Jangan Memfitnah Orang
Vik. Nathanael Marvin
Kis. 20: 17-38
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dalam kelas Sekolah Teologi Reformed Injili untuk kaum awam di Solo, saya sedang mengajar tentang doktrin Allah. Besok sudah pertemuan terakhir, jadi para murid akan ujian. Dan di dalam kelas tersebut pernah ada pertanyaan seperti ini ya, “Dosa itu muncul sejak kapan?” Waktu kita melihat sejarah, waktu kita melihat kekekalan bahkan, di luar sejarah itu kekekalan, pertanyaannya adalah, dosa itu muncul sejak kapan? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sebenarnya bisa dijawab dengan banyak jawaban, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dan tentu membutuhkan penjelasan karena ini bicara soal waktu ya. “Kapan?” terus kemudian dikaitkan kekekalan. Kapan sih dosa itu ada? Dan ini saya menjawab, kita lihat dari ciptaan dulu. Dosa itu muncul sejak malaikat melawan Tuhan. Jadinya malaikat yang jatuh atau iblis atau roh-roh jahat, para pengikut iblis atau si setan itu. Mereka punya kehendak bebas, mereka melawan Tuhan, melawan perintah Tuhan. Mereka sombong dan tidak mau taat kepada Allah. Itu bicara soal dari perspektif malaikat. Lalu, ketika kita melihat dunia, waktu Tuhan sudah menciptakan langit dan bumi sampai kepada manusia, kita bisa bicara, dosa itu munculnya kapan? Ya, waktu Adam dan Hawa diciptakan, kemudian Adam dan Hawa digoda oleh iblis yang sudah berdosa duluan. Jadi, antara dosa manusia dengan dosa malaikat, lebih duluan siapa? Dosa malaikat. Akhirnya, Adam dan Hawa tidak kuat, tidak percaya kepada firman Tuhan sepenuhnya, tidak percaya kepada Allah, akhirnya mengikuti perkataan iblis dan akhirnya melawan Tuhan, memakan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat.
Tetapi si murid itu tidak puas jawaban itu. Dia ingin lagi yang lebih dalam, lebih kompleks dan akhirnya kita pikir lagi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Bila Allah berdaulat atas seluruh ciptaan, bahkan Allah pun berdaulat atas dosa, sekarang pertanyaannya, konsep dosa itu muncul sejak kapan? Konsep dosa. Suatu teori, suatu definisi tentang dosa itu munculnya kapan? Jawabannya adalah ketika Allah menciptakan, baru konsep dosa itu Tuhan berikan. Sebelum Allah menciptakan, ya konsep dosa itu belum terlalu jelas, tetapi ketika Tuhan menciptakan malaikat, Tuhan kasih hukum kepada malaikat. Ketika Tuhan menciptakan seluruh dunia, menciptakan manusia, Tuhan kasih hukum kepada manusia, sehingga ketika Tuhan menciptakan ciptaan-Nya, di situlah baru mulai bisa ada dosa, memberikan hukum kepada ciptaan-Nya yang harus ditaati oleh ciptaan-Nya. Di situlah muncul sebuah konsep dosa yang lebih nyata.
Jadi, hubungan dosa itu bicara soal apa? Bicara soal ciptaan. Ciptaan Tuhan yang bisa melakukan dosa. Bukan Tuhan itu sendiri. Tuhan tidak bisa melakukan dosa. Tuhan itu suci. Tuhan itu kudus. Tuhan itu tidak pernah melakukan dosa. Jadi, ketika Allah menciptakan dan memberikan hukum kepada ciptaan-Nya, itu mulai muncul konsep dosa. Yaitu apa? Dosa adalah perbuatan melawan hukum Allah. Dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Allah. Dosa adalah melawan pribadi Allah sendiri yang sudah dilakukan oleh malaikat yang jatuh, maupun juga kita semua manusia. Kita sudah melanggar hukum Allah baik secara natur, dosa asal, original sin, maupun dosa aktual yang kita telah lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sudah melanggar perintah Tuhan. Itulah dosa. Dari ciptaan sendiri yang punya kehendak bebas, kita tidak bertanggung jawab atas kehendak bebas yang sudah Tuhan berikan. Kita tahu hukum, tapi kita langgar. Itu adalah dosa. Kita melawan hukumnya Allah, sehingga kita bisa mengerti bahwa dosa itu dari kita sendiri. Tuhan tidak pernah merancangkan dosa supaya kita lakukan. Tuhan tidak pernah setuju maupun mendorong, “Ayo, berdosa! Ra popo ya berdosa aja.” Enggak! Tuhan bukan pengarang dosa. Tuhan tidak pernah setuju terhadap dosa, tapi Tuhan berdaulat atas seluruh dosa. Itulah Tuhan kita.
Dari perenungan tentang dosa ini, kita bisa belajar bahwa penentu apakah perbuatan ini dan itu adalah dosa bukan dari manusia itu sendiri karena kita ciptaan, tetapi penentu hal ini dan hal itu adalah dosa adalah Tuhan sendiri. Di sinilah kita bisa mengenal bahwa Tuhan adalah hakim. Hakim berarti seorang pribadi yang memiliki hak untuk mengadili suatu perkara, menilai perkara, menentukan mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, mana yang buruk, mana yang adil dan tidak adil. Itu hakim. Itu Tuhan sendiri, bukan ciptaan-Nya. Kita ini dibawah, ciptaan. Tuhan pencipta, di atas kita. Dia lah hakim yang sejati. Seorang hakim menentukan hak dan kewajiban seseorang, menilai perkara yang sedang terjadi secara obyektif, dan kemudian menentukan keputusan yang selanjutnya.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, waktu kita menilai, menghakimi, itu suatu perbuatan yang sebenarnya kita seperti Tuhan sendiri. Perlu hati-hati. Maka, Yakobus mengatakan di dalam ayat yang baru saja kita baca, bukan saja jangan saling memfitnah, tapi juga jangan menghakimi. Maksudnya, bukan berarti kita tidak boleh menghakimi, bahkan tidak boleh menilai. Kita semua menilai kok ya? Mana ada orang yang tidak menilai. Seorang yang punya akal budi pasti menilai sesuatu. Tetapi yang tidak boleh adalah kita menilai sembarangan, menghakimi secara tidak adil. Itu yang tidak boleh. Kalau kita menilai sesuai kebenaran Alkitab, nggak masalah. Tapi kalau kita menilai berdasarkan konsep kita sendiri yang mungkin, sangat mungkin bertentangan dengan Alkitab, itu yang Yakobus larang. Jangan hakimi seperti itu. Kamu hakimi berdasarkan apa? Ukuran apa? Indikator apa? Hukum apa? Hukum manusia atau hukum Allah? Nah, itu yang harus kita pikirkan.
Nasehat yang diberikan Yakobus pada bagian yang kita bahas ini adalah kita belajar mengenal Allah adalah hakim tertinggi di atas seluruh alam semesta. Bila kita mengenal Allah dan mengakui Allah adalah hakim tertinggi aku, maka praktek sederhana yang kita lakukan dalam pengakuan ini adalah jangan memfitnah. Jangan saling memfitnah. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di sini apakah ada yang memfitnah orang ataupun difitnah orang? Pernah mengalami pengalaman itu? Waduh! Itu pengalaman yang buruk ya. Jelek. Saya rasa, orang yang dewasa, yang bisa berpikir, memakai akal budi dengan baik, pernah lah kita sendiri memfitnah orang, maupun difitnah orang. Wah, rasanya tidak enak. Saya pun pernah demikian ya. Mengaku dosa. Memfitnah orang, pernah. Difitnah orang, pernah. Itulah manusia berdosa, tapi definisinya apa dulu? Kita seringkali melihat suatu istilah, tapi kita punya masing-masing definisi soal memfitnah ya. Kita semua pernah semua lakukan dosa fitnahan ini. Baik dalam skala kecil, maupun dalam skala besar, kita pernah melakukannya.
Kalau kita lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia ya, KBBI, fitnah itu apa? Perkataan bohong tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang. Seperti apa? Menodai reputasi orang, nama baik orang, kehormatan orang, kita rugikan. Bahasa Inggrisnya itu badmouthing. Badmouthing, mulutnya jelek ya. Ngomongin kejelekan, tapi belum berdasarkan kebenaran yang pasti. Kemudian atau backstabbing, menusuk dari belakang. Atau bahkan condemning, menghakimi, seperti itu ya. Fitnah sendiri dalam bahasa Yunaninya adalah bicara untuk menjatuhkan orang lain, atau lebih lengkapnya adalah bicara tentang orang lain di belakang mereka dengan cara menghina atau merendahkan. Menghina atau merendahkan, kita pernahlah. Ketika kita tidak suka sama orang, kita benci misalkan, kita biasanya memfitnah, merendahkan.
Sekali lagi, Yakobus peringatkan dosa ini adalah dosa dengan lidah kita dan kita sudah bahas bahwa apa yang keluar dari lidah itu sebenarnya muncul dari hati. Lidahmu harimaumu. Bahkan ada pepatah yang unik, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, lidah ini selalu basah ya, lidah kita. Pernah ada lidah kering? Itu di tukang daging-daging ya, jual lidahnya sapi. Dijual kering ya, terus kita makan dengan sukacita. Hati yang gembira adalah obat yang manjur. Makan lidah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya supaya sukacita. Lidah kita selalu basah, maka dari itu mudah terpeleset. Luar biasa ya peribahasa ini. Lidah kita selalu basah, jadi gampang terpeleset jatuh, jadi kita harus hati-hati. Waktu kita sedang ngobrol di meja makan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya ngobrol di meja makan saja, kadang-kadang kita pengennya ngobrolin hal-hal yang sensitif yang menjelek-jelekkan orang, keburukan orang. Selain seharusnya kita tertariknya membicarakan kehebatan orang, tapi nggak ada godaan seperti itu ya. Kita ngobrolin kejelekan orang tersebut dalam konteks saya tidak mengasihi dia. Dalam konteks bahkan kita tambahkan bumbu-bumbunya ya. Sambal, gula, garam biar makin enak itu obrolan ditambahin penyedap supaya makin parah. Nah, itu apa, Bapak, Ibu, Saudara? Itu adalah fitnah. Kita bicara kejelekan orang tanpa mengasihi dia. Bicarakan dia di belakang, tanpa orang itu bisa membela diri atau memberikan penjelasan itu adalah fitnah.
Apakah berarti kemudian kita tidak boleh membicarakan keburukan orang? Yesus katakan kepada orang Farisi di depan banyak orang, “Hai, orang munafik! Hai, ular beludak!” Bukankah itu membicarakan keburukan orang, tapi Yesus katakan, bahkan di depan umum kok? Bukannya kita belajar kalau di dalam Alkitab kalau kasih nasehat itu, menegur orang yang melakukan dosa, keburukan orang, bukannya empat mata dulu, tapi kenapa Yesus katakan kepada banyak orang, “Hai, orang munafik”? Nah, ini bicara soal bagaimana kita melihat sesuatu itu dengan bijaksana dan di dalam konteks. Yesus sudah menjelaskan firman Tuhan. Yesus sudah menyatakan diri-Nya kepada orang Farisi. Orang Farisi sudah memiliki Perjanjian Lama, firman Tuhan dan orang Farisi terus berkeras hati, berkeras hati. Ya sudah, Tuhan kasih teguran yang mulai meningkat di depan banyak orang dengan mengatakan, “Kamu itu munafik!”
Apakah betul-betul tidak boleh membicarakan kejelekan orang? Apakah betul-betul kita tidak boleh mengakui bahwa orang tua kita pun ada kelemahan? Betul-betul nggak boleh, tidak boleh membicarakan sifat buruk orang? Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bukan soal itu, tetapi soal motivasi hati. Ketika kita bicarakan keburukan orang, motivasinya mengasihi dia nggak atau membenci dia? Membicarakan keburukan itu nggak masalah, yang penting adalah motivasi. Justru keburukan harus dibicarakan supaya apa? Dievaluasi ke depannya lebih bagus. Kalau keburukan kita nggak bicarakan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita nggak nilai itu buruk, ya sudah begitu terus. Buruk terus sampai selama-lamanya. Tetapi ketika kita tahu ini salah, ini buruk, ini tidak baik, saya mau mengasihi orang yang di dalamnya, akhirnya kita mendoakan, akhirnya kita evaluasi, akhirnya kita introspeksi. Itu adalah keburukan. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di dalam Alkitab justru kitab Yakobus ini dikatakan “Berdukacitalah” karena apa? Dosamu. Berarti suruh mikirin kita yang berdosa. Jangan pikirin kita itu baik terus. Kita itu berdosa, banyak dosa, tapi ketika kita memikirkan kita berdosa dalam motivasi kita mengasihi diri kita untuk kemuliaan Tuhan. Kita ingin memperbaiki diri kita. Maka dari itu, sebuah fitnah adalah membicarakan keburukan orang tanpa mengasihi orang tersebut. Ini adalah kekejaman.
Makanya, peribahasa soal dosa fitnah ini Bapak, Ibu, Saudara sekalian adalah fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Lebih bahaya daripada pembunuhan. Lebih kejam, lebih buruk bahkan dari pembunuhan. Pembunuhan itu orang mati, tahun depan orang sudah lupa mungkin, tapi fitnah itu terus berjalan dan orang itu hidup. Orang itu bisa merasakan penderitaannya dan banyak orang yang difitnah akhirnya bunuh diri juga. Ya, banyak orang itu menderita. Dengan fitnah, itu juga adalah sebuah dosa yang tidak terampuni. Itu istilah-istilah orang ya, ketika memahami, merenungkan tentang fitnah itu. Dosa yang tidak terampuni, dosa yang lebih kejam dari pembunuhan, tetapi fitnah juga adalah sebuah seni. Ini sisi positifnya. Dikatakan sebuah seni karena apa? Dengan fitnah, mereka tak perlu menggunakan golok, tak perlu menggunakan pedang untuk memenggal kepala orang. Dengan kata-kata saja, mereka dapat melakukannya secara halus. Dengan sebuah bahasa isyarat, dengan sebuah kerlingan mata, dikatakan demikian dan senyuman, itu semua bisa membunuh orang dalam permainan politik ya. Kalau kita ingat film-film kerajaan-kerajaan zaman dulu kan semua di depan baik, tapi belakangnya banyak fitnah, banyak gosip, dan akhirnya menyerang musuhnya.
Pandangan lain tentang fitnah di sini adalah mencela orang karena orang itu tidak hidup sesuai dengan prinsip hidup kita atau pandangan kita. Kita rasa, budaya orang seberang itu buruk. Kita cela, jelek budayanya. Kita nggak suka suku ini, suku itu. Suku Jawa misalkan, alon-alon asal kelakon. Alon-alon-nya yang diutamakan, misalkan kayak gitu ya. Kelakon-nya nggak usah. Santai saja. Lalu kita hina. Kita punya prinsip, kita punya budaya, kita punya filsafat sendiri, terus ketika ada orang yang tidak sama dengan kita, kita cela. Itu pun disebut sebagai fitnah. Kenapa? Karena Alkitab tidak melarang budaya itu. Alkitab tidak menyalahkan budaya tersebut, tapi karena tidak sesuailah caranya kayak gitu ya, caranya dan pikirannya, akhirnya kita mencela orang bukan karena orang itu tidak hidup sesuai Alkitab, tetapi tidak hidup sesuai dengan cara pandang kita sendiri. Itu adalah fitnah juga. Kalau kita cela orang karena orang itu tidak sesuai dengan Alkitab, no problem. Itu namanya menghina yang kudus. Kamu berdosa. Hina. Kok kamu berdosa sih? Bertobat. Kasihi dia. Doakan dia. Hina? Hina. Dosa buruk kok. Ya masa ada dosa baik? Dosa selalu buruk. Maka kita mencela perbuatan dosa, bahkan orang itu pun kita cela karena orang itu yang melakukan dosa, tetapi bukan dengan nada ataupun motivasi menjatuhkan orang itu semakin terpuruk. Bukan. Tapi kita berdoa, jangan lakukan itu lagi. Itu demi kebaikan orang itu sendiri. Nah, itu ya. Mencela sesuatu yang memang ditentang oleh Alkitab. No problem. Tapi mencela sesuatu yang tidak dilarang oleh Alkitab itu namanya fitnah.
Ambil contoh, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Miryam dan Harun, para kakak Musa ya ini mencela Musa karena menikahi perempuan Kush. Di dalam kitab Keluaran itu disebutkan Musa menikahi perempuan Kush. Kenapa harus perempuan Kush? Kenapa nggak sebut namanya? Memangnya nggak tahu nama istrinya Musa siapa? Tahu! Ini sebagai penekanan bahwa bangsa Israel seharusnya tidak menikahi bangsa lain, suku lain. Perempuan Kush! Kemudian Miryam dan Harun mulai memfitnah Musa. Ngobrol nih ya. Miryam sudah lebih tua ya. Pada waktu itu Harun sudah umur 83. Nah, Miryam nggak tahu, sudah lebih tua lagi ya karena kakak ya, kakaknya dari Harun. Kemudian mereka menjelekkan Musa. “Kok Musa gitu ya. Kita saja menikah, kita saja punya komitmen yang sungguh-sungguhlah kepada bangsa Israel. Kok Musa menikahi perempuan yang bukan Israel? Dia kan nabi? Dia pemimpin dua juta orang Israel keluar dari tanah Mesir. Kenapa?” Mulai menjelek-jelekkan. “Musa ini genit ya, suka suku bangsa orang lain.” Terus kemudian mulai lebih lancang lagi. “Kita ngomong yuk. Memangnya Tuhan hanya memakai Musa saja untuk menjadi pengantara bangsa Israel?” Wah, maksudnya adalah kita harus bisa turunkan Musa dari jabatannya sebagai nabi. Masalahnya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Allah sendiri nggak masalah Musa menikah dengan perempuan Kush. Kok Miryam dan Harun masalah sih? OK, masalah OK, tapi kok omongannya adalah Musa ini nggak layak sebagai nabi. Memangnya Tuhan cuma pakai Musa sebagai nabi bangsa Israel? Kok bisa sampai kayak gitu? Kok masalahnya bukan soal perempuan Kush lagi? Masalahnya adalah Miryam dan Harun iri hati kepada Musa sebagai pemimpin utama dari bangsa Israel. Miryam dan Harun iri hati. Akhirnya, yang kena kusta adalah Miryam. Harun nggak kena kusta karena yang suka fitnah adalah Miryam. Ya, bukan perempuan ya. Yang suka fitnah tentu bukan perempuan, tapi pada kasus ini perempuan yaitu Miryam yang kena kusta. Harun nggak papa, tapi Tuhan sembuhkan lagi Miryam dari kustanya.
Sampai sekarang, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau kita melihat pernikahan itu bagaimana? Cara pandang kita, menikah harus sesuku, meskipun ada nasehat-nasehat yang nggak masalah, nggak terlalu melawan, Alkitab juga nggak masalah. Cuma, Alkitab mengatakan, pernikahan haru seiman, sepadan. Sudah. That’s it. Cuma itu. Terus kita tambahkan bumbu-bumbunya. Harus sesuku, harus selevel ekonominya. Nasehat itu umum, nggak masalah. Itu mempermudah hidup ya. Kita kan ingin hidup yang nyaman ya, tetapi itu bukan lagi soal peraturan dari Alkitab. Alkitab mengatakan yang seiman, sepadan, yang sama-sama cinta Tuhan, yang sama-sama berjuang untuk memuliakan nama Tuhan. Yang kita cela adalah pacaran beda agama. Ya, itu kita larang. “Tapi dia Kristen!” Coba betul-betul Kristen nggak? Kristen KTP tetap beda agama, beda iman. Kristen dan non-Kristen baru kita hakimi dengan adil. Nggak boleh, tapi kalau sudah Kristen, sama-sama Kristen, sama-sama melayani Tuhan, sama-sama baik, hanya karena misalkan, “Hei, beda gereja!” Wah, ini nih. Beda gereja, nggak boleh menikah. Wah, luar biasa. Ini peraturan dari manusia. Kata siapa beda gereja nggak boleh menikah? Yang penting seiman kan? Percaya Yesus. Ya tentu, nasehat-nasehat yang adalah kalau bisa satu teologi. Kalau nggak, nanti menikah si suami ke gereja A, si istri ke gereja B, anak ke gereja C. wah, menyebarkan kerajaan Allah di gereja-gereja lain ya. Satu keluarga padahal. Ya tentu, itu nasehat baik. Semua nasehat baik itu kita terima, tapi kita bisa bedakan ini berdasarkan Alkitab atau berdasarkan nasehat-nasehat manusia. Itu point-nya. Bukan berarti kita menentang nasehat-nasehat yang baik. Sesuku bagus, nggak banyak konflik, nggak banyak penderitaan. Hidup sudah menderita, mau tambah penderitaan lagi dengan beda suku, beda ekonomi mungkin ya, beda lain-lain, tapi Tuhan tidak larang kok.
Contoh orang lain adalah orang Farisi membuat hukum dan peraturan melebihi dari peraturan Allah sendiri. Allah cuma kasih 10 hukum. Orang Farisi membuat sampai 613 hukum dan mereka berkonsep bahwa kita lakukan hukum supaya selamat. Kita lakukan hukum supaya benar. Kebalik semua. Tuhan katakan, kamu benar dulu, kamu selamat dulu, baru lakukan hukum. Bukan lakukan hukum dulu, baru kamu benar, kamu selamat. Ini terbalik-balik. Ini adalah sebuah hal yang tidak benar. Hari Sabat tidak boleh berbuat baik. Itu peraturan dari Farisi. Yesus katakan berbuat baik justru harus dilakukan di hari Sabat. Orang Farisi buat peraturan, “Ayo, kita berdoa itu di pinggir-pinggir jalan, pemimpin-pemimpin. Supaya apa? Supaya orang melihat kita dan orang juga akan tertarik untuk berdoa seperti kita.” Padahal demi kesombongan. Orang Farisi buat peraturan, “Ayo, kita puasa. Kita harus melatih diri, menyangkal diri, mengajarkan pengendalian diri. Senin, Kamis puasa. Dengan itu kita lebih hebat, lebih kuat, lebih rohani. Persembahan harus banyak. Perpuluhan harus dilakukan.” Mereka lakukan semua itu demi mendapatkan kebenaran dan keselamatan. Bedanya di situ. Kita lakukan itu baik? Betul, baik. Masa kita nggak perpuluhan? Masa kita nggak persembahan? Masa kita nggak berdoa? Cuma, masalahnya adalah kita melakukan hal-hal tersebut karena kita sudah diselamatkan, kita dibenarkan, dan kita tidak mau menjadi orang yang sombong. Kalau begitu kan semua motivasi ada kesombongan ya.
Dan kemudian kita lihat, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, orang yang memfitnah biasanya itu karena apa sih? Karena perasaan tidak suka, perasaan benci, dan juga iri hati kepada yang lain. Yakobus katakan, jika kita mengenal Allah sebagai hakim, maka jangan menfitnah. Kedua, Yakobus memberikan nasehat, jangan menghakimi yaitu menghakimi dengan tidak adil, misalkan ya. Men-judge orang. Men-judge orang langsung, menghina, langsung menghakimi dengan ketus, tidak adil, sembarangan, ini adalah penilaian yang tidak benar. Hakimi orang berdasarkan kebenaran firman Tuhan. Hakimi saja. Nggak masalah. Berarti kita harus belajar mengenal kebenaran sendiri. Seringkali ketika kita menghakimi dengan tidak adil, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada unsur yang muncul dari diri orang tersebut. Kita menghakimi dengan sembarangan, ada unsur apa? Unsur kemunafikan. Kemunafikan itu berarti apa? Anggap diri benar, anggap diri hebat, setelah itu boleh menghakimi orang, atau kelihatannya di depan baik, tapi hatinya buruk. Itu sebabnya Yesus pernah mengatakan bahwa orang munafik memiliki balok di matanya, tetapi berusaha mengeluarkan selumbar, kayu halus kecil itu, selumbar, di mata orang lain. Berarti orang munafik ini bermasalah dalam hal apa? Dalam hal menilai, melihat. Dia tidak introspeksi diri, tetapi dia menghakimi orang lain dengan unsur yang tidak benar. Dengan detail sekali.
Kemudian Yakobus katakan, orang yang memfitnah itu sama dengan orang yang mencela hukum ataupun menghakimi hukum. Bila mencela atau menghakimi hukum Allah sendiri, maka engkau bukan penurut hukum, tetapi engkau adalah hakimnya. Berarti kita mengambil jabatan Allah sebagai hakim. Kita hakimi. Kita mencela hukum. Kita ngatur hukum ini, hukum itu, hukum ini, hukum itu kita atur. Kita hakimnya. Kita seperti Allah sendiri. Wah, mengerikan ya. Tetapi Yakobus katakan hanya 1 pembuat hukum dan hakim yaitu Allah. Dia berkuasa untuk menyelamatkan dan membinasakan dan maka dari itu kita perlu ingat siapakah diri kita. Kita ini ciptaan. Jangan sembarangan menghakimi dan tidak boleh memfitnah.
Bagian kedua, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita melanjutkan lagi dari perikop ini, di sini Yakobus memperkenalkan Allah sebagai penentu masa depan. Allah sebagai Allah yang berdaulat. Yakobus tahu bahwa para pembaca suratnya ini adalah orang perantauan. Orang perantauan, orang Kristen yang tersebar dan mereka pun harus mencari nafkah untuk bertahan hidup. Namanya orang perantauan ya. Tidak ada keluarga di situ. Dia harus berjuang sendiri, dia harus menafkahi hidup mereka sendiri. Dan paling umum, orang perantauan pada waktu itu ngapain selain bertani? Ketika mereka tidak bertani, ketika kota atau daerah itu tidak ada ladang untuk bisa bertani, mereka akhirnya berbisnis atau berdagang atau berjualan. Ya, jualan. Nah, apa sih keunggulan dari pedagang, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Setidaknya, para pebisnis, para pedagang itu, mereka berani untuk melakukan sesuatu yang baru. Artinya, mereka punya iman. Selain itu, mereka pun punya modal karena untuk sesuatu yang mereka perdagangkan. Dan mereka pun punya kerajinan, ketekunan. Itu adalah keunggulan dari seorang pebisnis, pedagang. Mereka cari modal, mereka punya iman. Untung, bukan buntung. Iman. Kemudian rajin.
Dalam ilmu manajemen Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ilmu manajemen itu kan berarti ilmu mengatur. Mengatur apa sih? Ya mengatur segala sesuatu yang berantakan. Mungkin terutama hidup kita yang berantakan, jadi diatur. Kalau kita lihat dunia ini Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dunia ini pun banyak ketidakteraturan karena kita berdosa. Segala sesuatu yang di bawah kita, itu harus kita atur. Itu namanya menaklukkan bumi. Ilmu manajemen ini mandat budaya ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Supaya apa? Supaya apa yang kita urus, apa yang kita lakukan itu rapi dan juga produktif. Sebagai manusia, sebenarnya kita perlu belajar ilmu manajemen dengan baik. Biasanaya di dalam ilmu manajemen, apa pun, itu mengajarkan 4 fungsi utama. Kita tahu ya, sedikit mengingat kembali pelajaran manajemen, yaitu apa? Planning, Organizing, Leading, Controlling. Waktu dulu saya kuliah manajemen, saya hafalkan dengan singkatan, POLC. Planning, Organizing, Leading, Controlling. Artinya apa? Planning, bukan plan, planning. Planning itu apa? Merencanakan. Bukan rencana lagi. Organizing, meng-organisir; memisahkan, mengklasifikasikan, mengatur. Kemudian memimpin, mengontrol. Jadi kalau kita lihat manajemen itu adalah aktif. Merencanakan, mengorganisir, memimpin, mengontrol. Sesuatu yang aktif, tidak ada pasifnya sama sekali. Nah 4 hal ini dilakukan untuk supaya mencapai tujuan yang baik, yaitu apa? Dalam hal ekonomi, dalam hal bisnis, dalam hal pekerjaan harus melalui 4 tahapan ini dipastikan dengan baik supaya apa? Untung, berhasil, sukses, berkembang. Semua harus lewat 4 tahapan ini. Ada urutannya, ada rumusnya. Kalau mau memulai bisnis itu harus POLC, Planning, Organizing, Leading, Controlling. Semua diatur, dilakukan.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya pikir-pikir, kok ini urutannya seperti ordo salutis ya. Ordo salutis kita ingat, para peserta katekisasi baru saja menyelesaikan modul katekisasi, coba ingat nggak? Ordo salutis urutannya apa? Salutis itu apa? Salut? Nggak. Ordo salutis adalah urutan keselamatan. Kita bisa melihat ya, Tuhan itu Allah yang teratur, Tuhan kasih urutan-urutan dalam segala sesuatu. Orang yang selamat pertamanya apa dulu? Kita harus ingat, orang reformed harus ingat konsep urutan ordo salutis yang pertama itu apa. Pertama, pemilihan. Setelah dipilih, kemudian dipanggil. Kalau sudah dipilih pasti ada panggilan Injil. Setelah ada Injil, kemudian dia bertobat, regenerasi. Setelah Roh Kudus melahirkembalikan dia, dia ada keinginan bertobat, dia ada keinginan melayani Tuhan. Itu urutan yang pasti ada bagi orang yang selamat. Urutannya ya, pemilihan, panggilan Injil, regenerasi, kemudian pertobatan, pembenaran, adopsi. Kemudian pengudusan, ketekunan, dan sampai akhir, kita akan mendapatkan kemuliaan. Kita akan masuk ke surga. Itu pasti, urutannya kayak gitu. Setiap orang Kristen pasti mengikuti urutan tersebut. Jadinya ordo salutis. Kalau dalam ilmu manajemen jadinya ordo managere, mungkin seperti itu ya. Urutan manajemen itu ya seperti itu, kita merencanakan sesuatu. Kita mau melakukan apa sih supaya matang, baik, dan yang lain-lain.
Para pembaca surat Yakobus adalah orang Kristen yang harus bertahan hidup di tempat-tempat perantauan. Dan mereka harus bertahan hidup dengan cara apa? Bekerja. Di sini, di Yogyakarta, kita semua banyak yang perantauan. Tapi mahasiswa. Mereka harus bertahan hidup, di dalam apa? Di dalam kuliahnya. Ketika orang tua kasih uang, harus direncanakan, di organisir, memimpin apa yang Tuhan sudah berikan. Dan juga kontrol ya, jangan-jangan pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Saya juga, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, kurang lebih sudah 11 tahun jadi perantauan. Setelah 22 tahun hidup di Bandung, hidup, tinggal bersama orang tua di rumah yang indah itu di Bandung. Tanpa pernah punya pikiran pada waktu masih muda itu, meskipun sekarang pun masih muda ya, waktu itu, “Ya sudah lah, enak di Bandung. Sudah kota besar, kota dingin. Kemudian nyaman, besar, jauh, banyak hal-hal yang bisa kita pelajari di sana. Ya sudah saya hidup di situ, mati di situ, dikubur di situ. Puji Tuhan, masuk surga.” Tapi ternyata ketika panggilan Tuhan ada, panggilan sebagai hamba Tuhan, ya harus ke Jakarta. Setelah ke Jakarta, kurang lebih 3-4 tahunan, praktek setahun di Solo sebagai mahasiswa. Setelah praktek 1 tahun di Solo, balik lagi ke Jakarta. Ke Bandung nya sudah jarang, karena saya merantau terus. Terus balik lagi ke Jakarta mengerjakan thesis. Thesis belum selesai, kebutuhan vikaris di GRII Semarang karena vikaris di GRII Semarang itu sedang mau studi lanjut ke Belanda. Saya ke Semarang. Sambil mengerjakan thesis, sambil persiapan khotbah setengah mati. Terus sudah beres thesis nya, balik lagi ke Jakarta cuma untuk wisuda. Terus balik lagi ke Semarang. 5 tahun di Semarang terus balik ke Solo dan Jogja. Ke Solo dan Jogja, kenapa bisa pindah itu? Karena menggantikan Vikaris yang lain untuk pergi ke Belanda. Saya pengganti, pengganti vikaris yang mau S3. Tapi itulah perantau, harus terus setia, harus merencanakan segala sesuatunya untuk bisa melayani Tuhan. Dan kalau memang sudah waktunya pergi, pergi. Kita tidak bisa setiap waktu di dalam kota yang sama. Jangan pikir kita hidup dalam kota yang sama, bisa saja Tuhan panggil kita untuk merantau.
Nah para pedagang atau pebisnis pasti adalah orang yang pasti melakukan perencanaan. Bukan hanya itu, jika sudah berhasil, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, diberkati Tuhan, mereka bisa semakin menjadi-jadi. Maksudnya menjadi-jadi apa? Mereka akan berpikir merencanakan sesuatu yang begitu banyak, bahkan mereka pikir dunia ini ada di tangannya. Seolah-olah masa depan itu mereka bisa atur bagi diri mereka sendiri. Dan akhirnya, fatalnya, adalah itu bukan milik Tuhan, itu milik diri; dunia tersebut. Para pedagang yang berhasil sangat mungkin merasa dapat mengendalikan segala sesuatunya dan mencapai hasil seperti yang dia harapkan. Karena sudah berhasil kok, sudah banyak uang, sudah banyak saldo. Dia buka lagi, buka lagi, buka lagi, rencana lagi. Akhirnya itu dunianya, bukan dunia Tuhan. Di sini Yakobus katakan stop dulu. Hai para pebisnis, hai para pedagang yang mengandalkan diri saja, dan akhirnya melupakan Tuhan, ingatlah Tuhan yang berdaulat! Jangan pikir karena kepintaranmu merencanakan segala sesuatu itu pasti berhasil. Belum tentu! Kalau Tuhan tidak ingin berhasil pasti tidak akan berhasil. Tapi kalau Tuhan ingin berhasil, sekalipun kita bodoh, sekalipun kita lemah, tidak layak, pasti berhasil. Pasti berhasil kalau Tuhan menginginkan apa yang kita rencanakan itu berhasil. Kita ini bukan pemegang hari esok, kita itu bukan pemegang masa depan, Tuhan yang memegang hari esok dan masa depan kita. Manusia seberapa pun pintarnya IQ nya itu dari Tuhan kok. Manusia seberapa pun pintarnya dia, tetap lebih bodoh dari iblis. Iblis hidup ribuan tahun di dunia ini, dia sudah pengalaman menghadapi milyaran orang. Kita baru pengalaman berapa puluh orang sih kita temui? Berapa ratus ribu orang sih baru kita temui? Iblis sudah master.
Bukan saja itu, kita lebih bodoh dari iblis, apalagi kita dibandingkan Tuhan. Tuhan jauh lebih pintar, Tuhan jauh lebih Mahakuasa daripada iblis. Kita ini nothing. Kita harus belajar rendah hati. Dalam bagian ini Yakobus menekankan bahwa sebagai manusia jangan sombong. OK kamu sudah bisa merantau, kamu sudah bisa hidup sendiri, kamu sudah berbisnis, orang Kristen jangan sombong, jangan lupakan Tuhan. Di atas engkau itu ada Allah. Jangan pikir bisa melakukan segala sesuatu di bumi ini dengan usaha diri sendiri. Jangan sombong! Di atas langit ada langit. Engkau orang hebat? Ada orang yang lebih hebat. Orang yang lebih hebat ada Pribadi yang lebih hebat, yaitu Tuhan sendiri. Kita nggak boleh sombong.
Dalam Injil Lukas, pembacaan bible reading bersama itu, ketika kita membaca Injil Lukas menjelaskan 2 bentuk kesombongan. Apa sih 2 bentuk kesombongan? Yaitu menganggap diri benar dan merendahkan orang lain. Orang seperti itu tidak akan dibenarkan oleh Allah. Itu seperti orang Farisi. Waktu kita sombong, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada unsur mencela orang lain berdasarkan standar kita, merendahkan orang lain, badmouthing orang lain, berarti kita sedang memfitnah juga. Itu dosa itu bukan satu dosa bisa berdiri sendiri. Banyak dosa yang saling berkoneksi satu dengan yang lain. Sombong, fitnah orang. Fitnah orang, menghakimi orang dengan sembarangan. Menghakimi orang dengan sembarangan, munafik. Wah dosa itu begitu kompleks. Kita tidak bisa membedah dosa itu satu, satu, satu. Nggak! Semua itu ada kaitannya. Begitu mengerikan. Jika kita bisa melakukan segala hal yang kecil sekali pun di bumi ini, kita bisa hidup hari ini, itu semua karena kedaulatan Tuhan dan pemeliharaan Tuhan. Dan kita tahu bahwa Allah lah yang memegang hari esok. Allah lah pemegang masa depan kita. Kalau Allah tidak berkehendak dan ijinkan kita melakukan segala sesuatu ini dan itu, kita nggak akan melakukannya. Kalau Tuhan tidak berkehendak kita melakukan dosa, kita tidak akan melakukan dosa. Kita itu betul-betul lemah kok. Bila kita bisa melakukan sesuatu dalam sejarah, itu kemurahan hati Tuhan. Bisa melakukan dosa pun, kita harus sadar itu di dalam penopangan Tuhan. Karena apa? Melakukan dosa harus bernafas kok, harus hidup. Bagaimana melakukan dosa tapi mati? Nggak bisa. Kita harus terus bergantung kepada Tuhan.
Pdt. Edward Oei, waktu itu diundang di GRII Solo, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dia mengatakan bahwa, “Tidak ada yang bisa mengerti kebenaran tanpa belas kasihan Tuhan. Kalau Tuhan tidak berbelas kasihan, kita tidak akan pernah sadar dan mengerti kebenaran sesederhana apa pun.” Di dalam kaitannya adalah Roh Kudus waktu Pentakosta. Pada waktu itu peringatan akan turunnya Roh Kudus. Kita tahu bahwa kita mengerti 1+1=2 saja itu karena Roh Kudus berbelas kasihan kepada kita. Kalau Roh Kudus tidak berbelas kasihan, kita mengerti ini bunga palsu saja kita nggak bisa. Kita mengerti kebenaran sederhana saja nggak bisa kalau Roh Kudus tidak berbelas kasihan, kalau Allah tidak berdaulat dalam kehidupan kita. Jadi jangan sampai kita merasa bahwa kita itu betul-betul bisa melakukan semuanya, merencanakan segala sesuatunya tanpa Tuhan. Kita tidak boleh menjadi orang Farisi yang legalisme juga. Kita bisa lakukan ini, itu, pasti benar, pasti selamat, kayak gitu ya. Bila kita bisa merencanakan dan melakukan segala sesuatu hal apa pun itu karena Tuhan lah yang berdaulat dan mengijinkan.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita adalah manusia yang tidak tahu hari esok. Manusia tahu sekarang. Kita tahu sedang apa, dan akan terjadi apa dalam waktu sekarang, 1 detik ke depan mungkin. Kita juga tahu masa lalu kita. Masa lalu kita bisa lihat di sejarah. Tapi ada sesuatu yang kita tidak bisa tahu, yaitu apa? Masa depan. Kita tahu masa kini, kita tahu masa lalu, tapi manusia tidak bisa mengetahui masa depan. Iblis pun tidak tahu masa depan. Yang tahu masa depan adalah Tuhan. Kita bersyukur dalam sejarah lagu hymne, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada lagu hymne yang berjudul “Ku Tahu Siapa Menguasai Hari Esok”, “I Know Who Holds Tomorrow”. Perlu diketahui lagu ini sudah masuk KRI. KRI nomor 209. Kalau sudah KRI, Kidung Refomed Injili, itu sudah terseleksi cukup bagus oleh hamba Tuhan musik reformed. Yang mewakili hamba Tuhan musik reformed itu adalah Pdt. Billy ya, Pdt. Billy Kristanto atau pun hamba-hamba Tuhan musik yang lain. Sudah doktor musik. Dia memasukkan lagu ini ke dalam kidung KRI, dan sangat bagus ya. Lagu ini ditulis oleh Ira Stanphill tahun 1900-an. Umur lagu ini paling 100 tahun-an saja ya. Ira Stanphill adalah seorang musisi sekaligus juga adalah seorang pelayan Tuhan, pengkhotbah. Dia bahkan melayani dalam 9 organisasi. Dengan kapasitas untuk apa? Melayani sebagai pemimpin pemuda, melayani sebagai pemimpin musik, melayani sebagai pendeta juga. Dia khotbah keliling dunia, pernah keliling 40 negara berkhotbah. Dan juga dia menulis 500 lagu Injil atau gospel songs. Tentu tidak sebanyak yang barusan tadi di sharing-kan oleh Haldor Lillenas. Haldor Lillenas ribuan lagu ya, tapi Ira Stanphill ini kurang lebih 500 lagu Injil dia buat. Wah hatinya semangat melayani Tuhan, memuji Tuhan. Kemudian ketika dia bertemu dengan seorang wanita, wanitanya baik. Dia melihat wanita itu Kristen, lalu wanita itu pintar main piano juga. Wah passion-nya sama, sama-sama bagian musik ya. Kemudian dia menikah dengan wanita itu, dan akhirnya mereka berdua melayani dengan sukacita. Berdua lebih baik daripada seorang diri. Wah senang.
Namun, hidup Ira Stanphill tidaklah sempurna ya. Sayangnya dalam kurun waktu pernikahan 9 tahun, dia itu mengalami kesulitan dalam pernikahan dengan istrinya. Kadang-kadang cekcok, kadang-kadang mau pisah, “Sudah, nggak usah. Diam dulu lah.” Kadang-kadang, “Ah beda, kayanya bukan orang Kristen yang dia nikahi. Wah, rumit.” Sampai kepada akhirnya istrinya mulai membenci pelayanan yang mereka sendiri kerjakan. Istrinya benci pelayanan, nggak mau tinggal bersama lagi. Dan sampai akhirnya, istrinya menyimpulkan hidupnya bahwa pelayanan bukanlah untuk dirinya. Dan akhirnya dia meninggalkan Ira Stanphill begitu saja. Ditinggalkan, sempat hilang istrinya. Belum bagaimana-bagaimana, belum ngobrol, belum diskusi, hilang begitu saja. Pisah.
Sebagai suami Kristen, sebagai pelayan Tuhan tentu tidak mudah menghadapi situasi yang sulit ini ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Stanphill berjuang untuk rekonsiliasi. Dia kontak istrinya, dia berdoa, dia tanya teman-teman bagaimana caranya. Dia tanya sahabat-sahabatnya, “Kok bisa ya istri saya itu tiba-tiba pergi begitu saja. Istrinya kok bisa keras hati sih.” Pada akhirnya sudah konflik demikian, akhirnya tahun ke-9 pernikahan mereka, mereka bercerai. Akhirnya ketika bercerai kan semua orang tahu, “Kok cerai ini? Hamba Tuhan cerai! Penulis musik cerai.” Orang kan pasti mikir, kenapa bercerai. Di sini lah akhirnya dosa fitnahan muncul. Fitnah, badmouthing, menjelekkan orang lain berdasarkan hal yang tidak pasti. “Oh mungkin kedua-duanya itu ingin menonjol, jadi selebriti. Di gereja ingin menonjol, tapi karena gagal, itu merenggangkan hubungan mereka.” Luar biasa teorinya. Kemudian ada yang fitnah lagi, “Oh kayanya di antara 2 pelayan Tuhan itu punya kecanduan. Punya dosa tertentu lah. Akhirnya konflik, konflik. Yang satu ingin hidup suci, yang satu ingin nyandu.” Wah itu fitnahan lagi, nggak tahu pastinya kenapa. Atau mulai berpikir mungkin si Ira Stanphill ini dikejar oleh pelakor. Pelakor, pencuri laki orang. Wah pikir-pikir lagi. Itulah kejamnya pikiran ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Fitnahan ini luar biasa. Tapi kemudian, “Jangan Ira Stanphill, Ira Stanphill ini kayanya orangnya tulus, nggak mungkin lah ada perempuan lain kejar-kejar dia. Wah apalagi mukanya jelek gitu ya, masa ada orang yang suka sama dia ya. Jelek, gemuk.” Ini ibarat ya, cuma cerita aja. Akhirnya, “Istrinya kali, istrinya yang dikejar-kejar. Kan cantik tuh. Wangi, rambutnya berkibar.” Terus kemudian, “Wah iya, mungkin istrinya ada pebinor; pencuri bini orang.” Wah luar biasa ya. Terus menurut orang, istri Stanphill ini sudah bosan dengan pelayanannya selama hidupnya. Dan puncaknya adalah mereka ingin mengejar karirnya sendiri di dunia hiburan.
Tapi uniknya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, setelah 9 tahun pernikahan mereka cerai. Ini yang fakta yang lain yang akhirnya bisa membuat pikiran kita tidak memfitnah, yaitu apa? Istrinya tidak lama perceraian itu kemudian apa? Menikah dengan pria yang lain. Wah hidup Ira Stanphill ini hancur. Dia sudah sedih, sudah pelayanan, sudah sungguh-sungguh keliling, berkhotbah untuk Tuhan, istrinya begitu, cerai, menikah dengan pria lain. Bukan saja itu Bapak, Ibu, Saudara sekalian, setelah 3 tahun lewat, dia dengar kabar lagi bahwa mantan istrinya itu meninggal karena kecelakaan mobil. Hancur lagi, sedih lagi. Harus mendatangi kebaktian kedukaan mantan istrinya. Itu gimana ya perasaannya. Istrinya sudah milik orang lain, mantan istrinya itu, dia kemudian sedih, tiba-tiba mati. Dia bertemu lagi, mati. Dia akhirnya hancur, tenggelam dalam depresi yang mendalam. Dalam konteks inilah lagu ini dibuat, “I Know Who Holds Tomorrow”, “Aku Tahu Siapa Yang Memegang Hari Depan”. Dia menulis lagunya, ada nada-nadanya, dan dimulai dengan suatu memang kalimat ini terkesan putus asa, “Aku tak tahu akan hari esok”. Tapi kebenaran, kita nggak tahu hari esok seperti apa. Apakah kita masih hidup, besok hari Senin? Belum tentu. Apakah kita pulang dari gereja ini ke tempat kita masing-masing akan selamat, tidak kecelakaan, tidak ditabrak mobil, tidak ditabrak motor? Nggak tentu. Kita nggak tahu hari esok. Ketika dia menulis lagu itu, itu menjadi kekuatan bagi dirinya dan tentu ini anugerah dari Roh Kudus.
Kemudian selama menjalani kehidupannya dia pun makin berat lagi, sudah pelayanannya mundur, mungkin karena banyak berpikir dan depresi juga, dia ke rumah sakit dan didiagnosa ada tumor ganas di otak kuadran kanan depan. Kuadran kanan depan saya nggak tahu yang mana, otak itu bisa dibagi 4. Sebelah kanan depan itu ada tumor ganas. Wah sudah istrinya menceraikan dia, istrinya mati, sekarang tumor di kepalanya, mau apa sih hidup ini. Penderitaan begitu berat. Tapi dia mendapat kekuatan dari lagu yang dia buat sendiri. I know who holds tomorrow. Kemudian akhirnya harus dioperasi kata dokter, ya sudah operasi. Jalani saja. Apa yang baik dijalani. Ketika dioperasi, uniknya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Tuhan tidak menghentikan hidupnya. Masih ada tugas yang harus dia kerjakan. Dia masih hidup. Setelah operasi sembuh, tumornya bisa diangkat. Tetapi masalahnya dia hidup dengan kepribadian yang berubah. Saya nggak tahu ya, otak itu kalau rusak bisa merubah kepribadian kita atau nggak, saya nggak jelas juga. Tapi katanya demikian, dia seperti menjadi orang lain. Dan Stanphill masih bisa hidup kurang lebih 17 tahun setelah dia dioperasi. Bayangkan ya, 17 tahun itu lama sekali. Pikir sudah bakalan mati, toh tumor ganas. Dan Stanphill sudah di tahun umur yang mau ke-80 tahun, tetapi dia tidak mencapai umur yang ke-80 tahun juga. 2 bulan sebelum ulang tahun yang ke-80 dia mati. Bukan karena tumor, tapi karena serangan jantung. Tahun ‘93. Tahun ‘93 Ira Stanphill mati, mungkin Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pemuda baru ada yang lahir ya.
Nah itulah kehidupan orang ya, kita nggak tahu hari esok itu betul-betul seperti apa. Apakah kita akan terus sehat? Belum tentu. Apakah kita pasti sehat? Belum tentu. Apakah kita akan sakit? Belum tentu juga. Bisa saja sehat senantiasa. Inilah hidup kita ya. Lagu ini bahkan ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya pilih di dalam pujian atau ibadah pemberkatan pernikahan saya. Bayangkan ya, pemberkatan pernikahan nyanyi lagu “Ku Tahu Siapa Yang Pegang Hari Esok”. Itu bukannya saya sedih ya menikah. Menikah dengan istri saya, wah sedih, banyak penderitaan yang saya alami. Bukan itu ya maksudnya. Justru Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya bersukacita, tapi saya dengan kesadaran bahwa saya memasuki kehidupan pernikahan nggak tahu kok hari esok seperti apa. Saya sendiri nggak tahu saya akan terus melayani Tuhan dengan setia, istri saya juga nggak tahu bisa menjadi pendamping yang setia untuk menemani pelayanan. Nggak tahu. Cuma di dalam ketidaktahuan saya, saya sukacita karena pernikahan pun adalah anugerah Tuhan.
Banyak hal negatif yang mungkin terjadi di dalam pernikahan kita Bapak, Ibu, Saudara sekalian, tetapi yang kita tahu bahwa Tuhan itu memegang hari depan. Dari dukacita kepada iman. Tapi apakah kita harus dukacita terus, penderitaan baru beriman? Tidak! Kita pun bisa bersukacita menimbulkan iman. Itu maksud saya waktu di dalam ibadah pernikahan kita menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan, sukacita. Saya waktu melihat pengantin perempuan, “Oh itu milik saya. Apakah ini benar-benar terjadi?” Dalam pikiran saya itu ini betul-betul menikah nggak ya saya itu. Dan akhirnya saya tidak tahu hari esok, saya serahkan kepada tangan Tuhan.
Dari lagu ini kita dapat belajar banyak hal. Yang pertama, pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan pasti tidak semuanya terjawab. Masa depan saja kita nggak tahu kok. Masa depan saja tidak pasti kok kita tahu. Tetapi kita belajar untuk puas menyerahkan pertanyaan yang tidak terjawab itu kepada Tuhan. Pertanyaan dalam kehidupan itu tidak selalu kita harus jawab. Buktinya nanti ke depan nggak tahu betul-betul yang terjadi apa kok. Tapi apa yang harus kita lakukan adalah serahkan kepada yang memegang hari esok, yaitu siapa? Bapa di sorga. Itu keyakinan kita. Kita lakukan apa yang kita tahu, kita serahkan hari esok kepada tangan Tuhan. Kedua hal yang kita bisa pelajari adalah satu-satunya kepastian yang kita miliki di hari depan, masa depan kita adalah kepada The One who holds tomorrow, yang memegang hari esok; Tuhan Yesus yang kita kasihi. Dan yang ketiga, kita mau membawa semua rencana kita di depan itu kepada Tuhan. Doakan apa yang kita ingin lakukan di masa depan kita, buat perencanaan untuk melibatkan Tuhan di dalamnya juga. Dan bukan berarti kita hanya sekedar berdoa tapi kita rela kalau itu kehendak diri bertentangan dengan kehendak Tuhan, saya rela kalah. Kalah lah terhadap Tuhan. Kalah lah terhadap rencana Tuhan. Kita minta pimpinan Roh Kudus senantiasa.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Yakobus mengakhiri perikop ini dengan mengatakan bahwa hidup manusia itu seperti uap saja, yang ada sebentar, beberapa detik kemudian sudah lenyap. Begitu singkat. Apa yang harus kita lakukan kalau kita tahu hidup kita ini singkat tapi nanti kita masuk ke kekekalan yang begitu kekal. Harus kita lakukan, kita katakan “Jika Tuhan kehendaki kami akan hidup. Jika Tuhan sudah kehendaki kami mati, kami siap mati.” Kita jangan cuma siap hidup saja. Kita harus siap mati juga supaya kita memperoleh kehidupan yang bijaksana. Nggak usah takut mati. Semua diatur oleh Tuhan. Dan juga jangan takut hidup, semua itu hidup kita sudah diatur oleh Tuhan. Hiduplah berkelimpahan di dalam Tuhan. “Kami siap untuk melakukan ini dan itu sesuai dengan rencana Tuhan. Siap berkorban, siap mati demi kemuliaan Kristus.”
Yang terakhir, Yakobus mengatakan sebuah definisi dosa yang unik, yaitu kamu tahu bagaimana harus berbuat baik tapi tidak melakukannya itu adalah dosa. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita sudah tahu jangan saling memfitnah, kita sudah tahu jangan menghakimi dengan sembarangan, kita sudah tahu bahwa Allah itu berdaulat dan memegang hari esok, memegang hari depan kita, yang perlu kita lakukan adalah lakukan hal yang sesuai dengan kebenaran tersebut. Mari kita lakukan perbuatan baik selama masih ada kesempatan. Jauhi dosa, jauhi dosa, jauhi dosa. Dekatilah Tuhan, dekatilah Tuhan, dekatilah Tuhan. Itulah praktek yang bisa kita lakukan untuk menyenangkan Tuhan, dan kiranya kita boleh semakin mengenal Tuhan adalah sebagai hakim kita dan penentu hari esok kita. Mari kita sama-sama berdoa.
Bapa kami yang ada di sorga, kami sungguh bersyukur Kau kembali menyatakan diri-Mu kepada kami semua. Engkau adalah Tuhan kami. Engkau adalah Juruselamat kami. Engkau adalah hakim tertinggi di dalam kehidupan kami. Dan juga Engkau adalah yang menguasai hari esok, penentu masa depan kami. Kami bersyukur Tuhan boleh mengenal Engkau dengan pengenalan yang begitu indah itu. kiranya kami boleh tenang menjalani kehidupan kami sebab hidup kami ini di tangan Tuhan. Dan kami pun mau Tuhan menjalani kehidupan selama kami di bumi ini dengan melakukan kehendak Tuhan saja, dengan melayani Tuhan, dengan menjauhi dosa, menjaga lidah kami dan juga mengikut Yesus Kristus senantiasa. Pimpinlah kami Tuhan, peliharalah kami, tolonglah kami yang lemah iman ini. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami sudah berdoa dan mengucap syukur. Amin. (HSI)