Kebutuhan untuk Berdoa, 18 Agustus 2024

Kebutuhan untuk Berdoa

Pdt. Dawis Waiman, M. Div

 

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ketika kita berbicara mengenai doa, saya percaya semua orang Kristen akan setuju bahwa orang Kristen harus berdoa. Ketika kita berbicara mengenai pentingnya doa, saya juga percaya semua orang Kristen akan setuju dan berkata bahwa doa itu adalah sesuatu yang penting di dalam kehidupan beriman kepada Tuhan. Karena pengertian iman sendiri itu tidak bisa lepas dari berdoa. Karena pada waktu kita berbicara “saya percaya kepada Tuhan” berarti saya menyandarkan hidup saya ke dalam tangan Tuhan dan saya menyadari bahwa segala berkat yang saya terima adalah bersumber dari Tuhan.

Itu sebabnya pada waktu kita berbicara mengenai doa, Paulus di dalam bagian ini mengajak kita untuk melihat pentingnya doa itu dari satu perkataan bahwa hendaklah setiap waktu kita berdoa dan berjaga-jaga di dalam Tuhan atau di dalam iman kita kepada Tuhan. Berarti pada waktu kita hidup sebagai orang Kristen, Paulus sendiri berkata bahwa kehidupan kita termasuk berjaga-jaga itu ada dalam kita senantiasa berdoa setiap waktu di hadapan Tuhan. Dan kalau kita kembali ke dalam Injil, kita juga akan melihat bahwa Yesus Kristus sendiri mengajarkan bahwa orang Kristen harus berdoa dan bahkan mengajar anak-anak-Nya atau murid-murid-Nya untuk berdoa secara benar di hadapan Tuhan. Kalau Bapak, Ibu bandingkan dengan surat-surat Paulus, kita akan menemukan bahwa Paulus sendiri berkata bahwa seorang yang hidupnya diperbaharui dalam iman, salah satu wujud dari kehidupan yang diperbaharui itu adalah kita memiliki relasi yang diperbaiki dengan Tuhan yang ditandai dengan kehidupan kita yang berdoa di hadapan Tuhan.

Tapi pada waktu kita berbicara mengenai hal ini, maka kita mungkin bertanya bagaimana caranya kita berdoa setiap waktu, setiap saat di dalam kehidupan kita? Dan untuk menjawab hal ini, maka ada yang menafsirkan seperti ini, berdoa setiap saat, setiap waktu, itu bukan sesuatu yang berarti saya di dalam 24 jam dalam 7 hari selalu berdoa dalam hidup saya tanpa memikirkan hal-hal lain dalam hidup saya. Maksudnya adalah sejak dari bangun tidur saya sudah mulai berdoa, sampai saya mau tidur saya terus berdoa sepanjang hari tanpa memiliki kesempatan untuk berpikir pada hal-hal lain di dalam kehidupan ini. Bersyukur sekali pada waktu kita berbicara mengenai hal ini, maka ada contoh-contoh di dalam Kitab Suci yang menyatakan berdoa terus menerus itu bukan berarti bahwa dari pagi sampai malam sepanjang 7 hari kita bekerja, kerjanya hanya berdoa saja. Kalau kita melakukan hal itu, maka saya percaya semua hal-hal lain yang jadi tanggung jawab kita akan terbengkalai, nggak ada satu pun yang selesai karena semuanya harus digunakan untuk berdoa dan tidak ada kesempatan yang lain.

Itu sebabnya ada penafsir-penafsir yang ketika mempelajari makna dari “setiap saat, setiap waktu” ini mereka kemudian menemukan ternyata bahasa Yunaninya bukan berbicara 24 jam setiap harinya harus berdoa. Tetapi kalau kita gunakan satu ilustrasi itu seperti orang yang batuk. Pada waktu seorang batuk, tentunya ada yang batuk walaupun ketika batuk bisa berturut-turut seperti itu, tetapi setelah batuk sementara waktu pasti ada jedanya sebentar, lalu batuk lagi, jeda lagi, batuk lagi, jeda lagi seperti itu. Maksudnya bagaimana? Maksudnya adalah pada waktu kita berdoa yang penting adalah bukan 24 jam 7 hari itu kita terus berdoa dalam hidup kita, tetapi kita akan mengingat ada momen-momen tertentu yang membuat kita teringat akan Tuhan dan pada waktu kita teringat akan Tuhan di situlah kita langsung menaikkan doa kita di hadapan Tuhan.

MacArthur sendiri memberikan satu contoh, misalnya pada waktu kita mengalami hidup yang ada dalam pencobaan. Pada waktu kita mengalami pencobaan apa yang kita lakukan? Saat itu dia berkata “Hal pertama adalah ingat Tuhan, doa kepada Tuhan minta kekuatan dari Tuhan.” Pada waktu kita mengalami sesuatu yang membawa suka cita dalam hidup kita, apa yang kita lakukan? Saat itu langsung ingat Tuhan lalu menaikkan syukur di hadapan Tuhan. Pada waktu kita mengalami sakit misalnya, langsung pada waktu itu kita ingat Tuhan terlebih dahulu lalu berdoa minta belas kasih Tuhan ataupun kesembuhan dari Tuhan dan kekuatan dari Tuhan. Pada waktu kita bertemu dengan suatu kehidupan yang jatuh di dalam dosa, pada waktu itu apa yang kita lakukan? Langsung ingat Tuhan, minta Tuhan pengampunan dari Tuhan dan mengalami pertobatan dan kembali kepada Tuhan. Pada waktu kita melihat saudara kita yang belum percaya kepada Tuhan, apa yang kita lakukan? Saat itu langsung berdoa di hadapan Tuhan meminta Tuhan untuk boleh membawa dia mengerti kebenaran dan mengenal Kristus dalam kehidupan kita. Jadi ada momen-momen tertentu setiap kita teringat sesuatu, ketika kita mengalami sesuatu dalam hidup kita di saat itulah kita berdoa kepada Tuhan. Ini membuat kehidupan kita selalu dibawa untuk berada di hadapan Tuhan, berdiri di hadapan Tuhan dan peka akan kehadiran Tuhan di dalam kehidupan kita; yang dimaksud dengan berdoa setiap waktunya.

Tetapi pada waktu kita melihat kepada kebenaran ini lalu kita bandingkan sendiri dengan perkataan Kristus berkaitan dengan suatu perintah doa yang perlu dilakukan dan teladan Kristus sendiri ketika Dia berdoa, lalu kita bandingkan dengan kehidupan kita; bahkan saya sendiri menyadari ketika kita membandingkan semua itu mungkin kehidupan doa kita sangat jauh sekali daripada kebenaran itu atau kehidupan dari orang-orang yang sangat rohani ini dalam kehidupan mereka. Nah pada waktu kita merenungkan ini, saya mengajak Bapak, Ibu melihat, tujuannya bukan membuat kita merasa bersalah dengan satu tuduhan di dalam kehidupan kita. “Oh, saya minim sekali dalam doa. Saya jauh sekali dari kebenaran Tuhan dalam kehidupan saya berdoa di hadapan Tuhan.” Tetapi yang saya mau ajak Bapak, Ibu melihat dari perspektif yang berbeda. Pada waktu kita diminta untuk berdoa kepada Tuhan, tujuannya untuk apa? Dan ketika bicara ini, saya mau kita melihat dari perspektif ternyata kenapa kita perlu berdoa, karena kita membutuhkan doa dari saudara seiman kita dan saudara seiman kita membutuhkan doa dari diri kita.

Agak aneh ya mungkin ya. Karena sering kali di dalam kita bicara mengenai doa, yang diangkat adalah perintah Tuhan, yang diangkat adalah kita adalah manusia baru. Sebagai manusia yang sudah dicipta barukan, punya relasi yang diperbarui, komunikasi yang diperbarui,  karena manusia lama terputus hubungannya dengan Tuhan sehingga kita perlu berdoa di hadapan Tuhan sebagai satu tanda kita adalah manusia yang baru di hadapan Tuhan. Tetapi jarang sekali mungkin kita melihat bahwa kebutuhan doa bukan hanya berbicara satu perintah, yang di mana kita berelasi dengan Pribadi Allah secara pribadi, tapi kita perlu melihat juga dalam perspektif bahwa saudara-saudara seiman kita, yang ada di dalam gereja, itu membutuhkan doa kita. Hamba Tuhan yang melayani di dalam gereja, siapa pun itu, membutuhkan doa kita. Lalu kita sendiri bagaimana? Kita pun membutuhkan doa dari hamba Tuhan dan saudara seiman kita. Jadi itu sebabnya pada waktu kita berbicara mengenai doa ini, saya mau ajak kita melihat dari bagian yang kita bisa kerjakan di dalam kerajaan Tuhan, tanggung jawab kita terhadap saudara seiman kita yang Tuhan berikan kepada diri kita.

Paulus sendiri pada waktu dia hidup, dia sangat menyadari kebutuhan hal ini. Kalau  Saudara melihat kehidupan dari Rasul Paulus, mungkin kita akan berkata dia adalah orang yang luar biasa sekali. Seorang yang kuat, seorang yang perkasa, seorang yang tidak pernah menyerah di dalam kehidupannya, seorang yang selalu hidup tanpa kata istilah “putus asa” sepertinya, mau batu melayang kepada dirinya, mau cambukan menghantam punggungnya, mau kapal yang karam, mau gempa bumi mungkin, mau pedang ada di hadapan atau menempel di lehernya, dia adalah orang yang begitu berani dan tidak pernah berputus asa atau mundur dari pelayanan. Seolah-olah kalau kita membaca kehidupan Paulus, dia adalah orang yang begitu ingin mati bagi Tuhan dan menyatakan satu kehidupan yang penuh dengan keberanian, seolah-olah dia adalah orang yang tanpa cacat, tanpa cela sama sekali. Dan bagi orang seperti ini, mungkin yang kita pikirkan adalah kita membutuhkan doanya. Bukan sebaliknya bukan?

Tetapi menarik sekali pada waktu kita melihat dalam bagian ini, Saudara boleh membaca misalnya di dalam ayat yang ke-18 dan 19, ketika Paulus berkata “dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus.”, Paulus mencantumkan satu kalimat pendek yang penting sekali, saya percaya, yaitu “juga untuk aku”. Lalu kalau Bapak, Ibu bandingkan dengan ayat yang ke-21, di situ dikatakan bahwa Paulus juga mengutus Tikhikus untuk pergi dan melayani jemaat yang ada di Efesus. Lalu kalau kita tanya, untuk apa Tikhikus diutus oleh Paulus kepada jemaat di Efesus? Di sini dikatakan, “untuk mengetahui keadaan dan hal ihwalku maka Tikhikus aku utus kepadamu”.

Dulu pada waktu saya membaca bagian ini, saya berpikir bahwa pada waktu Tikhikus diutus ke sana, tujuannya adalah untuk memperkenalkan Paulus, untuk memberitahu kepada jemaat di Efesus apa yang telah dikerjakan oleh Paulus, bagaimana dia dipakai oleh Tuhan secara luar biasa untuk memenangkan orang-orang untuk bertobat dan kembali kepada Kristus, bagaimana dia berjuang menghadapi orang-orang Yahudi yang melawan diri dia, bagaimana begitu banyak penderitaan yang dia alami dalam kehidupannya untuk melayani Kristus. Supaya apa? Supaya diterima oleh jemaat Efesus. Tapi pada waktu saya merenungkan kembali bagian ini, saya menemukan satu pengertian bahwa ternyata Tikhikus diutus bukan hanya berbicara mengenai pencapaian-pencapaian yang dilakukan oleh Paulus, tapi ada yang menafsirkan supaya jemaat Efesus mengerti pergumulan Paulus, kesulitan Paulus, tantangan yang Paulus hadapi dalam hidupnya, dan juga pergumulan-pergumulan lain yang Paulus alami agar jemaat Efesus turut mendoakan Paulus. Itu yang menjadi dasar kenapa Paulus mengatakan hal ini.

Lalu kalau Saudara perhatikan juga, di dalam ayat yang ke-11 dan 12, menarik sekali yang Paulus katakan, ya. “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat iblis.” Siapa yang harus bertahan melawan tipu muslihat iblis? Jemaat Efesus sepertinya kan? Lalu ayat 12, ada satu perubahan yang besar terjadi dalam kalimat Paulus, “Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” Jadi pada waktu Paulus berkata, “Engkau harus mengenakan perlengkapan senjata Allah.” Lalu siapa saja yang harus memakai perlengkapan senjata Allah? Ayat 11 seperti hanya mengatakan, “Jemaat harus mengenakan perlengkapan senjata Allah.” Paulus bagaimana? Pendeta bagaimana? Hamba Tuhan bagaimana? Seolah-olah punya level rohani yang di atas, yang nggak perlu melakukan hal itu karena sudah kuat, seperti itu. Tetapi Paulus berkata, enggak! Kita pun, kami pun, harus mengenakan perlengkapan senjata Allah, dan kenapa? Karena perjuangan kita bukan melawan dunia saja dan manusia, tetapi perjuangan kita adalah melawan pemerintah, penguasa, iblis, dalam kehidupan kita.

Jadi dari sini Paulus mau mengajak kita melihat pada satu pengertian, ternyata walaupun kita membaca Paulus sepertinya orang yang perkasa dan kuat seperti itu, orang yang tidak pernah patah semangat, sepertinya seorang yang bahkan berani mati di hadapan Tuhan, dan memperkatakan kalimat-kalimat yang begitu tegas akan doktrin Firman Tuhan, ternyata dia bukan seorang super hero. Dia bukan orang yang perkasa. Orang yang tidak ada celah sama sekali, atau orang yang tidak punya kekurangan sama sekali. Alkitab memberikan ciri-ciri dari kehidupan Paulus yang mungkin kita bisa baca, sebagai satu dasar untuk mengerti ternyata Paulus pun adalah orang yang sangat-sangat membutuhkan penguatan dari Tuhan dan doa dari jemaat Tuhan.

Ambil contoh adalah kalau Bapak, Ibu buka di dalam surat 1 Tim. 1:15-16, di situ Paulus berkata bahwa, kepada Timotius, bahwa dia adalah orang yang paling berdosa di antara orang yang berdosa. Kita punya konsep tentang imam, tentang nabi, tentang rasul, itu sangat berbeda sekali dengan satu pemahaman bahwa imam atau nabi dan rasul tidak berdosa. Tapi di dalam Kekristenan, Alkitab sendiri menyatakan dari pribadi orang tersebut sendiri, yang mengatakan kalau dirinya adalah orang yang berdosa. Kalau Saudara bandingkan dengan surat Efesus, maka di situ Saudara akan mendapatkan kalau Paulus sendiri berkata, “Aku adalah orang yang paling hina dari antara orang-orang kudus.” Dan kalau Saudara baca dari surat Korintus, maka Saudara akan menemukan kalau dia adalah orang yang paling hina dari antara para rasul.

Jadi pada waktu Paulus melihat dirinya sendiri, dia tahu sekali bahwa dirinya adalah orang yang berdosa, orang yang lemah, orang yang begitu rentan sekali untuk jatuh dan dicobai oleh iblis dalam kehidupan dia. Dan pada waktu kita berbicara mengenai hal ini, apakah itu berarti bahwa kita sebagai manusia perlu mengungkapkan dosa kita, kerentanan kita seperti ini, seperti apa yang dilakukan oleh Paulus? Saya percaya bukan seperti itu. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pada waktu kita berbicara mengenai diri kita, ada satu hal yang kita perlu catat baik-baik. Kita adalah orang berdosa, kita akan mengakui hal itu secara umum, tetapi biasanya kita tidak mengakuinya secara aplikatif dalam hidup kita. Maksudnya adalah begini, kalau Bapak, Ibu ditanya oleh seseorang mengenai siapa diri Bapak, Ibu, apa yang sudah dilakukan oleh Bapak, Ibu, Saudara semua, kalimat pertama yang muncul dari mulut kita adalah prestasi yang kita lakukan, pencapaian yang kita kerjakan, atau kalimat pertama “saya adalah orang yang berdosa”? Saya kira jarang sekali ada orang yang berkata “saya adalah orang yang berdosa”, “saya adalah orang yang paling berdosa di antara semua orang berdosa yang lain”. Kenapa? Karena kita sering mengukur diri kita dengan kacamata dunia, prestasi dan pencapaian, sebagai satu tolak ukur “saya adalah orang yang baik”, ”saya adalah orang yang benar”, “saya adalah orang yang penting”, “orang yang tidak seperti saya, kayaknya seperti orang Farisi adalah orang-orang berdosa”.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, sekali lagi pada waktu kita berbicara mengenai hal ini, tujuannya bukan untuk mengadakan pengakuan. Tetapi saya mau ajak kita untuk melihat keberdosaan diri kita, itu membuat kita ada di dalam satu kerentanan untuk berusaha menutupi keberadaan kita di dalam dosa, dan memanipulatif kondisi kita, sehingga kita merasa diri kita benar dan baik. Tetapi Paulus berkata, nggak! Kita adalah orang yang berdosa, kita bukan orang yang kuat, perjuangan kita bukan melawan darah dan daging tapi perjuangan kita adalah melawan penguasa, pemerintah yang ada di dalam angkasa ini. Sehingga kita perlu berhati-hati dan kita perlu menyadari akan kelemahan kita dan kerentanan kita ini. Itu poin pertama.

Yang kedua adalah, saya bukan bertujuan sepertinya dengan satu hati menghakimi Paulus seperti itu, saya gentar sekali ketika merenungkan bagian ini karena dia adalah orang yang begitu luar biasa, dia adalah pengikut Tuhan yang begitu setia. Dia betul-betul belajar menyangkal diri, memikul salibnya, mendisiplin dirinya, tidak memberi celah untuk orang menghina Tuhan melalui kehidupan iman dan pekabaran Injil yang dia lakukan dalam hidup dia. Tetapi kita juga melihat bahwa ada bagian lain yang Paulus katakan mengenai diri dia; ternyata dia adalah seorang yang bukan hanya tidak perkasa, tetapi dia adalah orang yang memiliki kerentanan untuk meninggikan diri dia. Atau di dalam bahasa yang lebih literal, Paulus ada kecondongan untuk menyombongkan diri dan besar kepala.

Lho kok bisa ya? Kalau kita baca di dalam Kisah Para Rasul, atau di dalam surat-surat Paulus kayaknya di dalam Roma atau kepada Timotius, di situ banyak sekali kan kalimat-kalimat Paulus yang berkata kita harus menerima saudara kita yang lemah. Coba Bapak, Ibu baca di dalam ilustrasi yang Paulus katakan mengenai karunia Roh yang ada di dalam roh orang Kristen, ada orang yang dikaruniakan karunia sebagai kepala, ada orang yang dikaruniakan karunia sebagai tangan, ada yang menjadi telinga, atau ada yang menjadi kaki, atau ada yang orang yang memiliki karunia yang begitu hina sekali di antara semua dari jemaat Tuhan. Misalnya kalau kita di dalam gereja ini, siapa yang paling terhormat karunianya? Orang akan mempunyai kecondongan yang melayani mimbar. Makanya banyak orang yang – kebetulan Reformed nggak seperti itu ya, bersyukur – tapi umumnya orang kalau disuruh tampil senang sekali, karena menjadi tontonan. Apalagi kalau dia punya wibawa dan dia punya kemampuan untuk berbicara dan mempengaruhi jemaat. Mungkin dia akan menjadi orang yang terkenal di dalam jemaat. Tapi coba Bapak, Ibu, pernah nggak perhatikan siapa yang menyapu lantai gereja setiap hari? Yang tiap kali kalau Bapak, Ibu pulang dari gereja, berantakan semua kertas-kertas ada di mana-mana, lantai kotor, yang setiap hari harus dibersihkan terlebih dahulu. Itu karunia yang terhormat bukan? Kadang-kadang kita berpikir itu adalah karunia bagi orang-orang yang rendah posisinya. Orang pejabat di dalam gereja, itu nggak layak untuk mengerjakan hal itu, nggak perlu mengerjakan hal itu sama sekali.

Makanya saya pernah dengar satu kalimat dari satu jemaat, ini kebetulan di Solo ya, kita kan ada PHTD dan biasanya kalau selesai PHTD, itu Pembinaan Hamba Tuhan Daerah ya, kadang-kadang orang piring taruh di mana, cangkir taruh di mana, bawa kopi atau teh aja bisa tumpah-tumpah kayak gitu, di tengah jalan kayak gitu, benar-benar berantakan sekali. Lalu dia ngomong kayak gini, “Pak Dawis, kalau Bapak bisa didik mereka, supaya rapi, nggak ada yang tumpah, orang habis makan taruh di dalam sampah, sisa piring segala macam, habis makan kalau perlu dicuci, cuci sendiri, hebat.” Saya bukan menghina hamba Tuhan daerah ya, tapi itu ada faktor budaya tentunya ya. Cuma, maksud saya adalah kayak gini, kita suka berpikir bahwa keberadaan kita itu sebagai keberadaan yang penting. Dan kita yang diperlukan adalah orang yang melayani diri kita, bukan kita melayani orang, bukan kita melayani keadaan yang ada. Karena apa? Yang dilayani lebih penting daripada yang melayani kan? Yesus bertolak belakang sekali Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, Yesus melihat yang melayani itu lebih penting dari yang dilayani. Dan Dia datang bukan untuk dilayani, tetapi Dia datang untuk melayani.

Jadi pada waktu kita berbicara mengenai karunia, Paulus berkata pada waktu kita melihat karunia yang besar, karunia yang kecil, siapa yang harus diutamakan di dalam gereja? Paulus bilang bukan yang banyak tapi yang sedikit itu, yang kecil itu harus diperhatikan. Rendah hati nggak? Baik nggak? Teladan kan? Tapi menarik sekali kalau Bapak, Ibu buka di dalam 2 Kor 12:7, kita baca sampai ayat ke-10 ya, kita baca bersama-sama ya, “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan  dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.”

Amin? Kok lemah banget? Amin? Puji Tuhan, ya? Dalam bagian ini Paulus mau ngomong apa? Dia bilang kenapa Tuhan memberikan dia duri dalam daging? Kalau Bapak, Ibu baca di dalam ayat sebelumnya, karena Paulus pernah diangkat ke surga tingkat ketiga. Dan pada waktu dia berbicara tentang hal ini, dia berbicara kepada jemaat Korintus yang meninggikan rasul-rasul palsu yang ada di dalam gereja. Mereka yang merasa diri mereka rohani, hebat, lebih hebat dari Paulus dengan segala penglihatan yang mereka miliki atau karunia yang mereka miliki dalam hidup mereka, yang menjadi satu daya tarik besar bagi jemaat untuk mulai meninggalkan Paulus dan mengikuti mereka. Tapi Paulus bilang kayak gini, “Aku nggak kalah loh sama kalian, rasul-rasul palsu itu. Aku bahkan memiliki penglihatan juga dalam hidupku. Dan penglihatanku itu adalah aku dibawa ke surga!” Dalam konsep orang Ibrani, tingkat ketiga itu adalah yang tertinggi di mana Tuhan berada, lapisan yang tertinggi. Jadi Paulus berkata, “Aku sendiri diangkat ke surga untuk melihat hal-hal yang ada di dalam surga. Kalau aku mau bermegah, aku bisa bermegah atas semua itu. Tapi aku nggak mau!” Karena apa? Karena Tuhan kasih duri dalam daging. Maksudnya adalah dia nggak mau karena dia sadar satu hal: Tuhan tidak izinkan dia untuk menyombongkan diri karena penglihatannya itu.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, duri dalam daging itu apa? Ya kita mungkin bisa banyak macam ngomongnya, ya. Apakah dia sakit mata ataukah dia sakit fisik kayak gitu, atau dia punya kelemahan-kelemahan yang lain dalam hidup dia. Tapi salah satu hal yang mungkin kita bicara duri dalam daging itu adalah satu hal yang Tuhan izinkan atau sesuatu yang terjadi di dalam hidup kita yang akan melekat dalam hidup kita untuk menyadarkan kalau kita bukan siapa-siapa. Atau bahkan mempermalukan kita begitu rupa, membuat diri kita, merasa diri kita nggak berharga sama sekali seumur hidup kita. Bisa jadi seperti itu supaya kita tidak menyombongkan diri kita.

Tapi pada waktu kita berkata seperti ini sumbernya dari mana? Sumbernya dari siapa? Iblis? Kalau sumbernya dari iblis, Paulus berdoa sama siapa? Tuhan, kan? Lalu Paulus minta Tuhan untuk lakukan apa? Singkirkan duri dalam daging yang katanya bersumber dari iblis itu. Lalu siapa yang nggak mau menyingkirkan duri dalam daging itu? Tuhan atau iblisnya? Tuhannya. Kalau Tuhannya mau menyingkirkan, iblis bisa buat apa? Nggak bisa buat apa-apa, kan? Tapi karena Tuhan tidak mau menyingkirkan maka duri dalam daging itu ada terus bersama dengan Paulus supaya dia belajar untuk merendahkan diri dia di hadapan Tuhan dan mungkin juga ketika dia berelasi dengan orang-orang yang percaya yang lain. Jadi sumber duri dalam daging dari siapa? Tuhan bukan? Tuhan menggunakan pribadi atau penyebab kedua untuk mencobai orang percaya supaya orang percaya belajar merendahkan diri di hadapan Tuhan. Mungkin bisa seperti itu.

Jadi pada waktu kita berbicara mengenai Paulus, siapa Paulus? Kenapa dia membutuhkan doa dari orang-orang percaya? Satu sisi karena dia tahu dia adalah orang yang lemah, dia bukan orang yang perkasa. Tapi di sisi lain dia juga tahu bahwa dia punya satu kerentanan di dalam hidup dia kalau dia bisa meninggikan diri. Atau ada yang menggunakan penafsiran yang lebih literal, yang lebih bebas, itu berkata yang tadi, saya, kalimat: Paulus merasa dia punya kecenderungan untuk menyombongkan diri dia. Itu membuat Tuhan harus memberi duri dalam daging dia, supaya dia merendahkan diri dia di hadapan Tuhan dan di dalam pelayanan yang dia lakukan. Itu aspek yang kedua.

Yang ketiga adalah Paulus juga kelihatannya adalah seorang yang memiliki kerentanan untuk mengalami depresi di dalam hidup dia. Bapak, Ibu boleh buka di dalam 2 Kor. 10:10 dulu. 2 Kor. 10:10, “Sebab, kata orang, surat-suratnya memang tegas dan keras, tetapi bila berhadapan muka sikapnya lemah dan perkataan-perkataannya tidak berarti.” Lalu kita buka 1 Kor. 2:3, “Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar.” Lalu kita balik lagi ke 2 Kor. 1, Saudara boleh sebenarnya baca dari ayat yang pertama di situ, tapi kita baca dari ayat yang ke-8 saja sampai ayat yang ke-11. 2 Kor. 1:8, “Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati. Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi, karena kamu juga turut membantu mendoakan kami, supaya banyak orang mengucap syukur atas karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pada waktu kita melayani, saya yakin sekali, setiap orang yang melayani mengerti artinya keputusasaan. Setiap orang yang sungguh-sungguh melayani mengerti artinya ketidakmampuan untuk mengubah sesuatu. Setiap orang yang melayani pasti pernah dihakimi dalam hidup mereka yang membuat mereka tidak punya kuasa untuk membela diri di dalam menghadapi hal itu. Setiap orang yang melayani pasti pernah, paling tidak, mencicipi artinya depresi di dalam kehidupan mereka. Salah satu orang yang mungkin bisa dikatakan sebagai pengkhotbah yang terhebat sekalipun tidak rentan akan hal ini. Kalau kita perhatikan di dalam bagian ini, Paulus. Tapi kalau Saudara mau bandingkan juga, ada yang namanya Spurgeon.

Siapa Spurgeon? Seorang pengkhotbah raksasa di Inggris. Tapi selama hidup dia sampai mati, dia mengalami depresi lho. Kadang-kadang ketika dia mengalami depresi, dia nggak bisa berkhotbah selama berbulan-bulan dalam hidup dia. Tapi menarik sekali, pada waktu dia mengalami depresi, dia ingat satu hal, “tolong doakan saya. Karena saya tahu doa jemaatku itu yang memberi kekuatan kepadaku kembali untuk melayani Tuhan. Aku sendiri berdoa untuk kondisiku. Tetapi aku membutuhkan doa dari jemaatku.” Dan Saudara tahu, dia adalah satu pengkhotbah yang ketika ditanya apa yang membuat khotbahmu atau pelayananmu begitu luar biasa sekali diberkati Tuhan? Dia nggak ngomong “belajar yang rajin ya.” Saya tahu dia belajar banyak sekali. Dia nggak ngomong “itu adalah satu karunia atau sesuatu kemampuan yang ada pada diriku.” Tapi yang dia ngomong apa? Satu hal, “karena doa dari jemaatku bagi diriku.” Itu yang membuat dia punya pelayanan yang begitu luar biasa sekali.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kenapa kita perlu berdoa? Kenapa Paulus perlu meminta doa dari jemaatnya? Karena dia adalah orang yang menyadari kerentanan dirinya untuk patah semangat, putus asa, mungkin mundur, ada di dalam ketakutan, ada di dalam kerendahan yang membuat dirinya nggak bisa berbuat apa-apa. Pernah suatu hari dia berkata bahwa “kami sudah membuka hati kami selebar-lebarnya bagi engkau, tapi kenapa engkau membuka hatimu sekecil-kecilnya bagi diri kami.” Di dalam suratnya kepada Timotius, kalau nggak salah, dia pernah berkata seperti ini, “Apa yang saya katakan kepada engkau, Timotius, bahwa pada akhir zaman nanti akan ada banyak orang yang mengeraskan telinganya untuk mendengar akan kebenaran Tuhan.” Itu adalah sesuatu yang bukan hanya bersumber daripada kebenaran Tuhan yang Tuhan wahyukan kepada diri Paulus, tetapi itu adalah pengalaman pribadi yang dialami Paulus ketika dia melayani Tuhan.

Orang-orang meninggalkan dia. Siapa yang ditinggalkan? Rasul Kristus lho. Orang yang begitu luar biasa dipakai oleh Tuhan dihina, direndahkan dan ditinggalkan oleh jemaat. Dan orang-orang yang menjadi kepercayaan pergi meninggalkan Paulus. Bagaimana rasanya? Saya kira itu adalah hal yang sulit sekali. Itu sebabnya Paulus meminta untuk jemaatnya jangan lupakan dia, tetapi perlu untuk mendoakan diri Paulus di dalam pelayanan agar dia tetap diberikan kerendahan hati, agar dia tetap diberikan kerendahan hati, agar dia tetap diberikan kekuatan untuk melayani Tuhan dan tidak mundur di dalam pelayanan yang dia kerjakan itu atau bahkan iblis menggunakan dia untuk membuat pelayanannya tidak diberkati oleh Tuhan.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, doa itu adalah hal yang penting sekali. Kenapa penting? Karena Paulus pribadi adalah orang yang membutuhkan doa di tengah-tengah dari kesulitan, kelemahan, keterbatasan yang dia alami dalam hidup dia. Tapi, bukannya dia dipakai oleh Tuhan secara luar biasa? Betul. Karena apa? Karena Tuhan memang memilih dia untuk memakai dia secara luar biasa. Mungkin kita bisa berkata seperti itu. Betul, tetapi Bapak, Ibu ingat baik-baik, orang yang begitu luar biasa dipakai oleh Tuhan pun tetap punya kerendahan hati untuk meminta dirinya didoakan.

Ada satu pengkhotbah yang berkata seperti ini ya, kenapa orang Kristen di dalam melayani Tuhan itu sering kali kurang efektif? Kurang menyatakan buah? Dia bilang kayak gini sebabnya karena orang Kristen memang berdoa, bukan nggak berdoa di dalam pelayanan itu, tetapi doanya ditujukan supaya Tuhan menjaga orang yang ada di dalam surga nggak keluar dari surga. Itu mayoritas dari doa orang Kristen. Tetapi, jarang sekali atau minim sekali mendoakan orang yang ada di neraka dikeluarkan dari neraka, masuk ke dalam surga. Kita suka doa apa? “Tuhan, tolong jaga si anu di dalam iman kepada Kristus, ya, supaya dia tetap setia berjalan dalam Tuhan” misalnya kayak gitu. “Tuhan, jangan buat dia akhirnya menyangkali Tuhan, ya!”, “Bersyukur kepada Tuhan, orang itu sudah kembali lagi ke dalam tangan Tuhan bersama kami di dalam gereja.” Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kita doakan nggak di luar sana masih begitu banyak orang yang belum percaya? Ingin mereka diselamatkan dan datang mengenal Kristus dalam hidup mereka? Makanya John Locke itu pernah berkata seperti ini ya, “Tuhan, kalau Engkau tidak berikan Scotland kepada saya, lebih baik Engkau cabut nyawa saya!” Kita sering kali mendoakan hal-hal yang kecil-kecil di dalam hidup kita, tapi jarang sekali mendoakan hal-hal yang besar dalam hidup kita.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, salah satu tujuan mengapa persekutuan doa itu diadakan di gereja, dan ada nggak perbedaan persekutuan doa di GRII dengan gereja yang lain? Saya kira ada dan besar sekali. Pak Tong itu pernah memberi satu masukan atau satu perkataan kepada kita. Persekutuan gereja, doa gereja jangan digunakan untuk mendoakan kebutuhan pribadi dari jemaat, tetapi kita punya persekutuan gereja itu harus mendoakan hal-hal yang menjadi pekerjaan Tuhan yang ada di dalam dunia ini. Kalau mau bicara mengenai doa untuk kebutuhan pribadi, saya yakin sekali, itu bukan sesuatu yang salah. Paulus juga kemungkinan besar mendoakan kebutuhan pribadi dia. Tapi kalau Bapak, Ibu perhatikan doa yang Paulus naikkan, baik itu di dalam surat Efesus, Kolose, Filemon, Filipi, seperti itu, ketika dia ada di dalam penjara, yang dia doakan apa? Dia mendoakan secara spesifik hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan Tuhan supaya pekerjaan Tuhan jangan dihambat oleh pemenjaraan yang dialami oleh diri dia.

Kapan Bapak, Ibu doakan itu? Di rumah? Berapa persenkah? Itu sebabnya, Pak Tong bilang kalau kita ingin bertumbuh, persekutuan gereja, doa gereja itu harus ada. Dan pada waktu kita mengadakan persekutuan doa di dalam gereja, jangan cuma mikirin masalah-masalah personal di dalam jemaat, sakit supaya Tuhan sembuhkan, yang ini dalam pergumulan, itu dalam pergumulan. Ya, mungkin ada porsinya seperti itu, tetapi porsi yang lebih besar adalah bagaimana penginjilan dikerjakan, hamba Tuhan ini dipakai oleh Tuhan untuk memenangkan jiwa bagi Tuhan, Tuhan boleh menyertai pelayanan yang dia lakukan dan juga ada jiwa-jiwa yang boleh dimenangkan bagi Tuhan.

Saudara, saya dulu berpikir Pak Tong punya cita-cita itu luar biasa sekali. “Saya berdoa supaya Indonesia bertobat dan menjadi Kristen.” Tapi, belakangan saya punya satu kesadaran, itu sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu muluk-muluk, tapi itu adalah satu doa yang seharusnya dimiliki oleh seorang yang memiliki hati seperti Kristus yang mengajarkan Doa Bapa Kami. “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. Datanglah kerajaan-Mu di dalam dunia ini”, bukan? Kalau kita bicara mengenai porsi kita di Jogja ini, pernahkah kita berdoa, “Tuhan, berikan Yogyakarta ini untuk menjadi milik Tuhan dan kita boleh melayani mereka dan mengabarkan mereka supaya mereka dimenangkan bagi Kristus?” Saya kira, itu adalah doa yang penting yang perlu kita gumulkan. Bukan cuma bicara, “Saya kurang ini. Saya kurang itu. Saya mengalami hal ini, membuat saya terhambat, sehingga saya mengalami hal itu.” Coba pikirkan yang ke depan, masalah pribadi itu mungkin satu hal, tetapi urusan kepentingan kerajaan Allah sama pekerjaan pribadi, mana yang lebih penting? Saya kira kita perlu memikirkan hal ini dan mendoakan pekerjaan Tuhan itu lebih penting daripada apa yang menjadi urusan pribadi kita. Kalau nggak, apa yang kita lakukan mungkin seumur hidup kita hanya diajak untuk memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan diri, kepentingan diri, kepentingan diri, sampai mati pun mikirnya kepentingan diri.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, hal yang lain yang bisa kita perhatikan adalah Paulus ternyata, kalau satu sisi mungkin kita bisa bicara dia adalah orang yang pandai berbicara. Baca tulisan Paulus, kalau kita nggak ngomong dia pandai bicara. Tetapi, saya kok merasa kepandaian dia di dalam berbicara itu bukan sesuatu yang natural, yang alami dimiliki oleh Paulus. Kalau Bapak, Ibu, baca di dalam Efesus ya tadi. Ef. 6:19, “juga untuk aku, supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil.” Paulus pemberani nggak? Pemberani kan? Tetapi menarik sekali, ada yang mengatakan mungkin dia memang pemberani. Lalu kalau dia pemberani, kenapa dia minta doa? Karena saat itu dia menghadapi penghakiman dari kerajaan Roma yang mungkin bisa jadi membuat nyawa dia melayang. Tapi ketika dia berdiri di hadapan penghakiman dari raja yang menguasai seluruh dunia saat itu, dia diberikan keberanian untuk membicarakan kebenaran Tuhan. Tetapi ada yang mengatakan juga kayak gini,Kayaknya nggak deh.” Paulus adalah orang yang tadi di dalam Korintus takut dan gentar ketika berbicara. Dia bukan orang yang secara lahiriah fasih di dalam berbicara. Dia membutuhkan keberanian dan kekuatan. Mungkin fasih, tetapi membicarakan kebenaran itu membutuhkan keberanian dan kekuatan yang bersumber dari Tuhan.

Ada yang mengatakan kayak gini, “Kita harus bisa membedakan antara membicarakan sesuatu dan menyampaikan sesuatu.” Bedanya apa? Membicarakan sesuatu bisa ngecap, tapi menyampaikan sesuatu itu ada message. Dan bahkan ada yang mengatakan seperti ini, “Siapa, sih, yang bisa berkhotbah?” Mohon tanya. Siapa yang bisa berkhotbah? Satu-satunya Pribadi yang punya kemampuan berkhotbah dalam pengertian menyampaikan apa yang menjadi kehendak Tuhan secara benar dan tepat, itu hanya Tuhan Yesus, kok. Kita yang lain bagaimana? Kita hanya menafsirkan. Kita berusaha untuk mengerti apa yang Yesus ajarkan. Kalau kita nggak mendoakan orang tersebut untuk bisa menyampaikan Firman Tuhan, dan Bapak, Ibu, sendiri ketika melayani dan melihat misalkan KKR Regional hendak mendoakan para pembicara itu untuk menyampaikan Firman Tuhan, message yang bersumber dari Tuhan, yang terjadi apa? Ya bicara. Ya, bicara bisa fasih sekali dari awal sampai akhir. Tapi ketika pulang, eh ngomong apa, ya? Message-nya di mana, ya? Tuhan mau apa? Pertobatan apa yang harus terjadi? Kebenaran apa yang Tuhan ingin saya mengerti dan perubahan apa yang Tuhan ingin saya miliki dalam hidup saya? Nggak tahu.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, itu sebabnya setiap orang yang melayani Firman Tuhan, saya berdoa kita punya kerendahan hati. Kerendahan hati untuk mengerti bahwa yang memenangkan orang itu bukan kemampuan dan kefasihan kita berbicara. Yang bisa membawa orang kepada Tuhan, bukan kemampuan dan kehebatan kita di dalam berstrategi, tetapi karunia Tuhan. Ada orang-orang yang mendoakan kita. Yang membuat kita punya kuasa di dalam menyampaikan Firman, membawa orang mengenal Tuhan, dan mengajak orang untuk datang ke gereja dan memiliki hati yang takut akan Tuhan dan beribadah kepada Tuhan. Itu semua adalah hal-hal yang Tuhan ingin kita mengerti atau Paulus ingin kita mengerti di dalam bagian ini.

Berbicara kebenaran itu hal yang penting. Tetapi berbicara kebenaran untuk orang mengerti kebenaran itu perlu punya satu sifat lagi, yaitu menyatakan apa yang salah. Kebanyakan dari kita ketika membicarakan sesuatu, satu sisi mungkin akan memproklamirkan kebenaran, tapi di sisi lain ada satu pribadi yang suka sekali mengkritisi. Maka di dalam Ef. 4 kalau Bapak, Ibu baca, di situ ada kalimat Paulus, “Hendaklah kita mengatakan kebenaran di dalam kasih.” Kebenaran bisa diproklamirkan kalau nggak pernah disertai dengan kasih akibatnya adalah mengkritisi tapi dia juga nggak melakukan apa-apa.

Saya ambil contoh kayak gini, ya, Bapak, Ibu, tahu, kan, yang satu — yang mana itu kuda, yang mana itu sapi, ya. Sapi itu yang suaranya, “moo” Kalau kuda itu? Ya, bayangin sendiri, ya. Lalu ketika kita punya anak, misalnya. Kita didik dia, “Nak, ini namanya sapi, ya. Ini namanya kuda, ya. Cukup, nggak?Nggak cukup? Perlu apa? Kalau kita hanya didik, “Nak, ini namanya sapi. Ini namanya kuda.” Lalu anaknya mulai mengamati, karena dia pintar dia ngomong,Wah, sama-sama badannya besar. Sama-sama keker. Sama-sama melahirkan anak. Sama-sama bisa angkut barang yang berat. Sama-sama menyusui anaknya.” Ok. Lalu dia suatu hari datanglah ke kuda dicari yang betina, lalu dia peras susunya. Dia bawa ke rumah, taruh di meja makan untuk diminum. Lalu yang sapi, dia duduki pasang pelana di atasnya buat ditunggang ke mana-mana, kayak gitu pergi. Bapak, Ibu akan lakukan apa ketika melihat itu? “Wah kreatif sekali anakku, yang namanya kuda diperah susunya, yang namanya sapi untuk ditunggangi”, begitu nggak? Nggak ya. Salah nggak? Nggak terlalu kayaknya, ya, tapi senyum-senyum, ya. Kenapa senyum-senyum? Karena waktu kita bicara kuda adalah kuda itu bicara kebenaran nggak? Kebenaran. Bicara sapi adalah bicara kebenaran nggak? Sama-sama bener kan? Yang kurang apa? Kita tidak menyampaikan yang namanya kuda itu bukan sapi, yang sapi itu bukan kuda. Yang namanya kuda tidak bisa melakukan apa yang sapi lakukan, yang namanya sapi tidak bisa melakukan apa yang kuda lakukan, itu kita tidak kasih tahu.

Tetapi pada waktu kita berbicara kebenaran di dalam konteks, kita sering kali mengatakan sudahlah nggak usah, yang penting kita menyampaikan kebenaran saja, nggak usah ngomong ini kurangnya di sini, itu kurangnya di sana, ini salah, itu salah, tapi kita menyampaikan kebenaran saja. Bapak, Ibu sudah paham, ya, sapi dan kuda, ingat itu baik-baik, ya. Kalau kita ngomong cukup menyampaikan kebenaran, nggak usah kasih tahu salahnya di sini dan situ, ya jadilah anak yang memerah susu kuda untuk diminum, menggunakan sapi untuk ditunggangi. Nggak bisa! Kita perlu menyampaikan kebenaran dengan keberanian, tetapi sekaligus menyatakan apa yang bukan merupakan kebenaran. Itu adalah 2 hal yang harus disampaikan. Tetapi pada waktu orang melihat itu atau mendengar itu, mereka harus tahu tujuannya bukan untuk mengkritisi tetapi untuk mengoreksi, untuk membenarkan dengan motif mengasihi mereka. Kalau tidak kita akan menjadi penghakim-penghakim dan pemberita-pemberita sepertinya kebenaran tapi nggak berdampak apa pun. Itu butuh hikmat sendiri.

Saya waktu di dalam KTB Bapak Ibu ada satu pembahasan yang, yang tadi bicara tentang bicara kebenaran dalam kasih. Menarik sekali, Paul Tripp itu bicara, pada waktu kita bicara kebenaran, orang sering kali berpikir itu cukup, tapi dia tidak pernah berpikir kalau kasih itu adalah pembatas untuk membatasi sampai sejauh mana kita berbicara kebenaran, momennya bagaimana, tujuannya, ketepatan waktunya untuk menyampaikan kebenaran itu. Pembatasnya adalah kasih. Maksudnya gimana? Ya, baca 1 Kor. 13, di situ ada kasih itu murah hati, kasih itu sabar, kasih itu menutupi dan segala macam. Waktu kita bicara tentang kebenaran, ada nggak kebenaran itu yang kita ingin paparkan disertai dengan kesabaran? Ada nggak kebenaran yang kita paparkan itu ada disertai dengan penguasaan diri misalnya? Dan yang lain-lainnya. Ada nggak pemaparan kebenaran itu dari satu hati yang ingin membuat mereka mengenal kebenaran itu sungguh-sungguh.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya kira ini adalah hal yang perlu kita doakan juga. Paulus berbicara, tolong doakan supaya saya berani mengatakan kebenaran dengan satu keberanian, termasuk pada waktu dia mengalami belenggu akibat pemenjaraan itu supaya dia tidak melihat bahwa belenggu itu sebagai sesuatu yang hina, tetapi satu lambang kehormatan yang Tuhan berikan bagi diri dia. Jadi, perlu tidak kita berdoa? Saya yakin dari pengertian hari ini, doa itu sangat perlu sekali. Bagi siapa? Kalau Bapak, Ibu sulit mendoakan orang lain, coba pikir dari diri, saya sendiri butuh didoakan oleh orang. Kalau saya sendiri butuh didoakan oleh orang, baru mikir orang lain perlu doa saya nggak? Karena dengan begitu baru gereja kita bisa bertumbuh, baru gereja kita bisa lebih mengerjakan hal-hal yang bersandar kepada Tuhan yang diberkati oleh Tuhan.

Jadi hari ini saya nggak mau ajak kita melihat dari perspektif perintah Tuhan atau keharusan yang diharuskan dan diwajibkan seperti itu, dari perspektif kebenaran-kebenaran yang tadi klaim-klaim, walaupun yang kita ngomong juga adalah ada unsur kebenarannya. Tetapi yang mau saya ajak lihat dari perspektif kebutuhan dan kewajiban kita untuk memperhatikan saudara kita yang membutuhkan doa kita juga. Kiranya Tuhan boleh memberkati kita, ya. Mari kita masuk dalam doa.

Kami kembali bersyukur Bapa, untuk firman, untuk kebenaran yang boleh Engkau nyatakan bagi kami. Tolong berkati kami ya Tuhan, tumbuhkan iman kami, pertumbuhan pengertian kami, kami boleh menjadi gereja-Mu yang berdoa di hadapan Engkau. Khususnya saudara kami yang baru menerima sakramen baptisan, sidi dan atestasi pada hari ini. Kiranya kehidupan mereka juga boleh menjadi satu kehidupan yang selalu meninggikan Tuhan dan mengandalkan Tuhan melalui satu kehidupan yang selalu bersandar kepada Tuhan yang dinyatakan dari kehidupan yang berdoa yang mereka miliki. Pimpin mereka ya Tuhan, biarlah kebenaran-Mu boleh beserta dengan mereka, tetapi kehidupan yang bergantung dengan kebenaran Tuhan dan menghidupi kebenaran boleh dinyatakan dalam doa yang mereka naikkan juga. Kami serahkan kehidupan kami masing-masing, pergumulan kami dan juga kesaksian hidup dari anak-anak-Mu satu per satu kiranya boleh senantiasa menyatakan bahwa Engkau lah yang mulia, yang tinggi, yang harus dianggungkan, mulai hari ini sampai selama-lamanya. Amin. (HS)