Filipi 4:13
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Di dalam sejarah filsafat Yunani ada dua tokoh yang paling besar itu biasanya orang mengerti itu dari Plato lalu lanjut kepada Aristoteles. Itu dua ada pemikiran sebenarnya yang berbeda. Tapi kemudian kita lihat sebenarnya meski tentu ada orang-orang sepantaran kalau mau dibilang seangkatan dengan Aristoteles, tapi biasanya orang lihat yang penting itu pemikiran Plato lalu dilanjutkan Aristoteles meski kembali lagi sebenarnya ada dua penekanan pembahasan mereka yang berbeda. Tapi setelah kematian dari Aristoteles lalu kemudian ada jadi berkembang dua macam pemikiran dan filsafat Yunani. Yang pertama itu dari Epicurus yang kemudian hari nanti berkembang dengan pemikiran etika Hedonistik yang mana berbicara kehidupan ini ya kita nikmati saja kehidupan ini, kita nikmati apa yang ada, dan meski Epicurus tidak sampai ke Hedonistik yang jauh ya tapi sebenarnya adalah dia berbicara yapa yang di dunia ini untuk kita nikmati. Itu ada satu mazhab yang ke sana.
Tapi kemudian ada aliran lain yaitu dari Zeno yang membuat Sekolah Stoikisme ya. Di dalam beberapa kesempatan khotbah saya, saya sudah singgung tentang stoikisme, kenapa kita bahas stoikisme, karena kita mengerti ini yang jadi background dan yang banyak filsafat dipegang orang di zaman Paulus ya maupun juga sebenarnya sampai sekarang masih ada sisa bentuknya. Itu selalu masalah filsafat gitu ya, orang nggak tentu tahu oh isme-nya, oh tokohnya siapa, tapi seringkali itu meresap dalam kehidupan kita. Nah saya lanjut tentang stoikisme ini karena kita akan highlight disini. Stoikisme itu menekankan apa? Dia menekankan pentingnya rasio manusia yang mengontrol atas dirinya ya. Jadi ada suatu pemikiran bahwa rasio memimpin emosi lalu emosi ini memimpin keinginan, karena bicara ini ya keinginan dan nafsu itu di bawah gitu ya. Dan dia bilang secara anatomi manusia ya bergerak baiknya itu gitu. Jadi rasio pimpin emosi karena bilang emosinya itu di hati, jadi bilangnya seperti itu, lalu emosi ini yang memimpin keinginan kita, nafsu kita, hasrat kita ya.
Jadi dalam pemikiran itu ya seperti itu kira-kira kalau mau secara disederhanakan ya dalam kehidupan sehari-hari kamu ingin memuaskan keinginan hasratmu, keinginan yang nafsumu. biarlah itu dikontrol oleh emosi. Maksudnya itu adalah kamu memuaskannya dengan orang yang kamu kasihi. Nah itu maksudnya di situ ya dengan sesuai emosinya. Jadi nggak sembarangan, nggak melacur di situ. Yang sungguh-sungguh kamu kasihi dan yang kamu kasihi itu dikuasi dengan kontrol logika rasio itu. Jadi bukan sekedar sembarang oh saya kasihi ini, saya kasihi itu, itu sesuai dengan prinsip logikanya atau nggak? Rasio yang memimpin semuanya itu.
Jadi dalam satu bagian ini ada bagian yang cukup baik ya karena kita lihat ada pengaturan yang baik secara itu, tapi ada kelemahannya karena memang kemudian kalau begitu siapa yang memimpin rasio? Dan akhirnya memang mazhab ini kalau diteruskan itu artinya menjadi rasionalisme, apa-apa itu diukur rasio. “Pakai otak dong,” ya semuanya pakai otak gitu ya sampai perasaan ya pokoknya diukur otak, dan otak ini jadi pengukur segala sesuatunya. Kembali lagi ada tempatnya, ada poinnya, tapi kita memengerti ada keterbatasannya dan apalagi ketika pembicaraan ini akhirnya tidak ada tempat bicara tentang rohani. Harusnya kita mengerti rohani itu, iman itu, aspek spiritual itu, yang memimpin baik di dalam rasio juga emosi maupun juga kehendak.
Nah tapi kemudian saya lanjut ketika berkembang ada pemikiran dari stoikisme ini, yaitu kenapa mereka atur kayak gini karena mereka berpikir adalah ada banyak hal yang terjadi di kehidupan ini kenyataannya di luar kontrol kita. Maka yang kita bisa lakukan itu, ada hal yang terjadi memang di luar kontrol kita jadi dan kita nggak bisa atur itu. Ya memang terjadi begitu ya. Misalnya seperti kalau zaman sekarang pandemi itu kan kita bukan atur, suka nggak suka ada begitu. Orang nanti nggak tahu lagi ya kalau ada yang aliran, “Oh nggak ada, Pak. Pandemi Corona itu bohongan, karangan.” Kita nggak masuk sana ya. Kenyataannya beneran ada virus itu. Kita nggak lihat, kita nggak rasain ya bukan berarti nggak ada ya, dia beneran ada. Dan pemikiran itu juga ada banyak hal yang terjadi di alam semesta di luar kontrol kita, dan yang kita bisa lakukan adalah nggak usah pusing hal diluar itu ya. Baik ada penderitaan ataupun kesenangan, kemiskinan atau kekayaan ya, itu kita nggak usah pusingin itu. Yang kita bisa atur itu adalah dia bilang di rasionya ini ya. Dan makanya dalam bagian karena agak gaya-gaya modernisme juga itu ya, itu akhirnya kemudian hari memang ya, tapi itu ada sangat menekan aspek emosi ya.
Nah menariknya ini pemikiran Zeno ini dia sebenarnya terinspirasi dari Diogenes. Diogenes itu orang yang menarik juga gitu ya, dia sebenarnya orang yang punya kelimpahan kekayakan tapi dia itu hidup di dalam gentong gitu ya. Terus dia hidup benar-benar melarat dia cuma makan biasanya itu dari sampah atau apa gitu ya yang sisa-sisa seperti itu. Lalu dia bisa kelihatan meskipun dia kok kayaknya kamu hidup susah gitu ya tapi dia bisa dia mengatakan ada suatu sila bahwa dia itu bisa puas bisa content meski dengan hal yang paling sedikit ini. Nah kira-kira gitu ya. Jadi ini filsafatnya dari Diogenes yang kemudian menginspirasi Zeno ya. Dia lihat Diogenes itu hidupnya itu jadi, “Loh kok kamu hidupnya dalam gentong gitu ya, makannya yang sampah?” Ini bukan benar-benar kaum miskin tapi memang dia lepaskan terus dia bilang, “Saya kalau bisa belajar puas hanya dengan yang paling sedikit saya berarti hidupnya penuh,” gitu ya. Definisi dia gitu. “Karena kalau saya baru bisa puas ketika makannya enak, wah berarti hidup saya bergantung kepada makanan itu,” ya dan seterusnya.
Sehingga kalau kita lihat di dalam pemikiran stoikisme ini dia akhirnya makanya makin lama makin bergerak ya itu kita jangan bergantung pada luar ya, kita kontrol itu di dalam otak kita di dalam rasio kita, kita mengaturnya sedemikian. Dan ada kadang-kadang kalau pembacaan yang seperti itu akhirnya kalau kita lihat teks dari apa yang dikatakan Paulus, “Aku bisa melakukan segala sesuatu di dalam Dia memberi kekuatan kepadaku, aku tahu apa itu kelimpahan, kekurangan, aku tahu apa itu baik dalam hal kelaparan, kenyang dan seterusnya, aku tahu itu,” orang kadang bisa baca oh ini kayak stoik. Tapi kita menemukan ada perbedaan yang meski tampak luarnya itu bisa mirip tapi ada perbedaan yang radikal yaitu di motivasinya. Yaitu stoikisme akhirnya bergerak kepada self-sufficiency, ya itu saya belajar cukup sendiri, yang kontrol saya sendiri kok.
Kadang-kadang ada orang juga gitu ya, “Oh ini pendeta oh ini kan masalah pikiran ini, saya yang atur aja saya kendalikan diri saya sebagaimananya itu terus saya nggak terpengaruh dan itu akhirnya bicara kekuatan mental saya, karakter saya,” dan seterusnya. “Makin kuat itu kalau saya bisa makin independen, kalau saya bisa makin bergerak independen tidak bergantung dengan yang lain wah itu saya makin dewasa saya makin kuat,” dan seterusnya ya. Dan itu memang diajukan di dalam stoikisme.
Tapi kalau kita lihat apa yang diajarkan Paulus kembali lagi tampak luarnya bisa sepintas sama ya karena dia alami kelaparan, maupun juga hal kenyang ya dia mengerti itu dan dia tidak goyah di situ, itu saya sudah bahas yang lampau. Tapi kembali kalau kita temukan kunci rahasianya itu bukan karena dia bergantung pada kekuatannya atau mentalnya itu memang kuat sekali, tapi dia katakan di kuncinya ayat 13 ini yaitu, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia,” yaitu Kristus, “yang memberi kekuatan kepadaku.”
Jadi kita temukan kunci rahasianya itu ada bergantung pada Kristus itu. Jadi bukan self-sufficiency, tapi Christ–sufficiency. Bergantung kepada Kristus itu yang membuat dia bisa menjalani semua itu. Dan ya tentu bagian sini kita mengerti adalah pertolongan Roh Kudus. Roh Kudus yang menyertai dan menguatkan Paulus, dan bergantung ini bicara adalah kepada anugerah pertolongan Tuhan bukan karena kekuatan kita sendiri. Kembali lagi tampak luarnya kalau orang yang nggak kenal misalnya saya di sini menghadapi misalnya liturgis gitu ya, “Wah kamu kok kuat ya menghadapi bebagai situasi ini ya.” Tampak luarnya bisa kelihatan iya saya kuat menghadapi semua ini, tapi yang memberi kekuatannya itu dari mana, itu menyatakan apakah imannya sejati atau ya sebenarnya sama dengan pikiran orang dunia.
Kalau orang dunia itu ya entah ya kita bisa sih karena backgroundnya Kristen kita bilang, “Iya bergantung pada Tuhan,” tapi sebenarnya bergantung pada diri, rasa self-sufficient itu. Saya bisa kuat sendiri ya memang saya kuat begini saya sudah dewasa dan seterusnya. Tapi dalam iman Kristen juga justru menyatakan bukan self-sufficiency tapi Christ–sufficiency. Bergantung pada Kristus, bergantung pada apa yang Kristus katakan, bergantung pada melihat pada anugerah Tuhan dan melihat pertolongan Tuhan sehingga itu ada sebenarnya semakin orang dalam penderitaan ya kalau mungkin dalam satu aspeknya gitu adalah semakin kalau orang Christ–sufficiency itu dia justru dia semakin berdoa bergantung pada Tuhan, minta pertolongan Tuhan pada setiap harinya, minta Tuhan itu mampukan dia lewati hati-harinya itu ketika di tengah tantangan kesulitan yang ada.
Tapi orang yang self-sufficiency ya tiap dia bangun pagi kira-kira dia cuma bilang apa? “Saya bisa, saya bisa. Yes. Yes. I can.” Ya kira-kira seperti itu. Cuma semacam mengdoktrinasi diri sendiri ya, positive thinking. Pokoknya motivasi saya bisa, saya bisa karena itu self-sufficiency. Tapi Christ sufficiency itu justru kita mengalami posisi rendah, bahwa kita memohon belas kasihan Tuhan, memohon pertolongan anugerah dari Tuhan setiap harinya, dan kita ketika jalani itu, meski kita tahu begitu rentannya kita, kita mengerti kita benar-benar sadar, real secara nyata di dalam diri kita, kita sadari ini Tuhan yang mampukan saya melewati hari lepas harinya ini ya.
Ini yang dijalani Paulus di sini sehingga di dalam bagian ini saya bereskan pertama ini dia bukan masuk ke stoikisme karena ini masalah point of reference-nya dia bergantung pada siapa ya. Itu makanya sama itu ketika misalnya bilang Adam itu waktu Adam dan Hawa itu jatuh ke dalam dosa, dosanya apa sih? “Oh, mereka mau seperti Allah.” Loh kita mau jadi seperti Allah itu baik toh, kita meneladani Allah? Tapi masalahnya ini apa? Itu Calvin mengatakan permasalahannya itu bukan per se kalau kita bisa masuk ke pengertian bukan bilang, “Oh saya mau meneladani Tuhan,” nggak. Tapi dia itu point of reference-nya, yaitu dia mau menjadi Tuhan itu ya. Bukan bergantung pada Tuhan tapi dia mau menjadi Tuhan itu, maksudnya di situ dan itu point of reference-nya beda. Dia bergeser tadinya dia hidupnya sebagaimana manusia dicipta menurut gambar rupa Allah, berarti point of reference-nya yaitu Allah.
Kalau misalnya saya membuat makalah ini, misalnya ini aslinya ya, lalu saya buat copy-annya, maka copy-annya itu point of reference-nya asliannya. Bisa nangkap ya. Titik referensinya, patokannya, ceknya standarnya itu menurut yang aslinya. Tapi ketika yang dilakukan Adam dan Hawa itu adalah menarik kepada diri, penentunya ya saya. Saya sendiri yang mau menentukan apa yang baik dan jahat dan seterusnya, dan sama itu sebenarnya pola yang sama di dalam stoikisme itu. Meski tampak kelihatan orangnya jadi kuat, dewasa gitu ya, dia bisa bergerak independen gini, tapi sebenarnya dia bergantung pada diri. Nah ini yang diingatkan Paulus dalam bagian ini, kita nggak jatuh ke sana ya. Tentu bukan sebaliknya kekanak-kanakan kayak bayi gede apa-apa masih minta disuapin, bukan ke sana juga. Tapi biarlah kita ingat pertumbuhan kedewasaan Kristen itu adalah di dalam secara rohani itu makin bergantung pada Tuhan day by day itu ya.
Poin selanjutnya ketika dikatakan saya membahas merenungkan bagian ini, bisa melakukan segala sesuatu, ini apa. Tentu ada orang itu ya, “Segala perkara dapat kutanggung…” itu kadang-kadang orang juga misunderstood gitu ya. Misalnya orang, “Bagaimana menghadapi ujian besok?” Kalau kita ini tanya anak pemuda ya, “Bagaimana kalau ada ujian?” Oh ini, pak. Ini pak Filipi 4:13 “Segala perkara dapat ku tanggung di dalam Dia,” gitu ya jawabannya. Wah kamu belajar nggak? “Nggak belajar, pokoknya segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia,” gitu ya. Nggak. Kita nggak masuk ke situ gitu ya. Ini bukan jadi ala Superman, Filipi 4:13 kita loncat keluar dari gedung bisa terbang, nggak bisa, nggak bisa. Don’t try this, nggak begitu.
Karena kalau kita kembali pada penafsirannya, kembali pada konteksnya, kita lihat yang dibilang maksud ini aku bisa terjemahan Indonesia makanya cukup dia pakai bukan formal equivalence tapi function equivalence, mencoba ke meaning-nya. Dia tidak terjemahkan, “Aku bisa melakukan segala sesuatu,” tapi dia bilang, “segala perkara dapat kutanggung.” Karena saya rasa terjemahan Indonesia mau mengarahkan kepada kesulitan yang dihadapi Paulus itu ya. Meski kembali lagi ya literalnya itu bilang, “Aku dapat melakukan segala sesuatu di dalam Dia.”
Nah di bagian sini kita lihat dalam konteksnya memang kenyataannya Paulus tidak mengatakan aku bisa melakukan segala sesuatu itu jadi Superman tiba-tiba apa ya dinding penjara langsung roboh, pintunya terbuka, “Bisa aku dapat melakukan segala sesuatu,” tidak seperti itu. Dia tidak masuk ke sana. Dia juga benar-benar mengalami kelaparan di penjara, itu juga bukan tiba-tiba mujizat jadi penuh perutnya gitu ya. Lah iya loh dia kan tetap menantikan Epafroditus ya itu saya sudah bahas dari yang lalu ya memberikan bantuan makanan pada dia. Tidak ada mujizat mendadak di sana. Tapi kalau kita lihat dalam konteksnya ini bicara dia bisa menanggung kesulitan penderitaan yang berat itu meski dalam kesulitan yang unthinkable, tak terbayangkan, tak terpikirkan harus menjalani, dan entah berapa lama dia melihat ya Tuhan lah yang mampukan saya menjalani itu, meski memang sulit sekali.
Nah disini kita temukan cetusan dia punya kristalasi pemikiran, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku,” itu bicara ketika mungkin ya kira-kira mungkin kalau orang yang sebut saja Epafroditus yang lagi besuk Paulus mungkin dia bilang, “Wah Paulus kamu luar biasa ya. Kamu tabah sekali, kuat sekali hadapi semua tantangan ini.” Nah ini dia kasih bocoran, “Ini bukan kekuatan saya. Tapi memang Tuhan yang mampukan saya melewati ini. Kalau mau dibilang itu saya sendiri nggak tahu loh saya kok bisa masih bisa jalani ini, saya kok masih bisa beriman, saya juga nggak mengerti. Tapi karena Roh Kudus yang mampukan saya, Kristus menopang saya hari demi harinya, saya tetap tabah jalani semua situasi ini.”
Itu kadang-kadang dalam kehidupan kan ada gitu ya. Ada kadang orang bilang how low can you go gitu ya? Sudah ditekan sampai serendah gimana, sulitnya gimana, tetapkah kita bergantung pada Tuhan? Itu bicara ya itu loh kita tetap bisa berjalan menjalani panggilan Dia, rencana Dia, itu kita karena benar-benar bergantung pada Dia. Kita benar-benar sadar dan acknowledge saya sudah nggak bisa ini sebenarnya jalani kekuatan saya tapi karena itulah saya bergantung pada Tuhan ya. Ini yang bicara dimaksud di sini sehingga tidak ada masuk ke itu ya ala Superman, pakai teks ini, atau kadang-kadang itu orang mau tanding olahraga oh Filipi 4:13 pasti saya tendang gol gitu ya atau lempar pasti masuk. Nggak ya, nggak nasuk ke sana. Nah ini ada konteksnya di dalam penderitaan dan kesulitan.
Dan ini menarik ketika saya renungkan di dalam bagian ini saya coba kaitkan apa yang dikatakan dalam 1 Korintus 10:13. Ayat yang cukup terkenal 1 Korintus 10:13 saya akan bacakan untuk setiap kita, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”
Nah bagian ini akhirnya biasanya orang lihat, “Oh iya ini Tuhan tahulah ambang batas kekuatan saya di mana ya dan Tuhan tidak kasih load-nya lebih dari itu.” Di dalam ilmu Metalurgi ada istilahnya itu metal fatigue yaitu titik lelah maksimum suatu logam ataupun suatu materi benda lainnya, daya tahannya menerima stress atau tekanan gitu ya, yang kalau dia lewat dari itu ya patah. Ya itu namanya metal fatigue. Jadi misalnya logam kadang-kadang ini kalau yang di bagian kalau saya soalnya kemarin ini Solo ini kan pembangunan gitu ya kadang beli besi ini sama besinya oh kok beda harga. Oh iya beda kepadatannya itu kan. Metal fatigue-nya itu di mana, di mana daya tahannya sekuat apa gitu ya, ya paling umum kan ya makin mahal itu ya karena memang sama-sama besi, sama-sama kalo pentung ini ya sakit tapi ya kekerasannya itu ya, metal fatigue-nya itu beda. Jadi itu dibilang ada istilah dalam Metalurgi itu daya tahannya itu titik mana, kalau sampai lebih dari itu baru dia patah gitu. Kalau misalnya sederhana kita kalo naik lift itu kan ada itu maksimum berapa kilo, nah itu metal fatigue-nya. Titik itu, jadi kalau lebih dari itu ya amblas atau dia nggak kuat ngangkat gitu ya karena memang titiknya situ.
Dan kadang-kadang akhirnya orang juga suka berpikir gini gitu ya, “Wah kalau kita kerjakan pelayanan itu ya kita tahulah batas kita di mana.” Kita tahu batasnya mana sehingga kalau orang pelayanan atau kerjakan ya kehidupan ini juga ada kompleksitasnya gitu ya ada dalam kita ibadah, dalam relasi pekerjaan, keluarga, seterusnya kalau sampai stress atau ujung-ujungnya jadi burnt out gitu, “Wah tunggu dulu mungkin ini sudah over, mungkin lewatin ambang batas itu.” Jadi kita set back mundur gitu supaya jangan sampai patah, kalau patah, fatigue ya jadinya kan mutung gitu ya. Sehingga ada yang pakai istilah ya kita kan trusting God bukan testing God. Jangan test-test Tuhan, kamu ada batasnya ya batasnya situ ya. Jadi setiap kita alami apa-apa kita pikir bahwa ya kira-kira Tuhan tahulah batas saya gitu ya, kira-kira batas kayak lift gitu ya maskimum berapa kilo, lebih dari itu ya patah saya, lebih dari itu patah. Dan kita jangan lewati itu karena kita bilang ya Tuhan tidak akan berikan kita melewati batas metal fatigue itu kira-kira gitu.
Nah dulunya juga saya mengerti kira-kira pencobaan ujian kita hadapi itu kira-kira seperti itu. Tapi kemudian hari saya ketika menggumulkan lebih dalam saya tidak bisa tidak menemukan bahwa kenyataannya penjelasan metal fatigue itu helping but inadequate. Ini menolong tapi tidak cukup gitu. Karena kenyataannya kalau kita mau jujur, penderitaan yang kita hadapi dalam kehidupan ini jauh lebih berat dari yang kita punya rasa ambang batas itu. Kenyataan dalam kehidupan ini kita menghadapi ujian, kesulitan, penderitaan yang secara fenomena kita benar-benar real di waktu alami itu, ini kok melewati dari batasan yang saya bisa bayangkan? Nah ini lalu gimana ya kita pikir ini sama sesuai batasnya atau tidak gitu ya. Tapi itulah dalam banyak hal ketika saya renungkan lebih dalam dan tentu perenungannya banyak baca juga gitu yang lain, pertanyaannya juga itu kalau kita bilang ini oh ini ada batasannya, saya pertanyaannya, batasannya itu di mana?
Karena istilah sebenarnya istilah Dia tahu batas kekuatan kita di dalam 1 Korintus 10:13 itu bisa dibilang itu ability kita, kemampuan kita. Di mana batasnya itu bisa kalau kita mau bilang endurance kita, daya tahannya sampai mana? Nah itu jadi satu pertanyaan gitu ya, mau tahu di mana batas kekuatan kita. Katakan, nggak tahu, tidak ada muncul di sini kan, oh batasnya cuma berapa kilo gitu ya, besok-besok diminta pelayanan, “Oh saya batasnya sekian kilo, jadi udah nggak bisa,” gitu ya. Kita nggak tahu, itu masalahnya. Itu satu. Dan kedua, kenyataannya kita perlu diingatkan, ya kita, paling simple ya, kita bukan metal. Kita bukan benda mati, kita adalah makhluk hidup, kita adalah organisme. Dan namanya organisme itu ada pergerakan, ada pertumbuhan.
Paling simple sederhana dalam kehidupan Paulus pun kita temukan di dalam surat-suratnya, ada pertumbuhan yang dialami Paulus. Saya ambil saja highlight di bagian sini yang sederhana itu dari 1 Korintus 15:9 di bagian itu dia katakan, “Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul,” lalu kemudian lagi di Efesus 3:8 dikatakan, “Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus,” nanti di 1 Timotius 1:15 Paulus katakan, “Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa.””
Pak Tong pernah di satu kesempatan menceritakan ini ada pertemuan Paulus pengenalan dia dalam Kristus yang bertumbuh, bertumbuh, dia makin mendalam. Sehingga ini bukan cuma tulisan theologis gitu ya, “Oh lebih bagus dong kalau cuma paling hina dari semua rasul,” kemudian hari pikir, “Oh lebih bagus apa ya, oh paling hina dari semua orang kudus,” nanti kemudian hari, “Akulah yang paling berdosa.” Nggak, itu adalah satu penghayatan dan pertumbuhan dari Paulus. Sehingga saya rasa, dan di dalam bagian ini, ketika kita mengerti pergumulan sehingga bukan stuck di angka kilo yang sama, kalau mau dibilang di situ, bisa nangkap ya? Kalau besi, ya daya tahannya segini, segini, mau dari kapan, sampai kapan juga gitu, malah dia ada korosi, malah ada penurunan, bisa lama-lama tadinya tahannya misalnya 100 kg itu bisa jadi menurun, gitu ya. Tapi, kalau kita mengerti manusia, karena kita organik itu justru kita bertumbuh, sehingga mungkin kalau kita mau tarik pertanyaan lebih mendalam itu apa yang membuat kita bertumbuh, apa yang membuat sendi, daging, otot kita ini bertumbuh, ya?
Maka di dalam bagian ini kalau kita tanya para ahli kesehatan, mereka akan jawab simple ya, menekankan 3 faktor penting yaitu exercise, eat, and rest. Ya, ini paling basic, exercise, eat, and rest. Latihan, ya, dilatihkan, lalu makan, dan istirahat. Pertama bicara exercise karena kita perlu latih, kalau tidak otot itu justru akan menciut lama-lama. Bahkan ada menarik saya pernah lihat ada satu pembahasan, mendengarkan satu pembahasan itu dari seorang yang mengatakan, ini orang sebenarnya meneliti kehidupan orang zaman sekarang, kenapa ya orang zaman sekarang itu banyak giginya itu masalah gitu ya, giginya itu bengkok-bengkok gitu ya, atau giginya itu nggak pas di rahang nya, atau sampai satu titik, perlu cabut wisdom tooth-nya gitu ya, apa si wisdom tooth, gigi bijaksana atau apa gitu, ya gigi yang terakhir itu lah, kadang-kadang gitu ya. Terus orang ini kemudian meneliti, herannya kalau cek itu sekitar 500 tahun yang lalu tidak ada yang masalah gitu. Semua itu rahangnya bagus, tidak ada yang perlu cabut giginya. Dan ini tentu ya ngomong 90% sekian, ya kita bilang tetap ada yang menyimpang satu dua tapi itu, jarang sekali. Dia bilang itu 99% itu tidak ada giginya bengkok, dan pas di rahangnya. Kenapa? Lalu dia teliti-teliti kok nggak ketemu, ini apakah dulu tulang lebih bagus, zaman sekarang tulangnya bengkok-bengkok gitu, jelek dan seterusnya.
Menarik dalam penelitian ahli ini, dia mengatakan bahwa setelah dia teliti, itu bukan di masalah tulang mereka naturnya itu ada beda gitu ya, gusinya beda, segala macamnya, tapi dia bilang memang karena di pola makannya. Menarik ya, dia bilang itu adalah memang orang zaman dulu itu menghabiskan katanya itu sekitar 4 jam sehari itu untuk mengunyah makan. Aduh, kunyah aja selama itu ya. Saya juga nggak mengerti ya mereka itu kunyah-kunyah kapan habisnya gitu ya. Ya itulah, karena zaman dulu teknik masaknya masih keras, itu katanya itu. Dan menariknya adalah sehingga rahangnya itu sudah selalu dilatih, dan itu akhirnya cukup bertumbuh sampai maksimum, sampai itu dia bisa berarti bisa tampung giginya dan seterusnya.
Dan menarik ini ya dia bilang, bahkan sebenarnya kalau cek orang 500 tahun yang lalu itu tidak ada orang permasalahan di pernafasan. Zaman sekarang itu ada banyak permasalahan pernafasan. Ini bukan karena isu COVID pakai masker ya. Dia bilang karena orang zaman dulu itu lho, dia terlatih rahangnya, sehingga dia nafasnya juga lebih bagus. Kita tidak heran ya, kadang-kadang kita temukan hymn-hymn yang klasik itu kok nadanya tinggi sekali. Itu bukan mereka makhluk lain, mereka latih. Exercise selalu, bahkan di dalam tulang rahangnya sedemikian, dan sehingga itu terlatih dan bertumbuh sampai full. Mungkin zaman sekarang kita sudah terlalu enak dengan makanan modern yang lembek, empuk sekali ya, kunyah cuma dikit-dikit telan, selesai, memang sudah lembek gitu. Saya tidak tentu bicara untuk kita makan mulai sekarang yang keras-keras mentah, bukan, tapi kita lihat di sini, exercise itu kenyataannya perlu dalam tubuh kita dan dalam bahkan para ahli atlet selalu mengerti ada dalam mereka latih kehidupannya itu ada gitu ya, melatih bagaimana mereka itu exercise sedemikian berat, dalam satu intens yang tersendiri gitu ya, untuk bisa ada pelatihan di situ.
Nah menarik ketika di dalam para ahli di sini membahas exercise ini juga bukan cuma sekedar latihan olahraga-olahraga sampai ngos-ngosan. Kalau saya dulu pikir, “Oh olahraga penting,” ya olahraga pokoknya sampai keringatan. Dia bilang nggak di situ. Menariknya dia katakan exercise itu harus, kalau mau memang bertumbuh, sampai ototnya jadi itu adalah harus sampai jaringan otot-ototnya sobek. Harus sobek baru supaya ada perbaikan membentuk otot yang baru yang lebih kuat. Di sini menarik ya dia katakan itu, jadi exercise-nya harus demikian. Oh ya OK kalau gitu latihannya harus memang capek, sampai ada sobek ototnya.
Lalu berikutnya apa? Eat, yaitu makan yang bernutrisi tinggi. Atau secara spesifik itu bicara sebenarnya terutama makan yang berprotein tinggi, karena istilah Yunani itu protein itu proteos, yang terutama itu yang harus kamu consume ya. Di sini baru saya mengerti gitu ya pantesan kalau cuma olahraga-olahraga, capek terus, “Ah, capeknya minum es teh manis aja atau soda.” Wih senang ya. Ya itu sugar rush doang, nggak jadi apa-apa karena nggak ada proteinnya.
Nah menarik ketika bicara aspek eat, makan, ada orang yang pernah membahas itu bahwa sebenarnya dalam makan itu kan ada teleologinya yaitu kita makan itu ada tujuannya itu untuk nutrisi. Kita bisa bahkan katakan misalnya kita makan mungkin faktor lain, gitu ya, karena menyenangkan, kita suka dan seterusnya, ada rasa pacu hormon dan seterusnya, tapi secara biologis dan pada akhirnya, kita makan itu untuk mendapatkan nutrisi. Sehingga kalau suatu saat kita berhenti untuk bisa menikmati makanan ataupun the act of eating, tetap kamu butuh nutrisi itu untuk, ya untuk hidup, simple ya. Dan ini, jadi makan yang bernutrisi itu baru bisa kebentuk hasil exercise-nya itu. Jadi kita bisa lihat di sini orang kalau sudah latih habis-habisan, yah makan minumnya cuma es teh, yah makannya apa itu, orang kadang-kadang lihat di menu asia nasi sama mie sama kentang, apa lagi gitu ya pokoknya karbo, karbo, karbo. Harus ada proteinnya, gitu. Dan kalau tidak ada protein cukup, ya nggak jadi bertumbuh.
Dan kemudian faktor ketiga yang penting itu adalah rest, beristirahat itu. neuroscientist itu sering melihat ada perlu ada quality deep sleep. Meskipun bisa short nap tapi ada itu sekedar pause ya, sehingga tidak ke sana. Ya itu kita juga lihat yang seimbang ya, itu bukan, “Wah saya mau berotot,” terus gimana? Saya latih pokoknya udah capek-capek saya latih, latih terus. Ya nggak, habis kamu. Kamu butuh rest juga, kamu butuh istirahat. Ada akhirnya orang makanya itu istilahnya, sleep on it, gitu ya. Ini neuroscientist itu adalah mengatakan memang nggak baik itu kalau kita habis-habisan situ. Ada waktunya memang istirahat, ada siklusnya gitu, makan, olahraga, the exercise, dan juga istirahat itu.
Dan kadang-kadang ada orang yang akhirnya pikir, “Oh ya saya minum aja alkohol supaya saya gampang tenang, atau drugs.” Menarik neuroscientist itu katakan alkohol dan drugs itu tidak benar-benar bikin rest karena itu hanya sedation saja, itu hanya obat penenang. Hanya penenang, oh, habis minum obat penenang, wih, saya jadi gampang tidur, nggak dia bilang itu beda rest-nya. Kamu perlu memang benar-benar istirahat yang memang kamu lepas dari situ dan kamu sleep on it ya istilahnya ya. Dan istirahat itu menariknya adalah supaya kita tidak lupa apa yang kita pelajari. Dan orang-orang di militer dan para atlet itu tahu gitu, sebenarnya ada tarik menarik antara itu. Antara latihan exercise yang intense seperti itu, habis itu suruh istirahat berapa lama, habis itu panggil bangun lagi untuk mereka latih lagi. Ada kayak tarik-tarikan ya di situ. Dan ini adalah rest ini penting juga untuk menjaga kesehatan dan berdampak ke fungsi rasio otak kita, cara berpikir, sebagainya. Actually bagian-bagian ini itu, dan kemudian dilakukan berulang ya, ulang-ulang, ulang bagian itu, bukan cuma satu dua kali, tapi berulang. Dan actually elemen ini juga berlaku ketika kita mau belajar apapun sih. Kita mau belajar hal konseptual ataupun skill, teknik tertentu, itu ada gitu, ya ada exercise, ada eat and rest.
Nah di dalam bagian ini saya pikir menarik ketika kaitkan di dalam, kalau kita mengerti itu adalah bagaimana seni pertumbuhan organik tubuh ini, saya lihat itu ada padanannya, korelasinya dengan bagaimana rasio pertumbuhan kerohanian juga. Saya teringat apa yang dikatakan Luther ya, untuk pertama saya bicara tentang exercise, saya teringat apa yang Luther katakan 3 tanda orang yang boleh bergumul secara kerohanian itu adalah oratio, meditatio, tentatio. Oratio itu adalah prayer, kita berdoa, mediatatio itu kita merenungkan firman, karena ini bukan merenung ala orang Buddhist, merenungkan firman, lalu ada tentatio. Tentatio itu adalah itu seperti anfechtunge, itu adalah suatu tension atau affliction, ujian yang dialami dalam kehidupan, dan itu membentuk kita.
Ini Luther ya, menarik ya, karena di dalam bagian ini menarik ya, itu sehingga, mungkin ya, kalau kita kadang suka pikir, “Oh ya saya baca aja Alkitabnya apa, saya merenungkan firman. Saya berdoa, iya.” Luther tambahkan bukan cuma baca firman dan berdoa, tapi ada ujian itu, itu menumbuhkan kamu. Affliction itu adanya satu tension di sana, kembali ya bukan kita sengaja cari-cari susah tapi adalah untuk memengerti Kitab Suci itu sendiri. Karena kenyataannya lihatlah para penulis Kitab Suci ini menuliskan dalam konteks seperti apa. Mereka semua dalam penganiyaan. Bahkan sangat sedikit yang menulis dalam keadaan yang tenang. Sangat banyak itu terjadi dalam kesulitan yang berat.
Yesaya itu seperti misalnya Yesaya, itu dia bukan berada dalam satu perenungan, cuma di Bait Suci, lalu tulis, “Oh kira-kira yang bagus ini ya,” nggak, dia dalam pergumulan melihat bangsa Israel itu meninggalkan Tuhan. Lalu di tengah semuanya itu, masa itu bukan masa yang baik, masa yang prospek bagi pekerjaan jadi hamba Tuhan. Tapi kemudian dia mendapat penglihatan dari Tuhan bagaimana Tuhan menampakkan ujung jubahnya memenuhi Bait Suci itu, dan ada seruan, “Kudus, kudus, kudus,” dan di situ kita menemukan itulah panggilan, momen panggilan Yesaya di dalam Yesaya pasal 6. Itu bukan di momen yang baik.
Bahkan menariknya ketika dibilang, “Ini aku, utuslah aku,” kita suka juga itu jadi bagian lagu itu. Atau kadang-kadang orang Reformed, “Ini aku, utus dia,” gitu ya, “Oh ini aku, utus aku,” lanjutnya Tuhan katakan, “Ya pergilah ke bangsa itu yang mereka melihat tapi tidak memengerti, mendengar tapi tidak memahami,” dan seterusnya. Berarti ini Tuhan bilang ya kamu akan kerjakan satu pelayanan yang zonk, nilainya itu nggak ada. Nggak ada yang bertobat, kira-kira begitu. Ya eventually kita lihat ada sedikit yang tetap, orang yang keep tulisan Yesaya, tapi kita lihat dia berkhotbah itu ya kepada orang-orang yang menolak. Tapi itulah panggilannya. Dan kita nggak bisa bayangin itu sulitnya itu seperti apa. Nggak usah jauh-jauh, kita kalau khotbah misalnya KKR, nggak ada satu pun yang dengar, kita masih mau lakukan nggak ke sekolah berikutnya? Dan bayangkan itu Yesaya alami bertahun-tahun, bukan cuma anak-anak, ketemu orang dewasa juga begitu, dan orang-orang sebangsanya, dan itulah dia jalani.
Paulus juga sama ketika dia menuliskan surat-suratnya itu dia bukan lagi jalan-jalan, tulis surat kepada jemaat Efesus, “Apa kabar?” Kepada jemaat Filipi, “Apa kabar?” Nggak, dia berada dalam penjara dan dia juga menyaksikan begitu banyak orang-orang Kristen dianiaya, dan itulah konteks dia menuliskan surat-surat ini. Terus kita pikir kita cuma baca di atas kertas, kita cuma baca sambil belajar-belajar, renungan teologis gitu, kita tidak alami penganiayaan, bagaimana kita bisa memahami apa maksud pergumulan yang dituliskan oleh para penulis ini?
Dan lebih dalam ini tentu maksudnya bukan kita happy-happy terhadap penderitaan, tapi untuk kita mengerti betapa dalamnya sukacita dan pengharapan yang dituliskan di dalam Injil, di dalam surat-surat Paulus, di dalam bagian Kitab Suci untuk mengerti betapa kita benar-benar merindukan dan bersandar pada Tuhan. Kenyataannya exercise iman itu membentuk kita untuk boleh mengerti betapa luar biasa dalamnya dan manisnya kebenaran firman itu sendiri.
Orang di dalam kadang-kadang kehidupan juga begitu ya, katanya itu kan orang kalau sudah haus sekali, minum air putih, manis. Air putih biasa manis, kenapa? Karena sudah dahaga sekali, sudah kering sekali, minum baru tahu ada manisnya itu di mana. Sehari-hari minum biasa, ya tidak ada pergumulan, tidak ada apa-apa gitu ya, saya nyaman aja. Tapi kalau kita sudah kalau masuk ke dalam, bahkan pada waktu kita temukan betapa mereka itu sulitnya, dukanya, getirnya mereka hadapi penganiayaan, kesulitan yang berat, yang tidak bisa kita bayangkan, tapi itu mereka jalani dan mereka mengatakan apa? Kita selamat karena iman.
Kalau seperti Calvin akan bilang itu kita dipilih sebelum dunia dijadikan, karena kembali kepada Kitab Suci, predestinasi itu. Itu di saat yang sama Roma itu bilang itu kamu kena kutuk, di-anatema kok dari Roma Katolik. Kita mungkin zaman sekarang biasa gitu ya, cuma dikutuk keluar dari gereja gitu. Zaman dulu, ya semuanya Roma Katolik. Kamu keluar dari sini ya kamu keluar dari keselamatan, keluar dari ajaran yang benar, kira-kira begitu, keluar dari ortodoksi, kamu bidat, dan kamu akan menuju neraka, dan seterusnya. Tapi di situlah para Reformator ketika cetuskan konteks bicara predestinasi itu ada bilang keselamatan kita bukan bergantung pada gereja, bukan bergantung kepada Paus, tapi adalah dari apa yang Kristus kerjakan, karyakan, dan bahkan Tuhan sudah pilih sebelum dunia dijadikan. Jadi kita lihat di situ sebagai pembicaraan predestinasi itu bukan maksud debat theologis kayak gimana ya gitu, meski ada tempatnya, tapi adalah menjadi suatu comfort, suatu penghiburan, di tengah penderitaan yang kita tidak bisa bayangkan, ada Allah yang berdaulat, yang memelihara kehidupan kita. Meski kita tidak bisa pahami, kita bersandar kepada Nya. Dan kesulitan-kesulitan itu membawa kita untuk belajar menaati firman yang lebih dalam lagi, lebih sungguh-sungguh lagi dari sebelum nya.
Atau mungkin di sini kalau saya mau pakai contoh yang biasa dalam kehidupan anak muda, mungkin kira-kira itu kalau misalnya anak muda itu alami patah hati, putus cinta, kira-kira itu kayak apa ya? Ini yang pernah alami, ya saya juga pernah alami gitu, itu aduh rasanya kan sulit sekali ya. Gimana ini pikirnya kan sudah jadi dengan orang Reformed, sama-sama Reformed, ya harusnya jadi dong, tapi ternyata nggak semudah itu, ya, karena jangan lupa ya, orang Reformed itu paling penting itu dari TULIP itu total depravity ya. Ini sama-sama total depravity pacaran sama orang total depravity. Tapi ketika muncul ujian seperti itu, itu sebenarnya satu ujian yang saya sebut sebagai exercise of faith, ujian iman.
Ketika sudah sakit seperti itu, kembali lagi ya bukan untuk kita cari-cari ya, tapi ketika Tuhan izinkan kita alami, itu untuk kita bergumul. Kita ini sungguh-sungguh datang gereja, ibadah, pelayanan, dan seterusnya itu, apakah karena dia atau karena Dia? Hanya karena yang kita senangi, pacar kita, ataukah karena Tuhan itu sendiri? Apakah semua pemengertian-pemengertian theologis itu cuma hanya data-data informasi, tempel di kepala, cuma label, kepuasan intelektual, atau sungguh-sungguh – kalau mau pakai istilah dari Pak Tong – menjadi fokal poin dalam hidup kita, menjadi pusat dalam kehidupan kita? Sungguhkan Kristus yang mati tersalib itu, bukan maunya, “Oh hapal, bisa jawab di atas kertas,” tapi sungguh-sungguh memang itulah alasan kenapa saya beribadah kepada Dia, itulah kenapa saya menjadi Kristen, dan Dialah pusat hidup dan saya mengarahkan hidup saya ke sana terus. Ketika Dia arahkan, izinkan ada suatu kesulitan, ya saya belajar bergantung pada Dia, dan itu menjadi ujian iman.
Kembali lagi ya, ada banyak ketidaknyamanan yang kita hadapi, ada banyak kesulitan yang kita hadapi, tapi biarlah kita lihat itulah ujian iman, dan itu memang pada perobekannya. Toh memang patah, baru diuji. Ya iya to saya tadi contoh ya, patah hati. Coba dari awal jadian langsung lancar semua, wih semua lancar, nikah, terus semua lancar, wah happily ever after, kita tidak akan memengerti sebenarnya apa yang disampaikan Kitab Suci. Saya tentu bukan senang ketika ada yang patah hati dan seterusnya ya, tapi ketika kita kecewa dengan manusia, biarlah kita ingat, karena memang kita ibadah bukan karena kita Reformed sok paling pinter, sok menang, dan seterusnya, tapi karena Kristus lah yang menyatakan kebenaran itu dalam Kitab Suci. Kita taat, submit pada Dia meski di tengah kesulitan yang kita tidak bisa bayangkan itu. Tapi kita lihat, perobekan itu memang perlu karena kita bukan metal, kita adalah organisme, ya.
Di bagian ini makanya saya teringat ketika bicara, ya, ada Paul Brand dan William Yancey itu mengatakan, “Pain: the gift nobody wants.” Penderitaan, kesakitan itu adalah satu pemberian sebenarnya, yang tidak ada orang yang mau. Tapi itu baik untuk kehidupan kita, baik untuk kehidupan kita, untuk kita mengerti bagaimana kerobekan, dan terutama banyak perobekan itu dalam ego kita, mimpi kita, berhala-berhala dalam pikiran kita yang kita sendiri suka bangun, tapi semua itu diruntuhkan supaya kita bisa lebih dibentuk menurut gambar rupa Allah itu, menurut sesuai firman-Nya. Ketika hancur mimpi-mimpi yang kita mungkin idam-idamkan itu, tapi tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, biarlah kita lihat Tuhan sedang proses kita, melalui perobekan itu.
Tapi kemudian kalau setelah robek apa? Makan yang nutrisi tinggi, jangan cuma makan permen. Terus terang ya, ada berapa itu khotbah-khotbah itu cuma motivasi-motivasi. Beginilah, kalau mau to be fair ya, kalimat motivasi itu initially itu baik, nggak masalah, tapi kalau khotbah cuma motivasi-motivasi tok, itu seperti orang sudah olahraga, oh ngos-ngosan, terus kasi ini permen. Enak, sugar rush, tidak ada gizi sama sekali. Cek Alkitab katakan. Memang harus makanan keras, belajar masuk kebenaran-kebenaran firman yang sulit kita pahami, kita bergumul bagaimana Tuhan itu baik, terkadang saya hancur hati seperti ini. Itulah artinya makanan keras itu kita makan. Sulit sekali. Kita yang ditebus Tuhan, sudah begitu mengasihi kita, Dia bahkan kasih Anak-Nya, tapi kok saya masih menderita kayak begini? Kok saya bisa mengalami banyak penganiayaan dan kesulitan dalam banyak hal padahal saya taat lho ikut Tuhan. Berapa banyak kita alami kita benar-benar ikut Tuhan, dipecat dari pekerjaan? Itu sulit sekali. Di dalam bagian kehidupan bagaimana saya hidup dan seterusnya, tapi itulah kita mengerti makanan keras itu kita perlu. Ketika kita dapat sudah letih lelah sekali karena exercise itu begitu beratnya, di situlah kita perlu makanan keras karena kembali pada Kitab Suci sendiri.
Jadi kembali kepada makna yang sejati dan komprehensif dari seluruh kebenaran firman, bukan cuma cherry-picking, “Oh kalau saya sudah menderita, oh segala perkara dapat kutanggung. Oh, kalau saya sudah susah, oh Tuhan menghibur hati yang patah.” Cek ada baca bagian-bagian yang lain juga. Dan itu kita akan dealing dengan apa adanya Tuhan berbicara apa saja. Sehingga di sini tentu saya bicara bukan cuma masalah highly academical preaching ya tapi yang penting itu pada gizi lah. Ibaratnya itu kalau makannya setidaknya nasi, telor, tahu, tempe. Ada proteinnya, jangan cuma makan permen. Dan ini harus dilatih, biasakan kunyah itu makanan keras. Karena apa? Karena kita butuh itu. Kita bukan anak kecil yang masih harus minum susu atau daging yang blended.
Ini pernah ada yang coba belum ya susu protein? Nggak enak sekali. Kalau ada yang pernah coba, saya cuma pernah coba sekali, aduh hard to swallow, susah tapi ya ini protein tinggi. Makanan keras itu begitu. Kita kunyah berat, harus latih, tapi dibiasakan. Sama toh kita anak-anak kan banyak malas makan. Tapi setelah dewasa sudah biasa latih, malah kita cari. Dan sebenarnya itu juga bicara dalam kehidupan iman begitu, kita membutuhkan makanan yang bernutrisi tinggi. Dan memang berat harus memang dikunyah, kunyah, dan di-digest lagi ke dalam karena ini bicara sesuai dengan kebenaran firman. Ada bagian memang prinsip kebenaran firman yang memang sulit. Ada yang memang lebih gampang sewaktu-waktu, ada di bagian lain memang lebih sulit. Dan belum lagi ketika waktu berganti, ada yang nanti bagian di dalam sulit jadi lebih mudah, dan bagian mudah jadi lebih sulit. Itu memang begitulah kompleksitas kehidupan, ada seperti itu, tapi kita belajar digest, digest, makan itu semuanya, yang berat, karena itu diperlukan untuk membantu otot-otot iman kita. Tanpa itu tidak ada recovery. Tanpa itu, cuma dikasih permen saja, motivasi saja sampai habis, tidak bertumbuh sama sekali.
Lalu poin ketiga itu bicara rest. Saya pikir menarik ya, bicara rest itu istilah ungkapannya itu sleep on it. Ada bagian itu ketika kita menghadapi suatu ujian yang berat lalu kita terus bergumul dengan firman yang benar, kadang-kadang itu kalau orang tanya, “Kenapa kamu alami gini?” Kita tidak harus bisa jawab. Sleep on it, maksudnya ya rest, ya saya nggak tahu saya serahkan pada Tuhan. Saya memang nggak tahu. Kita dipanggil sebagai orang Kristen bukan menjadi ahli tahu segala jawaban. “Kenapa kamu alami kebangkrutan? Kamu ada dosa ya? kamu ada simpan apa?” Ada baiknya kita nggak tahu semua saya serahkan pada Tuhan. Rest on God.
Menarik di dalam bagian ini ada buku yang ditulis itu Christian Leaders on Bible Study, ada nasihat yang menarik dari salah satu penulis dia katakan itu, ini thelog pintar tapi dia sendiri bilang ada kalanya dia baca Alkitab bagian dia baca, baca, dan dia bilang, “Waduh Tuhan saya sudah belajar ini, saya sudah mau belajar tapi saya nggak paham-paham juga.” Terus gimana? “Ya sudah lah karena saya nggak paham ini, ya sudah lah saya serahkan pada tangan-Mu. Sudah selesai.” Ya memang ada keterbatasan kita. Dan theolog ini katakan herannya betapa menakjubkannya, berapa seringnya itu kemudian ketika dia sampai ke perikop itu, mungkin setahun atau lima tahun kemudian, dia heran, “Kok dulu saya nggak paham ya?” Nah dia bilang itulah tanda pertumbuhan. Rest on it. Maksudnya itu kamu nggak harus semua mengerti tuntas dalam 1 hari itu nggak. Memang kita belajar menyerahkan pada Tuhan. Ada bagian ketika kita baca satu artikel kita bukan untuk kita malas, kita belajar bergumul, tapi memang ada limitasinya.
Dan memang ada banyak bagian Alkitab itu bukan untuk diselesaikan dalam 1 hari ataupun dalam 1 kuliah atau dalam 1 semester, nggak. Sampai kita kuliah seumur hidup pun belum tuntas kita pelajari kok. Jadi ya memang ketika kita gali-gali ada yang banyak belum pahami, ya serahkan pada Tuhan. Mungkin Tuhan di kemudian hari. Mungkin ketika kita muncul konteks kehidupan yang kesulitan baru kita bisa pahami bagian itu. Dan ketika kita baru kemudian pahami, ya itulah pertumbuhan. Rest on it. Jadi kita melihat kita bertumbuh juga di situ. Karena memang ada detail-detail di dalam kebenaran firman itu kita belum langsung pahami. Kita berproses di dalam sana dan memang Tuhan dengan sabarnya menuntun kita pada pengertian itu setahap demi setahap.
Belum lagi bicara aspek-aspek lain, kadang-kadang kita bisa mengerti atau taat di dalam aspek ini, tidak bisa di aspek lain. Ada kadang-kadang orang untuk pelayanan dia bisa kerjakan semua, wah urusan pajak, nanti pak itu jangan kasih tahu. Jadi urusan dia legal dia sembarang. Nah itu bicara ada kompleksitas dalam berbagai aspek dalam kehidupan di mana kita serahkan semua ke dalam tangan Tuhan, dan itu ada prosesnya. Dan ketika kita bergumul biarlah kita melihat ya kalau mau dibilang kesusahan sehari cukup sehari, exercise sehari cukup sehari juga. Ada bagian yang serahkan pada Tuhan. Memang kita bukan ahli jawaban segala sesuatu. Kita justru hanya mengenal Allah yang mengerti segala sesuatu, yang Maha Tahu itu. Ya kalau mau seperti pujian I don’t know about tomorrow, saya tidak tahu hari esok, tapi kutahu siapa yang memegang hari esok, dan Dia memegang tanganku. Itu, kita bukan maha tahu, kita hanya menyerahkan itu pada Tuhan.
Di dalam Mazmur itu ada istilah sela. Kadang-kadang kita bingung itu dibaca atau nggak. Tapi itu adalah semacam pause, berhenti sejenak memikirkan apa yang sudah dibacakan tadi. Makanya nggak ada sela di awal, baru mulai masuk misalnya pasal 45..sela. Eh kok sela? Nggak, baca dulu apa sela, pause, itu semacam rest, coba pikir apa yang barusan dibaca. Kita digest dulu, ada rest-nya di sana.
Dan terutama kita menemui rest in God, rest in God’s word, menyerahkan diri kita, mempercayakan diri kita pada firman-Nya. Dan kita menyerahkan hidup kita ketika ada banyak hal yang tidak kita pahami yang kita tahu yang Tuhan pesankan, tuliskan pada kita untuk orang Kristen pada sepanjang segala zaman, ya Kitab Suci ini. Dan kita menemukan rest di dalam apa yang Tuhan katakan. Dan ini cukup untuk kehidupan kita seumur hidup kita. Dan bukan cuma untuk kita, untuk orang Kristen di sepanjang segala zaman. Ya tentu dalam progressive revelation, tapi kita lihat itu dinyatakan itu bagi orang percaya, dan kita bergantung sejauh apa yang Tuhan nyatakan kita percaya itu. Kita bergantung pada itu.
Dan kita juga we find rest in God’s will, bergantung pada kehendak Tuhan. Ketika kita sudah bergumul ada kesulitan, bagaimanapun ada memang pergumulan kita penganiayaan terjadi atau kesulitan yang kita hadapi karena dosa kita, itu ada bagian untuk kita terbuka di hadapan Tuhan ya minta pengampunan dosa daripada Tuhan juga. Tapi kemudian setelah kita ini kok tidak berubah keadaannya, masih dalam kesulitan, ya kita lihat ada rencana Tuhan di balik itu. Kita bergantung pada rencana Tuhan, kehendak Tuhan.
Sebagaimana Agustinus itu mengatakan di dunia ini cuma ada 2 macam orang yaitu orang yang mengatakan, “Thy will be done,” dan orang yang sebaliknya Tuhan katakan, “thy will be done.” Cuma ada 2 macam itu, orang yang mengatakan, “Biarlah kehendak-Mu jadi,” atau ya orang yang Tuhan katakan, “biar kehendakmu jadi, kamu mau gitu ya jalan saja, silahkan jalani itu, nanti kamu akan kena sendiri.” Itu kita belajar bergantung pada kehendak Tuhan.
Dan ketika bicara bergantung pada kehendak Tuhan, ya saya nggak tahu bukan kehendak saya. Iya toh? Kalau bicara kehendak saya ya saya tahu, ku tahu apa yang ku mau. Tapi ketika kehendak Tuhan ya saya bergumul, bergumul di sana. Sebagaimana Israel itu ketika Yakub diberi nama Israel itu dia bergumul, bergulat dengan Tuhan dan dia menang. Bukan menang karena dia hebat tapi itu bicara dia menang dari pergumulan itu. Itulah arti kita Israel, kita bergulat itu close contact combat. Benar-benar gulat seperti itu. Itulah kita bergumul dengan Tuhan, itulah artinya kita menjadi Israel. Kalau kita dibilang Israel secara rohani, kita bergumul dengan Tuhan.
Dan saya juga jangan sampai kelewat poin ini, dan ini kalau orang tidak dapat pengertian theologis yang benar, maka rest-nya itu ngaco. Jadi bukan cuma sekedar kita rest masuk ke Sabat, masuk ke ibadah Minggu kita menemukan rest, tapi kenyataannya wrong theology will make us restless. Sebagaimana di dalam pengajaran Roma Katolik ataupun seperti Arminian yang orang diajar kamu harus berbuat baik atau kamu harus imannya itu kuat sekali baru kamu bisa selamat. Itu keselamatan itu bisa hilang begitu. Atau seperti Karismatik yang ekstrim, theologi sukses. Kamu kenapa masih sakit? O ya kamu mungkin masih dosa jadi kamu harus buang itu dosanya, tengking, tengking. Sudah kena Corona, tengking, tengking baru sampai sembuh. Kita lihat kalau theologinya nggak sehat, makanannya nggak baik, itu jadi restless. Saya lihat ini selalu dalam korelasi.
Dan seringkali sebenarnya theologi sukses itu mirip obat bius, kayak obat penenang, “Oh jangan kuatir kamu ekor sekarang nanti jadi kepala, kamu miskin, nanti akan kaya, kita rasa rest.” Itu cuma obat penenang, tidak beneran rest karena kita tidak rest in God’s will tapi kepada cuma motivasi-motivasi dan permen-permen yang tidak ada gizinya. Bagaimanapun kita tidak bisa lupa Alkitab katakan dalam Roma 10:17 “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Dari Kitab Suci. Kalau tidak sesuai dengan prinsip kebenaran firman, maka itu cuma jadi makanan-makanan yang tidak ada gunanya, tidak sesuai dengan apa kita menemukan rest kita itu di dalam kepastian keselamatan kita. Dan keselamatan itu bukan karena usaha kita tetapi karena karunia Tuhan. Kalau Tuhan sudah berkarunia menyelamatkan kita, apa lagi yang tidak diberikan pada kita? Di dalam Roma 8 dikatakan Dia tidak menyayangkan anak-Nya. Dia tidak spare, menyisakan anak-Nya itu untuk kita, apalagi yang tidak diberikan pada kita?
Bagian ini tentu bukan untuk kita mengerti, “Oh kita dapat kekayaan semua,” tidak, tapi ada rencana Tuhan dan kita belajar bersandar pada kebaikan Tuhan bahwa Tuhan yang memelihara kehidupan kita. Dia menyelamatkan kita dari keterpurukan kita. Siapa yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Bagian itu ya, tidak ada yang bisa misalkan kita suka baca, nyanyi-nyanyi, alami seperti jemaat di Roma, menderita. Itu kan pusat ibukota dari negara Roma yang paling keras mengalami penganiayaan di sana. Saya nggak bisa kebayang itu kadang-kadang kesulitan kita hadapi itu masih sometimes karena agak stoik, “Saya alami susah nggak apa-apa tapi ketika saya lihat orang yang saya kasihi, anak saya, dipenggal kayak gitu, wah ini logika rasio ini bisa hilang.”
Tapi di dalam bagian itu dikatakan bahwa ketika dalam pergumulan mereka Tuhan yang kuatkan mereka. Dan iman mereka bertumbuh dari pendengaran firman, menemukan kembali pada firman yang sejat bahwa meski anaknya mengalami penganiayaan, penderitaan yang begitu berat, lihatlah jiwanya sudah berada dalam surga. Meski seperti mengalami kutukan dalam bumi ini, tapi di situ kita lihat kita menemukan rest di dalam Tuhan. Ada kehendak Tuhan yang memang belum kita pahami dan kita bergumul, temukanlah rest itu di dalam Tuhan. Dengar firman-Nya yang sejati barulah kita menemukan rest yang sejati.
Tanpa itu maka kita selalu akan restless, selalu akan bergumul saya diselamatkan nggak, saya diselamatkan nggak, kapan saya dapat selamat pasti. Bolak-balik begitu atau nanti saya dapat berkat, saya disayang Tuhan atau nggak. Tapi kalau kita temukan bahwa itu adalah statement deklarasi dari Tuhan, once saved always saved, sekali selamat tetap selamat karena kebenaran itu dalam Kristus yang dicurahkan pada kita, kita selamat. Dan di bagian itu kita mengerti kita menemukan peristirahatan itu rest di dalam Tuhan itu memberikan comfort.
Sebagaimana Heidelberg Katekismus katakan, “Apa yang menjadi penghiburan kamu dalam kehidupan ini baik ketika kamu hidup maupun mati?” Ya itu pertanyaan pertama dari Katekismus Heidelberg, dan menarik di dalam jawabannya adalah ya itulah, “Bahwa saya baik tubuh maupun jiwa saya, baik dalam hidup maupun mati bukan milik saya, tapi milik dari Juruselamat saya yang setia yaitu Yesus Kristus.” Justru kita menemukan comfort, rest itu di dalam Tuhan karena dia mengasihi kita sedemikian. Dia memberikan kita keselamatan yang definite itu, bukan setengah jalan. Bukan buka setengah lalu, “Ayo ayo cepat-cepat capai, kamu buat baik atau kamu bikin apa gitu bisa sampai selamat. Kamu imannya kuat terus.” Nggak. Tuhan tahu betapa rapuhnya kita. Tuhan tahu betapa keberdosaannya kita. Tapi keselamatan itu definite karena Tuhan yang kerjakan. Dan Allah Roh Kudus yang diberikan, dimateraikan dalam kehidupan orang percaya, Dia akan menopang kita untuk bisa bertekun, bertekun sampai akhir. Bertekun sampai akhir bukan karena kita hebat tapi karena kita bergantung kepada Roh Kudus yang mampukan kita.
Ini mirip kayak guru kalau kasih PR yang sulit sekali untuk murid-murid kerjakan, lalu dia gumuli temani muridnya kerjakan PR itu. Itulah setiap kita mendengar kebenaran firman, setiap kita dengar kebenaran firman kital lihat mungkin ada bagian yang sulit, bagaimana saya menaatinya, ingatlah anda tidak sendiri, ingatlah Roh Kudus terus menopang kita mengerjakan itu. Kita menemukan rest di dalam Tuhan dengan janji firman-Nya. Dia tidak akan meninggalkan kita, Dia beserta kita, dan dicurahkan bukan cuma ada takaran untuk pendeta itu penuh, terus yang lain setengah-setengah, nggak. Penuh sepenuhnya kepada gereja-Nya. Allah Roh Kudus yang sama yang memimpin Calvin, Luther, Agustinus, dan seterusnya, itu juga yang memimpin kita, dan memimpin kita ketika kita bertempur dalam pergumulan perdebatan itu. Pergumulan di dalam godaan-godaan yang kita hadapi, Roh yang sama memimpin Calvin memimpin saya sekarang. Adakah kita menemukan persandaran di dalam Dia?
Dan di bagian ini memang terus diulang. Ada repeat itu bukan cuma dengar, khotbah satu kali, “Oh sudah dengar Pak.” Makan lagi, makan lagi. Dan karena kenapa? Kita ada di-exercise lagi, kita diujian lagi, dan kita menemukan rest lagi. Berulang seperti itu. Dan kita lihat ketika kita jalani di sini makanya kita mengerti kita ada bergantung kepada Tuhan karena Tuhan lah yang memberikan makanan itu, bukan kita memunculkan sendiri makanannya. Kita bergantung pada Tuhan yang memberikan makanannya sebagaimana Tuhan juga yang memberikan rest yang sejati itu. Ketika juga sebenarnya Tuhan yang izinkan kita mengalami berbagai ujian-ujian dan tantangan itu, kita mengerti semua dari Tuhan dan itu ada bentukan dari Tuhan untuk kebaikan kita.
Saya percaya dalam bagian ini adalah ketika saya merenungkan kembali ke dalam Paulus ya, kalau kita pikir menarik ya kenapa Paulus itu yang paling banyak tulis bagian Alkitab dibanding rasul-rasul lain? Karena nggak pakai lebih banyak Petrus atau mungkin Tomas, kenapa ya Paulus paling banyak? Karena memang dia yang membutuhkan makanan itu. Dia yang diberikan firman, dia mengalami penganiayaan kesulitan tantangan, dia dalam banyak dia katakan dia mengalami kesulitan yang berat, penderitaan lebih banyak dibanding lain, karena itulah juga dia diberikan firman, firman, firman lagi. Itu bukan cuma, “Oh saya sampaikan pada kamu ini,” pertama, first things first itu jadi makanan bagi rohani dia. Karena dia mengalami penganiayaan yang berat. Dan itu di dalam akhirnya dalam karya Roh Kudus memakai itu untuk menuliskan Kitab Suci dan menjadi berkat bagi yang lain. Tapi yang terutama itu menjadi makanan rohani bagi dia.
Dan menarik kalau kita lihat dalam 13 Surat Paulus itu ada jeda penulisannya. Kenapa ya nggak bisa satu kurun waktu langsung? Satu kali duduk lengkap Roma, Korintus, semuanya sampai terakhir surat 1 Timotius bisa? Bisa saja kalau Tuhan mau kerjakan. Tapi kenyataannya Tuhan kasih dalam proses, bertahap, ada jedanya, ada rest-nya. Karena ini bukan cuma jadi risalah theologi seperti itu, tapi untuk dia hayati, dan makin mendalam makin mendalam sampai dalam suratnya yang terakhir di 2 Timotius. Kita temukan itu ada pertumbuhannya, ada rest di dalam bagian itu. Paulus bisa saja sekali langsung tulis dikasih Roh Kudus langsung tulis 13, tapi kenyataannya itu nggak baik juga. Ada rest-nya, jedanya untuk dia juga kunyah lagi kunyah lagi apa yang sudah dituliskan itu untuk dia gumulkan lagi. Dan dalam kemudian hari baru dinyatakan lagi, kemudian hari dinyatakan lagi. Dia pun menemukan rest dalam Tuhan dalam bagian itu. Berproses di dalam bagian itu.
Dalam bagian ini dan saya percaya ketika Tuhan izinkan dalam kehidupan kita, ya itu juga terjadi seperti itu makanya kita perlu kembali terus makanan rohani. Kita menemukan rest di dalam Tuhan, di dalam ibadahnya, dan di dalam pergumulan kita bergantung pada dia. Dan ingatlah ketika itu ada terus terjadi, akan ada exercise lagi, akan ada perobekan lagi. Supaya tujuannya ini saya percaya bukan jadi ajang pameran binaragawan rohani misalnya, tapi melainkan supaya kita itu bisa lebih kuat menanggung beban pelayanan yang lebih berat. Supaya kita itu bisa lebih kuat menarik orang yang lemah imannya. Dan supaya kita bisa berlari sekuat-kuatnya untuk meneruskan tongkat estafet Injil ini ke generasi selanjutnya demi kemuliaan Tuhan. Soli Deo Gloria. Mari kita satu dalam doa.
Bapa kami dalam surga, kami datang ke hadapan-Mu, kami mengalami berbagai tantangan kesulitan yang tidak bisa kami bayangkan sebelumnya. Tapi kami juga bersyukur ya Tuhan karena Engkau juga tidak habis-habisnya memberikan kami makanan rohani yang terus menjadi makanan bagi rohani kami dan kami bergantung padanya. Pimpin setiap kami Bapa di dalam menggumulkan kehidupan kami. Biarlah ketika kami melihat begitu banyak ujian yang Kau izinkan terjadi, maupun begitu banyak kelimpahan, berkat, anugerah makanan rohani yang Kau berikan dalam kehidupan kami. Dan ketika setiap Minggu kami masih boleh menjalankan ibadah, kembali kami menemukan rest di dalam Engkau, biarlah ini terus menumbuhkan iman kami, dan Kau pakai ini untuk menjadi saluran berkat untuk mengerjakan pekerjaan-Mu yang lebih besar di waktu yang akan datang. Pimpin setiap kami, pimpin gereja-Mu, pimpinlah kami supaya kehidupan yang satu kali ini sungguh boleh kami dedikasikan dan persembahkan bagi kemuliaan nama-Mu saja. Demi Putra-Mu yang tunggal Tuhan Yesus Kristus yang sudah merendahkan diri, yang dirobek, mati untuk menyelamatkan kami, kami berdoa. Amin.
Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah (KS)