James Hudson Taylor: Misionaris Berpakaian Changshan yang Mencintai Bangsa Tionghoa

“All God’s giants have been weak men, who did great things for God because they reckoned on His being with them.”

“Semua raksasa-raksasa (iman) Allah adalah orang-orang yang lemah, yang melakukan hal-hal besar untuk Allah karena mereka menggantungkan keberadaan Dia dalam hidup mereka.” (Hudson Taylor’s Choice Sayings: A Compilation from His Writings and Addresses. London: China Inland Mission, n.d., 29.)

 

Kehidupan Awal Sang Misionaris

Pertobatan dan Panggilan James Hudson Taylor dilahirkan di tengah-tengah keluarga Kristen Methodist Inggris yang terus mendoakan negara-negara yang belum mendengar Injil Kristus. Ayahnya, James Taylor, adalah seorang pengkhotbah awam sekaligus merangkap sebagai apoteker.

Kehidupan rohani Taylor bukanlah tanpa pergumulan, karena saat usia muda ia menjadi remaja yang skeptis dan mencoba melarikan diri dari iman Kristennya. Penyebab dari keskeptikannya adalah alasan yang sering kita jumpai dalam orang-orang yang mengalami hal yang sama: karena ia melihat begitu banyak orang Kristen yang tidak konsisten terhadap Injil dan Kebenaran dalam Alkitab yang mereka imani. Tetapi kita bisa melihat Tuhan memiliki rencana lain dalam hidupnya.

Pada bulan Juni 1849, satu bulan setelah kakak perempuannya memutuskan untuk berdoa baginya setiap hari, Tuhan menggerakkan hati Taylor yang saat itu berusia 17 tahun saat ia membaca traktat yang berjudul ‘Poor Richard’ (Richard yang Malang). Traktat ini membuka pemikirannya akan perubahan yang dibawa oleh Allah dan pemenuhan akan tujuan Allah melalui hidup Kristus. Tidak hanya pertobatan, tetapi panggilan Tuhan untuk menjadi misionaris di negeri Tiongkok juga datang kepadanya. Ia pun berkomitmen untuk memenuhi panggilan Tuhan pada bulan Desember 1849.

Pemberitaan Injil yang Radikal dan Changsan

Empat tahun kemudian, di tengah-tengah kondisi kesehatannya yang buruk, keuangan yang tidak terlalu baik, dan sedang menyelesaikan studinya di sekolah medis, Taylor menjadi misionaris di Tiongkok. Hudson Taylor bertolak ke sana pada tanggal 19 September 1853 dan akhirnya tiba di kota Shanghai 6 bulan kemudian, yaitu pada tanggal 1 Maret 1854.

Tahun pertamanya di Tiongkok tidaklah mudah, karena ia langsung berhadapan dengan Perang Saudara. Saat ia menghabiskan waktu untuk mempelajari bahasa, ia banyak melihat rekan sesama misionarisnya yang hidup dalam kemewahan dan hanya sedikit yang pergi ke pedesaan dan daerah yang lebih miskin. Godaan ini tidak menyurutkan niatnya untuk terus berjuang memberitakan Injil di daratan Tiongkok.

Bersama teman-teman misionarisnya, Taylor mengabarkan Injil dalam bahasa Mandarin. Tetapi, sampai pada satu titik, ia menyadari bahwa orang-orang Tionghoa di sana sulit untuk menerima Injil, karena perbedaan budaya yang ada dan mereka memperlakukan Taylor sebagai seorang asing. Melihat hal itu, Taylor pun meneladani Dr. Charles Gutzlaff (yang ia sebut sebagai “leluhur dari China Inland Mission”) yang melakukan hal radikal: memakai changsan (baju tradisional Tionghoa) dan memanjangkan rambut sehingga bisa dikepang, sama seperti masyarakat di sana pada umumnya saat itu.

Dengan segera ia pun menjadi bahan tertawaan baik oleh masyarakat Tionghoa maupun para orang asing. Tetapi puji Tuhan, karena Ia memang bekerja melalui cara yang sulit kita bayangkan: apa yang menjadi tertawaan oleh orang lain, justru Allah pakai untuk menjadi saluran perkabaran Injil-Nya. Dengan bermodalkan changsan dan rambut berkepang, pemberitaan Injil menjadi relevan. Para masyarakat Tionghoa tidak lagi memperlakukan Taylor sebagai orang asing.

Kembali ke Inggris dan Berdirinya China Inland Mission

Pada tahun 1857, Taylor keluar dari Chinese Evangelization Society karena badan misi tersebut tidak lagi bisa membiayai kegiatan misinya. Ia menjadi misionaris yang independen dan hidup bergantung hanya kepada anugerah Tuhan saja dalam memenuhi kebutuhannya. Kemudian ia pun bersama dengan rekan-rekan misionarisnya mendirikan badan misi di Ningbo yang disebut Ningbo Mission. Melalui Ningbo Mission, ia sangat rindu untuk bisa menjangkau pedesaan dan pedalaman Tiongkok.

Setahun kemudian, ia menikahi Maria Jane Dyer, anak perempuan dari Rev. Samuel Dyer; seorang misionaris pionir yang melayani orang-orang Tionghoa di Penang, Malaysia. Tetapi pada tahun 1861 Taylor mengalami penyakit yang cukup serius yang memaksanya untuk kembali ke Inggris. Saat berada di tanah kelahirannya, Taylor merasa gelisah karena terus memikirkan akan misinya di daratan Tiongkok yang belum usai, dan di tengah-tengah penyembuhannya ia menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam dialek Ningbo.

Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan dari Tuhan dengan menyelesaikan sarjananya di Royal College of Surgeons. Ia juga menggembalakan gereja di Newgate Prison. Selama di sana, ia berkawan dengan Charles Haddon Spurgeon yang adalah gembala di Metropolitan Tabernacle dan menjadi pendukung kegiatan misi Taylor sepanjang hidupnya. Pada 25 Juni 1865, dengan beban yang ia dapat dari Tuhan, Hudson Taylor mendirikan China Inland Mission (sekarang menjadi Overseas Missionary Fellowship International) bersama dengan William Thomas Berger.

Tahun 1866, 18 orang misionaris berlayar ke Tiongkok dan grup selanjutnya yang juga terdiri dari 18 orang berlayar ke sana pada tahun 1870. Pada tahun 1888, grup pertama dari Amerika Utara menyusul dikirim ke sana.

Akhir Kisah

Hudson Taylor meninggal pada tanggal 3 Juni 1905 dan dikuburkan di Changsha, Hunan. Ia menghabiskan 51 tahun dari73 tahun hidupnya untuk mengabarkan Injil di “Negeri Tirai Bambu”. Melalui pelayanannya, 800 misionaris dikirim ke Tiongkok, di antaranya yang terkenal adalah C. T. Studd yang juga dipakai luar biasa oleh Tuhan selama masa pelayanannya di Tiongkok. Tidak hanya itu, kurang lebih 18.000 penduduk Tiongkok bertobat menjadi umat Allah karena pelayanan Taylor dan rekan dari CIM.

Suatu ketika Hudson Taylor pernah berkata: “If I had a thousand pounds, China should have it. If I had a thousand lives, China should have them. No! not China, but Christ. Can we do too much for Him?” (Jika saya memiliki seribu pound, Tiongkok harus memilikinya. Jika saya memiliki seribu jiwa, Tiongkok harus memiliki mereka. Tidak! Bukan Tiongkok, tetapi Kristus. Mungkinkah kita melakukan terlalu banyak bagi Dia?)

Ungkapan tersebut adalah ungkapan yang terpancar dari hati yang terus terbakar dengan semangat penginjilan dari Tuhan. Tepat 150 tahun sudah berlalu sejak CIM didirikan, dan dengan nama barunya OMF International masih terus setia menjangkau jiwa-jiwa yang terhilang tidak hanya di Tiongkok, tapi juga di negara-negara di sekitarnya – termasuk di Indonesia. Keturunannya yang keempat, Rev. Hudson Taylor IV; memiliki panggilan yang sama dengannya untuk terus memberitakan Injil.

Pada usia 17 tahun, Hudson Taylor menjawab panggilan Tuhan dan telah menjadi berkat bagi Tiongkok dan bahkan seluruh dunia. Bagaimana dengan kita – remaja yang berkesempatan menerima anugerah Tuhan mengikuti KIN 2015, bagaimana respons kita menjawab panggilan Tuhan untuk hidup setia memberitakan Injil dan melayani Dia? Laus Deo!

 

[Artikel diambil dari buletin Sekilas KIN 2015: Konvensi Injil Nasional bagi Remaja]