Kej. 22:1-4
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Kalau ada seorang Bapak bercerita kepada anaknya, “Nak, dulu kakekmu itu waktu masih bujang itu dia pergi berperang. Wah, pergi berperang, dan ketika dia berperang melawan penjajah, itu dia kena tembak, Darr!” Wah, anak yang mendengarkan kisah dari bapaknya itu terkejut. “Wah, terus gimana? Apa mati?” Sambil tanya sambil berpikir, ya nggak mungkin lah mati ya; ini kakeknya masih bujang, pergi berperang, kalau mati ya nggak ada ini dong, nggak ada bapaknya, nggak ada dia, gitu ya? Jadi dalam kisah seperti itu biasanya orang sudah punya antisipasi dari pendengar bahwa, “Oh nggak mati,” seperti itu. Nah sebenarnya hal yang sama juga kita temukan di dalam kisah ini. Di bagian ini yaitu kita mengerti Ishak sendiri belum menikah, jadi sudah ada antisipasi bagi pendengarnya ketika disampaikan oleh Musa hamba-Nya bahwa pada akhirnya pasti nanti Ishak itu somehow itu masih hidup. Gitu ya. Jadi kunci dari mengerti kisah ini bukan cuma masalah, oh akhirnya Ishak itu nggak mati. Itu kita semua sudah tahu. Tapi dari kisah ini, itu bukan masalah Ishaknya itu telah hidup atau tidak, tapi sebenarnya menjadi suatu pelajaran iman bagi Bangsa Israel dan juga bagi kita, setiap kita, Israel masa kini, Israel Pejanjian Baru secara rohani. Dan itulah bagaimana ketika kita menghampiri kisah ini kita mengerti penjabaran ini bukan cuma sekedar cerita saja, tapi ada suatu pelajaran penting di sini, yaitu di dalam bagian ayat pertamanya ini adalah dimulai dengan mengatakan bahwa memang “Allah mencoba,” Allah setelah semuanya itu, Allah mencoba Abraham, atau kadang menjadinya berkesan Allah itu mencobai Abraham. Padahal kalau kita lihat di dalam teks aslinya, istilah nasah itu, yaitu mencoba, terjemahan Indonesia, itu sebenarnya lebih tepat di dalam Bahasa Inggris itu test. Menguji. Gitu ya? Kalau mencobai itu kan kesannya kayaknya digoda, dibikin susah. Iya nggak? Itu soalnya konotasi Indonesia gitu. Tapi sebenarnya dia adalah menguji. Allah menguji iman Abraham dan kita mendapat kisah ini.
Dan dari sinilah kita mengerti bahwa ini adalah satu bentuk ujian iman bagi Abraham; karena kalau kita mundur ketika waktu Abraham mengalami hal ini, dia nggak tahu itu gimana akhirnya nanti. Dia tidak sama dengan kita yang tahu, Oh pasti Ishaknya nggak mati; dia nggak tahu seperti apa, tapi ini menjadi ujian iman bagi Abraham. Di dalam peribahasa Tionghoa itu ada suatu istilah bahwa perjalanan yang jauh baru tahu seberapa kekuatan seekor kuda. Dan waktu yang panjang dengan seseorang baru tahu isi hatinya. Kalau ada seekor kuda di sini, wah kudanya kayaknya sangat kuat, gagah perkasa, berotot, wah ini kuda yang hebat, kuda yang bagus. Oh, jangan cepat-cepat kita menilai. Coba dulu naiki kudanya, coba bawa dia berpacu dengan perjalanan yang jauh, bawa dia melewati berbagai lintasan medan yang berbeda-beda dengan berpuluh-puluh kilometer, bahkan ratusan kilometer; baru kita tahu seberapa kekuatan kuda itu. Tidak bisa dari sekedar tampilan fisik saja. Dan sama dalam peribahasa itu juga mengatakan bahwa dalam perjalanan waktu yang panjang dengan seseorang, baru kita tahu sebenarnya isi hatinya seperti apa. Karena di sini kita mengerti bahwa dalam banyak hal, ujian itu adalah untuk menyatakan seberapa mutunya, kualitas dari sesuatu. Sama seperti benda ini dipakai berapa lama, dipakai sekian lama baru kita tahu, oh memang kayunya berkualitas atau tidak. Barang-barang yang kita pakai juga itu demikian. Itu seandainya kalau misalnya, kalau seperti kita di sini ada pakai laptop gitu, itu kadang-kadang orang bilang, kalau kamu beli laptop baru, ketika kamu beli, coba ketika pertama kamu beli nyalakan banyak program sekaligus, wah nyalain banyak program, banyak program, buka program ini, program itu, buka sampai bisa biasanya 10 program atau bahkan lebih dari itu sampai puluhan program. Mau ngapain nyalain sebanyak itu program? Kita sendiri actual pakainya kan nggak sebanyak itu sekaligus. Tapi itu untuk menguji, seberapa ketahanan dan kekuatan dari mesin itu. Oh coba buka itu internet gitu ya, coba buka tabnya sampai banyak, sampai puluhan tab, wah buka banyak sekali. Ngapain? Itu untuk menguji seberapa koneksinya itu dia bisa berjalan dengan lancar dan tetap berfungsi, tidak crash, tidak hang itu komputer. Karena itu sifatnya ujian. Ujian itu memang diperlukan untuk menyatakan seberapa kualitas dari sesuatu itu. Apa pun itu, memang perlu diuji dulu baru tahu seberapa mumpuni.
Ketika merenungkan ini saya teringat bahwa di beberapa waktu yang lalu ketika saya dulu praktik di GRII Pusat di Kemayoran, itu waktu itu saya masih mahasiswa praktik, lalu dikatakan, oh iya kamu kan nggak mungkin ganti Pak Tong ya mimpin khotbah di mimbar, dan ada juga rekan-rekan pendeta yang lain bagian-bagian section lainnya, lalu,“Oh kamu coba terjun ke bagian pelayanan siswa.” “Oh baik, baik pak, saya pergi pelayanan siswa.” Melayani di salah satu sekolah di sana. Nah uniknya adalah, pelayanan siswa itu ternyata ketika penempatan di sekolah sana dan tim humas kami bercakap-cakap dengan kepala sekolahnya dan mereka setuju dan sangat appreciate bisa dilayani oleh STEMI. Lalu dia bilang, oh Pak, yang kami butuhkan ini bukan cuma untuk isi chapel gitu ya, isi ibadahnya, tapi kami butuhnya itu guru agama. Oh guru agama? Oke. Akhirnya disetujui dan akhirnya saya ternyata masuk ke sana itu menjadi guru agama. Bisa nangkap sih dia menjadi guru bukan hanya sebagai misalnya sebagai penginjil yang mengisi renungan atau apa ibadah pagi misalnya seperti itu. Wah menjadi guru agama, dan di situ saya pertama kali menemukan ada satu challenging-nya sendiri. Karena kalau menjadi guru bukan hanya menyampaikan materi, tapi nanti kelak harus mengujiankan materi itu kan? Kan perlu nilai ya. Jadi di situ saya pertama-tama ngajar, saya pertama juga aware, oh ini kamu yang ajarin pastikan bukan cuma mereka itu kalau mengerti, oh iya ngangguk-ngangguk; beneran mengerti. Harus pastikan mereka mencatat apa yang diajarkan, lalu pastikan juga ketika mereka itu mengerti semua detil-detil dari pengajarannya itu, bukan hanya gambaran besarnya. Dan lebih lagi, waktu setelah mengajar semua, wah sampai berapa minggu, eh beberapa bulan kemudian, harus memberikan ujian. Wah di situ baru saya pertama kali tahu, oh ujian itu susah juga dibuatnya. Karena ketika saya mau menyusun soalnya, saya harus memikirkan apa yang harus ditanya, apa yang harus diujiankan, dan yang mana yang nggak perlu. Yang mana yang perlu, dan yang mana yang nggak perlu itu harus bisa dibedakan. Mempengaruhi apa yang saya ajarkan dan apa yang akan diujiankan. Belum lagi setelah ujian itu harus memeriksa ujian-ujian itu. Wah banyak sekali. Ratusan anak periksa, satu-satu, periksa satu-satu ujiannya. Lalu sudah periksa, itu nanti ada yang belum lagi anak itu, aduh kok anak ini nilainya jelek. Di kelas, oh anak ini aduh saya ingat waktu diajar itu tenang, baik, baik, baik, ternyata ngangguk-ngangguk aja gitu ya, tapi nggak ngerti, gitu ya. Gini-gini tapi nggak ngerti, cuma ngangguk, ngangguk-ngangguk, wah nggak ngerti. Lalu waduh itu bisa bikin stress, bikin down jadinya, rasanya gagal, lalu kasih remedial lagi untuk ujian ulang. Nanti ada yang dikasih remedial ada yang masih gagal lagi, ulang lagi. Dan itu saya jadi ngerti, aduh ujian itu sulit sekali. Dan ternyata nggak menyenangkan sama sekali ketika membuat soal-soal itu. Lalu lantas saya ingat, waktu, iya ya, waktu saya dulu juga sekolah itu saya senang dengan sekolah saya. Banyak hal yang bisa disenangi dari sekolah tentunya. Bisa belajar, bisa bertemu dengan teman-teman. Juga bisa banyak hal yang dikerjakan di sekolah.
Tapi ya satu hal yang paling saya nggak suka itu kan ujian ya. Ujian itu kan, aduh, kalau kita, anak-anak kita, apalagi ini ya kalau yang anak-anak remaja sudah menjelang UN, waduh udah jadi kayak zombie gitu ya. Wah gimana ini udah mau ujian, udah grogi ini, udah dekat gitu ya, udah stress. Waduh capek gitu ya, belajar, belajar terus. Jadi sebenarnya ujian, dari situ saya menyadari bahwa ternyata ujian itu sendiri adalah suatu hal yang tidak disukai oleh guru maupun murid. Tapi kenyataannya ujian itu perlu sebagai standar, sebagai benchmark, patokan untuk mengukur nilai para murid untuk menjadi tolak ukur kelulusan mereka. Ujiannya mereka tidak suka, tapi mereka membutuhkan itu supaya mereka bisa naik kelas. Dan kalau murid-murid belajar, lalu misalnya belajar sekian lama di sekolah tapi tidak pernah diujiankan maka lama -lama dia akan bertanya, buat apa saya belajar semua ini kalau tidak pernah dipakai menghadapi ujian. Di sini saya menangkap, saya bisa simpulkan ada suatu prinsip di sini bahwa no one like the test but no one can deny the necessity of the test. Tidak ada orang yang suka dengan ujian, tapi kenyataannya tidak seorang pun bisa menyangkali keharusan adanya ujian ini. Dan terutama bukan hanya ujian di sekolah tapi ujian di dalam kehidupan kita. Ujian dalam iman kita, dan itulah yang kita hadapi dari sehari keseharinnya, entah secara sengaja mau pun tidak sengaja, entah mendadak atau secara bertahap dan kita bisa antisipasi itu.
Socrates pernah mengatakan, “Unexamined life is not worth living; so I say to you unexamined belief is not worth believing.” Socrates mengatakan bahwa hidup yang tidak diuji, tidak layak dihidupi; maka aku berkata kepadamu, iman yang tidak diuji, juga tidak layak untuk diimani. Berapa banyak ke dalam kehidupan kita juga kita mengalami ujian-ujian iman dalam kehidupan kita? Dalam berbagai bentuk, dalam berbagai bentukan dalam kehidupan kita, dan bahkan terlebih di dalam doktrin Reformed, kita mengerti bahwa Allah yang berdaulat, dan Allah yang turut bekerja di dalam segala sesuatu di dalam sebagaimana dikatakan dalam Roma 8: 28. Maka segala sesuatunya yang terjadi di dalam kehidupan kita bahkan ujian yang begitu sengit, sulit, itu tidak lepas dari kedaulatan Allah; dari rencana Allah, dari pimpinan Tuhan, dan juga atas izin Tuhan kita mengalami ujian itu di dalam kehidupan. Dan di situlah kita mengerti, dalam ujian itu, akan menyatakan seberapa nilai dari iman kita sendiri. Dan inilah juga dialami oleh Abraham di sini; untuk menyatakan seberapakah nilai dari iman dia.
Menarik kalau ada beberapa komentator itu mengatakan bahwa kalau dilihat secara katanya yang dimunculkan di dalam Kejadian 22 ini, kita menemukan paralelnya dengan di Kejadian pasal 12. Oh Kejadian pasal 12 itu apa? Ini bukan cuma masalah beda 10 angka, gitu ya. Tapi ini ada perbedaannya; ada kemiripannya adalah pertama kali Abraham itu dipanggil keluar dari tanah kelahirannya: “Pergilah, Abraham. Pergi sendiri keluar memisahkan dirimu dari keluargamu. Pergilah sendiri ke tanah yang Aku tunjukkan padamu”. Dan di sini, Kejadian 22 ini juga sama; dia dipanggil naik untuk pergi ke daerah Tanah Muria, untuk mempersembahkan Ishak anaknya. Dan ini suatu bentuk ujian, yang klimaks, yang puncak dalam kehidupan iman; perjalanan kehidupan dari Abraham. Ya, mula-mulanya kadang-kadang orang bisa dipanggil “Ayo, kamu keluar dari tempat asalmu, keluar dari tempat kenyamanan. Bisa gak?” Wah, susah ya. Apalagi kalau kita pikir, ini Abraham kan orang Mesopotamia sana ya, mirip-mirip kita gitu, istilahnya orang-orang Asia, yang punya close relation dengan keluarga. Kalau meninggalkan keluarga, tanah kelahiran, itu di Kejadian pasal 12, waduh itu adalah hal yang berat, meninggalkan semua keluarganya, semua kakaknya situ apa, orang tuanya. Terah, sempat mengikut dia bersama-sama perjalanan, tapi kemudian Terah mati, lalu dia meneruskan lagi perjalanan, tapi dia harus meninggalkan tanah kelahirannya, tempat asalnya. Rumahnya, ada orang mengukur itu Mesopotamia rumah-rumah di sana kalau mengukur dari kekayaan Abraham, itu dia punya rumah yang sangat besar; kamarnya itu puluhan bahkan mungkin ratusan kabin, tapi dia harus meninggalkan itu. Meninggalkan semua itu, kalau keluarganya tanya, “Oh, Abraham, kamu mau ke mana?” “Oh, itu merantau,” “Oh, merantau ke mana?” “Kota besar”. Ya udah. Ga tahu di padang gurun ditanya, nanti Tuhan tunjuk. Mungkin keluarganya pikir, “Kamu gila ya? Ini kamu punya tanah, rumah, sebesar ini. Kok kamu tinggalin? Pergi ke mana?” “Nggak jelas, pokoknya Tuhan pimpin, saya maju ke mana saja Tuhan pimpin ku t’lah sedia.” Oke, tapi gimana? Kelihatannya tidak prospek sama sekali. Tapi itulah menjadi ujian iman bagi Abraham. Dan lanjut ketika masuk ie dalam Kejadian 22 di sini, juga menjadi ujian yang lebih sengit lagi; lebih tajam lagi. Karena dikatakan untuk dia mempersembahkan Ishak, anaknya yang tunggal itu, yang dia kasihi. Dan dia itu menjadi ujian bagi Abraham.
Menarik, Di dalam Ulangan 8:2 itu ada mencatat, “Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak TUHAN, Allahmu, di padang gurun selama empat puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai…” – kata itu lagi ‘tes,’“untuk menguji engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak.” Di sini kita mengerti secara tujuan pencobaan atau ujian itu, itu punya tujuan di sini yaitu bukan supaya Allah tahu isi hati kita tentunya karena tentunya Allah itu Maha Tahu, tapi sebenarnya supaya isi hati kita itu menjadi nyata. Dan jadi nyata keluar apa yang isi hati kita itu seperti dikatakan di dalam Ulangan 8:2 ini; jadi justru supaya kita yang mengetahui siapakah diri kita, sejauh mana limit kita ketika kita mengalami ujian itu. Iya kan? Anak-anak kita ketika menghadapi ujian, “Wah, susah, Pah susah. Ujian kelas 6 SD. Wah, susah, susah”, galau. Tapi kalau sudah lulus nanti masuk SMP, kasih lagi ujian SD itu, “Hah? Gampang. Ya kecil. Karena sudah lewat ini”. Sudah lewat limitnya. Ujian dan dalam hal ini banyak hal itu selalu melibatkan keadaan kesulitan, karena ya kalau tidak sulit itu bukan ujian. Itu sebenarnya adalah menunjukkan siapakah diri kita sebenarnya. Dan kalau sudah susah itu kita akan berlaku seperti apa sih, sebagaimana seorang komentator mengatakan, yaitu ketika kita mengalami kesulitan kita akan bersikap seperti apa. Ujian itu bukan hanya ketika kita berada di gedung ibadah yang baik seperti ini kita bisa beribadah dengan nyaman. Tapi di luar dari gedung gereja, di luar dari tempat ibadah, kita akan bertingkah seperti apa, kita akan berlaku seperti apa? That’s the true test; itulah ujian yang sebenarnya. Ketika berada di tempat yang tidak nyaman, ketika berada bukan di lingkungan sesama kita orang percaya, masihkah kita memelihara iman? Dan di situlah akan menyatakan seberapa nilai dari iman kita. Ya, dalam hal ini kita jangan balik ya, bukan kita sengaja bikin susah. Tapi jika kesulitan itu datang, biarlah kita itu melihat bahwa ujian itu datangnya dari Tuhan, dan sifatnya itu untuk memurnikan hati kita. Untuk memurnikan hati kita sendiri. Supaya seluruh kita itu lebih sungguh murni mengikut Tuhan. Untuk lebih lagi setia mengikuti Tuhan.
Dan di sini kita temukan itulah ujian iman yang dialami oleh Abraham. Kenapa dia harus diuji di sini? Kalau kita perhatikan di dalam bagian ini, ada yang; Alkitab memberikan indikasi bahwa ujian ini muncul di pasal 22, kembali ya bukan di pasal 12, ini adalah setelah perjalanan sekian lama dia mengikut Tuhan, barulah dia mengalami ujian ini, sehingga Abraham itu sudah mengalami suatu pembentukan dan ada persiapan sebelumnya. Kita bisa bayangkan bagaimana Abraham itu tadinya ketika dipanggil keluar dari Tanah kelahirannya, lalu dia bergumul menanti-nantikan anak; dia itu dipanggil keluar dari umur 75, baru dia menanti-nantikan anak 25 tahun. Bayangkan 25 tahun masih nunggu. Dan ini sudah umur tua. Sampai umur 100 baru dia dapat Ishak ini. Kita bisa bayangkan, ini ada anak yang bukan saja cuma dinanti-nantikan; dinanti-nantikan sampai ga tahu ini benar dapat atau nggak. Tapi ketika dapat, itu membawa suatu kebahagiaan pasti di dalam keluarga Abraham. Dan saya pikir, itu juga yang kita alami bukan di dalam keluarga kita? Menarik itu di dalam nama ‘Ishak’ artinya itu ‘dia tertawa,’ dan ada komentator mengatakan itu menunjukkan bahwa kehadiran anak ini memberikan suatu keceriaan sendiri bagi keluarga Abraham. Bagi keluarga Abraham dan Sara, istrinya. Dan perjalanan waktu kemudian, lalu Ishak bertumbuh dewasa dia kemudian disunat pada hari ke-8 lalu dia bertumbuh dewasa dan sampai pada bagian ini. Beberapa mengatakan bahwa kemungkinan dia berumur 30-an, lalu sampailah tiba ujian bagi Abraham. Lho ini ujian ini untuk apa sih?
Saya pikir menarik ketika merenungkan bagian ini yaitu saya teringat apa yang ditulis oleh Timothy Keller di dalam bukunya “Counterfaith Gods.” Di dalam bukunya itu, Timothy Keller mengatakan bahwa di dalam kehidupan kita kenyataannya, dalam kehidupan itu ada banyak berhala di dalam hati kita. Berhala itu bukan hanya bentuk wujud fisik di luar, tapi terutama itu di dalam hati kita. Karena sebenarnya semua benda patung itu kan hanya benda; tapi bagaimana kita mau mengisinya; bagaimana kita meresponinya menilainya, itulah berhala di dalam hati kita. Timothy Keller lalu memberikan satu definisi: idolatry, berhala itu sendiri adalah bagaimana hati manusia yang mengambil hal-hal yang baik dan mengubahnya menjadi hal yang ultimat, menjadi hal yang utama, yang mutlak, yang tidak bisa dinegosiasikan lagi. Dan itu yang menjadi hal yang berharga dalam kehidupan kita.
Ada banyak di dalam kehidupan kita itu yang sebenarnya hal yang baik, tapi kalau kita pentingkan sedemikian, sampai begitu mutlaknya kita tidak mau gerak lagi, maka berarti dalam hati kita, kita sudah memutlakkan hal itu dan berarti memberhalakan hal itu. Bagaimanakah dengan setiap kita dengan kesuksesan dalam kehidupan kita, dalam pekerjaan kita ataupun posisi kita? Kalau kita mendapatkannya suatu kesuksesan, itu hal yang baik nggak? Oh ya baik dong. Jangan kita pikir: Oh jadi Reformed itu hidupnya susah terus, pokoknya menderita terus, nggak boleh sukses, nggak boleh naik pangkat, ya bukan begitu, that’s not the point! Kita kalau naik pangkat, kita dapat pekerjaan yang baik, kita dapat posisi yang baik, itu adalah hal yang baik, itu nggak salah. Tapi lantas kita mengutamakan itu sebab hal yang baik ini kita jadikan hal yang utama, yang ultimat, di situ menjadi berhala. Uang dan harta itu hal yang baik nggak? Baik. Itu adalah hal yang kita pakai sehari-hari. Saya aja dari Solo datang ke sini, kan nggak bisa bilang, waktu mau masuk pintu gerbang itu, “Pak, saya ini vikaris, saya ini pendeta,” gitu kira-kira, kalau gitu saya boleh masuk gratis seperti itu? ya nggak bisa. Pakai bayar kan, pakai uang. Pdt. Stephen Tong itu katakan, hanya 2 yang gratis dalam dunia ini yaitu anugrah Allah dan juga oksigen. Hanya itu saja yang gratis, yang lainnya semua pakai uang, semua itu adalah harus dibayar. Sehingga uang itu dan harta kita sebenarnya adalah hal yang baik pada dirinya sendiri. Tapi kalau kita memperhatikan yang Alkitab katakan tentang uang, apakah yang jahat itu? yaitu cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan. Perhatikan di situ, bukan uang adalah akar segala kejahatan tapi cinta akan uang itulah akar dari segala kejahatan.
Jadi cintanya, hatinya itu berpaut kepada uang dan bukan kepada Tuhan, dan disitulah menjadi akar segala kejahatan. Dan di situ uang itu menjadi berhalanya. Mamon itu, yang seperti Tuhan Yesus katakan, hanya kamu bisa memilih antara 2 ini. Antara kamu menyembah Tuhan atau kamu menyembah mamon, tidak bisa kamu mengambil keduanya, karena orang pasti akan membenci yang satu dan akan mencintai tuan yang lainnya. Dan di situ berbicara bukan untuk kita benci uang, karena kita pakai uang, tapi adalah untuk kita tidak menaruh hati kita, sandaran kita, sekuritas kita, keamanan kita kepada harta kekayaan kita. Seberapapun deposito kita, seberapa banyak pun asset kita, biarlah kita tidak menaruh pengharapan kita kepada hal itu, karena jika kita menaruhnya pada hal itu, itulah menjadi berhala kita. Dan percayalah, dan biarlah kita sungguh menyadarinya, realitanya, ketika kita menaruh kepercayaan kepada hal itu, justru dia akan menguasai kita, justru uang itulah yang akan mengontol kita. Dan uang itu seringkali memang tidak bisa dipercaya dalam kenyataannya.
Lalu kemudian juga ketika berbicara keluarga ataupun anak, itu adalah hal yang baik. Untuk kita berkeluarga, itu kan mandat budaya, perintah Tuhan untuk beranak cucu, bertambah banyak, itu adalah hal yang baik. Untuk punya anak, baik. Itu amanah yang baik. Tapi jika kita memberhalakan keluarga kita, mengutamakannya di banding Tuhan, nah maka itu menjadi berhalanya. Ada orang: “Wah kalau keluarga…” segala sesuatunya, mau pelayanan ukur itu dari keluarganya. Kalau keluarga saya ikut ke gereja, saya datang gereja. Kalau keluarga nggak ikut, wah nggak datang. Lho yang nentuin kita datang gereja itu anak kita, istri kita atau bapak kita, atau Tuhan yang harusnya kita ibadah setiap minggunya. Dan bahkan setiap harinya dalam kehidupan kita.Kembali lagi, poinnya di sini bukan keluarga itu jahat, itu adalah hal yang baik, anak itu hal yang baik, tapi bagaimana kita menyikapinya, apakah kita menempatkannya sesuai pada posisinya masing-masing, yaitu berada di bawah Tuhan dan tetap mencintai Tuhan sebagai yang utama, dan disitulah posisi yang seharusnya, sehingga tidak memberhalakannya. Dan karena itulah dialami ujian oleh Abraham di sini. Abraham mungkin boleh dipanggil, “Oh persembahkanlah kambing dombamu, sampai ratusan.” – oh dengan sukacita, dengan rela hati dia persembahkan. Tapi kenapa ya disuruh mempersembahkan Ishak. Maka ditekankan, “Anakmu yang tunggal, sisa satu itu, yang engkau kasihi.” Itu untuk tahu, apakah di dalam hatimu masih kamu mengutamakan Tuhan di atas segala sesuatunya atau tidak. Dan itu yang menjadi ujian Abraham. Adakah hati dia masih sungguh berpaut kepada Tuhan, dan bukan kepada anugrah, anak anugrah yang diberikan?
Saya teringat itu dalam salah satu kakak rohani saya mengatakan, “Persembahan dalam kehidupan kita,” mungkin kita sering memberikan persembahan, perpuluhan kita juga kita berikan. Tapi salah satu kakak rohani saya itu mengatakan, “Persembahan itu kalau kamu berikan itu belum sampai rasa sakit, gitu ya, itu kamu belum mengerti apa itu berkorban. Karena cuma ngasih, ya kan? Cuma ngasih sekedar saja. Tapi kalau kamu kasih itu sampai sejumlah tertentu yang kamu rasa: Aduh sayang, gitu, tapi kamu kasih. Nah itu baru persembahan. Karena itu baru punya nilai pengorbanan di sana.” Dan betapa kita bayangkan gimana Tuhan meminta itu kepada Abraham, wah itu satu terdalam sekali yang.. “Haduh, saya sudah menantikan mana yang 25 tahun, dan anak ini akhirnya bertumbuh sudah sampai remajanya, sampai pemudanya, sudah umur 30an, inilah harapan masa depan bagi keluarga.” Ternyata Tuhan beritakan, “Ingat, harapanmu bukan di anak ini dan kepada Tuhan.” dan itulah tujuan ujian.
Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya nggak tahu apa yang Bapak Ibu alami dalam kehidupan kita masing-masing. Tapi pertanyaannya: apa yang paling berharga dalam kehidupan? Apa yang paling berharga dalam kehidupan? Dan pertanyaannya: maukah kamu mempersembahkan itu bagi Tuhan dan tetap mengutamakan Tuhan di atas segalanya? Itu menjadi tanda ketaatan kita mengikuti Tuhan. Dan di sini yang menarik, poin yang kedua yaitu kalau kita perhatikan di sini ada suatu sikap ketaatan yang dilakukan oleh Abraham yang luar biasa. Abraham ini sudah umurnya lanjut. Kalau komentator mengatakan kemungkinan usia Ishak sudah 30an, berarti Abraham sudah 130an usianya, terus disuruh apa? Persembahkan Ishak di naik gunung. Ngapain sih jauh-jauh? Wah ini orang tua lho. Orang tua itu disuruh hiking, dan ini bukan naik mobil. Naik perjalanan kaki atau mungkin naik unta. Wah perjalanannya berat. Perjalanan berapa lama? Beberapa jam? Oh nggak. Tiga hari. Saya pernah dengar di berapa kejadian yang lalu, pernah itu orang naik tol melintas dari Jakarta ke, kalau saya nggak salah, Bandung, saking macetnya itu, ada orang tua meninggal di sana. Mungkin karena kurang oksigen atau apa gitu, karena kelelahannya itu di dalam, itu perjalanan yang panjang. Nah apalagi di sini, Abraham harus melakukan perjalanan panjang untuk mempersembahkan anaknya. Kenapa sih tidak bisa persembahkan, mungkin di belakang rumah, mungkin kalau ketauan istrinya, kalau ketauan istrinya, “Oh nggak boleh!” jadi pergi jauh-jauh. Ya kalau pergi jauh-jauh kan nggak usah sampai perjalanan 3 hari naik ke gunung gitu lho. Kenapa ya kayanya sengaja itu dibuat susah. Di sini saya melihat karena mau diuji Abraham untuk melihat ada satu sikap ketaatan yang aktif, ketaatan aktif yang dilakukan oleh Abraham di sini. Ketaatan yang di sini kita temukan suatu penggambaran Alkitab yang sederhana saja, tapi saya tidak bisa bayangkan, dia diperintahkan Tuhan mempersembahkan anaknya. Dengan kekuatan apa dia bangun pagi-pagi di hari itu lalu mempersiapkan pelananya, mempersiapkan segala sesuatunya, memotong kayu-kayu itu. Yang dia tahu semuanya ini, semata-mata untuk mempersembahkan anaknya yang paling dia kasihi. Tapi itulah ujian iman dari Abraham. Dan saya percaya menjadi ujian iman bagi setiap kita. Adakah kita melakukan suatu ketaatan aktif, yang bukan hanya kita ngomong: Iya, saya mau taat, saya mau taat. Tapi ketaatan aktif yaitu ditunjukkan dengan suatu bukti konkrit dalam konteks kehidupan kita. Dan meskipun usia kita sudah lanjut, meski sudah tidak kuat sekali, adakah kita masih mau mendaki gunung itu, mempersembahkan yang terbaik bagi Dia, karena Dialah Tuhan kita, Dialah yang punya segalanya, termasuk yang kita miliki, seberapapun kita kasihi.
Dan berbicara ketaatan, kita juga tidak bisa menyangkali, melihat justru ada ketaatan pasif juga dari Ishak di situ. Kalau Abraham itu ditunjukkan dengan ketaatan aktif, dia mau mendaki gunung, perjalanan 3 hari, dia sudah usia tua; dan di sini saya melihat Ishak sebagai suatu ketaatan pasif. Apa maksudnya ketaatan pasif? Karena saya pikir ya, kalau kita bayangkan kejadian ini, misalnya, andaikata itu kejadian terbalik, yaitu Ishak menerima panggilan, “Hai Ishak, persembahkanlah bapakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, di Gunung Moria,” wah mungkin sudah dari kapan saya tunggu ya, saya persembahin aja dia itu, orang tua itu. Wah ini kan anak muda, kuat; naik ke gunung mungkin sebelum malaikat ngomong, “Tahan tanganmu,” sudah dia persembahkan duluan gitu ya. Ya kalau ada anak muda di sini yang berpikir begitu, jangan kualat ya. Tapi kita temukan bukan begitu kan kisahnya, justru Ishak yang lebih kuat, yang bisa memikul kayu-kayu yang dipotong oleh Abraham itu, makanya saya percaya dia sudah cukup dewasa, itu dia bahkan ketika mau dipersembahkan sebenarnya di Alkitab itu dikatakan sudah dipersiapkan segala sesuatunya; Ishak juga sebelumnya bertanya-tanya dimanakah domba itu? Dan ketika sampailah dia di atas mezbah itu, dan dia melihat bapaknya mempersiapkan segala sesuatunya, dan didatangkan kayu-kayu itu, dan sambil dia terheran-heran bapaknya kemudian mengikat dia. Bayangkan anak muda diikat, memangnya gampang? Bukankah dia bisa melawan? Bukankah dia mungkin bisa kabur? Tapi Alkitab mencatat Ishak itu rela diikat, dan di situ kita mengerti ada suatu ketaatan pasif yang dilakukan oleh Ishak, dia rela menerima itu. “Oh ternyata saya dombanya yang akan dipersembahkan.” Kita temukan di dalam bagian ini tidak ada argumen, tidak ada pertanyaan, tidak ada suatu pertentangan, “Bapak, kenapa saya yang diikat?” atau tidak juga ada perlawanan dari Ishak. Tapi di dalam kebisuannya, di dalam keheningannya seolah-olah Ishak itu seperti domba yang tidak mengeluh masuk kepada pembantaian. Dan dia diikat begitu oleh bapaknya, ikatan yang mungkin tidak terlalu kuat karena diikat oleh seorang tua yang sudah umur 100-an tahun, tetapi Ishak rela mengalami karena itu adalah ketaatan pasif yang dilakukan oleh Ishak. Saya ingat ada salah satu hamba Tuhan yang mengatakan bahwa kalau kita agree itu tidak butuh taat; agree, setuju, itu tidak sama dengan taat. “Coba kamu lakukan ini, ini, ini.” “Ah coba jelasin dulu sampai saya mengerti maksudnya apa, sampai saya setuju dulu baru saya mau lakukan.” Lho kalau setuju nggak butuh taat, tapi taat itu meskipun saya disagree, meski saya bisa tidak setuju tapi saya tunduk, taat, kepada otoritas yang di atas saya, dan saya taat melakukannya. Di sini kita temukan, menarik dalam Alkitab menggambarkan yang tua, Abraham, itu dipuji dalam ketaatannya itu untuk terus melangkah ke depan meski sulit; tapi sebaliknya yang muda diuji kekuatannya untuk menahan diri, untuk rela dirinya dibatasi, kenapa? Karena di situlah untuk dia trust kepada bapaknya, percayakan nasibnya kepada bapaknya. Bahwa meski dia diikat, meski dia tahu sebentar lagi dia akan dihunuskan, dia akan dipersembahkan, Ishak cuma menengadah ke atas, karena terlebih lagi dia bukan cuma percaya kepada bapaknya tapi percaya kepada Bapa di Sorga, percaya kepada Allah, meski dia baru menemukan, “Oh ternyata sayalah yang akan dikorbankan di atas bukit ini.” Tapi karena setelah ujian inilah akhirnya kita tahu akhirnya dihentikan karena memang akhirnya nyata ketaatan dari Abraham maupun Ishak, dan mereka lulus di dalam ujian yang dialami. Dan itu menyatakan kualitas nilai iman mereka, dan menjadi suatu pendidikan ajaran bagi bangsa Israel maupun setiap kita Israel di masa kini, sejauh manakah kualitas iman dan ketaatan kita kepada Tuhan kita. Dan terlebih lagi di dalam terang Perjanjian Baru dan juga sebagaimana dikatakan oleh bapa-bapa Gereja, kisah ini bukan hanya bercerita suatu kisah dimana Ishak mau dipersembahkan di atas bukit Moria saja, tapi merupakan suatu tipologi, suatu bayang-bayang bahwa akan ada Anak yang Tunggal lain yang dipersembahkan di atas bukit Golgota. Di situ kita melihat bahwa seumur hidup Kristus pun mengalami ujian, pencobaan, dalam kehidupan Dia. Mengalami dari ujian demi ujian itu terus dialami Kristus, dan Kristus terus lulus, terus lulus dalam menghadapi ujian itu. Kristus, Dia adalah Sang Anak Allah, Dia sempurna ketika datang dalam dunia ini, tetapi di dalam kesempurnaan-Nya itu bukan cuma dinyatakan dengan mengaku status, “Saya Anak Allah, Saya sungguh,” tapi diuji sungguh sampai Dia nyata inilah Sang Anak Allah, inilah Anak Allah yang sungguh taat kepada Bapa. Dan seumur hidup Kristus justru diwarnai dengan ujian demi ujian yang makin sulit, yang makin sengit, yang makin begitu membutuhkan hikmat yang besar. Tetapi di situ juga menyatakan ketaatan aktif Kristus yang terus senantiasa mentaati Bapa-Nya, dan Dia taat, taat terus hingga naik ke atas bukit Golgota, hingga akhirnya Dia dipersembahkan di atas bukit Golgota itu. Dan di atas bukit Golgota itu kita bukan hanya melihat ketaatan aktif dari Kristus, tetapi juga ada ketaatan pasif dari Kristus, karena Dia menerima beban dosa-dosa kita di atas kayu salib. Dan sebab itulah Dia berseru, Eli, Eli, lama sabakhtani,” yang artinya, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Mengapakah Kristus ditinggalkan di atas kayu salib? Bukan karena dosa Dia tapi karena dosa kita, di situlah kita mengerti Kristus mengalami penghukuman neraka. Neraka itu bukan cuma bicara api yang panas dibakar tetapi dimana ada suatu keterpisahan dengan Allah Bapa. Allah itu kan maha hadir, Dia ada dimana saja, tapi neraka itu menyatakan absennya Allah di sana, absennya dari Allah yang adalah kasih adanya, tapi neraka itu, di sana itu orang-orang ditinggalkan oleh Allah, jauh dari kasih Allah. Dan itulah yang dialami oleh Kristus di atas kayu salib, itulah yang dialami Dia. Dan di situ yang menjadi kontras dalam kisah Ishak, karena sungguh Kristus itu justru jadi dikorbankan di atas kayu salib, sungguh Dia dimatikan di atas kayu salib itu demi keselamatan kita, demi menebus, membayar hutang dosa-dosa kita. Di sinilah, dari semuanya ini kita mengerti bahwa Allah Bapa sudah rela mengorbankan Anak Tunggal-Nya bagi kita, apalagi yang masih menahan kita untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Dia. Mari kita satu dalam doa.
Bapa kami dalam Sorga, kami datang ke hadapan-Mu yang kudus. Kami bersyukur ya Tuhan untuk firman Tuhan hari ini. Biarlah sungguh ya Tuhan, pemberitaan firman hari ini mengkoreksi hati-pikiran kami untuk kami sungguh mengerti bagaimana seharusnya memberikan persembahan yang terbaik untuk sungguh taat kepadaMu, untuk mematikan berhala-berhala di dalam hati-pikiran kami, dan untuk sungguh rela mempersembahkan yang terbaik bagiMu karena Engkau juga telah rela mengorbankan Anak-Mu yang tunggal itu untuk keselamatan kami. Terima kasih Bapa atas semuanya ini. Kiranya sungguh kebenaran firman-Mu yang mendorong kami untuk lebih hidup setia melayani Engkau seumur hidup kami. Terima kasih Bapa. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]