Flp. 3:4-7
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Dalam bagian ini, kalau kita mengingat di dalam konteks Perjanjian Baru, sebenarnya kalau kita memperhatikan di dalam konteks Perjanjian Baru, maka ada suatu latar belakang kisah kehidupan orang Kristen yang secara sejarahnya bagaimanapun juga mulanya itu sebenarnya dianggap hanya salah satu sekte ya. Hanya salah satu sekte atau denominasi atau aliran ajaran dari agama Yahudi. Nah ini menarik memang di dalam sejarahnya, permulaannya Kekristenan itu cuma dilihat hanyalah suatu tambahan atau hanyalah suatu bentuk tafsiran kalau mau dibilang gitu ya, dari aliran Yahudi. Jadi salah satu bagian agama Yahudi, seperti itu. Dan apalagi memang meski saya nggak jelaskan di dalam detail ya, tapi ada sejarahnya dalam perjalanan agama Yahudi itu sendiri, yang mulanya memang tidak diakui oleh Roma, namun belakangan hari akhirnya diterima dan diakui sebagai agama yang sah, sebagai agama yang legal statusnya di dalam pemerintahan Romawi ya, itu ada perjalanan sejarahnya. Kembali saya tidak masuk detail tapi singkat saja kita sudah masuk di era Perjanjian Baru, akhirnya sampai satu titik orang Roma itu mengakui bahwa selain agama Romawi, selain agama penyembahan mereka dewa-dewi Roma, maka agama yang sah yang diakui keberadaannya dan yang kalau mau dibilang itu “dilindungi” pemerintah, itu adalah agama Yahudi ya. Itu sebabnya orang-orang Yahudi tetap bisa beribadah di bait suci, mereka tetap bisa mempersembahkan korban di bait suci, dan seterusnya, meski ya sambil mereka ibadah itu ada tentara-tentara Romawi menjaga ya. Itu, ya saya nggak tau lah kita rasanya seperti apa ya. Kalau kayak kita ibadah gini, lalu ada tentara-tentara menjaga. Oh iya ini agama yang diakui sah, tapi pokoknya setiap ibadah itu ada tentara gitu yang mengawasi, menjaga. Tapi ya anyway, itu adalah agama yang sah. Itu adalah agama yang diakui keberadaannya.
Tapi kemudian ketika Kekristenan muncul, dan kembali lagi, mula-mulanya itu dilihat sebagai cuma percabangan aliran di dalam kepercayaan Yahudi sehingga secara status itu dilihat ya agama yang sah keberadaannya dan dilindungi hak-haknya oleh pemerintah. Tapi kemudian hari bagaimana Kekristenan itu berkembang lebih tegas, lebih jelas, dan sebenarnya memang Kekristenan itu lebih menunjukkan bahwa inilah kelanjutan dari Perjanjian Lama masuk ke Perjanjian Baru. Ya itu juga satu perdebatan dan sebenarnya para rasul ya, seperti ada beberapa teolog mengatakan, sebenarnya tulisan-tulisan Perjanjian Baru itu sedang mengkonfirmasi bahwa merekalah penerus kovenan itu, bahwa merekalah yang meneruskan perjanjian dari Abraham itu, dari Musa ya lalu juga tentu perjanjian Daud ya, dan diteruskan sampai ke Perjanjian Baru, bahwa merekalah yang menggenapi dan itu sudah digenapi itu melalui Kristus, dan merekalah pewaris yang sah yang meneruskan kovenan yang ada. Tapi pada perkembangannya, kenyataannya adalah, para rasul ini yang mau menarik seluruh orang-orang Israel melihat bahwa inilah kelanjutannya, “Ayo, teruskan masuk ke sini.” Kenyataannya adalah, penolakan dari Israel, dari orang Yahudi itu sangat kencang, sangat deras juga, terutama dari pihak tokoh-tokoh pemuka agamanya, dan akhirnya melihat, “Enggak, ini Kekristenan ini beda, ini aliran yang lain dan kita tidak akui.” Jangan lupa bahwa permulaannya itu meski ada beberapa aliran di dalam kepercayaan orang Yahudi ya, ada orang Farisi, ada ahli Taurat, ada nanti juga ada orang Qumran, ada Esenes dan ada beberapa aliran-aliran lain, orang Saduki, tapi mereka itu masih saling, meskipun satu sama lainnya tidak terlalu akur, satu sama lainnya itu tidak setuju, tapi kalau mau sampai ke akar-akarnya mereka masih akan akui yaitu salah satu aliran Yahudi. Itu sama seperti kalau kita di dalam Kekristenan itu, kalau kita ketemu dengan misalnya, katakanlah dengan aliran yang lain yang misalnya dari Armenian ataupun dari Karismatik ataupun dari Pentakosta dan lainnya, kita tidak setuju dengan mereka banyak hal, tapi paling bottom line-nya kita akan tetap mengakui iya itu salah satu denominasi aliran Kekristenan. Karena bagiamana pun juga kita akan treat mereka berbeda dengan misalnya kalau kita ketemu Mormon. Sederhana ya, Mormon ya kita akan bilang, bagaimanapun ya ini beda, gitu ya. Kembali lagi, saya tidak sedang menyederhanakan lalu mengatakan Karismatik semuanya benar dan segala macamnya, enggak, itu ada permasalahan lainnya. Tapi bagaimana pun juga kita membedakan, kita tetap memikirkannya itu berbeda dengan misalnya aliran Mormon. Kita membedakannya dengan Saksi Yehova, karena kita akan melihat, ya itu bidat. Benar-benar bidat, gitu ya. Itu aliran yang lebih jauh sebenarnya di sana.
Dan saya tarik kembali, di dalam bagian ini, ketika ini perkembangannya Kekristenan berkembang, berkembang, dan makin lama itu berbeda dari Yahudi, dan apalagi masalah sunat di mana bahkan para rasul ya, itu menekankan dan juga bahwa tidak penting lagi sunat. Sunat itu tidak menjadi tanda utama, dan bahkan seperti surat-surat Paulus itu jelas menegaskan, oh bukan lagi masalah sunat, bukan lagi sunat, itu membuat mereka itu makin split, makin terpisah dari Yahudi itu sendiri. Dan di bagian ini masuk ke dalam kebahayaan yang besar, kenapa? Karena akhirnya memang makin belakangan, di hadapan pemerintah Roma, mereka melihat, lho kalau ini agama yang lain, tidak diakui bagian dari Yahudi, lho berarti ini agama yang ilegal. Dan itulah sebabnya dalam perjalanan sejarah Kekristenan gitu ya, mula-mulanya mereka sengitnya itu cuma dengan orang Yahudi. Dan itu masalah perdebatan interpretasi dan semuanya. Tapi makin belakang itu makin kencang dan makin berat penganiayaan. Sorry, makin berat penganiayaannya, kenapa? Karena Romawi akhirnya melihat, ini agama yang berbeda, ini agama yang ilegal. Dan karena itulah ada kesulitan dan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh jemaat mula-mula, dan ada sebagian yang mulai berpikir, “Sudahlah, kita daripada ribut seperti ini, kalau kita itu ikut-ikut masuk mirip-mirip Yahudi untuk mendapatkan status legal itu, dengan ya sederhananya apa, dengan menjalankan sunat itu, maka kita itu lebih aman kan?” Bisa nangkap konteks seperti ini? Ini bicara konteks sosialnya dan aspek horisontalnya memang demikian. Yaitu mereka berpikir bahwa kalau mereka itu masih kira-kira, ya sudahlah ikut ajalah, tuntutannya Yahudi ini mirip-mirip aja sedikit karena bagaimanapun juga itu ya aliran Saduki, aliran ahli Taurat ya, orang Farisi, ya Esenes, yang lain itu sama-sama semua disunat. Itu satu ciri yang universalnya mereka kira-kira begitu. Sehingga kalau Kekristenan itu sebenarnya mau tetap “supaya lebih aman, tidak terlalu penganiayaan,” maka mereka cukup disunat saja. Cukup tekankan semua pengikutnya itu disunat. Dan mungkin bisa seperti menepis, gitu ya, menenangkan keributan konflik dengan Yahudi dan terutama secara status legal dengan di hadapan pemerintah Romawi. Tapi di tengah kesulitan yang ada, Paulus dengan tegas mengatakan jangan menaruh kepercayaan pada hal-hal lahiriah. Dan bahkan dia katakan jika orang lain menyangka dapat menaruh kepercayaan dalam hal-hal lahiriah, aku lebih lagi. Dan ini adalah bagian yang ditegaskan di sini. Dan sebenarnya kalau kita bisa nangkap konteks di sini, kita akan bisa baca surat-surat Paulus itu lebih clear kenapa dia tegas sekali meributkan masalah sunat itu. Dan apalagi kalau, kita jangan lupa ya, Paulus itu juga disunat anyway, gitu ya. Kenapa dia tegaskan di sini adalah dia menentang orang-orang yang menaruh percaya, keyakinannya, persandarannya pada hal-hal lahiriah itu.
Dan di dalam bagian ini, ini bukan saja bicara secara aspek horisontalnya, secara aspek fenomenanya, tapi kalau orang sudah terbiasa menaruh memang percaya pada hal-hal lahiriah, maka secara vertikal sebenarnya mereka juga mengandalkan hal-hal demikian. Nah ini yang tentu ditarik Paulus lebih dalam dari sekedar masalah isu sosial, masalah tantangan ada secara horisontalnya, tapi terutama dia kaitkan itu kepada hal-hal yang rohani, yang lebih utama daripada hal-hal lahiriah itu. Kembali lagi ke bagian ini dia memberikan suatu argumennya, tantangan, dan memperingatkan jemaat yang di Filipi, jangan kamu mengandalkan hal-hal lahiriah itu, ya. Dan ini bagian kalau saya pertama bahas secara aspek horisontalnya sekarang saya bicara secara aspek rohaninya. Kalau kita bilang jangan menaruh percaya pada hal-hal lahiriah ini terus terang pada realitanya hal yang sulit sih ya. Hal yang sulit karena memang kenyataannya secara umum kita lebih mudah melihat hal-hal yang lahiriah, bukan hal yang rohani memang, ya. Apalagi kita sudah era sekarang itu sudah setelah zamannya Immanuel Kant. Immanuel Kant itu mulai dari pikirannya yang memisahkan antara nomena dan fenomena. Nomena itu bicara esensi, sedangkan fenomena itu yang tampilan luar. Dan di dalam pemikiran filsafat dari Immanuel Kant akan menyatakan bahwa kita tidak bisa tahu nomena, kita tidak bisa tahu yang esensi. Saya cuma bisa tahu yang fenomenanya, saya cuma bisa tahu apa yang tampilan luarnya. Ya itu memang di dalam pemikiran dari Immanuel Kant dan itu yang merembet itu ya, memisahkan itu sampai ke akar-akar ke dalam sehingga memisahkan antara pengertian iman dan nanti kaitan dengan saya cuma bisa bahas apa, ya etika, moral, karena itu tampilan luar, itu fenomena. Kalau bicara iman, wah itu sudahlah di jauh di sana. Dan bahkan di dalam pemikiran Kant itu mengatakan bahwa kita tidak bisa tahu nomena itu, kita tidak bisa tahu esensi, seolah-olah esensi itu ya pokoknya jauh di luar sana. Saya tidak bisa tahu Allah itu ada atau tidak, tapi saya cuma bisa lihat dari tampilan luar ini sepertinya ada Allah dan seterusnya, gitu ya. Ya memang pemikiran Kant itu ada yang lebih rumit lagi tapi minimal ada bagian ini sehingga orang zaman sekarang itu kalau bicara esensi ya siapa yang tahu gitu ya, hati orang siapa yang tahu, dan seterusnya. Orang cuma bisa bicara aspek fenomena itu. Dan akhirnya bolak-balik yang kita lihat, yang kita andalkan ya hal-hal yang lahiriah itu.
Dalam kehidupan, ini menjadi suatu kesulitan ya. Di dalam iman kita mengajarkan bahwa apa yang internal, apa yang di dalam itu jauh lebih penting daripada yang eksternal. Tapi masalahnya internalnya itu nggak bisa dilihat. Masalahnya di dalam kita nggak bisa tahu. Di tampilan luar kita bisa lihat siapa yang sederhana saya misalnya bilang dalam suatu konteks ya kita mau mempercayakan orang pelayanan, ya kan. Dari mana kita tahu seseorang ini sudah lahir baru, sungguh-sungguh percaya Tuhan Yesus? Ya akhirnya ujungnya kan kita lihat ya kepada aspek lahiriahnya. Yaitu coba tanya, dia ujian Allah Tritunggal bisa jawab nggak. O bisa jawab. Kenapa? Ya sudah ikut STRIIS, gitu ya, sudah ikut kelas, o bisa jawab. Sudah baca Berkhof dia bisa menjelaskan. Tapi sekarang lalu kita lihat kelihatannya dia orangnya baik, dia kelihatannya juga tulus, aktif, dan semuanya, tapi kembali di dalam bagian ini kita diingatkan bahwa jangan menaruh percaya pada hal-hal lahiriah ini. Karena memang orang bisa keliru, dan bahkan memang ada orang yang meski mungkin dia juga melakukan itu dengan tulus, dia bukan bermaksud menipu, tapi belum tentu dia sungguh-sungguh mengalami kelahiran baru itu. Tapi kenyataannya memang kita kadang ya mudah itu tertipu dengan hal-hal yang lahiriah ini. Sedangkan dalam beberapa kesempatan lain juga saya kadang ketemu jemaat yang mengatakan seperti ini, “O ya Pak, itu pendeta di gereja A,” gitu ya, suatu gereja yang pokoknya aliran karismatik, yang pol gitu yang liar benar-benar aneh-aneh gitu ya, begitu, “Dia ajarannya ngawur sekali,” tapi nanti kadang ada jemaat yang ngomong, “Tapi pak orangnya baik, orangnya itu suka menolong, orangnya itu sosial.” Sehingga membuat kita itu kayaknya sulit ya membedakan, kayaknya ini orang nya ini ngajarnya ngawur tapi orang nya baik,dia apalagi murah senyum gitu ya, tidak suka-suka marah seperti pendeta Reformed gitu. Nah itu sering kali kita itu tertipu secara feneomena, tertipu secara hal-hal lahiriah, dan kita berpikir karena tampilan luarnya baik maka dalamnya pasti baik, karena cover-nya bagus, maka isinya juga pasti bagus, padahal di dalam bagian ini kembali mengingatkan jangan menaruh percaya pada hal-hal lahiriah itu, jangan menaruh keyakinan kita pada apa yang tampak luar, karena tampak luar begitu bisa sangat menipu kita dan kenyataanya tampak luar itu bisa berbeda dari apa yang dalam. Memang yang benar adalah, yang sudah benar dari dalamnya, lalu kemudian kita nyatakan keluar. Orang yang sudah imannya benar lalu dia nyatakan di dalam kehidupan nya, dia working out salvation itu ya, menyatakan keluar keselamatan yang sudah ada di dalam dirinya, dia nyatakan dalam kehidupannya, kita terus melihat.
Makanya jangan terlalu cepat-cepat langsung buru-buru menilai ini orang pasti benar, orang ini pasti lahir baru, karena kenyataannya belum tentu. Dan termasuk lebih lagi kalo bukan saja bicara orang lain yang dari diri kita sendiri juga, sejauh mana atau mungkin orang-orang dekat kita sejauh mana ini kita tahu orang ini benar-benar lahir baru? Sejauh mana orang ini sungguh sudah berada di dalam Kristus? Biarlah kita lihat bukan dari tampilan jubah luarnya itu. Kita sangat mudah dan seringkali memang tertipu aspek fenemona, jarang orang mau memikirkan menggumulkan lebih dalam sungguhkah orang ini lahir baru atau tidak? Sungguhkah orang ini menerima Kristus atau tidak? Dan kembali ya, kalau masuk kerumitan dari filsafat Kant ya memang kamu bisa enggak bisa tahu, ya, tapi di bagian ini saya pikir menarik ketika apa yang dituliskan Paulus di sini,dan di dalam dia menekankan bagaimana dia tidak mengikuti kebiasaaan orang Yahudi yaitu kita bisa menemukan esensi itu apa? Kenyaataannya adalah kita ketemu esensi itu tahu dari ujian. Kembali ya kalo saya makanya tadi singgung dengan Imanuel Kant, kalo filsafat Imanuel Kant akan sederhana dan kita cuma bisa tahu fenomena, nomena enggak bisa tahu,ya jadi no matter what gitu ya, terserahlah apa nomena itu saya juga enggak tahu apa, sudah saya enggak bisa mengerti, saya cuma bisa tahu fenomena. Dan di dalam bagian ini, ketika diingatkan kita enggak bisa percaya pada fenomena tapi kita juga tidak dikatakan bahwa tidak bisa tahu esensi itu, lalu bagaimanakah kita mengetahui yang esensi, bagaimana kita mengetahui yang rohani? Itu kenyataannya harus diiuji, itulah tandanya, dan itulah satu-satunya cara yang sebenarnya paling jitu, paling baik untuk mengetahui yang nomena itu. Sederhana kan, seperti dari mana saya tahu misalnya mimbar ini ya, ini kuat? Dari mana saya tahu ini kayunya beneran misalnya? Ya silakan diuji, ya iya toh, misalnya kan, ya meskipun saya percaya ini bagus ya bahannya gitu, tapi misalnya darimana tahu bahan ini kayu ini beneran kayu, mana tahu benerkan kokoh kan, darimana tahu dalamnya itu bolong seperti itu misalnya, atau cuma kayu yang buatan seperti itu ya, ya sederhana ya diuji, silakan dites dia bisa tanggung beban seberat apa. Dan ketika kita memang diberikan beban yang sekian lalu kita ukur memang ini dia bisa tanggung dia enggak retak, dia enggak pecah, itu memang menyatakan ya memang ini kayu beneran.
Kembali lagi ya, kita itu tidak suka ujian kita tidak suka juga penganiayaan tentunya, tapi dalam kehidupan ini ketika ujian itu timbul, ketika tantangan muncul, terutama dari lingkungan, itu sebenernya suatu bentukan di dalam kedaulatan Allah dan anugerah Tuhan justru mau menyatakan siapakah yang memang Kristen sejati dan siapa yang palsu, yang mana Kristen yang memang sungguh pada nomenanya, pada esensi memang percaya Kristus sungguh-sungguh, dan yang mana cuma sekedar ikut-ikutan. Nah ini kembali ya, saya tentu bukan mau menyatakan untuk kita bersukacita ketika penganiayaan timbul, tapi biarlah kita melihat di dalam kedaulatan Allah ketika kesuliatan muncul itu sedang mau menyatakan kesejatian seseorang; dan ketika akhirnya memang ada orang-orang yang mundur dari imannya tentu juga bukan untuk kita maki-maki gitu ya, lalu kita bilang, “Wah memang kamu bukan orang pilihan, tidak bertobat, masuk neraka,” bukan, tapi ada bagian kita mendoakan dan kita lihat bahwa di dalam bagian lain orang yang murni ya memang justru makin kelihatan murninya, dan yang palsu akan kelihatan palsunya seperti itu. Kembali lagi, bukan bagian kita untuk menilai siapa umat pilihan siapa bukan ya, karena kita mana tahu, mungkin belum waktunya, dan tiba waktunya dia bisa percaya juga. Tapi bagaimanapun juga ketika tantangan tiba di dalam kehidupan kita itu sebenarnya seperti suatu seperti Luther katakan itu sesuatu seperti blessing in disguise, seperti suatu anugerah yang tersembunyi untuk menyatakan kesejatian kita.
Menarik, di dalam pandangan Luther kalau kita bandingkan seperti kalau kita lihat di dalam lukisan-lukisan zaman renaissance seperti itu kita akan selalu orang-orang kudus gitu kan, orang-orang suci ya, seperti lukisan-lukisan itu seperti Tuhan Yesus, ya Paulus, Petrus, itu selalu ada gambarannya wah ada lingkaran di atas kepalanya. Lalu bukan cuma itu, ada apa? Ada malaikatnya gitu ya yang menemani, mengarahkan gitu ya dan semuanya. Jadi bayangan orang di dalam renaissance, bayangan orang juga di dalam kepercayaan medieval, orang suci itu akan selalu ditemani oleh malaikat, jadi terus ditemani malaikat. Dan apalagi ada lingkaran di atas kepalanya gitu ya, enggak tahu juga ya itu lingkaran dari mana, itu menyatakan dia ini orang suci, kenapa? Ya kelihatannya, kenyataannya adalah malaikat selalu menyertai. Tetapi menarik di dalam pandangan dari Luther justru mau menyatakan bahwa kalau dalam kehidupannya, dan juga dia menghadapi banyak tantangan, justru seperti selalu digocohi iblis, selalu diserang oleh iblis. Dan di dalam bagian itu dia bergumul melihat di bawah bahwa kenyataannya kalau kita kembali kepada Alkitab orang yang sejati itu malah bukan karena seperti selalu ditemani malaikat itu justru karena selalu di gocoh, dan selalu digoda, dan selalu ditentang oleh iblis. Malahan di dalam pemikiran Luther justru itu menyatakan kesejatian kita. Bisa dilihat ya ini paradigma yang berbeda ya. Kalau paradigmanya orang Katolik terutama yang Roma Katolik dan kadang ya memang ini berbicara Roma Katolik jaman dark ages itu ya, medieval, orang suci itu apa? Yang kemana-mana ditemani malaikat, yang kalau kemana-mana kayaknya bersinar gitu ya, bercahaya, kayaknya hidupnya seperti lancar atau gimana gitu. Ada kesulitan, ada malaikat yang tolong gitu ya; ada tantangan langsung bisa ada malaikat yang men-tring sembuh gitu; kemudian apa yang penuh dengan mukjizat dan seterusnya. Oh ini tanda sejati. Luther mengatakan bukan, justru orang yang sejati akan selalu diganggu setan, justru orang yang sejati, pengikut Kristus yang sejati justru akan menemui banyak kesulitan, tantangan, dan penganiayaan, adventum(?), kalau dalam bahasa Jerman itu ya mengatakan penggocohan dari setan, kenapa? Karena memang setan tahu siapa kawannya siapa lawannya, sederhananya seperti itu. Dan kenyataanya kita temukan di dalam Alkitab, lihatlah tokoh tokoh di Alkitab itu sendiri, bukankah mereka yang selalu mengalami penganiayaan? Bukankah mereka yang selalu mengalami penggocohan dan kesulitan, tantangan yang ada. Dan di tengah tantangan yang ada itu justru menunjukkan memang mereka adalah umat pilihan, justru merekalah orang yang sejati yang memang di dalam dirinya atau secara esensinya mereka sungguh percaya kepada Kristus, dan bukan orang yang sebaliknya, yang berjalan lancar, yang sehat terus, kaya terus, dan seterusnya gitu ya, seperti diajarkan di dalam aliran Kharismatik yang liar seperti itu. Kembali lagi, tentu saya bukan sedang masuk mendorong kita ke pada asketisme, “Ayo kita siksa diri, sesiksa-siksa menderitanya,” tidak, tapi biarlah kita ingat ketika muncul kesulitan di dalam kehidupan itu berarti suatu bentukan Tuhan kepada kita, sedang menguji, dan kalau kita sudah lewati nanti kita akan refleksi kebelakang, “Iya ya, kok saya tidak kehilangan iman ya, kok saya tetap percaya kepada Kristus ya.”
Dan di bagian situ Luther menyatakan itulah menunjukkan memang kita orang pilihan, memang kita orang sejati. Karena itulah keselamatan memang benar-benar tidak akan hilang. Bisa nangkap di sini ya? Kalau yang memang pilihan sejati, kalau memang orang umat yang sudah lahir baru, dan Roh Kudus dimateraikan dalam kehidupan kita, di gocoh seberapapun, ya sepertinya goyang-goyang, ya akhirnya enggak jatuh juga. Sepertinya memang lemah, dan mungkin ya, di dalam saat-saat tertentu bisa jatuh ke dalam dosa, tetapi di dalam bagian lain kemudian setelah jatuh bangkit lagi, setelah jatuh bangkit lagi. Kenapa? Ya memang asli. Kalau asli ya asli. Diuji sebagaimanapun ya akan munculkan keasliannya. Tapi yang palsu ketika diuji langsung keliatan kepalsuannya, langsung menyatakan orang itu langsung meninggalkan iman. Seperti bisa hari ini kita beribadah dengan baik, kita bersyukur akhirnya kita bisa beribadah dengan baik. Tapi misalnya muncul tantangan, wah misalnya di sini apalagi terakhir ya berita itu ramai tentang demo. Pertanyaannya kita masih ibadah enggak? Sederhana ini ya. Bapak, Ibu, Saudara sekalian kalau hari ini di jalanan itu ada orang ramai-ramai mahasiswa demo, kita itu masih ibadah enggak? Atau malah sambil nyetir, “Wuih ini ada demo, bagaimana ya? Saya ikut turun demo aja gitu kali ya.” Itulah kalau orang mau cari aman seperti itu ya. Pertanyaannya adalah, kembali lagi ya, ketika muncul kesulitan kita tetap ibadah kepada Tuhan atau tidak? Dan kembali lagi ya saya bukan sedang membenarkan orang yang membuat kerusuhan dan seterusnya, tapi di tengah semua ini Tuhan mau menyatakan kita itu kesejatian imannya itu seberapa. Itu bahkan itu menjadi suatu blessing in disguise dalam kehidupan kita. Dan itu menjadi seperti cetusan Luther makanya coram deo, yaitu kita alone before God, yaitu kita di hadapan Tuhan secara pribadi, dan itulah arti ibadah kita yang sejati. Bukan cuma masalah “Oh ya sudahlah minggu ini toh enggak ada kerjain apa-apa, dua jam lah,” cuma dua jam datang ke dalam gereja. Jangan lupa isilah ibadah Sabat itu the day of the Lord, itu actually full day keseluruhan ya. Ini memang ada kesulitan tersendiri gitu ya kalau kita renungkan dan melihat bagaimana praktek yang sudah umumnya dilakukan oleh orang orang Puritan. Hari Sabat itu bukan cuma bilang, “Oh dua jam saya sempatkan waktu datang di ibadah,” gitu ya. Apalagi, “Oh hari ini yang khotbah Vikaris Leo mungkin cepatlah pulang,” kira-kira gitu ya. Tapi kalau bicara Sabat itu sebenarnya the whole day, keseluruhan hari itu, 24 jam memang itu adalah harinya Tuhan. Sabat itu harinya Tuhan dan bukan hanya 2 jam untuk Tuhan dan sisanya rekreasi jalan-jalan, waktu keluarga, dan seterusnya ya.
Tapi saya kembali lagi di bagian sini, berapa banyakkah dalam kehidupan kita kembali lagi tidak menaruh percaya ke pada hal hal yang lahiriah tapi pada yang rohani itu. Dan itu yang lebih utama dan kita terus uji baik menghadapi tantangan dari luar untuk diri kita maupun ketika kita lihat orang sekitar kita. Sudah diuji belum? Dan ketika muncul pengujian, dan kenyataannya ada orang yang tidak tahan uji, itu sebenarnya menyatakan memang kepalsuan itu. Saya ingat kejadi suatu ketika ada terjadi ada ribut-ribut itu ada kesulitan memang di Surabaya ya itu ya beberapa waktu yang lalu. Lalu akhirnya suatu gereja yang konon katanya selalu sukses, yang konon katanya itu hamba Tuhannya itu bisa naik turun jalan ke neraka, jalan ke surga gitu ya. Eh umumkan ke jemaatnya enggak ada ibadah hari ini. Kenapa? Ya lagi masalah gitu kan. Ya kembali lagi ya saya bukan sedang menyatakan, “Tuh itu kan itu senang, tuh makanya baguslah ada kerusuhan,” bukan. Tapi kembali lagi di dalam kesulitan itu menyatakan siapa sih yang benar-benar percaya Tuhan. Siapa sih yang benar-benar di dalam kesulitan, benar-benar tetap beribadah kepada Tuhan, mencari wajah Tuhan meski di tengah tantangan yang ada. Dan ketika kita kembali lagi ya, baik tantangan lingkungan ataupun dari kesulitan kita sendiri itu sebenarnya suatu bentukan Tuhan yang harus kita syukuri. Orang yang berhasil itu justru bukan tidak pernah menghadapi tantangan, tapi menghadapi berbagai tantangan dia tetap tegak berdiri. Nah, itu orang beriman seperti itu, orang beriman seperti itu.
[Hengky] Kita lanjut di sini, dan di sini Paulus mengatakan lebih lanjut argumennya, “kalaupun menaruh percaya kepada lahiriah, aku lebih lagi,” dia masuk kepada argumennya yang lebih mendalam. Dia bukan saja menyatakan pokoknya jangan lihat lahiriah, selesai, tapi dia membangun argumennya bahwa saya, kalau mau menaruh percaya kepada hal-hal lahiriah, lebih bisa lagi, lebih bisa lagi yang dia ungkapkan di dalam ayat 5 sampai 6 ini, yaitu disunat pada hari ke delapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap Hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati Hukum Taurat aku tidak bercacat. Bagian ini Grant Ostborne menjelaskan bahwa bicara di dalam 7 poin ini, 7 kriteria, kalau mau dibilang itu, kebanggaan nya, yaitu dia Grant Ostborne mengatakan 4 pertama itu bicara apa yang dia terima, diterima Paulus secara dari kelahiran nya, inherited dari birthright ya, dari memang dari lahirnya sudah demikian, dan 3 kemudian itu berbicara personal achievements, pencapaian pribadi. Kita akan kupas satu per satu, dia bahas di sini argumennya adalah bicara “saya ini disunat hari ke delapan,” ini mau bicara apa? Saya ini, Israel tulen, benar-benar disunatnya pada hari ke delapan, sesuai dengan prinsip hukum Taurat. Itu bicara apa? Dia dari keluarga yang benar, ya kan. Karena memang di dalam pengajaran, kalau kita lihat di dalam Perjanjian Lama, maka di dalam keluarga-keluarga Yahudi, di dalam keluarga Israel itu diajarkan dari dulu anak itu dari hari ke delapan harus disunat, menyatakan mereka itu masuk di dalam perjanjian, ya. Maka ini nanti kemudian hari dalam tradisi Reformed kita ngerti itulah kenapa kita membaptis anak, karena toh juga memang sebagaimana tanda Perjanjian Lama itu pakai sunat, Perjanjian Baru pakai baptisan. Kita ngertinya itu dari masih anak-anak itu memang sudah disunat. Itu berarti apa? Dia sudah masuk perjanjian, dan itu bicara dia dari keluarga yang benar, keluarga yang beres, ya. Dan ini, bagian ini, kita tidak bisa take it for granted juga ya, karena bagaimanapun kalau kita baca tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama, kenyataannya tidak semua akan menyunat anaknya pada hari ke delapan. Ada bagian menarik di Kitab Keluaran itu ada mencatat waktu itu Musa tidak menyunat anaknya sampai hampir mau dibunuh, ya, yang akhirnya muncul suatu istilah yang aneh gitu ya, ‘pengantin darah,’ tapi saya ndak bahas hari ini. Tapi pagi ini itu kita bisa melihat bagian ini ternyata kenyataannya tidak semua orang menyunat anaknya, ada orang-orang yang memang tidak terlalu mempraktekkan secara ketat prinsip-prinsip Hukum Taurat, dan mereka enggak lakukan itu. Kembali lagi, kenyataannya tidak semua orang ngomong ini keluarga Kristen, benar-benar mempraktekkan, mengikuti prinsip iman Kristen; dan sama ketika bicara orang Yahudi, tidak semua ini namanya keluarga Yahudi benar-benar menjalankan prinsip apa yang diajarkan dalam kehidupan orang Yahudi ini. Tapi dia menyatakan, “Saya ini dari keluarga yang benar, yang menyunat anaknya pada hari ke delapan,” maksudnya bicara, “Saya ini memang dari bangsa Israel, saya bukan proselyte, saya bukan dari bangsa luar yang akhirnya ikut dimasukkan, di-import gitu ya, di-import masuk ke dalam orang Yahudi,” tapi dia memang orang Israel sejati, Israel yang asli.
Ya dia itu memang dari keturunan bangsa Israel, lalu dikatakan dari suku Benyamain. Sahnya itu, dia itu memang, kalau istilahnya orang Jawa itu, bibit, bebet, bobotnya itu jelas, gitu. Ini memang dari suku Benyamin yang asli, dan kalau dia bisa telusuri bahwa saya dari suku Benyamin, artinya apa? Kamu bisa track, telusuri saya punya silsilah itu jelas, kamu temukan Paulus. Jadi Paulus itu bin siapa gitu ya, dia itu anaknya siapa, lalu dari bapaknya itu siapa anaknya, siapa anaknya siapa, terus, terus, terus naik, akan tarik sampai bisa ke suku Benyamin, kepada Benyamin, dan terus lagi tarik ke atas ya tentu tarik ke Abraham, nanti lihat itulah yang mewarisi perjanjian. Jadi ketika orang Yahudi membaca Alkitab, lalu masuk ke dalam toledot gitu, masuk ke dalam silsilah, mereka akan temukan “lho ini identitas saya, lho ini kakek nenek moyang saya beneran, bukan ngarang-ngarang. Ini bener-bener kakek nenek moyang saya, karena saya jelas dari keturunan ini, dari suku ini, jelas.” Saya pernah ingat dalam satu kesempatan ketika saya pergi ke rumah salah seorang jemaat, bukan jemaat di sini ya, di tempat lain, itu ada satu pigura yang besar dikasi lihat family tree, ya, seingat saya itu jemaat itu dari suku Batak gitu ya. Lalu dia akan gariskan itu dia ini dari marga mana, itu naik, naik, naik ke atas sampai ke raja Bataknya. Jadi bicara itu saya ini asli, ini bisa jelas di-trace bibit, bebet, bobotnya seperti itu. Itu bagian menarik yang memang mungkin karena Batak ada dipengaruhi Kekristenan pada titik tertentu ya, terus mereka pertahankan ada garis seperti itu. Tapi bagian ini lebih lagi, dia ketika bilang saya suku Benyamin, ya memang iya, kamu tau Benyamin yang mana ya, Benyamin itu, Benyamin yang di dalam Alkitab. Nama saya itu bukan cuma garisnya itu secara pigura seperti itu, tapi di dalam Alkitab, saya ini keturunan yang jelas, karena itulah dia bisa sebut dengan suatu istilah orang Ibrani asli, atau dalam terjemahan lain ngomong Hebrew of Hebrews, Ibrani dari Ibrani yang benar-benar Ibrani asli. Meski saya lahir di Tarsus, meski saya tinggalnya di tempat yang mungkin terpencil seperti itu, tapi status saya itu tetap asli. Saya ini tetap bisa diurutkan itu ke atas, saya ini tetap orang darah asli, darah biru mungkin kalau mau seperti itu, dan bukan campuran, seperti mungkin orang Samaria dan lain sebagainya.
Lalu kemudian setelah bicara 4 kejelasan lahirnya itu dari mana, lalu dia mengatakan ada bicara 3 personal achievements-nya, yaitu “tentang pendirian akan Hukum Taurat, aku orang Farisi,” ini bicara bahwa saya sudah lahir dari keturunan Yahudi, sudah sah, ini jelas orang Yahudi, dan bukan cuma itu, saya bukan Yahudi sembarangan, saya ini Yahudi yang benar-benar mempraktekkan kehidupan Yahudi itu, yaitu sebenernya di dalam tradisi, di dalam tradisi orang Yahudi ya, maka anak itu dari kecil diajarkan Taurat, sampai mereka umur tiga belas, mereka akan ditahbiskan sebagai bar mitsvah, artinya mereka adalah anak Taurat. Anak Taurat itu apa ? Bukan cuma lulus, “Yeaay, wisuda!” Bukan cuma itu, tapi benar-benar anak ini sudah umur tiga belas, dia sudah mengerti keseluruhan Hukum Taurat, ia sudah khatam ya, kalau mau pakai istilah itu, baca Hukum Taurat itu dari Perjanjian Lama keseluruhannya dan tahu beberapa tafsiran-tafsiran dari para rabi-rabi Yahudi. Di dalam bagian ini dia katakan, “Aku ini orang Farisi.” Dan apalagi kalau kita tahu di dalam background-nya Paulus, dia itu dilatih di bawah Rabi Gamaliel, dan Rabi Gamaliel itu sendiri adalah cucu dari Rabi Hillel, yaitu rabi yang besar ya di dalam aliran pengajaran Yahudi. Jadi Yahudi itu, setidaknya di abad pertama itu, dua rabi yang terkenal itu, Rabi Shammai dan Hillel. Nah, Hillel ini punya cucu itu namanya Gamaliel, dan Gamaliel ini yang ngajar Paulus. Jadi ngomong-ngomong itu, kira-kira gitu ya, kalau di zaman sekarang ini, “Saya ini memang pengajarannya jelas,” jelas sekali itu, ketatnya itu memang bener-bener mempelajari, “Saya bukan sembarangan.” Tentang kegiatan, “Aku penganiaya jemaat.” Mungkin memang bagian ini agak kontraproduktif gitu ya, tapi mau bicara itu, dia bergiat mengerjakan Taurat itu sendiri, dan bukan cuma duduk-duduk di kelas, “Tapi sampai ke lapangan, saya kerjakan semuanya. Bahkan saya bergiat,” begitu zealous ya. Ada suatu zealous-nya gitu dalam mengerjakan pelayanan. “Tentang kebenaran dalam mentaati Hukum Taurat, aku tidak bercacat.” Jadi dalam menjalankan Hukum Taurat, dia kerjakan sedemikian rupa, begitu ketat. Tapi di bagian ini dia kembali katakan, setelah melakukan semua itu, jadi dia bisa berbangga? “Tapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.” Jadi mau bicara apa? Apa yang dahulu diyakini, semua status ini, semua kelebihan-kelebihan dia, credentials-nya dia, bisa jadi kebanggaan, dianggap itu rugi. Kenapa ? Karena Kristus. Karena Kristus. Di sini dia melihat, bahwa di dalam argumennya, dia mengatakan Kristus itu yang lebih penting, Kristus itu yang lebih besar daripada semua kebanggaan itu.
Ada beberapa hal yang kita bisa lihat di bagian sini, pertama ketika bicara identitas, biarlah kita ingat bahwa identitas kita yang pertama dan terutama itu adalah di dalam Kristus sendiri, karena kita sudah dipilih sebelum dunia dijadikan, sebagaimana dicatat di dalam Kitab Efesus, ya. Kita ada di sini, yang hadir, kita ini ada orang Jawa, ada orang Chinese, ada Sunda, ada Batak, dan lain-lain. Itu ndak papa, tapi biarlah kita ingat saya bukan “orang Chinese yang Kristen,” bukan, kebalik, “Saya adalah orang Kristen yang berdarah Chinese, yang etnisnya itu Chinese”, dan seterusnya. Jadi biarlah kita ingat identitas kita yang paling dalam, paling hakiki sedalam-dalamnya itu justru adalah karena darah Kristus, bukan karena darah lahiriah kita, dan ini bicara identitas kita yang lebih dalam. Bagian ini bukan cuma bicara secara teoritis saja, yaitu kita mengingat identitas kita yang paling dalam di sini. Berapa banyakkah dalam kehidupan kita itu berpikir begini, “Oh iya saya ini Reformed, saya ini Kristen, tapi,” lebih dalam lagi adalah, “saya ini background-nya, tradisinya begini, saya ini background-nya lahirnya dalam keluarga seperti ini,” dan seterusnya. Dan kita akan berpikir bahwa tradisi itu, apa yang kita sudah dididik puluhan tahun lamanya, itu lebih penting. Tapi bayangkan bagi Paulus ya, background Yahudinya itu pol lho, benar-benar kencang, benar-benar kental sekali, tapi dia anggap itu semua rugi, kenapa? Karena Kristus. Itu bicara prioritas dalam kehidupan dia Kristus itu lebih utama daripada apa yang lahiriah ini, Kristus lebih utama daripada apa keinginan daging ini, Kristus lebih utama daripada pencapaian yang saya sudah kerjakan dalam kehidupan ini. Dan itu nanti akan dibahas lagi dalam bagian selanjutnya. Itu bicara dia lihat Kristus itulah menjadi penjelasan dari Kitab, Dia menjadi kebanggaan dia, menjadi sesuatu yang dia pegang seumur hidup lebih utama daripada semua kemampuan dan aspek-aspek lahiriah yang dia bisa banggakan. Berapa banyakkah dalam kehidupan kita kita juga melihat demikian? Berapa banyakkah dalam kehidupan kita kita melihat bahwa darah Kristus itu sudah tercurah bagi kita dan karena itulah kita memegang itu jauh, jauh lebih dalam daripada relasi semua yang lain. Jauh lebih dalam daripada relasi keluarga, daripada relasi secara suku, secara etnis, budaya dan semacamnya. Kembali lagi ya, saya tentu bukan mengatakan lalu kita membenci keluarga kita, tapi sebenarnya Alkitab sudah mengatakan di dalam Lukas pasal 14, “Barangsiapa tidak membenci ayahnya, atau ibunya, istrinya, anaknya, dia tidak layak menjadi murid-Ku.” Tentu bagian itu bukan bicara mulai sekarang kita benci satu sama lain, bukan, tetapi itu bicara adalah kita mengasihi Tuhan lebih daripada apapun sehingga ketika dibandingkan, di bagian ini, itu seolah-olah kita membenci yang lain itu, kenapa? Karena kita saking mengutamakan Kristus. Dan di bagian inilah saya percaya itu juga yang dimaksud oleh John Stott yang dalam bukunya mengatakan radical disciple, yaitu menjadi murid yang radikal. Radikal di sini tentu bukan maksudnya jadi radikalisme, jadi teroris seperti itu, tapi kita berani berakar ke dalam, karena radix dalam bahasa latin itu bicara berakar ke dalam sedalam-dalamnya sedemikian sehingga kita diubahkan dan kita mengerti identitas saya, status saya itu ada di dalam Kristus, saya ini adalah murid Kristus dan itu yang lebih utama daripada apapun, itu lebih utama dari apapun. Itu lebih utama sedemikiannya sampai seolah-olah bagaimana relasi kasih sayang kepada sesama itu seolah-olah seperti membenci.
Di dalam bagian ini, kembali lagi ini bagian-bagian yang sulit, memang ayat yang sulit tapi kembali bagian ini berbicara bagaimana kita mengutamakan Kristus itu lebih daripada siapapun, lebih daripada apapun. Statement itu sendiri bagi saya di dalam banyak hal ketika Kristus menyatakan itu, pertama-tama ya, itu berarti Dia adalah Tuhan. Ya iyalah, setan nggak bisa. Kalimat itu saya nggak bisa saya katakan, misalnya, “Veri, kalau kamu tidak membenci istrimu, keluargamu, kamu tidak layak jadi muridku.” Akhirnya dia bilang, “Kamu siapa? Kamu cuma vikaris, belum juga pendeta. Kamu siapa? Kamu cuma manusia.” Statement itu sendiri mau menyatakan keilahian Kristus, bisa nangkap ya? Karena memang cara Kristus menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan itu bukan dengan bilang, “Saya Tuhan, Saya Tuhan,” itu orang gila, tapi Dia menyatakan dengan secara implisit, statement-statement Dia menyatakan sungguh Dia adalah ilahi, karena hanya Tuhan yang berhak menerima suatu totalitas komitmen yang sedemikian, yang lebih besar daripada manapun, dan itu bicara keilahian Dia. Dan juga kemudian seperti penjelasan dari J.F. Heffer bahwa ketika kita mengasihi Kristus lebih daripada apapun dan seperti membenci yang lain. Menarik J.F. Heffer menyatakan bahwa di saat itu kita akan menemukan bahwa kita mengasihi yang lain itu sesuai pada porsinya masing-masing, sesuai pada tempatnya. Atau seperti C.S. Lewis mengatakan bahwa ketika kita sungguh mengutamakan Kristus di atas segala-galanya, menariknya di saat itu kita akan menemukan bahwa kita mengasihi sesama kita itu lebih baik daripada sebelumnya. Dan di bagian ini ditekankan biarlah kita ingat ini juga identitas kita.
Di dalam argumen Paulus, menarik kalau kita lihat di dalam bagian ini ya, kalau kita renungkan lagi bagian sini, itu argumen Paulus itu dia bukan cuma ngomong, “Pokoknya saya rasul, pokoknya kamu ikuti saya, itu salah, selesai,” enggak, dia membangun suatu argumen yang pakai logika, pakai berpikir. Ini kita juga jangan berpikir, “Ahh logika itu ngapain,” logika itu perlu dan kita di kehidupan ini berpikir kok. Sama seperti kalau dalam pemikiran dari Plato, ini dari filsafat Plato ya, mengatakan otak itu harus mengontrol hati lalu hati itu mengontrol keinginan, kehendak, atau napsu. Jadi dia mengatakan prinsip dari anatomi: “otak itu di atas, otak itu harus menguasai, mengontrol hati kita, emosi kita, dan emosi kita itu harus mengontrol bagian yang bawah atau kehendak atau napsu kita, dan itu bicara kelamin.” Di sini kita mengerti bahwa di dalam argumen itu, kita ambil dari argumen itu, biarlah otak memimpin yang bawah. Itu artinya apa? Itulah sebabnya, Bapak-Ibu ada yang tahu kalau misalnya ikut konseling pra-nikah, wah di dalam konseling pra-nikah itu kok ribet ya mereka tanya, mengajar, ada tugas-tugasnya lagi, ini, itu, harus disuruh mikir, mikir, mikir gitu. “Lho pak, pokoknya kan saya cinta dia?” Bagian itu sebenarnya mau bicara apa, karena selain itu mengarahkan emosi kita, itu dipimpin oleh otak itu, dipimpin secara logikanya. Tentu bukan untuk meniadakan aspek perasaan, tapi biarlah kita ingat bahwa kita itu berjalan seperti itu, logika kita memimpin emosi kita sehingga kita tidak masuk ke dalam penguasaan emosi yang tidak habis-habisnya, penguasaan sekedar perasaan-perasaan saja. Dan ini saya pikir, meski sederhana ya dalam filsafat itu benar ya, kita kalau logika memimpin hati saja, itu sudah menyelesaikan banyak masalah. Misalnya seperti hari ini Bapak, Ibu, Saudara sekalian ada dalam ibadah, bisa saja kan ada yang emosinya lagi kacau, mungkin lagi galau. Bayangkan kalau misalnya saya datang ke sini ibadah, “Oh kenapa?” “Saya lagi galau ahh, saya nggak khotbah dulu.” Ya nggak bisa dong, harus logika itu pertama-tama, masalahnya apa? Perasaan saya kacau, otak memimpin, saya sekarang tugasnya apa, saya kerjakan itu lebih utama, karena itu bicara otak memimpin hati kita, dan nanti hati kita, perasaan itu yang memimpin emosi kita. Ya itu bicara kenapa hubungan seks itu dengan yang kita kasihi, itu memang dalam sisi sederhana dikatakan Plato di sini.
Dan makanya kalau kita tarik kepada Paulus, memang dia argumennya itu secara ada logikanya. Makanya saya percaya dalam banyak hal ketika kita membaca Alkitab kita bukan sedang membuang logika, kita bukan sedang membuang otak, tapi justru pimpinan Roh Kudus itu mencerahkan akal budi kita, mencerahkan pikiran kita, dan akan menuntut pikiran kita juga emosi kita dan juga kehendak kita sesuai dengan prinsip firman Tuhan. Di dalam bagian ini kita mengerti bahwa pekerjaan Roh Kudus itu memimpin sedemikian, kenapa? Karena memang para penulis Alkitab juga menulisnya itu pakai logika, pakai pemikiran. Di dalam bagian ini kita tentu tidak sedang mengatakan rasio adalah segalanya, tapi biarlah kita lihat bahwa tetap ada kebenaran-kebenaran yang memang supra-rasio, melampaui dari akal logika, tapi kita lihat kebenaran yang sejati itu memimpin logika kita, memimpin cara berpikir kita, sehingga mengubahkan bagaimana kita menatap kehidupan ini. Kita bukan hanya didorong untuk pokoknya ikut Tuhan secara mati, itu menjadi iman yang buta. “Pokoknya ikut Alkitab,” bagaimana penjelasannya? Enggak ada. Nah ini kadang-kadang juga saya pikir menarik ya kalau kita renungkan bagian sini. Paulus di dalam menyusun argumennya itu tidak sekedar, “Pokok’e.” Kadang-kadang kita berargumen kan begitu ya, “Pokoknya begini,” logikanya apa, pemikirannya apa, pertimbangannya apa? Enggak ada. “Pokoknya begini, pokoknya mama bilang begini kamu ikut.” Itu cuma pakai power gitu ya, cuma pakai “pokoknya peran saya ini orang tua, kamu ikut,” dipatok gitu. Kalau begitu tidak masuk pada pengertian.
Kalau kita lihat di dalam Alkitab, Tuhan itu juga tidak sampai pada kita dengan pemikiran seperti itu, “Pokoknya, pokoknya,” tapi diberikan logikanya, diberikan pemikiran, pertimbangannya, dan mau tarik melihat bahwa ada yang melampaui itu dan itu justru mencerahkan pikiran kita melihat Kristus bisa lebih diutamakan sedemikian bahkan sampai semua yang lama itu rugi. Saya masuk ke poin terakhir, yaitu bicara: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang ku anggap rugi karena Kristus.” Ini adalah ungkapan bahasa, untung-rugi itu kan bahasa dagang. Nah kalau dagang ini biasanya, “Oh kalau gini saya ngerti.” – gitu ya? Secara dagang ya ngerti, gitu ya. Itu bicara apa? Yang dulu itu rugi. Rugi karena apa? Karena ada yang lebih untung, yaitu Kristus itu sendiri. Nah pertanyaan adalah, apakah kita bisa bertumbuh pengertian kita sedemikian, sampai kita lihat, memang karena pekerjaan Kristus itulah saya untung. Dan sedemikian untungnya, sampai benar-benar saya lihat yang lama itu rugi. Kalau kita lihat yang lama rugi, kan kita nggak mau lagi. Iya, nggak? Ada nggak sih orang mau kerja itu rugi? Nggak ada, ya? Kalau di dalam pepatah orang Chinese itu ya mengatakan itu, “Kalau rugi, kalau pekerjaannya rugi, tidak ada yang mau kerjakan. Tapi kalau untung, potong kepalapun kita mau kerjakan.” Kalau kerjaan itu untung, wah itu potong kepalapun saya mau. Tapi kalau rugi, ah, satupun tidak ada yang mau kerja. Jadi ini bicara adalah karena memang sesuatu yang untung itulah mendorong kita mengerjakan. Di dalam kita mengikut Kristus, adalah satu sisi memang kita sangkal diri, pikul salib, ngikut Kristus. Tapi bukan saja sekedar untuk kita menyiksa diri, tapi karena kita lihat memang Kristus lebih utama. Kristus itu yang lebih menguntungkan. Dalam artian bahwa, karena Dia itu sedemikian mulianya, karena Dia itu sedemikian berharganya, sehingga lebih berharga daripada semua apa keuntungan yang ditawarkan di dalam dunia ini. Apa yang ditawarkan dunia ini, apa yang ditawarkan di dalam pekerjaan, apa yang ditawarkan di dalam pendidikan, apa yang ditawarkan secara keuangan, dan semuanya? Tapi adakah kita melihat bahwa Kristus, dan hanya Kristus saja yang harus bertakhta di dalam hidup kita? Dan ketika kita lihat Kristus yang bertakhta, ya sudah, that’s enough! Itu cukup! Dan itu sudah untung saya karena saya memiliki Kristus. Meski saya tidak memiliki yang lain ini.
Ya di dalam bagian ini, kalau kita lihat, kenapa sih di dalam Reformed dan ataupun Protestan secara umumnya itu, suka mengkritik budaya atau tradisi. Bagian ini kita melihat adalah karena memang bagian itu bicara Kristus lebih utama dari pada tradisi budaya kita. Kembali lagi, ada tradisi budaya yang memang ketika tidak bertentangan dengan Alkitab, ya kita lakukan saja. Itu bagian yang positif, bagian yang baik. Tapi kita harus berani mengambil sikap. Tradisi-tradisi, budaya-budaya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan kebenaran firman, harus kita tolak, harus kita potong. Kita potong, kenapa? Bukan karena kita benci orang lain, tapi karena saking mencintai Kristus itu lebih. Dan bahkan kita lihat untung karena kita memiliki Kristus itu. Karena memiliki Kristus itulah kita tolak semuanya. Dan ketika Paulus tegaskan bagian ini, dia itu keras sekali menentang sunat. Menarik ya, dia sendiri kan disunat. Dan tanda sunat itu kan sesuatu yang nggak bisa di-undo ya? Nggak bisa dicancel, itu ya permanen seperti itu. Tapi dia menyatakan, meski begitu, lihatlah bahwa ini bukan manjadi dasar keselamatan kita. Ini bukan menjadi dasar kita itu menghidupi kehidupan kita mengikut Kristus itu seperti itu. Kembali lagi ya, tiap-tiap orang, tiap kita yang ketika percaya pada Tuhan berasal dari background yang berbeda-beda, kita punya tradisi masing-masing, bahkan kita sudah punya “konsep berpikir dan kepercayaan” masing-masing yang lain sebelum mengikut Kristus. Kita tidak percaya Kristus dari kevakuman, kita sudah ada background-nya itu. Tapi kemudian, adakah kita berani merombak apa kebiasaan-kebiasaan kita, pola pikir kita, gaya kehidupan yang lama itu, karena Kristus? Itulah mau berbicara adakah Kristus sungguh bertakhta dalam hidup kita? Adakah sungguh kita lihat Dia yang sentral, Dia yang utama, sehingga semua kebiasaan yang lama itu kita berani buka, berani bongkar, berani buang? Kenapa? Karena Kristus. Karena Kristuslah aku lihat semua itu rugi. Karena Kristuslah aku melihat semua kebiasaan yang lama itu hanyalah sesuatu buatan manusia yang lahiriah, yang tidak mendatangkan faedah apapun.
Terkadang dalam kehidupan kita lihat, ketika orang melakukan semua ini, justru ya, di dalam banyak hal, pasti menghadapi tantangan. Ya karena bertentangan dengan apa yang di, secara aspek sosial kan? Bertentangan dengan kebiasaan sekitar, kan? Dengan masyarakat setempat. Tapi di bagian ini, saya percaya adalah ketika kita lakukan ini, kita lihat, yang penting Kristus ditinggikan, saya lakukan ini. Dan meski di tengah tantangan yang besar, yang dihadapi lingkungan, kita belajar untuk melihat, ya Kristus itulah menjadi keuntunganku, dan yang semua itu kita buang. Dalam banyak hal, saya percaya ketika kita menggumulkan ini, kita akan menghadapi banyak kesulitan tantangan, tapi biarlah kita mengingat, kita bukan semata-mata senang karena tantangan itu per se sendiri. Tapi kita lihat, ketika Tuhan izinkan itu hadir dalam kehidupan kita, itu suatu bentukan yang Tuhan hadirkan untuk memproses kita lebih murni lagi, lebih murni lagi. Untuk kita lihat, sungguhkah Kristus yang kita tinggikan? Dan ketika kita diproses di dalam proses yang menyakitkan itu, biarlah kita melihat, terutama di balik semua ini, ada bukan saja karena apa yang dikatakan dalam Kitab Suci. Bukan saja karena hari ini saya mengkhotbahkan ini pada Anda. Tapi ingatlah bahwa karena Kristus sudah lebih dahulu lakukan ini. Bahwa Dialah yang menyangkal diriNya lebih dahulu. Dia yang lebih dulu memikul salibNya, sedemikian rupa, karena dosa kita. Dialah mencurahkan diriNya, darah-Nya tercurah itu untuk menebus dosa kita. Kalau ada kita yang berani mengatakan bahwa kita dalam melawan dosa pun, belum sampai mencurahkan darah kan? Kristus sudah mencurahkan darahNya untuk menebus dosa kita. Kita ketika mengasihi Tuhan, lebih daripada apapun, mengasihi Kristus lebih dari apapun. Ingatlah, Dia sudah mengasihi kita sedemikian rupanya, sampai Dia rela meninggalkan takhtaNya di Surga, meninggalkan kemuliaanNya di Sorga, hanya untuk menebus kita orang-orang berdosa. Biarlah kita membalasnya juga dengan mengasihi Dia, dengan sepenuh hati kita, dengan segenap kekuatan kita, dengan segenap akal budi kita, dengan segenap jiwa kita, dengan segenap semua dirinya kita. Dan sungguh biarlah Kristus bertakhta dalam kehidupan kita, dan itu yang menjadi kebanggaan kita, kepuasan kita, dan fulfilment dalam kehidupan kita di tengah dunia yang terus berubah-rubah ini. Mari kita satu dalam doa.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]