Flp. 1:1-4
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Di beberapa waktu yang lalu pernah ada suatu garage sale, yaitu jual barang yang bekas. Lalu ada aneka barang dijual di sana, lalu kemudian ada seorang Bapak yang jalan pikir iseng-iseng coba lihat di sana mungkin ada sesuatu yang menarik. Lalu dia sampailah di garage sale itu lihat ada macam-macam barang yang dijual. Nah menariknya ada satu bagian stand di sana dijual berbagai bebatuan, batu-batu alam. Bapak itu melihat ada banyak batunya, aneh-aneh, unik tapi juga banyak yang jelek. Dia lihat ada satu batu ini bentuknya agak aneh dan juga kusam warnanya dan jelek, lalu dia lihat label harganya itu 10 dollar. Lalu Bapak ini melihat-lihat, “Oh ini harganya 10 dollar?” “Iya Pak, 10 dollar, batunya jelek kok, harganya 10 dollar saya jual begitu aja.” “Betul ya 10 dollar? OK saya beli.” Dan akhirnya dia membeli batu yang jelek itu yang harga 10 dollar dia beli. Nah menariknya ternyata bongkahan batu yang katanya hanya 10 dollar itu ternyata setelah dimurnikan, diasah, dibersihkan lapisan demi lapisannya, dan dibersihkan sedemikian, ternyata itu adalah batu permata yang mahal harganya. Itu bukan batu biasa tapi adalah suatu batu mulia. Nah ini kejadia yang benar-benar terjadi ya.
Di situ kita melihat ini ada permasalahan nilai. Bagi penjualnya ketika dia jual, “Oh ini cuma barang jelek, ya harganya cuma 10 dollar. Tapi bagi pembelinya, dia melihat dengan lebih jeli, dengan lebih teliti, “Oh ini sebenarnya nilainya bukan cuma 10 dollar.” Karena itu setelah dia membeli, dia mengerti ini ada suatu keuntungan yang besar, karena justru setelah diasah ini adalah batu mulia yang harganya bahkan ratusan ribu dollar dan harganya sangat tinggi, lebih daripada yang dijual. Nah di sini kita mengerti bahwa ternyata dalam kehidupan kita, kita hidup itu selalu menilai. Banyak hal dalam kehidupan kita kita melihat dari apa saja, bahkan mulai dari kita bangun tidur kita menilai. Tadi pagi ya ketika bangun tidur terus menilai kan, saya mau bangun atau tidur lagi? Saya mau bangun atau saya mau main-main dulu atau apa mengerjakan yang lain. Saya mau langsung untuk misalnya bersiap-siap atau saya misalnya mau saat teduh, saya mau berdoa dulu, itu juga masalah menilai. Konstan sekali dalam kehidupan kita, kita itu menilai, entah untuk hal-hal yang besar ataupun hal-hal yang kecil, karena memang kita adalah makhluk yang menilai. Nah menarik ketika memikirkan hal ini, saya teringat apa yang dikatakan oleh Arthur F. Holmes di dalam bukunya ‘Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah’, di dalam bab 7 dari buku itu mengatakan bahwa kepercayaan dan nilai mempunyai hubungan yang sangat erat. Holmes mengatakan bahwa pertama-tama kepercayaan kita itu membentuk sistem-sistem nilai kita, membentuk nilai-nilai kita; dan selanjutnya nilai-nilai itu juga mempengaruhi kepercayaan kita yang baru. Di sini ada suatu kaitan yang erat antara kepercayaan dan sistem nilai kita. Menarik ya kalau kita pikirkan, kepercayaan kita bukan hanya berkaitan dengan sistem kebenaran, konsep kebenaran, yaitu epistemologi, tapi juga ternyata kepercayaan kita itu berkait dengan sistem nilai, konsep nilai, yaitu aksiologi, dan itu yang saya bahas di hari ini, aksiologi bukan epistemologi, yaitu konsep nilai kita, yaitu kepercayaan kita bahwa sesuatu itu berharga atau sesuatu itu bernilai sebenarnya melibatkan apa yang kita imani, apa yang kita percayai.
Contoh sederhana yang diberikan juga oleh Holmes adalah ketika kita tahu dunia ini diciptakan oleh Allah kita maka ketika kita menyaksikan dunia ini, kita sebagai orang Kristen, sebagai orang yang percaya kepada Kitab Suci maka kita bisa menghargai dunia yang diciptakan ini. Meskipun kita menemukan banyak potensi-potensinya yang terhambat karena dosa, tapi kita justru lebih bisa menghargai dunia ini, karena kita sadar dunia ini meskipun sudah begitu rusaknya, sebegitu bobroknya, ini sebenarnya adalah ciptaan Tuhan kita, adalah hasil ciptaan Allah kita, yang mulai itu dikatakan, “Baik, baik, baik,” bahkan sampai ketika diciptakan manusia itu “sungguh amat baik.” Di situ kita mengerti penilaian dari Allah terhadap dunia ini justru muncul dari Kitab Suci sendiri. Alam ini bukan jadi seperti begitu saja lalu ya seperti sesuatu yang netral tanpa ada suatu nilai tertentu, tapi justru Allah yang menilai alam ini dan memberitahukan nilai itu kepada kita yaitu sungguh amat baik, itulah nilai dari dunia ciptaan kita; dan terlebih ketika hadirnya manusia ditengah dunia ini. Dan terkadang dalam kehidupan kita, kita melihat bahwa justru seringkali manusia itulah penyebab kerusakan di dunia ini. Tapi tetap justru kehadiran manusia itu dinyatakan pada mulanya sebagai sesuatu yang sungguh amat baik, tapi karena jatuh dalam dosa maka kita lihat ada kerusakan yang terjadi.
Tapi kembali lagi kita melihat bahwa sistem kepercayaan kita itu haruslah mempengaruhi sistem nilai kita; bagaimana kita melihat dunia ini berdasarkan konsep kepercayaan kita. kalau yang kita percaya itu tidak mempengaruhi sistem nilai kita maka tanda tanya selama ini yang kita percaya apa? “O saya percaya Tuhan menciptakan dunia ini, ya tapi memang dunia ini rusak,” apa pengaruhnya, apa relevansinya dengan sistem nilai kita? Seolah-olah kadang dalam kehidupan ini begitu sempit iman kita itu “yang penting saya percaya Tuhan Yesus saya masuk sorga.” Betul ketika kita percaya Tuhan Yesus maka ada jaminan keselamatan hidup kekal bagi kita, masuk sorga, tapi biarlah kita melihat bahwa menjadi Kristen, diselamatkan, ditebus oleh pengorbanan Kristus bukan hanya untuk masuk sorga. Kembali lagi saya ulangi bahwa menjadi Kristen, ditebus, diselamatkan oleh darah Kristus bukan hanya untuk masuk sorga; karena kalau hanya untuk masuk sorga maka Kristus hanya jadi seperti jualan tiket. Jual tiket aja, “Oh sudah dapat tiketnya, saya masuk sorga, ya sudah terserah hidupnya saya seperti apa yang penting tiba waktunya saya pegang tiketnya,” dipanggil tiba giliranmu ya sudah naik langsung masuk sorga; masuk sorga juga, “Oiya terima kasih Yesus ya, saya sudah sampai sorga.” Tapi that’s not the point, justru iman kita itu berfokus kepada Kristus dan kehidupan Kristus dan kebenaran firman. Dan terlebih di dalam hal ini, setelah kita percaya kepada Kristus kita masih di dalam dunia ini, itu berarti ada tanggung jawab kita dan peranan kita sebagai orang percaya di dunia ini, yaitu menjalankan mandat dari Tuhan, perintah dari Tuhan. Dan ini yang seringkali gagal kita pahami dalam kehidupan kita.
Nah kembali dalam konsep nilai, seringkali akhirnya kita cuma mengerti itu, saya percaya Tuhan Yesus, saya masuk sorga, ya sudah nilai-nilai saya tetap mengikuti sistem dunia. Salah, harusnya justru seharusnya kepercayaan kita itu merubah konsep-konsep nilai kita yang lama, dan kembali di dalam terang firman Tuhan, kembali di dalam terang Kitab Suci. Dan seperti di dalam Kitab Suci, yang kita tahu dan yang tadi juga saya nyatakan bahwa setelah Allah menciptakan dunia ini dan ada kejatuhan karena ulah manusia, tapi kita lihat respon Allah Dia tidak meninggalkan manusia sedemikian. Yaitu justru ada penebusan, yaitu ada suatu intervensi dari Allah kepada dunia yang sudah rusak ini. Sehingga di sini kita melihat ada suatu nilai potensi kreatif dan konstruktif dari ciptaan dan kebudayaan manusia karena masih bisa ditebus. Di sini kita melihat, saat Allah melihat kerusakan yang ada Dia tidak sistem “O dibuang, dilempar aja.” Kadang-kadang ada orang tuh pemikirannya apa-apa “dilembiru,” tahu nggak ya dilembiru? Dilempar beli baru. Oh ini barang rusak, dilempar aja beli baru, apa-apa kita lihat rusak, lempar, beli baru. Tapi kita lihat tidak begitu ketika Allah melihat dunia yang rusak ini. Justru Dia mau menebusnya, justru Dia mau merombaknya sedemikian rupa. Dan itulah yang kita bahkan pahami ketika nanti di langit dan bumi yang baru itu bukan langit dan bumi yang lama itu dibuang tapi dirombak secara radikal, dan akhirnya diperbaiki yang ada. Karena Allah tidak menyerah ketika melihat dunia ini. Dan harusnya sistem yang sama, nilai yang sama itu juga kita melihat sebagai orang Kristen ketika berada di tengah dunia ini.
Saya ambil contoh saja seperti tadi kita dalam doa syafaat kita, dan beberapa kali sudah kita lakukan, ada satu pokok doa syafaat yang mungkin kalau kita mau jujur paling malas kita doakan, ayo pokok doa apa itu? Tentang apa itu? Pemerintah kan? Yahh doain pemerintah lagi, ya sudahlah doanya bisa kalimatnya persis sama, kenapa? Karena kita rasa hopeless lah, pemerintah mau diapain lagi? Belum lagi dengan peristiwa yang belum lama ini terjadi, itu membuat kita semakin merasa “Ah hopeless lah, pemerintah bisa diapain?” Tapi adakah kita justru nilai iman kita, mengerti kalau kita lihat ada kerusakan seperti ini apa yang kita lakukan? Tuhan kita ketika melihat kerusakan ini, jauh lebih dalam lagi, apa yang Tuhan lakukan? Menebusnya kan? Menebusnya dengan masuk ke sana, justru dengan mengutus Anak-Nya yang Tunggal Yesus Kristus, bukan untuk datang, “Saya klaim, Saya Raja, ayo semua tunduk Saya,” tidak, justru untuk rela dimatikan, dikorbankan untuk menebus dan memulihkan yang rusak itu. Itulah sebabnya menarik di dalam John Stott pernah mengatakan “Ketika kamu melihat ada kerusakan di dunia, jangan salahkan dunianya, tetapi itu berarti orang Kristen yang tidak berfungsi dengan baik.” Dia katakan bagian itu berbicara orang Kristen sebagai garam dan terang dunia. Ketika kamu misalnya mengasinkan suatu daging yang seharusnya mengalami kebusukan, seperti ikan kamu asinkan, ketika kamu kasih garam lalu lantas ikannya tidak menjadi asin maka kamu jangan klaim ikan, “Ikan kenapa kamu nggak menjadi asin? Kenapa kamu menjadi rusak?” Yang salah adalah garamnya yang tidak berfungsi. Itu yang dikatakan John Stott. Berapa banyak kita sadar itu peran kita sebagai orang Kristen? Justru di tengah kerusakan dunia biarlah kita melihat apa yang Allah lakukan, dan cerminkan kalau kita mengatakan bahwa kita adalah anak-anak-Nya biarlah kita meneladani Bapa kita, dan juga perlu tahu meneladani Tuhan kita Yesus Kristus yang justru rela mengorbankan diri-Nya untuk memulihkan kembali dunia yang sudah bobrok ini.
Dan kembali itu adalah berbicara konsep nilai kita, bagaimana kacamata kita melihat dunia ini. Dan di dalam berbicara penilaian, kita mengerti banyak hal dalam kehidupan sering kali ketika kita menilai juga itu ada masalah, yaitu kita sering kali berada di dalam tarikan dua kutub ini. Kita melihat secara subjektif hal objektif. Dan kita tahu sebenarnya di dalam penilaian itu berdasarkan standar yang subjektif barulah penilaian itu bisa katakan buruk, barulah kita mengerti, penilaian itu yang punya kualifikasi yang bisa diperhitungkan dan bukan cuma sekedar personal preferences, berdasarkan kesukaan kita sendiri. Saya ingat ada suatu anekdot yang pernah diceritakan oleh Pak Tong. Pasangan suami istri yang mau membeli mobil ya. Mungkin Bapak Ibu di sini juga pernah alami. Oh sama-sama pergi ke dealer mobil mau membeli mobil. Lalu sampai di tempat dealer itu lalu mereka dikasih pilihan ada 3 mobil. Mobil A, mobil B, mobil C. Lalu dites satu-satu. Mulai naik mobil yang A, seperti apa bawanya, kecepatannya seperti apa, dari mulai diinjak gas percepatan naiknya seberapa cepat. Habis itu juga ada suspensinya, bagaimana setirnya, enak atau enggak, termasuk misalnya kalau sampai ditutup itu semua pintunya seberapa dia itu kedap suara dari luar. Lalu Bapak ini beserta dengan isterinya coba mobil yang pertama, oh seperti ini. Di-test drive ya, test drive bawa sebentar, oh seperti ini. Coba lagi mobil yang B, coba lagi seperti apa. Oh seperti ini. Plus minusnya, harganya berapa, cicilannya seperti apa, lalu dicoba satu-satu. Sampai mobil C juga seperti demikian. Lalu setelah mencoba begitu, lalu si bapak ini ditanya sama bagian dealer mobilnya, Bapak mau pilih yang mana? Lalu bapak itu pikir, ini harus pertimbangan lebih matang. Jadi dia bilang pada penjualnya, dia bilang, “Oh kami mau pulang diskusi dulu ya, supaya kita itu berembugnya enak, dengan pribadi ya, sendiri bersama dengan istri. Nanti kami akan putuskan yang mana mau dibeli.” Nah dalam perjalanan pulang itu si bapak cerita pada istrinya. Dari 3 mobil itu ya terus terang mobil A itu paling bagus, dari kita pikir harganya sekian, dan yang didapat barangnya itu setimpal. Dan apalagi dia punya kualitasnya, kecepatannya, setirnya itu lebih enak daripada misalnya mobil C. Lalu dia punya kedap suaranya mungkin memang tidak sebagus mobil B, dia itu harganya mobil B jauh lebih mahal, tidak cocok dengan keuangan kita, dan seterusnya. Pertimbangan bapak itu dia bicara berapa variabel dia pikir, seperti itu. Lalu sudah dia cerita seperti itu, excited, lalu dia pikir, “Menurut kamu, isteriku, mobil mana yang paling bagus? Ya kan kalau menurut ayah pilihannya mobil A. Kalau menurut ibu gimana?” Lalu si istri jawabnya gini. “Oh saya lebih suka mobil B.” “Oh kenapa? Mobil B lebih bagus di mananya?” “Itu loh, mobil B itu warnanya lebih cakep.” Wah kok omongannya jadi nggak apple to apple ya, satu obrolannya di fungsinya, ini pakai semua suspensinya, sistemnya seperti apa, yang satu cuma ngomong, oh yang penting warnanya saya suka, saya pilih ini.
Nah ini kenapa sering kali orang juga, yaitu bicara kadang-kadang itu orang menilai, memutuskan sesuatu hanya berdasarkan kasukaannya saja, sangat-sangat subjektif dan bukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan variabel lain yang lebih matang. Kita harus belajar justru dalam banyak hal harus mempertimbangkan berbagai variabel yang ada dan bukan hanya berdasarkan mood saja atau emosi sesaat supaya penilaian kita juga tidak prematur ataupun gegabah. Dan tapi permasalahannya berbicara kita itu mengerti harusnya nilai itu secara objektif. Tapi masalahnya subjektivitas kita itu sangat-sangat mempengaruhi dalam kita menilai. Dan itu masalahnya dalam hidup kita kan seperti itu. Saya ambil contoh saja di dalam mungkin beberapa juga pernah alami, ada yang pernah alami, kalau misalnya ktia lihat kita bangun pagi lalu kita bercermin, kita rasa, oh iya wajah kita seperti ini gitu ya. Indahnya, mungkin, bagusnya, tapi lalu saya mau abadikan, saya coba jepret foto. Jepret, foto. Sudah foto, lihat, loh kok hasil fotonya jelek ya. Ada yang begitu nggak ya? Bercermin bagus kok, tapi terus saya foto kok jadi gini? Ada yang tahu nggak ya bahwa sebenarnya seperti itu, yang objektif itu yang mana? Yang di cermin kah atau yang difoto? Sebenarnya ya kalau kita mau jujur, yang objektif itu yang di foto. Karena kenapa? Di cermin itu, ada yang mengatakan di dalam analisa para saintis bahwa ketika kita melihat wajah kita di cermin, satu, cermin itu membuat suatu distorsi, karena dia kebalik. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri. Ada yang tahu nggak ya bahwa wajah kita selalu terbalik di cermin, dan itu berarti kita nggak pernah lihat wajah kita aslinya, karena yang kiri jadi kanan, kanan jadi kiri. Dan tidak ada orang wajahnya itu persis simetris. Ya ada tapi ya 0,00001 % itu ada lah, gitu ya, di dunia yang kiri kanannya nggak kebalik. Kita itu terbalik melihat diri kita sendiri. Dan kita dari kecil sudah terbiasa melihat wajah kita demikian, wajah kita demikian, sehingga kadang-kadang juga masalah dia lighting-nya kurang, agak gelap, persepsi wajah kita itu kita sudah terekam dalam benak kita sehingga kita bangun, wah tetap begini ya. Padahal lagi eleknya kayak apa ya, baru bangun tidur. Tapi kita lihat bagus seperti itu. Kenapa? Kita sering kali terkecoh bahkan oleh pandangan kita sendiri. Lalu kita rasa yang bener ini yang di cermin, padahal itu subjektivitas kita, Saudara. Ini berapa banyak kita tahu ya berarti selama ini orang melihat kita itu berbeda dengan kita melihat diri kita sendiri. Berbeda dan bisa kadang-kadang orang itu sampai pikir, kenapa ya wajah saya begini? Ya itulah wajahmu selama ini dilihat di mana-mana. Terus kamu pikir wajahmu kayak apa? Gitu ya. Baru kita katakan, oh begini toh, jadi orang lihat saya begini, baru tahu. Tapiya itulah kalau ada istilahnya itu wajah buruk ya cermin dibelah gitu ya. Kalau orang nggak suka, terus, ah jelek. Seperti itu. Tidak mau menerima ada penilaian yang lebih objektif.
Dan menarik lagi di dalam satu bidang lain saya pernah teringat ketika kami pelayanan KKR Regional, waktu kami para mahasiswa STT disuruh persiapan khotbah baik-baik untuk masuk dalam KKR Regional. Persiapan ya, naskahnya seperti apa, lalu kami presentasi satu per satu, terus diberikan masukan dalam bentuk poinnya. Saya ingat salah satu waktu itu kakak senior kami yaitu Vik. Harly dia itu mengatakan pada kami, “Ini kamu rekam khotbahmu sendiri terus kamu coba dengar khotbahmu. Nanti kamu tahu kira-kria mungkin kamu kurangnya di mana, presentasinya seperti apa.” Oke, kakak senior suruh rekam. Rekam, terus dengar suaranya, terus saya bilang, “Lho kok suaranya kayak gini? Kok suaranya beda. Lho ini suara saya ya? Kok suaranya kayak gini ya, melengkih-melengking aneh kayak gitu ya. Ah ini yang salah pasti recorder-nya.” Coba rekam lagi pakai recorder yang lebih canggih, lebih mahal. Kok gitu suaranya. Oh mungkin grogi karena persiapan khotbah ya. Saya sampai coba beberapa kali, sampai ketika saya berbicara biasa saya coba rekam, dan ternyata hasilnya pun saya rasakan sendiri, saya dengar kok suaranya beda dari suara saya ya. Itu ada yang tahu nggak, bahwa ternyata itu memang ada perbedaan. Kenapa? Karena ketika kita itu berbicara, kita itu bukan cuma suara saja dari mulut ini keluar, seperti ini audio keluar dan direkam di sini, tapi ketika masuk ke telinga kita, untuk kita mendengar suaramu kita mendengar dia objek berbicara terus kita dengar, masuk telinga kita. Tapi ketika kita mendengar suara kita sendiri, Itu bukan cuma berresonansi dari mulut keluar masuk ke telinga, tapi juga melewati tulang dari pipi ini berresonansi sampai masuk ke telinga kita. Itu yang membuat kita mendengar suara kita sendiri sering kali merasa bagus ya, dia lebih berwibawa, lebih gimana nggak cempreng gitu ya. Nah tapi rekaman itu, itulah suara kita yang objektif, dan bukan suara dari pengalaman kita sendiri mendengarkan suara kita. Berarti berapa lama kita ini sudah terkecoh dengan suara kita sendiri. Makanya kadang-kadang kalau ada orang marah-marah sama yang lain, kamu ini kenapa begini, begini, coba direkam jadi video, habis itu diputerin. Nih, kamu marah nadanya kayak gini, mukanya kayak gini ya, emosinya kayak gini nih. Kamu lihat. Baru lihat sendiri, oh iya ya, saya marahnya kayak gini. Kenapa? Kita sering kali terkecoh dengan pengalaman subjektif kita. Dan ini sering kali ada orang akhirnya bisa menilai dirinya itu lebih tinggi dari seharusnya ataupun sebaliknya bisa lebih rendah dari seharusnya. Dan di sini jadi sangat subjektif menilai. Mari dalam bagian ini bicara penilaian saja, kita sering kali justri penilaian kita sangat-sangat subjektif. Belum lagi pengaruh latar belakang kita, persepsi kita, pandangan kita, dan kita berpikir, kita sudah melakukan ini, harusnya orang mengerti. Belum tentu. Tone-nya saja berbeda, nadanya saja berbeda, persepsi orang berbeda. Tapi itu, penilaian kita sering kali salah di dalam hal itu dan kita bahkan gagal menilai diri kita secara objektif. Kita sering kali menilai diri kita secara subjektif sekali. Kembali lagi ya, entah lebih tinggi dari seharusnya atau entah lebih rendah dari seharusnya. Itu berarti gagal nilai. Gagal menilai diri sendiri.
Dan ketika berbicara nilai juga kita mengerti, di dalam Pak Tong menilai itu ada istilah itu menilai berdasarkan unsur intrinsik atau pun ekstrinsik. Ekstrinsik itu adalah faktor luarnya, intrinsik itu yang internalnya, dalamnya. Dan itu juga seringkali juga berbeda. Karena nilai ekstrinsik itu bisa jadi sangat fluktuatif, berubah-ubah. Karena sangat tergantung pada ruang dan waktu. Ambil contoh misalnya, kalau kita tanya “What is beauty?” Apa itu keindahan? Apa itu yang cantik? Ya. Dalam hal ini kita misalnya manusia, seperti apakah misalnya perempuan yang cantik? Wah, kalau menurut orang Indonesia, yang cantik ya putih. Makanya orang Indonesia itu suka pakai pemutih, pemutih terus ya. Kenapa nggak mandi Bayclin sekalian ya? Pokoknya pakai pemutih, semakin putih semakin bagus. Pasti suka gitu, pakai pemutih. Tapi kalau kita lihat misalnya orang bule di luar sana, orang Barat, malah yang putih, mereka sudah putih, rasa bosan dengan orang putih. Heran ya? Orang bule itu malah suka berjemur, tanning sampai gosong. Sampai sini kita bingung, “Ngapain? Kamu sudah putih, ngapain kamu jadi hitam?” Dia justru sukanya jadi kayak gitu. Makanya, kadang-kadang kita heran ya ada bule, nikah dengan orang Indo, sudah kita lihat, ini orang Indonya warna kulitnya -maaf ya- dekil gitu ya bagi kita, wah ini kok bule doyan ya. Padahal bagi orang bule, “Oh ini orang eksotis” kecoklatan seperti itu. Nah, kembali, itu adalah nilai secara luar. Faktor luar itu bisa beda di satu tempat dengan tempat lain. Termasuk juga bicara tentang aspek waktu. Kalau saya ingat ya, kalau kita menyaksikan, melihat lukisan-lukisan zaman dahulu dan gambaran kehidupan orang-dahulu, maka kita mengetahui perempuan yang cantik itu seperti apa sih? Ada suatu zaman gitu ya, perempuan yang cantik itu justru yang gemuk-gemuk, yang bunder-bunder seperti itu ya. Zaman dulu itu justru lihat perempuan yang bunder, itulah yang baik, itulah yang sehat, kalau yang kurus ini ya ini mah harganya murah. Tapi zaman sekarang kan kok bisa terbalik? Malah zaman sekarang makin kurus, makin seperti tengkorak, makin cantik. Ya, makin kurus makin kerempeng, nah gini ya, makin nggak ada lemaknya di mana-mana, yang kayak gini ditiup angin melayang sedikit sih, seperti itu, terus “Oh, ini yang lebih cantik.”
Nah, kembali lagi what is beauty? Itu kalau kita lihat sejarahnya ekstrinsik itu berbeda dalam satu tempat ke tempat lainnya. Dan juga bahkan bisa berubah, karena mengikuti perubahan waktu. Tapi What is beauty kalau kita amati secara intrinsiknya, yaitu keindahan seorang wanita yang justru longlasting adalah keagungan karakternya, nilai kejujurannya, nilai kesetiaannya, ketekunannya, keuletannya, dari sini kita melihat itulah nilai-nilai yang longlasting, yang lebih panjang dan tidak lekang waktu. Mau dari orang bule, mau dari sampai orang Asia, sama nilai jujur itu penting. Jadi Ibu yang bisa memelihara anaknya itu penting, menjadi istri yang setia itu penting, karena ini nilai intrinsik, nilai yang tidak kelihatan, nilai yang di dalam yang jauh lebih penting dan lebih berharga daripada tampilan luar. Kembali lagi tampilan luar itu bisa berubah sewaktu-waktu, tapi yang dalam ini, itu yang paling berharga. Itu yang tidak lekang waktu. Dan kalau masalah nilai ekstrinsik dan intrinsik ini, yang di luar dengan yang dalam ini, untuk mengerti nilai di dalam itu, selalu membutuhkan proses pembelajaran. Kita tidak bisa menilai sesuatu itu, langsung buru-buru hanya lihat dari bentuk fisiknya, misalnya orang beli, “Oh, bagaimana microphone-nya bagus?” “Oh, ini yang gede-gede seperti ini, langsung bagus,” nggak tentu. Justru bisa microphone yang paling bagus itu, kalau kita perhatikan, yang kecil sekali seperti ini kan yang mahal. “Ngapain microphone yang kecil-kecil? Yang gede, yang gede itu bagus.” Lah terus Pak Tong bilang, “Ini orang ndak ngerti nilai,” ya. Kalau nggak ngerti nilai microphone bagus itu justru ada suatu kejernihan suaranya, dan ada high fidelity itu yang di dalam; ketika microphone merekam itu sebegitu detailnya, dalam merekam dan memancarkan suaranya dengan lebih bagus. Karena memang untuk mengerti nilai intinya di dalam itu butuh pembelajaran. Kita aja butuh pembelajaran untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Dalam menilai segala sesuatu itu butuh proses karena kembali, untuk menilai hal yang intrinsik itu, ada proses untuk memahaminya, dan tidak bisa instan. Apa sih bedanya mie instan dengan mie yang ada di tempat restoran yang mahal? “Sama aja, enak aja kok itu makan mie instan.” Itu kalau orang sudah belajar tahu ada beda. Ada nilainya itu yang berbeda, bukan hanya yang penting bentuknya sama seperti ini. Kenapa? Karena ada nilai yang lebih dalam yang tidak kelihatan dari luar.
Dan ini menarik ketika kita melihat juga dalam zaman kita dulu itu pernah mengalami perubahan-perubahan dan goncangan dalam krisis itu terjadi karena faktor nilai intrinsik berbeda dengan ekstrinsik. Itu kalau kita melihat, di dulu-dulu itu, pernah ada orang sempat rame-rame. Rame, jualan apa? Itu loh ada batu, gitu ya, yang aneh-aneh. Batu yang suka dipakai Aki-Aki. Batu itu, wuih, mahal! Mahal itu bagus. Nah, kita lihat, woh bisa nilai sampai juta-jutaan, seperti itu. Harga jutaannya, itu label ekstrinsik, tapi nilai dalamnya berapa sebenarnya? Nah itu kalau orang jeli melihat pasar, itu cuma tren sementara dan itu gorengan, Saudara. Setelah lewat masa trennya, siapa yang masih mau beli batu-batu itu? Dulu harganya jutaan, sekarang? Mungkin ratusan ribu pun orang ga mau beli. Kenapa? Ga ada lagi nilainya. Karena tidak ada nilai intrinsiknya itu; nilai intrinsiknya cuma sekian, dihargai oleh penjual jauh lebih tinggi. Ya itu pernah, memang ada masanya. Lalu ada binatang-binatang yang aneh-aneh ya, tanaman-tanaman yang aneh-aneh. “Oh, ini tanaman mahal, seperti ini,” wah harganya sampai jutaan Saudara ya, gara-gara tanaman kayak gini dijual jutaan. Bukan tanaman langka dijual mahal sampai gitu, setelah lewat musimnya, eh, udah. Orang mau beli, ga ada yang nyari lagi. “Oh, ini ya dulu tanaman langka?” Terus kita cuma nunduk, “Iya, dulu saya beli jutaan, sekarang ga ada harganya”. Kenapa? Kita sering kali sering terkecoh dengan label luar; label luarnya ini. Dan ketika tadi saya sudah sempat singgung bicara tentang krisis yang terjadi di dunia, hilang kan? Kita ingat dulu pernah terjadi krisis minyak dunia. Faktor yang luar, itu sudah terjadi jauh ditingkatkan sebelum itu dirubah, berkali-kali lipat, lebih dari nilai dalamnya. Sampai suatu titik sudah meledak, ya mau ga mau akhirnya jatuh. Itu baiknya kita bicara krisis 1998, lalu 2008 juga. Lalu sekarang, 2018 ya. Ingat, 8 ya. Orang Chinese suka, mungkin hoki ya, senang 8 (tahun) 2008. Nah, kita kembali lagi kita sering kali terkecoh dengan budaya faktor luar, tapi tidak melihat yang di dalamnya, kesejatian nilai seperti apa. Di situ kita mengerti nilai intrinsik itu lebih rendah daripada nilai luar. Bahkan ketika kita belanja, di pasar belanja barang. Terus ada orang jual, “Oh, ini harganya misalnya 50 ribu,” label luarnya 50 ribu. Bagi kita, “hari ini saya merasa, harganya, nilai dalamnya itu nggak semahal itu.” Kita rasa Itu 30 ribu bisa. Makanya kita tawar kan?
Kalau nilai intrinsik dalamnya itu sebenarnya lebih tinggi, tapi label luarnya lebih rendah, itu justru penghinaan dan salah menilai. Dan yang mana kita masih menantikan, justru ketika eskatologi itu terjadi, ketika langit dan bumi yang baru tiba di akhir zaman itu, di situlah baru nilai luar dan nilai dalam itu bertemu. Baru dikatakan itu fair. Dan kembali, ketika kita berbicara tentang Paulus, yang dialami di sini, Paulus itu bisa, kok merasakan sukacita, meski dia kadang dipenjara? Karena itu, yang intrinsik. Dia berada di penjara, di tengah orang mencemooh. Siapa yang merasa masuk penjara itu pahlawan? Ini kan orang yang dosa, orang yang kalah, orang-orang buangan, sampah masyarakat, biasanya yang masuk penjara seperti itu. Tapi Paulus di tengah semua itu, dia tidak terkecoh, tertipu dengan penilaian luarnya; tapi dia melihat penilaian dirinya yang lebih dalam, bukan berdasarkan penilaian luar. Dari situ kita mengerti bahwa melihat dari sudut pandang kacamata Allah, yang adalah Penilai yang Objektif, dan yang juga memiliki penilaian intrinsik yang paling betul. Dan itulah Paulus melihat dirinya kembali seperti itu. Meski di kehidupan dia, di tengah pemenjaraannya begitu sulit, dia bisa menjadi kecut hati, dia bisa menjadi tawar hati melihat mengapa dia mengalami sedemikian. Tapi justru di tengah semua itu dia melihat ada nilai kekal yang Tuhan menyatakan dalam hidupnya.
Justru ketika di dalam pemenjaraannya itu ada orang lain yang bisa diinjili meski ini di luar dari ekspektasi dia. Karena kita tahu, ketika ini dialami Paulus, itu bukan suatu yang disengajakan. Di sini ketika kita melihat penderitaan yang dialami Paulus, kita harusnya percaya dalam hal ini, dan kalau kita melacak seluruh Kitab Suci maka kita akan mengerti bahwa penderitaan yang dialami oleh Paulus ini bukan suatu yang disengajakan, tapi ini kita mengertinya sebagai penderitaan yang adalah unintended consequences – sesuatu konsekuensi yang tidak disengajakan. Paulus bukan sengaja masuk penjara, bukan juga sengaja mau nekat, “Saya mau, pokoknya saya penginjilan sampai masuk penjara.” Sesuatu konsekuensi yang tidak disengaja. Paulus bukan sengaja masuk penjara, bukan juga sengaja mau nekat: “Saya memang mau, pokoknya saya penginjilan sampai saya masuk penjara.” – juga bukan cari mati seperti itu. Tapi dia penginjilan ke mana-mana, penginjilan ke mana, begitu berani dengan begitu tekunnya, sampai pun di penjara tetap giat kerjakan. Kenapa? Karena dia lihat nilai kekal itu. Nilai intrinsik dari penginjilan itu. Dan apalagi kalau kita mengerti karakter Paulus, Paulus itu bukan orang yang istilahnya mungkin kalau orang Jawa itu nrimo gitu ya. “Kamu masuk penjara!” “Ya… yowis masuk penjara.” Paulus dalam Kisah Rasul tercatat, bahwa ketika dia diajukan pengadilan, dia justru naik banding, kan? Dia justru vokal, “Saya dituduh melakukan pelanggaran ini, saya minta naik banding, saya minta naik kepada Mahkamah yang lebih atas. Saya ajukan kasus saya, saya mau bail, saya tidak pantas masuk sini.” Dia justru orang naik banding. Tapi pun sedemikian dia vokalnya, sedemikian dia aktifnya perjuangan pun, sampai dia masuk penjara, di situ dia mengerti, kalaupun sampai gitu, itu pun tidak lepas dari kedaulatan dan rencana Allah. Tidak lepas, berarti ada maksud Tuhan, dan dia mengerti ini bukan suatu dia sengajakan untuk dia mau masuk ke situ.
Di sini kita bisa melihat ada suatu penderitaan yang memang bukan suatu yang kita sengajakan, tapi suatu konsekuensi yang tidak disengajakan. Dan di dalam kehidupan itu, kadang kita bukan sama seperti kalau perempuan itu mengandung, wah sudah hamil, lalu dia itu tidurnya sudah susah, muntah-muntah, ngidam sana sini, nanti tidurnya juga setengah mati segala macam. Sampai waktu mau melahirkan, itu kan kaya hidup mati itu. Saya pernah dengar ya, berapa kali itu, orang kalau mau sedang lahir itu kaya hidup mati, keluar darah segala macamnya, dorong untuk keluar dan semuanya, itu pengaruh begitu mengerikan. Dia begitu menderita, begitu sulit. Sampai keluar anaknya. Setelah anaknya keluar, terus dia lihat, “Oh ini yang bikin saya susah 9 bulan”; tendang gitu? Malah lihat anaknya bilang, “Wah ini anakku yang kukandung 9 bulan,” dan dia difoto terus dia bisa tersenyum. Kenapa? “Lho ini kan yang bikin kamu susah selama 9 bulan? Ini yang bikin kamu hampir mati?” Tapi dia ada sukacita di sana. “Wah, because I am mother now!” menjadi seorang ibu sekarang. Di situ kita melihat ada suatu sukacita yang melampaui penderitaan itu, yang justru dilihat oleh sang ibu. Yang bahkan nggak heran, terkadang setelah berapa lama, masih mau punya anak lagi. Lho dari dulunya nggak mau, “Mau cari mati?” Bukan, tapi karena dia tahu ada sukacita yang datangnya belakangan, yang melampaui lebih tinggi nilainya daripada penderitaan sementara yang dia alami. Itu melihat sukacita yang lebih tinggi nilainya daripada penderitaan sementara.
Kita bisa bayangkan apa yang dialami oleh Paulus. Pagi itu dia terbangun dari tidurnya, dia mendapati dirinya berada di tempat yang terasing, bukan di tempat yang bersama-sama dengan jemaatnya. Dia berada di penjara yang dingin, bukan di tempat yang hangat. Dia sedang tidak bersekutu dengan orang-orang dekatnya, tetapi justru bersama dengan para tawanan dan prajurit Romawi yang menahannya. Ini bukanlah tempat yang tepat untuk dia tapi inilah realita yang dia temui. Inilah realita kehidupan, inilah realita pelayanan itu, sebagai rasul. Kyle Idleman ada menuliskan satu buku yang berjudul “The End of Me” – Kyle Idleman itu, di dalam salah satu chapter-nya yang mengatakan bahwa: “Di dalam kehidupan kita, kita seringkali suka berpikir bahwa kita hidup di dalam mimpi, kita suka hidup di dalam mimpi. Kita anggap: “oh hidup itu seperti mimpi.” Tapi sampai ketika penderitaan itu tiba, itu membangunkan kita.” Mungkin bagi sebagian kita, itu bisa berupa, itu mungkin bisa terjadi di awal sekali dalam kehidupan anak, ketika ayah dan ibunya datang duduk dan memperkenalkan kepada anda suatu kabar, perceraian. Atau mungkin itu juga bisa terjadi, yaitu ketika anda mendapat suatu telepon yang anda tidak kenal lalu anda angkat. Dan itu ternyata dari Rumah Sakit yang menyuruh anda untuk segera pergi ke bagian ICU. Atau mungkin ketika mungkin atasan anda berbicara kepada anda bahwa posisi yang selama ini anda pegang di perusahaan sudah tidak dibutuhkan lagi. Apapun bentuknya itu, seringkali kita memang hidup di dalam mimpi. Tapi kemudian kehidupan itu mempunyai suatu caranya sendiri untuk menggoncangkan kita, membangunkan kita, begitu mengganggu kita, menjadi terbangun padahal itu kehilangan sesuatu. Entah itu uang, kekayaan, kesehatan, pekerjaan, kenaifan, ataupun sesorang yang spesial bagi kita. Semua orang memiliki hal yang sesuatu, perasaan kerinduan yang dalam yang begitu mengejutkan kita. Dan ketika kita berbangun di pagi itu, kita pikir, “Hari kemarin lebih baik.” Sampai ‘hari kemarin’ itu sudah hilang dan realita itu datang di hari ini, dan itu membuat kita mengerti penderitaan itu begitu menyakitkan kita.
Kita terkadang ingin membuat diri kita makin rasa, dengan entertainment, dengan hiburan. Kita mencoba mengobati luka kita itu dengan minum, dengan belanja, dengan bekerja bahkan, atau pun berpesta, seolah-olah untuk membuat kita melupakan kesakitan yang kita rasakan. Karena inilah yang kita dapatkan di temngah penderitaan kita, bahwa ada suatu kekosongan yang mendalam yang dulunya diisi dengan suatu hal yang kita hilang itu. Entah hal itu adalah suatu benda, barang atau hal tertentu, ataupun bahkan relasi, di mana itu hal yang baik. Namun ketika itu hilang, itu meninggalkan anda suatu lubang yang menyakitkan dalam hidup. Dan suatu perubahan hidup yang sebenarnya kita tahu, dan biarlah kita tahu, bahwa Allah ada di sana untuk mengisi bagian itu, dengan diriNya sendiri. Ketika kita menderita, kita berdukacita. Dan ketika kita berdukacita, biarlah kita melihat suatu nats yang dikatakan oleh Tuhan kita Yesus Kristus sendiri, “Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur.” Di sini kita mengerti, ucapan bahagia ini: Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur – yaitu bicara ada sesuatu kebahagiaan, ada suatu berkat yang lebih besar, yang bisa kita dapatkan. Dan suatu sukacita yang begitu besar, yaitu sukacita surgawi yang berbeda dengan sukacita duniawi. Dan sukacita surgawi ini tidak bisa kita dapatkan selain melewati jalan penderitaan itu, melalui jalan penderitaan dan dukacita.
Di situlah kita baru mengerti apa artinya Tuhan berkata: “Aku menyertai engkau senantiasa, sampai kepada kesudahan zaman.” Dan di tengah penderitaan itu adalah kita kehilangan suatu yang berharga bagi kita, biarlah ketika itu semua hilang, kita justru diingatkan akan sukacita keselamatan. Karena mengingat bahwa sebenarnya kitalah batu yang hina, yang jelek itu, yang dipungut Tuhan dan dibersihkan lapisan demi lapisannya, kotorannya dibersihkan satu per satu oleh darah Kristus, untuk menjadikan kita batu bagi kemuliaanNya. Itulah sukacita keselamatan yang mengubah sistem nilai kita. Namun, kenyataannya, seringkali kita sulit melihat hal ini karena keterbatasan kita, kelemahan kita dan keberdosaan kita. Karena itu saya melihat ada suatu doa yang diajarkan Reinhold Niebuhr. Reinhold Niebuhr mengajarkan ada suatu doa yang dikenal sebagai Serenity Prayer – doa ketenangan. Doanya seperti demikian: “God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference.” Tuhan, berikanlah aku suatu ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa kurubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku rubah, dan bijaksana untuk mengetahui perbedaan keduanya. Mari kita satu dalam doa
Bapa kami dalam sorga, kami berdoa bersyukur untuk kebenaranMu, kiranya sungguh kebenaranMu ini menguatkan iman setiap kami dan membawa kami untuk lebih lagi sungguh mengikut Engkau. Kiranya Engkau yang mengubahkan kami akan firman-Mu. Dan kiranya kebenaran Kitab Suci-Mu itu sendiri sungguh mengubah konsep nilai kami, melihat diri kami sendiri tepat seperti Engkau melihat diri kami. Dan ketika kami menghadapi realita penderitaan, ya Bapa, tolonglah kami, kuatkanlah kami, dan ajarlah kami untuk melihatnya secara benar, menilainya secara tepat sesuai maksud dan rencana-Mu. Terima kasih Bapa untuk semua ini. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]