Kej. 4:1-16
Pdt. Jimmy Pardede
Saudara, saya akan membagikan tentang tema yang ada kaitan dengan pergumulan kita di dalam dunia sebagai orang berdosa. Di dalam salah satu bagian dari buku “Institutes of Christian Religion”, John Calvin mengatakan bahwa Kitab Suci itu seperti cermin. Cermin yang memungkinkan kita untuk melihat tentang siapa Tuhan dan siapa Kristus. Jadi, dari cermin ini kita melihat dan Tuhan dan juga Kristus tidak bisa dilihat, kecuali kita masukkan Dia dalam pekerjaan-Nya di dalam dunia ini. Jadi, Calvin mau katakan bagaimana cara kita kenal Tuhan? Cara kita kenal Tuhan adalah kita lihat dia lewat karya-Nya di Bumi ini. Lalu, bagaimana kita bisa memahami karya Tuhan di Bumi? Caranya adalah dengan Kitab Suci. Jadi, Alkitab adalah cara kita melihat pekerjaan Tuhan di Bumi. Tuhan sudah bekerja di Bumi, tapi kita tidak lihat. Tapi dengan Kitab Suci, kita ditolong untuk lihat. Maka, Calvin tidak bedakan antara wahyu umum, yaitu pekerjaan Tuhan di dalam alam, menyatakan kemuliaanNya, dan wahyu khusus, yaitu pernyataan Tuhan di dalam Kitab Suci. Tuhan bicara kepada manusia lewat alam ciptaan-Nya dan lewat Kitab Suci. Dan Kitab Suci memperjelas kita melihat alam sebagai pernyataan Tuhan. Nah, kita yang hidup di dunia tidak akan lihat Tuhan di dalam dunia ini, tidak akan lihat pekerjaan-Nya di dalam dunia ini, kecuali kita menyorotinya dari sudut pandang Firman Tuhan. Jadi, tanpa Firman Tuhan kita tidak mungkin kenal Tuhan. Tapi, kalau kita mengatakan, “Saya sudah lihat Kitab Suci. Saya sudah membacanya. Sekarang saya kenal Tuhan.” Belum tentu, karena kalau Saudara membaca Kitab Suci lalu Saudara tidak menjadikannya cara untuk melihat Tuhan bekerja di Bumi sekarang ini, maka kita juga tetap tidak kenal Tuhan. Maka bagi Calvin mengenal Tuhan berarti saya mampu mengaitkan Kitab Suci dengan pekerjaan Tuhan di dalam alam. Wahyu umum dan wahyu khusus disatukan. Nah, itu sebabnya dengan membaca Kitab Suci kita mengetahui apa yang Tuhan sedang kerjakan di dalam kehidupan kita sekarang.
Nah, salah satu hal yang sangat penting untuk kita ketahui adalah bagaimana Tuhan mengungkapkan dosa dan bagaimana Tuhan berurusan dengan dosa. Salah satu bagian yang sangat jelas mengajarkan kepada kita tentang natur dosa adalah Kejadian 4 ini. Kita bisa lihat banyak hal yang tidak kita duga sebelumnya, tapi Tuhan nyatakan bagi kita lewat Kejadian 4. Mari kita lihat bagian per bagian dari ayat yang sudah kita baca ini. Di dalam ayat yang pertama dari pasal 4 dikatakan, “Manusia bersetubuh dengan Hawa, isterinya lalu mengandunglah perempuan itu.” Tuhan sudah mengatakan di dalam pasal 3 ketika Tuhan menghukum manusia, bahwa Tuhan akan memberikan susah payah waktu melahirkan. Tapi, Tuhan tetap izinkan Hawa melahirkan. Tuhan bahkan mengatakan lewat keturunan perempuan, Tuhan akan mengadakan permusuhan dengan ular. Jadi antara kerub yang jatuh dalam dosa, ular, ular itu kerub sebenarnya. Ular dan Hawa bermusuhan. Si jahat dan keturunan manusia bermusuhan. Siapa keturunan manusia yang akan bentur dengan ular dan akan mengalahkan ular? Di dalam Kejadian 3, Tuhan hanya mengatakan, “Anak dari perempuan ini.” Keturunan perempuan. Berarti ada keturunan perempuan yang akan menghancurkan ular.
Nah, kalau kita memahami dari sudut pandang dunia kuno, ular ini bukan binatang yang Saudara temui di sawah atau di kebun binatang. Ular ini adalah kerub. Ini bisa kita lihat dari tradisi Timur Dekat kuno yang jauh sebelum Kristus lahir, 3500 tahun sebelum kita atau 4000 tahun sebelum kita. Gambaran wajah Firaun selalu ditaruh ular di atasnya. Kenapa musti ada ular? Karena orang Mesir percaya ular adalah penjaga kemuliaan takhta Mesir yang berkait dengan para dewa. Ular adalah penjaga kekudusan takhta para dewa. Dari mana ya orang Mesir bisa punya ide ini? Saya percaya dari Tuhan. Tuhan menyatakan di dalam tradisi yang panjang bahwa ada penjaga kekudusan yang bernama kerub, dan salah satu bentuk yang sering dipakai untuk kerub adalah ular.
Saudara kalau membaca Yesaya 6, di situ dikatakan, para seraf atau serafim melayang-layang ketika Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya. Yang kita tidak tahu adalah kata “serafim” di Yesaya 6 di bagian lain dari Kitab Suci itu diterjemahkan “ular”. Di dalam Yesaya 6 tidak diterjemahkan. Dikatakan di Yesaya 6 di versi LAI ya, bahwa ketika Yesaya melihat kemuliaan Tuhan, dia melihat para seraf atau serafim terbang. Mereka punya 6 sayap. 2 dipakai menutup wajah, 2 dipakai menutup kaki, dan 2 dipakai melayang-layang. Ini dikatakan “serafim”. Tapi heran, semua kata “serafim” atau kata dasarnya “saraf” di dalam Kitab Suci kita itu diterjemahkan ular. Lho, kenapa Yesaya 6 tidak diterjemahkan ular? Saya nggak tahu. Ini keputusan dari lembaga penerjemahan kita, LAI. Tetapi tidak diterjemahkannya bagian itu membuat kita tidak pernah sadar bahwa kerub itu sering dinyatakan dalam bentuk ular. Nah, karena di Yesaya 6 tidak diterjemahkan ular, maka kita juga tidak sadar bahwa ular di dalam Kejadian 3 adalah kerub.
Nah, Saudara mungkin akan bilang, “Kan katanya beda? “Nahas” itu ular dalam Kejadian 3, “saraf” itu ular di dalam Yesaya 6. Dua kata yang beda. Betul, ini 2 kata yang beda. Tapi, pada peristiwa ular tembaga, Saudara tahu peristiwa ini ya, ketika orang Israel dipagut oleh ular beracun lalu mereka mati, Tuhan suruh Musa, “Dirikanlah ular tembaga.” Saudara akan lihat di bagian itu kata “seraf” dan kata “nahas” itu saling bertukar. Jadi kata “ular” itu bisa pakai kata “nahas” bisa pakai kata “saraf”. Nah, itu sebabnya Kej 3 sebenarnya berbicara tentang hadirnya kerub yang harusnya menjaga kemuliaan Tuhan, yang seharusnya menjaga tempat kudus Tuhan, tapi kerub ini justru mengkhianati Tuhan dengan menggoda Hawa dan Adam jatuh dalam dosa. Nah, maka Adam dan Hawa jatuh dalam dosa karena godaan dari sang ular, dan mereka harusnya dibinasakan oleh Tuhan, tetapi Tuhan mengatakan, “Saya tetap akan memihak manusia. Saya akan buat keturunan perempuan ini mengalahkan ular.”
Nah, kalau kita cuma pikir ular yang biasa, kita pikir nggak ada yang hebat, siapa di antara Saudara yang berani dihadapkan dengan ular dengan senjata lengkap? Saya yakin kalau Saudara punya keberanian, Saudara tetap akan mampu kalahkan ular. Ular tidak sulit dikalahkan. Saya pernah lihat seorang ibu-ibu yang membacok ular sampai kepalanya putus. Kepala ularnya, bukan kepala ibu-ibunya yang putus. Dia membacok ular, gampang. Ibu dikasih 1 parang, lalu dia lihat ada ular, dia bacok, dan ularnya mati. Jadi, untuk manusia kalahkan ular, gampang. Tapi coba bayangkan kalau ular yang dimaksud di Taman Eden itu adalah kerub. Mana bisa manusia mengalahkan kerub? Tapi Tuhan mengatakan, “Aku akan membuat keturunan perempuan ini mengalahkan kerub.” Kerub itu makhluk Sorgawi, seperti malaikat, hanya mereka lebih berbijak dan lebih kuat dari malaikat. Lho, kalau mereka lebih kuat dari malaikat, kok manusia bisa kalahkan dia? Nah, ini yang jadi misteri yang nanti digenapi di dalam kitab Perjanjian Baru. Kristuslah yang menghancurkan pekerjaan setan. Jadi, Tuhan sudah menubuatkan keturunan perempuan akan menghancurkan setan, bukan menghancurkan ular biasa ya. Keturunan perempuan akan menghancurkan kerub yang jahat itu.
Nah, berarti Hawa sangat senang waktu melahirkan Kain. Dia langsung mengatakan di ayat yang ke satu, “Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan Tuhan.” Inilah yang Hawa anggap akan menjadi orang yang mengalahkan kerub yang jahat itu. Maka, Hawa tentu memberikan kedudukan spesial kepada Kain. Kain dianggap penting. Kain ini orang hebat. Kainlah yang dianggap menjadi tanda Tuhan akan mengalahkan kerub. Ini wajar, karena di dalam budaya orang Israel atau budaya Timur Dekat kuno secara umum, anak pertama dianggap sebagai ahli waris yang mampu meneruskan pekerjaan orang tuanya atau yang akan mewarisi janji yang Tuhan berikan kepada orang tuanya. Orang tua dapat apa, anak sulung yang akan teruskan. Maka, bukan hal yang aneh kalau Kain mendapatkan posisi spesial, diperlakukan spesial. Ini adalah anak emas. Inilah orang yang sangat penting di dalam pandangan Adam dan Hawa. Tetapi ketika ayat yang ke-2 mengatakan Hawa melahirkan Habel, adik Kain, Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani. Saudara lihat ya, ayat 2 tidak memberikan komentar apapun terhadap kelahiran Habel. Orang penting kalau lahir itu akan ada komentar yang dicatat. Maka, kelahiran Habel adalah kelahiran di dalam senyap. Bukan orang penting. Dia orang yang biasa. Dia orang yang dilahirkan dan diberi nama Habel. Sangat dekat kata “Habel” dengan pengertian uap, singkat.
Jadi, siapa Habel? Habel adalah anak Adam dan Hawa yang tidak diberikan prioritas seperti Kain diberikan prioritas. Hawa mengatakan kepada anak pertama, “Inilah yang akan dijadikan pertolongan dari Tuhan untuk kita mengalahkan ular.” Tetapi ketika Habel lahir, diam, tenang. Tidak ada komentar, tidak ada kalimat pujian apapun. Nah, jadi dari sini Saudara bisa baca yang satu anak yang spesial, yang 1 anak yang biasa. Nah, ini kan sangat berkait dengan hidup kita. Nah, ini cara baca Alkitab ya. Saudara mulai melihat apa yang dikatakan Kitab Suci lalu mulai dapat sense, “Apa yang ditulis di situ kok mirip dengan apa yang saya alami?” Nah, maka kita mulai sadar bahwa Alkitab ini buku yang sangat -sangat nyambung dengan kehidupan kita, bukan buku yang beda. Kita pun akan mengalami kondisi di mana orang-orang yang ada di dalam dunia mempunyai kesenangan kepada anak tertentu dan menganggap anak yang lain anak yang biasa. Ini terjadi dalam kehidupan keluarga-keluarga di dunia ini. Mungkin terjadi di dalam kehidupan keluarga kita. Mungkin Saudara adalah orang yang diperlakukan spesial oleh orang tua. Atau mungkin Saudara adalah orang yang dianggap biasa oleh orang tua. Mungkin Saudara mengalami iri kepada kakak atau adik yang ternyata lebih berbakat, lebih dianggap penting. Mungkin Saudara sudah muak dengan perkataan orang tua mengatakan, “Kenapa kamu tidak seperti kakakmu?” Ini perbandingan atau kaitan yang sangat indah sekali.
Maka kalau kita bisa baca Kitab Suci dengan tepat, kita baca menurut konteksnya, jangan kaitkan ke kita dulu. Waktu kita temukan konteksnya berbicara apa, langsung kita lihat ternyata nyambung. Nah, kecelakaan kita baca Alkitab adalah kita paksakan Alkitab mirip kita. Konteks kita dimasukkan ke Alkitab. Akhirnya kita sulit nyambungkan. Kita cuma baca konteks kita lagi di dalam Alkitab. Tapi, kalau kita baca Alkitab didalam konteksnya, kita akan lihat ternyata di dalam konteksnya Alkitab justru lebih nyambung dengan kehidupan kita sekarang. Maka, kita menemukan ada Kain, anak yang spesial dan ada Habel, anak yang biasa. Tidak dibenci memang, tidak dianggap rendah, tapi cuma dianggap tidak sepenting Kain. Nah, mungkin Saudara adalah orang tua yang mempunyai perlakuan keberpihakan atau pilih kasih seperti ini. Ya, kalau iya bertobat ya. Tapi ini sesuatu yang bisa terjadi. Tidak seharusnya, tapi sering terjadi. Orang tua mengatakan, “Ini anakku yang berbakat.” Ada orang yang mungkin punya anak sangat berbakat. Dari kecil sudah punya kemampuan apapun yang sangat hebat. Entah itu bermusik, entah itu prestasi di sekolah, entah itu kemampuan olah raga atau apapun. Lalu ada anak lain yang biasa-biasa. Di sekolah biasa-biasa, belajar musik sulit, nyanyi fals, kemudian disuruh bertanding olah raga sudah pingsan duluan. Maka, saudara mengatakan, “Wah, anak yang ini tidak sespesial anak yang pertama.”
Tapi pertanyaan yang berikut adalah, apakah keberpihakan kita, lalu preferensi kita, ini yang lebih spesial, ini yang tidak. Apakah itu cocok dengan preferensi Tuhan? Apakah ketika kita mengatakan, “Yang ini yang spesial, yang ini bukan.” Apakah Tuhan setuju dan mengatakan, “Ya, yang itu spesial, yang ini bukan.” Kalau kita baca dalam Kitab Suci, seringkali kasusnya terbalik. Tuhan, terutama di dalam kitab Kejadian sangat sering mendobrak konsep umum yang membuat orang berpihak kepada yang 1 dan mengabaikan yang lain. Misalnya di dalam kasus Esau dan Yakub, Tuhan mengatakan, “Saya sudah pilih Yakub dan saya tidak pilih Esau.” Di situ, di dalam Kitab Suci, dikatakan, “Aku mengasihi Yakub dan membenci Esau.” Saudara harus ngerti ya, di dalam cara orang Ibrani berbicara, kata kasih dan benci itu dinyatakan sebagai titik ekstrim. Bukan berarti Tuhan benci Esau. “Aku mencintai Yakub dan membenci Esau.” Ini eskpresi umum kalau saya mengatakan “Saya mencintai kopi dan membenci teh.” Artinya adalah saya lebih suka kopi daripada teh. Itu aja. Jadi, Tuhan mengatakan, “Saya mencintai Yakub, bukan Esau.” Bukan berarti Tuhan benci Esau. Ini musti kita mengerti karena ini cara orang Yahudi berbicara. Sebab orang Yahudi tidak punya cara perbandingan di dalam bahasanya selain cara ini. Jadi, kalau dibilang, “Saya mencintai anak sulung, membenci yang bungsu.” Bukan berarti orang itu membenci anak bungsunya, tapi dia simply mengatakan, “Saya suka yang sulung dan saya biasa terhadap yang bungsu.” Nah, harap ini kita bisa tangkap ya. Kalau nggak kita salah ngerti terus. Kok Tuhan benci Esau. Salah apa Esau sudah dibenci dari awal? Nah, ini yang bikin kita salah ngerti ya, karena cara berbahasa yang beda.
Makanya kita perlu ahli kitab untuk mempelajari dan mengajarkan kepada kita bagaimana sih cara Alkitab berbicara. Makanya kita perlu STT. Ada orang-orang ahli PL atau ahli PB yang ajar kita bagaimana menafsirkan Kitab Suci. Dan makanya seminar nanti penting, ini sekalian iklan tambahan. Nah, maka ketika dikatakan “Tuhan mencintai yang satu dan tidak mencintai yang lain,” waktu kita lihat siapa yang Dia cintai dan siapa yang Dia tidak cintai ternyata beda dengan manusia pada umumnya. Tuhan seringkali pilih yang bungsu, dan bukan yang sulung. Tuhan seringkali pilih yang kecil dan bukan yang besar. Kenapa begitu kita tidak mengerti? Kalau Saudara mencurigai mungkin karena Musa bukan anak sulung ya, maka waktu Musa sebarkan kitab Kejadian, dia sengaja twist, saya yakin nggak lah ya. Musa mana berani lakukan ini. Dia sudah lihat kekudusan Tuhan, dan dia tahu apa yang Tuhan lakukan kepada orang yang tidak setia. Maka, pasti bukan dari Musa tendensi keberpihakan kepada yang bungsu diberikan di dalam Kitab Suci.
Nah, maka di dalam kitab Kejadian pun sama. Tuhan ternyata menyukai Habel, bukan Kain. Orang tua dari Kain dan Habel pilih Kain. Paling tidak Hawa yang dicatat di sini. Hawa memuji kelahiran Kain dan diam waktu kelahiran Habel. Berarti Kain anak penting. Habel anak yang biasabiasa. Tapi di hadapan Tuhan, Habel yang penting, Kain biasa-biasa bahkan cenderung jahat. Tuhan lihat hati. Siapa yang jahat, Tuhan sudah ketahui dan Tuhan buang. Siapa yang murni hatinya, Tuhan pilih jadi milik Dia. Nah Saudara, di dalam Kitab Suci pilihan Tuhan mendahului kemurnian hati. Tapi, kita tidak bisa abaikan bahwa kemurnian hati membuat orang disukai oleh Tuhan. Maka, mari kita belajar punya hati yang murni, dengan jujur hidup di hadapan Tuhan. Karena kejujuran hati disukai oleh Tuhan. Kepura-puraan dibenci oleh Tuhan. Jangan pura-pura. Jangan lakukan apapun dengan ada motivasi tersembunyi di baliknya. Jangan kerjakan apapun untuk diri menonjol. Jangan buat apapun diselubungi oleh hal baik tetapi di dalamnya ada tendensi mementingkan diri. Tuhan tidak menyukai itu.
Mari kita murni. Murni menegur orang. Murni melayani Tuhan. Murni mengerjakan segala hal untuk Tuhan, bukan untuk diri. Karena Tuhan melihat hati dan Tuhan tahu siapa yang pura-pura, siapa yang tulus. Siapa yang main-main memakai kekudusan untuk menyembunyikan sifat egois dengan siapa yang tulus mengerjakan segala sesuatu untuk menaati Tuhan. Nah, maka Alkitab menyatakan Tuhan lebih suka Habel daripada Kain. Tapi Kain sudah terbiasa dengan pujian manusia yang akhirnya membuat dia salah menilai diri. Dia menilai diri sebagai seorang yang harusnya dipilih. Sebagai orang yang harusnya disenangi. Sebagai orang yang harusnya diutamakan, bukan Habel. Dan ternyata tendensi ini membuat dia makin sulit menghilangkan tabiat dosa.
Ini yang kita juga bisa pelajari, dosa itu sangat kuat mengacaukan kita. Kenapa ya? Karena kita selalu toleransi tendensi berdosa. Tendensi berdosa datang dari mana? Datang dari perasaan, “Saya seharusnya diperlakukan lebih dari ini!” Saudara perhatikan ya, ini sesuatu yang jadi peringatan dari Kejadian 4, jika saya merasa saya seharusnya diperlakukan lebih, saya seharusnya diberikan perasaan spesial lebih dari ini, maka Saudara akan kejar itu dan mulai mengabaikan orang lain. Sebaliknya, jika Saudara peka lihat orang lain, dan mengatakan, “Orang ini diperlakukan tidak adil, harusnya diperlakukan lebih. Orang ini harusnya diperlakukan lebih sepantasnya!” Nah ini menjadikan Saudara orang yang baik. Orang baik lihat orang lain, dan kalau ada orang lain mengalami keadaan buruk, orang yang baik akan perjuangkan orang lain tapi orang berdosa cenderung perjuangkan diri. “Saya kurang apa. Saya tidak diberikan apa.” Itu yang akan terus keluar. Nah ini yang kita lihat sebagai tendensi dosa. Bukan dosa ya.
Nah maka Saudara musti hati-hati, adakah tendensi dosa di dalam diri kita? Mungkin kita terbiasa dipuji, sehingga ketika pujian tidak datang kita mulai masuk ke dalam cengkeraman dosa. Hati-hati ketika Saudara memuji anak, misalnya. Waktu Saudara memuji anak, membandingkan dia dengan orang lain, mengatakan, “Anakku, kamu lebih hebat dari orang lain.” Heran ya kenapa orang lain yang dipuji? Wah anak ini mulai merasa dunia tidak adil kepada dia. “Kamu nak, harusnya ranking 1, kok cuma ranking 2? Yang ranking 1 siapa?”, “Oh anak si Bapak ini.” “Wah, anak itu lebih bodoh dari kamu, ini guru nggak beres. Kenapa bukan kamu yang ranking 1?” Ini membuat anakmu punya tendensi berdosa, mulai merasa dirinya jadi korban, mulai merasa dirinya tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya. Ini membuat orang tidak sadar akan dosa.
Ini terjadi pada Kain. Kain merasa dirinya harusnya dipuji, “Bukankah aku anak yang spesial? Bukankah aku dilahirkan karena pertolongan Tuhan kata mamaku? Bukankah aku orang penting?” Nah ini mulai membuat dia salah menilai diri, dia tidak menilai diri sebagai orang cemar yang perlu penebusan, dia melihat diri sebagai orang utama yang seharusnya diutamakan. Itulah sebabnya pendidikan anak yang tidak tunduk kepada prinsip Kitab Suci cenderung merusak anak. Orang zaman sekarang merasa kesulitan dari anak berkembang adalah kurang kepercayaan diri. Coba bangkitkan kepercayaan diri anak, dia akan jadi spesial, salah! Kekurangan dari anak di dalam zaman sekarang adalah kurang perhatikan orang lain. Kalau anak dididik untuk memperhatikan orang lain, dia akan dididik untuk berkembang dengan sempurna, tapi kalau dia dididik untuk pentingkan diri, dia akan sangat gampang dicengkeram oleh dosa. Pendidikan dan Kitab Suci saling berkait, kalau kita lupa selidiki Kitab Suci, lalu kita punya konsep pengajaran atau pendidikan anak yang salah, kita akan sangat susah untuk kembalikan anak itu ke dalam kekudusan.
Nah maka Kain merasa dirinya spesial dan seperti kita tau, spesial itu perlu konteks. Saudara merasa spesial di mana, Saudara akan senang ada di situ. Ada orang pintar sekali, maka dia akan anggap sekolah adalah konteks paling indah buat dia. Saudara pasti tau ya ada orang pintarnya memang kebangetan. Saya pernah punya teman yang pintarnya kebangetan. Kalau besok ujian, dia baru belajar paginya sebelum ujian. Jadi malamnya dia tenang-tenang. Kadang-kadang kami main, dulu waktu belum bertobat ya, nongkrong, main, lalu saya tanya dia, “Bukannya besok kamu ada ujian?” Dia bilang, “Iya.” “Loh kamu nggak belajar?” Dia bilang, “Apa itu belajar?” “Belajar untuk ujian!” “Besok pagi aja.” “Kamu udah ngerti, udah belajar sebelum nya?” “Nggak, belum, belum buka catatan.” “Terus gimana caranya mempersiapkan ujian?” “Ya besok aja!” Maka dia akan bangun pagi-pagi, lihat-lihat catatan sebentar, lalu selesai. Saya lihat dia percaya diri sekali, lalu saya mau hantam dia balik nanti kalau ujian dia rusak, saya nasehati dia, “Tuh kan! Makanya jangan main-main!” Tapi nilai dia nggak pernah rusak. Minimal 92, seringnya 98, kadang-kadang 100. Makanya saya tanya, “Berapa nilai ujianmu?” Dia bilang, “Kali ini kurang bagus” “Tuh kan! Saya bilang juga apa! Berapa memangnya?” “95” “Loh itu kurang bagus?” Dia tanya balik, “Kamu berapa?” “Nggak usah tau!” Karena saya lebih rendah. Saya sudah persiapan mati-matian, nilai lebih rendah. Dia nggak persiapan, cuma baca sedikit langsung dapat nilai tinggi. Memang jenius.
Dia pernah mengatakan ya, kalau dia lihat 1 lembar, cuma sebentar, berapa detik, lembar itu ditutup, dia langsung seperti punya foto di pikiran dia. Saya pernah uji, kasih dia tabel, ada 15 item di tabel itu, tabel akuntansi. Saya kasih lihat dia, OK sudah, saya tutup. Saya nggak tutup ya, saya lihat, lalu saya suruh dia baca, nomor 15 apa? Dia bilang nomor 15 item ini. Nomor 3, item ini. Nomor 7. Kok kamu bisa ya. Cuma baca berapa detik sudah hafal semua. Dia bilang, “Nggak tau, ini anugerah atau kutukan. Saya sangat terbeban dengan kepintaran ini. Karena saya jenius hidup saya berat.” Pengen dijitak ya ngomong kaya gini.
Ada orang memang sangat pintar, lalu kalau orang pintar tempat dia manggung di mana? Ya di sekolah, ya di kampus. Dia akan sangat senang berada di kampus, sangat senang berada di sekolah karena di situ dia unggul. Tapi kalau orang yang jagonya fisik, olahraga, dia akan anggap panggung dia itu adalah lapangan basket atau lapangan bola. Dia akan senang sekali berada di situ. Nah ada satu panggung lagi yang orang sering tidak sadar jadi panggung. Apa itu? namanya adalah tempat suci, tempat agama. Tempat agama juga jadi panggung. Ada orang yang menjadikan gereja jadi panggung dia, panggung apa? Panggung pamer kekudusan. “Memang benar ada orang pintar di kampus, tapi mereka bukan anak Tuhan. Ada orang jago olahraga, tapi apa itu olahraga? Semua yang di dunia akan binasa, hanya Firman Tuhan yang kekal selamanya. Dan saya ngerti Firman Tuhan.” Jadi gereja jadi panggung. “Kamu ranking berapa di sekolah?” “Nggak peduli, yang penting saya aktif di gereja.” Kadang-kadang mahasiswa kejangkitan penyakit ini lho.
Saya bicara dengan ada beberapa orang aktif di kampus di Bandung yang saya tidak usah sebut itu ITB ya, sudah disebut ya. Sudah tau ITB tempat orang-orang pintar ya, dan ini orang pintar, sangat pintar. Lalu dia mengatakan, “Pak, saya mungkin nggak akan lulus.” Saya kaget. “Kenapa?” “Karena saya sudah batas untuk bikin skripsi, sudah mungkin akan di DO.” “Kenapa?” “Ya, memang mungkin dunia bukan tempat saya.” Oh saya ngamuk dibilang begitu. “Maksudmu gimana?” “Gimana ya pak, saya memang bukan di dunia lah, saya panggilannya itu di gereja.” “Nggak bisa. Kamu punya tanggung jawab di dunia akademik ini.” “Saya nggak di sini, itu dunia milik setan kok pak. Banyak intrik-intrik di situ. Kalau gereja itu tempat suci.” “Bukan, gereja bukan tempat suci, tapi kamu lebih unggul di gereja dibandingkan di kampus. Kalau di gereja orang puji kamu kan? Oh aktif ya. Ada persekutuan apa kamu datang, ada apa kamu datang, ini terlibat, itu terlibat. Orang anggap kamu hebat di sini. Sedangkan di kampusmu, kamu dianggap belakang. Karena di sana kamu dianggap ekor, di sini kamu dianggap kepala, maka kamu senang di sini. Itu bukan motivasi suci. Kamu senang dipuji maka kamu ada di gereja. Kamu benci dihina di kampus, maka kamu anggap kampus bukan tempatmu. Coba berjuang di tempat kamu dihina, kamu maju!” Akhirnya saya paksa, nggak bisa. Istri saya paksa baru bisa. Istri saya bisa lebih galak lho. Jadi dia terus tanyain tiap hari, istri saya konsisten tanya, “Bagaimana? Sudah bab berapa?” “Belum.” “Nggak bisa, harus!” Kadang di gereja diusir pulang. Datang ke gereja, “Mau ngapain?” “Ada rapat KKR” “Nggak. Kamu pulang!” “Lho saya terbeban.” “Nggak, kamu pulang! Belajar.” Dia pulang. Akhirnya lulus. Setelah lulus di dalam ucapan terima kasih dia mengatakan, “Terima kasih untuk kegalakan Pak Jimmy dan istri. Karena galaknya mereka saya tertolong, hampir DO.” Kenapa hampir DO ya? Karena dia nggak merasa unggul di situ.
Hati-hati ya, orang aktif melayani Tuhan, motivasi nya apa? Karena memang cinta Tuhan atau merasa unggul? Cara ujinya bagaimana? Cara ujinya adalah kalau orang aktif itu nggak dikasih kesempatan, dia marah nggak? Tadinya dipercayakan jadi panitia ini, jadi panitia itu, jadi liturgis, jadi apa lagi sih di sini, apa pun lah yang tinggi-tinggi ya. Lalu satu kali nggak dipercaya lagi. Ngamuk atau nggak? “Kenapa aku tidak dipercayakan lagi?” “Oh nggak, kali ini orang lain.” “Nggak bisa, aku ini orang penting di sini.” “Oh ya, OK, kali ini orang lain.” “Nggak bisa!” Nah ini problem, berarti dia merasa unggul di tempat ini, dan dia ingin pelihara keunggalannya.
Nah Saudara kalau baca teks dari Kejadian 4, kira-kira Kain unggul di mana? Di mana dia merasa inilah tempat aku dihargai? Di ibadah. Tau dari mana? Karena waktu persembahan Kain ditolak, dia ngamuk bukan main. “Saya punya persembahan nggak boleh ditolak.” Berarti kan ini aspek rohani. Kain adalah orang yang terbiasa dipuji di dalam ibadah. Oh menakutkan lho, Kain bukan penjahat yang ada di pinggir jalan, Kain bukan orang yang suka merampok, Kain bukan orang yang merasa brutal lalu dia pukul orang lain. Kain adalah orang yang rajin ibadah, dan karena itu waktu ibadah dia tidak diterima dia marah bukan main. Ini jelas dikatakan, “Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu” Ini kata yang dipakai dalam “persembahan” ini adalah “minkhah”. Dan minkhah kalau Saudara baca di dalam Kitab Imamat, memang terdiri dari hasil ladang. Jadi Saudara kalau ngerti bahasa Ibrani, Saudara tidak akan mengatakan persembahan Kain salah karena dia tidak mempersembahkan darah. Nah tafsiran dari kaum Injili kan kebanyakan mengatakan harus ada darah dalam korban. Tapi itu karena tidak mengerti bahasa Ibrani. Di dalam penggunaan bahasa Ibrani jelas, Kain mempersembahkan persembahan yang dianggap sah di dalam Kitab Imamat.
Di Kitab Imamat ada persembahan bentuknya roti, ada persembahan bentuknya tepung, ada persembahan bentuknya hasil ladang, ada persembahan bentuknya korban. Masing-masing ada guna. Maka Kain mempersembahkan sesuatu yang di dalam Kitab Imamat disahkan oleh Tuhan menjadi persembahan wajib. Nggak ada yang salah dengan persembahan Kain. Jadi Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanahnya, ini sesuatu yang wajar dia berikan. Kalau Saudara bilang, “Pak, kan dia cuma berikan sebagian” Memang Tuhan cuma tuntut porsi. Tuhan nggak tuntut semua, kalau semua diberikan, lalu dia makan apa ya? Saudara tau ya di dalam gereja ada namanya perpuluhan. Perpuluhan itu berapa? 10% ya. Kenapa ga disebut persembilanpuluhan? Kenapa nggak 90% dikasih untuk Tuhan, 10% untuk kita? Karena Tuhan memberi untuk Saudara menggunakan yang 90%. Tuhan mau memberkati hidupmu maka Saudara diperintahkan oleh Tuhan untuk beri 10% saja. Itu pun sudah berat bagi banyak orang ya. Banyak orang yang kikir, bukan orang yang kesulitan. Kadang-kadang orang miskin lebih rela kasih perpuluhan daripada orang yang sudah banyak uang karena jumlahnya gede.
Saya ingat ada sharing dari 1 orang di Bintaro ya, 1 orang yang sangat saleh, dia mengatakan dia pernah bergumul tentang perpuluhan. Bukan waktu miskin tapi waktu sudah kaya. Dia lihat jumlah penghasilan dia, lalu dia lihat perpuluhan, “Wih, kok gede banget! Ini bisa beli apa ini ya, bisa beli arloji baru, bisa beli mobil. Masa perpuluhan segede ini.” Lalu dia mulai berpikir, Tuhan engkau memaklumi kalau aku tidak sanggup memenuhinya. Tapi Tuhan tegur dia dengan mengatakan, “Waktu kamu miskin nggak pernah ada problem ini kan? Kenapa sekarang waktu banyak duit kamu problem dengan beri perpuluhan?” Ini yang menegur hati dia. Akhirnya dia bertobat, bukan bertobat dari salah ya, dia belum melakukan kesalahan, dia membalikkan hatinya dan mengatakan, “OK Tuhan, saya mau belajar taat kepada-Mu dalam hal perpuluhan.”
Jadi memang Tuhan tidak tuntut Kain harus kasih semua hasil ladang, sama seperti Tuhan tidak tuntut Habel untuk potong semua dombanya, lalu persembahkan ke Tuhan. Habel ambil 1 ekor domba, Kain ambil sebagian, secara porsi, mungkin Kain lebih besar. Nah maka Kain mempersembahkan jenis persembahan minkhah, Habel mempersembahkan jenis persembahan korban bakaran. Nah 2 orang mempersembahkan korban, Kain merasa saya memang saleh, saya biasa dipuji di dalam ibadah, saya milik Tuhan kok, saya disenangi oleh mama, saya adalah yang diberikan Tuhan untuk keluarga ini, untuk umat manusia. Tapi 1 kali itu, Tuhan terima korban Habel, Tuhan tolak korban Kain. Nggak dikasih tau kenapa. Kenapa Tuhan tolak korban Kain? Di dalam Kejadian 4 tidak dicatat. Tuhan cuma mau kita belajar bahwa kalau Tuhan menolak korban kita, belajar untuk cari tau, bukan belajar untuk membenci orang lain. Ini pilihan yang Tuhan hadapkan kepada Kain, “Sekarang Saya tolak persembahanmu, apa yang mau kamu lakukan?” “Oh, persembahanku ditolak, salah siapa ini?” Dia tidak tanya apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku perbaiki. Alkitab tidak beritahu apa kesalahan Kain. Tapi sangat mungkin, ini sangat mungkin ya karena Alkitab nggak bilang ini cuma spekulasi, sangat mungkin Tuhan ingin Kain mempersembahkan korban dengan perasaan diri tidak layak, bukan dengan perasaan diri layak. Orang yang rasa diri layak, lalu beri sumbangsih, seringkali tidak mempersembahkan persembahan dengan tulus. Nah ini kasusnya Kain menurut saya, tapi tentu karena Alkitab tidak catat, kita hanya bisa bilang ini adalah kemungkinan.
Intinya adalah Tuhan tidak beritahu kenapa Kain persembahannya ditolak, lalu Kain yang sudah ditolak persembahannya melihat Habel dengan cara yang marah. Ayat 5, “tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.” Saudara, kata-kata ini, hati panas dan muka muram itu seperti sebab akibat ya. Hatinya panas maka mukanya muram. Muka muram itu apa sih? Saudara, di dalam Kitab Suci, muka yang mencerminkan cahaya adalah muka yang memberikan hidup. Muka yang muram adalah muka yang kehilangan semangat hidup. Di sini Kain kehilangan semangat hidup, dia tidak rasa ada arti lagi dari hidupnya, dia tidak rasa hidupnya berguna.
Dan Saudara perhatikan peringatan dari Kitab Suci. Kain merasa hidupnya tidak berguna, itu berbanding dengan kebencian yang makin tinggi. Makin benci, makin rasa hidup tidak berguna, makin sulit mengampuni orang, makin rasa hidup tertekan dan tidak ada semangat lagi. Coba perhatikan, ketika Saudara punya kebencian terhadap orang lain, hidup sendiri pun jadi tidak ada terang. Kita pikir kalau kita benci orang lain, orang lain yang rugi, tidak! Saudara benci orang lain, hidupmu yang terambil dari engkau. Jangan bodoh! Jangan benci orang! Karena Saudara terus pelihara kebencian, hidupmu tidak ada cahaya. Kalau Saudara membenci orang dan tidak juga bertobat, coba perhatikan bagaimana hidupmu dijalani. Apakah makin ceria? Makin cerah? Makin penuh sukacita? Makin penuh livelihood? Makin penuh semangat hidup? Tidak! Saudara makin muram, Saudara makin tidak punya semangat, makin tidak ada gairah hidup. Kalau Saudara benar tidak punya gairah hidup karena apa? Karena ada kebencian. Matikan kebencian dan gairah hidupmu akan pulih lagi.
Ini dinyatakan jelas di dalam Kitab Suci. Kain makin marah, dia marah kepada Habel, dan di saat yang sama cahaya wajahnya pudar, tidak ada semangat lagi untuk jalani hidup. Dia tidak merasa dirinya penting lagi, yang tadinya biasa dipuji, sekarang ditolak langsung rasa hancur. Orang yang biasa ditolak lebih kuat menerima penolakan. Ini khusus anak muda ya, Saudara pernah ditolak? Jangan hilang harapan, wajahnya murung, kemudian menyalahkan dunia. Semua disalahin, “Kenapa orang itu menolak saya?” Ini laki-laki ya, ditolak perempuan. “Saya ditolak perempuan idolaku, kekagumanku hilang. Aku nggak rasa ada gairah hidup lagi. Aku ditolak.” Sakit hati ditolak, mulai menyalahkan semua, “Kenapa papaku kurang ganteng. Kalau papaku lebih ganteng, aku juga ganteng kan. Ini salah papaku kenapa dia nggak ganteng. Tapi kalau dipikir-pikir, bukan salah papa. Salah siapa? Salah kakek, coba kalau kakek ganteng, papa pasti ganteng, saya juga ganteng. Karena kakek bukan orang Korea sih ya, makanya saya kurang ganteng.” Lalu pikir-pikir, kakek juga bukan salah dia ya, kenapa dia kurang ganteng, karena kakeknya lagi. “Jadi kakeknya kakeknya saya, itulah yang jadi problem. Tapi dia juga nggak salah.” Ujung-ujungnya Tuhan yang disalahin.
Coba lihat ya, orang yang baru patah hati ujung-ujungnya salahin Tuhan, itu karena dia punya, istilahnya kalau Aristotle mengatakan, punya kemampuan mengurutkan yang hebat. Kenapa aku ditolak? Salah papa. Papa salah siapa? Salah papanya papa. Papanya papa salah dari mana? Dari papanya papanya papa. Lalu siapa first cause? Allah. Kalau gitu aku nggak mau ke gereja lagi. Nah ini sering terjadi ya, kalau terjadi di Jogja itu hanya kebetulan belaka dalam khobah saya bukan sengaja saya mengangkat kasus itu ya.
Jadi orang mengatakan, “Saya ditolak?” Kenapa ditolak, “Nggak tau, pokoknya saya marah.” Menyalahkan dunia, dunia tidak adil, salah Presiden kenapa aku ditolak. Tetapi kalau orang sudah biasa ditolak, dia mulai handle penolakan dengan lebih bijak. Saya pernah punya 2 orang teman, yang satu sudah nggak mau hidup, kenapa ditolak perempuan. Yang 1 lagi bilang, “Saya sering ditolak, fine-fine aja.” Saya nggak bilang Saudara harus ditolak terus ya, cuma intinya adalah kalau engkau ditolak itu nggak jadi problem besar karena you are nobody. Kalau engkau bukan siapa-siapa terus ditolak terus kenapa? Yang bikin kamu susah hati adalah kamu anggap dirimu terlalu hebat sih. Terus kalau ditolak bagaimana? Ya sudah kamu memang bukan siapa-siapa. Lalu kalau saya bukan siapa-siapa apa yang harus saya lakukan? Alkitab menyarankan kita maju, meningkatkan diri, bukan membuat diri menjadi depresi dan kosong. Kalau Saudara mengatakan, “Saya ditolak.” “Kenapa ditolak?” “Mungkin cara komunikasi saya buruk” Ya sudah perbaiki cara komunikasi. Mungkin orang tidak melihat saya punya wibawa, ya perbaiki dong, miliki wibawa. Berani ambil keputusan, berani pimpin orang lain. Mungkin orang lihat saya kurang pintar, ya belajar. Mungkin saya kurang pengetahuan, ya Google lah, Wikipedia, apa pun, banyak kok. Jadi Saudara, improve itu lebih penting daripada mengasihani diri.
Nah itu sebabnya ketika orang terbiasa dianggap tinggi, sekali dia dianggap rendah marahnya bukan main. Yang terbiasa dipuji sulit menerima kegagalan. Tapi hidup itu adalah tentang belajar lho. Saudara belajar waktu sukses juga belajar waktu gagal. Belajar waktu persembahan diterima tidak jadi sombong, belajar waktu persembahan ditolak mulai koreksi diri. Tapi Kain nggak bisa terima, “Saya biasa dipuji, nggak boleh ada yang hina.” Dan yang paling menakutkan adalah Kain menganggap mezbah Tuhan itu adalah panggung dia untuk menonjol. Saudara bayangkan ya apa yang bikin Kain marah? Yang bikin Kain marah adalah dia ditolak Tuhan. Jadi dia sangat rindu Tuhan, dia rindu diterima Tuhan. Ini bukan orang sekuler, kalau kita mau kaitkan dengan hidup kita sekarang, ini bukan orang yang nggak pernah ke gereja, ini bukan orang yang nggak kenal Tuhan, ini bukan orang atheis. Ini adalah orang yang kerinduannya adalah Tuhan. Loh kalau dia kerinduannya adalah Tuhan, problem-nya apa dong? Problem-nya adalah dia berpusat ke dirinya terlalu banyak, bahkan kerinduannya kepada Tuhan pun adalah untuk memberi makan ego dia. Banyak gereja melakukan ini kepada jemaat, kerinduan kepada Tuhan dikaitkan dengan ego, “Aku merindukan Tuhan.” Kenapa? “Karena Dia baik sama aku.” “Aku rindu Tuhan karena Dia memberkati aku” Selalu “aku” nggak pernah “orang lain”. Makin aku yang ditinggikan, bahkan ibadah pun menjadi cemar karenanya.
Nah maka Kain sangat rindu diterima Tuhan dan ternyata Tuhan tolak dia. Dia marah bukan main. Makin marah, dia perlu sasaran, “Yang bikin saya gagal bukan diriku, yang bikin saya gagal Habel. Kenapa Habel lebih baik dari saya?” Maka marah diiringi iri hati, itu hal yang sering terjadi. Sudah marah, menyalahkan orang lain. Sudah marah, mengatakan semua salah kecuali dirinya. Sering kali di dalam perdebatan dan di dalam penggembalaan ini terjadi. Orang yang bertengkar selalu membuat orang lain itu jadi salah. Saya menemukan ya, kalau konseling suami istri, nggak pernah konseling satu-satu, dua-dua langsung ketemu ngomong. Karena kalau ketemu satu-satu, semua orang itu punya bakat membuat kita benci orang lain. Kalau kita ngomong sama suaminya, dia mulai bicara, “Pak, gimana ya perasaan Bapak, kalau istri jahat. Apa pun salah, semuanya maki-maki, saya merasa sebagai laki-laki yang direndahkan.” Wah saya mulai emosi, kok ada perempuan kaya gini ya. “Iya Pak, saya salah sedikit pun langsung dimarahin. Apa pun salah. Gimana ya?” Lalu begitu bicara sama istri, ternyata ada alasan kenapa dia begitu. “Kenapa kamu sering marah-marah sama suami?” “Habis gimana ya Pak, dia sembarangan bergaul sama orang, ngomong-ngomong sama perempuan lain dengan akrab. Mana bisa saya tenang. Lalu nggak pernah bertanggungjawab dalam keuangan.” Jadi saya jadi benci suaminya. Jadi tergantung ngomong sama siapa ya, manusia punya bakat untuk menjatuhkan orang lain hebatnya bukan main. Kita bisa benci orang karena tuturan dari seorang yang membenci orang itu juga. Makanya kalau konseling suami istri, panggil dua-duanya kalau mau berantem, berantem dulu di situ kita tunggu siapa yang menang. “Sudah beramtem selesai? Kita lanjutkan konseling kita.” Kalau nggak kita diseret ke dalam berita yang bikin kita benci pasangan dia, padahal mungkin pasangan dia yang lebih benar.
Nah maka orang mempunyai tendensi untuk menyalahkan orang lain, nggak ada niat untuk perbaiki diri. Ini yang terjadi pada Kain. Kenapa persembahanku tidak diterima? Pasti karena Habel. Dia mulai benci Habel. Habel salah apa ya? Habel nggak ngerti apa-apa, “Aku mau menyembah Tuhan, aku bawa korban” Habel adalah orang yang terbiasa dianggap rendah. Dia nggak pernah punya pengetahuan kakaknya punya niat jahat terhadap dia. Habel adalah contoh orang polos yang tidak pernah dicatat berbicara. Di dalam surat Ibrani dikatakan Habel adalah orang yang unik karena dia baru dicatat berbicara setelah dia mati. Waktu dia hidup, seperti tidak ada bicara penting yang dikemukakan.
Nah maka Saudara sekalian kalau kita lihat teks dari Kejadian 4, Kain punya perkataan jauh lebih banyak dicatat di sini, Habel tidak ngomong apa pun. Yang sering bicara tidak tentu lebih baik. Yang hidupnya tenang, baik-baik, hidup saleh, hidup taat kepada Tuhan, hidup mengasihi, meski pun tidak menonjol, tidak punya bakat untuk bicara, tidak punya kemampuan memimpin, tapi hidup baik-baik, saleh, mengasihi, dia jauh lebih disukai Tuhan daripada orang punya bakat rohani luar biasa tapi hatinya terus lihat ke diri. Nah maka Habel tidak ada salah, orang polos yang juga tidak menonjol. Dia cuma tau kalau disuruh kasih korban ya kasih. Kalau disuruh mencintai ya mencintai. Kalau disuruh beribadah ya beribadah. Hatinya begitu murni tapi orang begitu murni kenapa dibenci? Problemnya di Habel? Bukan! Problemnya di Kain, dia membenci dan kebencian itu bikin dia kehilangan semangat hidup dan dia membuat orang lain kehilangan hidup. Benci itu adalah sangat menakutkan. Benci bikin orang yang membenci mati, benci bikin orang yang membenci ingin mematikan orang lain.
Dan ini terjadi pada Habel, di dalam ayat yang ke-6, Tuhan mengingatkan Kain, “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?” Tuhan menegur dia. Ayat yang ke-7, “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik?” Maksudnya adalah matikan dosamu supaya kamu berseri lagi. Ini Tuhan sudah kasih tau apa yang bisa jadi solusi. Tuhan itu pemberi solusi, kita ini selalu yang jadi mempermasalahkan solusi. Apa pun solusi dari Tuhan, selalu ada problemnya. Jadi ini bisa dikatakan apa pun solusinya, selalu ada problem. Saudara pernah ketemu orang seperti ini? Diberikan solusi dia bilang, “Tapi” selalu ada tapi nya. Ini orang yang paling sulit dikonseling ya. “Ayo Bapak, lebih rajin berdoa.” “Tapi Pak, kan berdoa itu susah kalau nggak ada pokok doa yang didoakan.” “Oh kami berikan pokok doa” “Tapi kan kalau nggak terbeban doakan itu jadi pura-pura doanya” “Ya belajar berbeban” “Tapi nggak bisa Pak”. Semua salah. Jadi, konselingnya musti ngomong apa dong? Ya tinggal ngomong, “Semaumu lah!” Nah itu kata kunci bagian akhir untuk orang yang selalu punya problem untuk setiap solusi.
Tuhan berikan solusi ke Kain, Tuhan mengatakan, “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Kamu benci, hidupmu hancur. Bagaimana supaya hidupmu baik? Supaya hidupmu baik, mukamu berseri lagi, hancurkan kebencian, matikan dosa, matikan dosa, matikan kebencianmu, matikan hawa nafsumu, matikan tendensi yang membuat engkau menjadi orang serakah, matikan apa pun yang membuat engkau sangat gampang dijerat oleh dosa.” Ini yang Tuhan katakan, “Matikan dosa dan mukamu akan berseri. Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Coba berbuat baik” Maksudnya berbuat baik adalah arahkan hatimu untuk orang lain, jangan terus lihat diri. Ini nasihat Tuhan yang sangat indah sekali. Kamu mau diperbaiki, perbaiki arah hidupmu, jangan ke diri terus, tapi lihat ke orang lain. Ini sebenarnya yang dimaksudkan, mukamu akan kembali berseri jika engkau berbuat baik. Tapi Tuhan peringatkan, ini peringatan Tuhan sudah clear sekali ya, jangan bilang, “Ah Kain kan nggak dipilih Tuhan maka dia hancur” Salah! Memang benar Tuhan tidak pilih dia, tapi bukan itu issue nya di sini, issue nya di sini adalah dia sudah dengar Firman dan dia tidak mempedulikannya. Kenapa dia nggak peduli ya? Karena dia tidak merasa dirinya jahat, dia merasa dirinya korban.
Saudara hati-hati, orang berdosa sangat merasa dirinya terhimpit. Lalu dia tidak tau bahwa dosa membuat dia menderita. Ini satu hal yang secara psikologi pun dimengerti, orang yang rasa dirinya menderita, selalu tidak rasa diri salah. “Aku menderita kok, aku korban. Karena saya menderita, saya pasti korban.” Dan ini yang dialami Kain, Kain merasa diri tidak perlu bertobat, “Lho saya yang dijahatin, Tuhan kan jahat sama saya, saya punya korban kenapa nggak diterima? Kenapa Habel lebih diterima? Kenapa lebih sayang Habel? Kenapa aku diabaikan?” Jadi Kain tidak rasa diri salah karena dia menderita. Tapi perhatikan ya, ini di dalam konseling dari tradisi reform itu sangat ditekankan, orang berdosa juga adalah orang menderita, dosa bikin kita menderita. Jadi jangan pikir kalau kita menderita berarti kita korban. “Ah saya sudah dijahatin, saya sangat marah, makanya saya sangat tertekan. Karena saya tertekan, berarti saya nggak salah.”
Saudara, ada 1 orang, ini kasus saya baca, bukan terjadi di gereja saya, atau terjadi di sini. Ada 1 orang dari kasus yang saya baca di buku, sebuah buku teologi. Orang ini berselingkuh, jadi dia punya perempuan lain, dan dia jatuh dalam dosa karena perempuan ini. Lalu setelah itu hatinya dikejar rasa bersalah, dirinya sangat rasa bersalah, kemudian banyak penyakit mulai muncul, tekanan darah jadi tinggi, kemudian banyak gejala-gejala yang sangat sulit dia terima. Akhirnya dia sangat menderita, sudah sangat menderita, dia menjadi sangat-sangat negatif, lalu dia mengatakan, “Saya ini korban!” Dia mulai salahkan banyak orang. Waktu dikatakan, “Kamu kan berdosa, kenapa kamu lakukan ini?” Dia mengatakan, “Saya bukan pendosa, saya korban, saya dijahatin. Kenapa saya begini, kenapa saya menderita?” Lho dosa memang bikin menderita kok. Saya nggak bilang orang menderita pasti berdosa ya, tapi dosa pasti bikin menderita, ini 2 kawan akrab. Saudara berdosa, pasti menderita. Bukan menderita secara fisik mungkin, tapi menderita secara batin, merasa diri tidak punya kenikmatan hdiup, merasa segala sesuatu salah. Mungkin Saudara mulai merasa kecewa dengan gereja lalu tidak ada kenikmatan beribadah lagi, lalu makin mempersalahkan gereja karenanya. “Aku nggak menikmati beribadah berarti gereja yang salah” Lho bukan, jika engkau punya kerohanian lagi rusak, apa pun bentuk ibadahnya akan membuat engkau sengsara kok. Dosa membuat sengsara.
Nah ini yang diajarkan di dalam Kejadian 4, Kain tidak bisa ditegur, karena dia rasa dirinya korban, “Tuhan kok tegur saya, saya ini korban lho.” Korban siapa? “Korbannya Habel. Dia perongrong hidup saya, hidupku akan makin baik kalau dia nggak ada. Kenapa dia musti ada?” Jadi Kain sekarang membenci Habel. Lalu dia mulai mentaati kebenciannya dan tidak mentaati Tuhan. Ini cerminan dari Kejadian 3, Hawa lebih menyukai perasaannya ketimbang mendengar Firman. Dia sudah dengar Firman, tapi perasaannya lebih nyaman kalau makan buah. Demikian Kain, dia sudah dengar Firman tapi perasaannya lebih nyaman kalau dia bunuh Habel. Saudara, nggak ada orang berdosa yang tidak punya alasan untuk dosanya. Kain bunuh Habel, jahat? Menurut Kain dia nggak jahat. Kenapa nggak jahat? Karena Habel yang jahat, dia sepantasnya mati.
Kalau lihat orang sudah bunuh orang lain, bisa 2 yang terjadi, menyesal, atau yang kedua, puas. “Karena dia memang harusnya mati kok, saya benci sekali sama dia!” Kain membenci Habel tanpa alasan. “Lalu Kain mengatakan kepada Habel, “Marilah kita pergi ke padang.” Ketika mereka ada di padang, tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia.” Saudara ayat 8 ini adalah puncak dari kejahatan Habel karena dia melakukan kejahatannya sambil purapura baik, “marilah kita ke padang”. Kenapa Habel mau pergi? Karena Habel tidak mendeteksi kebencian Kain. Kain menyembunyikannya dengan sangat baik, dan Kain masih berfungsi sebagai kakak yang baik. Mungkin dia memang terbiasa ajak Habel jalan, mungkin memang dia terbiasa melindungi Habel dan Habel merasa nyaman dengan kakakny. Dia tidak rasa kakaknya jahat, dia rasa kakaknya pelindung bagi dia. Dia rasa kakaknya adalah contoh bagi dia. Dia merasa aman kalau berjalan dengan kakaknya.
Kejahatan orang yang paling besar adalah menipu orang yang mencintai dia, mencintai orang yang mencintai dia ya. Jadi siapa yang menipu orang yang mencintai Saudara, Saudara orang yang jahat sekali. Suami yang menipu istri yang mencintai dia, jahat. Istri yang menipu suami yang mencintai dia, jahat bukan main. Teman yang menipu teman yang mencintai dia, jahat. Maka jangan biasakan kejahatanmu muncul terus, belajar mengetahui orang mencintai engkau. Dan engkau mencintai orang. Belajar mengasihi, bukan belajar membenci. Belajar menerima bukan belajar mengungkapkan dengan kebencian hal-hal yang menyakitkan hatimu. Makin mengungkapkan kebencian, itu tidak menolong. Orang selalu berpikir kalau curhat orang akan jadi lebih baik, tidak! Curhat membuat kita dibentuk di dalam kebencian kita. Kitab Suci menyatakan ulangi mengajarkan tentang Tuhan berulang-ulang, katakan kepada anakmu tentang Tuhan berulang-ulang. Kenapa musti berulang-ulang? Karena dengan berulang-ulang mengucapkan, dengan berulang-ulang mendengar, kita terbentuk di dalam. Kalau Saudara punya kebencian, itu yang terus diungkapkan berulang-ulang, kebencianmu makin besar. Jangan biasa menceritakan kebencian terus, terus, dan terus karena Saudara makin membenci. Kebencian itu makin ditumbuhkan ketika Saudara punya liturgi kebencian. Tapi kalau Saudara belajar liturgi pengampunan, Saudara akan lebih baik di dalamnya.
Nah Kain tidak ngerti itu ya, Kain membenci Habel dan dia meski pun menunjukkan kebaikan tapi dia tetap punya hati yang mau bunuh orang ini. Nah Saudara di dalam tradisi orang Yahudi, kakak adalah pelindung adik, kakak adalah penjaga adik. Kalau adik tersesat, kakak yang bertugas untuk balikkan. Saudara tau perumpamaan anak yang hilang? Tau ya. Ada yang tau tidak, kenapa sih Bapak itu tidak mencari anak bungsu yang hilang? Kan kita lihat contohnya ya, ada gembala punya 100 domba, 1 ekor sesat, siapa yang cari? Gembala. Gembala mencari domba yang sesat. Lalu ada perempuan punya 10 dirham, hilang 1, siapa yang cari? Perempuan itu, dia cari. Sekarang si Bapak kehilangan anak bungsu, kenapa dia tidak cari? Jawabannya adalah karena di dalam tradisi Yahudi yang harusnya cari itu kakak, bukan bapak. Jadi kalau adiknya hilang, kakaknya yang cari. Kalau kakaknya hilang, baru bapaknya yang cari. Jadi karena si adik yang hilang, si Bapak ini, sang Bapak itu menunggu sang sulung pergi mencari adiknya yang hilang. Apakah sang sulung pergi? Tidak.
Nah ini prinsip yang Tuhan mau tekankan, gembala kehilangan domba, dia cari. Perempuan kehilangan dirham, dia cari. Anak sulung kehilangan anak bungsu, sulung nggak cari. Ini Tuhan mau kritik orang Farisi, “Kamu kehilangan pemungut cukai, kamu kehilangan orang berdosa ini, kenapa kamu tidak cari?” Nah jadi Saudara jangan salah sangka ya, jangan bilang “Oh si Bapak kok nggak cari?” Oh karena Bapaknya males, karena Bapaknya nggak mau pergi, mungkin udah encok, atau mungkin asam urat, atau mungkin nggak tahan cuaca luar negeri. Bukan! Bapaknya tidak cari karena anak yang sulung harusnya cari. Saudara bayangkan perasaan si Bapak ini ya, “Anak bungsuku hilang, anak sulungku tidak cari.” Hati dia sakit karena 2 orang ini. Tapi apakah dia benci? Tidak. Sang Bapak yang baik tidak benci yang bungsu, waktu bungsu pulang mengatakan, “Papa jadikan saya budak” Papanya bilang, “Tidak. Saya jadikan kamu anak!” Dia tidak dendam kepada anak. Lalu ketika anak sulung marah-marah, “Papa anak kita yang bungsu sudah menghabiskan uang, foya-foya dengan pelacur, sekarang pulang diberikan pesta.” Bapaknya marah nggak? Dia semprot anak sulung ini, “Sulung, kamu bukannya pergi mencari, saya sudah tunggu lama kamu cari, kamu nggak cari-cari.” Tidak, bapaknya mengampuni kegagalan si sulung mencari si bungsu. Si Bapak mengatakan, “Anakku, yang saya punya kamu punya.” Si Bapak mengampuni lho.
Nah Saudara kalau nggak belajar pengampunan Tuhan memang sulit ya, hidupmu penuh kepahitan terus, dan wajahmu muram. Pakai make up apa pun nggak bisa, bahkan operasi di Korea pun nggak menolong. Mukamu akan muram terus. Nah maka sang bungsu kembali bukan karena dicari sulung, ini yang Tuhan Yesus mau katakan kepada orang Farisi, “Tau tidak pemungut cukai ini bertobat bukan karena kamu cari. Mereka bertobat karena Tuhan beranugerah dan Tuhan memutuskan beranugerah tanpa pakai kamu. Tuhan memutuskan mengembalikan anak bungsu tanpa pakai si kakak.” Jadi dalam tradisi orang Yahudi, kakak adalah pelindung adik. Bayangkan betapa besar percayanya Habel kepada Kain, “Inilah pelindungku.” Kalau kita jalan ke padang, padang tempat yang terbuka dan tidak dihuni manusia, kalau jalan ke padang bertemu binatang buas bagaimana? “Ada kakakku menolong.” Dia tidak tau kakaknya lah binatang buas itu. maka di tengah padang dia dipukul dan dia mati. Dia adalah korban dari orang yang seharusnya mencintai dan melindungi dia. Kain tidak punya alasan membenci Habel, Habel bukan ancaman bagi dia. Habel sangat menghormati Kain, Habel menganggap tinggi Kain tapi Kain membenci Habel.
Saudara coba pikirkan, mungkin orang yang Saudara benci sebenarnya mencintai engkau. Lalu Saudara terus hantam dia dengan kebencian. Mari kita coba gali kembali potensi berdosa di dalam diri dan bagaimana kita kembali kepada Firman Tuhan. Setelah Kain membunuh Habel segalanya rusak. Tidak ada pengampunan lagi Tuhan berikan, Tuhan sudah berikan peringatan dan Kain tidak peduli. Sekarang dosa sudah menguasai dia, dan terbukti ketika Tuhan tegur, “Di mana Habel, adikmu?” Kain mengatakan, “Tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” Lho iya jelas kamu penjaga adikmu. Tapi dia tidak merasa tugas itu adil. “Kenapa saya musti jaga adik saya, saya benci dia kok! Kalau saya sudah benci dia, saya tidak perlu jadi penjaga dia” Lalu Tuhan mengatakan, “Adikmu berbicara kepada-Ku, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu dari tanganmu.” Kenapa Tuhan tau? Tentu Tuhan Maha Tau, tapi Tuhan di sini menyatakan, “Aku tau adikmu mati karena darah adikmu berteriak kepada-Ku dari tanah, adikmu menyerukan telah terjadi ketidakadilan, telah terjadi kejahatan. Si jahat itu ternyata Kain, dan dia sudah membunuh saya.” Maka Tuhan sekarang datang sebagai Hakim yang akan menghakimi Kain. Tapi lihat Kain tidak merasa dirinya salah, “Apakah aku penjaga adikku?” Lho kamu baru bunuh dia, kamu tangan pun tidak gemetar, kamu tidak terganggu dengan pembunuhan, sejahat itu kah kamu? Dosa sudah menghancurkan nuraninya Kain.
Lalu ketika Tuhan mengusir Kain, Kain mengatakan, “hukumanku itu lebih besar dari yang dapat kutanggung.” Dia tidak rasa dirinya layak dihukum. Nah maka Saudara, Kejadian 4 membagikan kepada kita banyak prinsip penting, apakah saya sadar betapa jahatnya saya? Betapa besar potensi saya untuk dikuasai dosa? Kalau sadar, mari kita belajar kembali kepada Tuhan. Kembali dengan cara apa ya? Kembali dengan cara mengutamakan apa yang Tuhan katakan lebih dari perasaan kita. Kalau Tuhan memerintahkan apa, mari taat lebih dari perasaan kita. Akan ada banyak alasan untuk Saudara menolak nasehat Tuhan. Tetapi, jangan lakukan itu karena itu yang dilakukan Kain. Mari kita lihat Kain dan bercermin, saya tidak mau berakhir seperti Kain. Mari halangi dosa, mari matikan dosa, mari bikin Firman Tuhan bertahta dalam hatimu. Dan wajahmu akan bercahaya kembali. Kiranya Tuhan memberikan cahaya wajah-Nya kepada Saudara dan memberkati Saudara dengan limpah, dengan cinta kasih, pengampunan, dan ketulusan hati mengikuti Tuhan. Mari kita berdoa.
Bapa di Surga kami sungguh bersyukur sebab di dalam anugerah-Mu yang besar kami mengenal Allah yang mengasihi kami. Di dalam berkat-Mu kami menikmati dicintai, dan karena itu kami mau belajar mencintai. Kami ingin belajar meniadakan segala kebencian, segala kepahitan dan segala hal yang tidak berguna yang membuat hidup kami muram. Kami ingin kembali disukakan oleh Tuhan. Berikanlah kami hati yang luas untuk menikmati cinta Tuhan dan untuk membagikan cinta Tuhan. Berkati kami dengan anugerah-Mu, sertai kami dengan berkat-Mu, pimpin kami dengan FirmanMu sehingga kami terus menjadi orang yang menata hati kami untuk diperkenan Tuhan. Kiranya Tuhan berkenan mengasihani kami yang tidak layak ini dan mengubah kami menjadi orang yang diperkenan Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa dan bersyukur. Amin. (HSI)
Transkrip Khotbah ini belum diperiksa oleh Pengkhotbah.