Kasih Setia Tuhan dalam Mazmur 31, 30 Juni 2024

Kasih Setia Tuhan dalam Mazmur 31

Vik. Lukman Sabtiyadi

 

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, setiap kita pasti tidak bisa menyangkali di dalam dunia berdosa ini, hidup itu tidak tanpa penderitaan. Hidup selalu diwarnai dari penderitaan, dari kesulitan, krisis kehidupan yang mungkin kita coba terus hindari atau kita jauhi, tapi krisis kehidupan selalu tiba di dalam hidup kita. Penderitaan dan kesusahan itu selalu hadir tanpa mungkin kita memintanya, tanpa kita mengharapkannya. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, seorang antropolog Amerika bernama Ernest Becker di dalam bukunya yang berjudul “The Denial of Death”, ya, “Penyangkalan terhadap Kematian”-salah satu buku yang begitu baik sekali, mendapat penghargaan Pulitzer pada tahun 1974-mengatakan seperti ini: Menurut saya, melihat hidup secara serius memiliki arti seperti ini: Apa pun yang manusia lakukan di dunia ini, harus dilakukan dalam kesadaran bahwa hidup ini mengerikan. Adanya gemuruh kepanikan di balik segala sesuatu.” Tetapi, seringkali yang kita lakukan adalah menyangkalinya atau membius diri kita terhadap realita hidup yang begitu menyedihkan.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, seorang teolog, Agustinus mengatakan ada pribadi yang kudus, tapi bukan tanpa penderitaan. Kristus Yesus kudus, tapi bukan tanpa penderitaan. Kadang-kadang kita berpikir terlalu naif dan sebagaimana mungkin agama pada umumnya bahwa, Kalau saya kudus di hadapan Allah, maka saya pasti tidak ada penderitaan. Saya pasti tidak mengalami krisis kehidupan. Tetapi, Kristus sendiri yang kudus, Dia menderita. Tentu kita tahu penderitaan-Nya adalah karena menanggung dosa-dosa kita. Saudara sekalian, apalagi kita! Dia yang kudus dan penderitaan yang dialami adalah karena menanggung dosa kita, apalagi kita yang adalah diri sendiri berdosa di hadapan Tuhan.

Saudara sekalian, seringkali ketika krisis kehidupan itu menimpa kita, maka salah satu pertanyaan yang menjadi persoalan di sepanjang sejarah dan setiap kita mungkin pernah mempertanyakannya, yaitu: Mengapa kita menderita? Tapi, hari ini, Saudara sekalian, saya enggak mau mengajak kita, saya enggak mengajak kita untuk merenungkan tentang mengapa atau alasan atau sebab kita menderita. Perenungan ini begitu panjang dan perenungan ini juga sering kita renungkan. Ada banyak pemikir, banyak teolog yang merenungkan ini: Mengapa kita mengalami kesusahan, krisis kehidupan?”

Tapi, hari ini saya mau mengajak kita merenungkan apa yang menjadi dasar kekuatan orang Kristen ketika mengalami krisis kehidupan. Apa yang menjadi dasar kekuatan orang Kristen di tengah krisis kehidupan. Bersyukur pada Tuhan, firman Tuhan menjadi pedoman hidup kita dan begitu banyak firman Tuhan yang dapat memberikan kekuatan untuk kita menghadapi krisis kehidupan dan hari ini salah satunya, yaitu yang kita renungkan dari Mazmur 31. Mari kita membuka Mazmur 31. Mazmur 31 menyatakan kepada kita dasar kekuatan bagi orang Kristen di tengah krisis kehidupan. Saudara sekalian, kita tidak membacanya secara keseluruhan. Saudara sekalian bisa membacanya, ketika saya mengajak kita merenungkan Mazmur satu ini, Mazmur 31 ini. Mazmur 31, Saudara sekalian, merupakan doa yang jujur di hadapan Tuhan. Satu ungkapan dari pemazmur di tengah segala krisis kehidupannya, dia terbuka di hadapan Tuhan. Dan kita lihat betapa jujurnya dia menyatakan di ayat yang kedua: “Pada-Mu, TUHAN, aku berlindung, janganlah sekali-kali aku dipermalukan. Luputkanlah aku oleh karena keadilan-Mu.”Saudara sekalian, ada dua hal di sini yang ditekankan. Dia ingin, itu, enggak mendapat malu!

Di dalam tradisi Ancient Near East, ya, Timur Dekat Kuno, ya. Saya kira di dalam juga di konteks Asia sekarang, itu “shame”, “malu” itu begitu penting sekali, ya. Kita itu sangat-sangat ingin menghindari namanya yaitu “malu” di hadapan banyak orang. Apalagi mungkin, Saya ini orang Kristen, tapi kok hidup susah? Saya malu sebagai orang Kristen. Maka enggak jarang ketika kita orang Kristen, tapi kok banyak sekali kesusahan hidup kita, kita mungkin lama-lama, Ah, sia-sia lah saya percaya kepada Tuhan. Kita malu di hadapan orang, ya. Saudara sekalian, begitu banyak pertimbangan kita di dalam kehidupan kita, ya khususnya dalam konteks Ancient Near East maupun termasuk Asia juga yang masih kental, yaitu dasarnya adalah “shame,” malu. Kita mengapa harus berpakaian bagus, rapi? Memang untuk di hadapan Tuhan, tapi ada juga karena malu, ya. Karena kita enggak mau mengalami malu dipandang orang.

Sebenarnya, ini adalah efek dosa. Saudara sekalian, kita bisa ingat di dalam Kejadian 3, ketika manusia jatuh dalam dosa, maka apa yang terjadi? Adam melihat dirinya telanjang. Bukan berarti dia itu sebelumnya tidak telanjang. Bukan berarti dia sebelumnya itu seperti matanya itu lihat jadi berpakaian indah. Bukan! Tapi, kesadaran malu itu menjadi kental sekali, besar sekali, dan pertimbangannya bukan lagi tentang aku dengan Tuhan. Pertimbangannya adalah: diriku maluAku malu. Saudara sekalian, karena dosa maka segala pertimbangan kita dasarnya adalah shame. Kita malu. Apakah ini salah?

Alkitab menyatakan, tidak sepenuhnya salah. Karena pemazmur di sini pertimbangannya dia minta perlindungan dari Tuhan adalah supaya dia tidak dipermalukan. Tidak sepenuhnya salah! Di dalam Ancient Near East, malu itu, ya, Saudara sekalian, itu sama sepertinya itu tidak dihargai, itu sama sepertinya mungkin tidak dihormati dan bahkan arahnya seperti mengalami kematian. Ketika kita malu, itu seperti kita sudah mengalami kematian. Harga diri kita hilang. Eksistensi diri kita sudah lenyap, baik dari diri kita, maupun di hadapan orang lain dan terlebih lagi di hadapan Tuhan.

Saudara sekalian, yang kedua pemazmur dengan jujur menyatakan juga, “Luputkanlah aku.” Siapa yang tidak mau diluputkan dari kesusahan hidup? Dari krisis kehidupan? Ini dengan jujur. Jadi, pemazmur tidak mengajarkan, ya, kita jadi orang Kristen, “Ayo, aku kuat! Aku kuat!” Enggak! Dia dengan jujur menyatakan, “Aku mau diluputkan!” Dan tidak sepenuhnya salah ketika kita datang ke hadapan Tuhan, kita berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, lepaskan aku dari kesusahan ini. Lepaskan aku dari sakit ini. Lepaskan aku dari penghinaan ini. Lepaskan aku dari salah mengerti ini. Lepaskan aku dari segala macam kesusahan!” Baik ekonomikah, pekerjaan kita, keluarga kita dan segala macam. Tidak sepenuhnya salah. Ini ungkapan yang jujur dari pemazmur.

Mari, Saudara sekalian, kita melihat krisis hidup apa, sih, yang dialami pemazmur? Kita melihat di ayat 10. Mari kita membaca bersama-sama ayat 10. Demikian Firman Tuhan, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, sebab aku merasa sesak; mataku kabur dan jiwa ragaku merana karena sakit hati.” Saudara sekalian, di dalam istilah aslinya itu di dalam bahasa Inggris, ya, dan saya lihat juga di dalam istilah aslinya itu tidak ada kalimatnya itu “sakit hati.” Nggak ada, ya. Jadi ini LAI menambahkan kata phrase “sakit hati” dan saya kira ini cukup baik, ya. Walaupun sepertinya seolah ditambahkan, tapi ini seperti ditegaskan lagi maknanya. Sakit hati, Saudara sekalian.

Siapa yang tidak pernah sakit hati? Begitu gamblang LAI menjelaskan, “Aku sesak, mataku kabur, jiwa ragaku merana” dan disimpulkan karena sakit hati. Siapa di antara kita tidak pernah sakit hati? Kalau pemuda-pemudi mungkin pertama jatuh cinta, pertama sakit hati juga, ya. Setiap kita pasti mengalami sakit hati. Sakit hati orang nggak denger kita, nggak menghargai kita, mengecewakan kita, sakit hati orang tua kita tidak mengikuti mungkin apa yang kita mau, orang tua juga sakit hati karena mungkin anaknya tidak menjadi seperti yang dia harapkan. Setiap kita bisa mengalami sakit hati. Tersinggung karena perkataan orang. Bahkan Alkitab mengatakan, Tuhan sendiri pun sakit hati.

Saudara sekalian, mazmur menyatakan dia sakit hati. Jiwanya merana, dan ini adalah pengalaman juga setiap orang, setiap kita. Lalu, dikatakan di ayat 11, kekuatannya merosot, tulang-tulangnya rapuh. Artinya, tubuhnya itu mengalami kelemahan. Tubuhnya lemas, seperti nggak bisa lagi untuk berdiri tegak. Dia mengalami kekuatan yang merosot. Tulangnya rapuh dan setiap kita juga pasti mengalami ini. Kita pada titik tertentu dalam hidup kita, kita bisa mengalami kelemahan tubuh, sakit. Ada begitu banyak sakit yang pernah kita alami di dalam hidup kita, dari sakit yang sederhana—flu, sampai sakit yang mungkin begitu berat—kanker dan seterusnya. Lalu kemudian, dia mengalami celaan dari musuh dan bahkan menjadi beban bagi orang lain di ayat 12.

Siapa yang tidak pernah mengalami kata-kata yang buruk kepada dirinya? Kepada kita? Setiap kita pasti mengalami ini. Siapa pun. Dan yang pasti Tuhan Yesus pun mengalami cela. Dia yang Kudus, Dia yang benar, Dia pun dihina, apalagi kita yang begitu banyak kesalahan. Kita mengalami juga dihina orang, direndahkan orang, dan jadi beban bagi orang lain. Pemazmur mengalami sakit, krisis secara fisik dan secara mental juga, secara batin. Dan bukan hanya itu, di ayat 12, ayat 13, apa yang dialami pemazmur? Dia mengalami alienasi. Ditolak, ditakuti, dijauhi, dan dilupakan. Saudara sekalian, ini begitu- ini alienasi, ya, secara sosial itu begitu- mengerikan. Saudara sekalian, coba kita di dalam satu keluarga saja, ya, kita mengalami alienasi. Setiap kita hadir, kita nggak pernah disapa, kita ngomong, nggak pernah didengar, lalu kita ada nggak ada, nggak pernah ada yang mau tahu, lalu kalau orang lagi ngomong, tanya tentang kita ke orang, ke keluarga kita mungkin misalnya, keluarga mungkin, “Nggak tahu dia ngapain, nggak ngerti,” ya. Itu alienasi. Dan tahap tertentu di ayat 13, hilang dari ingatan, dilupakan. Itu mengerikan.

Siapa yang ingin dilupakan?  Apalagi orang Asia. Kita selalu ingin diingat. Mengapa, sih, kuburan orang-orang Asia rata-rata itu bagus? Kecuali, ya, nggak tahu, tertentu, ya, mungkin. Saya ke tanah Sumatera Utara, ya, kuburannya itu bagus-bagus. Di Samosir, tinggi banget, saya lihat ada kuburan, aduh, lalu di dalamnya dimasukin, kan. Saya waktu itu pernah di Karawang itu, ya. Di Karawang atau Cikarang, di San Diego Hills, kuburannya bagus-bagus. Di sini, saya mampir waktu itu juga sempat ada kedukaan, penguburan, datang, kuburannya. Mengapa kuburannya bagus-bagus? Karena kita nggak ingin dilupakan. Maka itu, selalu, keluarga itu ingin datang ke kuburan, selalu bersihkan. Kalau keluarga lihat ada kuburan yang kotor, yang sudah nggak terawat, atau apa, itu pasti shame. Malu banget. Setiap kita ingin diingat. Setiap kita! Mungkin kalau perlu, ya, itu nama kita itu ada terus di mana-mana gitu, ya, jangan-jangan. Maka itu, Pdt. Stephen Tong, kan, pernah bilang ada dulu, ya, ada gereja itu kadang kalau ada persembahan dari siapa, namanya ditulis. “Piano ini persembahan dari Lukman.” Misalnya gitu, ya, ditulis namanya. Itu sampai supaya orang itu ingat dan sering kali kalau kita ketemu orang juga sering kayak gitu. “Saya itu dulu yang berbagian ini!” dan seterusnya. Kita selalu ingin diingat. Maka, ketika kita hilang dari ingatan, itu begitu mengerikan, Saudara sekalian. Itu begitu mengerikan. Itu seperti sudah nggak ada lagi. Bukan hanya sekedar pernah ada, tapi nggak pernah ada. Itu mengerikan sekali. Dan apa yang di sini juga dialami oleh pemazmur? Digosipin! Di ayat 14, “Sebab aku mendengar gunjingan orang banyak.” 

Siapa yang nggak pernah digosipin? Siapa, Saudara sekalian? Tuhan Yesus saja pernah digosipin! “Dia itu, kan, cuma anak tukang kayu yang ini!” gitu, ya. Setiap kita juga pernah digosipin dan pemazmur juga. Ini artinya apa, Saudara sekalian di sini? Pada titik  tertentu bahkan, pemazmur mengatakan dia pernah berpikir-di ayat 23, mari kita lihat. Mungkin kita belum sampai titik ini, tapi mungkin juga sebagian pernah berpikir seperti ini. Di ayat 23, pemazmur- “Aku pernah berkata, aku telah terbuang dari hadapan mata-Mu.” Sampai titik krisis kehidupannya yang paling rendah, dia pernah berkata, pernah berpikir, “Mungkin aku terbuang dari hadapan Tuhan.” Apa artinya, Saudara sekalian? Artinya, pemazmur di sini mengungkapkan krisis kehidupannya mungkin bisa dialami siapa saja. Mazmur 31 menyatakan bahwa mazmur ini adalah untuk kita semua. Dan nggak heran, Saudara sekalian, Yeremia, nabi yang meratap mengutip Mazmur 31 ini, di ayat 14 mengutip beberapa kali. Mari kita lihat Mazmur 31:14. Ada 1 kalimat yang dikutip beberapa kali oleh Yeremia. “Kegentaran datang dari segala jurusan.” Kegentaran datang dari segala jurusan. Mari kita buka Yeremia 6:25. Mari kita membaca bersama-sama Yer 6:25, demikian firman Tuhan. “Jangan keluar ke padang atau berjalan di jalan, sebab ada musuh dan kegentaran dari segala jurusan.”  Kegentaran dari segala jurusan dan begitu banyak ayat lagi beberapa kali, paling nggak 6 kali Yeremia mengutip ayat ini. “Kegentaran dari segala jurusan.”

Saudara sekalian, ada orang yang pernah berkata, “Kesusahan itu datangnya itu tidak bergiliran, bukan satu demi satu, tapi rombongan.” dan Mazmur 31 bersama Yeremia juga menyatakan krisis hidup datangnya bukan bergiliran, bukan hanya rombongan, tapi dari segala sudut, dari setiap sisi. Ingat kisah Ayub, Saudara sekalian? Baru dengar ada bangsa Syeba itu menyerang, belum stop dukanya, ada api yang menyambar ternak. Belum stop berduka api menyambar, orang Kasdim menyerbu. Belum stop orang Kasdim menyerbu, dia masih meratapi bersedih, anak-anaknya meninggal. Di waktu yang dekat sekali, itu mungkin peristiwanya bersamaan tetapi beritanya datang satu-satu. Di dalam saat itu, dia belum selesai berduka satu hal, begitu banyak kesusahan yang dia alami dari berbagai sisi, dari berbagai sudut.

Mari kita merenungkan Saudara sekalian, apa yang menjadi dasar kekuatan orang Kristen ketika kita mengalami krisis hidup berdasarkan Mazmur 31? yaitu kasih setia Tuhan. Kasih setia Tuhan adalah dasar kekuatan orang Kristen di tengah Krisis kehidupan. Saudara sekalian, kita melihat ada beberapa kali disebut kasih setia Tuhan di dalam Mazmur. Ada ratusan kali di dalam Mazmur. Hampir setiap Mazmur ada kasih setia Tuhan. Dan di  Mazmur 31 yang kita lihat, beberapa kali dikatakan “ada kasih setia Tuhan.” Saudara sekalian, di Mazmur 31 kita melihat bahwa di sini dikatakan, “Mazmur Daud.” Ketika Mazmur itu dikasih keterangan “Mazmur Daud,” itu belum tentu ditulis oleh Daud. Bisa juga ditulis oleh orang lain,tapi kemudian ditujukan kepada Daud, dan digubah kembali oleh Daud. Mazmur Daud. Tapi Saudara sekalian, salah satu tokoh yang kita tidak bisa sangkali, kita bisa melihat, membaca, berulang-ulang betapa besar kasih setia Tuhan kepada tokoh ini, yaitu Daud. Kasih setia Tuhan itu begitu mendarah daging dalam hidup Daud.

Saudara sekalian ingat, kisah cinta yang paling agung yang pernah dikisahkan Alkitab? Yaitu kisah cintanya nenek moyangnya Daud. Rut dan Boas. Itu kisah cinta yang begitu indah. Rut seorang janda, bertemu dengan Boas, Saudara sekalian, kalau pertemuan itu tidak terjadi, itu karya penebusan gagal, Saudara sekalian. Itu kisah cinta yang begitu luar biasa. Dua orang bertemu, lalu kemudian Tuhan berikan keturunan. Rut seorang janda, seorang asing, suku Moab, Saudara sekalian, tapi kemudian bertemu dengan Boas yang menjadi penebus, Hesed, kasih setia Tuhan. Kisah cinta yang luar biasa. Lalu kemudian, di dalam Matius dinyatakan, Rut jadi salah satu nenek moyang Tuhan Yesus. Daud itu mendarah daging sekali kasih setia Tuhan.

Tapi, Saudara sekalian, kita bisa melihat ini, tapi di dalam hidup Daud sendiri, di dalam proses kehidupan Daud, dia tidak langsung mengalami kasih setia Tuhan. Daud masa kecilnya itu dianggap remeh. Daud masa kecilnya itu direndahkan oleh saudara-saudaranya. Waktu Samuel datang untuk mentahbiskan, ya, untuk mengurapi Raja Israel pengganti Saul, Samuel bertanya kepada Isai, “Mana anak-anakmu?” Disebut, sebut, sebut, nggak ada disebut Daud awal-awalnya. Baru sudah karena Tuhan bilang “Bukan dia, bukan dia, bukan dia!”lalu barulah, “Ada lagi nggak?” Isai pun ayahnya nggak masuk hitungan, Daud. Daud itu nggak masuk hitungan ayahnya. “Oh, saya punya anak sekian!” misalnya, tujuh gitu, ya, disebut satu-satu gitu. Enggak! Nggak masuk hitungan. Baru sudah mentok, “Oh iya, ada satu anak lagi di situ!” Nah, itu tuh yang dilupakan. “Oh, iya, ada dia ya.” Ini anaknya ini tujuh saja sudah begitu, ya. Artinya apa? Bukan dia lupa, ada orang anaknya itu sampai kesebelasan,ya, Saudara sekalian. Itu kalau lupa bisa ngerti kita. Ini bukan karena dia lupa. Karena memang diabaikan! Nggak dianggap. Siapa, sih, Daud? Yang masih bungsu yang paling kecil. Tapi kemudian, kasih setia Tuhan nyata pada Daud dan kasih setia Tuhan juga nyata ketika Daud dikejar-kejar Saul, Tuhan memberikan persahabatan yang indah dengan Yonatan. Dan ini menjadi contoh, ya, kasih persahabatan yang begitu kuat seperti Kristus mengasihi kita. Saudara sekalian, dan sampai akhirnya, bahkan itu, Yonatan itu bahkan rela, -tanda petik- “rela memberikan dirinya,” mengorbankan dirinya karena kasih setianya kepada Daud. Daud sadar, dia tidak layak menerima kasih setia Tuhan, tetapi dia menerimanya.

Saudara sekalian, Daud adalah salah satu contoh tokoh di mana kasih setia Tuhan itu ketika menyertai seseorang, maka kasih setia Tuhan itu menopang, menyelamatkan, dan melindungi, menyembunyikan kita. Apa yang menjadi dasar kekuatan bagi orang Kristen ketika mengalami krisis kehidupan? Yang pertama, kasih setia Tuhan yang menopang. Kita lihat ayat 8. Mari kita baca bersama-sama, Mazmur 31:8, ya, Saudara sekalian. Demikian firman Tuhan, “Aku hendak bersorak-sorak dan bersukacita karena kasih setia-Mu, sebab Engkau telah menilik sengsaraku.” Saudara sekalian, kasih setia Tuhan itu menopang di dalam istilah aslinya, Hesed itu bisa berarti dependable love. Kasih yang dapat diandalkan. Kasih yang menopang, yang memampukan kita untuk berdiri tegak. Kasih yang membuat kita untuk bisa berjalan menjalani hari-hari kita di tengah segala krisis kehidupan.

Saudara sekalian, di dalam ayat 1-9, ada gambaran yang indah tentang bagian yang pertama ini. Kasih setia Tuhan yang menopang ini digambarkan seperti gunung batu, bukit. Kita bisa melihatnya ini di ayat 3-4. ”Arahkanlah telinga-Mu kepadaku, bersegeralah lepaskan aku. Jadilah bagiku gunung batu, tempat perlindungan, kubu pertahanan untuk menyelamatkan aku. Sebab Engkaulah bukit batuku dan pertahananku, dan demi nama-Mu, tuntunlah dan bimbinglah aku.” Saudara sekalian, gunung batu, bukit, benteng, itu satu yang tidak bisa ditembus. Di zaman dulu, ya, membangun bukit atau benteng pertahanan itu biasanya di tempat yang tinggi. Di tempat yang tinggi, mengapa? Karena tempat yang paling sulit untuk dijangkau, sulit untuk diserang. Di tempat yang tinggi itu, sederhananya, Saudara, liat pun tempatnya itu tinggi, lihat itu ada istana atau benteng di situ, kita sudah malas untuk datang, ya.

Saudara sekalian, saya berapa waktu yang lalu, udah lama ya, berapa ya, 2 tahun lalu kalau nggak salah, ya, bersama dengan pemuda itu naik Gunung Andong, ya. Gunung Andong itu gunung di Magelang, ya. Itu gunung yang bagus untuk pemula, kalau mau naik silakan, ya, tapi harus siap, ya. Gunung Andong itu nggak terlalu tinggi, seribu tujuh ratusan. Naik kalau jalan santai mungkin 1,5 jam gitu, ya, atau paling lama pun 2 jam. Itu nggak terlalu tinggi, kami naik subuh-subuh supaya lihat sunrise, ya, di puncak gunung. Tapi gimana pun, naik gunung harus persiapannya tuh double walaupun itu gunung sederhana. Saya sebenarnya sudah gampang aja bilang ke yang lain, “Ah, gampang ini, cuma satu setengah jam, nggak terlalu inilah,” gitu. Tapi, namanya naik gunung, kalau kita nggak siap, pasti ada aja yang muntah, pusing. Saya sebenarnya waktu itu jantung saya deg-degan banget karena adrenalin naik, kan, deg-degan begitu, ya, tapi saya biasa menampilkan stay cool aja, biasa senyum, ya, apalagi kalau lihat yang kesusahan, ”Wah, semangat-semangat,” padahal deg-deg-deg karena udah lama nggak gerak jalan, nggak jalan. Jadi, itu ngos-ngosan sebenarnya, tapi berasa kuat aja. Lalu akhirnya minum, duduk, gitu ya. Gimana pun ketika di tempat tinggi, Saudara sekalian, itu persiapannya harus berkali-kali lipat. Perang di tempat yang datar itu lebih mudah, tapi bagaimana mengepung benteng yang di atas? Berkali-kali lipat persiapannya. Apalagi yang di atas itu gampang, tinggal jatuhin batu aja, kena satu orang, lalu orang yang jatuh kena batu itu kena lagi orang lain, sudah menggelinding jatuh semuanya.

Benteng pertahanan di tempat yang tinggi, yang tidak mudah untuk ditembus dan di tempat tinggi itu membuat musuh itu, membuat lawan itu sudah ketakutan dan tidak tergoncangkan. Ini gambaran kasih setia Tuhan, Saudara sekalian. Kasih setia Tuhan yang dapat diandalkan itu membuat kita tidak tergoncangkan dan bukan hanya itu, kasih setia Tuhan itu bukan hanya menopang kita untuk bisa bertahan, tapi ayat 8 dikatakan, ”Bahkan untuk bersorak-sorai dan bersukacita”. Bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk bersorak-sorai dan bersukacita. Saudara sekalian, ini indah sekali. Mazmur di dalam kelemahan, di dalam dukacitanya, di dalam kesesakan jiwanya, tidak mengatakan-ini bukan berarti, ya, Saudara sekalian, seperti- ”Aku kuat, aku bisa, kok, menghadapi ini semua!” Bukan! Orang Kristen nggak pernah diajarkan seperti itu.

Alkitab jujur di hadapan Tuhan menyatakan, ”Aku mau diluputkan, ya Tuhan.” Sukacita ini juga bukan berarti ketika dukacitanya hilang barulah aku bersukacita. Bukan! Bukan sukacita yang dimaksud bukan ketiadaan duka. Bukan! Bukan juga, waktu misalnya, oh, pura-pura menipu diri. ”Aku lagi susah, tapi aku harus suka, aku harus suka!” Bukan! Bukan seperti itu. Jadi, apa artinya di sini? Pemazmur bersuka di tengah dukanya. Ini sesuatu yang mungkin sulit kita pahami. Kita sering kali either-or, ya, kita nggak pernah melihat sesuatu yang dua hal itu seperti bertentangan itu bisa dalam satu kesatuan. Ini paradoks di dalam kehidupan Kristen. Kehidupan sukacita Kristen bukan ketiadaan dukacita. Sukacita Kristen adalah suka yang melampaui dukacita, yang bahkan lebih dikuatkan lagi di dalam dukacita.

Bersuka di dalam Allah berarti mengingat siapa diri kita di hadapan Allah, siapa Allah, dan apa yang sudah Dia kerjakan di dalam hidup kita. Bersuka dalam krisis hidup justru terjadi ketika kita di dalam duka. Bersuka justru terjadi ketika kita di dalam duka. Saudara sekalian, Alkitab tidak mengajarkan kita untuk menipu diri dan tidak mengajarkan kita untuk terus selalu kuat. Kita harus dengan jujur, ketika kita mengalami kelemahan, “Saya mengalami kelemahan, saya sakit hati, saya susah.” Tapi Saudara sekalian, orang Kristen sejati yang mengalami kasih setia Tuhan, di dalam duka, ada suka. Di dalam kesedihan ada sukacita yang melimpah-limpah.

Saudara sekalian, kita ingat Yeremia. Yeremia adalah nabi yang ratapannya begitu banyak. Sudara sekalian, dia beberapa kali dalam hidupnya meratapi hari lahirnya. Yer. 15:10 ini salah satu ayat saja “Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku, seorang yang menjadi sasaran perbantahan dan pertikaian bagi seluruh negeri. Aku tidak mengutangi ataupun berhutang kepada siapa pun, tetapi mereka semua mengutuki aku.” Celakalah aku, celakalah hai ibuku engkau melahirkan aku. Yeremia mengalami titik krisis yang begitu berat. Dia mengutuki kelahiran hidupnya. Siapa Yeremia Saudara sekalian? Dia seorang nabi Tuhan, tetapi begitu banyak kesusahan, putus asa dan mungkin bahkan pelayanannya tidak seperti yang diharapkan. Tuhan sendiri mengatakan kepada Yeremia di Yer. 1:5 dan seterusnya. “Aku sudah membentuk engkau dari rahim ibumu dan aku menempatkan perkataanku kepadamu.” Tuhan sudah mengatakan seperti ini, tetapi dia nabi yang meratap. Begitu banyak kesusahan, begitu banyak kesedihan. Saudara sekalian, tapi, kisah Yeremia itu hanya sebagian. Tapi ada ayat dari Yeremia yang terus bisa menguatkan dan meneguhkan kita dan juga sudah digubah menjadi lagu himne yang indah. Rat. 3:22-23 demikian firman Tuhan “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi;besar kesetiaan-Mu!”. Ayat yang indah ini muncul dari seorang yang luka begitu berat. Besar kasih setia Tuhan selalu baru tiap pagi.

Saudara sekalian, bersuka di dalam topangan kasih setia Tuhan terjadi justru dikuatkan di tengah-tengah krisis kehidupan kita. Saudara sekalian, mari kita kembali mengingat betapa besar kasih setia Tuhan yang menopang kita. Ketika kita mengalami kesusahan, sedikit renungkan, kita masih bisa bernafas, kita masih bisa berdiri, semua hanya karena kasih setia Tuhan dan bersukalah di dalam-Nya. Yang kedua, Saudara sekalian, kasih setia Tuhan yang menyelamatkan. Mari kita lihat Mzm. 31:17, kasih setia Tuhan yang menyelamatkan. Saya membacakannya bagi Saudara sekalian, Mzm. 31:17. “Buatlah wajah-Mu bercahaya atas hamba-Mu, selamatkanlah aku oleh kasih setia-Mu!”. Di dalam istilah lain dari hesed itu bisa diartikan sebagai kasih yang murah hati. Kasih murah hati, kemurahan hati Tuhan. Saudara sekalian, kita bisa melihat dari ayat 10-19, ada dua wajah disitu. Ada dua wajah yang bisa kita lihat dari ayat 10-19. Yang pertama yaitu wajah yang lain. Wajah yang lain di ayat 12 dikatakan mencela. Di ayat 12 mengalienasi, melupakan, menggosipin, bahkan mencelakakan, itu wajah yang lain. Wajah yang lain, memberikan kesusahan dan secara aktif menyusahkan, tapi wajah Tuhan, wajah Tuhan, kita bisa lihat di ayat 17. “Wajah-Mu bercahaya atas hamba-Mu.” Wajah Tuhan itu melepaskan, menyelamatkan, dan menghargai, menghormati. Saudara sekalian, betapa besar kasih setia Tuhan. Dia yang murah hati, dia menyinari kita dengan wajah-Nya. Wajah Tuhan menyinari kita. Itu adalah berkat terbesar yang mungkin pernah bisa kita alami di dalam hidup kita. Kita mengalami cahaya wajah Tuhan. Artinya apa? Di dalam tafsirannya Bilangan 6:25-26, ada yang mengatakan begini “Ketika Tuhan menghadapkan wajah-Nya kepada kita, itu artinya kita menjadi favoritnya. Menjadi favoritnya Tuhan.”

Wah, Saudara sekalian, siapa kita menjadi favorit Tuhan? Kita orang berdosa, kita musuhnya Tuhan, tapi dia menghadapkan wajah-Nya, dia memfavoritkan kita. Favorit Tuhan. Anugerah Tuhan begitu besar. Ketika Dia menyembunyikan wajah-Nya, maka itu artinya kita mendapatkan murka-Nya, kita tidak diperkenan oleh Tuhan. Saudara sekalian, umat Tuhan yang menerima kasih setia Tuhan adalah favoritnya Tuhan. Maksud saya favorit bukan berarti Tuhan menyembah kita. Bukan! Tapi, Dia itu sangat menghargai kita, mencintai kita, melindungi kita dan menyelamatkan kita, melepaskan kita dengan berbagai macam cara yang mungkin sulit kita pahami.

Yang ketiga, Saudara sekalian, bagian yang terakhir yang kita renungkan di dalam kasih setia Tuhan hari ini. Kasih setia Tuhan melindungi kita. Kita lihat ayat 22. Mari kita membaca ayat ini bersama-sama. Mazmur 31:22, demikian firman Tuhan. “Terpujilah Tuhan, yang telah memperhatikan kesetiaan-Nya, yang ajaib kepadaku dalam kota yang berkubu.” “Terpujilah Tuhan, yang telah memperlihatkan kasih setia-Nya yang ajaib  kepadaku.” Di dalam terjemahan yang baru, “dalam kota yang berkubu.” Saudara sekalian, kasih-Nya yang ajaib, kasih yang melindungi. Di dalam beberapa istilah di sini yang digambarkan oleh pemazmur, yaitu di ayat 21, “menyembunyikan kita.” Menyembunyikan artinya menutup-nutupi, melindungi kita. Saudara sekalian, Tuhan yang mengasihi kita, Dia melindungi kita, Dia menyembunyikan sedemikian rupa.

Narasi Alkitab itu beberapa kali dicatat tentang bagaimana Tuhan menyembunyikan umat Tuhan. Kita ingat bayi Musa, bayi yang lemah, yang- bayi itu, itu-mudah sekali, ya, disakiti, dicelakakan mudah sekali, tetapi Alkitab mencatat bagaimana bayi Musa disembunyikan. Firaun yang menguasai daerah itu, nggak bisa menyentuh sedikit pun bayi Musa, ketika Tuhan menyembunyikannya. Padahal menyembunyikannya lewat sungai lagi, ya. Itu sungai siapa, yang kalo saya sering, saya itu di Banjarmasin, ya, di Kalimantan tu kan, kota yang banyak sungai, ya. Saya cuma berani nyebur ke sungai itu cuma satu kali, Saudara seumur hidup, ya. Itu pun nekat karena nggak mikir, ya. Terus, pas sudah dikasih tahu, “Hati-hati, lho, nanti ada buaya. Hati-hati, lho, sungai itu dalam, dalam sekali.” Itu bukan kayak selokan gitu, ya. Bukan! Begitu dalam! Saya waktu itu nyebur, ya, dengan teman-teman. Bawa pelampung, ya. Nekat sekali. Saya heran kadang-kadang kalau saya lihat. Gimana saya bisa bisa berani begitu. Itu nggak ada pijakan di bawah, ya. Lalu, sungai di Kalimantan tuh masih ada beberapa tempat, kan, yang rawa-rawa ada buayanya. Bayangkan sungai Nil. Sungai Nil! Tapi, nggak ada binatang satu pun bisa menyentuh bayi itu. Firaun yang berkuasa, yang menurut itu titisan dewa, ya, menurut kepercayaan orang Mesir, nggak bisa menyentuh bayi Musa. Ketika Tuhan menyembunyikan, nggak ada satu pun orang yang bisa menyentuhnya.

Saudara sekalian, Daud berkali-kali bersembunyi, berkali-kali bersembunyi. Itu benar-benar lucu banget itu, parodi banget, ya. Itu kalau difilmkan itu bisa lucu banget itu, difilmkan, ya. Itu kisah yang ketika itu Tuhan menyembunyikan, jubah terpotong pun nggak dapat dirasakan Saul. Ketika Tuhan menyembunyikan. Ingat Elia, Saudara sekalian. Elia. Elia disembunyikan Tuhan di sungai Kerit. Ketika kekeringan, Tuhan menyembunyikan, memelihara Elia. Dan, Tuhan memakai Obaja, menyembunyikan nabi-nabi Tuhan. Itu sampai Raja Ahab, Izebel yang kuasanya begitu besar-Obaja itu orang istana-itu nggak bisa menemukan nabi-nabi Tuhan disembunyikan oleh Obaja, ya. Ketika Tuhan menyembunyikan, nggak ada seorang pun bisa menemukan. Saudara sekalian, Yoas, Yoas, Atalia itu mau menghabisi keturunan raja dan salah satunya Yoas. Kemudian itu ada pembantunya, ya, saya sebut pembantunya itu menyembunyikan Yoas. berapa lama? 6 tahun di rumah Allah. 6 tahun, Saudara sekalian. Nggak ada satu pun yang bisa menemukan. Atalia dikatakan di ayat itu begitu- itu sindiran ya, “sementara Atalia memerintah Israel” -itu ditertawakan sekali. Itu lucu, memerintah Israel tapi ada satu orang nggak bisa ditemukan, ya. 6 tahun, bayi itu gimana bisa disembunyikan 6 tahun di rumah Allah, apalagi kalo bayinya itu berbakat penyanyi, ya. Itu kalau dia sekali saja malam-malam, orang sudah tenang gitu teriak “Aaaa” gitu di bait Allah itu bisa kedengeran sampai keluar, penjaga lewat, “Wih, bunyi bayi ini, bayi siapa?” Gimana bisa Tuhan jaga? Itu luar biasa sekali, nggak ditemukan. Dan Tuhan Yesus berkali-kali ketika waktunya belum tiba, orang-orang mau mematikan Dia, mau menghancurkan Dia, Dia bersembunyi karena waktunya belum tiba.

Saudara sekalian, ketika Tuhan menyembunyikan kita di dalam diri-Nya, tidak seorang pun dapat mengganggu. Iblis, krisis kehidupan, tidak akan menghancurkan kita. Ketika Tuhan menyembunyikan kita, nggak ada seorang pun yang dapat menemukan kita Saudara sekalian. Saudara sekalian, di dalam perkataan Tuhan Yesus, ya, Saudara sekalian, kita mungkin belum terlalu atau mungkin tadi sedikit sadar, ya. Saudara sekalian di dalam akhir krisis hidup Tuhan Yesus karena menanggung dosa kita, dia mengutip Mazmur 31:6. “Ke dalam tangan-Mu lah Kuserahkan nyawa-Ku.” Di dalam puncak krisis kehidupan-Nya, di akhir sebelum Dia menyerahkan nyawa-Nya. Di dalam tujuh perkataan salib, di perkataan terakhir Tuhan Yesus mengatakan, “Ke dalam tangan-Mu lah Kuserahkan nyawa-Ku.” Saudara sekalian, Kristus menyembunyikan kita yang percaya kepada-Nya di balik salib-Nya, di balik penebusan-Nya, dan tidak seorang pun bisa mengganggu kita.

Ada seorang penulis lagu, ya. Penulis lagu yang begitu indah, Augustus Toplady, ya. Yang menurut kisah ininya, ya. Ini entah benar, entah enggak. Dia menulis lagu ini ketika dia satu perjalanan, lalu kemudian ada badai. Ada hujan yang begitu kencang, lalu dia bersembunyi di balik batu, ya, di balik batu, lalu saat itulah dia terinspirasi menulis lagu yang berjudul “Rock of Ages”, Batu zaman. Saudara sekalian, ini kisahnya bisa benar, bisa enggak. Tapi, Saudara sekalian, ada kalimat yang begitu indah. Di dalam terjemahan Indonesianya, itu tidak terlalu kelihatan, ya. “Padamu batu zaman, aku minta lindungan.” Itu Indonesianya. Dalam bahasa Inggrisnya, giniRock of ages cleft for me, let me hide myself in Thee”, “Biarlah aku bersembunyi di dalam-Mu, ya, Tuhan.” Satu ungkapan yang begitu indah. Kasih setia Tuhan melindungi kita. Artinya, menyembunyikan kita dari siapapun, dari tuntutan iblis, dari dosa kita, dari krisis hidup.

Nggak ada satu pun yang bisa menghancurkan kita, ketika Tuhan menyembunyikan kita. Dan lebih lagi, siapa, sih, yang lebih berkuasa dari pada krisis hidup, daripada iblis? siapa yang lebih berkuasa? Tuhan sendiri. Dan Dia sudah menyelamatkan kita dari diri-Nya sendiri. Dia menyembunyikan kita dari diri-Nya sendiri, Saudara sekalian. Siapa yang bisa menuntut kita? Saudara sekalian, Paulus mengatakan, “Siapa yang bisa menuntut kita?” Mari kita lihat Roma 8:31-38. “Sebab itu, apa yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus, yang telah mati? Bahkan yang dibangkitkan, duduk di sebelah kanan Allah, dan memohon untuk kita? Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan, kesengsaraan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya, atau pedang? Seperti tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami dianggap sebagai domba-domba sembelihan. Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang menang, melalui Dia yang telah mengasihi kita. Sebab yakin, bahwa baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”

Saudara sekalian, ayat ini begitu indah. Ketika Tuhan melindungi kita, menyembunyikan kita, siapa yang bisa menggugat kita? Perasaan kita, dosa kita, orang-orang yang mau menyakiti kita, diri kita sendiri, bahkan Tuhan pun menyatakan belas kasihan-Nya kepada kita. Saudara sekalian, ketika Tuhan menyatakan karya penebusan-Nya di dalam Kristus, kita disembunyikan di dalam Kristus. Krisis hidup tidak akan pernah bisa menghancurkan kita. Kalau saudara sekalian kehidupan Kristen itu seperti sebuah lagu, maka kasih setia Tuhan adalah refrein yang terus menerus dinyanyikan. Ini seperti di Mazmur 136, “Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Maka, Saudara sekalian, mari kasihilah Tuhan. Kuatkan dan teguhkanlah hati untuk kita terus berharap kepada Tuhan. Bersandar kepada Kristus, bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setianya. Mari kita berdoa.

Bapa di surga, kami bersyukur, ya, Tuhan. Besar kasih setia Tuhan kepada kami yang tidak layak, kepada kami yang berdosa, kepada kami yang sering kali mengeluh, kepada kami yang sering kali melupakan Tuhan. Tapi, Engkau mengingat kasih setia-Mu kepada kami, ya, Tuhan. Kiranya Tuhan ajar kami untuk kagum. Ajar kami untuk lebih lagi mengasihi Tuhan, bersyukur dan memuji Tuhan karena besar kasih setia-Mu yang menopang kami, yang menyelamatkan kami, yang menyembunyikan kami dari segala apa pun yang pernah mungkin kami jalani, bahkan dari diri-Mu sendiri. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, kami berdoa. Amin. (AKD)

 

Comments