Paulus di hadapan Mahkamah Agama
Kis. 23:1-11
Pdt. Dawis Waiman
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, Paulus saat ini ada di dalam penjara. Dia adalah orang yang ditangkap bukan karena melakukan satu kejahatan, bukan karena melakukan sesuatu yang membuat diri dia layak untuk dihukum, tetapi karena dia adalah seorang yang memberitakan Injil Kristus. Tetapi pada waktu dia memberitakan Injil Kristus dan ketika terjadi gejolak di situ dan dia ditangkap karena Injil yang dia kabarkan, kepala pasukan dari orang-orang Roma itu juga tetap ada di dalam satu kondisi yang bingung. Bingung kenapa? Karena dia tidak mengerti, mengapa Paulus ditangkap. Ketika ditanya, apakah dia adalah orang yang memberontak itu, orang Mesir yang mengadakan satu kerusuhan itu, Paulus bilang, “Saya bukan orang itu, tetapi saya adalah orang yang menjadi pemberita dari Injil Yesus Kristus dan saya adalah orang Ibrani.” Tetapi apa yang membuat orang-orang Ibrani atau orang-orang Yahudi itu begitu marah sekali terhadap diri Paulus sehingga membuat seperti ada satu kerusuhan yang besar atau satu keributan yang seolah-olah akan mengadakan satu pemberontakan atau satu bencana bagi orang-orang Yahudi yang tentunya berakibat kepada perwira pasukan ini? Perwira pasukan ini tidak terlalu jelas. Itu sebabnya, pada waktu kita baca di dalam pasal yang ke-23 ini, maka dia berusaha untuk mencari tahu kembali, apa yang membuat orang-orang Yahudi bisa begitu marah sekali terhadap Paulus yang mengakibatkan adanya kerusuhan seperti itu. Dan untuk bisa mengetahuinya, dia langsung menujukan panggilannya itu kepada pemimpin dari orang-orang Yahudi. Dan siapa pemimpin itu? Yaitu mahkamah agama, yaitu para imam kepala, dan yang ada juga di situ adalah Imam Besar Ananias. Nah, pada waktu orang-orang ini dikumpulkan oleh perwira ini dan Paulus diperhadapkan di hadapan mereka, itulah saatnya kita membaca konteks dari pasal 23 ini yaitu Paulus dipimpin oleh Tuhan untuk bersaksi di hadapan dari mahkamah agama.
Dan pada waktu kita berbicara ini, kalau kita kaitkan dengan pasal-pasal sebelumnya, maka ada orang-orang yang menafsirkan kalau apa yang terjadi bagi Paulus itu adalah sesuatu yang merupakan keputusan yang salah yang diambil oleh Paulus. Saya pribadi tidak berpikir seperti itu. Mengapa mereka menuduh Paulus telah mengambil satu keputusan yang salah? Karena mereka berpikir bahwa Paulus sudah diperingatkan oleh orang-orang yang ada di sekitar dia. “Engkau jangan pergi ke Yerusalem! Bukankah Tuhan menghendaki engkau pergi ke Roma, tapi kenapa engkau begitu berkeras hati untuk pergi ke Yerusalem mengantarkan uang atau persembahan yang dikumpulkan oleh jemaat-jemaat yang dilayani Paulus bagi orang-orang Kristen yang ada di Yerusalem? Bukankah engkau bisa mengutus orang lain untuk datang ke sana, bawa uang itu, bantuan itu untuk orang-orang Kristen Yahudi yang ada di dalam kondisi yang sulit di Yerusalem itu? Kenapa engkau sendiri yang harus datang?” Tetapi Alkitab mencatat, Paulus sudah dengan teguh hati untuk pergi ke Yerusalem. Paulus sudah dengan ketetapan hati yang tidak bisa digoncang oleh siapa pun lagi dan dia tetap menuju ke sana, walaupun sudah diperingatkan bahwa dia akan ditangkap di Yerusalem.
Bagi saya, saya melihat itu adalah bagian dari pimpinan Tuhan kepada Paulus. Ia memang harus pergi ke Yerusalem karena di Yerusalem itu menjadi kesempatan bagi diri dia untuk bersaksi kepada orang-orang yang merupakan pemimpin dari orang-orang Yahudi dan juga orang-orang Yahudi yang ada di Yerusalem. Nah, kita bisa lihat dari mana? Pada waktu Paulus mau pergi menuju ke Yerusalem sebelum Agabus datang dan memperingati diri dia, maka Paulus berkata bahwa, “Aku sudah tahu karena Roh Kudus atau Tuhan juga sudah mengatakan kebenaran itu kepada saya kalau saya akan ditangkap di Yerusalem dan dibelenggu di Yerusalem.” Jadi, kalau ketika Agabus menyampaikan kebenaran itu kepada Paulus, dan orang-orang Kristen berusaha untuk mencegah dia untuk pergi ke Yerusalem, maka bagi Paulus itu adalah sesuatu yang menentang mungkin kehendak Tuhan karena Tuhan sendiri sudah memberikan petunjuk, dia akan ditangkap di Yerusalem dan dia harus pergi untuk bersaksi di Yerusalem.
Lalu, yang kedua adalah kita bisa lihat di dalam ayat yang ke-11 pasal yang ke-23 yang tadi kita baca. “Pada malam berikutnya Tuhan datang berdiri di sisinya dan berkata kepadanya: “Kuatkanlah hatimu, sebab sebagaimana engkau dengan berani telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem, demikian jugalah hendaknya engkau pergi bersaksi di Roma.”” Jadi, apa yang dilakukan oleh Paulus, kelihatannya adalah sesuatu yang disetujui oleh Tuhan dan dikonfirmasi sebagai hal yang benar oleh Tuhan, walaupun itu berarti dia mengambil satu keputusan yang meresikokan hidup dia. Dan ada orang yang ketika berbicara ini adalah keputusan yang salah. Kenapa? Salah satu sebabnya adalah kemungkinan besar, Paulus bisa mati di Yerusalem akibat keputusan dia yang memaksakan diri untuk pergi ke Yerusalem. Dari mana? Dari kerusuhan yang diakibatkan oleh orang-orang Yahudi yang membuktikan kalau bukan karena kepala perwira ini yang intervensi dan masuk untuk ambil Paulus keluar, mungkin Paulus sudah mati di Yerusalem. Kalau Paulus mati di Yerusalem, bagaimana dia bisa bersaksi ke Roma untuk memberitakan tentang Injil Kristus seperti yang Tuhan tugaskan bagi diri dia? Tapi ini menjadi satu sesi yang lain yang akan kita bahas di dalam perikop dari ayat 12 dan seterusnya mengenai ini. Tetapi di sini kita akan melihat bahwa apa yang Paulus lakukan itu adalah sesuatu yang sungguh-sungguh merupakan pimpinan Tuhan di dalam kehidupan Paulus, termasuk bahaya yang dialami oleh Paulus itu adalah satu bahaya yang tentunya ada di dalam seizin Tuhan untuk Paulus alami di dalam kehidupan kesaksian pemberitaan Injil yang dia kabarkan tersebut.
Dan pada waktu dia diperhadapkan dengan mahkamah agama, ada 1 hal yang menarik yang Paulus ungkapkan di dalam percakapan atau kalimat pembukaan yang dia ucapkan di hadapan mahkamah agama ini. Siapa mahkamah agama? Pemimpin dari orang-orang Yahudi. Pemimpin tertinggi. Mungkin kalau kita katakan, mahkamah agung di Indonesia atau presiden, seperti itu. Itu pemimpin atau penguasa tertinggi dari orang Yahudi, sekarang berdiri di hadapan Paulus. Dan pada waktu mereka berdiri, Paulus dengan begitu berani dikatakan menatap mereka satu per satu, lalu di situ dia mengatakan satu kalimat yang penting, yaitu “Hai saudara-saudaraku, sampai kepada hari ini aku tetap hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah.” Maksudnya apa? “Sampai kepada hari ini aku tetap hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah.” Mungkin ada orang yang menafsirkan, itu menyatakan bahwa Paulus mengatakan dirinya benar. Benar dalam pengertian apa? Dia tidak berdosa sama sekali. Dia tidak ada kesalahan sama sekali. Dia bisa berdiri sebagai orang yang betul-betul luar dan dalam sebagai orang yang benar di hadapan Allah dan dia berani bersaksi di hadapan mahkamah agama kalau dia adalah orang yang benar. Dan tindakan yang dia lakukan adalah satu tindakan yang disetujui oleh Tuhan Allah.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita perhatikan di dalam kitab-kitab yang lain yang Paulus tulis, kita akan mendapatkan 1 hal bahwa tidak ada orang yang 100% benar di hadapan Tuhan. Tidak ada orang yang bisa berdiri secara jujur di hadapan Tuhan, luar dan dalam tanpa ada perbedaan sama sekali karena semua manusia itu berdosa dan semua manusia itu adalah orang-orang yang memilih jalan yang menentang Tuhan di dalam kehidupan mereka. Dan dosa itu bukan sesuatu yang dinyatakan dalam hidup kita di luar saja ketika kita melakukan satu perbuatan yang melawan hukum Tuhan, tetapi itu dinilai atau dilihat oleh Tuhan dari hati manusia, motif manusia yang secara natur itu akibat dari dosa, pasti melawan Tuhan Allah. Makanya, Bapak, Ibu bisa melihat di dalam Kejadian pasal 9, pada waktu Tuhan melihat persembahan yang dikorbankan oleh Nabi Nuh kepada Tuhan paska air bah, di situ memang Tuhan memang berkata 1 hal. “Aku tidak akan mendatangkan hukuman lagi kepada manusia, walaupun mereka melakukan kejahatan.” Tetapi pada waktu bicara tentang kejahatan itu, apa yang Tuhan lihat? Walaupun di dalam hati mereka menimbulkan kejahatan, Tuhan tidak akan mendatangkan air bah. Tetapi bukan berarti Tuhan tidak melihat kejahatan itu dan bukan berarti Tuhan tidak akan mendatangkan hukuman karena di dalam surat Petrus dikatakan bahwa “Jangan engkau anggap Tuhan itu tidak menepati janji. Dia tidak datang-datang sampai hari ini, itu bukan karena Dia lalai di dalam menepati janji-Nya, tetapi karena Dia bersabar pada engkau yang berdosa supaya engkau bertobat dari dosa dan tidak ada orang yang dihukum oleh Tuhan.” Itu sebabnya Tuhan menunda hari kedatangan-Nya. Jadi, Tuhan melihat kepada hati.
Dan ketika Tuhan melihat kepada hati, apa yang ditemukan oleh Tuhan? Manusia jahat. Mengapa manusia jahat? Karena naturnya sudah berdosa. Karena itu, keinginan hatinya yang membuat dia melakukan hal-hal yang di luar itu sudah dicemari oleh dosa. Dan ini membuat tidak mungkin kita bisa membersihkan diri kita dan hati kita melalui tindakan di luar. Banyak orang berpikir bahwa membenarkan diri sendiri di hadapan Allah itu seperti seorang mencuci baju. Caranya apa? Pakai detergen. Dicuci kalau bajunya kotor, maka baju itu menjadi bersih. Dan kalau baju itu menjadi bersih, dipakaikan kepada tubuh kita, maka tubuh kita menjadi orang yang bersih atau orang yang suci. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, agama mengajarkan hal itu. Dengan membasuh diri di luar atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang di luar, kebaikan-kebaikan yang kita lakukan, kita berpikir bahwa kita bisa menjadi orang yang benar di hadapan Tuhan. Tetapi, Paulus berkata, tidak! Yang menjadi masalah apa? Hati. Kalau masalah hati, itu adalah seperti seseorang yang memiliki satu temperamen misalnya. Orang kalau memiliki temperamen yang ceroboh, orang yang memiliki temperamen yang tidak sabaran seperti itu, kira-kira dia dari diri dia sendiri bisa memiliki penguasaan diri untuk mengontrol diri dia untuk menjadi orang yang begitu teliti, tidak ceroboh dan menjadi orang yang sangat sabar tidak? Saya yakin tidak bisa karena dia terlahir sebagai orang yang ceroboh, dia terlahir sebagai orang yang tidak sabaran dan dari diri dia sendiri, dia tidak mungkin mengubah hal itu, kecuali ada 1 kekuatan dari luar yang membentuk diri dia.
Jadi, itu sebabnya kalau orang itu adalah orang yang jatuh dalam dosa, naturnya berdosa, maka dari diri dia sendiri tidak mungkin dia memperbaiki hidup dia, mengubah natur hatinya mengubah kecondongan hatinya untuk menginginkan sesuatu yang baik, yang benar, yang dikehendaki oleh Tuhan. Dan juga yang lebih pasti lagi adalah tidak mungkin dia bisa membuat diri dia benar melalui perbuatan-perbuatan luar yang dia tampilkan di hadapan orang lain karena Tuhan bukan melihat itu, tetapi melihat kepada apa yang menjadi motif hati dari manusia. Ini bicara tentang natur. Makanya, di dalam Roma pasal 3, Paulus berkata, “Tidak ada seorang pun yang baik. Tidak ada seorang pun yang benar. Tidak ada seorang pun yang mencari Tuhan. Karena apa yang menjadi keinginan hati manusia itu adalah jahat dan apa yang dikejar oleh manusia itu adalah hal-hal yang jahat di hadapan Tuhan.” Saya menggunakan parafrase untuk hal itu. Bapak, Ibu bisa membaca sendiri di dalam Roma 3 berkaitan dengan hal ini. Jadi, pada waktu kita berbicara, Paulus berkata bahwa, “Aku dengan hati nuraniku berdiri di hadapan Tuhan,” dia bukan mau mengatakan, “Aku adalah orang yang tidak berdosa sama sekali di hadapan Tuhan” seperti itu. Apalagi, kalau kita bandingkan dengan Roma pasal 7, Paulus berkata bahwa, ”Aku adalah orang yang berdosa. Apa yang aku inginkan dalam hatiku dengan apa yang aku lakukan dalam perbuatanku itu adalah 2 hal yang berbeda. Aku manusia yang celaka!” Tetapi bersyukur kepada Kristus, maka ada satu solusi terhadap kehidupan dia yang berbeda antara apa yang dilakukan di luar dengan apa yang diinginkan di dalam hati dari manusia. Dan itu membuat dia memuji Tuhan.
Jadi, hati nurani bukan berbicara tentang kondisi yang betul-betul suci di hadapan Tuhan, pada waktu kita membaca ayat pertama di sini. Lalu, hati nurani ini berbicara tentang apa yang suci? Kalau kita kaitkan dengan pasal yang sebelumnya, kemungkinan besar Paulus sedang mengatakan bahwa, “Apa yang menjadi tuduhan engkau terhadap diriku itu salah.” Karena orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Paulus layak dimatikan karena dia telah membawa orang bukan Yahudi masuk ke dalam bait Allah untuk beribadah kepada Allah, padahal itu adalah hal yang sangat ditentang sekali oleh Musa atau hukum Musa. Dan mungkin juga karena dia dituduh sebagai orang yang telah mengajarkan satu pengajaran yang bertentangan dengan apa yang menjadi pengajaran Musa atau hukum Taurat sehingga dia dituduh sebagai orang yang layak mati dan harus dihukum mati.
Tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, Paulus berkata, “Tidak, aku tidak lakukan itu. Aku tidak bawa orang bukan Yahudi masuk ke dalam bait Allah. Aku juga bukan seorang yang menentang hukum Musa.” Tetapi justru dia adalah orang yang menantikan janji Tuhan yang diberikan melalui Musa untuk kehadiran seorang Mesias. Dan dia percaya kepada Mesias yang dijanjikan oleh Tuhan itu melalui nabi-nabi-Nya sebagai satu kebenaran yang sudah digenapi oleh Tuhan. Itu sebabnya, Paulus berkata bahwa, ”Aku dengan hati nuraniku yang murni, aku berbicara di hadapan Allah mengenai apa yang aku akan saksikan ini atau aku telah perbuat tersebut.” Tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, sekali lagi berbicara tentang hati nurani juga, satu sisi, Paulus memang mengatakan bahwa apa yang dia katakan itu adalah satu kebenaran. Apa yang dia lakukan itu adalah sesuatu yang tidak melanggar hukum daripada Tuhan.
Tapi, pertanyaannya kayak gini, apakah hati nurani bisa dijadikan satu standar untuk mengatakan kita pasti benar? Kalau hati nurani kita adalah hati nurani yang tidak menuduh kita, apakah itu berarti bahwa saya di dalam kondisi yang damai dengan Tuhan? Kadang-kadang ada orang yang menyimpulkan kalau dia melakukan sesuatu, dia merasa tenang dan damai, itu berarti dia tidak masalah. Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, Alkitab berkata, ada orang-orang yang bisa punya hati nurani yang salah di dalam memberikan alarm kepada diri dia. Contohnya di mana? Contohnya adalah kalau kita baca di dalam surat Korintus misalnya. 1 Korintus 8 tentang penyembahan berhala dan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala. Di situ, Paulus berkata kita tahu kok kalau orang-orang Kristen itu adalah orang-orang yang tidak lagi terikat oleh berhala. Orang yang telah dimerdekakan dari berhala. Dan bahkan, makanan yang dimakan itu adalah sesuatu yang selalu diucapkan dengan syukur dihadapan Tuhan, maka makanan itu menjadi halal. Tidak ada makanan yang haram. Tuhan Yesus sudah pernah berkata bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulutmu itu tidak menajiskan karena akan dibuang di dalam jamban. Tetapi apa yang keluar dari mulutmu itu yang menajiskan, karena keluar dari hati yang jahat.
Jadi, semua makanan diperbolehkan, tetapi kenapa ada 1 kalimat yang Paulus katakan seperti ini? “Kalau hal itu, makanan itu akan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, maka aku tidak akan makan daging seumur hidupku.” Penyebabnya adalah karena ada orang-orang Kristen yang baru percaya kepada Tuhan, yang terlepas dari satu kehidupan penyembahan berhala, yang dari kecil mungkin sampai besar dibesarkan dengan satu pengajaran kalau berhala ada. Makanan ini sudah dipersembahkan kepada berhala. Karena itu, makanan ini menjadi milik berhala. Kalau engkau ada dalam kuil berhala, kau makan makanan itu, maka engkau sedang bersekutu dengan berhala itu. Maka ketika orang-orang Kristen yang lain, yang mungkin sudah lebih dewasa, atau generasi yang lain yang tidak ada ikatan sangkut paut sama penyembahan berhala mengajak orang-orang Kristen yang baru bertobat ini untuk makan makanan yang pernah dipersembahkan kepada berhala, maka yang satu akan mengatakan, “Nggak papa! Alkitab berkata tidak ada berhala. Tidak ada sesuatu yang bisa menajiskan kita.” Tetapi orang Kristen yang baru bertobat itu akan berkata, ”Tidak. Saya merasa bersalah kalau saya makan ini. Saya harus ada pemisahan dengan kehidupan yang lama saya.” Salah satunya apa? “Saya tidak boleh makan.” Tapi kalau dia makan bagaimana? Hati nuraninya akan ngomong engkau sudah berdosa di hadapan Tuhan. Makanya Paulus berkata bahwa kalau sampai saudaraku merasa tersandung oleh makanan itu, aku tidak akan makan seumur hidupku karena makanan tidak akan membuat aku hidup atau menjadi lebih baik atau dan yang lain-lainnya itu. Jadi itu berarti bahwa apa yang menjadi suara hati, bisa tidak seperti yang dinyatakan oleh Tuhan, dan apa yang menjadi suara hati itu berarti bahwa perkataan itu mungkin bisa merupakan suatu alarm yang salah bagi kehidupan kita.
Nah hal ini juga terjadi pada diri Paulus sendiri. Kalau Bapak, Ibu perhatikan di dalam pasal yang sebelumnya apa yang membuat Paulus itu dengan begitu ngotot sekali pergi ke Damaskus untuk menangkapi orang-orang Kristen, menganiaya mereka lalu mungkin memukul mereka, memenjarakan mereka dan bahkan tidak sungkan-sungkan untuk membunuh mereka. Apa yang membuat Paulus melakukan hal itu? Di mana suara hatinya kan? Mungkin kita akan berkata seperti itu. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan kalau bandingkan dengan pasal yang menjadi kesaksian Paulus di dalam Kisah Para Rasul lalu di dalam Filipi 3, Paulus ngomong, “Saat itu aku melakukan kehendak Tuhan kok. Saat itu aku menjalani kehidupan yang betul-betul setia pada hukum Musa, aku di dalam ketaatan pada Taurat yang tidak ada cacat sama sekali.” Berarti pada waktu Paulus mengejar orang Kristen, menganiaya, dan membunuh orang Kristen, dia berada di dalam kondisi hati nurani yang berkata “engkau bersalah, engkau sudah berdosa” atau “Paulus engkau baik ya, engkau hebat, engkau setia kepada Tuhan ya, apa yang engkau lakukan adalah suatu kebenaran.”? Saya yakin dia akan berkata bahwa apa yang engkau lakukan adalah suatu kebenaran yang diperkenan oleh Tuhan sampai ketika Paulus bertemu dengan Tuhan, ketika Tuhan menyatakan dirinya di dalam perjalanan ke Damaskus, mungkin baru pada waktu hati nuraninya baru berkata “celaka aku selama ini aku berpikir aku benar tetapi ternyata justru aku yang telah menganiaya Tuhan dan melalui menganiya orang-orang Kristen.”
Jadi, suara hati bisa menjadi suatu perkataan yang salah dalam hidup kita, Paulus menjadi orang yang membuktikan hal ini. Bapak Ibu saudara yang dikasihi Tuhan, jangan cuma bertindak oleh apa kata hati, kalau kita hanya bertindak berdasarkan apa kata hati, ada kemungkinan kita di dalam posisi yang bertentangan dengan Tuhan dalam kehidupan kita. Lalu bagaimana kita bisa yakin apa yang dikatakan Paulus di sini adalah suatu kebenaran? Dia juga adalah orang yang sama, sebelumnya dia berkata aku dengan sepenuh hati melayani Tuhan, di sini dia ngomong juga aku tidak berdosa dan tidak bercela sama sekali, hati nuraniku adalah menyatakan bahwa bahwa aku murni, aku benar di hadapan Tuhan Allah. Ada satu hal yang tentunya penting, yaitu pertama adalah kebenaran itu berkaitan dengan anugerah dari Tuhan dalam kehidupan kita tetapi juga dalam Roma 9:1 dikatakan bahwa Paulus berani mengklaim itu karena ada Roh Kudus yang menerangi suara hati kita. Kita buka Roma 9. Roma pasal 9:1, “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta, suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus.” Ada pimpinan Roh Kudus di dalam hidup dia, di dalam suara hatinya, atau istilah lain adalah ada terang firman Tuhan yang menerangi suara hatinya sehingga dia berani berkata bahwa apa yang dikatakan itu adalah satu kebenaran.
Kita sebagai orang yang percaya di dalam Kristus, yang mendapatkan kasih karunia Kristus salah satu yang Tuhan kerjakan di dalam hidup kita adalah menerangi hati nurani kita, sehingga hati nurani kita itu memiliki satu penuntun yaitu Firman Tuhan supaya ketika kita berjalan, kita berjalan dalam satu keyakinan bahwa apa yang kita jalankan adalah satu kebenaran karena ada Firman Tuhan yang menuntun atau Roh Kudus yang menuntun hati nurani kita di dalam kita melakukan sesuatu. Itu menjadi hal yang penting. Jadi Bapak, Ibu saudara yang dikasihi Tuhan, ini adalah hal yang satu prinsip yang Pak Tong katakan bagi diri kita ya, manusia berpikir bahwa pikirannya adalah pikiran yang tertinggi, yang paling bijaksana, sehingga perbuatan dia, yang dilakukannya berdasarkan pikiran dan pertimbangan itu adalah dipikir sebagai suatu pikiran yang paling benar, yang paling baik, yang paling bijaksana. Tapi orang Kristen tidak seperti itu, orang Kristen adalah orang yang menundukkan pikirannya di bawah Firman Tuhan, di bawah pimpinan Roh Kudus. Firman Tuhan menerangi pikiran dia, pikiran dia yang kemudian mengatur perasaan dia dan perbuatan yang dia lakukan di dalam hidup dia. Jangan cuma bertindak berdasarkan perasaan atau jangan cuma bertindak berdasarkan sesuatu yang Saudara sendiri anggap benar, orang Kristen tidak seperti itu. Selalu ada Firman yang selalu harus menuntun kehidupan dia baik itu pikiran perasaan ataupun perbuatan yang dia lakukan di dalam hidup dia.
Nah saya lanjutkan ya, setelah berbicara bahwa apa yang menjadi kesaksian Paulus itu adalah sesuatu yang dia berani meyakinkan di hadapan Tuhan sebagai suatu kebenaran, kelihatannya Paulus tidak diberi kesempatan untuk berbicara lebih lanjut karena apa? Karena apa? Imam besar Ananias memberi kode kepada orang yang berdiri di dekat Paulus bukan cuman menampar, istilah yang digunakan itu adalah seperti memukul mulut Paulus dengan keras sehingga dia tidak bisa melanjutkan perkataannya di situ. Tetapi di sinilah hal yang menarik yang kemudian dicatat oleh Lukas bagi diri kita, pada waktu Paulus dipukul mulutnya dengan keras, apa yang menjadi jawaban Paulus? Dia nggak ngomong seperti yang Yesus ngomong, kalau ada orang yang ditampar pipi kanannya berikan pipi kirinya, atau pipi kirinya berikan pipi kanannya. Tetapi yang Paulus katakan adalah seperti ini, “Allah akan menampar engkau hai tembok yang dikapur putih-putih, engkau duduk di sini untuk menghakimi aku menurut hukum Taurat, namun engkau melanggar hukum Taurat oleh perintahmu untuk menampar aku.” Lalu di ayat yang keempat tentunya dikatakan, “engkau mengejek imam besar Allah”, maksudnya apa? Bapak, Ibu saudara yang dikasihi Tuhan, banyak penafsir mengatakan apa yang dikatakan oleh Paulus itu di satu sisi memang ada kebenarannya di situ tetapi di sisi lain memang ada kesalahannya.
Jadi pada waktu Imam Besar ini meminta orang yang dekat Paulus itu memukul mulut Paulus, istilah lainnya adalah Paulus ngomong kayak gini ya, “Eh kamu! Tembok yang dikapur putih! Kamu memukul mulut saya? Biar aku membalas memukul engkau kembali!” Intinya dia seperti itu, makanya ada orang yang mengatakan apa yang dikatakan Paulus itu satu sisi ada kebenarannya, tapi di satu sisi ada kesalahannya juga. Maksud kebenarannya itu apa? Maksudnya adalah apa yang dikatakan oleh Paulus itu ada sesuatu yang menyatakan kalau tindakan Imam Besar itu adalah tindakan yang salah. Imam Besar adalah wakil dari Tuhan. Imam Besar adalah seorang yang duduk di jabatannya untuk menegakkan keadilan. Dan keadilan yang ditegakkan adalah satu keadalian yang melalui satu pengadilan terlebih dahulu atau saksi dan pembuktian terlebih dahulu. Tetapi ketika Paulus baru mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu sesuatu yang diyakinkan benar di hadapan Tuhan, Imam Besar sudah pukul Paulus. Berarti ya Paulus jangan sembarangan ngomong kayak gitu atau Paulus engkau tidak berdusta, engkau kurang ajar sekali dalam berbicara. Maka Paulus di situ membalas dengan satu kalimat yang cukup kasar kepada Imam Besar ini untuk menyatakan bahwa tindakan Imam Besar ini adalah satu tindakan yang salah.
Tetapi di sisi lain, ada penafsir yang semuanya ya hampir, mengatakan seperti ini, apa yang dikatakan oleh Paulus itu walaupun ada benarnya, tetapi itu menyatakan bahwa Paulus adalah orang berdosa. Karena di sinilah satu-satunya kesempatan, di mana, bukan satu-satunya ayat lah ya, mungkin ada beberapa ayat yang lain, tapi di sinilah kita bisa menemukan ayat setelah sekian pasal Paulus bisa dikatakan begitu baik begitu saleh setelah dia bertobat daripada dosanya atau pertentangan dia terhadap jalan Tuhan, menunjukkan dia sebenarnya memiliki karakter yang meledak-ledak, Dia tidak begitu gampang tunduk kepada orang, apalagi kalau orang itu melakukan suatu ketidakadilan. Berarti apa yang dikerjakan oleh Paulus sebelumnya, itu adalah satu penyangkalan diri yang luar biasa sekali kalau saya bilang, ketika dia mengikut Tuhan. Karena di dalam pasal sebelumnya, Paulus selalu berbicara dengan baik kepada orang-orang yang menganiaya dia. Tapi di sini, mungkin dia sudah nggak tahan lagi sehingga dia meledakkan emosi dia di hadapan Mahkamah Agama itu.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, mau tanya, yang Bapak Ibu bayangkan tentang Rasul Paulus itu orang yang seperti apa? Mungkin dalam pikiran kita, dia orang yang suci, kepalanya ada lingkaran terang, orang yang penuh dengan cinta kasih, orang yang tidak ada dosanya seperti itu, orang yang betul-betul menjadi panutan sekali, kalau kita bertemu dengan Paulus kita secara otomatis akan submit-kan diri kita bawah pimpinan dia seperti itu ya, Amin? Bapak, Ibu, ingat ada Korintus lho, di mana jemaat Korintus itu mempertanyakan kerasulan Paulus. Ada Galatia lho, di mana jemaat di Galatia itu mempertanyakan pengajaran Paulus, sampai Paulus begitu marahnya kepada mereka yang begitu lekasnya meninggalkan pengajaran yang benar yang Paulus berikan kepada diri mereka. Ini saya bicara kehadiran dari Rasul pun, belum tentu membuat seseorang itu akan submit-kan diri di bawah pengajaran dia. Dan ini juga yang membuat saya yakin sekali, kehadiran Yesus Kristus pun di tengah-tengah kita hari ini, mungkin akan membuat kita menolak Dia di dalam kehidupan kita, setuju nggak? Kalau nggak setuju ya, Alkitab bilang, kehadiran Yesus salah satu hal yang besar itu adalah dikaitkan dengan firman-Nya. Bapak Ibu saudara yang dikasihi Tuhan, seberapa banyak dari kita di sini yang betul-betul menundukkan diri di bawah perkataan Kristus? Jadi jangan berpikir bahwa “Oh orang ini saya tolak, tetapi kalau Kristus sendiri hadir, atau Paulus sendiri hadir, saya pasti ikuti.” Maaf ya, kalau orang itu saja kita tolak, Paulus dan bahkan Yesus Kristus sendiri hadir di hadapan kita, pasti kita tolak, karena Tuhan berkata bahwa penerimaan kita itu adalah dari penerimaan kita pada orang lain yang mereka suruh kita mengasihi mereka.
Jadi, apa yang dikatakan di sini, pada waktu kita berbicara siapa Paulus? Oh dia rasul. Rasul yang seperti apa? Bayangan kita sempurna. Kalau sempurna kita terima nggak? Alkitab bilang orang-orang menolak dia. Tapi sekarang saya mau tambahkan, siapa Paulus? Rasul Tuhan. Orang yang sempurna bukan? Bukan. Tetapi orang yang juga punya emosi, karakter yang meledak. Dan ketika dia hadir di sini, kira-kira kita bersikap seperti apa? Mungkin kita akan ngomong kayak gini, apa pantas ya seorang Rasul, seperti Paulus itu menjadi Rasul Tuhan? Mungkin kita bisa ngomong seperti itu. Dan kalau kita baca lagi, di dalam surat Paulus misalnya ada kalimat, “anjing-anjing itu,” kita kan ngomong apa? Gila ya, Rasul yang seharusnya menguasai perkataan dia, bicara yang penuh dengan cinta kasih, dengan sopan dengan baik penuh dengan tata krama seperti itu, kok bisa berbicara begitu dengan kasar sekali? Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, satu sisi saya merasa itu adalah gambaran dari wakil Tuhan menghakimi orang-orang yang betul-betul melakukan dosa dan kejahatan yang menentang kebenaran firman Tuhan, tapi di sisi lain saya juga mengatakan bahwa Paulus juga manusia. Dia manusia biasa sama seperti kita, dan dia punya emosi, dia juga punya karakter, dan dia juga bisa melakukan kesalahan atau dosa di dalam hidup dia.
Dan ini membedakan rasul-rasul Kristen dan nabi-nabi Kristen dibandingkan dengan rasul dari Islam dan nabi dari kepercayaan orang Islam. Di dalam pandangan mereka, nabi dan rasul tidak ada dosa sama sekali. Di dalam pengajaran Kristen, nabi dan rasul juga punya dosa dan membutuhkan kasih karunia Tuhan untuk menebus mereka. Bahkan Maria sendiri pun yang menjadi ibu Yesus Kristus, yang bagi orang Katolik dianggap sebagai perempuan yang suci dan tanpa dosa, kita pegang sebagai orang yang berdosa dan membutuhkan kasih karunia Kristus untuk pengampunan dosa. Karena di dalam nyanyian Magnificat Maria sendiri mengaku kalau dia membutuhkan seorang Juruselamat dalam hidup dia.
Jadi Paulus siapa? Manusia biasa yang mendapat kasih karunia Tuhan untuk dipercayakan firman Tuhan dan berita Injil untuk dikabarkan ke seluruh dunia, kepada semua bangsa. Paulus siapa? Manusia biasa yang diberikan kasih karunia Tuhan untuk menjadi orang Kristen dan diberikan satu kedudukan yang sangat tinggi untuk menjadi rasul Tuhan. Tetapi dia bukan orang yang tanpa dosa sama sekali, dia bisa melakukan satu dosa. Kalau gitu celaka nggak? Apa itu berarti bahwa firman Tuhan dipercayakan pada satu orang, atau satu pribadi yang sebenarnya bisa mendatangkan kecelakaan bagi Kerajaan Allah dan menjadi batu sandungan untuk pemberitaan injil? Ya mungkin saja. Kalau orang yang melihat kepada para rasul itu merasa diri lebih benar, lebih baik, padahal diri dia tidak ngaca diri, kalau diri dia adalah orang yang berdosa. Tapi Bapak Ibu yang dikasihi Tuhan, ini juga menunjukkan bahwa yang menjadi pribadi yang penting untuk bisa menggenapkan berita yang dikabarkan dan pekerjaan yang ditugaskan terjadi, itu bukan terletak pada diri rasul itu, tetapi pada diri Kristus atau Tuhan.
Saya kadang bertemu dengan orang yang bicara kayak gini, “Pak, saya sudah mengatur hidup saya begitu baik, dijaga betul-betul tanpa ada kesalahan dan cacat sama sekali, supaya apa? Supaya saya bisa injili orang tua saya, atau mertua saya, atau suami dan keluarga saya seperti itu. Tapi kadang-kadang mendadak saya pernah diomongi juga, kayak gitu, apa yang Bapak katakan itu merusak semua dari apa yang sudah saya lakukan karena Bapak menunjukkan bahwa orang Kristen kok kayaknya bicara menegur blak-blakan kayak gitu. Kayaknya kurang kasih kepada orang yang diajak bicara.” Dia nggak ngomong langsung sama saya sih, tapi saya dapat kabar dari temen saya ketika ngomong seperti itu. Tapi bukan hal ini bukan hanya ditujukan kepada saya, tetapi berkata bahwa diri mereka sudah melakukan segala sesuatu dengan baik eh tetapi gagal. Atau saya tunggu dulu deh, saya mau injili si A, tetapi saya tunggu dulu sampai saya punya kehidupan yang layak untuk saya ngomong sama si A tentang Injil. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, itu benar atau salah? Kalau kita berpikir seperti itu, berarti kita berpikir bahwa perbuatan saya betul-betul bisa baik dan sempurna, yang membuat saya layak untuk membicarakan Injil. Tapi begitu kita ngomong Injil sendiri, Injil itu kan kasih karunia. Begitu kita bicara kasih karunia, ini bicara tentang ketidaklayakan saya untuk menerima Injil karena saya adalah orang berdosa. Jadi kalau saya adalah orang yang layak sekali dengan kebaikan yang saya lakukan, saya beritakan Injil, masih perlu Injil nggak? Saya kok merasa nggak.
Makanya Paulus, walaupun satu sisi adalah seorang rasul, orang penting, orang yang begitu besar dalam Kerajaan Allah, tapi kenapa Lukas tidak buang itu ya dari Kitab Suci? Bukankah hal itu bisa jadi batu sandungan? Saya dari sini mengerti satu hal, Alkitab kita pasti bersumber dari Tuhan. Karena kalau Tuhan yang nulis, Dia tidak akan menutup keberdosaan manusia tapi kalau manusia yang nulis hanya akan menuliskan hal-hal yang baik saja yang dilakukan oleh manusia. Tapi di sini juga dikatakan Tuhan tidak pernah merasa kuatir, pekerjaan Dia, rencana Dia itu bisa digagalkan oleh manusia, termasuk rasul Tuhan.
Tetapi ada hal yang Tuhan juga berikan kepada diri kita di bagian ini, yang saya kira jadi hal yang perlu kita pelajari, yaitu bagaimana sikap Paulus ketika dia menerima teguran dari orang yang ada di sekitarnya, yang mengatakan kalau engkau mengejek imam besar Allah. Tapi sebelum kita masuk di situ, kita mungkin tanya dulu, kok aneh ya Paulus nggak tahu kalau yang memberi kode itu imam besar. Bukankah imam besar itu dikenali oleh orang, dan Paulus sendiri adalah orang Farisi, yang pernah hidup di tengah-tengah orang Yahudi, yang mendapatkan penugasan dari imam besar untuk menangkapi orang-orang Yahudi? Kok di sini dia tidak mengenali imam besar itu? Kemungkinan pertama adalah karena ini bukan di dalam kondisi formal ketika imam besar itu duduk di tempat kebesaran dia. Tetapi ini adalah satu pertemuan yang berada di tempat yang lain, mungkin, di mana imam besar mungkin pakai pakaian biasa. Ada yang mengatakan seperti itu. Sehingga pada waktu mereka berkumpul, dia seperti orang yang biasa, nggak ada satu perbedaan lain di dalam cara berpakaian, semuanya berpakaian seperti orang yang menjadi pemimpin, mungkin seperti itu. Atau pakai jas semua, seperti itu. Sehingga Paulus sulit untuk mengenali itu adalah imam besar. Ditambah lagi dengan di dalam surat Galatia itu ada kalimat kayak gini, “Dulu ketika aku pertama kali datang ke sini, kalian menyambut aku dengan begitu baik sekali seperti menyambut seorang malaikat. Bahkan kalian tidak ragu-ragu mau mengganti mataku dengan mata kalian.” Ada yang menafsirkan bahwa kemungkinan Paulus itu mengalami kerusakan pada matanya, dia melihat secara kabur atau bagaimana. Sehingga pada waktu dia berdiri di hadapan pemimpin-pemimpin Yahudi itu dan ada imam besar di situ, maka dia tidak bisa dengan jelas mengenali itu adalah imam besar. Itu sebabnya dia bicara dengan kasar sekali kepada imam besar itu.
Tetapi pada waktu dia ditegur, “Mengapa engkau berbicara kasar atau mengejek imam besar?” Istilah mengejek itu adalah menghina imam besar dengan perkataanmu, seperti itu. Paulus bagaimana sikapnya? Menariknya adalah dia langsung menyatakan kesalahan dia. Bapak, Ibu bisa baca di dalam ayat yang ke-5 ya. “Jawab Paulus: ”Hai saudara-saudara, aku tidak tahu, bahwa ia adalah Imam Besar. Memang ada tertulis: Janganlah engkau berkata jahat tentang seorang pemimpin bangsamu!” Dan karena ia tahu, bahwa sebagian dari mereka…” Jadi, Paulus langsung mengakui kesalahan dia di hadapan orang banyak kalau apa yang dia katakan itu adalah sesuatu yang kasar, sesuatu yang jahat, sesuatu yang buruk terhadap pemimpin mereka. Tapi pantas nggak Paulus ngomong kayak gitu? Kalau ada orang yang memperlakukan kita dengan jahat, dengan kasar, hal yang paling wajar kita lakukan apa? Ya balas kan. Kalau dia menuduh kita satu kesalahan, dengan tanpa mengadili sama sekali, atau menghina dan betul-betul mencoreng muka kita, hal yang pantas adalah membalas hal itu mungkin. Atau bahkan kalau ada orang menegur kita sekalipun, walaupun kita dalam kondisi yang salah, hal yang sering muncul itu adalah kita membela diri. Tapi Paulus di sini nggak, walaupun dia adalah orang yang bicara hal yang benar, bahwa imam besar ini tidak melakukan keadilan, tapi langsung memukul dia dan menghakimi dia tanpa ada satu bukti kesalahan terlebih dahulu, dan itu adalah hal yang benar, ketika ditegur, dia langsung ngomong, “Maaf, saya tidak seharusnya bicara kasar kepada pemimpin.”
Nah mengapa begitu ya? Karena ini berkaitan dengan apa yang Tuhan perintahkan kepada bangsa Israel. Seorang warga atau bawahan itu tidak pernah boleh berbicara buruk tentang atasannya. Kita buka di dalam Kel. 22:28, ”Janganlah engkau mengutuki Allah dan janganlah engkau menyumpahi seorang pemuka di tengah-tengah bangsamu.” Jadi boleh nggak seorang bawahan atau warga menyumpahi atau berkata buruk tentang atasannya, pemuka, pemimpin? Boleh? Nggak, itu hukum Tuhan. Dan Paulus ngerti itu, makanya ketika dia sadar siapa yang berdiri di depan dia itu bukan orang biasa, tapi imam besar, dia langsung ngomong “Aku salah. Aku mengaku bahwa aku telah berbicara kasar di hadapan pemimpin bangsa.”
Tapi pertanyaannya kayak gini iya, kenapa ya? Seorang pemimpin kita harapkan baik. Seorang pemimpin kita harapkan bijaksana. Seorang pemimpin kita harapkan benar dan adil dalam hidup ini. Tapi ketika dia melakukan kesalahan atau sesuatu yang betul-betul tidak adil dan wajar untuk mendapatkan hukuman, di sini pun Tuhan berkata bahwa tidak pantas kita berbicara sesuatu yang menyumpahi pemimpin itu atau buruk tentang pemimpin itu. Kira-kira kenapa? Jawabnya kayak gini ya, tidak ada satu pun pemimpin di dalam dunia ini yang tidak rusak oleh dosa. Semua pemimpin, yang terbaik sekalipun yang Tuhan berikan kepada satu bangsa atau satu keadaan atau masyarakat, suami dan istri dalam satu keluarga pun, itu nggak ada yang tidak berdosa. Semuanya pasti ada kesalahan yang mereka lakukan dalam hidupnya. Yang kedua, seburuk-buruknya pemimpin yang ada, lebih baik ada atau tidak? Ada. Bukan tidak.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, makanya kalau kita memilih pemilu ya, jangan pilih kayak gini, “Eh si A dia punya kejelekan di-list banyak sekali. Si B jelek semua. Si C jelek semua.” Jadi dari semua kriteria yang mencalonkan diri jadi presiden nggak ada satu pun yang masuk ke dalam kriteria kita. Lalu kita ngomong apa? “Kalau gitu saya abstain saja lah. Golput. Nggak memilih siapa pun.” Bapak, Ibu, Saudara sekalian, itu sudah satu posisi memilih pemenang kalau bagi saya. Bukan memutuskan untuk tidak memilih tetapi sikap kita untuk tidak memilih itu sudah menempatkan kita di dalam posisi pemenang, siapa yang duduk di dalam posisi pemenang itu. Tapi kalau kita mengerti prinsip ya, kalau Tuhan sendiri berkata tidak ada manusia yang benar dalam dunia ini, semuanya berdosa. Berarti semua pemimpin pasti berdosa. Kalau semua pemimpin pasti berdosa apa yang harus kita lakukan? Lebih baik nggak ada pemimpin? Lalu kalau nggak ada pemimpin siapa yang memimpin? Kita yang berdosa? Atau semua orang yang berdosa? Ya kacau! Makanya dunia ini akan kacau balau kalau nggak ada pemimpin yang buruk sekalipun memimpin. Itu terjadi di Perancis.
Jadi bagaimana? Caranya adalah bagaimana pun buruknya seorang pemimpin atau calon presiden sekalipun, yang mencalonkan diri, tetap lebih baik ada pemimpin daripada tidak ada. Lalu siapa pemimpin itu? Yaitu yang paling baik dari yang paling buruk. Paling nggak itu yang kita pilih untuk memimpin. Jadi pada waktu Paulus berbicara seperti ini, itu juga mengajarkan kalau walaupun imam besar itu bertindak tidak adil, melanggar hukum Tuhan sendiri, padahal dia adalah wakil Tuhan untuk menegakkan hukum Tuhan, tetap dia harus dihormati dan ditaati karena dia adalah pemimpin yang mewakili Tuhan. Makanya Paulus menarik ucapannya.
Kemarin di Jakarta ada yang konseling juga, dan ini saya ngomong karena ini menjadi problem semua perempuan biasanya. Makanya saya berani ngomong dan ini selalu bicara dalam bimbingan pra-nikah. Saya ngomong, “Ibu-ibu,” di sini banyak ibu-ibu ya. “Ibu-ibu, Ef. 5:22 bicara apa?” “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”. Ada catatan? Lalu ayat 24 bicara apa kalimat terakhirnya? Dalam hal apa kita tunduk kepada suami? “dalam segala sesuatu.” Boleh nggak kita ngomong, “Suamiku, sayang ya kamu bukan orang Kristen. Kalau kamu orang Kristen saya taat lho. Karena kamu bukan orang Kristen maka saya nggak taat.” Nggak bisa kan. Saya sering kali ngomong, kecuali kalau suami itu mengajak diri berdosa, melawan hukum Tuhan, istri tidak boleh tidak taat. Tapi kalau misal suami mengajak istri untuk menyangkal Tuhan Yesus, di situ istri boleh tidak taat kepada suami. Tapi kalau nggak, dalam segala sesuatu istri harus taat kepada suami. Walaupun suaminya bagaimana? Salah. Bagaimana lagi? Kurang bijaksana. Kayaknya levelnya, pertimbangannya lebih di bawah saya. Itu perintah Tuhan. Tapi di sini bukan berarti Tuhan menghina perempuan ya. Itu ordo yang ada di dalam keluarga. Tetapi wanita dan laki-laki itu setara di hadapan Tuhan. Tuhan menghargai hal itu. Tetapi juga suami ketika mendapatkan posisi sebagai kepala nggak boleh bertindak semena-mena kepada istrinya karena ada kalimat yang menjadi tanggung jawab suami yang harus dijalankan oleh seorang suami. Ada suami yang ngomong, “Pokoknya dalam segala sesuatu apa pun yang saya ngomong istri harus taat.” Paling tidak ngaca deh, ngaca dulu yang jadi suami. Saya layak nggak ditaati? Perbuatan saya betul-betul menjadi teladan nggak bagi istri? Kalau nggak, maafkan saya ngomong, nggak usah terlalu menuntut. Tapi ini kalimat bukan untuk mengikuti ibu-ibu untuk membenarkan melawan suami ya tapi untuk sekedar paling nggak laki-laki sadar diri, melihat diri, menilai diri terlebih dahulu sebelum menuntut sesuatu. Paling tidak di sana ada satu bijaksana yang kita hidupi ya.
Jadi pada waktu kita kembali kepada ayat ini, Paulus adalah orang yang menyadari kalau dia sudah melanggar hukum Tuhan, di situ dia langsung bertobat. Nah saya percaya ini adalah satu sikap yang sangat baik sekali dan contoh yang benar untuk kita ya. Bagaimana kita bisa hidup di dalam satu kondisi yang terlepas dari satu rasa bersalah? Bagaimana kita bisa menjaga integritas kita di hadapan Tuhan dan juga di hadapan manusia? Atau khususnya di hadapan manusia sebagai orang Kristen atau pemimpin Kristen. Salah satunya adalah kalau kita salah, segera akui itu di hadapan Tuhan dan di hadapan manusia. Dan Paulus lakukan itu. Dan Saudara, satu lagi, ketika Saudara mau ngomong ini, kadang sulit untuk lakukan itu karena apa? Karena kita sering kali membandingkan kebenaran kita dengan kejelekan orang. Itu membuat sulit sekali bagi kita untuk minta maaf atau pengampunan kalau kita melakukan satu dosa. Tapi kalau kita membandingkan diri kita di hadapan Tuhan seperti Paulus, dia langsung kutip ayat Alkitab, “Nggak boleh berbicara hal yang tidak baik tentang pemimpin, karena itu saya tarik kembali kalimat saya.” Itu lebih benar.
Jadi apa yang kita hidupi, saya ngomong ini, ini penting ya, jangan Saudara suka bandingkan dengan orang lain tetapi apa yang Saudara hidupi, bandingkanlah itu di hadapan Tuhan, carilah perkenanan Tuhan. Maka dari situ Saudara mendapatkan hormat dan kemuliaan dari Tuhan. Dan hidup Saudara juga memuliakan Tuhan. Tapi selama Saudara membandingkan diri dengan orang lain, saya yakin Saudara nggak akan memuliakan Tuhan dalam hidupmu karena akan selalu aja ada orang yang lebih rusak, lebih jelek, lebih parah dari hidup Saudara. Dan saya berani yakinkan hampir semuanya lebih jelek dari kita. Jadi bagaimana kita bisa memuliakan Tuhan? Itu sebabnya di sini dikatakan satu sisi tindakan Paulus bisa menjadi satu batu sandungan bagi kita, seorang pemimpin Kristen yang bisa dikatakan terbesar, mungkin, yang menuliskan Kitab Suci yang begitu banyak, bahkan lebih banyak dari Petrus yang dianggap sebagai pemimpin para Rasul, tapi ketika melakukan satu dosa atau satu kesalahan, eh Lukas catat supaya kita belajar ada satu kerendahan hati yang dimiliki oleh Paulus yang kita juga perlu miliki dan satu penundukan hati atau kelembutan hati untuk menundukkan diri di dalam kebenaran firman Tuhan kalau apa yang kita lakukan itu bertentangan dengan apa yang Tuhan kehendaki.
Mungkin saya harus stop di sini ya, kita lanjut lagi dalam pembahasan berikutnya. Tapi kalau mungkin mau cepat, kayak gini ya, setelah peristiwa ini Paulus mendapatkan satu kesempatan untuk berbicara lagi, dan di situ dia menyatakan dia adalah orang yang sangat memiliki hikmat dari Tuhan di dalam berbicara. Saudara bisa lihat dia nggak perlu banyak argumen tetapi di situ dia sudah langsung menyentuh hal yang paling pokok di dalam kesaksian yang dia berikan. Dan Alkitab simpulkan seperti apa mungkin nanti kita akan bahas di dalam pertemuan minggu depan. Mari kita berdoa.
Kami sungguh bersyukur Bapa untuk firman Tuhan, untuk kebenaran yang Tuhan boleh bukakan bagi kami. Kiranya Engkau sekali lagi boleh memberikan kepada kami satu kelembutan hati yang dari Tuhan untuk bertindak seperti yang firman-Mu katakan, untuk hidup seperti Kristus hidup, dan yang diteladankan oleh rasul-rasul-Mu, seperti Rasul Paulus di sini. Sehingga kehidupan kami boleh memuliakan Tuhan dan boleh menyaksikan hormat Tuhan di dalam kehidupan kami. Tolong pimpin anak-anak-Mu semua ya Tuhan, kiranya diberikan kelembutan hati bagi kami yang berdosa ini. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin. (HSI)