Hikmat Surgawi Vs. Hikmat Duniawi, 5 Maret 2023

Hikmat Surgawi Vs. Hikmat Duniawi

Yak. 3:13-18

Vik. Nathanael Marvin

 

Hari ini tema khotbah kita adalah hikmat surgawi versus hikmat duniawi. Apa itu hikmat surgawi? Apakah betul hikmat itu bisa dibedakan di dalam 2 jenis? Bukankah hikmat itu ya hikmat? Kenapa harus ada hikmat surgawi maupun hikmat duniawi? Nah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bagi semua orang ketika kita mendengarkan kata “hikmat” itu selalu berkonotasi positif. Ketika bicara hikmat, pasti pikirannya apik, indah, bagus. Tetapi ketika bicara hal lain, itu bisa negatif bisa positif. Tetapi kalau bicara soal hikmat itu pasti konotasinya positif. Tetapi ternyata waktu kita lihat Alkitab, Alkitab itu membedakan hikmat. Hikmat itu tidak selalu positif. Hikmat itu berkonotasi negatif juga. Itulah kenapa Yakobus katakan ada hikmat dari atas. Tapi ada hikmat dari mana? Dari dunia, dari manusia, dari setan pun punya hikmat. Setan pun punya hikmat.

Bicara soal hikmat dalam konotasi positif, pasti kita tahu bahwa itu adalah hal yang penting dan indah. Hikmat yang berasal dari Tuhan sendiri dan hikmat yang seharusnya didambakan oleh setiap orang, yaitu hikmat yang positif, hikmat di mana kita bisa melakukan segala sesuatu untuk menyenangkan Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan. Nah bagaimana dengan hikmat dengan konotasi negatif? Itu kebalikannya. Hikmat itu konotasinya positif dan itu baik. Tetapi ketika ditambah hikmat dalam konotasi negatif, dalam arti yang negatif, itu sangat sangat mengerikan. Sangat sangat mengerikan, sangat sangat nggak penting, dan justru mencelakakan banyak orang. Sayangnya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, justru kebanyakan orang bukan mencari hikmat dari Allah, bukan mencari hikmat dari atas, melainkan hikmat duniawi yang dikejar, hikmat dari diri manusia yang berdosa.

Nah sekarang, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita akan melihat di Alkitab ada orang paling berhikmat di seluruh dunia, yaitu raja Salomo. Di dalam Alkibat Perjanjian Lama menjelaskan bahwa raja Salomo ini punya hikmat yang tidak ada tandingannya dengan orang siapa pun se-zamannya, bahkan melebihi zamannya. Karena apa? Karena Salomo sebagai raja Israel dan dia punya hikmat yang melampaui setiap orang. Nah kenapa dia disebut sebagai orang paling berhikmat? Justru ketika dia beribadah kepada Tuhan. Jadi kita ingat ya kisah raja Salomo ya, Tuhan itu menampakkan diri kepada Salomo waktu Salomo tertidur dan dia sedang setelah ibadah di Gibeon. Dia menjadi raja itu hatinya takut, dia nggak yakin bisa memimpin kerajaan Israel. Tapi raja Daud sendiri sudah menyerahkan kepemimpinan raja ini kepada Salomo. Dan Salomo di dalam kebingungannya, ketakutannya, bagaimana memasuki tahap yang baru, bagaimana dia menjadi raja Israel, dia beribadah di Gibeon. Dan ketika dia di Gibeon, dia tertidur. Kemudian bermimpi. Dan di mimpi itu Tuhan menampakkan diri kepada Salomo dan mengatakan satu kalimat yang luar biasa, yaitu apa? “Salomo, mintalah apa pun yang hendak Ku berikan kepadamu.” Apa pun yang kamu mau minta, mintalah kepada-Ku, akan Ku-berikan kepadamu. Salomo di dalam pergumulannya, ketakutannya, dan baru menjadi raja, Salomo ternyata meminta apa? Meminta hikmat. Hikmat, kenapa? Karena sebenarnya dia sudah berhikmat. Sebenarnya Tuhan sudah kasih hikmat dulu kepada Salomo sehingga Salomo bisa meminta hikmat. Itu sudah anugerah Tuhan dulu ya, bukan karena usaha Salomo, “Saya harus minta hikmat.” Bukan! Tetapi karena anugerah Tuhan yang membuat hatinya itu meminta sesuatu yang tepat di hati Tuhan.

Hikmat Salomo membuat dia rasa kurang berhikmat. Nah ini paradoks. Orang berhikmat rasa kurang berhikmat. Karena dia rasa kurang berhikmat, dia minta hikmat kepada Allah sumber hikmat. Dia nggak bisa memimpin kerajaan Israel maka dia minta hikmat karena dia rasa tidak bisa memimpin. Aneh ya. Hikmat itu membuat orang justru bergantung kepada Tuhan. Hikmat membuat orang itu sadar, “Aku itu nggak bisa melakukan ini tanpa Tuhan.” Hikmat bukan membuat orang, “Saya bisa kok melayani Tuhan dengan baik.” “Saya bisa kok jadi liturgis yang terbaik.” “Saya bisa jadi jemaat yang setia.” Bukan! Hikmat itu dasarnya adalah kita justru merasa tidak mampu kecuali dengan pertolongan Tuhan. Dengan pertolongan Tuhan kita mampu tapi tanpa pertolongan Tuhan kita nggak akan siap melakukan apa pun itu. Itu hikmat.

Hikmat itu ada kerendahan hati. Hikmat itu yang dikatakan Yakobus ya, di dalam firman Tuhan yang barusan kita baca, hikmat itu lahir dari kelemahlembutan. Wah ini suatu tema yang sangat indah sekali yang diberikan oleh Yakobus. Orang yang berhikmat yaitu orang yang berdoa minta hikmat karena merasa kurang hikmat. Orang berhikmat merasa dirinya bodoh. Orang berhikmat merasa dirinya tidak mampu. Orang berhikmat merasa dirinya tidak ada pengalaman di dalam melayani Tuhan, di dalam melakukan firman Tuhan. Wah, luar biasa ya. Yakobus katakan apabila ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia minta kepada Allah yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati. Apabila kamu rasa kurang hikmat, kamu sudah berhikmat! Tidak ada orang berhikmat itu merasa dia hebat, saya sudah cukup berhikmat, saya sombong. Nggak ada! Orang yang berhikmat itu rendah hati. Orang yang berhikmat anggap dirinya tidak berhikmat.

Bukan hanya itu, kita bisa lihat bahwa Salomo itu bergantung pada Tuhan dan dia tidak minta apa-apa, tidak minta macam-macam. Dia tidak minta kekayaan, ketenaran, keberhasilan. Dia minta agar mampu mengerjakan pekerjaan Tuhan. Jadi ini adalah hikmat Tuhan, dia bisa mengerjakan pekerjaan Tuhan seturut yang Tuhan mau. Dia minta supaya bisa bertanggungjawab atas jabatan yang Tuhan berikan kepada Salomo.

Setelah Salomo itu berdoa minta hikmat, hikmat Salomo, di dalam Alkitab dijelaskan, setelah minta hikmat, Tuhan kasih suatu kasus yang begitu sulit, yaitu kisah yang sangat terkenal, yaitu antara raja Salomo dengan 2 perempuan sundal atau 2 perempuan pelacur. Ya itu di dalam 1 Raja-raja ya. Ceritanya adalah ketika raja Salomo memimpin tahta Israel, kemudian masuklah perempuan sundal menghadap raja. Dan ini adalah suatu fenomena yang sebenarnya agak janggal juga ya, kenapa raja Salomo itu mau sih mengurusi masalah dari 2 orang pelacur, tidak diserahkan kepada yang lain saja ya, wakil-wakilnya, misalkan seperti itu. Tapi raja Salomo ya sudah, dia terima saja semua masalah yang diperhadapkan kepadanya. Itu pun adalah hikmat dari Tuhan sendiri. Orang yang berhikmat itu  mau menghadapi semua masalah apapun, yang kecil, yang rasanya nggak penting, yang rasanya bisa dikerjakan oleh orang lain, kalau memang diperhadapkan kepadanya, dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Toh bisa, toh ada waktu. Maka Salomo itu pun sudah ada hikmatnya ya ketika mempersilahkan 2 perempuan sundal ini masuk ke hadapannya.

Dan 2 perempuan sundal ini menceritakan kepada Salomo bahwa mereka bersama-sama melahirkan anak, dan mereka itu tinggal di satu rumah yang sama, satu kamar yang sama. Sederhana. Kemudian perempuan yang satu melahirkan duluan, kemudian 3 hari selanjutnya, perempuan yang lain melahirkan juga. Jadi ini sama, sama-sama melahirkan, umur kandungannya juga cuma beda 3 hari, bersama-sama. Dan ini adalah persekutuan ibu hamil. Satu kamar, satu ruangan, ranjangnya juga berdekatan. Dan mereka sangat saling support, ada temannya. Mereka tidak hamil sendirian, mereka hamil bersama-sama dan mereka juga bisa melahirkan dengan baik ya, dua-duanya.

Nah di satu malam, bayi dari salah satu perempuan ini ternyata tertimpa ibunya. Mungkin ibunya sudah kelelahan, kecapean di malam hari. Ketika dia sambil memeluk bayi tersebut, bayi tersebut kemudian tertindih, tercekik, nggak bisa nafas, dan dalam beberapa menit bayi tersebut sudah mati tertimpa badan dari perempuan ini, ibunya sendiri. Nah ketika sang ibu ini bangun pagi hari, melihat bayinya sudah mati, wah, nah ini, bagaimana ya. Saya sedih kehilangan anak, tapi saya tidak mau kehilangan anak, saya tidak menerima kelalaian saya dalam menindih anak saya sendiri. Kemudian dia punya hikmat. Ah, itu ada bayi lain masih hidup, dia tukar bayinya untuk bisa memiliki anak. Dan dia anggap ini anaknya sendiri.

Apa itu ya? Hikmat apa seperti itu? Memang pintar. Dia bisa menipu realita. Tapi ini adalah hikmat duniawi. Ketika pagi tiba, wah dia sudah tidak bisa menyusui bayinya lagi, dan anaknya sudah mati dan dia tukar. Nah kemudian bayi dari yang masih hidup itu, si ibu itu bangun dan mau menyusui anaknya. Tetapi ternyata anaknya kok kaya bukan anaknya. Dan akhirnya mereka berdebat. Dua ibu hamil ini berdebat, setelah melahirkan anak berdebat. Dan akhirnya mengatakan bahwa, “Ini anakku!” “Itu bukan anakmu!” Nah ini pertengkarannya sangat hebat, sampailah diperhadapkan kepada raja Salomo. Pertengkarannya sangat sengit untuk memperebutkan mana anak yang sebenarnya.

Nah ketika mereka datang dan menceritakan hal itu kepada raja Salomo, raja Salomo yang penuh hikmat ini kemudian melakukan tindakan apa? Dia itu menganalisa, menilai masalah terlebih dahulu. Dan menilai masalah itu tidak bisa dari satu pihak saja. Menilai masalah itu ya harus diperhadapkan, dua-duanya. OK, perempuan yang satu silahkan ngomong dulu, masalahnya apa sih. Terus perempuan yang satu itu berkata, “Anakku lah yang hidup dan anakmu lah yang mati!” ke perempuan yang lainnya. Tetapi perempuan yang lain berkata, “Bukan, anakmu lah yang mati, anakku lah yang hidup.” Loh ini dua-dua statement benar ya, dua-dua statement begitu yakin. Tetapi Salomo menyimpulkan, OK itu dua-duanya statement kalian, itu adalah statement yang aku hargai. OK objektif ya. Salomo simpulkan dengan baik. Dan langsung Salomo tidak berpikir panjang, dia memerintahkan prajuritnya untuk ambillah pedang. Ambilkan aku pedang. Sudah nggak ada solusi kok, yang satu ngomong A, yang satu ngomong B. Sudah mau gimana lagi, satu statement A, satu statement B, nggak ada bukti, nggak ada penjelasan, waktu itu belum ada tes DNA, nggak ada saksi. Salomo tiba-tiba memerintahkan untuk mengambil pedang. Meyakinkan bahwa Salomo akan melakukan sesuatu dengan pedangnya. Dan ketika pedang tersebut diambil, Salomo memerintahkan bahwa penggallah bayi itu menjadi 2.

Wah, aneh juga ya, masa ada raja yang disuruh mengadili suatu perkara yang lagi rumit, disuruh membelah bayi tersebut. Bagi 2 yang masih hidup, setengah badan bawah kasih ke yang lain, setengah badan atas kasih yang lain. Sudah impas. Ini kan kaya gojekan anak-anak ya. Anak-anak yang nggak bisa mikir, “Sudah bagi 2 aja bayinya. Pecahin. Patahin!” Seolah-olah bayi itu masih bisa hidup. Tidak! Kalau sudah dibelah, bayi itu mati. Bagaimana? Ini apa sih? Sebenarnya ini Salomo memang bukan ngomong asal ya, ini adalah suatu hikmat, tapi hikmat dalam konteks dia itu sedang menggertak. Sulit ya, kita menggertak orang itu kaya gimana ya? Kita jarang menggertak orang. Kita menggertak orang itu bukan demi kebaikan orang tapi demi kepentingan diri. Tapi Salomo ketika melihat permasalahan begitu pelik, dia menggertak. Bukan demi kepentingan Salomo. Kalau Salomo belah bayi pun Salomo reputasinya sebagai raja pun aneh, akan turun, akan dihina orang. Raja yang kejam! Raja yang jahat! Raja yang tidak adil! Tetapi Salomo katakan demikian. Demi apa? Demi kepentingan ibu itu supaya mereka itu bisa sadar, bahwa raja Salomo bisa melakukan apa saja untuk bisa menyelesaikan perkara sesuai dengan kemauan Salomo.

Di sini kita bisa lihat, Salomo sudah muncul hikmatnya, dia sudah bisa menyimpulkan masalah secara objektif, “Aku percaya omongan kamu, kamu percaya omongan kamu.” Dia nggak curiga lho. Katanya kamu itu anakmu, kata yang lain itu anakmu. Ya sudah OK. Saya belah saja. Nggak ada yang mau ngaku kok. Salomo nggak cari-cari kebenarannya seperti apa. Salomo langsung lakukan, supaya mereka itu muncul sifat aslinya. Dia simpulkan masalah, dia yakinkan dan dia menggertak dengan tujuan yang baik.

Dalam menyelesaikan masalah ini Salomo itu memiliki hikmat yang luar biasa. Dia menyelesaikan seperti anak-anak. Salomo punya hikmat seperti anak-anak. Ada masalah, ya sudah bagi dua saja bayinya. ya orang dewasa mikir, gimana bisa selesai dengan cara membelah bayi dan membagi dua nya. Tetapi Salomo menggertak. Bahasa inggrisnya itu adalah “bluffing” ya. Bluffing ini adalah satu tindakan yang dipakai negosiator untuk bernegosiasi. Kita suka kan di film-film itu orang itu bernegosiasi antar kriminal dan polisi. “OK kamu harus serahkan sandera itu atau kami akan bom.” Itu cuma menggertak doang padahal nggak ada bom nya ya, nggak ada peluru, nggak ada sniper-nya nggak ada. Cuma menggertak aja supaya sanderanya itu bisa didapatkan kembali dengan aman. Cuma menggertak.

Salomo menggunakan teknik yang unik sekali di dalam pemerintahannya. Ketika 2 perempuan sundal itu langsung diperhadapkan dengan kondisi yang kritis. “Wah, ini raja bodoh ini. Rajanya aneh. Kita mau dapat keadilan, dapat kekejaman. Bayi ini akan dibelah!” Mereka jadi bingung ya. Mereka kritis, dalam kondisi yang mengagetkan. Sehingga justru dalam kondisi tersebut 2 perempuan ini itu nggak bisa memakai topeng. Tidak bisa berdalih apapun. Dan akhirnya mereka berespons secara spontan sesuai dengan jati dirinya. Perempuan yang satu katakan, “Jangan bunuh bayi itu. Sudah lah nggak apa-apa, serahkan aja bayi itu kepada perempuan yang lain, yang penting bayi itu jangan mati.” Tetapi perempuan yang lain katakan, “Ya, ya, nggak apa-apa, belah aja.” Wong bayi saya sudah mati, kamu juga supaya merasakan apa yang aku rasakan, mati juga sama-sama bayi kamu ya. Bunuh saja tidak apa-apa, supaya kami dua-duanya tidak kebagian bayi.

Setelah itu, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Raja Salomo katakan, “Jangan bunuh bayi itu!” “Jangan bunuh bayi itu, berikanlah bayi yang hidup kepada perempuan yang melarang aku membunuh bayi itu sebab perempuan itulah ibu yang asli.” — nah ini adalah hikmat di dalam memutuskan perkara yang adil. Lalu bayi itu diserahkan kepada perempuan yang memiliki kasih kepada bayi yang mau dipenggal itu. Jadi Salomo punya teknik psikologi yang luar biasa. Seorang ibu pasti mengasihi bayinya sendiri, kok! Nggak mungkin ketika seorang bayi yang mau dibunuh, si ibu itu, “Ya udah gapapa, bunuh aja!” – itu nggak mungkin. Jadi di sini Salomo ya, menyelesaikan masalah yang sangat rumit ini hanya sebatas beberapa kalimat selesai. Nggak lama ya. Inilah hikmat Tuhan. Hikmat Tuhan membuat Salomo itu bijaksana, memperkarakan dengan sesuai konteksnya. Dia juga memutuskan perkara dengan adil. Dan keputusan ini membuat seluruh Israel tahu bahwa Salomo memiliki hikmat dari Tuhan. Padahal hikmat menggertak seperti anak-anak, “Dah, belah bayinya” – itu kan anak-anak banget, anak-anak nggak taulah cara menyelesaikan masalah. Tapi justru Salomo pakai, dan akhirnya seluruh orang Israel itu kagum, hormat kepada raja Salomo, dan melihat bahwa Salomo itu melakukan keadilan. Seorang pemimpin memang harus melakukan keadilan. Apa itu keadilan? Yaitu melakukan yang layak untuk orang tersebut. Itu adil, nggak harus sama rata.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, adil itu nggak harus sama rata. Dia dapat satu, yang lain dapat satu. Dia dapat kesempatan, yang lain dapat kesempatan. Itu nggak selalu adil. Adil itu diberikan kepada yang layak untuk mendapatkannya. Orang miskin layak ditolong, itu adil. Orang yang bersedih layak dihibur, itu adil. Orang yang bekerja layak dihargai. Orang yang sungguh-sungguh pelayanan layak dihormati, itu adil. Tapi kalau kita lakukan sebaliknya, kita tidak adil. Nah penafsir mengatakan bahwa ini mirip seperti pujian yang disampaikan pada Daud, ayah Salomo di dalam 2 Samuel 14:17, “Perkataan Raja Daud tentu akan menenangkan hati, sebab seperti malaikat Allah, demikianlah tuanku raja, yang dapat membedakan apa yang baik dan jahat.“ Raja Daud apakah punya hikmat dari Tuhan? Punya. Daud punya hikmat, dia bisa memutuskan perkara dengan baik, dengan adil. Dan Salomo juga dikatakan dia punya hikmat juga, karena apa? Dia bisa membedakan yang baik dan jahat. Nah ini hikmat ya. Hikmat tuh bisa membedakan dengan tepat, dengan objektif, membedakan baik jahat, benar salah, adil tidak adil – dia bisa bedakan. Ya itu hikmat dari Tuhan. Apa yang membuat orang Israel kagum dan hormat kepada Raja Salomo? Yaitu hikmat Allah dalam diri Salomo – wisdom to determine good and evil, right and wrong, justice and injustice. Akhirnya rakyat ya menghormati Salomo.

Itulah contoh orang yang diberikan hikmat Surgawi. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, apa sih hikmat tersebut? Apa sih hikmat surgawi itu? Kalau kita lihat dari asal katanya, hikmat itu kan “cogma” – artinya apa hikmat itu? Yaitu dari bahasa Ibrani adalah skill, kemampuan. Dan setiap orang itu dikasih skill atau kemampuan, maka setiap orang sebenarnya memiliki hikmat dari Tuhan. Kemampuan, keterampilan. Lalu bukan saja itu, di dalam Ibrani ya, di dalam Alkitab itu, hikmat itu dikaitkan dengan kerendahan hati, dan juga kelemahlembutan. Yakobus memberikan sebutan bagi hikmat itu adalah di dalam ayat yang kita bahas, yaitu hikmat yang lahir dari kelemahlembutan. Ini berarti orang yang sombong pasti bukan memiliki hikmat Surgawi. Orang yang tidak lemah lembut, lemah lembut ini suatu kebajikan yang rumit juga ya. Lemah lembut kan bukan berarti tidak tegas. Lemah lembut bukan berarti tidak berani. Tetapi lemah lembut ini bisa menempatkan diri harus tegas kepada orang yang perlu ditegaskan. Tetapi kepada orang yang harus diperhatikan, dia perhatikan. Nah itu lemah lembut.

Nah, orang yang tidak lemah lembut, orang yang tidak mengerti, tidak bersimpati, tidak perhatian – itu bukan orang yang berhikmat Surgawi. Kemudian bahasa Yunani dari hikmat adalah “Sofia”. Sofia apa artinya? Itu juga adalah kemampuan. Bukan saja itu dalam periode Helenistik, hikmat juga adalah, diartikan ya, hikmat itu sebagai pemahaman akan hal-hal yang materi ini, dan juga hal-hal yang roh, rohani sifatnya. Itu hikmat bagi orang-orang Yunani, zaman Helenistik pada waktu itu. Jadi kita bisa lihat bahwa hikmat sendiri itu artinya apa? Praktis, bukan teoritis ya hikmat itu. Ternyata hikmat itu adalah kemampuan, bisa terlihat: orang ini berhikmat atau nggak. Dari hal apa? Dari pembicaraannya, dari cara bicaranya, dari cara pakaiannya, semua itu memunculkan atau menunjukkan hikmat yang di dalam diri manusia. Kemampuan untuk membedakan baik dan jahat – itu juga adalah hikmat.

Nah sekarang kita baca 1 Kor 1:24, mari kita lihat. Apa sih sebenarnya hikmat surgawi tersebut? 1 Korintus 1:24, kita baca buka suara bersama-sama, “tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” Christ is the wisdom of God. Kristus adalah hikmat Allah bagi setiap orang yang percaya. Jadi hikmat sejati itu, hikmat surgawi itu ada di dalam diri Yesus Kristus. Dan orang Kristen punya Yesus Kristus berarti seharusnya orang Kristen itu memiliki hikmat surgawi. Hikmat surgawi adalah di dalam Yesus Kristus sendiri. Namun orang Kristen ya, menemukan hikmat sejati di dalam Kristus dan salib Kristus juga itu hanya karena anugrah Tuhan ya, balik lagi.

Satu sisi kita bisa mencari, bisa mendapatkan, bisa memperoleh pribadi Yesus Kristus, bisa percaya kepada Yesus Kristus, itu karena anugrah Tuhan. Setelah dapat, hikmat itu nggak akan hilang. Setelah dapat, hikmat itu akan ada tetapi permasalahannya, kita meningkatkan nggak hikmat kita itu? Meningkatkan nggak talenta kita itu? Meningkatkan nggak kemampuan yang sudah Tuhan berikan kepada kita untuk bisa mengerjakan keselamatan di dalam diri Yesus Kristus. Nah itu tanggung jawab manusia. Maka kita berbeda-beda. Ada orang yang muda, tapi karena dia bertanggung jawab terhadap anugrah Tuhan, dia bisa lebih dewasa lebih cepat dibandingkan dengan orang yang sudah berumur. Tapi orang yang berumur, sudah Kristen, tapi dia tidak menumbuhkan hikmatnya, ya dia akan menjadi orang Kristen yang tidak dewasa.

Seorang Teolog pernah mengatakan, “When we speak about wisdom, we are speaking about Christ.” – “Ketika kita bicara soal hikmat, hikmat itu sendiri, kita bicara soal Yesus Kristus.” Jadi hikmat surgawi itu ada di dalam diri Yesus Kristus. Maka, apakah tindakan hikmat dalam Kekristenan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Yaitu kita… paling jelas ya, hikmat adalah takut akan Yesus Kristus. Kemampuan untuk takut akan Yesus Kristus, kemampuan untuk menghormati Yesus Kristus, kemampuan untuk melayani Yesus Kristus, itu adalah hikmat dari Tuhan. Sejauh kita takut akan Kristus, sebenarnya sejauh itulah hikmat orang Kristen.

Nah sekarang kita bahas Yakobus 3:13-18 ini, di dalam perikop ini, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa bagi 3 bagian. Ayat 13 itu bicara soal hikmat surgawi, ayat 14-16 itu bicara hikmat duniawi. Tetapi kemudian, Yakobus membalikkan lagi, ayat 17-18 bicara soal hikmat surgawi. Jadi dua kali dia bicara hikmat surgawi, tetapi di tengahnya dia berikan contoh ini hikmat duniawi.

Yakobus menekankan betapa penting hikmat surgawi dan betapa tidak pentingnya hikmat duniawi. Dua hikmat surgawi yang di atas dan di bawah itu, itu harus kita kejar. Tetapi yang di tengah-tengah dari hikmat surgawi, yaitu adalah hikmat duniawi, itu harus ditolak. Itu yang Yakobus ingin sampaikan kepada pembacanya. Di ayat 13, “Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan.” Yakobus sudah menjelaskan ya, di dalam perikop-perikop yang selanjutnya kita sudah membahas bahwa Yakobus katakan, “Hati-hati kalau kamu bicara! Hati-hati apalagi kamu yang dipercaya sebagai pengajar firman Tuhan, kamu bisa menyesatkan kalau kamu tidak takut akan Tuhan dan tidak mempelajari firman Tuhan. Hati-hati jangan mengajar firman Tuhan sembarangan dan bukan saja itu, kamu yang tidak ada kebagian untuk mengajar sesuatu di dalam komunitasmu, hati-hati di dalam menggunakan lidahmu. Harus menjinakkan lidah!”

Jadi, Yakobus soroti yang kelihatan dulu. Yakobus soroti yang langsung keluar dari perkataan. Tetapi sekarang Yakobus soroti yang di dalam kita, kenapa? Kita bisa mengeluarkan perkataan yang bodoh maupun perkataan yang baik, itu karena hikmat yang di dalalm diri orang tersebut. Hikmat Tuhan membawa orang kepada perilaku yang baik dan benar. Barangsiapa katakan bahwa dirinya sudah tahu firman, belajar firman, maka hikmat itu menunjukkan bahwa haruslah melakukan firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Itu namanya berhikmat.  Tapi kalau cuma tahu firman, belajar firman, tapi tidak punya kemampuan untuk melakukan firman Tuhan, dia bisa dikatakan belum berhikmat. Tetapi hikmat itu dikatakan bahwa ketika sudah bisa melakukan firman Tuhan. Orang yang katanya sudah dewasa dalam Kristus, justru harus menunjukkan perbuatan kedewasaan dalam Kristus itu dalam hidup sehari-hari. Perbuatan manusia itu atau buah manusia itu adalah perbuatannya. Bukan saja itu menunjukkan iman seseorang, tetapi juga menunjukkan hikmat seseorang itu seperti apa, bagaimana?

Jadi, tanpa perbuatan, iman kan mati kan ya? Iman tanpa perbuatan itu mati. Maka waktu kita melakukan sesuatu, itu sebenarnya menunjukkan iman kita, iman yang hidup itu wujudnya seperti apa? Tetapi sebenarnya, Yakobus juga katakan bahwa ketika kita melakukan sesuatu, itu menunjukkan hikmat kita seperti apa juga. Bukan sekadar iman kita bagaimana? Kalau bicara soal iman, biasanya itu arahnya selalu kepada perilaku mungkin individu ya, kita bisa bedakanlah. Perilaku yang muncul dari iman, itu mungkin ketaatan kita secara pribadi, secara personal kepada Tuhan. Kita datang ibadah, kita beriman. Tetapi waktu kita berelasi dengan orang lain, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, kita bisa berelasi dengan tepat, pandai menempatkan diri: aku ini siapa, dia itu siapa – itu bisa kita katakan, itu hikmat. Kalau iman kan langsung lah kepada Tuhan, meskipun iman harusnya ada perbuatan yang nyata. Nah ini kita bisa bedakan lah untuk sekedar membedakan hikmat ataupun iman yang di dalam diri kita.

Itulah kenapa Yakobus katakan bila ada orang yang merasa kurang hikmat, bisa minta kepada Bapa di surga yang sebagai Allah sumber hikmat, untuk bisa semakin berhikmat dalam kehidupan kita. Istilah yang unik adalah dari Yakobus ini meekness of wisdom – atau, hikmat yang lahir dari kelemahlembutan. Kelemahlembutan ini dikaitkan juga sebenarnya di dalam kerendahan hati. Orang yang lemah lembut, pasti rendah hati. Orang yang rendah hati, dia juga bisa lemah lembut. Ini saling berkaitan ya, kebajikan ini. Kalau dia rendah hati, dia bisa memperlakukan orang itu dengan tepat. Yang harus dihormati, dihormati. Yang harus dihina, dihina. Sesuai dengan firman Tuhan ya.

Rasul Paulus pernah menasehati orang Kristen bahwa, “Seharusnya hikmat kelembutan dan kerendahan hati ini dimilik oleh orang Kristen” – Paulus katakan demikian juga. Bukan saja itu, di dalam Salomo pun, kita bisa lihat ada kelemahlembutan juga, ada kerendahan hati. Ya Salomo percaya-percaya aja apa yang diomongkan oleh dua perempuan itu kan ya? Kalau dia nggak percaya ya, dia pasti menolak, “Masa sih itu anak kamu?” – kaya gitu ya? “Masa sih.. kaya gini kaya gini…“ kaya curiga-curiga gitu. Tetapi karena dia rendah hati, dia terima, percaya apa yang dikatakan orang, dia lakukan dengan tepat konsekuensi- konsekuensi yang dikatakan orang tersebut, tetapi dengan hikmat Tuhan juga, dengan lemah lembut juga, dengan ketegasan juga ya.

Inilah yang ditonjolkan oleh Salomo maupun juga rasul Paulus, maupun juga Yakobus. Dan kalau kita lihat Yesus Kristus pun, Yesus Kristus juga punya hikmat dari kelemahlembutannya, dari kerendah hatinya Dia munculkan perilaku yang tepat. Paling contoh sederhana, paling mudah ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kepada perempuan Samaria Yesus itu lembut sekali ya… Terus menegurnya secara halus, Ia tanya, “Panggilah suamimu!” “Oh saya nggak punya suami” – banyak ya, banyak laki-laki yang dia miliki, kaya gitu ya. Dan di situ dia menegur dirinya sendiri dengan pertanyaan, dari pertanyaan Yesus Kristus itu. Jadi Yesus Kristus menegur dengan pertanyaan, tetapi ketika bertemu dengan orang Farisi, Yesus nggak lagi bertanya-tanya lagi. Tapi langsung begitu keras, “Kamu ini keturunan ular beludak. Kamu harus bertobat!” – seperti itu ya? Yesus itu luar biasa ya.

Nah hikmat yang lemah lembut dan rendah hati semacam ini, sangat bertentangan dengan kesombongan diri dan mementingkan diri sendiri. Jadi kita bisa tahu, kenapa kita bisa katakan orang itu berhikmat? Salah satu cirinya adalah dia rendah hati. Maka kita sebut orang ini berhikmat. Salah satu ciri orang yang berhikmat adalah dia lemah lembut, dia pandai menempatkan diri, dia bisa bicara dengan baik, dengan orang lain dia memahami orang lain. Kita bisa katakan orang berhikmat. Pertanyaannya, siapakah orang berhikmat? Kita berhikmat nggak ya? Atau seringkali kita gagal? Dan kalau kita tahu bahwa ada orang yang sombong ya, orang yang mementingkan diri sendiri – kita bisa sebut dia tidak berhikmat.

Sekarang kita baca Amsal 11:2, di situ jelas dikatakan, Amsal 11:2 menjelaskan bahwa hubungan hikmat dengan kerendahan hati. Mari kita baca bersama-sama, kita buka suara ya, Amsal 11:2, “Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati.” Rendah hati sendiri hikmat, tetapi di sini ditekankan orang yang rendah hati lebih banyak dapat hikmat. Hikmat itu ada pada orang yang rendah hati. Ini tidak bisa dipisahkan. Orang yang berhikmat, pasti rendah hati, pasti lemah lembut.

Sekarang kita bahas hikmat duniawi. Ayat 14 sampai 16 dari Yakobus 3. Saya bacakan ya. “Jika kamu menaruh perasaan iri hati-” Bahasa Inggrisnya itu adalah bitter jealousy, iri hati yang pahit, gitu ya, “-dan kamu mementingkan diri sendiri-” Bahasa Inggrisnya lebih jelas, yaitu apa? Self-ambition. Kamu mementingkan diri sendiri berarti ambisi diri atau selfish ambition ya, ambisi diri sendiri, keegoisan diri. ”-janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran!  Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan.  Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri   di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.” Waktu saya renungkan ayat 14, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya rada bingung, maksud Yakobus itu apa sih? “Jika kamu iri hati, jika kamu mementingkan diri, jangan kamu memegahkan diri dan jangan berdusta melawan kebenaran.” Seolah-olah, kalimat pertama yang disebutkan Yakobus itu bukan jahat, ya kan? Kamu lagi iri hati. Kamu lagi mementingkan diri sendiri. Jangan memegahkan diri, jangan berdusta. Ini seperti kalimat ini. Kamu kalau lagi marah ya, jangan sampai matahari terbenam. Berarti, marah sendiri nggak selalu negatif. Ya kan? Marah sendiri nggak selalu salah. Jika kamu marah, jangan sampai kamu mendendam, jangan sampai kamu melukai sesama. Berarti, marah sendiri nggak apa-apa?

Nah sekarang, jika kamu lagi iri hati, jika kamu lagi mementingkan diri sendiri, jangan sombong, jangan berdusta melawan kebenaran. Maksudnya apa ya? Apa iri hati itu boleh? Apa punya selfish ambition itu boleh? O, tidak! Ini, Yakobus itu bukan seperti perkataan Yesus Kristus. Yesus Kristus membawa perkataan, jika kamu marah itu masih netral ya. Bisa marah yang kudus, bisa marah yang tidak kudus. Tetapi yang dimaksudkan Yakobus adalah jika kamu iri hati, itu pasti salah. Jika kamu selfish ambition, ya itu pasti salah. Tetapi jangan kamu memperparah lagi dengan dosa yang selanjutnya, yang sangat mungkin muncul dari dosa iri hati dan mementingkan diri sendiri itu. Yaitu apa? Kesombongan dan melawan kebenaran, berdusta, memfitnah. Yang sudah parah dan salah, yaitu iri hati dan kepahitan, ambisi mementingkan diri. Yakobus katakan jangan ditambah lagi. Stop di situ! Jangan semakin memperparah dosa kamu dengan apa? “Saya sombong! Saya benar! Saya lebih hebat! Saya mendustai kebenaran! Saya nggak percaya kebenaran! Apa itu kebenaran? Ini yang benar! Aku yang benar!” Jangan memperparah dosa kamu lagi. Ini adalah dosa yang berkaitan ya.

Hikmat duniawi adalah hikmat yang dipakai manusia demi diri sendiri dan bukan untuk Tuhan. Hikmatnya sama. Memangnya cuma pendeta yang bisa berkhotbah? Dalam arti berkhotbah ya, bukan materinya ya. Bukan materinya, banyak kok yang khotbahnya lebih menarik pembawaannya. Banyak kok yang bisa membawa massa begitu banyak. Nggak harus orang Kristen! Nggak harus pendeta! Pendosa pun bisa. Cuma, materinya kan. Kita ya berkhotbah firman Tuhan, tentang Yesus Kristus. Itu beda. Tapi orang-orang juga punya talenta itu. Itu apa namanya? Hikmat! Cuma, hikmatnya apa? Hikmat duniawi. Karena yang dilakukan oleh pengkhotbah yang sejati itu adalah memperkenalkan siapakah Yesus Kristus. Nah, itu hikmat surgawi yang berdasarkan firman Tuhan.

Banyak kok hikmat itu, tetapi hikmat sendiri bisa dipakai untuk diri sendiri. Nah, itu yang membedakan duniawi maupun surgawi. Demi kemajuan siapa? Kemajuan gereja Tuhan, kemajuan pekerjaan Tuhan, atau kemajuan diri sendiri? Ketenaran diri sendiri, keuntungan diri sendiri. Nah, itu adalah hikmat duniawi. Tapi untuk pekerjaan Tuhan, kerajaan surga itu adalah hikmat surgawi. Dan cirinya apa? Orang yang memiliki hikmat surgawi itu rendah hati. Rendah hati itu apa sih, definisi rendah hati? Definisi rendah hati ya bisa memuji orang lain, itu rendah hati. Dia juga tidak mengambil kemuliaan Tuhan, itu rendah hati. Semua itu tahu bahwa semua anugerah Tuhan demi kemuliaan Tuhan, Roma 11:36, itu rendah hati ya. Dia nggak cari nama. Dia low profile saja, kalau bisa nggak ada namanya di bumi ini. “Yesus yang pertama, aku yang paling terakhir.” Itu rendah hati. “Nggak penting aku ini! Yang penting Tuhan Yesus.” Tapi justru karena memiliki kerendahan hati, Tuhan balikkan itu. Paradoks. Tuhan membuat orang tersebut malah terkenal, padahal dia nggak mau terkenal.

Saya lihat pelayanan Pdt. Stephen Tong, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya. Dia di gereja itu pernah juga jadi “junior” ya. Junior. Namanya juga baru lulus STh. Baru lulus sekolah Alkitab, terus kemudian dipercaya menjadi dosen. Dia nggak cari massa. Enggak! Dia cuma layani dengan baik. Jadi dosen, dosen yang terbaik. Kalau nggak diundang rapat, ya kan mulai ini, mulai iri hati. Para dosen-dosen itu iri hati. “Kenapa sih mahasiswa senangnya sama Pdt. Stephen Tong? Apa-apa Pak Tong! Apa-apa Pak Tong!” Akhirnya, dosen itu iri hati sama Pak Tong. Akhirnya, sampai Pak Tong pun pas rapat dosen nggak diundang. Bayangin, sesama dosen tapi nggak undang Pdt. Stephen Tong. Lalu apa? Marah? “Aku ini dosen!” Cuek saja. Low profile saja ya. Nggak usah sih marah-marah, “Aku dosen lho! Masa nggak diundang rapat di STT!” Kurang lebih kayak gitu ya. Nah, saya lihat juga bahwa, ya itu kerendahan hati. Nggak usah masalah. Di gereja, namanya nggak dikenal orang nggak masalah! Untuk apa sih dikenal? Kenapa sih orang, misalkan pemimpin atau pengurus ya atau hamba Tuhan, “Semua jemaat harus senang sama saya!” Ngapain ya? Yang penting Tuhan senang sama kita. Cukup.  Nah, itu namanya rendah hati. Low profile saja. Nggak usah mejeng-mejeng di atas. “Ini karena perbuatan saya, gereja ini ada!” Ya, itu sombong ya. Nah, itu kan sombong ya. Nah, itu menyombongkan diri, memiliki ambisi egois, itu adalah hikmat duniawi.

Nah, hikmat duniawi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, selalu memikirkan kemajuan dirinya. Itu bahaya sekali. Kemajuan dirinya, habis S1 apa? S2. habis S2 apa? S3. Harus? Harus! Kata siapa, harus? Kalau kata Tuhan, baru kita setuju. Apalagi anak muda ya. Saya juga pernah mengalami itu ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Saya harus berkembang. Maju. S1, S2, menikah, gitu ya. Menikah mungkin dianggap kemajuan, kayak gitu ya. Terus S3. Saya baru pikir-pikir lagi ya. Habis vikaris ya, misal vikaris ya. Vikaris kan nggak jelas, ini berapa tahun ya. Kita dijanjikan sesuatu hal yang tidak tahu kapan. Kalau S1, 4 tahun. S2, 3 tahun. S3, 2 tahun ya. Jelas ya jenjang kariernya. Untuk naik ke jabatan karyawan, mungkin manager, manager ke direktur, mungkin ada jenjangnya. Tetapi kemudian saya pikir-pikir, vikaris ini kapan jadi pendetanya ya? Nggak jelas! Ada yang 4 tahun sudah jadi pendeta. Ada yang 7 tahun belum jadi pendeta. Ada yang belasan tahun belum jadi pendeta. Di satu sisi, kapan majunya? Tapi bahaya. Sifat itu bahaya. Karena apa? Dia memikirkan kemajuan diri, bukan kemajuan perkembangan Tuhan. Nggak papa jadi vikaris terus, selama-lamanya amin, sampai mati nggak papa ya. Nggak usah pengen terus naik jabatan, naik jabatan, naik jabatan. Apa sih? Itu hikmat duniawi. Karena dia mementingkan diri sendiri.

Tetapi bagi Tuhan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, jabatan itu datangnya dari Tuhan sendiri. Dan kalau kita masih diberikan jabatan saat ini, masih kuliah, masih mahasiswa, masih pekerja biasa, atau gimana, ya nggak papa! Terima saja! Tuhan yang atur seluruh hidup kita. Di dalam kedaulatan Allah, Tuhan mengatur semuanya. Maka, kita akan belajar rendah hati saja. Nggak usah lah yang menuntut, “Aku harus dapat yang layak untukku!” gitu ya. Nggak harus! Justru, kita harus belajar memperhatikan orang lain supaya mereka itu dapat yang layak untuk dirinya, diri mereka. Bukan memperhatikan diri kita. Diri kita terus. Diri kita sendiri. Itu hikmat duniawi.

Apalagi di era digital saat ini, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, kita sangat tergoda untuk memiliki hikmat duniawi. Follower Instagramnya berapa? Misalkan ya, saya pernah ada persekutuan pemuda lah waktu itu di Semarang. Terus ketika ditanya salah satu pemudi, “Follower-nya berapa?” “1000!” Wah, langsung tepuk tangan semua. Woi, seribu nih, padahal pemudi biasa, gitu ya. Saya baru pikir-pikir lagi, emang kalau follower-nya banyak itu selalu menjadi tenar gitu ya, menjadi lebih hebat? Ya, nggak juga kan ya? Nggak juga! Follower-nya lebih banyak, likes-nya lebih banyak, subscriber-nya lebih banyak, itu nggak harus. Itu mengejar diri. Mengejar kebahagiaan diri, bukan kebahagiaan Tuhan. Itu bahaya.

Bukan saja itu, media sosial itu sangat bahaya karena banyak orang mencari kesombongan dengan membuat konten, membuat post foto, video, supaya apa? Supaya dilihat orang. Melihat lagi kepada diri. Balik lagi kepada diri. Like-nya begitu banyak, dapat kesombongan. Hebat lho! Buat konten-konten berbahaya. Pernah ya, para pemuda bikin konten-konten bahaya, merekam apa lah ya waktu itu, sampai kecelakaan, mati jatuh dari tebing, dll. Supaya apa? Supaya dipuji orang, berani. Nah, itu ya bahaya sekali. Zaman sekarang, media sosial itu membuat kita lebih memiliki hikmat duniawi daripada hikmat surgawi. Bukan saja itu, di dalam media sosial ataupun internet, itu ada side effect-nya banyak juga ya. Side effect-nya yaitu orang bisa terkena cyber bullying. Saya juga pernah jelaskan ya waktu khotbah, ada orang yang bunuh diri karena dihina lewat apa? Tulisan! Terus dikejar lewat dunia maya dll itu bahkan bisa bunuh diri, depresi dll, karena apa? Dunia maya yang memakai hikmat duniawi. Jadi dunia maya apa? Yaitu dunia maya itu adalah internet, media sosial. Itu maya kok. Itu tuh bayang-bayang saja, bukan yang aslinya. Yang aslinya ya ini, realitanya. Tetapi, ternyata di dunia maya tersebut bisa ada 2 jenis hikmat yang muncul juga karena yang membuat adalah manusia. Apakah itu hikmat duniawi ataukah hikmat surgawi yang muncul. Nah, ini adalah peperangan juga ya di dalam dunia maya.

Saking banyak dampak negatif dari media sosial, ada orang yang pernah buat kampanye offline. “Ayo, kampanye offline!” Bukan kampanye presiden ya. Kampanye offline selama 1 bulan kepada pemuda, remaja. Pokoknya nggak gunakan media sosial, internet selama 1 bulan penuh. Luar biasa idenya. Bagus. Ya, lumayan lah ya. Kalau kita nggak kerja lewat internet, lewat media sosial, mungkin kita bisa coba lakukan. Jadi, ini namanya adalah offline challenge ya. Offline challenge, udah, matikan gadget, internet, mungkin yang lain-lain. Jika saudara kita di Indonesia ya, mereka kan sebentar lagi mau puasa. Awal puasa itu 22 Maret. Itu mereka bisa 1 bulan penuh puasa makan, minum bahkan ya ada yang begitu ketat. Nggak makan, nggak minum dalam 1 hari, dalam 1 bulan penuh. Kita puasa apa ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Kita puasa apa nih? Mereka mau cari Tuhan, mau diberkati Tuhan, mau semakin dekat sama Tuhan. Caranya apa? Puasa makan dan minum.

Siapa tahu, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita mau dekat sama Tuhan, mau diberkati Tuhan, mau lebih kenal Tuhan dengan cara apa? Offline challenge. Offline Netflix. Tanpa Netflix, apakah kita mati? Nggak kan? Kita langsung spesifik saja. Offline Netflix. Berarti Youtube boleh nonton ya? Ya boleh juga ya. Offline Instagram. Tanpa Instagram, apakah kita mati? Kecuali kerja ya. Online ya, bisnis online nggak papa. Kan kerja. Kerja kan mandat budaya. Perintah Tuhan ya, nggak masalah. Tapi entertainment apakah mandat budaya? Lihatin story orang, status ya, terus buat konten-konten supaya dipuji, supaya dihormati orang. Enggak ya. Kita boleh coba ya. Saya juga rencana, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, 22 Maret, awal puasa coba puasa media sosial ya. Yang namanya puasa media sosial jenisnya apa? Instagram, terus Netflix. Saya juga langganan Netflix, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya. Tapi bukan saya yang langganan. Koko saya. Saya cuma pakai saja. Gratis ya. Tapi sebulan, ya sudahlah berhenti menghibur diri. Coba menghibur Tuhan seperti apa sih? Bagaimana kita meng-entertaint Tuhan? Salah satunya di ibadah Minggu ya. Kita menyenangkan Tuhan. Saya coba ya 22 Maret sampai April, sebulan puasa Instagram. Saya nggak kerja lewat Instagram, nggak kerja lewat Netflix, nggak kerja lewat game ya, maka puasa. Untuk apa? Supaya Tuhan senang, bukan supaya, “Wah, hebat nih!” Kita bisa lakukan sesuatu. Bukan!

Hikmat duniawi menawarkan self-advancement terhadap diri, tetapi hikmat surgawi menawarkan self-advancement kepada Tuhan. Perkembangan kerajaan Allah. God advancement, kemajuan kerajaan Allah. Itu hikmat surgawi. Hikmat duniawi membangkitkan spirit iri hati. Membangkitkan spirit kompetisi yang tidak sehat. Tetapi hikmat surgawi membangkitkan spirit mengerjakan bersama-sama, kompetisi yang sehat. Kalau ada orang lain maju, kita senang. Bukannya, “Kamu nggak boleh maju!” Diputus ya, ditahan. Nggak boleh berkembang. Susah sekali ya. Saya sangat harapkan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau para pemuda sudah lulus S1, bisa S2 kalau ada kesempatan. Kalau ada kesempatan S3, S3. Saya juga ditanya kayak gitu. Nggak menutup diri. “Marvin, kamu mau lanjut lagi nggak S3?” Saya bilang, “Ya, boleh saja.” Hidup saya kan bukan milik saya sendiri, tapi hidup saya milik Tuhan. Kalau Tuhan mau, ya boleh saja. Meskipun saya tahu ya rumitnya skripsi, bikin stress, bikin penyakit maag. Tesis lebih lagi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya. Saya sampai mengatakan kepada teman, “Kayaknya udahlah, ini tesis tuh sudahlah ini terakhir saya sekolah.” Malas, sekolah ya! Pusing ya, banyak ketakutan, kekhawatiran, kerumitan. Kita masuk ke jungle gitu ya. Nggak tahu kapan selesainya. Itu tugas akhir ya. Skripsi, tesis.

Tapi ketika ditanya lagi, “Mau S3 nggak?” “Ya, kalau Tuhan berikan kesempatan , ya boleh.” Tapi hati nggak mau ya, malas. Malas ketemu dosen lagi dll ya. Masuk kekhawatiran lagi, terus banyak biaya yang keluar, misalkan. Tapi kalau Tuhan mau, kita mau. Kalau Tuhan tidak mau, kita tidak mau. Sudah! Hidup kita tidak usah rumit-rumit ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya. Nah, akhirnya saya bilang, bagaimana menjawabnya? “Ya boleh, kalau ada kesempatan,tapi kayaknya nikah dulu deh.” Nanti kalau S3 nggak nikah-nikah. Nikah dulu, nanti lihat situasi, kondisi kalau ada kesempatan, bolehlah lanjut di STTRI Kemayoran. Sudah ada S3 ya di sana.

Nah, hikmat duniawi itu memajukan diri bukan untuk pekerjaan Allah, tapi untuk diri sendiri. Tapi, hikmat surgawi memajukan pekerjaan Allah. Hikmat duniawi disebutnya lebih mengerikan lagi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Para teolog itu mengatakan itu adalah demonic wisdom. Itu adalah faith of demons. Itu adalah wisdom of demons. Itu hikmat duniawi. Iblis berhikmat, tapi hikmat duniawi. Orang non-Kristen berhikmat, tapi hikmat duniawi. Itu adalah hikmat yang kedagingan. Hikmat dari iblis sendiri. Hikmat yang berada di luar Kristus dan tidak memuliakan Kristus itu adalah hikmat duniawi, demonic wisdom. Maka, kita harus hati-hati.

Kita baca Yehezkiel 28: 2-10. ini kalau ikut bible reading di GRII Yogyakarta pasti sudah membacanya. Saya begitu kaget juga ya, membaca ayat ini. Yeh 28:2-10 ini adalah salah satu orang yang memiliki hikmat duniawi. Tuhan kasih hukuman kepada dia. Kita baca bergantian. Saya baca ayat 2, lalu Bapak, Ibu, Saudara sekalian ayat 3 ya. Yeh 28:2-10. “Hai anak manusia, katakanlah kepada raja Tirus: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Karena engkau menjadi tinggi hati, dan berkata: Aku adalah Allah! Aku duduk di takhta Allah di tengah-tengah lautan. Padahal engkau adalah manusia, bukanlah Allah, walau hatimu menempatkan diri sama dengan Allah. Memang hikmatmu melebihi hikmat Daniel; tiada rahasia yang terlindung bagimu. Dengan hikmatmu dan pengertianmu engkau memperoleh kekayaan. Emas dan perak kau kumpulkan dalam perbendaharaanmu. Karena engkau sangat pandai berdagang engkau memperbanyak kekayaanmu, dan karena itu engkau jadi sombong.  Oleh sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: Karena hatimu menempatkan diri sama dengan Allah maka, sungguh, Aku membawa orang asing melawan engkau, yaitu bangsa   yang paling ganas, yang akan menghunus pedang mereka, melawan hikmatmu yang terpuja; dan semarakmu dinajiskan. Engkau diturunkannya ke lobang kubur,  engkau mati seperti orang yang mati terbunuh di tengah lautan.  Apakah engkau masih akan mengatakan di hadapan pembunuhmu:  Aku adalah Allah!? Padahal terhadap kuasa penikammu engkau adalah manusia, bukanlah Allah. Engkau akan mati seperti orang tak bersunat oleh tangan orang asing. Sebab Aku yang mengatakannya, demikianlah firman Tuhan ALLAH.

Raja Tirus adalah penguasa lautan. Dia pintar berdagang. Dia pintar mengatur kapal-kapal lautnya. Dia luar biasa pintar. Bahkan Tuhan sendiri katakan, “Hikmatmu itu bahkan melebihi Daniel.” Gila ya! Raja Tirus ini berhikmat banget. Cuma, dia hikmat duniawi. Karena apa? Dia punya kerajaan yang besar. Dia bisa mengatur kelautan dengan baik. Menteri kelautan yang luar biasa lah raja ini ya. Dia berdagang, kaya, pintar, bisa memimpin rakyatnya dengan baik. Ternyata, ujung-ujungnya adalah untuk self-advancement diri. Saya jadi sombong, bahkan mengatakan kalimat ini ya. Ini sudah keterlaluan. “Aku adalah Allah.” I am The God. I am God! Langsung, Tuhan hukum. Langsung, Tuhan memberikan hukuman yang paling keras, yaitu kematian. Sudah cukup. Nggak ada lagi kesempatan untuk bertobat. Mati saja. Binasa di dalam hikmat duniawimu.

Terakhir, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bahas Yakobus 3 ayat 17-18 . Di sini Yakobus menjelaskan tentang hikmat surgawi kembali, yaitu, “Tetapi hikmat yang dari atas  adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan  dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.  Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai.” Hikmat sejati datangnya dari atas, yaitu adalah dari Allah sendiri. Dan Yakobus menjelaskan hikmat dari atas itu di dalam 8 aspek ini. 8 aspek ini dalam ayat 17 itu bisa dibagi dalam 3 bagian. Teolog itu membagi hikmat dalam 8 aspek ini dengan bagian pertama itu dikategorikan sebagai sifat orang berhikmat. Sifat orang berhikmat itu apa? 3 hal. Dia itu murni. Motivasinya murni untuk melayani sesama, untuk memuliakan Tuhan. Dia lakukan dengan tulus, polos gitu ya. Untuk kemuliaan Allah dan kebaikan sesama. Itu sifat pertama. Yang kedua, suka damai. Jadi, sudah bertengkar nih. Ya, pertengkaran kan mungkin tidak mungkin terhindarkan bagi kita yang berelasi. Kemudian, dia pengennya apa? Berdamai. Nggak suka bertengkar. Dia cari solusi berdamai seperti apa sesuai dengan yang Tuhan mau. Itu sifat orang berhikmat ya.

Yang ketiga kalau dalam ayat ini, itu disebut sebagai penurut. Penurut itu kayak gimana sih? Kok penurut ya? Maksudnya penurut itu apa? Kalau bahasa Inggrisnya lebih jelas ya, itu compliance. Compliance itu adalah apa? Rela mengalah. Rela mengalah itu maksudnya apa sih? Kalau ada 2 hal ya, orang baik dengan orang baik, terus diskusi untuk mengambil 1 keputusan, dia itu rela mengalah. “Ya sudah, keputusan yang kamu lakukan.” Misalkan, ambil contoh ya. Saya diskusi sama pengurus ya. “Mau makan di mana nih habis masterclass?” “Makan di sini yuk!” Saya sudah setuju, ”Oke,di situ!” Tiba-tiba pengurus berubah arah. “Ah, di sini saja!” Berubah ya, berubah. Berarti ada 2 pilihan ini. Saya sudah setuju di situ, pengen makan di situ, pengurus berubah arah. ”Sini!” Harus apa? Mengalah. Itu namanya penurut. Penurut itu ngalah aja. “Oke, ngalah. Dua-duanya baik kok, nggak ada masalah. Memang aku pengennya di situ, tapi kalau ada pilihan lain ya oke juga dan nggak masalah. Itu nggak masalah.” Itu penurut, compliance. Rela mengalah. Easy to be entreated, itu bahasa Inggris yang lain, yaitu mudah untuk dibujuk. Bukan berarti dia itu plin-plan ya. Dia dibujuk, “Ayo, datang PA!” Mau nurut. Itu mengalah. Mengalah terhadap diri sendiri yang malas ya. “Ayo pelayanan, ayo ikut katekisasi!” “Ayo!” Nurut, nurut, nurut. Ini baik kan? Hal yang baik. “Ayo!” nurut. Itu mengalah. Itu nurut. Nah, ini orangnya berhikmat. Dikasih tahu yang baik, “Ayo, latihan yang baik!” Nurut. Wah, luar biasa ya.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya pernah mengabarkan Injil kepada tukang jus, es buah di Solo ya. Saya sudah injili beliau, sudah kasih traktat, seperti biasa. Orang tersebut nggak terlalu peduli lah, siapa Juru Selamat atau siapa Tuhan Yesus. Cuma ya, ya saja, tapi saya sudah kasih traktat. Terus, waktu ngobrol soal dia tanya, “Menikahnya kapan?” Ini ibu-ibu ya. “Oh, nanti. Sudah ada tanggalnya.” “Oh, ya. Semoga lancar ya. Saya doakan supaya langgeng. Supaya baik.” Didoakan dengan baik. Terus ada 1 nasehat yang dia kasih tahu ke saya. Kalau dalam relasi suami isteri, yang penting apa sih? Yang penting itu mengalah. Saya pegang nasehatnya ini ya. Mengalah. O, ngalah ya. Ngalah itu apa ya? Terus saya pikir-pikir. Ternyata ada di dalam Alkitab seperti itu. O, mengalah itu kalau 2 kondisi yang sama-sama baik, yang 1 coba mengalah lah. Saya kadang-kadang sama pacar atau tunangan saya kan sering suka doa malam. Itu saling tunjuk. “Kamu lah yang doa!” “Malas, kamu saja yang doa!” Saya malas ya. Waduh, hamba Tuhan kok malas berdoa ya. Nah, ini apa? Mengalah saja. Akhirnya kita buat peraturan ya. “Kalau kita doa malam, kalau sudah kamu, gantian saya.” Jadi gantian, adil ya. “Jangan kebanyakan saya yang doa malam terus. Jangan kebanyakan kamu yang doa malam.” Tapi kalau dia lagi malas berdoa gitu ya sudah, mengalah saja. Saya yang doa, nggak papa. Nah, itu mengalah. Mengalah itu suatu hal firman Tuhan juga. Tapi kepada hal yang benar-benar dua-duanya baik ya. Dua-duanya baik, daripada ribut ngalah aja udah.  Daripada ribut. Dua-duanya baik kok. Tapi kalau kepada yang salah, ajaran yang salah, jangan ngalah ya. Ya sudah, nggak papa lah. Jangan ya! Kepada prinsip kebenaran Alkitab jangan mengalah, justru harus nyatakan. Nyatakan dengan lemah lembut juga. Jangan dengan paksaan ya.

Kemudian ini bagian selanjutnya adalah peramah. Jadi ini, sifat orang berhikmat, murni, suka damai, peramah. 3 hal ini. Itu sifat. Lalu, tindakan orang berhikmat yaitu apa? Penurut, penuh kemurahan hati, dan juga penuh dengan buah kebaikan. Itu 3 lagi kan ya? Itu dibagi kelompoknya. Ini tindakan orang berhikmat. Jadi, sifat orang berhikmat 3. Tindakan orang berhikmat 3. Nah, yang bagian ketiga, terakhir ini dikategorikan sebagai prinsip orang berhikmat. Yaitu apa? Tidak mudah goyah. Tidak mudah goyah di dalam kebenaran firman Tuhan, ajaran. Stabil, tidak berubah-ubah. Dia kokoh imannya. Kemudian, tidak munafik, atau dia itu sungguh-sungguh melakukan sesuatu. Dia tulus melakukan sesuatu ya. Nah, ini adalah prinsip orang berhikmat.

Jadi, kesimpulannya, hikmat surgawi pasti mencerminkan sifat-sifat Allah. Hikmat surgawi menunjukkan kekudusan Allah, kasih Allah, kedaulatan Allah, kelemahlembutan Allah, dan kerendahan hati Allah. Dan hal itulah yang ingin agar kita itu memancarkan di dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan ingin kita seperti itu. Orang yang memiliki hikmat surgawi mirip seperti peran Roh Kudus, yaitu pembawa damai. Hikmat surgawi dan hikmat duniawi, ya kita hari ini pelajari demikian. Itu sudah sangat jelas perbedaannya. Beda naturnya, beda tujuannya, beda kepentingannya. Dan inilah 2 jenis hikmat. Ternyata hikmat bukan selalu berkonotasi positif, tetapi ada hikmat yang kudus, ada hikmat yang tidak kudus. Hikmat Allah atau hikmat iblis.

Nah, sekarang mari kita pilih. Kita mementingkan kepentingan siapa sih dalam kehidupan kita? Kepentingan orang, kepentingan Tuhan, atau seringkali kepentingan nama kita sendiri, diri kita sendiri? Kita harus memilih untuk kemajuan kerajaan Allah atau kerajaan diri. Mari kita sama-sama berdoa, Bapak, Ibu, Saudara sekalian supaya kita boleh mendapatkan hikmat surgawi dari Tuhan dan Alkitab katakan buah dari anak-anak Allah, buah dari orang-orang yang sudah dibenarkan oleh darah Yesus Kristus adalah hikmat surgawi. Kiranya kita boleh terus melakukan pelayanan kepada Tuhan yang menyenangkan Tuhan.

Dan menutup khotbah ini, mari kita sama-sama baca Amsal 3:13-18. Amsal 3:13-18 ini adalah hal yang baik bagi orang yang berhikmat. Kita baca, buka suara ya. Amsal 3:13-18. “Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas. Ia lebih berharga dari pada permata; apapun yang kauinginkan, tidak dapat menyamainya.  Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan. Jalannya adalah jalan penuh bahagia, segala jalannya sejahtera semata-mata. Ia menjadi pohon kehidupan bagi orang yang memegangnya, siapa yang berpegang padanya akan disebut berbahagia.” Mari kita sama-sama berdoa.

Bapa kami yang ada di surga, ampunilah Tuhan segala dosa-dosa kami, segala kelemahan kami. Kami adalah manusia yang sudah Tuhan ciptakan, tetapi kami begitu banyak melakukan dosa. Seringkali kami hanya memikirkan diri kami sendiri, bukan memikirkan orang lain, bukan mementingkan kerajaan Allah. Kami hanya fokus kepada kemajuan diri kami saja, tetapi tidak fokus pada perkembangan kerajaan Tuhan. Tuhan, berikanlah kami hikmat surgawi. Kami mau, Tuhan, memiliki hikmat dari Tuhan, supaya apa yang kami kerjakan itu boleh menyenangkan hati Tuhan. Sudah seringkali kami hanya fokus menyenangkan diri kami sendiri, tetapi kiranya Tuhan memberikan anugerah supaya kami boleh sungguh-sungguh semakin giat menyenangkan hati Tuhan karena kami adalah orang yang sudah ditebus dengan darah Kristus. Hidup kami bukan milik kami sendiri, tetapi hidup kami adalah milik Kristus. Baik mati maupun hidup kami, kiranya kami bisa serahkan kepada Kristus saja. Kiranya kami boleh menjalani panggilan kami untuk mati terhadap dosa, mati terhadap kedagingan diri, mati terhadap dunia, mati terhadap godaan setan, dan juga hidup bagi Kristus, bagi gereja Tuhan, dan bagi kerajaan Allah. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kami yang hidup, kami sudah berdoa dan mengucap syukur. Amin. (HSI)