Flp. 2:25-27
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Di dalam kehidupan ini, kita menjalani kehidupan banyak orang yang suka memakai mengatakan bahwa “ikuti kata hatimu, dengarkan isi hatimu.” Dan bahkan di dalam banyak lagu-lagu ataupun di dalam orang-orang yang seruannya populer, maka akan mengatakan “belajar sajalah untuk mengasihi dirimu sendiri, mencintai dirimu,” dan seterusnya. Tim Keller pernah mengatakan bahwa dunia ini memang mengajarkan bahwa the problem is outside and the solution is inside, but Christianity told us that the problem is actually inside and the solution is outside. Dan ini suatu cara paradigma berpikir yang berbeda sekali. Dunia selalu mengajarkan bahwa masalah itu di luar dan solusinya itu di dalam, solusinya itu di dalam kamu harus kembali dengarkan isi kata hatimu, dengarkan isi hatimu yang paling dalam, dan temukanlah itu, dan itu menjadi solusi bagi masalahmu. Tapi kita menemukan bahwa di dalam Kekristenan justru mengatakan bahwa problem masalah manusia terbesar justru di dalam diri kita terdalam, yaitu dosa kita, dan solusi bagi kehidupan kita justru di luar, yaitu tentu bicara kepada Kristus sendiri. Bahwa kita tidak sanggup menyelesaikan permasalahan kita sendiri, dan karena itulah kita membutuhkan anugerah, topangan, dan kebenaran dari Tuhan, dan anugerah dari apa yang dikerjakan Kristus, yang digenapi di dalam kematian dan kebangkitanNya memberikan keselamatan bagi setiap kita. Dan karena itulah kita mengerti bahwa keselamatan itu karena anugerah yang kita terima melalui iman kepada Kristus, bahwa kematian Kristuslah yang menebus kita, dan kita bukan diselamatkan karena perbuatan kita, bukan karena kesalehan kita. Kesalehan kita tidak pernah cukup, kesalehan kita tidak pernah sampai taraf menyelamatkan kita, dan di situ kita tahu maka solusinya bukan dari diri kita, tapi solusinya lihatlah kepada luar, lihatlah kepada Kristus itu sendiri. Sehingga di sini kita melihatnya ini dua pandangan kontras, kembali lagi dunia itu selalu akan mengatakan bahwa “yes we can, ya kita bisa, katakanlah pada dirimu setiap orang bawah kamu bisa, kamu bisa, bahkanpun misalnya ada permasalahan dalam diri kamu, kamu bisa tolak itu, kamu bisa bersihkan itu, kamu dengan kemampuan mu sendiri kamu bisa menyelesaikan,” tapi Kekristenan menyatakan tidak, kita justru tidak bisa. Di situlah titik pertama dari Reformed, justru, yaitu total depravity, bahwa manusia itu rusak total di dalam setiap aspek kehidupannya, telah dicemari oleh dosa dan karena itu dengan kekuatan kita sendiri kita tetap tidak mampu menyelamatkan diri kita, dengan kekuatan kita sendiri kita tidak mampu menyelesaikan masalah dalam kehidupan kita.
Ya dalam kehidupan kita, kita bertumbuh dewasa, dan salah satu ciri orang dewasa adalah bertumbuh makin lama itu justru makin independen, bertumbuh makin bisa mengontrol dirinya, makin bisa menyelesaikan banyak hal, makin bisa menguasai dirinya, tapi meski demikian biarlah kita ingat satu hal ini, bahwa meski kita bisa mengontrol tubuh kita, kita bisa menguasai tubuh kita sedemikian, kita tetap dibelenggu oleh dosa, dan hati kita tetap diikat oleh dosa itu. Dan itulah kenapa sebabnya di dalam Martin Luther ada suatu bukunya yang cukup kecil, singkat tapi dalam sekali, dia mengatakan ada bondage of the will, adanya ikatan dari keinginan kita yang diikat oleh dosa itu. Dan kita tidak sanggup melepaskan dengan kekuatan kita sendiri, kita dibelenggu oleh dosa. Secara akal kita, nalar kita, kita makin dewasa, secara pikiran kita, kita mungkin bisa merencanakan lebih baik. Ketika kita masih anak-anak, ya kita bisa mengerjakan ini dan itu dan seterusnya, tapi biarlah kita ingat meski demikian kita tidak pernah sampai titik, seolah-olah kita mampu menyelesaikan masalah kita sendiri, karena seakar-akar dalamnya terutama ini tentu bicara masalah dosa ya, itu adalah kita membutuhkan pertolongan dari luar, yaitu dari Kristus sendiri, pertolongan dari Allah Tritunggal, pertolongan dari Allah Bapa yang merencanakan keselamatan, lalu di genapi oleh Allah Anak, lalu kemudian di aplikasikan oleh Allah Roh Kudus pada setiap kita. Dan karena itulah kita mengerti bahwa Allah Roh Kudus diberikan pada kita untuk menopang kita dan terus menopang kehidupan orang percaya, bukan on/off. Kadang-kadang itu dalam Armenian itu berpikir “oh kalo saya jatuh di dalam dosa kenapa?” “Oh ya itulah, kalau kamu jatuh di dalam dosa itu salahmu,” ya memang salah kita, tapi lalu ketika jatuh dalam dosa apa yang terjadi? “Oh Roh Kudus-nya off, pergi tinggalin.” Lalu bagaimana kalau kamu sudah bertobat? “Nanti Roh Kudus-nya sudah on lagi, kembali lagi.” Nah pertanyannya yang bisa membuat kita bertobat itu siapa? “Oh kekuatan sendiri, saya sadar baru Roh Kudus on.” Nggak, nggak seperti itu, justru di dalam Reformed, dan kembali kita bukan sekedar ngomong reformed-reformed, ada bicara kembali pada Alkitab, kalau kita mau setia saja kembali apa kata Alkitab, maka kita ketemu bahwa Roh Kudus dimateraikan kepada orang percaya selama-lamanya dan Dia berdiam berserta di dalam kita. Dan karena itulah ada ayat mengatakan jangan mendukakan Roh Kudus.
Ketika kita jatuh di dalam dosa Roh Kudus-nya bukan off, Dia berduka di situ, dan di tengah kedukaan Dia mengingatkan kita dan menginsyafkan kita, Dia tarik kita kembali pada Dia untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan, kembali lagi mengikut Tuhan. Itu adalah karya Roh Kudus, bukan off tapi Dia terus mengingatkan kita untuk sinkron, untuk kembali lagi mengikut Tuhan, karena memang kita tidak bisa bertobat dengan kekuatan kita sendiri. Kalau bertobat secara moral, itu semua agama bisa mengajarkan. Dan pertobatan moral itu kembali lagi, saya bisa katakan ya meski itu penting tapi kita ingat bahwa itu bukan pertobatan yang dimaksudNya terutama di katakan dalam Alkitab, karena pertobatan moral bisa dilakukan oleh juga kepercayaan yang lain. Maafkan saya mengucapkan kalimat ini, kalau misalnya ada orang mengatakan, “Oh pak, saya bersyukur sekarang saya Kristen, dulu saya dari agama lain, dulu saya di agama lain saya merokok, sekarang saya bertobat, saya masuk Kristen, saya berhenti merokok.” Oh bagus, tapi biarlah bapak mengerti bahwa pertobatan itu bukan berhenti merokok. Kalau saya mau tanya ya apakah di tempat lain dan kalau kita mau fair ngomong ya , apakah kalau dia tetap di agamanya yang lama dia tidak bisa bertobat untuk berhenti merokok? Bisa, sangat bisa, iya kan? Ya tentu ya bukan kita bilang, “Oh berarti ini bapak belum bertobat,” bukan, tapi biarlah kita melihat pertobatan bukan cuma di situ. Kalau cuma berhenti merokok, kembali lagi, di agama lain itu juga bisa. Dan kembali ya, kalau kita mau fair ngomong apa adanya, di tempat lain juga bisa. Ada orang bertobat “Oh saya bersyukur saya masuk Kristen, dulu saya suka pukul istri saya, sekarang istri saya pukul saya,” gitu ya, wah kebalik gitu ya. Oh bukan gitu ya, “sekarang saya sudah berhenti pukul istri saya.” Tapi kalau kita mau fair, jujur apa adanya, kalau dia mau ”bertobat” menurut versi kepercayaan lamanya ya dia juga akan berhenti memukul istrinya, karena pertobatan yang dimaksud alkitab bukan di situ.
Pertobatan itu adalah berbalik dari arah kehidupan yang lama, dari dosa, lalu mengarahkan kehidupan pada Tuhan, yaitu kehidupan yang dulunya berfokus pada diri, berfokus pada egoisme, kepada kepentingan diri, bisa berbailik arah yaitu sekarang saya mau mengikut Tuhan, mengikuti apa kehendak Tuhan, itulah pertobatan itu. Jadi arah hati yang berbalik itu, dan tentunya pada efeknya adanya pertobatan moral di dalamnya, tapi itu adalah efek dari pertobatan utama ya. Ini memang cukup sulit dalam (bahasa) Indonesia, soalnya pakai istilah yang sama. Kalau dalam Bahasa Inggris, terutama seperti Anthony Hoekema membedakan istilah conversion dengan repentance. Konversi itu ya dia merubah arah, itu titik pertama. Tapi repentance itu sebagaimana Martin Luther katakan di dalam poin pertama dari 95 tesisnya, seluruh kehidupan orang Kristen adalah pertobatan. Tapi pertobatan itu bukan seperti konversi pertama, tapi pertobatan dalam setiap area-area aspek kehidupan kita yang makin lama kita sadari belum sinkron mengikut Tuhan. Tapi konversinya sudah terjadi dulu, konversinya sudah terjadi satu kali saja dalam kehidupan kita, dan bahkan kapan persisnya kadang kita nggak tahu juga. Sebagaimana Tuhan Yesus sendiri mengatakan pada Nikodemus, “Angin bertiup kemana ia mau dan kamu tidak tahu, tapi kamu mendengar bunyinya, suaranya,” maksudnya apa? Kita tidak tahu kapan orang lahir baru, kapan orang mengalami konversi itu titik pertama tapi nanti hasilnya, efeknya itu bisa muncul kemudian hari. Sama seperti kita itu dalam kehidupan kita, kita nggak tahu, kita nggak punya semacam suatu kesadaran kita lahir itu kapan gitu. Ya kita cuma tahu dari cerita orang tua kan, kamu lahir dari tanggal ini, bulan ini, tahun ini, di tempat ini. Ya kita nggak sadar ya. Sampai nanti di dalam usia kemudian hari baru kita ada sadar seperti itu ya. Saya kadang-kadang kalau ingat ini, ingat itu pengalaman saya waktu saya TK dulu ya, waktu saya masih kelas TK. Suatu hari saya di, kayaknya TK besar lalu saya duduk, kayaknya dengar pelajaran guru, duduk gitu, tiba-tiba saya kayak sadar gitu, terus, loh saya ada di sini gitu ya. Terus saya pikir, wah saya ada di sini gitu ya. Terus saya pikir, lho kok saya ada di sini? Saya ada di sini, gitu ya. Kayak baru muncul nyawanya kali ya, atau apa ya, existential moment yang saya alami gitu ya. Dan ya itu saya berpikir, kenapa saya ada di sini? Karena orang tua saya di sini, dan seterusnya. Agak aneh-aneh memang ya. Ya bersyukur nggak kesambet sih waktu itu, tapi ya kayak gitu lah. Punya ada kesadaran akan diri, punya ada suatu awareness yang, ini aku bangun gitu ya kira-kira seperti itu. Itu bisa kemudian hari. Tapi sudah lahir sebelumnya. Nah tapi di sini kita sadar.
Saya kembali dalam bagian ini, kehidupan kita, kita berada di zaman yang orang itu selalu menyuruh kita itu melihat pada diri kita, melihat pada diri kita. Lihat pada isi hatimu, dan seterusnya. Kita hidup di zaman yang sangat meninggikan perasaan, emosi, dan atau mood itu lho. Dan itu yang kita lihat, kembali lagi saya bisa mengatakan berkali-kali pada kita bahwa ingatlah, lihat pada Kristus bukan lihat pada diri. Kita kalau melihat pada diri, kita bisa kecewa. Ya kita bisa bahkan kecewa pada diri kita sendiri. Tapi karena itu lihatlah pada Kristus, bahwa Dialah yang tidak mengecewakan dan bahkan Dialah yang menebus kita. Bukan karena kekuatan kita, bukan karena jasa, achievement kita. Tapi dalam kehidupan kita dalam berbagai cara dengan dalam berbagai media dan lagu dan segala sesuatunya, ya dengan musik, seni, dan segala sesuatunya itu mengajarkan kita itu lihat pada diri, lihat pada diri, lihat pada diri ya. Sehingga itu menjadi suatu challenge ya, suatu tantangan dalam kehidupan ini. Lalu akhirnya kadang-kadang ada yang bilang juga seperti ini. Oh iya, bukankah Alkitab juga menekankan tentang kasih ya? Betul, Allah adalah kasih adanya. Tapi yang, kasih yang diajarkan Alkitab adalah kasih agape. Dan kasih agape di dalam Alkitab itu bukan cuma perasaan atau emosi yang menggebu-gebu, melainkan komitmen. Itu bukan cuma sekadar feeling gitu ya. Makanya itu kadang-kadang permasalahan, kadang-kadang ada teolog juga mengatakan gitu ya, permasalahan di dunia ini adalah terminologinya sama tapi pengertiannya beda. Kita itu, Alkitab memang mengatakan kasih. Iya kasih ada, tapi kasih yang dimaksud itu agape, bukan seperti manusia, dunia ini mengatakan love, cinta. Tapi yang lebih, kalau saya mau bilang itu adalah bukan love tapi adalah lust. Itu bukan cinta tapi sebenarnya lebih ke arah nafsu.
Saya pikir bukan kebetulan seperti tadi ditayangkan oleh dari klip potongan apa yang pernah Pak Tong katakan dalam khotbahnya di 1 Yohanes bahwa orang mengatakan kasih, kasih, ya, dan juga memang di dalam Rasul Yohanes juga adalah rasul kasih. Tapi dia bilang ujilah roh itu. Memang untuk diuji, memang untuk dikritik, kalau mau dibilang, adalah menguji apakah sungguh itu dari Allah atau tidak. Bukan untuk terima segala sesuatunya. Tapi inilah kita berada di zaman yang bagi saya, kalau saya kembali ke bagian sini itu, pandangan dunia itu sebenarnya sangat-sangat menggebu-gebu pentingkan kasih, pentingkan hati itu, pentingkan perasaan itu. Padahal perasaan itu bisa berubah-berubah dan kembali ya, kalau kita mengerti Allah itu kasih adanya, Allah itu bukan galau-galau seperti itu. Allah itu bukan berubah-berubah seperti itu. Karena sebenarnya pengertian cinta yang ditawarkan oleh dunia itu lebih mirip cinta yang seperti diajarkan di dalam, bagi saya itu, seperti pernah dikatakan juga Richard Pratt, bahwa itu sebenarnya lebih mirip apa yang dipercaya oleh orang Yunani dengan Dewi Aphrodite-nya yang mengembangkan cinta eros. Cinta nafsu. Cinta yang lebih ke mementingkan feeling dan perasaan saja. Kita lihat saja contoh kasus di dalam masa kini ya, seperti paling, misalnya ada masalah yang makin marak terakhir dengan masalah transgender ya. Misalnya ada seorang laki-laki, merasa dirinya perempuan. Lalu dia lantas pikir, “Oh saya perlu mengoperasi diri saya jadi perempuan,” kenapa? “Saya lahirnya laki-laki. Fisik saya laki-laki. Tapi saya rasa diri saya perempuan.” Ya itu salah. Ya kembali lagi, perasaan kita bisa keliru. Saya ulang ya, perasaan kita bisa keliru. Lho kita kan, kalau kita kembali yang saya ngomong di awal ya, kita ini sudah jatuh dalam dosa, dan total depravity itu merambat ke semua bidang, baik dalam konsep berpikir, dalam keinginan kita, ya maupun perasaan kita. Perasaan kita bisa salah. Kenyataannya perasaan kita bisa keliru, dan kalau pun orang rasa, “wah ini saya terlahirnya memang laki-laki, tapi saya rasanya saya ini perempuan,” itu coba cek aja gitu ya secara biologis, kromosomnya itu bagaimana sih? Lho itu akan tahu objectively speaking, memang kamu laki-laki. Kamu merasa perempuan, ya itu perasaanmu. Tapi memang tubuhmu itu laki-laki. Ya itu pergumulanmu, bagaimana kamu bergumul dengan perasaan itu. Tapi ingatlah, perasaan itu bukan ultimat.
Kembali lagi ya, saya bukan mengatakan perasaan itu tidak ada gunanya ya. Saya percaya perasaan itu penting. Tapi kembali lagi, perasaan itu bukan ultimat, bukan yang terutama dalam hidup ini. Sama saja seperti mungkin dalam contoh lain misalnya saya tanya bapak-bapak yang ada di sini ya, pernah nggak sih merasa nggak mood jadi suami? Nggak mood jadi suami itu kayak apa gitu ya? Atau lagi nggak mood jadi ayah gitu ya. Ataupun yang istri ya, pernah nggak sih rasa nggak mood jadi istri atau nggak mood jadi ibu? Lagi nggak mood gitu ya. Saya percaya sedikit banyak anda pernah merasa seperti demikian gitu ya. Karena ya kalau misalnya seorang vikaris saja pernah nggak mood jadi vikaris gitu ya, saya percaya ya yang suami, ayah, atau ibu itu juga pernah rasa nggak mood akan hal itu. Tapi pertanyaannya adalah, ketika kita mengalami rasa nggak mood seperti itu, apa yang kita lakukan dengan perasaan kita? That’s the question. Ketika kita nggak mood, lagi nggak mood dengan sebagai tanggung jawab kita, peran kita di situ, apa yang kita lakukan? Ingatlah satu kalimat di bawah ini, bahwa you have the right to feel anything, but that doesn’t mean anything that you feel is right. Anda punya hak untuk merasakan apa pun. Anda punya kebebasan untuk merasakan apa pun. Tapi ingatlah, bahwa bukan berarti semua perasaan-perasaan itu adalah benar ada, karena perasaan itu bisa keliru. Perasaan itu bisa salah ya.
Dalam kehidupan kita itu seperti demikian, seperti Martin Luther itu sendiri pernah mengatakan, kita tidak bisa menghalau itu burung terbang di atas kepala kita. Tapi yang kita bisa hentikan adalah jangan biarkan burung itu hinggap di atas, bersarang di atas kepala kita. Maksudnya apa? Kita tidak bisa menghalau, kadang masalah muncul di sekitaran kita. Tetapi yang kita bisa kendalikan atur, dan gumulkan, doakan adalah supaya masalah itu tidak bersarang di kepala kita. Dan sama perasaan-perasaan itu juga kadang bisa muncul kok, kita bisa memiliki perasaan-perasaan yang salah. Perasaan-perasaan yang keliru itu kadang-kadang kita tidak bisa kendalikan ya. Misalnya seorang laki-laki yang sudah menikah lalu tiba-tiba ada lihat seorang perempuan yang menarik gitu ya. Dia tidak bisa kendalikan, bisa muncul perasaan tertarik atau apa gitu. Tetapi pertanyaan berikutnya adalah apa yang akan anda lakukan selanjutnya, lewat begitu saja atau mulai cari tahu ya namanya siapa atau pakai media sosial itu cari kontaknya segala macam? Itu adalah bagian yang sebenarnya bagian yang sudah kendali anda, anda bisa hentikan di detik itu sebelum masuk kepada yang jauh lebih lain dan itu bisa masuk menjerumuskan anda kepada kesulitan-kesulitan dan dosa-dosa yang lebih parah. Kembali lagi anda tidak bisa menghalau ya, bagi anda yang sudah berpasangan, yang sudah menikah, yang sudah berkomitmen, “oh ada yang muncul orang lain, kita kan tidak bisa halau” gitu? “Saya mulai hari ini sejak menikah, saya tidak mau lihat semua perempuan, semua yang cantik semua lewat gitu ya. Saya nggak mau lihat, pake kacamata kuda,” ya nggak bisa. Kita nggak bisa menghalau itu, dan mungkin juga bisa terpancing perasaan-perasaan tertentu, tetapi yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana perasaan itu tidak mengusai kita tapi justru kita yang menguasainya.
Sebagaimana peringatan Allah juga kepada Kain ketika dia iri kepada saudaranya Habel ya. Itu kalau kita masuk ke teksnya itu dikatakan “kamu harus menguasai hal itu.” Dia muncul irinya, dia muncul perasaan dendam, perasaan benci kepada saudaranya. Di titik itu bagi saya ya, dalam suatu artian tertentu, itu dia belum sampai terlalu jauh. Tetapi ketika muncul perasaan itu, diperingatkan, “Ingat kamu jangan dikuasai perasaan itu tapi kuasailah perasaan itu, kendalikan.” Tapi Kain lebih memilih mengikuti kata hatinya dan akhirnya mendendam, dan marah, dan sampai akhirnya membunuh adiknya Habel. Kembali, perasaan itu bisa salah. Perasaan ketika Kain bunuh Habel dia rasa puas tapi salah, tapi salah. Dan karena itulah kita mengerti bahwa disini penting sekali bahwa dalam kehidupan kita, kita harus mengingat di dalam perasaan kita itu bisa keliru. Dan karena itu kita diperingatkan untuk kembali, untuk mengkoreksi hidup kita sesuai dengan apa kata Alkitab, kembali kepada apa yang dikatakan dalam Kitab Suci karena kita bisa keliru. Dan di dalam bagian ini kita kembali ingat karena itulah kita tidak bisa bergerak independen seperti kita sendiri saja senantiasa, tetapi kita ingat kita juga perlu belajar bergantung terutama kepada Tuhan dan apa yang dikatakan di dalam Kitab Suci.
Dan di dalam aspek selanjutnya yang saya kaitkan di dalam bagian ini, yaitu di dalam bagian ini menarik kita temukan pelayanan Paulus itu mengerjakan pelayanannya itu sudah luar biasa sekali, dia kerjakan banyak hal di dalam pelayanan dia. Dan apalagi kalau kita masuk ke surat Filipi ini surat yang sudah kesekian dari pelayanan Paulus, sudah pelayanan misi berapa kali, track record-nya wah ini sudah luar biasa. Ini kalau mengundang hamba Tuhan, istilahnya jam terbangnya sudah tinggi, pelayanannya sudah banyak. Tetapi menarik di dalam bagian ini dia mengatakan, “sementara itu kuanggap perlu mengirimkan Epafroditus kepadamu,” dan dia menyebut Epafroditus itu sebagai apa? “Teman, saudaraku, sebagai teman sekerja serta teman seperjuanganku yang kamu utus untuk melayani aku dalam keperluanku.” Ya itu dia sudah levelnya top top, levelnya elit, tetap dia bilang saya membutuhkan orang lain. Nah ini menarik, di dalam kehidupan kita, kembali ya, di dalam kehidupan kita tetap satu kita ingat kita selalu membutuhkan Tuhan, kita tidak bisa independen. Dan selain itu, dalam kehidupan itulah kita kalau sadar bahwa apa yang bisa menolong kita lepas dari jebakan dengan diri, dengan perasaan dan emosi, pemikiran kita yang bisa seperti katak dalam tempurung, adalah adanya kehadiran sesama rekan seperjuangan yang sama-sama teman seiman, sama-sama orang sekitar kita dalam gereja itu membentuk kita, mengasah kita, mengingatkan kita untuk tetap hidup sesuai dengan firman Tuhan. Dan itu makanya perlunya kehadiran gereja dalam kehidupan kita. Meski memang sangat disayangkan ya, meski saya bilang di dalam sejarahnya memang kalau saya mau tarik di sini, yaitu kalau di dalam Roma Katolik misalnya, Roma Katolik itu sangat ekstrim menekankan dimana orang itu memang perlu gereja, sangat-sangat perlu gereja. Sebegitu ekstrimnya dikatakan di luar dari gereja tidak ada keselamatan. Nah, lalu kemudian di dalam sejarahnya memang kemudian Marthin Luther dan para reformator lainnya yang menyatakan bahwa, “saya keluar dari gereja dan bahwa keselamatan itu bukan hanya di dalam gereja tetapi keselamatan digantungkan pada Tuhan sendiri yang telah memilih kita sebelum dunia dijadikan,” karena sebagaimana Alkitab katakan. Tapi bukan berarti, bukan dimaksudkan para reformator lantas kita hidup sendiri terisolasi dari gereja dan tidak membutuhkan sesama kita. Bisa nangkap ya?
Kadang-kadang orang pindah bandulnya itu ke ekstrim sebaliknya, sampai akhirnya kadang-kadang kita ketemu dan terutama di kalangan Protestan kalau ditanya, “kamu orang Kristen?” “Iya saya Kristen.” “Tapi kok nggak ke gereja?” “Ya saya nggak perlu lah ke gereja, yang penting kan saya percaya Tuhan Yesus, saya sudah pasti selamat, ya sudah saya nggak butuh gereja saya nggak usah ke gereja.” Dan memang ada banyak sih penyebab orang meninggalkan gereja. Tom Wrench itu mengatakan ada banyak berapa alasan orang meninggalkan gereja, termasuk kadang-kadang ada orang terluka dengan situasi dalam gereja, ataupun dia melihat gereja itu tidak sempurna. Tapi biarlah kita ingat kenapa gereja tidak sempurna? Ya memang karena orang-orangnya tidak sempurna. Ya fair dong, orang-orang gereja memang tidak sempurna, dan karena itulah memang gereja nggak ada yang sempurna. Tapi sebagaimana pernah saya katakan, gereja tidak sempurna nggak apa-apa yang penting bukan palsu. Sama seperti ketika kita mencari pasangan, tidak ada pasangan kita sempurna yang penting bukan palsu. Tahu yang palsu ya? Yang jenis kelaminnya di akte kelahiran dengan KTP beda gitu ya. Itu palsu, itu sudah tidak bisa di seberangi gitu. Kalau palsu ya palsu. Tapi masalah tidak sempurna, yang penting dia genuine, yang penting dia asli, kembali sesuai dengan Kitab Suci, ya kita jalani. Gereja kita di sini tidak sempurna, tetapi biarlah kita melihat yang penting asli, sejati, kembali mau komitmen setia kepada Alkitab; kita jalani dan kita bergereja bersama. Dan sebaliknya justru ada suatu keindahannya sebenarnya, yaitu justru ketika kita melihat gereja ini tidak sempurna berarti memang masih ada tempat untuk kita berbagian di dalam mengerjakan sesuatu di dalam pelayanan yang ada. Dan kadang-kadang memang ketika kita di dalam suatu pergumulan kita melihat ada yang kurang ini di dalam gereja, dan kita melihat itu adalah kekurangan yang selain memang kita bisa mengkritiknya salah, tapi memang kalau kritik kita ini poin-nya betul dan memang itu diperlukan, mungkin Tuhan memang taruh beban itu dalam hidup kita untuk kita berbagian di situ. Ya kan? Mungkin gitu ya, kalau misalnya andaikata ruangan ini gelap, remang-remang seperti itu, lalu ada satu orang lihat, “kok ini ruangan remang-remang?” Tapi tidak ada yang komplain, semua rasa tidak apa-apa remang-remang. Ya mungkin anda memang ditempatkan di gereja, kehadiran anda di situ Tuhan kasih ngomong anda sadar bahwa anda yang incharge untuk bagian penerangan, mengurus lampunya itu. Jadi jangan tunggu gereja beres tapi saya berbagian di dalamnya. Dan kembali bukan saja kita belajar berbagian di dalamnya, sebagaimana yang Pak Tong katakan bahwa no one come to help, no one come to contribute, but everyone comes to learn and to serve. Tidak ada orang pikir datang untuk menolong, untuk berkontribusi, tetapi semua datang untuk belajar dan untuk melayani. Dan kita belajar kita bisa berbagian apa di dalam pelayanan yang ada? Dan di dalam beberapa hal tertentu itu Tuhan hadirkan memang unik di dalam peranan kita di dalam gereja, dan bahkan bukan cuma itu saja ya, terutama dan terbesar dalam konteks ini, itu juga membentuk kita, menolong kita, mendewasakan kita di dalam kita melayani dan beribadah kepada Tuhan karena kita nggak bisa melayani sendirian. Pelayanan memang itu justru indah karena meng-indah-kan satu sama lain nya. Karena itulah di dalam bagian ini, itu ada tempatnya bagi Christian councel. Ya, bagi konseling yang Kristen itu, kenapa? Karena memang ada titik tertentu itu kita titik buta, blind spot gitu ya, kalau ngomong pakai istilahnya Pavlov itu ya, ada yang saya tahu, orang lain tahu; ada yang saya tahu, orang lain tidak tahu; ada yang saya tidak tahu, orang lain tahu; dan sebaliknya ada yang saya tidak tahu dan orang lain pun tahu. Ada titik buta dalam kehidupan kita. Dan, rekan sekerja itu sama-sama itu adalah membentuk kita di dalam kehidupan, membentuk kita melihat titik-titik buta kita itu. Nah, akhirnya supaya kita bisa menyadari itu dan dibentuk sini.
Saya kembali dalam konteks Paulus ini, Paulus mengajarkan karena itulah dia melihat peranan dari Epafroditus itu penting. Dia bukan saja mengatakan, “saya paling hebat,” ya memang pelayanan nya paling banyak dibanding banyak Rasul, tapi dia bisa mengerjakan itu justru karena ada rekan-rekan sekerja. Dan bahkan dia bilang, “yang kamu utus, Epafroditus itu mau melayani aku.” Ya ini ya, saya pikir, ini ada balancing-nya, di dalam bagian memang er… Tuhan Yesus sendiri mengatakan “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani,” tapi kemudian kita lihat, yang dimaksud oleh Kristus ini bukan berarti Dia itu pokoknya tidak terima pelayanan apapun. Loh itu di dalam kisah pelayanan Yesus sendiri mencatat ada perempuan-perempuan yang melayani, ada Maria, ada Martha, ada yang lain-lainnya itu yang melayani Dia, ada para Rasul juga melayani bersama dengan Dia. Tapi itu bicara spirit–nya: “Saya bukan datang untuk jadi bos, untuk dilayani, tapi Saya datang sebagai hamba, servant,” padahal meski Dia itu Tuan. Ya itu menarik ya, di dalam Kristus, Dialah Tuan kita, tapi Dia datang dengan spirit sebagai hamba, mau melayani. Tapi ketika itu juga, bukan berarti kita langsung action “pokoknya saya melayani, melayani, oh nggak usah layani saya, nggak usah layani saya,” ada bagian itu memang kita juga menerima pelayanan dari sekitar kita, terutama dari Gereja. Ya, ini bisa nangkap ya, ini ada balancing di situ. Secara spirit, kita bukan tunggu dilayani, tapi biarlah kita ingat supaya kita tidak masuk kepada ekstrim lain, yaitu seolah-olah kita bisa self-sufficient. Hanya Tuhan yang self-sufficient, kita nggak cukup, kita itu tidak masuk pada pemikiran bahwa saya cukup pada diri saya sendiri, karena hanya Tuhan lah yang cukup pada diri-Nya sendiri, dan kita belajar melihat ada ruang untuk Tuhan pakai orang-orang sekitar kita membentuk kita dan mengarahkan kita, bagaimana bergumul, melayani Tuhan di dalam bekerja, dalam pelayanan yang ada. Dan di sini, karena ini saya melihat pentingnya Paulus mengatakan dia adanya co–worker, rekan sekerja, rekan sepelayanan.
Di dalam memikirkan tentang rekan sepelayanan ini, di dalam pembahasan dalam bagian ini, saya melihat ada tiga poin yang penting ketika bicara sebagai coworker, sebagai rekan sepelayanan, rekan sekerja itu, rekan sepelayanan. Yang pertama, di dalam kita memilih rekan sepelayanan itu harusnya kita bisa trust, yang kita bisa percaya. Ini sangat penting sekali. Kita lihat di sini Epafroditus kemungkinan besar adalah memang, bukan kemungkinan besar lagi ya, memang sepertinya dari teks ini menyatakan justru dialah yang diutus mengantarkan surat Filipi ini kepada jemaat di Filipi. Nah kalau kita mengerti konteks zaman dulu, ini bukan hal yang mudah. Bukan seperti kirim paket, ya, seperti kurir zaman sekarang, ya, paket titipan kilat, atau malah paket yang online itu ya, mau kirim express, antar, seperti itu. Tidak seperti itu di zaman itu, zaman itu mengirimkan itu butuh biaya, dan tenaga, dan perjalanan yang jauh dan bahkan ada banyak resikonya. Karena kembali, kalau kita mengingat di dalam konteks jemaat mula-mula ya, apalagi sudah di era tahun, ini kira-kira sudah 50-an lebih, kalau bukan mungkin awal 60, penulisan surat Filipi ini, ini ke-Kristen-an sudah masuk cap kategori bagi pemerintah Roma sebagai agama yang illegal, sebagai agama yang tidak diakui, sebagai agama yang tidak sah. Dan karena itu kalau dia ada disini suratnya dari mana, rasulnya, dari mana pemimpinnya. Maka itu bisa ditangkap. Bisa nangkep konteks ini ya. Jadi, jaman dulu itu kalau kirim, ya itu diperiksa, “lho ini surat kamu kirim surat, surat seperti apa, suratnya itu bener nggak, surat dari siapa, kepada siapa,” itu sangat dipantau. Ya saya pikir menarik di dalam film yang dibuat belum lama ini, judulnya Apostle, Apostle Paul ya..bicara tentang Rasul Paulus, ya meski ada bagian-bagian beberapa perintilan yang saya kurang setuju juga di dalam interpretasinya, tapi saya pikir menarik dalam satu bagian itu menceritakan ketika orang mengantar surat itu lho, surat dari Paulus kepada jemaat di mana. Ya. Maka tentara-tentara Romawi itu akan mengecek, “lho yang kamu bawa surat seperti apa,” lalu akan dicek, dibaca, dan kalau dia lihat, “wah ini surat nya nggak benar,” disobek. Mereka berhak melakukan itu. Dan bukan cuma suratnya disobek, orang yang dilihat ini, “oh berarti kamu bawa surat nggak benar,” ya ditahan di penjara. Dan di sini kita lihat makanya pelayanan dikerjakan Epafroditus ini bukan cuma sekedar kurir saja, tapi ada suatu kurir yang resiko. Tapi, kita melihat kalau dia berani percayakan pada Epafroditus, berarti memang terbukti Epafroditus ini bisa dipercaya, dia bisa di-trust itu, dan itu menjadi rekan sekerja pelayanan Paulus di sini. Di sini makanya kita lihat, meski dalam sederhana sekali, tapi kita lihat di balik ini ada konteksnya, yaitu ada unsur trust itu penting sekali. Dia bisa dipercaya dan itu unsur pertama dalam co–worker, yang kita melihat rekan sekerja itu.
Dan yang kedua, yang hal yang penting dalam bicara rekan sekerja, seperti apakah kita mencari rekan sekerja. Pertama adalah yang kita bisa trust, yang kedua adalah concordia, yaitu yang sejantung dengan kita. Satu jantung, yang bisa accord gitu ya dengan kita, yang bisa satu harmonis, selaras dengan kita; bukan seperasaan, tapi ritmenya itu, beat-nya itu mengikuti kita. Di bagian ini kita melihat itu juga yang dikatakan Paulus ketika bicara Epafroditus ini, yaitu “karena ia sangat rindu kepada kamu sekalian dan susah juga hatinya sebab kamu mendengar bahwa ia sakit. Memang benar ia sakit dan nyaris mati, tetapi Allah mengasihani dia dan bukan hanya dia saja melainkan aku juga, supaya duka citaku jangan bertambah-tambah.” Bagian ini bicara adalah hati ya. Kalau istilah “hati” di dalam Perjanjian Baru itu bukan bicara sekedar perasaan, tapi bicara inner being, diri orang manusia yang terdalam-dalamnya, itu jantungnya itu sama, detaknya itu, ritmenya itu bisa bergerak sama, seperti itu, yaitu sama-sama memikirkan concern yang sama, dan punya pemikiran konsep, cara, worldview yang sama. Dan ini dilihat Paulus dimiliki: “Saya lihat cara berpikirnya seperti apa, hati saya sungguh bekerja bagi Tuhan,” dan dia lihat Epafroditus juga bekerja demikian. Dalam kehidupan ini, dalam kita memilih rekan sekerja, biarlah kita melihat bahwa kita harus cari yang itu, satu jantungnya itu sama. Jantungnya itu sama itu ya tentu itu bukan bicara biologis, ini metafora. Itu bicara concordia itu berarti jantungnya sama adalah jantungnya mau diserahkan bagi Tuhan. Yaitu detak jantung dikerjakan bagi Tuhan, bukan bagi diri, juga bukan cuma sekedar karena Epafroditus ini fans-nya Paulus. Kalau cuma fans-nya Paulus, meski bisa sepertinya senang gitu ya, sama ini perasaannya seperti itu, tapi itu jantungnya beda. Loh kenapa, Paulus, bukan fans pada diri sendiri kan? Bisa nangkap ya? Paulus itu, kalau misalnya ya kita ketemu, “oh ini fans saya, jadi ini yang concordia,” loh bukan, beda. Karena kita tidak fans pada diri kita sendiri, kita berfokus pada Tuhan, dan kita menemukan ada rekan sekerja adalah orang yang hatinya juga sama bagi Tuhan. Dan itulah sebabnya di dalam satu lukisan yang digambarkan Calvin, yaitu dia bilang: “Inilah jantungku, inilah hatiku, kupersembahkan kepadaMu sesegera mungkin, setulus mungkin.” Itu artinya apa ? Dia serahkan jantungnya itu bagi Tuhan. Nah itu concordia itu, ya. Kita kalau cuma berpikir “saya Calvinist, apa? Saya ini pokoknya senang Calvin.” Lho, Calvin itu bukan senang pada diri sendiri, bisa nangkep ya ? Itu bedanya tipis lho, tapi beda di situ, yaitu kita kalau memang Calvinist, kalau yang sejati, asli gitu ya, yang Reformed memang, ya kita punya hati yang sama, yaitu jantung kita, kita persembahkan bagi Tuhan, bukan bagi Calvin, bukan bagi Luther, bukan bagi Pak Tong, bukan bagi pendeta, tapi bagi Tuhan. Itu concordia. Itu jantungnya sama, detaknya, ritmenya sama, dan bergerak sama. Dan situ Paulus melihat Epafroditus ini, meski mungkin berkesan biasa, tapi dia yang sejantung dengan saya, dan dialah yang saya percayakan sebagai rekan sekerja. Itu dia dikatakan sebagai rekan sekerja.
Itu yang pertama trust, lalu concordia, dan ketiga adalah irreplaceable, dia itu tidak tergantikan. Kalau kita lihat dalam bagian ini dikatakan, “Epafroditus ini nyaris mati, tapi Allah mengasihani dia, dan bukan hanya dia saja, melainkan aku juga, supaya dukacitaku jangan bertambah-tambah.” Bagian ini bukan cuma bicara, “Oh kalau dia mati, lantas hore,” cuma seperti itu. Saya seringkali kadang, bukan seringlah, kadang-kadang dalam pelayanan ketika saya membesuk jemaat yang sakit, lalu dia sakit, tentu kita biasanya tanya dan coba kuatkan dengan Firman Tuhan, lalu kita doakan. Tapi satu pertanyaan yang saya kadang-kadang itu terbersit untuk ingat gitu ya, itu ini lho, kalau orang sakit lalu kita doakan untuk sembuh, betul gitu ya, kita doakan seperti itu. Kita nggak usah juga ekstrim gitu ya, doakan makin sakit, supaya makin menderita ya, supaya itu makin mengerti dan percaya, nggak begitulah. Kita nggak se-ndableg itu ya. Tapi kita doakan sembuh. Tapi pertanyaan saya yang selalu penting adalah kalau Tuhan masih berikan kesembuhan, Tuhan masih memberikan hidup, what’s next ? Kalau Tuhan masih memberikan kita kehidupan, untuk apa ? Untuk apa ? Adakah kita mengerti bahwa bukan cuma demi hidup itu sendiri, tapi berarti adalah kalau Tuhan masih memberikan kita kesembuhan, yaitu bukan lagi kembali mengerjakan apa yang kita mau saja, tapi kembali memikirkan apa yang Tuhan mau? Dan peranan kita dalam misi Kerajaan Surga, di mana peran kita itu, kita harus kerjakan. Dan itu adalah peran yang tak tergantikan, irreplaceable, tidak tergantikan dalam kehidupan ini. Kenapa ? Karena memang Tuhan sudah percayakan itu dalam kehidupan kita.
Saya mungkin contoh sederhana saja dalam kehidupan saya. Ya, meski saya lahir dari keluarga non-Kristen. Ya, papa mama saya bukan orang Kristen, sampai hari ini juga demikian, itu jadi satu pergumulan memang. Tapi saya itu karena dulu kecilnya itu ke sekolah Kristen dan diarahkan memang untuk ikut Sekolah Minggu, saya rutin pergi Sekolah Minggu, ya. Saya ingatnya itu ketika saya kecil itu, ada guru-guru Sekolah Minggu yang ajarkan saya, itu ajarkan Firman Tuhan, ajarkan Firman Tuhan. Dan saya harus katakan ya bahkan sampai saya dewasa ini, saya itu berhutang iman pada guru Sekolah Minggu saya itu, yang waktu saya kecil. Mungkin waktu, saya ndak ngerti ya pergumulan dia sedalam-dalamnya seperti apa ya. Mungkin waktu dia ngajar, dia rasa :”Ya, saya cuma kerja gini aja. Anaknya juga ya, biasa ajalah…” Gitu kan, mungkin setengah bochai gitu ya. Ya.., kayak gini anaknya. Ya ini ajar, ajar, ajar, gitu ya. Tapi saya yakin satu yang pasti, tidak mungkin guru Sekolah Minggu saya itu pikir kayak gini : “Saya ngajar di sini supaya anak ini, yang ini ni, nanti satu akan jadi Hamba Tuhan, dan mungkin ada berapa yang lain juga dipakai untuk pekerjaan Tuhan.” Dia ndak berpikir demikian. Tapi saya sungguh bersyukur guru Sekolah Minggu saya, ajarkan di situ, dia tetap setia kerjakan bagiannya, dan Tuhan pakai dia menjadikan saya seperti hari ini. Dan itu peran dia di situ, irreplaceable, tidak tergantikan dalam pengertian itu. Kembali ya dalam kedaulatan Allah, Tuhan bisa pakai siapa saja, tapi kenyataannya pada saat itu dia, Allah memakai guru itu mengajar saya, memakai bapak itu, memakai ibu itu untuk mengajarkan firman Tuhan yang sederhana kepada saya dan mempersiapkan saya untuk pelayanan seperti hari ini.
Dan itu berapa banyak ya kalau kita pikirkan dalam kehidupan kita, kita berbagian itu artinya kita berbagian di dalam Kerajaan Surga. Saya sangat bersyukur seperti tadi liturgis juga mengajak, mendorong kita untuk mendoakan itu, pelayanan kepada anak-anak, pelayanan kepada generasi muda. Waduh kita kalau mengajar anak-anak itu kan kayaknya “anak ini tahu apa sih?” Makanya kita jangan berpaku kepada hasil di saat itu, di hari itu, tapi biarlah kita percayakan kepada Tuhan dan kita sungguh bersandar. Makanya dalam setiap persiapan itu kita persiapan secara materi konteks iya, tapi di dalam ketika kita bergumul dan sebelum kita menyampaikan firman Tuhan kita berdoa itu bukan cuma jimat atau mantra di awal yang kalau kita nggak doa kok rasanya aneh, bukan, tapi bagaimana Roh Kudus mengefektifkan semua kalimat-kalimat yang ada, terutama yang penting itu masuk kepada anak-anak itu. Itu mengubahkan anak-anak itu, itu mengubahkan saya dan itu mempersiapkan saya untuk pelayanan sampai hari ini. Dan saya percaya bukan cuma saya, guru itu juga mengajar banyak anak lain yang mungkin dia nggak tahu, dia nggak kenal, tapi juga dipakai menjadi orang-orang Kristen di saat dewasa setelah umur sekitar saya yaitu untuk pekerjaan Tuhan. Kembali lagi, saya percaya guru itu mungkin kadang-kadang di dalam mengajar kan belum tentu selalu dia rasa happy, iya nggak sih guru-guru Sekolah Minggu? “Oh semangat saya mengajar hari ini”? Nggak ada ya? “Yahh saya mengajar hari ini.” Biasanya kok malah kebalik gitu ya.
Kalau saya meminjam istilah dari Timothy Keller di dalam bukunya “Prayer” itu ada memang delight, di dalam kita berdoa itu harus adanya unsur delight, kesukaan kita berdoa. Tapi kita jangan lupa juga kenapa kita berdoa itu ada unsur duty, memang Tuhan perintahkan kita berdoa. Dan dari dua terminologi ini dalam kehidupan kita mempersiapkan pelayanan seperti ini. Ada kalanya kita kerjakan dengan sukacita, dengan sepenuh hati kita, tapi kadang-kadang ada juga kita kerjakan ya karena wajib kan. Bapak-Ibu hari ini yang pelayanan ini dengan sukacita atau wajib? “Yah sudah ditugasin sih, saya sih mau kabur tapi nggak bisa,” gitu ya? Anyway itu masalah kalau anda terus merasa wajib ya. Itulah bagian untuk kita doakan agar ditumbuhkan lagi sukacita mula-mula, kasih mula-mula itu, bagaimana kita memiliki delight, kesukaan dalam melayani Tuhan. Tapi bagi saya, anyway ketika kita mengerjakan sesuatu hanya karena “duty” karena kita tahu tanggung jawab kita, ya kerjakanlah bagian itu dengan sesepenuh hati, dengan semaksimal yang kita bisa kerjakan, dan percayakan hasilnya pada Tuhan karena kita nggak tahu Tuhan pakai seperti apa. Bayangkan ya, kembali kalau contoh guru Sekolah Minggu saya bilang, “Ah hari ini saya nggak mood ngajar, ya sudahlah nggak usah ada Sekolah Minggu, anak-anak itu main saja dikasih mainan biar nggak ribut,” saya nggak ada di sini, serius saya nggak ada di sini. Dan saya percaya bukan cuma saya tapi banyak dari kita juga yang kalau background dari kecil itu dididik dari Sekolah-sekolah Minggu, dari pengajaran-pengajaran sejak kita kecil, kita dapat berkat itu dari orang-orang yang di atas kita. Dan kadang-kadang memang mereka menjalankan sebagai suatu kewajiban saja tapi mereka serahkan hasilnya pada Tuhan dan Tuhan berkenan, Tuhan pakai untuk kemuliaan namaNya.
Dan di situ kita mengerti menjadi co-worker, menjadi rekan sekerja yang tak tergantikan. Pelayanan Epafroditus itu sendiri sederhana tapi tak tergantikan. Pelayanan Epafroditus itu sederhana tapi tidak tergantikan, karena apa? Di sini Paulus lihat Epafroditus yang bisa dipercaya, yang jantungnya sama dengan dia, bisa dipercayakan surat Filipi ini. Dan kalau bukan dia yang hantar surat Filipi kepada jemaat di Filipi, kita hari ini nggak baca lho surat Filipi. Kita bisa bilang tentu dalam kedaulatan Allah Tuhan bisa pakai, kehendak Dia, iya, tapi makanya di dalam aspek ini tanggung jawab manusia, biarlah kita mengerti di mana peranan kita. Dan memang kedaulatan Allah, Allah memilih memakai Epafroditus menjadi contoh teladan kehidupan kita juga. Meski pelayanannya sederhana, meski itu cuma kurir antar surat, tapi itu irreplaceable. Kita tidak bisa bayangkan kalau ketika Epafroditus pikir, “aah pelayanan ini cuman antar surat biasa,” kita nggak dapat surat Filipi lho. Dan karena kesetiaan dari Epafroditus ini maka surat Filipi dengan sungguh Dia kerjakan dalam pelayanan kepada Tuhan, dia hantarkan kepada jemaat Filipi ini, dan akhirnya kita dapat salinan ini, jadi berkat pada gereja sepanjang segala abad. Kita lihat di sini Tuhan memakai, dan begitu pula juga kalau kita melihat dari konteks pelayanan lain dari konteks lain kita melihat juga pelayanan kita, kita membutuhkan co-worker, kita membutuhkan rekanan, yaitu rekan sekerja, yaitu rekan sekerja yang kita bisa trust, yang kita bisa percaya, dan itu penting dalam kita mengerjakan pelayanan ini, yang kita bisa trust dan yang kita bisa percaya dia. Saya check ataupun nggak check dia tetap akan kerjakan, itu yang bisa kita percaya. Saya sendiri dalam kadang-kadang kesempatan itu, mungkin nggak di sini, dalam kesempatan lain saya pernah ngomong, kalau misalanya saya percaya ya, saya kerja, saya hire karyawan, saya pekerjakan satu karyawan, lantas saya perlu duduk pantau dia baru dia bekerja, lebih baik saya nggak usah pekerjakan dia, itu berarti nggak bisa dipercaya. Nangkap ya? Yaitu kalau saya pantau dia kerja, saya tinggalin ooh dia main-main, saya tinggalin dia tidur atau kerjakan yang lain. Itu nggak bisa di-trust, nggak trustworthy, nggak bisa dipercaya. Tapi orang nggak bisa di-trust itu adalah saya ada ataupun saya nggak ada, dia tetap kerjakan ini dengan setia.
Dan itulah kira-kira, dan terutama di dalam konteks pelayanan kita harus bisa di-trust, bisa dipercaya. Dan itu di dalam pelayanan kita, kita mencari orang yang sejantung dengan kita, tidak tentu sama persis pemikirannya dengan kehidupan kita. Ya terutama dalam opini, hal-hal minor, kita nggak harus selalu sama. Tiap kita kalau di-check itu beda kok, hal-hal minor, tapi hal-hal yang utama, yang penting mutlak di dalam posisi Alkitab dalam kehidupan kita ya itu harus sama. Meski nanti di dalam konsep tertentu, di dalam hal-hal yang lebih kecil itu tidak sama, dalam praktek yang lebih kecil kita bisa berbeda. Dan biarlah kita lihat justru itu mengasah kita, membentuk kita. Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya. Wah itu kalau ditajamkan nggak enak ya. Alkitab itu tidak sungkan dan memang jujur mengatakan apa adanya. Besi menajamkan besi, wow tajam sekali ini ya, manusia menajamkan sesama. Kita mau nggak ditajamkan? Nggak enak ya. Kalau besi itu diasah, besi itu diasah terus, kita kalau diasah kita nggak suka. Tapi penting dalam kehidupan kita, Tuhan justru memroses kita dengan cara-cara yang demikian. Sering kali itu menyakitkan. Kadang-kadang itu dari ego kita dari diri kita, pride kita di dalam. Dan Tuhan hadirkan adanya orang-orang yang kok beda ya? Kok beda dengan apa yang saya rencanakan? Nah itulah bagian untuk kita rendah hati, ya memang hidup itu demikian. Kalau kita mengaku Allah yang berdaulat dan kita tidak, ya berarti kita sadar dong memang Allah berdaulat dan Allah hadirkan itu yang membentuk kita, menyadarkan kita supaya kita itu tahu kita tidak berdaulat di dalam kehidupan kita, tetapi kita serahkan kepada Tuhan. Yang mengasah kita biarlah yang concordia, yang sejantung dengan kita. Tetapi lihat kita ini tidak semua berada di dalam kontrol kendali kita, semuanya kita serahkan kepada Tuhan. Tapi yang penting yang mengasah kita, biarlah yang mengontrol kita, yang sejantung dengan kita, yaitu yang hatinya sama, jantungnya diserahkan bagi Tuhan.
Kadang-kadang dalam kehidupan ini orang lebih rela diasah dengan pekerjaan, diasah oleh uang, tetapi kita ini kok sulit ya kalau mau diasah dengan Tuhan, dengan firman Tuhan, dan apalagi diasah dengan rekan sepelayanan, wah itu paling sulit, ya kan? Kalau bos kita suruh, ini kerjakan ini, ya sudahlah, memang tuntutan kerjaan. Tapi kalau dalam pelayanan ini kita dibenturkan dituntut jarang kita bilang inilah tuntutan pelayanan. Kita akan komplain, kok pelayanan begini sih, pelayanan begini begitu. Tapi kalau bos yang suruh ya dia ikut tho. Kenapa? Ya dia yang gaji. Dia gaji jadi ya saya ikut. Kadang-kadang kita, ini kembali, bukan untu saya menghina atau saya mengejek tapi supaya kita belajar instropeksi diri kita. Berapa banyakkah dari kita itu belajar diasah oleh rekan sepelayanan kita. Saya sendiri bersyukur di dalam banyak hal pelayanan itu tidak harus semua berjalan seperti apa yang saya mau, oh ya memang, dan memang nggak harus seperti yang saya mau, yang penting berjalan seperti yang Tuhan mau. Dan ketika itu berjalan itu membentuk saya, membentuk setiap kita dalam melihat kita tetap punya hati yang sinkron mengikut Tuhan, dan tetapkah kita menjalankan pelayanan kita yang tak tergantikan itu? Kadang-kadang Tuhan hadirkan ada orang lain ya, orang lain yang “sulit,” kembali, bukan untuk mengagung-agungkan permasalahan dan konflik dalam gereja, tapi adalah memang itu untuk mengasah kita soalnya. Ya iya to? Kalau sama-sama halus kan nggak bisa terasah. Memang ada gesekan di situ, dan kadang ada peranan dia di sana membentuk kita dan juga membentuk dia. Dan ketika itu terjadi biarlah kita melihat itu irreplaceable, tak tergantikan dalam pelayanan kita.
Dan sebagaimana juga dalam konteks keluarga kita, kita melihat juga begitu, dalam konteks keluarga bagaimanakah yang menjadi sekerja dengan kita yaitu yang memang kita bisa trust. Ini ya, tiga unsur penting ya, tiga hal ini ya, trust, concordia dan irreplaceable. Di dalam keluarga kita itu kadang-kadang kalau saya tarik ke keluarga orang itu lebih gampang langsung ngeh. Unsur penting dalam kelaurga itu adalah trust. Saat kita mengikuti konseling pra-nikah itu ada hamba Tuhan yang mengatakan itu dalam pasangan itu dua unsur penting: komunikasi dan trust. Lalu dia bilang, komunikasi yang buruk seringkali membuat ada permasalahan dalam keluarga, ya kan, yang satu ngomongnya begini, yang satu ngomongnya begitu. Saya sendiri pernah dengar ada bapak yang punya dua anak yang berbeda. Kalau anak pertama ditanya, “Mau nggak pergi makan setelah ini,” misalnya makan bakmi, kalau anak pertama jawabnya, “Mauuuuu!” Panjang gitu ya. Tapi terus yang anak kedua jawabnya cuman, “Ya.” Ya itu memang komunikasinya ada beda-beda ya. Memang ada orang itu lain-lain, komunikasinya beda. Tapi kita belajar, mengerti gaya komunikasi orang berbeda. Dan kadang-kadang memang komunikasi yang buruk atau kita kurang mengerti dengan satu sama lain itu bisa merusak, menjadi masalah di dalam keluarga. Tapi kemudian hamba Tuhan itu ngomong: kalau bicara trust, itu kalau rusak, itu tidak tergantikan. Kembali lagi ya, kalau komunikasi buruk kita bisa konseling, kita bisa perbaiki, dengan cara coba jalin lagi hubungan dan coba dibicarakan dengan terbuka, kita bisa ada titik temu sih. Tapi kalau trust dirusak, itu susah sekali baliknya, dan kadang-kadang nggak bisa balik. Contoh saja ya, misalnya ada seorang pasangan yang sudah menikah, sudah sekian lamanya, mereka setia, mereka menjalani hubungan rumah tangga mereka dengan setia. Si bapak ini sudah setia di dalam 20 tahun pernikahan mereka, dia tidak pernah menyeleweng, tidak pernah selingkuh. Terus satu ketika dia selingkuh, lalu dia pulang pada istrinya, “Oh istriku, saya minta maaf. Meski saya selama ini, 20 tahun itu setia tidak pernah selingkuh, saya baru saja selingkuh. Tapi ingatlah istriku, saya itu cuma selingkuh 20 menit.” “Selingkuh 20 menit, tapi saya kan setia 20 tahun. Jadi nggak apa-apa dong selingkuhnya cuma 20 menit, saya setianya 20 tahun.” Kalau kita ukur-ukur itu rentangnya: Oh iya nggak apa-apa ya, cuma 20 menit, gitu ya. Lho, nggak bisa! Kenapa nggak bisa? Karena di dalam perselingkuhan itu bukan cuma masalah ukur rentang waktunya, tapi itu break, menghancurkan trust itu, menghancurkan kepercayaan yang dipelihara selama 20 tahun itu. Dan itu kita lihat itu, trust itu penting sekali. Trust itu kadang-kadang, saya melihat di dalam kehidupan itu, kita kan susah ya, dan maksudnya itu, saya nggak bisa ngomong orang misalnya saya ngomong, contoh saya misalnya saya bilang kepada Yudha, “Yudha, percaya saya, percaya saya!” Nggak bisa gitu. Tapi trust itu nggak bisa kita suruh orang percaya, gitu. But we have to earn it. Kita harus bisa dapat itu, dan kita pelihara dan lestarikan itu. Trust itu lho, kepercayaan itu. Kembali lagi, kita nggak bisa ngomong kepada orang itu, “Percaya saya, pokoknya percaya saya!” Tapi kita semacam bisa mendapatkannya, membuktikan bahwa diri kita ini memang layak dan bisa dipercaya oleh dia. Dan ketika kepercayaan itu sudah diperoleh, peliharalah kepercayaan itu. Karena kalau kepercayaan itu rusak, sangat sulit kembali. Dan bahkan, dalam banyak kasus itu sungguh tidak bisa dipulihkan. Keluarga, kadang komunikasi buruk, kadang ada terjadi percekcokkan satu sama lain karena beda pemikiran, kepentingan dan banyak hal. Tapi biarlah kita ingat: trustnya, kepercayaan itu jangan kita rusak. Karena kalau itu rusak, pecahlah keluarga itu, pecahlah keluarga itu.
Poin berikutnya, yaitu, juga di dalam concordia, biarlah kita memikirkan di dalam concordia itu jantungnya sama. Yaitu di dalam keluarga itu, meski pemikirannya bisa beda-beda, dan kemampuan potensinya beda-beda, tapi kita melihat bagaimana jantung keluarga ini sama, yaitu dipersembahkan bagi Tuhan. Dalam kehidupan kita sebagai keluarga, berapa banyak kita menggumulkan, di dalam keluarga ini kita mau bawa ke mana? Yaitu kita persembahkan bagi Tuhan. Anak-anak kita bisa pemikirannya beda dari kita, anak-anak kita bisa itu pemikirannya ada yang mau concernnya studi ini, berbeda dari orang tuanya. Iya kan? Beberapa mahasiswa juga alami itu kan? Saya inginnya studi A, tapi Bapak saya ingin studi B, mama saya malah mau studi C, lain lagi seperti itu. Tapi meski beda-beda pandangan, tapi biarlah kita lihat jantungnya sama, yaitu sama-sama mau mempersembahkan hidup ini, dipakai satu kali. Hidup yang satu kali ini dipersembahkan untuk Tuhan. Itu jantungnya sama, concordia-nya itu di sini. Sehingga meski kita bisa berbeda, dan ada ketegangan tertentu karena beda kepentingan, beda pemikiran, dan beda perencanaan. Tapi minimal kita lihat, ketika kita beda pandangan dengan orang tua kita atau pun pasangan kita, kita lihat, sama-sama mau yaitu dipakai hidupnya untuk bagi Tuhan. Itu concordia. Dan saya lihat ini aplikasi yang sama mungkin bagi berapa anak-anak muda yang bergumul mencari pasangan hidup, carilah yang concordia itu, yang jantungnya sama, sama-sama bergumul dipersembahkan bagi Tuhan. Kadang-kadang tidak tentu seperti yang kita bayangkan, sesuai dengan ide-ide kita. Tapi kalau kita lihat, imannya sama, jantungnya sama, sudah diberikan hati yang baru, diberikan hati yang taat kepada Tuhan sebagaimana yang dikatakan dalam Alkitab, biarlah kita melihat, itulah yang memang menjadi rekan sekerja kita, dan biarlah menjadi orang-orang yang tak tergantikan.
Ketika berbicara irreplaceable, saya ketika menemukan ini, saya ingat apa yang pernah, di dalam berapa kesempatan itu saya bertemu orang yang berbeda. Lalu, di dalam kesempatan tertentu, saya bertemu pasangan yang punya anak, lalu dia bilang seperti ini,
“Oh ini, anakmu?”
“Iya, ini anak saya. Ini anak kedua.”
“Lho kok anak kedua? Yang pertama mana?”
“Oh yang pertama sudah di Tuhan.”
Oh ternyata keguguran. Gitu ya. Atau bahkan ketiga, dst. Ya, saya memang belum punya anak ya, belum menikah, terus saya agak sulit membayangkan, itu kenapa dihitungnya seperti itu, gitu. Tapi saya pikir dalam banyak hal karena orang tua ini sadar bahwa anak itu irreplaceable, anak itu tak tergantikan. Oh ini keguguran, ini meninggal karena satu dan lain hal. Tapi tetap dihitung, tak tergantikan. Dan itu kita ngerti, anak-anak kita juga demikian. Anak-anak kita demikian, adakah kita punya perasaan seperti itu? Bahwa ketika kita, di dalam keluarga kita, meski kembali bisa berbeda satu sama lain dalam kehidupan kita, tapi kita sadar dia itu tak tergantikan. Tuhan pakai dia membentuk kita. Tuhan hadirkan dia juga mengasah kita, Tuhan pakai dia juga untuk kita belajar bagaimana percaya kepada anggota keluarga kita. Dan kita pakai juga kehidupan kita menjadi berkat bagi sesama kita. Saya ketemu di dalam berapa kesempatan yang berbeda, entah dari jemaat umum, dari pengurus, dari hamba Tuhan juga mengatakan hal yang sama. Oh, ada yang pernah menikah, dan dia tetap itu, kenapa? Karena saya percaya itu tak tergantikan. Dalam kehidupan kita, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kembali kita sadar, kehidupan kita, kita nggak bisa sendiri. Kita membutuhkan Tuhan dan kita membutuhkan sesama kita yang mengasah kita, membentuk kita, dan juga yang kepadanya kita dipakai menjadi saluran berkat pada mereka. Tapi adakah kita bisa dan bergumul mendoakan co–worker itu, rekan sekerja. Kita bisa percaya, yang sejantung dengan kita dan yang tak tergantikan itu.
Biarlah dalam kehidupan kita, ketika kita memperolehnya, ketika Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita, kita bersyukur, kita menjaganya, kita melestarikannya, dan kita belajar melihat bagaimana Tuhan membentuk kita, memproses kita melalui rekan-rekan sekerja kita. Orang-orang yang Tuhan panggil juga untuk menjadi rekan sepelayanan kita. Dan biarlah semuanya itu kita pakai untuk kemuliaan nama Tuhan saja. Soli Deo Gloria. Mari kita satu dalam doa
Bapa kami dalam surga, kami berdoa bersyukur untuk kebenaran firmanmu, kami berdoa bersyukur melalui penyampaian firman Tuhan yang sederhana di hari ini. Biarlah mengingatkan kami bagaimana kita hidup di tengah dunia ini. Sebagai orang yang berdosa, tapi yang Kau kasihani dengan pengorbanan AnakMu yang Tunggal, Yesus Kristus, menyelamatkan kami dari keberdosaan kami. Dan kemudian juga Engkau hadirkan orang-orang dalam gereja, rekan-rekan kami, yang Kau pakai untuk mengasah kami dan juga menyadarkan kami dari dari diri kami sendiri yang seringkali kami terikat di dalamnya, ego kami, kesombongan kami, dan keberdosaan kami. Kami berdoa bersyukur untuk semuanya ini ya Bapa, kami berdoa kiranya Engkau yang pimpin kami, boleh belajar menghargai dan mensyukuri setiap anugrahMu yang Kau berikan dalam kehidupan kami secara pribadi maupun setiap orang-orang yang di sekitar kami, yang Kau hadirkan sebagai rekan sekerja kami, sebagai rekan sepelayanan kami, sebagai keluarga kami. Terima kasih Bapa untuk semuanya ini. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]