Paulus di Malta (2), 2 Juni 2024

Paulus di Malta (2)

Kis. 28:1-16

Pdt. Dawis Waiman

 

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, sebelum kita lanjutkan dalam pembahasan firman, saya mau sampaikan satu hal. Ini adalah bulan Juni dan di dalam bulan Juni ini, kita akan masuk ke dalam tema keluarga, nantinya. Jadi, kali ini, minggu pertama, ini adalah pembahasan Kisah Rasul kita untuk sementara waktu stop di sini. Ini yang terakhir untuk bulan ini, nanti di bulan depan kita akan lanjutkan kembali. Tetapi mulai dari minggu ke-2 besok sampai akhir dari bulan Juni, kita akan berbicara mengenai keluarga dari perspektif firman Tuhan itu seperti apa, ya. Jadi Bapak, Ibu, boleh silahkan undang teman-teman dan saudara untuk bisa sama-sama turut mendengarkan prinsip firman Tuhan berkaitan dengan keluarga.

Nah, kita masuk ke dalam Kisah Rasul pasal 28, ya. Pada waktu kita bicara pasal 28 ini, maka dikatakan di sini bahwa Paulus dan orang-orang yang ada di dalam kapal itu, 276 orang itu terdampar di sebuah pulau. Nah, pulau itu pulau yang sebenarnya mereka kenali, kelihatannya seperti itu, tetapi karena mereka terdampar di dalam sisi yang lain atau pada sisi yang lain dari pulau itu, maka mereka sempat bingung, ”ini pulau apa?”. Ada yang menafsirkan seperti itu. Sehingga pada waktu mereka kemudian bertemu dengan orang-orang di sana dan bertanya, “kami ada di mana?” “di Malta”, mereka mungkin baru ngeh mereka ada di pulau yang mereka kenali. Karena apa? Karena kapal-kapal besar pun berlabuh di pulau tersebut dan mengenali pulau itu. Kita bisa lihat di dalam ayat yang ke-11, ”Tiga bulan kemudian kami berangkat dari situ naik sebuah kapal dari Aleksandria yang selama musim dingin berlabuh di pulau itu.” Dan pada waktu hal itu terjadi, maka di sini dikatakan ada seorang yang bernama Publius. Dia adalah dikatakan sebagai gubernur pulau itu yang menyambut orang-orang ini dengan begitu ramah sekali. Ada yang mengatakan, ”ini adalah orang yang luar biasa, bagaimana dia bisa menyambut 276 orang itu sendirian?”. Saya nggak tahu apakah orang itu menyambut mereka sendirian ataukah dia menggunakan keuangan dari kota itu untuk memelihara 276 orang ini. Tetapi paling tidak, ada yang menafsirkan bahwa kemungkinan Publius adalah orang yang begitu terpandang, orang yang memiliki kemampuan yang sangat besar sekali sehingga dia bisa memelihara 276 orang ini.

Dan waktu kita terakhir berbicara mengenai hal ini, saya mengangkat dari perspektif bahwa apa yang membuat ada seorang yang tidak percaya kepada Tuhan itu memiliki hati yang begitu baik, begitu ramah, begitu ingin menyambut orang-orang yang percaya kepada Tuhan atau menolong orang-orang lain yang belum juga percaya kepada Kristus? Padahal yang namanya hospitality atau keramahan itu adalah milik dari orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus atau anak-anak Tuhan. Kita nggak akan bahas lebih lanjut mengenai soal ini karena Bapak, Ibu bisa membaca sendiri di dalam pembahasan yang kita lakukan sebelumnya. Tetapi di dalam bagian ini saya mau katakan seperti ini, pada waktu kita bicara satu sisi itu adalah anugerah umum untuk seseorang bisa memiliki hati yang mau menyambut dan menerima orang lain, tapi pada bagian ini kita boleh melihat penyambutan yang diberikan oleh Publius dan/atau orang-orang yang tidak percaya itu kepada Paulus dan diterima oleh Paulus dan juga orang-orang yang ada di dalam kapal itu, sebabnya apa?

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, di dalam Korintus, ada 1 kalimat yang pernah Paulus katakan kepada jemaat di Korintus, ”orang-orang Kristen tidak boleh bergaul dengan orang-orang berdosa.” Orang-orang Kristen tidak boleh bergaul dengan orang-orang berdosa, maksudnya apa? Kalau kalimat Paulus itu adalah satu kalimat yang benar, maka itu berarti bahwa Paulus bertentangan sendiri dengan dia punya prinsip bahwa orang-orang Kristen tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang berdosa di bagian ini. Tetapi Paulus kemudian melanjutkan satu kalimat setelah itu, ”yang aku maksudkan itu bukan dengan semua orang berdosa, tetapi yang aku maksudkan itu adalah dengan orang-orang Kristen yang walaupun mereka mengaku diri mereka Kristen atau anak Allah, yang percaya kepada Yesus Kristus, tetapi mereka masih hidup di dalam dosa. Pada mereka aku katakan, engkau jangan bergaul dengan mereka.”

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ini berarti bahwa orang Kristen sendiri perlu memiliki hati yang besar untuk bisa menerima kebaikan dari orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus dan perlu membangun satu relasi dengan orang-orang yang tidak percaya dengan Tuhan Yesus. Nah, kenapa saya menekankan hal ini? Karena ada orang-orang Kristen tertentu yang punya prinsip seperti ini, ”saya orang Kristen, saya anak Tuhan. Sebagai orang yang dikuduskan di dalam Tuhan, saya perlu menjauhkan diri dari orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan supaya kehidupan saya tidak dicemari oleh orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan.” Bahkan ada yang mengatakan seperti ini juga – saya agak kembangkan sedikit ya – baru berapa hari yang lalu ada satu berita yang cukup mengagetkan saya karena ada satu keluarga yang suaminya itu adalah orang yang akhirnya menjadi anggota kita tapi kemudian istrinya nggak tahu mendapatkan pengajaran dari mana, ketika salah satu vikaris kita berkunjung ke rumahnya, lalu dia berkata seperti ini, “Tahu tidak, Vikaris, kalau manusia itu hidupnya bisa dicemari oleh hal-hal yang ada di sekitarnya. Misalnya ambil contoh, pada waktu kita makan makanan yang dilarang oleh Tuhan sebagai makanan yang haram, maka hal itu akan membuat diri kita juga tercemar karena pada waktu Tuhan melarang sebuah makanan untuk dimakan maka pasti ada sebabnya. Dan salah satu sebabnya adalah mungkin berkaitan dengan higienitas atau kesehatan dari tubuh kita. Jadi itu sebabnya kita tidak boleh makan hal itu, kita tidak boleh bersentuhan dengan hal-hal yang dilarang oleh Tuhan itu di dalam Perjanjian Lama.” Saya dengar ini, saya langsung tanya, itu orang makin lama makin paranoid ya. Langsung dijawab, “Iya, benar. Makin lama makin takut ini, makin takut itu. Pada waktu suaminya sakit dan hampir meninggal dia juga takut. Pada waktu suaminya meninggal dia cepat-cepat harus kuburkan karena manusia tidak boleh bersentuhan dengan mayat.” Seperti itu.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, apakah hal-hal yang di luar diri kita itu bisa menajiskan diri kita? Apakah hal-hal yang berkaitan dengan makanan, mayat dan yang lain-lain itu turut menajiskan diri kita sehingga kita tidak perlu bergaul dan tidak boleh bergaul dengan orang-orang tersebut atau hal-hal yang dikatakan najis itu? Saya sendiri melihat Alkitab tidak mengajarkan hal ini. Kenapa? Karena di dalam Perjanjian Baru Tuhan Yesus berkata, “Hal yang najis itu bukan apa yang masuk ke dalam mulutmu tetapi apa yang keluar dari mulutmu karena yang keluar dari mulutmu itu adalah bersumber dari hatimu yang berdosa. Sehingga hal itu membuat najis.” Tetapi apa yang masuk, keluarnya di toilet. Nggak ada pengaruh apa kepada tubuh kita. Mungkin kalau terlalu banyak makan lemak ya mungkin kita bisa sakit kayak gitu ya, atau terlalu mengonsumsi hal-hal yang tidak sehat ya kita bisa terpengaruh oleh kondisi tersebut. Tetapi Yesus berkata bahwa hal-hal itu tidak membuat kita najis atau tidak tahir atau menjadi orang yang kemudian tidak berkenan untuk berhadapan dengan Tuhan atau berelasi dengan Tuhan di dalam kondisi tersebut.

Kalau begitu kenapa Tuhan berkata di dalam Perjanjian Lama tidak boleh dimakan atau tidak boleh disentuh tetapi di dalam Perjanjian Baru hal itu boleh kita lakukan? Bahkan Yesus menekankan bahwa kita tidak menjadi najis oleh segala sesuatu yang kita makan karena segala sesuatu yang tersedia itu boleh kita makan. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya lebih melihat dari perspektif ketaatan ya. Tuhan memerintahkan Israel untuk tidak boleh makan atau bersentuhan karena apa? Tuhan ingin mereka belajar taat. Kenapa di dalam Perjanjian Baru orang-orang Israel boleh makan? Karena Tuhan memerintahkan boleh makan. Lalu kenapa di dalam Perjanjian Lama tidak boleh makan, selain dari perintah ketaatan ada yang lain tidak? Ada, yaitu untuk mendidik umat Allah mengerti yang dinamakan kekudusan itu apa, yaitu kekudusan kita harus memisahkan diri kita dari dunia, dari yang berdosa, dari yang cemar. Dan salah satu cara untuk memisahkan secara begitu efektif sekali, bangsa Israel untuk tidak bergaul dengan orang-orang berdosa yang membuat mereka itu mengadopsi allah dari bangsa-bangsa yang berdosa dan tradisi dan budaya dari bangsa-bangsa yang berdosa adalah jaga pola makan yang berbeda dari bangsa yang lain. Sehingga mereka tidak bisa duduk bersama dengan orang-orang lain yang berdosa, makan dengan mereka, bergaul dengan mereka, yang membuat mereka membangun satu budaya yang berdosa di dalam kehidupan mereka.

Tetapi di dalam Perjanjian Baru kita sudah mengerti prinsip ini. Di dalam Perjanjian Baru kita tahu bahwa memisahkan diri, hidup kudus itu seperti apa, yaitu di dalam Kristus, mendengarkan perkataan Kristus. Ketika kita mentaati perkataan Kristus kita memisahkan diri dari kehidupan yang berdosa di dalam dunia ini. Kedewasaan atau pengudusan itu bukan bicara mengenai satu perbuatan yang physical saja, tetapi itu adalah masalah hati kita yang ada di dalam Tuhan atau di hadapan Tuhan yang dikuduskan oleh darah Yesus Kristus. Itu adalah pengertian yang Alkitab nyatakan bagi diri kita.

Tapi selain dari ini, Alkitab juga mengantisipasi yang namanya Kristus. Pada waktu Perjanjian Lama, kenapa tidak boleh makan atau tidak boleh bersentuhan? Karena Alkitab berkata bahwa tidak ada satu orang pun di dalam dunia ini yang bisa menjadi suci, tahir dari dirinya sendiri. Yang terjadi justru adalah ketika dia bersentuhan dengan yang berdosa, dia turut berdosa dan turut najis. Artinya bahwa selama di dalam Perjanjian Lama, manusia berusaha untuk menjaga dirinya tahir tetapi realitanya adalah ketahiran dia tidak bisa mentahirkan yang lain, ketahiran dia hanya untuk diri dia, ketahiran dia akan terinfeksi atau terpengaruh kalau dia menyentuh sesuatu yang najis. Sampai kapan? Sampai Kristus datang. Pada waktu Kristus datang, aneh. Orang bilang jangan sentuh orang kusta, Dia sentuh orang kusta. Dan pada waktu orang menyentuh orang kusta, orang itu yang tahir itu menjadi najis, Yesus menyentuh orang kusta, Yesus tidak najis justru orang yang kusta itu menjadi tahir. Jadi di sini kita bisa melihat Tuhan ingin menyatakan bahwa melalui hal-hal yang najis dan haram itu maka kita boleh mengenal bahwa ada satu Pribadi di dalam dunia ini yang bisa mentahirkan orang-orang yang bersentuhan dengan diri Dia, yaitu Yesus Kristus.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kita kembali ke dalam bagian ini ya, pada waktu Paulus menerima keramahan dari Publius tujuannya untuk apa? Tujuannya bukan karena hal itu adalah sesuatu yang bertentangan dengan pengajarannya dan bukan sesuatu yang akan membuat dia menjadi orang yang berdosa seperti itu. Tetapi pada waktu Paulus menerima tawaran dari Publius itu untuk datang ke rumahnya menerima penyambutan dari orang yang tidak percaya kepada Tuhan, itu dilihat oleh Paulus sebagai satu kesempatan untuk bisa melakukan kebaikan kepada mereka dan menyaksikan Injil Kristus kepada mereka. Ini yang dimaksud oleh Paulus di dalam Korintus yang mengatakan bahwa pada waktu saya melarang engkau bergaul dengan semua orang-orang berdosa, yang saya maksudkan bukan semua tetapi hanya orang-orang Kristen yang terus hidup di dalam dosa. Tujuannya untuk apa? Supaya kita memiliki satu relasi yang membuat kita bisa membawa orang mengenal Kristus. Kenapa kita tidak boleh bergaul dengan orang Kristen yang berdosa itu? Karena kalau kita terus bergaul dengan orang Kristen yang berdosa itu, maka kita akan dianggap menerima mereka dan mereka tidak perlu mengalami pertobatan karena mereka sendiri diakui oleh orang-orang Kristen yang lain dan bahkan mungkin kita bisa secara tidak langsung menyetujui bahwa tindakan mereka itu tidak masalah untuk dilakukan. Ini bicara mengenai disiplin gereja. Jadi itu sebabnya Paulus berkata nggak apa apa bergaul dengan orang berdosa yang bukan Kristen, tapi orang Kristen yang berdosa harus kita ajak untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan.

Jadi Bapak Ibu Saudara yang dikasihi Tuhan, satu sisi keramahan yang ditunjukkan oleh Publius itu adalah sesuatu anugerah umum yang mungkin Tuhan taruh di dalam hatinya untuk bisa merawat dari orang-orang yang ada di situ dan menerima Paulus dan rekan-rekannya untuk datang ke dalam rumahnya. Tapi di sisi lain itu menjadi satu kesempatan yang dimanfaatkan oleh Paulus dan kita perlu belajar untuk membuka diri kita dan berelasi dengan orang-orang yang tidak percaya supaya mereka juga boleh turut melihat kepada kebenaran Injil Kristus melalui kehidupan kita. Jadi apa yang ada dalam hidup kita, keramahan yang mungkin kita temukan di dalam dunia, itu jangan dianggap sebagai satu ancaman terhadap kekudusan diri kita. Jangan dianggap sebagai sesuatu yang akan menajiskan diri kita sehingga yang perlu kita lakukan adalah menarik diri, mengisolasi diri dan menjauhkan dari segala sesuatu yang ada di dalam dunia. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita lakukan ini kita nggak mungkin menjadi berkat di tengah-tengah dunia ini. Kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam, untuk bisa menjadi terang harus ada kegelapan yang kita cahayai, untuk bisa mengasini harus ada sesuatu yang tidak asin yang kita perlu ada di dalamnya untuk berbagian di dalam menggarami dunia ini. Itu peran dari orang-orang Kristen yang percaya kepada Kristus.

Nah di dalam keadaan di mana Paulus diundang oleh Publius ini, kemudian dikatakan bahwa Paulus kemudian mendoakan orang tua atau ayah dari Publius yang sedang di dalam kondisi yang sakit. Ia mengalami sakit demam dan disentri. Kenapa hal ini dicatat? Mungkin pertama kita bisa berkata bahwa Lukas adalah seorang dokter, karena itu waktu Lukas melihat seorang yang sakit, keinginan hati seorang dokter adalah mendiagnosa penyebabnya apa, sumber penyakitnya apa. Dan dia memberi tahu kepada kita penyebabnya adalah sakit demam dan sakit disentri. Tetapi ada faktor yang lain yang kita juga bisa lihat yaitu pada waktu Lukas mencatat penyebab atau mendiagnosa kita dapat sumber penyakitnya itu apa. Tujuannya untuk apa? Tujuannya adalah untuk menentukan obat kan? Tetapi di bagian ini mungkin kita bisa berkata seperti ini “Tujuannya adalah untuk memberi tahu kita kalau penyakit yang dialami oleh ayah dari Publius itu bukan sesuatu penyakit yang bisa sembuh seketika, butuh waktu.” Yang namanya disentri atau suatu penyakit bakteri yang ada di dalam lambung, setahu saya minimal butuh sepuluh hari untuk bisa sembuh setelah makan obat, dan obatnya pun harus antibiotik khusus untuk dimakan tidak bisa sembarang antibiotik untuk memakannya. Zaman kita, kita mengerti hal itu. Tetapi di dalam zaman di mana Paulus ada waktu itu di Pulau Malta mereka tidak punya obat untuk penyakit itu. Jadi, orang-orang itu harus terbaring dan banyak sekali orang-orang di pulau Malta itu yang mengalami sakit ini, karena mereka biasanya mengonsumsi susu kambing, yang mengandung bakteri disentri ini. Sehingga membuat mereka seringkali jatuh di dalam kondisi sakit ini. Dan pada waktu kondisi sakit, mereka bisa berbulan-bulan terbaring karna nggak ada pengobatan yang bisa diberikan kepada diri mereka.

Nah, saat Paulus ada di situ, dia berdoa bagi ayah dari Publius ini dan dikatakan ketika dia berdoa, mungkin dia akhirnya menyadari satu hal bahwa Tuhan berkehendak untuk ayah Publius ini disembuhkan. Itu sebabnya kemudian dia berdoa sambil menumpangkan tangan kepada ayah dari Publius ini dan akhirnya ayah Publius ini disembuhkan. Maksudnya adalah untuk mengatakan bahwa tindakan penyembuhan yang terjadi pada ayah Publius, itu bukan satu tindakan karena Paulus ahli mengobati, tetapi ini adalah satu tindakan supranatural yang Allah kerjakan kepada ayah Publius melalui Paulus pada waktu itu. Nah, tujuannya untuk apa? Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita melihat di dalam kondisi gereja, bersyukur belakangan kurang begitu santer ya kabar, mungkin gara-gara covid, mengenai kebaktian kesembuhan ilahi dan hal-hal- berkaitan seperti itu. Tetapi, pada waktu Paulus melakukan kesembuhan itu, ada prinsip yang Paulus tekankan dan ada prinsip yang Alkitab tekankan yang tidak saling kontradiksi sama sekali, yaitu untuk memuliakan nama Tuhan.

Bapak, Ibu boleh buka Kisah pasal yang ke 3 ya, Kisah pasal yang ke 3. Di sini dicatat pada waktu Paulus berjalan ke Serambi Salomo atau Paulus berjalan ke bait Allah, di situ dia bertemu ada seorang lumpuh, yang dari kecil sudah lumpuh lalu orang itu ditaruh di pintu gerbang bait Allah tujuannya untuk bisa meminta-minta belas kasihan dari orang. Lalu ketika dia menatap Petrus dan  Yohanes yang berjalan, di ayat yang ke 6, dengan satu harapan, Petrus bisa memberi sesuatu kepada dirinya. “Petrus berkata, “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus orang Nazaret itu, berjalanlah!” Lalu Petrus memegang tangan orang itu, membantunya berdiri dan seketika itu juga kuatlah kaki dan mata kaki orang itu. Ia melonjak berdiri lalu berjalan kian kemari melompat-melompat”, lalu ayat 8 akhir, ““serta memuji Allah. Seluruh rakyat itu melihat dia berjalan sambil memuji Allah lalu mereka mengenal dia sebagai orang yang biasa duduk, meminta sedekah di gerbang indah bait Allah.”

Bapak, Ibu boleh buka lagi dari Kisah 9, ya. Kisah pasal yang ke 9 : “Petrus menyembuhkan Eneas dan membangkitkan Dorkas”. Kita nggak usah baca yang membangkitkan Dorkas ya. Tetapi kita baca yang menyembuhkan Eneas aja, di Lida. Dari ayat 32 “Pada waktu itu Petrus berjalan keliling, mengadakan kunjungan ke mana-mana. Dalam perjalanan itu ia singgah juga kepada orang-orang kudus yang di Lida. Di situ didapatinya seorang bernama Eneas, yang telah delapan tahun terbaring di tempat tidur karena lumpuh. Kata Petrus kepadanya: “Eneas, Yesus Kristus menyembuhkan engkau; bangunlah dan bereskanlah tempat tidurmu!” Seketika itu juga bangunlah orang itu, sembuh, iya, bangunlah orang itu. Semua penduduk Lida dan Saron melihat dia, lalu mereka berbalik kepada Tuhan.”

Jadi pada waktu kita melihat ada mukjizat terjadi di dalam Perjanjian Baru, maka mukjizat yang terjadi di dalam Perjanjian Baru itu Alkitab selalu katakan bukan untuk merujuk kepada diri pelaku mukjizat agar orang meninggikan diri pelaku mukjizat. Tetapi mukjizat yang dilakukan untuk sembuh juga bukan sesuatu yang ditujukan kepada diri orang yang sakit, supaya diri orang yang sakit itu sembuh saja. Tetapi tujuan mukjizat dilakukan dalam Perjanjian Baru itu adalah untuk membuat orang melihat kepada Tuhan dan memuliakan Tuhan. Ini prinsip yang penting. Kalau Tuhan menghendaki ada mukjizat terjadi, mukjizat itu akan terjadi. Tetapi motifnya untuk apa? Yaitu untuk kemuliaan nama Tuhan. Dan satu hal juga yang dicatat di dalam Kisah 28 secara implisit ya, pada waktu mukjizat dilakukan, hal itu bukan karna kuasa itu adalah sesuatu yang sesuka hati Paulus untuk melakukannya, Petrus untuk melakukannya, tetapi hal itu terjadi karena Tuhan menggerakkan hati mereka untuk melihat bahwa kesembuhan itu mungkin terjadi dan melalui kesembuhan itu maka orang-orang akan memuliakan nama Tuhan.

Nah, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, di dalam konteks kita saat ini bagaimana? Mungkin kita bisa berkata “Oh berarti bahwa kesembuhan itu sesuatu atau mukjizat itu sesuatu yang kita perlu terapkan dulu baru bisa memuliakan nama Tuhan.” Tidak! Tetapi kita bisa melihat bahwa hal-hal yang berkaitan dengan mukjizat itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan karunia. Dan kalau bicara mengenai karunia, maka kita bisa berkata bahwa semua orang Kristen pasti memiliki karunia di dalam hidupnya. Dan pada waktu kita diberikan karunia oleh Tuhan dalam hidup kita, tujuannya untuk apa? Untuk apa? Memuliakan Tuhan. Kalau yang bisa main piano tujuannya untuk apa? Memuliakan Tuhan. Kalau yang bisa nyanyi tujuannya untuk apa? Memuliakan Tuhan. Kalau bisa melakukan hal-hal lain di luar dari piano dan nyanyi, memperhatikan atau memiliki pengetahuan, dan yang lain-lainnya, untuk apa? Memuliakan Tuhan. Itu yang penting dan utama.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, Tuhan memberikan karunia kepada diri kita, di dalam Korintus dikatakan, bukan untuk membangun diri. Tetapi untuk membangun jemaat, mengedifikasi jemaat, supaya jemaat bisa mengenal Tuhan dan memuliakan Tuhan di dalam kehidupan mereka. Jadi kalau kita berpikir bahwa karunia itu sesuatu yang membuat kita menjadi orang yang luar biasa, orang yang hebat, orang yang beda dengan semua orang yang lain, sehingga kita disanjung-sanjung oleh orang, mohon maaf saya bilang itu berarti kita ndak mengerti prinsip karunia dan itu berarti kita mencuri kemuliaan Tuhan bagi diri kita sendiri. Pelayanan tidak pernah bertujuan untuk kehormatan diri. Talenta dan karunia yang Tuhan berikan, tidak pernah bertujuan untuk supaya kita bisa menyombongkan diri dan merendahkan orang lain, tetapi untuk membesarkan nama Tuhan. Kalau kita sampai menarik kemuliaan itu kepada diri kita, maka yang terjadi bagaimana? Apa yang kita lakukan itu menjadi tidak berarti, bahkan itu membuat orang bisa tersesat oleh tindakan mukjizat, atau talenta dan karunia yang kita miliki di dalam kehidupan kita.

Jadi, Paulus sangat mengerti ini. Petrus sangat mengerti prinsip ini. Bahkan Alkitab berkata pada waktu rasul melayani, rasul adalah orang-orang yang diberikan karunia dalam hidupnya untuk menyertai pelayanan dia. Untuk apa? Membuktikan kalau mereka itu orang hebat? Bukan! Tetapi untuk membuktikan kalau mereka adalah rasul dari Yesus Kristus. 1 Korintus 12:12 “Sehingga orang-orang datang kepada apa yang mereka beritakan. Supaya mereka percaya kepada apa yang disampaikan oleh para rasul,” yaitu berkaitan dengan Yesus Kristus. Itu tujuan karunia untuk diberikan kepada para rasul, dan untuk diberikan kepada diri kita dalam hidup kita ini, ya. Jadi, kalau kita berkata bahwa orang Kristen punya karunia, maka karunia untuk kemuliaan Tuhan.

Tetapi di sisi lain, saya mau tanya juga, kalau orang Kristen diberikan karunia untuk kemuliaan Tuhan, pertanyaan yang mungkin kita perlu gumulkan adalah di mana Bapak, Ibu berada? Di mana? Karena memuliakan Tuhan melalui karunia, di dalam prinsip 1 Korintus 12 dan 14, tidak pernah lepas dari yang namanya komunitas gereja Tuhan. Jadi kalau kita diberikan karunia, orang lain diberikan karunia. Karunia saya adalah untuk membangun orang lain, bukan untuk membangun diri. Saya bisa terbangun tidak kalau saya menjauhkan diri saya dari komunitas? Ini nanti kita bahas di dalam ayat yang ke-15 dan seterusnya, ya. Pada waktu Paulus tiba di Putioli, di sana dia bertemu dengan saudara-saudara yang kemudian menjumpai dia, dan dia kemudian mengalami suatu kekuatan kembali. Hatinya menjadi kuat, dikatakan oleh Lukas. Sebabnya karena dia mendapatkan satu pelayanan dari teman-teman yang lain, keluarga, saudara seiman yang lain, ketika dia ada di dalam kondisi yang lemah, pada waktu itu. Saya teruskan dulu saja ya.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pada waktu kita diberikan karunia, karunia itu bertujuan untuk saling menguatkan satu dengan yang lain. Saya tidak bisa menguatkan diri saya sendiri, tetapi saudara seiman saya bisa menguatkan saya. Peranan saya adalah untuk apa? Menguatkan saudara seiman saya yang lainnya. Itu sebabnya, pada waktu kita berbicara mengenai kehidupan Kristen, dan kalau kita tahu prinsip bahwa keberadaan kita, kalau kita ada di dalam satu pergumulan, cara untuk mendapatkan penguatan dari pergumulan adalah bukan menjauhkan diri dari persekutuan, bukan menjauhkan diri dari pertemuan ibadah, bukan menjauhkan diri dari orang-orang Kristen yang lain. Tetapi justru adalah mendekatkan diri kepada orang Kristen yang lain, karena ketika kita mendekatkan diri dengan orang Kristen yang lain, di situ kita baru mendapatkan penguatan.

Salah satu dasar – saya agak mengutip satu aplikasi dari orang yang mengalami depresi, ya – Salah satu cara untuk melayani orang yang depresi adalah bukan membuat dia lepas dari tanggung jawab di dalam hidup dia, tetapi justru harus tetap dipercayakan tanggung jawab tertentu untuk dia lakukan. Ada orang mengatakan, “Oh, kalau orang depresi itu dia pengen menjauh dari komunitas, dia ingin mengisolasi diri, nggak apa apa. Biar dia tenang saja, nggak perlu ketemu orang dan yang lain-lainnya, dia menyendiri saja sendirian di tempatnya.” Itu bukan cara yang benar di dalam menghadapi orang depresi. Elia sendiri pada waktu mengalami depresi: lari ke gunung bertemu dengan Tuhan. Setelah bertemu dengan Tuhan, apa yang Tuhan ngomong? “Pergi! Urapi..” Siapa? “Elisa menjadi nabi!” “Pergi urapi” siapa lagi menjadi raja? “Yehu menjadi raja.” Lalu, “Lakukan tugas yang lainnya!” Itu diperintahkan Tuhan kepada Elia. Elia nggak diberi waktu untuk beristirahat dan Tuhan tidak mendengarkan dirinya dan keinginannya untuk menjauhkan diri dari komunitas dan menyendiri seorang diri dengan seperti menata hati, seperti itu. Saya setuju kalau tanggung jawabnya dikurangi tetapi tanggung jawab tidak boleh dihilangkan semua. Dan dia perlu belajar menata hati di dalam tanggung jawab yang sedikit yang tetap dia harus kerjakan di dalam hidup dia.

Yang kedua adalah dia harus belajar melayani. Bukan dilayani saja, tetapi dia harus belajar melayani orang lain. Kayaknya aneh, ya? Orang yang depresi ketika, atau orang yang berbeban berat atau orang yang sedang gersang hatinya yang seharusnya menarik diri, menghibur diri, menguatkan diri, lalu bergaul dengan Firman, mencari kebenaran firman lebih jauh supaya dia lebih membangun relasi dengan Tuhan, seperti itu tanpa perlu ada orang-orang lain, itu konteks pemikiran kita kan? Tetapi Alkitab bicara ndak! Pada waktu seseorang ada di dalam kondisi yang berbeban berat itu atau bahkan masuk ke dalam satu level depresi dalam hidup dia, maka yang dia perlu lakukan adalah belajar melayani orang lain! Kenapa? Karena pada waktu dia melayani orang lain maka di situ dia akan mendapat penguatan!

Sebagian mungkin pernah dengar saya cerita tentang Joni Eareckson Tada. Dia adalah orang yang lumpuh dari leher ke bawah. Dia hanya bisa gerakin kepalanya kiri dan kanan, seperti itu. Nah, akibat dari lumpuhan yang dia derita karena dia lompat ke dalam air lalu kepalanya, eh lehernya mungkin, atau kepalanya kebentur dengan batu. itu membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia terbaring di atas rajang, ranjang berbulan-bulan, bertahun-tahun dan itu mengakibatkan dia mengalami depresi yang besar sekali yang membuat dia ingin bunuh diri. Waktu saya cerita ke dalam satu momen tertentu ada orang yang mengatakan sama saya, “Pak sebenarnya kayak Joni Eareckson lebih berat deh depresinya dari yang Bapak ngomong”. Betul, tapi konteksnya saya nggak memungkinkan saya untuk bicara yang berat. Dia betul-betul berat dan dia betul-betul ingin bunuh diri pada waktu itu. Tetapi akhirnya dia mendapatkan satu kekuatan, pengertian, nggak tahu melalui pelayanannya siapa. Tapi dia mendapatkan satu pemahaman seperti ini: “Kalau andaikata Tuhan menghendaki saya hidup dengan satu new normal, saya akan lakukan apa?” Maksud new normal itu adalah kondisi normal yang baru. “Dulu saya normal. Saya memiliki tubuh yang bisa saya gerakkan. Saya mau ke mana pun saya bisa. Tapi sekarang saya mau ke mana pun, saya nggak bisa karena seluruh tubuh saya itu lumpuh kecuali kepala saya saja.” itu kondisi yang normal nggak? Nggak normal seharusnya bagi orang yang normal. Tetapi Joni Eareckson Tada kemudian mendapatkan pengertian seperti ini: “Kalau Tuhan menghendaki engkau hidup lumpuh seumur hidupmu, mau nggak engkau melihat itu sebagai satu kondisi normal yang Tuhan kehendaki untuk engkau alami dalam hidupmu?” Akibatnya apa? Akibatnya mulai dari itu dia bangkit dan dia terlibat dalam pelayanan. Dan ketika dia melayani, dia begitu banyak menguatkan orang-orang yang cacat dan orang-orang yang mengalami depresi dalam hidupnya. Karena pada waktu orang mengalami depresi, lalu mulai bicara dengan diri dia, dia pikir dia bisa memberi penguatan atau dia pikir dia bisa mencurahkan seluruh isi hatinya dan membenarkan dirinya di dalam kondisi dia yang depresi itu. Ternyata apa yang dialami itu belum apa-apa dibandingkan orang lain.

Ini salah satu contoh yang saya mau katakan begini, ya, pada waktu kita mengalami tekanan, beban, kita sering kali dalam kondisi berpikir bahwa, “Hal itu yang paling berat yang saya alami.” Bapak, Ibu tahu tidak? Ada banyak orang Kristen lain yang mengalami hal yang berat, jauh lebih berat yang kita, daripada yang kita alami. Kenapa kita nggak tahu? Karena kita nggak bergaul sama mereka. Kita nggak mau melayani mereka. Kita nggak mau berelasi dengan diri mereka. Coba kalau Bapak, Ibu ceritakan masalah Bapak, Ibu dengan diri mereka. Mungkin ada orang-orang Kristen tertentu yang nggak ngalami. Tetapi ketika Bapak, Ibu, Saudara bertemu dengan orang-orang Kristen yang mengalami itu mungkin kita akan tutup mulut kita dan kita baru sadar apa yang saya alami itu belum apa-apa. Tetapi kita perlu tanya kemudian, kenapa saya mengasihani diri dan menarik diri tetapi orang itu tetap melayani Tuhan.

Paulus dikuatkan bukan ketika dia sendirian tetapi Paulus dikuatkan ketika dia bertemu dengan saudara seiman yang lain. Dan di situ dia kembali hatinya diteguhkan karena dia melihat saudara-saudara yang lain melayani dia dan ikut mengikuti Tuhan dengan setia dalam hidupnya. Kita perlu belajar untuk menghargai komunitas karena komunitas adalah satu wadah. Persekutuan adalah satu wadah yang Tuhan tetapkan dalam hidup kita atau berikan dalam hidup kita untuk kita belajar bertumbuh melalui orang yang lain yang Tuhan sediakan di tengah-tengah diri kita.

Ada satu pengkhotbah kalau Bapak, Ibu, pernah denger yang namanya Alistair Begg dia berkata seperti ini. Waktu dia kecil, ketika papa—mereka papanya suka ajak dia itu pergi dari Skotlandia—mereka asalnya Skotlandia—berjalan bawa mobil menuju ke Inggris. Lalu ketika sampai di Inggris apa yang mereka lakukan? Ketika siang hari tiba, biasanya papanya akan mengajak satu keluarga untuk pergi keluar berkeliling. Jalan-jalan? Bukan. Tetapi cari gereja. “Lalu gereja mana yang dicari?” Ketika dia tanya kepada papanya, papanya ngomong, “Pokoknya gereja yang baik.” Lalu ditanya lagi, “Gereja yang baik itu seperti apa?” Papanya ngomong, “Gereja yang baik adalah gereja yang di tengah minggu ada pelayanan doa di situ.” Kenapa gereja yang tengah minggu yang ada pelayanan doa dikatakan sebagai gereja yang baik? Karena gereja yang menjalankan persekutuan doa di tengah minggu adalah gereja yang percaya akan kuasa Tuhan untuk menjawab doa. Baru setelah itu mereka mencari gereja itu kebaktian Minggunya jam berapa. Lalu mereka pergi. Lalu Alistair ngomong kayak gini, “Ini papa saya gila kali, ya? Kita mau pergi jalan-jalan, kok.” Kalau kita pergi jalan-jalan yang harusnya pergi ke mana? Ke gunung, kan? Ke laut, kan? Pergi ke mall, pergi ke tempat-tempat yang terkenal di daerah tersebut yang pemandangannya indah atau tempat-tempat yang bisa kita nikmati makanannya. Itu adalah sesuatu yang dikatakan sebagai perjalanan, kan? Liburan seperti itu. Tapi papanya nggak seperti itu. “Kamu ini gimana, sih? Tahu nggak, ketika kita pergi ke gereja maka kita akan berkenalan dengan begitu banyak dari saudara seiman kita. Kita akan dikuatkan oleh pergaulan kita dengan saudara-saudara seiman kita itu. Firman itu akan membuat kita makin diperkaya di dalam Tuhan.” Dan dia memberi satu kesaksian selama 9 hari perjalanan itu dia betul-betul diperkaya oleh kehadiran dia di gereja bersama dengan orang Kristen yang lain.

Saya kira itu hal yang sangat bertolak belakang sekali dengan pemikiran kita, kan? Pikiran kita healing itu adalah hiburan yang memberi kita penataan hati untuk punya kekuatan lagi untuk melayani, gitu, kan? Makanya kalau kita pergi ke luar kota, yang pertama kita cari apa? Tempat healing bukan gereja. Tapi mereka tidak seperti itu. Budaya mereka adalah ketika mereka pergi healing-nya itu ada di gereja bersama dengan orang-orang kudus di situ. Lalu dia berkata seperti ini, “Bapak, Ibu, tahu? Masalah itu sebenarnya adalah masalah perspektif.” Saya waktu denger ini, saya agak mikir maksudnya apa masalah perspektif? Ya, masalah cara pandang kita. Melihat apa yang sebenarnya real, apa yang sebenarnya menjadi prioritas di dalam kehidupan kita. Kalau dia dididik oleh ayahnya dari kecil, engkau ingin melihat sesuatu prioritas, prioritas itu adalah Tuhan. Prioritas itu adalah dirimu dikuatkan oleh orang lain dan orang lain dikuatkan oleh dirimu. Relasi bersama dengan orang-orang yang percaya itu adalah sesuatu yang real, sesuatu yang benar yang seharusnya dijalankan oleh orang-orang Kristen. Jadi pada waktu kita memutuskan sesuatu apa yang harus kita utamakan dalam kehidupan kita, itu adalah masalah perspektif.

Contohnya, tadi saya bilang kenapa kalau kita pergi jalan biasanya hal pertama yang kita pikirkan adalah healing. Dan kenapa pada waktu kita sedang melamar pekerjaan hal pertama yang kita pikirkan adalah bukan di situ ada gereja atau bukan tetapi di mana ada tempat kerja yang gajinya besar bagi diri saya dan posisinya bagus. Kenapa? Karena itu prioritas kita dan itu adalah kehidupan yang real bagi diri kita. Tapi Tuhan mengajak kita melihat bahwa yang real, yang prioritas itu adalah umat Tuhan dan gereja Tuhan. Bukan hal-hal itu, itu sekunder semua. Makanya kemudian dia berbicara seperti ini. Pada waktu kita bicara mengenai komunitas, seberapa besar kita menghargai persekutuan yang ada di dalam gereja bersama dengan umat Tuhan yang lain? Itu adalah berbicara mengenai kondisi hati kita di hadapan Tuhan. Pada waktu kita datang ke dalam gereja dengan satu pikiran obligated atau terpaksa sebagai satu kewajiban saya adalah orang Kristen seperti itu, maka saya datang ke dalam gereja. Itu seperti kalau Saudara harus menemui orang tua Saudara, berkunjung ke rumahnya dengan hati yang terpaksa. Jadi kalau Saudara mencintai orang tua, mungkin nggak Saudara akan terpaksa untuk datang ke rumah orang tua? Harusnya tidak. Kita datang dengan hati yang mengasihi, dengan senang hati, dan hati yang menghormati diri dia. Kalau kita datang ke gereja dengan satu hati yang ternyata terpaksa, kita datang ke dalam persekutuan harus dirayu-rayu, dibujuk-bujuk, ditarik-tarik dulu baru datang dan doa dan ikut persekutuan lain di dalam gereja, Alistair Begg ngomong kayak gini, indikasi dari seseorang itu mengasihi Tuhan atau tidak adalah dilihat dari prioritas hidup dia. Dia mengutamakan persekutuan dengan orang Kristen atau tidak. Ya tentunya ada firman Tuhan di situ yang utama juga, karena di dalam persekutuan kita bertumbuh melalui firman Tuhan. Tetapi ketika kita datang ke gereja, bersekutu dengan orang Kristen yang lain, kita tahu bahwa hal itu adalah penting bagi kerohanian kita, keberadaan kita juga menguatkan mereka, hal itu akan menumbuhkan iman kita bersama di hadapan Tuhan, di situlah kita mengerti bahwa kita memiliki kasih kepada Tuhan. Dan ini dinyatakan di dalam pelayanan Paulus. Bapak, Ibu, boleh baca, tiap kali Alkitab bicara dia dikuatkan, kapan dia dikuatkan? Salah satu faktor yang menguatkan Paulus itu adalah ketika dia ada bersama-sama dengan orang-orang Kristen yang lain yang datang bersama, bersekutu bersama, mendengarkan firman, bertobat, mengikut Tuhan, saling melayani satu dengan yang lain untuk menjalankan firman Tuhan. Di situ dia dikuatkan.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, terakhir ya, tadi bicara yang pertama adalah satu hal yang berkaitan dengan keramahan yang kita tunjukkan. Yang kedua adalah berkaitan dengan mukjizat yang Tuhan pakai dari Paulus untuk menyembuhkan ayah dari Publius ini, atau karunia yang Tuhan berikan bagi diri kita untuk kita membawa kemuliaan bagi Tuhan. Ketiga adalah berkaitan dengan pentingnya persekutuan yang ada di dalam kehidupan dari orang-orang Kristen yang satu dengan yang lain. Yang keempat adalah, pada waktu kita melayani Tuhan, maka urusan penghormatan itu bukan urusan yang kita perlu pusingkan. Di sini ada kalimat di dalam ayat 10 ya, “mereka sangat menghormati kami dan ketika kami bertolak, mereka menyediakan segala sesuatu yang mereka perlukan.” Apa yang membuat orang-orang ini menyediakan segala sesuatu untuk Paulus dan rekan-rekannya dan rombongannya untuk pergi? Nggak dicatat bahwa 273 orang lain itu atau 270 sekian orang lain itu membuat mereka memberikan makanan. Tetapi yang dicatat oleh Lukas di sini adalah kelihatannya karena Paulus dan rekan-rekannya dihormati oleh Gubernur itu, bahkan orang-orang yang lain yang turut diberkati oleh pelayanan Paulus itu kemudian memberikan kepada mereka perbekalan untuk bisa meneruskan perjalanan mereka menuju ke Roma. Mereka menghormati Paulus. Tetapi pertanyaannya adalah, penghormatan itu adalah sesuatu yang perlu kita kejar atau tidak? Hati-hati kalau kita mengejar penghormatan mungkin kita sedang mengejar kemuliaan diri kita. Kalau kita mengejar untuk menjaga muka kita di dalam kita melayani, berarti mungkin bukan Tuhan yang kita muliakan tetapi diri kita yang kita muliakan.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, setiap pelayan Tuhan yang baik, seharusnya bukan meninggikan diri dan menuntut kehormatan dari jemaat-Nya. Setiap hamba Tuhan yang baik, dia berpikir untuk melayani, tetapi kehormatan itu akan datang ketika Tuhan memberikan otoritas dan kehormatan itu kepada orang yang melayani. Bukan sesuatu yang perlu kita kejar dan cari. Prioritas kita adalah untuk membawa orang mengenal Tuhan dan memuliakan Tuhan dalam hidup kita. Saya kira ini menjadi hal yang penting, dan juga boleh menjadi salah satu dasar untuk Saudara melayani Tuhan ya. Dan Bapak, Ibu, Saudara boleh menguji kembali, seberapa besar cinta kasih Tuhan dari diri kita dan pengakuan kita yang kita nyatakan dalam kehidupan kita dalam hidup dengan orang Kristen yang lain? Tanpa itu kita hanya menipu diri. Tanpa itu kita hanya berpikir kita rohani kita baik, sebenarnya semua yang kita lakukan bertentangan dengan prinsip Firman Tuhan. Itu bukan hal yang membangun atau rohani. Kiranya Tuhan boleh memberkati kita ya. Mari kita masuk dalam doa.

Kami kembali bersyukur Bapa untuk firman-Mu, untuk kebenaran yang boleh Engkau berikan melalui teladan hidup dari Rasul Paulus. Hal-hal yang boleh mencelikkan hati kami dan pikiran kami, hal-hal yang boleh membuat kami melihat kepada satu kehidupan yang benar di hadapan Tuhan, satu kehidupan yang sungguh-sungguh membawa kemuliaan bagi Tuhan, tapi juga satu kehidupan yang boleh membawa kami mendapatkan kekuatan antara satu dengan yang lain ketika menjalani dunia yang penuh dengan tantangan dan kesulitan dan segala sesuatu yang bisa membuat hati kami menjadi lesu dan patah. Tolong kami ya Tuhan. Pimpin kehidupan dari anak-anak-Mu ini satu per satu, pimpin dan sertai mereka dan biarlah penghiburan yang ada di dalam Kristus boleh menyertai kehidupan mereka. Di dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa, Amin. (HS)