Flp. 2:28-30
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Di dalam bagian ini, ketika kita membaca bagian ini, beberapa commentary itu mengatakan bahwa dari hint dari ayat-ayat ini, maka mereka menyimpulkan bahwa sangat mungkin Epafroditus itulah yang diutus mulanya itu sebenarnya menemani Paulus, ya dia bersama dengan Timotius diutus untuk menemani Paulus di penjara. Namun kemudian, karena satu lain hal itu, Timotius perlu tetap tinggal bersama dengan Paulus, tapi kemudian Epafroditus diutus kembali kepada jemaat di Filipi dan melalui Epafroditus itulah dibawa surat Filipi ini. Jadi ini kita bisa menemukan ada suatu konteks di sini dan kemungkinan besar memang Epafroditus itulah yang bawa surat Filipi ini kepada jemaat di Filipi. Dan juga, ketika kita membaca dan memahami konteksnya seperti ini, karena itulah menjadi sesuatu yang cukup mengherankan, ya kalau mau dibilang mengherankan, dan beberapa commentary itu juga bertanya-tanya, yaitu kenapa Paulus memunculkan kalimat-kalimat itu. Ya kalau kita melihat di dalam ayat 28, mungkin umum kita pikir yaitu bagaimana Paulus mengirimkan Epafroditus dan bisa jemaat itu bersukacita ketika Epafroditus itu datang. Tapi ada kalimat di ayat 29, yang menarik yaitu dikatakan, “Sambutlah dia dalam Tuhan dengan segala sukacita dan hormatilan orang-orang seperti dia.” Nah ini menarik, karena kalau kita memperhatikan teks ini, ini adalah kalimat imperative, ini adalah kalimat perintah yang disampaikan Paulus kepada jemaat di Filipi. Dan ini membuat orang bertanya-tanya, “Kok harus sih Paulus memerintahkan hal seperti ini?” Saya percaya bahwa ketika Paulus memerintahkan hal ini, berarti ini adalah hal yang penting, yang memang bisa luput dari pandangan kehidupan jemaat di Filipi. Dan apalagi kalau kita mengerti, kita mengimani bahwa surat Filipi ini bukan sekedar tulisan surat Paulus, bukan hanya tulisan manusia semata, tapi melainkan firman Tuhan, maka ini merupakan perintah Tuhan bagi setiap kita. Tentu kita mungkin sulit membayangkan bagaimana menghormati Epafroditus, ya kita sudah tidak sezaman dengan dia, tapi menarik kenapa harus Paulus menegaskan akan kalimat perintah di sini? Kembali lagi kita tidak pernah dapat perintah, misalnya, kamu harus makan sehari 3 kali, seperti itu, otomatis kita lakukan. Tapi ada bagian-bagian kalimat perintah seperti ini disampaikan, sehingga itu kita mengerti bahwa ini berarti hal yang penting, dan seringkali itu bisa luput dari pandangan kita, yaitu untuk menerima pelayanan hamba Tuhan dan juga dengan sukacita menerimanya, menghormati, dan juga bersukacita, dan juga menghormati orang-orang seperti Epafroditus di sini.
Ketika saya merenungkan bagian ini, saya teringat di dalam pengalaman saya tuh, berapa tahun yang lalu ya, ya sudah lama, dekade yang lalu sebenarnya. Yaitu ketika dulu saya pertama kali masuk GRII. Saya waktu itu kuliah S1 umum di Karawaci waktu itu, saya kuliah S1 umum, lalu saya ingatlah pertama kali bersentuhan dengan Reformed sebagai mahasiswa, ya datang. Waktu itu dikasih tahu oleh om saya, “Oh kamu cari gereja, itu GRII, gerejanya pak Tong, pergi ibadah sana!” Terus saya datang, dengar, dengar, dengar, dan awal-awal itu kan nggak ngerti, gitu kan. Setelah jalan berapa lama, ada sebulanan mungkin, atau dua bulan gitu, lalu baru ngerti, “Oh maksud khotbahnya gini!” Mulai betah, ngerti, ngerti, seperti itu. Lalu saya ingat di dalam sampai satu titik, jalanlah saya perkuliahan, sampai juga belajar mulai dibukakannya banyak sekali kelimpahan kebenaran firman yang disampaikan oleh hamba-hamba Tuhan pada waktu itu. Saya terbuka dan saya sangat bersyukur ya bahwa bisa belajar mengerti kebenaran firman yang jauh lebih dalam yang saya dapatkan dibanding tempat asal saya dulu, di Makassar. Lalu singkat cerita, lewat satu semester libur, akhirnya pulang ke rumah. Pulang ke rumah, kembali ke kota asal, nah saya ingat itu, ada suatu gelagat-gelagat, biasanya orang yang baru awal datang GRII. Kalau sudah dengar khotbah-khotbah Reformed itu, pulang ke kota asal, atau kembali dengar khotbah terus, “yah kok khotbahnya jadi begini doang,” gitu ya? Saya ingat sekali itu, awal-awal itu saya pulang ke kota asal saya lalu saya dengar khotbah minggu ya di tempat asal saya itu, lalu khotbah minggu, saya pikir, “Ah, ini pendeta kok khotbahnya kaya gini doang, nggak kaya di GRII, itu nggak kaya di GRII, khotbahnya gitu-gitu aja.” Saya ingat sekali ya, awal-awal itu, saya pulang waktu itu, terus sambal dia baca natsnya lalu saya baca, “Oh dia jelasin ini itu.” Terus saya pikir: Ah ini sudah, baru coba jelasin gini gini, biasa-biasa, gitu ya. Terus saya pikir: Ah ini mah memang nggak level, gitu ya, kayak-kayak gitu. Saya ingat sekali saya ada perasaan seperti itu, dan ada berjalan mungkin 1-2 minggu, lalu sampai di waktu kapan itu, minggunya saya datang lagi ibadahnya, ya karena mau nggak mau tetap harus ibadah di gereja asal saya di Makassar. Lalu saya pikir: Ah coba khotbahnya begini, sambil saya lihat-lihat, ya dengar-dengar begini – sambil seperti setengah menghina, begitu ya. Tapi kemudian ada satu teguran di dalam hati saya, saya percaya itu dari Roh Kudus, yang mengatakan begini, “Siapa kamu berani menghina hamba Tuhan? Siapa kamu anak muda?” Dan di situ saya gemetar sekali, saya ingat sekali, ada suatu sense itu, saya berasa: “Iya ya, saya ini cuma.. ya hanya anak muda yang baru-baru belajar teologi sedikit. Bagaimana pun juga yang di atas mimbar itu adalah hamba Tuhan.” Ya teologinya tidak sedalam hamba-hamba Tuhan di GRII, tapi dia adalah hamba Tuhan yang diurapi Tuhan, yang dipakai Tuhan memberitakan Injil. Hormatilah orang demikian! Dan itu saya ingat suatu momen, yaitu ya itu kecil sekali, itu suatu yang saya rasakan itu di dalam saya waktu duduk di ibadah-ibadah, dan sejak itu saya ngerti ya: Siapa pun yang khotbah di depan, saya harus menghormati karena dia adalah hamba Tuhan. Dan itu menjadi suatu hal yang saya ingat saya alami seperti itu. Ya sehingga saya di situ mulai belajar bagaimana pun juga hamba Tuhan, saya harus belajar menghargai.
Lalu kemudian jalan perjalanan waktu, saya kembali lagi ke Karawaci karena kuliah di situ. Lalu saya waktu masih pemuda di GRII Karawaci, saya ingat dengan engage dengan berbagai kegiatan, pelayanan di sana dengan pemudanya. Lalu kami ada suatu anekdot, gitu ya, suatu anekdot yang di antara kami, kelakar kami, para pemuda itu ngomong pakai istilah ini, “Oh iya jemaat itu bisa memilih hamba Tuhan, tapi hamba Tuhan itu tidak boleh memilih jemaat.” Betul juga ya? Karena apalagi kalau konteks Jakarta itu kan bisa pilih, hari ini saya mau ibadah di gereja A, oh besoknya saya mau ibadah di gereja B. Oh kali ini ah, hamba Tuhan yang ini ah, saya nggak suka ini, saya pilihnya yang itu. Ada kadang orang fans-fans tersendiri, oh hamba Tuhan yang ini, kalau yang ini saya mau dengar, yang itu saya malas dengar, dan seterusnya. Gitu ya. Saya ingat sekali itu ada suatu istilah dengan sesama saya pemuda, gitu ya, ngomong, “Oh ya memang jemaat bisa pilih hamba Tuhan, tapi hamba Tuhan nggak boleh pilih.” Terus sekarang saya malah jadi hamba Tuhan, gitu ya, ganti sisi sebaliknya, gitu ya. Waduh celaka juga. Baru saya sadar, lho ini bicara juga sebaliknya. Sekarang saya sekarang menjadi hamba Tuhan, dan memang kenyataannya kami nggak boleh pilih jemaat sih. Dan di dalam bagian ini saya belajar menyadari bahwa bukan saja hamba Tuhan tidak boleh memilih jemaat, hamba Tuhan juga tidak boleh menolak jemaat kan? Jemaat itu bisa menolak hamba Tuhan, kenyataannya, realitanya ada, actualnya seperti itu. Tapi hamba Tuhan tidak boleh menolak jemaat, dan tidak boleh memilih-milih jemaat. Dan maksud saya ini pembicaraan bukan bicara tentang saya, dan semuanya gitu, saya bicara ini spirit of servant, inilah hati seorang pelayan. Tapi kenyataannya, dalam realitanya, memang dalam pelayanan kita bisa ditolak.
Saya contoh saja, dalam pelayanan-pelayanan seperti misalnya pemusik. Seperti pemusik, bukankah kadang-kadang kita mengerjakan pelayanan, ya kita kerjakan pelayanan, lalu lantas ada kritikan: “Ah mainnya cuma begitu!” Lalu lantas orang yang menghina kita, oh ya udahlah, Bapak-Ibu kalau yang menolak kita ya, kalau datang itu, pakai ini saja, sumbat telinga saja, saya main cuma untuk orang lain. Nggak bisa dong! Anda harus tetap main entah orang tolak atau nggak tolak, entah anda dihina atau nggak, kita kerjakan pelayanan itu, karena itulah menjadi seorang pelayan. Ketika misalnya kita menjadi seorang usher, kita akan menjawab semua orang kan, orang yang agak nyebelin, yang disuruh ayo duduk didepan, yang “ah saya mau pilih duduk nya di sini,” nggak mau diatur, ya mau nggak mau kita harus tetap terima kan. Dan memang dalam pelayanan itu ada seperti itu, kita kalo yang pernah juga sempat humas ya , saya juga dulu waktu masih pemuda, berapa kali pelayanan humas, kita akan ajak orang datang KKR, kita tahu seperti misalnya KKR dari Pdt. Dr Stephen Tong, kita ajak, “ayo Bapak-Ibu, atau ajak anak-anaknya untuk datang ke dalam KKR,” kita dorong, dorong mereka , tawarkan mereka, ajak untuk datang, tapi ketika ditolak, ya mau nggak mau kita terima seperti itu, situasinya itu memang seperti itu. Dan memang ini terkadang itu ya seperti ibu yang menyuapi makanan ke anaknya, ke bayi, lalu sendoknya itu dipukul. Tapi kalo itu terjadi kan terus berhenti suapi? Tetap disuapi , kenapa? Itulah artinya kasih, itulah artinya pelayanan, yaitu saya kerjakan meski saya siap ditolak, meski saya dihina, meski tidak dipandang pelayanan saya dan seterusnya.
Dan inilah kita mengerti itu yang dialami Epafroditus di sini. Kalau kita kembali dalam bagian Epafroditus di sini, kita mengerti bahwa, dalam situasi ini, saya percaya dalam banyak hal jemaat itu mungkin sangat mengakui pelayanan Paulus tapi kenyataan tidak serta merta langsung bisa mengakui pelayanan dari Epafroditus. Karena itulah Paulus itu perlu memberikan rekomendasi, adanya suatu referensi bahwa dia co–worker, dia ini rekan sekerja pelayanan Paulus, dan jemaat harus belajar menghormatinya, orang seperti Epafroditus ini. Tapi kembali ya, ini adalah situasi saya berharap kita bisa nangkap ya, ini situasi dalam pelayanan. Kenyataannya dalam pelayanan itu tidak selalu indah, kenyataannya ada sisi kelam dalam pelayanan itu sendiri, yaitu sembari kita kerjakan sembari kita ingat bisa kapan saja kita dicek, ditegur, dikoreksi, ataupun bahkan diolok, dan terutama ditolak pelayanan kita. Saya kembali contoh misalnya usher, kalau kita pernah pengalaman usher, saya juga pernah usher dulu gitu ya, kita kerjakan misalnya, “Pak duduk di depan ya, bisa pindah duduk depan?” Apalagi misalnya kayak ya KKR mungkin besar seperti itu ya, “duduk di depan,” “oh nggak, saya mau duduk di belakang ibu.” Itu kan dia tolak kita kan, padahal kita sudah gantung patch gitu lho, saya ini usher, tetap ditolak bisa seperti itu loh, nggak peduli anda sudah pakai seragam kek, sudah keliatan memang ini usher-nya, orang nggak mau, orang bisa tolak seperti itu. Itu menolak pelayanan kita lho. Tapi coba saya lihat contoh ya, kemudian Pak Tong datang, lalu bilang, “bapak silahkan di depan,” “oh nggak saya tetap disini,” pasti kan sungkan gitu ya. “Oh iya iya iya Pak Tong, saya pindah ke depan.” Ya iya memang kalau Pak Tong ngomong, kalau kita yang ngomong ya nggak tentu. Tapi itulah situasi pelayanan Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kenyataannya pelayanan itu tidak selalu indah, tidak selalu penuh bunga, kadang memang ada durinya di situ, dan memang ada bisa menyakitkan, bahwa ternyata pelayanan dikerjakanpun itu bisa ditolak. Dan itu menjadi situasi di dalam pelayanan, dan bukan cuma bicara masa kini, di dalam mungkin konteks kita ya, di sini dan sebagai macamnya, tapi itu juga sudah dialami jemaat mula-mula dan sudah dialami bahkan orang seperti Epafroditus seperti disini. Menarik ya kalo kita lihat di dalam bagian ini Epafroditus itu namanya itu tercatat lho, sebagai pelayan itu, sebagai rekan sekerja pelayanan Paulus, itu bagian dari Kitab Suci, itu bukan cuma di catat di warta seperti itu, dicatat dalam Kitab Suci, tapi tetap bisa ada ditolak. Dan karena itu saya pikir menarik meski ini singkat ya, tapi kalau kita perhatikan, kenapa Paulus harus beritakan karena memang untuk jemaat belajar menghargai pelayanan hamba Tuhan, jemaat belajar mengenali orang yang memang sungguh-sungguh kerjakan pelayanan dengan tulus baik itu bagi kemuliaan Tuhan dengan prinsip doktrin yang benar, itu yang harus dihargai dan dihormati. Dan sebaliknya ada orang-orang yang mengerjakan pelayanan yang bukan berdasarkan prinsip yang benar, itu yang harus ditolak, itu yang harus ditolak, saya akan bahas mereka nanti.
Kemudian yang bagian keduanya , tapi terutama bagian ini dari mana kita tahu seorang pelayan itu yang sejati, dan bagaimanakah kita berikan penghormatan pada orang yang layak dihormati, yaitu kita bisa lihat contoh yang dipaparkan tentang Epafroditus di sini, yaitu dia melayani dengan dia oleh karena pekerjaan Kristus yang nyaris mati dia mempertaruhkan jiwanya untuk memenuhi apa yang kurang dalam pelayananmu kepadaku. Di bagian sini kita mengerti apakah ciri seorang pelayanan yang sejati yaitu dia bekerja pelayanan dengan sungguh, dia belajar taat pada apa pimpinan yang ada, dan terutama dia belajar dia hidup itu rela mati, rela berkorban bagi pekerjaan Kristus, itu cirinya, itu ciri-cirinya. Jadi ini bicara ke spiritnya ya, suatu semangat, suatu jiwanya ke dalamnya itu dia berani mempertaruhkan segalanya itu demi pekerjaan Kristus. Ketika bicara berani mati seperti itu kita berada di dalam konteks kehidupan masa kini maupun juga masa lampau. Itu biasanya orang pikir yang berani mati itu siapa sih? Itu paling umum kan kita mengertinya itu prajurit ya, militer seperti itu, militer itu berani mati untuk negara. Bahkan seperti kalau kita membaca kisah-kisah di dalam sejarah seperti kisah Helen of Troy misalnya, dimana adanya dua penguasa dengan peperangan yang besar itu terjadi, kita bisa melihat begitu banyak prajurit yang berperang dan banyak yang mati di sana. Tapi menarik ya, seperti saya bilang cerita Helen of Troy, di situ kita jangan lihat versi Hollywood-nya, itu versi yang penuh romatisisme-nya seperti itu, tapi ingatlah bahwa di dalam peperangan itu begitu banyak orang mati, begitu banyak manusia mati satu per satu, demi apa? Demi dua penguasa ini memperebutkan satu perempuan. Bayangkan demi memperebutkan satu wanita saja banyak yang mati. Nah itu kita lihat itu adalah mati yang sebenarnya kalau secara definisi seorang prajurit, “saya mati bagi negara, saya mati bagi raja,” rajanya sendiri buat apa ini mati? “Oh memang ini cuma pion supaya saya dapat memenuhi nafsu kedagingan saya, memenuhi nafsu seks-saya, saya ingin dapat perempuan itu,” dan akhirnya banyak orang mati.
Kenyataannya tidak semua kematian itu adalah suatu nilai pengorbanan, yaitu bisa menjadi sesuatu yang berharga. Kadang-kadang orang yang di bawah itu ya, cuma bisa berjuang habis-habisan, yang di atas sebenarnya cuma untuk memenuhi nafsunya saja. Dan itu adalah hal yang sebenarnya, kembali lagi ya, kalo kita lihat secara keseluruhannya secara utuh itu adalah tragis bukan romantis, itu tragis demi untuk satu perempuan begitu banyak yang mati perang habis-habisan seperti itu. Menang cuma demi memuaskan nafsu dari penguasanya, itu kita lihat itu bukan nilai pengorbanan seperti yang disampaikan dan dimiliki oleh Epafroditus di sini. Belum lagi ada ajaran yang ekstrim itu bahkan jadi bom bunuh diri, berani mati. Matinya untuk apa? Untuk mematikan orang lain, yaitu juga bentuk nekat yang lain itu, nekat saja berani jadi bom bunuh diri. Kalau kita lihat di sini, apa yang diajarkan dari iman Kristen, apa yang ditekankan di dalam doktrin Reformed, martir itu adalah berani mati demi menghidupkan orang lain. Rela berjuang, mati itu bukan karena nggak sayang nyawa, bukan karena nekat, tapi demi pekerjaan Kristus dan di dalam pekerjaan Kristus itu menghidupkan orang lain. Itu baru suatu nilai pengorbanan yang nilainya kekal. Dan berapa banyak kita kalau perhatikan ya inilah yang berharga. Inilah yang Paulus tekankan, orang yang berani kerjakan seperti ini, hargai, hormati. Realitanya dalam dunia ini kan orang lebih menghargai yang lainnya. Yang versi yang lain, versi yang sebenarnya cuma mengikuti nafsu duniawi dan cuma mengikuti pemahaman-pemahaman yang keliru dan tidak ada nilai kekekalannya. Kita lihat pelayanan dikerjakan Epafroditus, “oh apa sih, cuma kurir, oh ya cuma antar surat.” Oh ini penting sekali. Ini mengantar kitab Filipi dan itu menjadi bagian dari Kitab Suci. Dan di dalam tangan Epafroditus itu meski sederhana ya, dipandang, ya cuma kurir gitu, cuma anak masih hijau seperti itu. Dan tapi dia lihat, tapi Paulus melihat, anak ini meski masih muda, meski dia itu tidak dipandang seperti apa, tapi dia itu berani mati bagi Kristus. Dan itu ada suatu nilai pengorbanan, nilai yang kekal. Kenapa? Karena dia sadar, Epafroditus dalam dia kerjakan ini, saya bukan hanya sekedar taat Paulus, “saya sedang hidup memuliakan Kristus di dalam scope yang dipercayakan pada saya. Pun cuma antar surat, ya sudah saya kerjakan itu.” Karena surat ini penting dan dia jaga seperti dia jaga nyawanya sendiri, bahkan lebih dari dia pertahankan nyawanya. Dan itulah dia mengerjakan pelayanan itu dengan suatu nilai pengorbanan nggak habis-habisnya.
Berapa banyak Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita di sini, bisa memperhatikan di dalam perlayanan itu, berapa banyak pelayan-pelayan itu yang rela berkorban dan tidak memperlihatkan seperti apa pengorbanannya tapi dia kerjakan. Kadang-kadang kita itu kan cuma bisa ngomel. Komplain, komplain, kok begini? Kok begini? Pak Tong itu ada suatu cetusan yaitu you say, you pay. Nah itu kadang-kadang orang bilang, “oh you say you pay ya, berarti kalau orang mau kritik nggak bisa gitu?” Maksud Pak Tong bukan seperti itu, tapi maksudnya adalah, kalau kamu memang mau ngomong, kamu berani bayar harga nggak? Jangan hanya tahu nuntut. Oh misalnya ya, “guru Sekolah Minggu sini nggak baik, ya nggak pintar ngajarnya.” Ya sudah, kamu bisa ngajar nggak? Kamu mau paying nggak? Kita banyak kan cuma tahu komplain. Kita banyak itu cuma tahu minta, minta. Kapan kita belajar berbagian di dalamnya dan berkorban? Dan ketika kita menyaksikan ada orang-orang yang sudah mau lebih dahulu berbagian dalam pelayanan yang ada, kita belajar menghormati, menghargai pelayanan yang ada. Saya tentu bukan dibilang, bukan berarti tidak boleh memberikan kritik, inputan, boleh, tapi biarlah kita lihat untuk kebangunan, yaitu untuk kebaikan, bukan untuk menjatuhkan. Dan kita lihat untuk memajukan pelayanan yang ada. Tapi sering kali orang itu hanya bisa mengkritik saja, menghakimi saja, tidak melihat itu pekerjaan Tuhan seperti apa. Menarik John F. Kennedy, oh dia mengutip dari Macarthur itu pernah mengatakan bahwa “jangan tanya apa yang bisa negara berikan pada kamu, tapi tanyalah apa yang bisa kamu berikan pada negara.” Dan hal yang sama pernah juga dikutip Pak Tong, “jangan tanya apa yang bisa gereja berikan pada kamu, tanyalah apa yang bisa kamu berikan pada gereja.” Tanya di bagian mana saya bisa berbagian dalam pelayanan yang ada. Jangan cuma jadi duduk posisi boss, cuma terima ini dilayani, dilayani, dilayani, dan seterusnya, tapi belajarlah untuk melayani, belajarlah untuk memberi. Dan ketika memang kita masih ada kesulitan, pergumulan karena satu lain hal, dan kita lihat ada orang yang sudah berjuang kerjakan pelayanan, kita jangan lihat, “ah itu biasa.” Itu berarti orang sudah rela berkorban lebih dulu, sesuai dengan porsi mereka ya, dan kita belajar menghormati orang-orang yang mengerjakan pelayanan.
Apalagi, kembali adalah Epafroditus ini, dia bahkan berani mati bagi Kristus. Itu risiko. Risiko besar sekali di dalam zaman itu. Bawa surat dari mana? Dari penjara. Memangnya ini seperti zaman sekarang itu ada surat dari penjara terus bisa publish ke mana-mana? Oh zaman dulu, “Oh kamu bawa dari mana ini? Saudara dari mana?” “Oh dari itu Paulus.” “Oh itu si most wanted” gitu ya. Itu orang tahanan kriminal itu bolak-balik masuk penjara, itu langganan itu. “Oh kamu bawa suratnya? Ya dihukum mati kamu sekalian.” Sama nasibnya kan? Dan belum lagi ketika dibaca suratnya ada nanti bilang, wah ini kayaknya menentang raja. Kamu dihukum juga, karena ini berarti kamu mau subversi, dan seterusnya. Itu bukan pelayanan yang mudah. Dan kita tahu dalam kehidupan jemaat mula-mula, banyak orang lebih cenderung itu mengasingkan diri ke tempat yang jauh-jauh, tempat yang aman. Tapi justru orang seperti Epafroditus itu berani tengok Paulus di penjara. Nah itu risiko. Tapi di situlah Paulus lihat, meski ini pelayanan sederhana, tapi dia kerjakan dengan sungguh dan hatinya itu sungguh bagi Kristus. Paulus bilang, hormatilah orang-orang yang demikian. Karena apa? Karena dia mengerjakan pekerjaan Kristus. Pekerjaan Kristus yang dikerjakan dan dia mengerti itu sebagai suatu vocation dia. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di dalam kehidupan kita yang satu kali ini, janganlah kita cuma berpikir, “oh yang penting saya percaya Tuhan Yesus, saya nanti mati masuk surga.” Betul itu ada dikatakan dalam Alkitab, tapi bukan cuma sampai situ. Tapi kalau kita masih diberikan kehidupan, berarti kita ngerti ada peran kita yang Tuhan ingin kita kerjakan di dunia ini. Tuhan memberikan keselamatan pada kita itu bukan cuma untuk kita seperti dapat tiket masuk surga, tapi berarti untuk berbagian, masuk di dalam program Kerajaan Sorga. Dan berapa banyak kita berpikir dalam aspek ini? Bukan cuma bolak-balik itu masalah saya orang pilihan atau orang pilihan, bukan, pilihan atau bukan ya. Ya Calvin sendiri ngomong, orang yang kalau bergumul ini terus berarti memang sudah menunjukkan memang dia orang pilihan, karena orang bukan pilihan nggak mikirin yang gituan ya. Itu nanti mirip seperti yang di Matius 7, saya nggak bahas hari ini ya. Orang yang cuma pede terakhir nanti kecele gitu. Oh ternyata bukan.
Di bagian sini kita ngerti ketika kita sudah diselamatkan, kita sudah bisa percaya pada Kristus, kita mengerti bahwa maka ada suatu misi yang diberikan Tuhan pada kita, ada suatu vocation, ada suatu panggilan yang Tuhan ingin kita kerjakan dalam kehidupan kita, sehingga ketika kita berikan hidup baru, kita masih diberikan umur, kita diberikan kekayaan, kita diberikan berbagai potensi, talenta yang ada, biarlah kita ngerti itu bukan untuk dipuas-puaskan menurut kemauan kita saja, tapi terutama adalah untuk menggenapi rencana Allah. Dan itu yang kita harus gumulkan. Gumulkan setiap saat. Kita nggak tahu berapa lama waktu kita di dunia ini. Tapi pertanyaannya, ketika kita bertemu dengan Tuhan, kita ngomongnya apa? “Oh ini Tuhan saya ada tiket masuk sorga,” gitu? Bukan. Kita akan ditanya apa yang sudah kamu kerjakan selama ini? Sudahkah kamu genapi panggilanmu? Sudahkah kamu kerjakan apa yang Aku ingin kamu kerjakan? Dan di bagian ini Epafroditus kerjakan bagian itu. Kalau kita banding yang mana lebih penting, pelayanan Paulus dengan Epafroditus, oh Paulus dong, dia yang tulis surat. Tapi kan kalau nggak ada yang antar surat itu mau gimana? Kita nggak dapat lho suratnya kalau nggak diantar. Tapi kembali lagi, di dalam pelayanan itu bukan fokus siapa yang besar siapa yang kecil, bukan untuk berkompetisi. Tapi sesuai pada tempatnya masing-masing. Dan ketika kita kerjakan di dalam bagian itu, di tempat itu, kita mengerti kita sudah berfungsi sebagaimana harusnya di dalam rencana Kerajaan Sorga. Sama seperti misalnya jam tangan yang saya punya seperti ini ataupun punya setiap kita. Di dalamnya kan ada berbagai parts di dalamnya, ada gerigi yang besar, ada gerigi yang kecil ya. Kalau dibilang, yang mana yang penting? Oh baterainya yang penting. Atau kalau yang otomatis, oh itu geriginya yang penting. Saya kalau mau bilang ya, mungkin kita ada bahkan pikir, “oh iya semua itu ada bagian-bagian yang utama itu yang penting ada as-nya, ada bannya dan seterusnya.” Tapi kadang-kadang kalau kita lihat, misalnya saja saya cabut satu sekrup saja, sekrup kecil yang dari jam itu, saya tanya, masih berfungsi dengan baik nggak? “Oh masih jalan pak, masih jalan.” Jalan setelah beberapa lama mati kan, macet kan? Oh sekrup satu kecil itu, tapi itulah peranan sekrup itu menahan di dalam titik bagian itu bebannya untuk supaya semua berjalan berputar sebagaimana mestinya. Dan berapa banyak kita pikir kadang-kadang ya Tuhan tidak terlalu tertarik panggil kita kepalakah atau ekor begitu, tapi di tengah-tengah itu lho. Kita kembali, pada bagian situ bukan masalah kepala atau ekor, di tengah-tengah itu, itu bagian kita. Walaupun sekrup cuma kecil saja tapi kita tahu kalau kita tetap kerjakan setia bagian itu ya Tuhan pakai. Berapa banyak kita coba memikirkan, menata ulang, menginstropeksi kehidupan kita, kita planning, sudahkah berfungsi sebagaimana Tuhan yang mau? Dan ketika kita sudah kerjakan sebagaimana Tuhan yang mau, itu memperkenankan Tuhan, Tuhan bilang, “ya cukup, memang bagianmu di situ.” Epafroditus mungkin orang pandang sebelah mata, “oh ya sudah sekarang coba tulis surat sendiri” gitu ya, kitab Epafroditus ya nggak ada. Saya yakin dalam pelayanannya ini Epafroditus sadar persis panggilan dia di mana, dia terus setia kerjakan. “Oh cuma jadi kurir,” tapi itulah bagian yang dia kerjakan itu tempatnya di dalam seluruh rencana Kerajaan Surga. Parts yang kecil tapi kalau nggak ada, ya kita nggak punya, kita nggak nangkap bagaimana pekerjaan Tuhan yang besar itu.
Kembali, di dalam kedatangan Allah tentu Allah bisa memakai siapa saja, tetapi kenyataannya memang di titik ini Allah memilih dan menetapkan untuk pakai Epafroditus. Pertanyaannya dalam kehidupan kita, di mana titik posisi kita di dalam pelayanan, di mana titik posisi kita di dalam gereja ini? Bukan hanya duduk saja dan menyaksikan, menonton semua berjalan, tapi apa yang harus kita kerjakan? Dan biarlah kita terus gumulkan. Bukan masalah mau besar atau kecil, Tuhan di mana part, bagian saya? Dan kalau itu memang bagian saya biarlah Tuhan engkau mampukan saya dengan pertolongan Roh Kudus terus setia kerjakan supaya ini semua bisa berjalan sebagaimana yang Engkau mau. Itu yang harusnya kita gumulkan setiap saat. Bagian saya di mana? Saya sendiri, seperti saya pernah sharing-kan ya, saya sendiri besar ya saya besar melalui pelayanan dari orang-orang yang sederhana, dari guru Sekolah Minggu yang mengajar saya. Ya dia kerjakan, ya kerjakan saja, kerjakan bagian itu. Dia kan tidak tahu, “saya didik, mengajar anak ini sekarang besok jadi pendeta,” ya nggak tahu. Ya besok-besok jadi vikaris Leo, besok-besok jadi hamba Tuhan, nggak tahu. Tapi dia kerjakan bagian itu dan dia tanamkan iman sejati pada saya. Oh dipandang biasa aja, yah ngajarnya kaku gitu ya, biasa seperti itu, tapi dia kerjakan dan Tuhan pakai itu. Biarlah kita ingat bahwa “lebih baik saya kerja sederhana tapi Tuhan pakai, Tuhan berkati itu cukup, daripada saya bisa keliatan wah hebat tapi ternyata [Tuhan bilang] “Saya nggak pakai kamu, saya nggak mau kamu kerjakan bagian itu.”” Saya pikir bukan kebetulan ya tadi seperti klip yang ditayangkan, yang SPIK Pneumatologi, ada orang-orang yang besar bisa terlihat wah kerjanya hebat, banyak sekali yang dengar, tapi belakangan akhirnya tahu kan itu palsu. Kenapa? Saya sederhana saja, karena sebenarnya di dalam isi hati Tuhan itu, “Saya bukan mau kamu kerjakan di situ tapi kamu ambil bagian yang bukan bagianmu. Kamu ambil itu bagian yang bukan bagianmu dan sebaliknya ada bagian lain yang mungkin seharusnya kamu kerjakan tapi kamu nggak kerjakan,” ini bicara tentu di dalam aspek kekekalan Allah yang bicara perintahNya, di dalam rencanaNya memang secara paradoks berjalan bersama-sama dengan penetapan kedaulatan-Nya yang tidak mungkin gagal, tapi dimana kita menemukan pimpinan Tuhan dalam kehidupan kita, yang seperti apa. Kita bukan main-main dalam pimpinan Tuhan, saya ini harusnya kerjakan apa sih, dan ketika saya sudah kerjakan maksimal dalam bagian itu ya sudah that’s enough. Jadi sekrup menjabat, ya nggak apa-apa, yang penting saya kerjakan bagian itu.
Banyak orang zaman sekarang itu selalu mencari yang keren-keren, yang wah-wah, yang fenomenal, lupa memikirkan sebenarnya kita itu mencari pengakuan manusia atau hanya mencari perkenanan Tuhan saja. Tapi itulah kenyataannya gereja jaman sekarang itu cenderung menghormati hal-hal yang sifatnya fenomenal, hal-hal yang sebenarnya hanya gimmick saja, dan kurang menghargai esensial, yang nanti makanya di dalam pasal berikutnya ada di detail dibahas itu di dalam pasal 3. Itu kenyataannya gereja itu lebih menghargai seperti apa yang dikatakan di dalam pasal 3 itu, yang sampai Paulus langsung tegur keras hati-hati terhadap anjing-anjing, terhadap penyunat-penyunat yang palsu di dalam pasal 3 dan selanjutnya. Itu keras sekali dia ngomong seperti itu. Kalau kita baca mungkin kita pikir “oh ini Paulus memperingati seperti ini, ada yang seperti ini ya tegurannya.” Saya membaca ini, kenapa Paulus itu harus memberitakan “hargai peranan Epafroditus dan hati-hati terhadap anjing-anjing itu,” itu bukan karena beneran anjing tapi kenyataanya di dalam realita, di dalam konteks kalau kita membaca dan mempelajari konteks Perjanjian Baru, yang beginian yang di hargai. Dan yang seperti ini, seperti Epafroditus, dipandang sebelah mata, “Oh cuma antar surat sudah,” tapi yang begini ini lho, yang ajar sunat itu, yang pakai Yudaisme itu, “Oh Ini yang keren, ini yang ajaran-ajaran,” yang nanti memang lebih jelas lagi di kesempatan lain bisa kita bahas. Orang yang ngajar, “Oh Kristus, iya Kristus tapi plus ada sesuatu yang lain, lho itu yang lebih keren.” Kristus plus apa? “Oh kamu sunat.” Oh Itu dari dulu seperti itu. Tidak pernah orang melihat itu cukup Kristus saja, tapi Kristus plus ada yang lain. “Oh kalau kamu percaya Kristus, tambah ada yang lain, tambah tradisi, tambah pengalaman, tambah ini, tambah itu.” Kalau sampai zaman sekarang, “Oh tambah harus bisa juga bahasa roh. Bahasa rohnya itu ohh kayak gini-gini,” sembarangan kayak orang kena ayan seperti itu. Oh ini bahasa roh sudah lebih aneh aneh, lebih aneh, lebih guling-guling, “Oh ini dipenuhi Roh kudus.”
Roh Kudus bukan begitu, Roh Kudus itu adalah Roh, Dia adalah Allah Pribadi ketiga dari Allah Tritunggal, dan Dia yang mewahyukan Kitab Suci. Sehingga tanda sejati orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah dia justru orang yang mengerti Kitab Suci, bukan berguling-guling seperti itu. Coba kita pikir, ini Paulus bisa menuliskan surat surat ini, dia guling-guling begitu ya, guling-guling ahhh terus dia tulis, mana ada? Itu justru mencerahkan akal, mencerahkan pikiran, dan menolong rohaninya sedemikian, memampukan dia di tengah pemenjaran untuk menulis kitab ini. Itulah ciri asli dari dipenuhi Roh Kudus yaitu mengerti kehendak Tuhan, mengerti Kitab Suci, dan bukan praktek-praktek keliaran yang seperti itu. Bukan orang yang “oh sudah penuh” seperti itu, setelah itu selesai, selesai kegiatannya. Saya ingat sekali itu gereja ya, setelah itu juga nyontek kok, setelah itu juga berdosa, setelah itu korupsi, nggak berubah. “Oh tapi pengalaman rohani saya sudah dipenuhi Roh Kudus wah rasanya enak.” Apa itu ya? Dipenuhi Roh Kudus, tanda kesejatian dipenuhi Roh Kudus ya hidup kudus. Itu bukan roh ayan, itu bukan roh teriak-teriak, guling-guling. Dipenuhi Roh Kudus kita hidup kudus, mengerti Kitab Suci. Ini adalah kitab yang kudus, dan bisa menjalaninya, dan dengan gentar menjalani dengan setia panggilan kita, itulah ciri orang yang dipenuhi Roh Kudus. Dan kenyataanya dari zaman dulu sampai zaman sekarang itu banyak sekali orang justru lebih menghargai yang ekstrim-ekstrim, yang aneh-aneh seperti itu. Apalagi kalau kita bandingkan dengan standar, kalau pakai standar Kharismatik yang sekarang gitu ya, yang ekstrim ya, dengan teologi suksesnya, ohh Epafroditus sakit, oh pasti dia itu buat dosa itu makanya kena sakit. Tiap sakit itu pasti kamu ada dosa. Ayo minta ampun.” Terus kalau sudah minta otomatis sembuh? Oh nggak tentu, nggak tentu seperti itu. Memang betul ada bagian dalam Alkitab mengatakan orang kalau buat dosa, Tuhan bisa hukum dengan memberikan kesakitan, tapi ada kalanya juga tidak. Ada kalanya itu justru bukan karena dosanya, tapi jadi suatu perijinan Tuhan untuk menguji iman itu, iman dari orang tersebut, adakah dia tetap setia mengikut Tuhan justru di tengah kesulitan yang dihadapinya. Justru ini kita mengerti bahwa kalau orang bicara teologi sukses, ini ndak sukses sama sekali, lho Paulus masuk penjara kok. Kembali lagi ya, kita lihat di dalam Alkitab, betul adakalanya seperti rasul Petrus ketika dia dipenjara lalu pintu-pintu penjara terbuka, Paulus juga pernah mengalami, tapi tidak selalu demikian.
Mujizat itu bahkan kalau kita baca Alkitab itu, oh banyak ya, banyak mujizat nya. Selalu ingat ya, mujizat itu fokus bicara menyatakan Kristus, penggenapan yang sudah di diri Kristus. Dan kenyataannya sejarah Alkitab itu penulisannya panjang. Kitab Perjanjian Lama saja ditulis 1400-an tahun, kalau kita hitung mujizatnya cuma berapa? Berarti itu sebenarnya mujizat itu jarang sekali. Bahkan dalam sejarah gereja kemudian, oh di masanya Yesus banyak sekali, itu karena menyatakan Dialah Allah, Dialah sang Anak Allah, Dialah Mesias yang dinubuatkan itu. Dan kenyataannya mujizat juga tidak mempertobatkan orang Yahudi kok, malah menyalibkan. Beda dengan mujizat jaman sekarang, orang sembah-sembah, bukan cuma sembah-sembah, oh bayar lagi tiket orang untuk bisa lihat dia bikin mujizat. Itu memang untuk kemuliaan Tuhan atau dapat uang, untuk dapat jet pribadi dan seterusnya? Kita kembali dalam bagian ini, dan saya memahami dalam bagian ini ketika saya renungkan, kenyataan nya adalah gereja zaman sekarang kembali lagi ke model yang gimmick yang aneh-aneh yang gini, yang teologi nya makin aneh makin ngawur, “oh kayanya menarik ini, ini interpretasinya baru,” interpretasi nya baru maksudnya apa? Kalau berbeda dari apa yang orthodoxy itu sesat. Jangan sembarangan, hati-hati, banyak sekali zaman sekarang itu orang demi market, dengan market-oriented–nya itu bisa tafsir aneh-aneh, dan semuanya seperti itu karena dia meninggalkan iman mula-mula. Tapi yang begini fenomenal, orang lihat, “oh lihat di youtube tu, wah dia khotbahnya aneh-aneh.” Tapi coba kayak misionaris, kita ingat nggak sih namanya?
Saya sedih ya, ketika merenungkan bagian ini, banyak misionaris itu kita tidak tahu namanya sampai mereka sudah mati martir. Sampai sudah mati baru ngomong, “oh ini mati, oh baru kita tahu namanya kita doain,” ya sudah mati. Kita doakan nggak mereka, kita menghargai nggak pelayanan para misionaris, hamba-hamba Tuhan yang rela berkorban mengerjakan pekerjaan Tuhan? Dan ini juga bagian menjadi suatu self-critic bagi setiap kita, bahwa apa yang kurang dalam pelayanan jemaat dari Filipi, dan juga yang sering kali kurang dalam pelayanan kita itu adalah memang kita itu sebenarnya kurang rela berkorban sih. Cuma tahu suruh, “oh ya orang lain berkorban, orang lain berkorban,” sehingga ndak heran ketika ada “hamba Tuhan” tapi sebenarnya bukan, yang ngajarnya itu bukan rela berkorban tapi kamu dapat untung, kita lebih dengar yang gitu-gituan. Tapi kalau kita mengerti betul-betul apa yang core, inti dari iman Kristen itu sendiri, bicara kesetiaan, bicara pengorbanan yang terbesar, dan itu dikerjakan, ada hamba Tuhan yang setia kerjakan, seperti para misionaris kerjakan, kita belajar menghormati mereka. Kita belajar mendukung pelayanan mereka. Kita belajar menghargai bahwa merekalah yang telah mengorbankan dirinya, dan bukan cuma untuk mati, hidup itu, kesetiaan itu melayani di tempat misi, mereka dan keluarganya. Dan kita lihat harusnya demikian yang kita hargai. Dan gereja sekarang kan lihat, “ah misionaris, oh tinggalnya kurang keren ya, di rumah-rumah gitu, ini dong yang keren, yang naik jet pribadi.” Kita itu ndak mengerti, spirit dari seorang hamba itu apa. Hamba itu seperti apa sih? Dia itu menyenangkan dirinya ataukah hanya menyenangkan tuannya? Dan sangat disayangkan sekali meski bentuknya berbeda, tapi dari zaman dulu sampai zaman sekarang banyak orang yang kurang menghargai pelayanan hamba Tuhan dengan sejati. Tapi biarlah kita ingat dan tangkap itulah suatu spirit sebagai seorang pelayan. Dan setiap kita yang berbagi dalam pelayanan juga bersiap dengan hati seperti demikian.
Kembali lagi ya, kita bukan extreme, melayani demi penolakan, bukan. Kita juga ndak masuk dalam pengertian yang eccentric, aneh seperti itu, “oh saya melayani nih, saya ndak dianiaya, sengaja cari mati,” gitu ya, kita bukan seperti itu. Kita bukan keras demi keras itu sendiri tanpa arah. Terus misalnya Bapak-Ibu di sini guru Sekolah Minggu, “oh saya ngajar ayat hafalan, wih anaknya semua hafal pak, ya sudahlah minggu depan saya suruh mereka hafal Mazmur 115,” gitu ya, itu panjang, hafal semua? Pasti ndak bisa kan, pasti ndak bisa. “Wah saya makanya ditolak.” Nggak, bukan begitu ya, kita di bagian ini Paulus mengingatkan bahwa di bagian ini kita bukan sengaja keras demi keras itu sendiri, kita bukan sengaja aneh demi aneh sendiri, karena itu teologi eccentric, dan teologi yang aneh. Tapi kita bergumul sungguh mengikuti Tuhan, kenapa? Karena kita meneladani Kristus, yaitu Kristus, Dialah sendiri yang ketika datang pada milik kepunyaan-Nya, tapi milik itu menolak Dia. Sehingga di sini kita melihat, standar barometer kebenaran itu ada di dalam Alkitab sendiri. Bisa nangkap ya? Kita bukan aneh demi aneh sendiri, kita bukan berbeda dari dunia cuma demi perbedaannya, ya. Kita jangan salah tangkap perbedaan yang seperti itu, tapi kita berbeda dari dunia ketika kita menemukan apa yang diajarkan Alkitab memang berbeda yang diajarkan dunia. Dan di situ kita punya jangkar dan barometer, standar, tolok ukur yang kembali kepada Kitab Suci. Dan di situ kembali, Paulus melihat pelayanan kesejatian dari Epafroditus ini luar biasa di sini. Yaitu dia kerjakan bukan sekedar nekad-nekad-an thok, tapi dia bergumul, mengerti, ini pimpinan Tuhan, sesuai dengan panggilan dia, dia kerjakan, ya jadi kurir, kurir. Bagian situ ya bagian situ yang dia kerjakan. Karena yang dia tahu dia tinggikan Kristus. Dan dia berfokus meninggikan Kristus saja dan itu dia jalani dalam pelayanannya, dia jalani dalam pelayanannya, dia jalani dalam pelayanannya.
Oh kembali lagi kalau kita renungkan ya, dan coba pikirkan lihat dalam konteks Alkitab, zaman itu, Epafroditus itu tidak dianggap, tapi malah yang seperti ini yang dipuji-puji. Dan sayang sekali, sampai zaman sekarang juga tetap ya demikian. Justru, pendeta-pendeta palsu, justru nabi-nabi palsu itu yang dipuji-puji. Tapi yang asli, yang pelayanannya sederhana, yang dikerjakan sungguh-sungguh, itu yang dipandang sebelah mata. Tapi bagian ini, kembali Paulus mengingatkan, ingatlah, lihat kesejatian itu bagaimana pelayanan itu sungguh meninggikan Kristus, dan Kristus yang bukan cuma sekedar ngomong “Yesus Yesus,” tapi Yesus yang sesuai dengan Alkitab. Biblical Jesus. Yesus yang Alkitabiah. Coba cek, tanya, banyak orang yang bisa berkata, “Yesus Yesus, Yesus gini, Yesus gini,” pertanyaannya cek sesuai dengan Alkitab nggak? Atau pakai mengaku-aku, “oh saya ketemu Dia, saya masuk surga, turun nerakalah, ke jalan di tempat lain,” ndak ngerti ya belok sampai mana kok bisa pulang juga, seperti itu, ketemu Yesusnya cek tanya, Yesus yang dia ketemu, sesuai dengan Yesus Alkitab nggak? Kalau beda, itu berarti pengalaman palsu. Itu bukan pengalaman asli. Kita harus melihat Alkitab dengan jelas menyatakan Yesus itu seperti apa. Sebagaimana empat Injil menyatakan satu Kristus yang sama. Dan dari Alkitablah kita mengerti seperti apakah Kristus itu sendiri, dan seperti apa perintahNya, harus kita jalani dalam kehidupan ini. Dan kita lihat itu sudah jelas dan lengkap dipaparkan dalam Kitab Suci. Dan memang orang zaman sekarang itu dan dari dulu, itu memang ndak suka pegang Firman, ndak suka yang kebenaran objektif, patokan sesuai Alkitab. “Ya sih, sesuai Alkitab, tapi, nah pengalamannya gini-gini, pengalamannya gitu-gitu, saya alami gini,” sesuai dengan kita.
Kalau doktrin Reformed, kita bilang Sola Scriptura, kita bukan menyembah Alkitab, tapi kita ngerti Alkitab jadi standar, patokan kita mengerti Allah seperti apa. Karena tanpa Alkitab, kita ndak bisa mengerti Allah yang sejati, aslinya seperti apa. Kembali lagi ya, kita bukan menyembah Alkitab. “Oooo, ini Alkitab, yang saya sembah-sembah,” ya, nggak seperti itu, tapi tanpa Alkitab kita ndak bisa mengerti secara tepat, maksud Allah itu seperti apa. Ya, itu saya pikir sama saja sederhananya seperti kalau misalnya, ada Bapak- Ibu yang mengalami misalnya orang tuanya meninggal, lalu wah meninggalnya mendadak, tidak terduga, wah lalu keluarga semua sedih, lalu datanglah notaris bilang: “Ini ada surat wasiat dari mendiang ayahmu.” Lalu dibacakan isi suratnya, begini pesan-pesannya pada anak-anaknya. “Ooo iya, kami akan taati.” Saya tanya, terus kita berarti ini ya, menghormati, mentaati kertas itu? Lho bukan kan? Nangkap ya ? Surat wasiat, “Ooo ini surat pesan ayah, jadi ini kita taati gini, terus berarti kita sembah ini, kita sembah ini surat wasiat”? Bukan. Itu bicara bahwa inilah pesan yang terakhir disampaikan ya, dan karena itu, ini objective ngomong apa kemauan dia. Anak-anaknya mungkin bisa, “Wahh nggak, maksudnya gini, maksudnya gini. “ Lho tapi yang tertulisnya begini, yang benar begini. Dan untuk itulah ditaati. Dan itulah sebenarnya kita ngerti Alkitab itu di situ. Memberikan tuntunan yang jelas, yang objective kepada orang percaya sepanjang segala zaman. Karena tanpa Alkitab, kita ndak bisa mengerti Allah Tritunggal kok. Tanpa Alkitab, kita nggak bisa sungguh-sungguh mengerti Yesus itu sepenuhnya Allah, sepenuhnya manusia. Tanpa Alkitab, kita ndak bisa mengerti ada banyak sekali bagian-bagian Tuhan perintahkan dalam kehidupan kita, yang untuk kita percayai dan yang untuk kita lakukan. Tanpa Alkitab, kita ndak bisa berasal dari perenungan sendiri, “Oh Tuhan maunya seperti apa, Tuhan seperti apa,” nggak bisa. Karena itulah kita mengerti, kita butuh Alkitab yang membawa kita, yang menjadi patokan yang benar, Allah itu seperti apa. Dari prinsip umum, tarik nanti dalam konteks kehidupan kita secara spesifik, kita gumulkan, Tuhan mau kita gerak ke mana. Kembali ya, Alkitab itu jadi general principal, dari prinsip umum, dan kita gumulkan panggilan kita itu secara particular, secara spesifik, itu harus dikaitkan berdasarkan prinsip umum. Banyak orang juga pikir, “Oh saya mau cari kehendak Tuhan, cari kehendak Tuhan.” Ya taatilah mulai dari yang kehendak Tuhan yang tertulis ini. Dari prinsip umum, kalau kamu bisa sudah taati, kamu sudah gumulkan, mengerti Allah dengan lebih baik, maka kamu nanti bisa temukan, apa panggilanmu secara spesifik dalam hidup, apa panggilan kita secara spesifik. Karena kembali lagi ya, kita itu diberikan talenta. Tiap orang diberikan talenta, ada yang lima talenta, ada dua talenta, ada satu talenta. Itu berbeda, tapi pointnya adalah kita kerjakan talenta itu, garap dan ketika kita bertemu dengan Tuhan, biarlah kita bisa persembahkan, “Saya sudah kerjakan yang Engkau berikan itu. Saya sudah kerjakan yang bagian Engkau berikan. Saya sudah memperkenankan Engkau.” Dan Tuhan akan menyambut kita dan mengatakan : “ Baik kerjamu, engkau hambaku yang baik dan setia, masuklah dalam sukacita Tuhanmu.” Itulah yang harus kita terus gumulkan, pikirkan, apa sih kehendak Tuhan dalam kehidupan saya. Dan itu juga yang kita dapatkan sesuai dengan prinsip-prinsip Kitab Suci, sesuai dengan Alkitab di sini.
Kita kembali di sini, saya kembali katakan, di dalam mengerjakan pelayanan ini, kita bukan sekedar mau cari aneh, kita bukan sekedar cari susah, meski memang kenyataannya di dalam pelayanan itu selalu ada sangkal diri, pikul salib ya, dan ikut Tuhan. Itu memang ada demikian. Tapi kita bukan sekedar cari penderitaan. Sebagaimana di dalam ketika pernikahan, tujuan pernikahan itu apa sih? Ada yang bilang, “Oh supaya bahagia.” Ya itu salahlah, ya toh? Karena emangnya, sebelumnya ndak bahagia gitu ya? Kenyataannya malah kan setelah nikah lebih sulit ya? Bapak-Ibu yang sudah nikah, gimana ? Saya belum nikah sih, tahun depan sih, tapi ya katanya lebih sulit kan? “Oh kalau begitu saya nikah pak, supaya lebih susah.” Ya bukan juga. Kembali ya, kita lihat ini pernikahan itu bukan untuk bahagia, juga bukan untuk cari yang lebih sulit, bukan, tapi pernikahan adalah untuk kemuliaan Tuhan, untuk masuk ke dalam program rencana Tuhan. Dan di situ ketika ada kebahagiaan muncul ataupun penderitaan muncul itu adalah efek samping dalam kita menjalankan rencana Tuhan. Tapi ketika kita kerjakan dengan sungguh, kita tahu kita sedang jalankan sesuai dengan track rencana Tuhan, itu adalah suatu fulfillment, adanya suatu kita rasa saya sudah berfungsi sebagaimana seharusnya. Sama seperti skrup itu sudah dimasukkan di lubang yang seharusnya ditempatkan, ini sudah berfungsi sebagaimana seharusnya, and that’s enough, itu cukup, kita sudah memperkenan Tuhan di bagian itu dan kita sedang jalankan dengan setia apa yang Tuhan ingin kita berjalan.
Kembali ke sini, kita lihat pelayanan itu goal-nya adalah bukan untuk mencari kebahagiaan, juga bukan untuk mencari penderitaan, bukan untuk mencari penerimaan sesama ataupun sekedar untuk ditolak sesama, melainkan untuk memperkenankan Tuhan. Saya pikir di dalam bagian ini itu kontras dengan yang diajarkan Abraham Maslow ya dengan hierarchy of needs, mungkin kalau ada Bapak-Ibu yang tahu. Di sini saya katakan pelayanan itu bukan untuk mencari pemuasan aktivitas fisik, dan juga bukan untuk mendapatkan keamanan dalam komunitas, pelayanan bukan untuk mencari koneksi, relasi kasih antar sesama manusia, pelayanan bukan untuk mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari sesama manusia, juga pelayanan itu bukan kesempatan untuk aktualisasi diri, untuk mencapai pemuasan eksistensi diri kita karena justru Kristus mengajarkan untuk sangkal diri, pikul salib, dan mengikut Dia; tapi pelayanan itu adalah untuk memuliakan Allah semata sehingga tatkala semua fasilitas, dukungan, tunjangan horisontal itu tidak ada, tetap kita kerjakan pelayanan ini. Karena terutama pelayanan ini bagi Tuhan, vertikal ini utama. Kita mau push kerjakan pelayanan dari sudut pandang Allah, dan ketika Dia berkenan that’s enough, that’s enough. Ketika kita kerjakan pelayanan dan Allah dipuaskan, kita tahu kita sudah kerjakan yang terbaik yang kita bisa, dan dalam pergumulan kita, dalam relasi pribadi kita dengan Tuhan kita tahu kita sudah berikan yang terbaik dan Allah berkenan, ya sudah cukup. Kita tidak menunggu tepuk tangan dari orang, kita tidak menunggu applause dari manusia, kalau ada ya itu Cuma bonus tambahan, yang utamanya itu adalah kita melihat Tuhan, Tuhan berkenan itu cukup.
Dan di dalam bagian itu ketika kita kaitkan pelayanan kita itu kembali pada Kristus, di dalam pelayananlah kita mengerti, di dalam pelayanan kita belajar mengenal Kristus lebih mendalam dari yang sebelumnya. Sebagaimana John Piper pernah mengatakan bahwa “there is a kind of intimacy with The Lord Jesus that only those know who holdfast to Him in the midst of sorrow, and pain, and lost,” yaitu adanya semacam kedekatan relasi yang intim dengan Tuhan Yesus yang hanya bisa diketahui oleh orang yang mengerjakan, yang memegang tangan Kristus itu, dengan terus pegang tangan Kristus dengan setia di tengah penderitaan, kesulitan dan juga keterhilangan. Kenapa? Di dalam hal ini kita mengerti seperti itulah yang dialami Kristus, seperti itulah rasanya, kita akan mengerti itu yang dialami Kristus, meski Cuma sepersekian kecilnya kita alami ya. Kita semua tahu Yesus ketika datang ke dunia Dia ditolak oleh dunia, mengalami penderitaan dunia, itu saya tahu tetapi sampai anda kerjakan pelayanan bagi Kristus dan anda ditolak, anda dianiaya, baru anda melihat Oh itu rasanya, itu kesulitannya, itu tantangannya. Kembali lagi, itu hal yang lain itu mengetahui Yesus menderita bagi kita dan kita bagaimana berjuang menderita bagi Kristus itu adalah hal yang lain. Mengerjakan bagian itu kita baru mengerti, oh seperti itu rasanya. Dan lebih menarik lagi kalau kita renungkan, dalam kehidupan ini kita itu kalau bisa kita kan nggak mau menderita ya toh? Ya kita, normal lah, saya ndak suruh Anda pokoknya cari penderitaan, ya bukan begitu, kita kalau bisa memilih kita akan coba cari yang tidak ada penderitaannya. Tapi Kristus, sudah tahu Dia datang ke dalam dunia itu akan ditolak, tahu Dia akan dianiaya, Dia akan diumpat, Dia akan difitnah, Dia akan ditolak sedemikian sampai dianiaya mati di kayu salib, and yet Dia tetap melakukan itu. Dia tetap memilih itu dan dengan sukarela sengaja masuk situ. Kembali ya ini kalau kita renungkan bagian ini, lebih mendalam ya, besar sekali. Kita kerjakan pelayanan kita, kita kerjakan yang terbaik kadang diterima kadang ditolak, ya sudahlah kita nggak tahu, kalau bisa sih, tidak ditolak. Tapi Kristus dari awal tahu datang ketika Dia utus sudang datang, diutus oleh Allah Bapa Dia tahu bahwa “Saya akan ditolak,” tapi Dia tetap datang. Dia sudah tahu dari awal Dia akan mati syahid seperti itu tapi Dia tetap putuskan datang. Kenapa? Karena Dia mengerti itu kehendak Bapa, dan itulah satu-satunya jalan untuk keselamatan kita.
Kembali Bapak-Ibu, ini bukan hal yang baru. Bapak-Ibu mungkin sudah hapal, sudah tahu itu, tapi kita bisa belajar cicipi bagian itu nggak? Atau itu cuma, “oh saya cuma tahu,” kita nggak berbagian di dalamnya. “Oh saya mau serupa Kristus,” serupa Kristus seperti Dia toh? Pertanyaan kita mau nggak? Kita mau nggak menjadi serupa Kristus? Kita mau nggak melihat Dia Tuhan dan Juru Selamat kita? Bukan hanya, kalau Pak Dawis itu bilang kadang, bukan hanya bicara Dia juru selamat kita, tapi Dia juga Tuhan kita, Tuan kita dan kita hamba-Nya, mentaati kehendak rencana-Nya. Dalam pelayanan-Nya, dalam bagian ini saya memang khusus bahas di bagian ini, dalam pelayanan pasti ada penolakan, kenapa? Karena memang Kristus sudah lebih dulu mengalaminya. Murid tidak lebih dari gurunya. Kalau guru-nya, maksudnya bicara Tuhan kita tentunya, Tuan kita saja ditolak, Dia dianiaya, terus kalau lantas kita pelayanan itu selalu diterima orang ya? Maka, permisi tanya, adakah kita itu lebih hebat dari Kristus? Kita ini lebih hebat dari Kristus sehingga boleh tolak Kristus tapi terima kita, selalu terima kita, tapi tolak Kristus? Dalam pelayanan adakah kita itu lebih hebat dari para rasul dan para nabi? Yang pun satu persatu ditolak. Kita lihat pelayanan Paulus pun demikian ya. Paulus pun mengalami ya di bagian surat-surat lain menegaskan kerasulannya itu. Dan di dalam bagian-bagian lain itu para nabi itu juga banyak yang mengalami mati martir. Mati martir dibunuh siapa? Mati dibunuh bangsanya sendiri malah. Nabi Yesaya yang dalam tradisi itu mengerti dia itu digergaji di dalam pohon. Jadi dia lari bersembunyi di dalam pohon lalu dia digergaji oleh Raja Manasye, di situ dia dibunuh seperti itu. Satu per satu mati martir. Lalu pertanyaan juga yang lain kalau kita kerjakan pelayanan semua orang terima, semua orang terima, pertanyaannya itu sebenarnya kita sedang menyenangkan Tuhan atau sedang menyenangkan manusia sih? Motivasi kita itu apa? Pelayanan kita itu didasarkan, dijangkarkan pada kebenaran firman Tuhan tanpa kompromi atau tidak? Atau kita pakai trik-trik selalu supaya kita diterima? Supaya diterima, supaya diterima, akhirnya terakhir ditolak Tuhan.
Tapi kalau kita mau jalankan dengan konsisten, kita jalankan dengan sungguh-sungguh untuk memang mau menyenangkan Tuhan, siap-siaplah karena pasti ada penolakan, pasti ada kesulitan, pasti akan ada pergumulan. Karena apa? Karena Kristus sudah lebih dulu ditolak. Karena Kristus sudah lebih dulu. Dan ketika kita mengalami kesulitan penderitaan itu, ya, biarlah itu menjadi suatu tanda seperti dikatakan seorang teolog itu supaya kita belajar lebih lagi mempercayakan diri kita kepada Tuhan, karena baru dari situ kita ngerti oh seperti itu pelayanan. Maafkan ya saya ngomong, kalau orang ngajar Sekolah Minggu itu kadang-kadang, “kenapa kamu ngajar Sekolah Minggu?” “Oh saya suka anak-anak.” Ya, belum ketemu dia anak Sekolah Minggu kita kayak apa gitu ya. Anda tahu karena anak anda juga kan. Itu kalau cuman sekedar suka ya okelah, tapi setelah kerjakan harus persiapan, kerjakan ini itu, belum nanti bisa dikomplain ini dan itu, itu baru tahu, waktu sulit itu dia baru tahu, “oh seperti ini pelayanan.” Dan memang waktu itu baru mengerti pelayanan, sebelumnya itu nggak. Ngertinya cuman senang, aktivitas-aktivitas, tapi sampai kita mengalami kesulitan itu barulah kita ngerti oh ini memang pelayanan. Dan ketika di titik itu, di titik kritis seperti itu, kita tahu bahwa di bagian ini Tuhan sedang membentuk kita, mengasah kita untuk semakin serupa Kristus. Baru kita cicipi sedikit seperti apa yang dirasakan Kristus. Belum lagi memang dalam aspek lain kita tetap bisa dengarkan kalau memang ada koreksi, kalau ada salah kita benahi, tapi bagian lain kalau kita memang sudah kerjakan sungguh-sungguh disalah mengerti, oh Kristus juga disalah mengerti dari awal. Kejahatan apa yang tidak lebih besar daripada menyalibkan Anak Allah yang tanpa dosa itu, coba kejahatan apa yang lebih besar dari itu? And yet itu yang terjadi kan. Dan dari situlah kita ngerti keselamatan kita dapatkan. Caranya memang nggak enak, tapi itulah yang terjadi, dan itulah yang dijalani oleh Kristus. Dan ketika itu yang kita beritakan, kita jalani dengan sungguh-sungguh, kita lihat akhirnya kita bisa mengerti dan memuliakan Tuhan dan kita jalani pelayanan itu. Biarlah kita melihat di dalam pelayanan kita bukan mencari keamanan, kita tidak mengejar kenyamanan, tapi kita melihat kepada siapa kita layani? Dan kalau Dia dipuaskan kita cuma mengatakan seperti apa yang dikatakan dalam Lukas, setelah kita kerjakan semua yang sudah kita kerjakan, maka kita ngomong kita ini hanya hamba-hamba yang tidak berguna, yang melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Biarlah kita mengerti thats the spirit of servant, itulah roh, semangat, jiwa seorang pelayan yang melayani Tuannya dan hanya mencari perkenanan Tuannya, sampai kita bertemu Tuan kita muka dengan muka. Amin. Mari kita satu dalam doa.
Bapa kami dalam surga, kami berdoa bersyukur untuk firman-Mu. Kami berdoa bersyukur untuk kebenaran-Mu yang kembali mengingatkan kami di dalam pelayanan ada banyak kesulitan dan tantangan dihadapi, tapi kami berdoa bersyukur ya Tuhan, apabila di dalam kedaulatan-Mu, Engkau mengijinkan kesulitan dan tantangan itu adalah untuk membentuk kami semakin serupa Kristus, untuk membentuk kami semakin bergiat melihat Siapakah yang kami layani. Oh Bapa tolonglah kami, ya Tuhan, kami tidak sanggup melakukannya dengan kekuatan kami sendiri, jikalau bukan karena pertolongan dari Allah Roh Kudus. Biarlah Allah Roh Kudus saja yang memimpin kami, menopang kami, memampukan kami untuk setia menjalani pelayanan yang Engkau kerjakan, yang menggenapi panggilanMu dalam kehidupan kami, supaya ketika kami kembali kepada-Mu, kami sungguh boleh disambut sebagai hamba yang baik dan setia. Terima kasih Bapa atas semua ini, kiranya Engkau yang mampukan kami dan dorong kami untuk bertekun mengerjakan panggilan-Mu. Hanya dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa. Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]