasuh anak-anaknya, bagaimana berelasi dengan baik secara umum. Ini luar biasa. Ada kok orang tua yang tidak kenal Kristus tapi bijaksananya luar biasa. Anaknya begitu baik secara umum, secara karakter, secara moralitas, kaya gitu ya, ini secara umum. Tapi bisa menjalani kehidupan yang bermanfaat di dalam masyarakat bukannya menjadi hancur sehancur-hancurnya kan? Tidak. Ada keluarga-keluarga yang belum percaya kepada Kristus pun bisa kok menjalankan kebaikan yang umum, tentu bukan kebaikan kepada Kristus.
Nah sekarang kita sebagai orang Kristen bagaimana Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Kita itu punya pola asuh kepada anak seperti apa? Apakah masih yang permissive, apakah masih yang otoriter, apakah masih yang mengabaikan, atau sudah belajar otoritatif, atau kita bisa memiliki atau mengharapkan kita itu punya pola pengasuhan kepada anak yang dipenuhi Roh Kudus? Dan ini bukan bicara soal pola pengasuhan kepada anak, tetapi pola relasi kepada sesama kita manusia juga. Jangan sampai kita relasi kepada sesama itu cuek, jangan kita relasi kepada sesama itu, “Silahkan, semua boleh.” Jangan kita relasi kepada sesama teman kita itu adalah otoriter, tetapi kita bisa gunakan otoritas Firman Tuhan, kita bisa berelasi dengan seseorang itu dengan kuasa dari Roh Kudus, Roh yang menolong kita untuk melakukan Firman Tuhan, Roh yang menolong kita untuk bisa memuliakan Yesus Kristus. Nah ini bagaimana kita berelasi. Pola pengasuhan kita, kalau punya anak ya, kita harus dipimpin oleh Roh Kudus, pola kita berelasi dengan sesama kita manusia, kita harus dipenuhi oleh Roh Kudus, dengan otoritas Firman Tuhan, dengan kebaikan Tuhan yang Tuhan nyatakan di dalam Alkitab.
Alkitab sudah jelas mengatakan dalam Filipi 2:1-4, di situ orang Kristen tidak boleh memiliki hati yang egois, hati yang senantiasa ingin dipenuhi dengan ego. Ego itu “kita” ya, nama kita sendiri. Kita pengen nya apa, tidak peduli kehendak Allah mau pun sesama. Tetapi justru di dalam Filipi 2:1-4 di situ kita diajarkan untuk memiliki hati yang penuh kasih. Mari kita baca Filipi 2:3-4, kita baca bersama-sama dengan buka suara, “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” Di sini diajarkan bagaimana kita itu hidup dalam kasih Kristus, merendahkan diri seperti Kristus merendahkan diri-Nya dan begitu mengasihi manusia yang sudah diciptakan oleh Kristus. Demikian juga kita sebagai manusia ciptaan Kristus kita boleh mengasihi sesama kita dengan cara apa? Kita jangan mengisi hidup kita itu dengan ego diri kita sendiri, hanya fokus kepada Marvin, Marvin, Marvin saja. Jangan. Berikan ruang di dalam hati kita itu nama orang lain, berikan ruang di dalam hati kita itu perlebarlah hati kita itu semakin luas, sehingga namanama itu bisa kita tampung, dan bisa kita doakan dan bisa kita kasihi mereka. Itu perlu ya sebagai pengikut Yesus Kristus.
Di sini Paulus menjelaskan bahwa setiap orang yang di dalam Kristus itu, mereka itu tidak cari kepentingan diri sendiri. Ya ego nya itu dibuang, masukin Roh Kudus, dipenuhi Roh Kudus. Mereka tidak cari pujian yang sia-sia. Pujian yang sia-sia berarti untuk diri sendiri. Mencari pujian untuk diri sendiri itu sia-sia, tetapi bisa melihat atau memuji sesama kita, kebaikan orang, itu adalah satu hal yang baik. Kita bisa melihat kebaikan orang, kita bisa melihat, memuji keunggulan orang, berkat dari Tuhan yang diberikan kepada orang tersebut itu adalah hal yang baik. Itu pujian yang bagus. Tetapi pujian yang sia-sia adalah cari hal untuk memuji diri. Kita ingin menambah sesuatu supaya diri kita itu dipenuhi oleh ego kita sendiri. Tidak ada kesombongan, tidak mengutamakan diri, tidak hanya mementingkan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Ini adalah ciri-ciri orang yang dipenuhi Roh Kudus. Roh Kudus membawa kita untuk memenuhi diri kita itu dengan kepentingan Kristus. Dan waktu kita di penuhi dengan kepentingan Kristus, Kristus adalah Pribadi yang sangat mengasihi manusia, maka waktu kita dipenuhi dengan kepentingan Kristus, maka kita pun bisa mengasihi sesama kita manusia dengan luar biasa, dengan luas. Ini adalah ciri-ciri dipenuhi dengan Roh Kudus, kita itu bisa tidak mementingkan diri kita sendiri. Ya bukan menjadikan yang utama dalam hidup kita adalah diri ya.
Nah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau hidup kita penuh dengan diri ya, penuh dengan diri, itu ada ibarat nya ya, Timothy Keller itu memberikan ilustrasi kepada orang yang selalu ingat diri, selalu egois, itu seperti balon, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, yang terus diisi terus dengan angin, diisi ya, ibarat hati kita itu adalah balon ya, dan angin itu adalah ego nya kita. Waktu balon tersebut terus diisi dengan angin, angin, angin, penuh, penuh, penuh terus, hidup kita itu diisi dengan ego dan ego kita sendiri, lama-lama akan meletus, lama-lama akan hancur, lama-lama kita yang rusak sendiri. Nah itulah kenapa Firman Tuhan mengatakan orang yang meninggikan diri itu adalah orang yang mengisi dirinya dengan egonya, nanti juga akan direndahkan, akan hancur, orang congkak itu akan ditundukkan oleh Tuhan, akan direndahkan oleh Tuhan. Karena apa? Karena dia mengisi hidupnya itu dengan egonya, akan meletus, akan kacau. Tetapi beda dengan orang yang mengisi hidupnya dengan Roh Kudus terus, nggak akan hancur, justru akan terus harus selalu dipenuhi, dan itu nggak akan memberikan dampak yang kacau seperti balon yang bisa meletus. Kita bisa diisi terus, terus menerus, itu akan jadi kebaikan bagi hidup kita. Kita tidak ingin menjadi orang yang egois, tetapi kita ingin menjadi orang yang dipenuhi dengan Roh Kudus.
Perlu diperhatikan, hati yang penuh Roh Kudus itu bukan berarti Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita itu tidak bisa menikmati hidup kita, akhirnya tidak ada sama sekali keinginan kita. Seolah-olah semua Roh Kudus, seolah-olah kita harus berkorban terus bagi Tuhan. Bukan. Tetapi justru kita itu dengan rela melayani Tuhan dengan suka cita, bukan dengan paksaan. Maka saya sangat tidak setuju sekali ya, kalau ada orang yang melayani itu karena terpaksa. Terpaksa dan tidak tahu kenapa dia melayani. Tidak tahu pelayanan itu baik. Akhirnya disuruh-suruh terus,”Kamu melayani aja!” Supaya apa? Egonya orang tua terpenuhi. Ya, “Kamu melayani saja!” Supaya apa? “Egonya saya. Saya cari pujian bagi diri saya.” itu salah ya. Pelayanan itu dipenuhi Roh Kudus sehingga mengalami suka cita yang besar.
Waktu dipenuhi Roh Kudus, bukan berarti kita tidak bisa menikmati hidup kita. Justru, kita bisa menikmati hidup kita dengan anugerah Tuhan, dengan pimpinan Roh Kudus. Dan itu sangat merupakan hal yang menggembirakan. Ingat, Bapak,Ibu,Saudara sekalian, hati yang gembira adalah obat yang manjur. Waktu kita dipenuhi oleh suka cita dari Roh Kudus, itu betul-betul menggembirakan hidup kita, menyehatkan hidup kita. Bukan berarti juga kita tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri. Kenapa? Karena perintah Yesus Kristus sendiri adalah kita itu mengasihi Allah, mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Jangan lupa untuk mengasihi diri kita sendiri. Itu adalah pimpinan Roh Kudus juga. Itu adalah orang yang dipenuhi Roh Kudus juga. Dipenuhi Roh Kudus, berarti kita mengasihi Allah, mengasihi sesama, dan mengasihi diri kita sendiri. Nah, itu tepat. Tetapi urutannya berbeda ya. Urutan yang salah adalah kalau kita mengasihi diri kita yang utama, lalu sesama, lalu Allah yang terakhir. Nah, itu baru salah. Itu bukan sesuai dengan pimpinan Roh Kudus. Pimpinan Roh Kudus akan menolong kita untuk mengasihi sesama dengan tepat.
Nah, bagaimanakah kita mengatasi hati kita yang egois? Bagaimana kita mengatasi supaya hidup kita tidak dipenuhi dengan ego terus-menerus dan bisa mencapai target yang Allah inginkan? Pertama-tama kita butuh anugerah Tuhan agar kita memiliki hati yang senantiasa diperbaharui. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, sebagai orang Kristen, kita punya hati yang baru. Hati yang baru ini adalah hati yang hidup ya. Hati kita sudah mati, tetapi hati yang baru itu berarti Tuhan ciptakan hati kita yang baru, berbeda dengan hati yang sebelumnya. Nah, waktu kita punya hati yang baru, kita punya kuasa dari Roh Kudus, kita punya kekuatan dari Yesus Kristus, kita punya pemeliharaan dari Bapa untuk bisa melakukan sesuatu itu dengan tepat sesuai yang Tuhan mau. Itu adalah hal yang berkenan bagi Tuhan. Dan waktu kita mau supaya hati kita terus tepat melakukan Firman Tuhan adalah kita perlu diperbaharui terus-menerus. Artinya apa? Hati kita itu, bisa saja hati yang baru ini jatuh ke dalam dosa. Bisa. Tetapi, kita minta pertolongan dari Roh Kudus untuk senantiasa memperbaharui supaya kita bisa terus menjalankan tugas kita. Nah, kita minta hati yang baru dan hati yang diperbaharui atau dipenuhi Roh Kudus senantiasa. Nah, kita perlu berdoa.
Di dalam Mazmur 14:1-3 Daud menjelaskan, saya akan bacakan untuk kita semua, “Orang bebal berkata dalam hatinya: “Tidak ada Allah.” Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik. TUHAN memandang ke bawah dari sorga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah. Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak.” Jadi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, seorang yang belum di dalam Kristus itu sebenarnya naturnya itu jatuh terus ke dalam dosa, ingin melakukan hal yang tidak diinginkan Tuhan ya. Kecenderungannya adalah terus berdosa dan akhirnya melupakan Firman Tuhan. Melupakan Tuhan sendiri. Maka sangat privilege bagi kita, kita bisa punya kemampuan yang diberikan oleh Roh Kudus sendiri atas hidup kita. Nah, perlu hati-hati. Kita ini memang pada dasarnya bebal. Kita ini pada dasarnya seringkali melakukan perbuatan dosa, maka kita pun sudah ditebus dengan darah Kristus, kita masih bisa melakukan dosa. Maka dari itu kita butuh terus minta hati yang diperbarui. Ya, hati yang terus dipenuhi oleh Roh Kudus.
Nah, kemudian kita bisa lihat, ada alasan-alasan orang memiliki kerohanian yang egois, atau ada 3 alasan setidaknya yang ingin kita renungkan pada hari ini adalah orang yang tidak punya hati yang dipenuhi Roh Kudus atau tidak punya hati yang takut akan Allah itu kenapa? Ada 3 alasan orang memiliki hati yang egois atau hidupnya itu dipenuhi dengan ego. Yang pertama adalah, orang tersebut memiliki cinta diri yang tidak tepat. Incorrect self-love, atau cinta diri, kasih kepada diri yang tidak tepat, sehingga kehidupannya dipenuhi dengan ego. Jonathan Edwards pernah membahas soal keegoisan manusia juga, ya. Dia sebut hati manusia yang egois itu adalah karena cinta diri yang tidak teratur. Bahasa Inggrisnya itu adalah inordinateness of self-love. Jadi, kita punya kasih kepada diri, kita punya kasih yang betul-betul tidak teratur atau tidak tepat sasaran, sehingga itulah yang membuat kita menjadi orang yang egois. Kita tidak bijaksana dalam mengarahkan hati kita itu untuk mengasihi diri sendiri, seperti apa? Seperti yang saya katakan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bahwa mencintai diri itu memang hal yang baik ya. Kita harus mengasihi diri kita, mengasihi tubuh kita, mengasihi rohani kita. Itu hal yang baik. Tetapi, kalau kita memperhatikan diri saja dan tidak kepentingan Tuhan mau pun sesama, maka itu menjadi self-love yang salah.
Mengasihi secara tidak tepat, tidak teratur, dan akhirnya mengasihi diri terlalu besar. Mengasihi dirinya sendiri melebihi siapa pun. Diri menjadi terlalu penting dan berharga, dan kita mau melakukan sesuatu kalau hanya ada kepentingan atau keuntungan untuk diri sendiri saja. Tetapi juga, kita punya self-love yang salah adalah kita punya kasih, tetapi tidak mau mengasihi pribadi yang lain. Kita menutup, memagari kasih kita itu, memenjarakan kasih kita sehingga kita tidak mau mengasihi Allah mau pun mengasihi sesama. Itu adalah alasan pertama kenapa hidup kita menjadi hidup yang egois, yaitu karena kita memiliki cinta diri yang tidak tepat.
Yang kedua, kita memiliki fokus hidup yang pada hawa nafsu atau ego sendiri saja, pada ego kita saja. Ini adalah kehidupan yang self-centered. Fokus hidup kepada diri saja, hidup yang berpusat kepada diri saja. Mari kita baca Yakobus 4:1-3, kita baca bersama-sama sambil buka suara, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Ini adalah fokus kehidupan orang yang kepada dirinya sendiri saja ya. Mari kita baca bersama-sama Yak 4:1-3 ya. “Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa,karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.” Dari ayat tersebut, kita bisa lihat kaitan yang erat tentang keegoisan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, yaitu hawa nafsu menimbulkan sengketa dan pertengkaran. Jika fokus hidup kita hanya untuk memenuhi hawa nafsu, memenuhi keinginan diri kita sendiri, kita menjadi orang yang sering kali bermasalah dengan orang lain. Ketika target kita tidak tercapai, kita akan bertengkar dengan Tuhan, kita akan bertengkar dengan sesama kita manusia. Target kita nggak tercapai.”Target aku lho! Aku yang bikin target!” Jadi, fokusnya bukan targetnya, fokusnya adalah “aku”- nya.
Kemudian kita bisa lihat, orang yang egois itu ingin keinginannya terpenuhi. Jadi jika tidak dipenuhi, maka dia akan melakukan dosa-dosa yang lain. Seperti apa? Membunuh, iri hati, karena tidak mendapatkan keinginan dia sendiri. Oh, ini bahaya sekali ya. Orang yang fokus kepada hawa nafsu, fokus kepada keinginannya. Lalu juga kita bisa lihat di dalam ayat ini, waktu orang yang fokus kepada hawa nafsu atau self-centered, fokus pada diri sendiri, kepentingan diri sendiri, dia juga waktu berbuat doa, melakukan doa kepada Tuhan, justru doanya itu adalah arahnya untuk diri sendiri. Ya, ini adalah doa yang egosentris. Doa yang fokus kepada diri sendiri. Justru, kalau doa yang egosentris Tuhan tidak jawab ya, itu adalah kebaikan bagi orang tersebut. Tuhan nggak jawab doa yang egosentris. Sampai Tuhan lihat ya, doa itu menjadi Teosentris, baru Tuhan jawab. Itu kebaikan Tuhan juga ya kepada manusia yang hidupnya self-centered, orang yang mementingkan diri sendiri, orang yang iri hati di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Jadi kita bisa lihat, Bapak, Ibu, saudara sekalian, orang yang memenuhi dirinya dengan ego, dengan dirinya sendiri ya, maka itu akan banyak pertengkaran.
Paulus katakan, cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan. Itu betul. Karena waktu cinta akan uang, sebenarnya orang tersebut cinta akan diri. Jadi, problem-nya itu adalah dia cinta akan diri. Karena apa? Karena dengan uang, dia bisa memenuhi keinginannya. Dirinya lagi. Jadi, kita bisa katakan keegoisan itu adalah akar dari segala kejahatan. Cinta akan uang itu adalah cinta akan diri, kok. Berarti kalau kita teliti lagi, orang yang cinta akan diri itu adalah akar segala kejahatan. Kita bisa tanya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, apa sih yang membuat pejabat-pejabat negara itu korupsi? Keegoisan. Cinta akan diri yang terlampau besar, yang tidak tepat. Apa yang membuat sahabat akhirnya bermusuhan? Keegoisan. Cinta akan diri lagi. Self-centered life. Apa yang membuat permasalahan-permasalahan muncul dalam keluarga? Apa yang membuat adanya perceraian? Apa yang membuat adanya perdebatan? Pembunuhan? Itu adalah kita bisa katakan akar segala kejahatan adalah cinta akan diri. Kita terlalu cinta diri kita dengan tidak tepat. Bahkan, kita bisa katakan 10 hukum Taurat itu dapat kita langgar kalau kita memenuhi hidup kita itu dengan ego kita. Kalau hidup kita itu egois, kita langgar semuanya. Ini betul-betul akar permasalah ya, di dalam kehidupan manusia berdosa, yaitu sungguh-sungguh fokus kepada diri.
Dan yang ketiga, alasan kenapa hidup kita menjadi hidup yang egois adalah kita memiliki konsep diri nomor yang pertama atau istilahnya itu adalah kita itu self-supreme. Kita itu betul-betul menganggap diri kita itu yang terbaik. Kita lebih hebat dari orang lain. Kita harus menjadi nomor yang pertama. Ini adalah hal yang salah ya. Menganggap diri yang terpenting, menganggap diri yang paling berkuasa, sehingga akhirnya kita justru jatuh ke dalam penyembahan berhala di dalam diri kita sendiri. Ya, itu semua adalah akar permasalahan di dalam kehidupan manusia yang berdosa. Pada akhirnya, orang yang betul-betul merasa diri hebat, yang utama, justru tidak akan bisa menguasai dirinya sendiri dan orang tersebut akan terus memilih untuk melakukan perbuatan dosa, sampai dia itu sudah merasa harus. “Saya tidak boleh melakukan dosa ini, tetapi saya terus melakukannya.” Karena apa? Karena dia sudah terjebak ke dalam dosa kesombongan ini. Dosa menganggap diri yang utama. Sampai dia sudah sadar pun akhirnya terus melakukan dosa karena dia sudah kehilangan jati dirinya sendiri. Karena dia merasa diri yang pertama, yang paling hebat, paling berkuasa. Dia sudah nggak bisa lagi, dia justru diperbudak oleh dosa. Dia akan terus melakukan dosa sampai dia punya keinginan untuk berbuat baik pun, yang dia lakukan adalah perbuatan dosa. Karena apa? Karena mereka masa bodoh dengan semuanya. Mereka fokus kepada diri mereka sendiri. Mereka itu tega untuk menyakiti hati orang lain, hati Tuhan, asal hatinya senang. Nah, inilah 3 alasan kenapa hidup kita menjadi egois ya. Karena kita memiliki cinta diri yang salah. Karena kita egois ya. Kita itu self-centered. Kita itu selfish. Kita fokus kepada kepentingan kita. Dan yang ketiga, karena kita merasa diri kita paling berkuasa dan paling benar, paling hebat, tanpa dosa sekali pun. Itulah yang membuat kita hidup egois.
Lalu, bagaimana dengan kehidupan orang Kristen, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Apakah kita mau hidup egois terus? Nah, ada satu perumpamaan yang bagus sekali, yaitu adalah perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Good Samaritan. Kisah perumpamaan ini secara singkat akan saya jelaskan. Ini adalah salah satu kisah yang paling egois, dan juga salah satu kisah yang di dalamnya itu adalah menunjukkan hal yang tidak egois juga, paling tidak egois. Yaitu, kita bisa teliti bahwa ada 2 orang yang egois, ada 1 orang yang tidak egois. Imam, dan juga orang Lewi, dan juga orang Samaria. Ini, 3 orang ini. 2 orang egois, tetapi 1 orang penuh dengan kasih, penuh dengan Roh Kudus. Ini menggambarkan bahwa orang egois itu memang lebih banyak, tetapi sedikit juga orang yang penuh kasih. Nah, kita tau ceritanya ya. Ada orang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho. Dari Yerusalem ke Yerikho turun, kemudian dia jatuh di tangan perampok, penyamun. Dirampok habishabisan, dipukuli, bajunya diambil, segala harta milik kekayaannya, tasnya diambil, dipukul, ditinggalkan terkapar hampir mau mati kalau dibiarkan tersebut. Sudah tidak ada tenaga lagi orang tersebut. Kemudian, ada imam dan orang Lewi melihat, lalu mengabaikan.
Nah, ini kembali lagi ke dalam prinsip relasi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Relasi itu, kita bisa abaikan orang. Udah, orang membutuhkan pertolongan tapi diabaikan dengan segala alasan yang ada. Orang Samaria, ketika lewat, dia melihat lalu tergeraklah dengan belas kasihan. Ada beberapa tindakan belas kasih orang Samaria yang dia lakukan, yaitu adalah dia pergi untuk mendekati si orang yang terkapar tersebut, kemudian dia membalut luka orang tersebut, menyirami dengan minyak dan anggur supaya tidak kepanasan orang tersebut, menaikkan orang tersebut ke atas keledai tunggangannya, kemudian dia membawa orang tersebut dengan keledainya itu ya, ke penginapan. Sudah di penginapan, sekali lagi dia tidak berhenti di sana, dia merawatnya di dalam beberapa jam waktu itu. Tetapi, karena dia harus segera pergi, dia menyerahkan 2 dinar kepada pemilik penginapan untuk dirawat orang yang terkapar tersebut. Wah, sudah betul-betul disediakan secukupnya. 2 dinar itu bisa 2 hari, berarti orang tersebut bisa pulihlah dalam waktu kurang lebih 3 hari.
Ini adalah tindakan belas kasihan yang menggambarkan kasih Allah kepada sesamanya. Kasih Allah kepada manusia yang membutuhkan. Hati yang penuh kasih, hati yang penuh dengan Roh Kudus ya. Nah, hati orang Samaria ini mencerminkan 2 hal, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, yang pertama hati Tuhan ya. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia menyelamatkan manusia yang berdosa, manusia yang harusnya binasa, Tuhan selamatkan. Dia juga sama kurang lebih. Orang Samaria itu melihat orang tersebut ini akan binasa ya kalau tidak diselamatkan. Dia mau selamatkan. Nah, ini juga menggambarkan kasih orang Kristen, bagaimana kita mau mengasihi sesama kita manusia. Nah, orang yang dipenuhi Roh Kudus itu adalah orang yang betul-betul hidup dengan belas kasihan Tuhan. Mau belajar mengasihi sesama manusia. Mau belajar memikirkan kebutuhan sesama kita manusia.
Nah, maka dari itu, bagaimana hidup kita supaya dipenuhi oleh Roh Kudus? Kita mengingat kasih Tuhan. Bukan kita memfokuskan hidup kita harus dipenuhi Roh Kudus dengan cara-cara tertentu, dengan aturan-aturan tertentu, dengan usaha kita sendiri. Bukan. Tetapi, balik lagi kita ingat kasih Tuhan yang begitu besar, sehingga itu menggerakkan kita untuk berbelas kasihan kepada sesama, sehingga hidup kita itu betul-betul menjalankan perintah Tuhan. Dan juga ada beberapa hal yang bisa kita lakukan supaya hati kita tidak menjadi hati yang egois adalah kita mengingat prinsip dari John Calvin sendiri ya. John Calvin sendiri mengatakan bahwa, “Selain diri Allah sendiri, tidak ada yang lebih besar dari kehendak Allah.” Jadi, yang pertama yang terbesar adalah Allah, lalu yang kedua kehendak-Nya. Coba, masukkan di dalam prinsip hidup kita, di dalam kehidupan kita itu memang yang utama, yang pertama itu Allah, yang kedua adalah kehendak Allah, baru kepentingan-kepentingan yang lain. Yang kepentingan diri kita itu terakhirlah, baru kita bisa pikirkan diri kita. Maka, itu akan menjadi sebuah hal yang betul-betul indah sekali di kehidupan kita. Karena kita berusaha mementingkan kepentingan yang lain dulu. Ya, memikirkan kepentingan Allah maupun sesama.
Lalu, kita ingat juga, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, buah dari Roh Kudus yaitu apa? 9 rasa dari buah Roh Kudus, yaitu kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan, dan penguasaan diri. Dan yang paling penting adalah kita melawan kasih kepada diri yang salah itu dengan kasih Tuhan dan kasih kepada sesama. Maka, kita lihat Bapak, Ibu, Saudara sekalian, darimana kita tahu orang-orang Kristen itu dipenuhi Roh Kudus atau tidak. Kita lihat memang buahnya ya. Ada kasih nggak? Rasa pertama yang menjadi buah Roh Kudus adalah rasa kasih dulu. Ya, ketika kita makan buah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita ada rasa yang bermacam-macam, kita makan lah ya. Nah, itu rasa yang duluan muncul apa? Kalau kita dipenuhi Roh Kudus, maka rasa yang duluan muncul adalah kasih, ada suka cita. Dan kiranya kita boleh sungguh-sungguh hidup memaknai Injil dari Yesus Kristus sendiri. Bagaimana Yesus Kristus sudah naik ke Surga, Dia sudah mengutus penolong yang lain yaitu Roh Kudus untuk bisa melanjutkan pekerjaan Kristus di Bumi ini. Yesus Kristus sudah selesai tugas-Nya di Bumi ini selama 33,5 tahun, tetapi bukan berarti Dia berhenti, bukan berarti Dia duduk-duduk saja di Surga. Tetapi Dia terus memperhatikan, Dia terus berdoa bagi kita semua, dan Dia terus bekerja melalui siapa? Melalui Roh Kudus untuk bisa memimpin hidup kita untuk menjalankan tugas-tugas yang sudah Yesus perintahkan. Yesus itu mengestafetkan tugas-tugas yang sudah dikerjakan Yesus Kristus, tugas-tugas yang harus kita kerjakan sebagai orang Kristen itu kepada kita semua ya. Itu menjadi sebuah tugas kita yang perlu kita terus bawa sampai kita menyelesaikan kehidupan kita di Bumi ini. Mari kita sama-sama berdoa.
Bapa kami yang di Surga, kami bersyukur Tuhan, pada hari ini boleh merenungkan kembali Firman Tuhan. Bagaimana Tuhan sudah bekerja dalam hati kami. Ampuni Tuhan, jika hati kami ini seringkali kami isi dengan hal -hal duniawi, bahkan kami juga seringkali mengisi hidup kami dengan diri kami sendiri, dengan ego kami sendiri. Ampunilah Tuhan, segala kesalahan dan dosa kami ini. Kiranya Tuhan memberikan kami pertolongan supaya hidup kami ini tidak dipenuhi dengan dosa, tetapi dipenuhi dengan Roh Kudus sendiri. Kiranya Roh Kudus boleh memenuhi hidup kami ini. Kiranya kami boleh senantiasa hidup dipenuhi Roh Kudus, hidup boleh memuliakan nama Tuhan, dan juga menjalankan kasih yang dari Tuhan sendiri. Ajari kami Tuhan untuk berbuat kasih kepada sesama kami manusia. Dan tolonglah kami bisa berelasi dengan sebaik mungkin kepada Tuhan sendiri mau pun kepada sesama kami manusia dan kepada diri kami secara tepat. Tolonglah pelihara iman kami, Tuhan. Dan kami mohon supaya Tuhan juga memberkati gereja Tuhan sehingga gereja Tuhan bukan menjadi gereja yang egois, tetapi boleh menjadi gereja yang senantiasa dipenuhi dengan Roh Kudus. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kami yang hidup, kami sudah berdoa. Amin. (HIS)
Transkrip Khotbah ini belum diperiksa oleh Pengkhotbah.