Ef. 5:22-28
Pdt. Dawis Waiman, M.Div.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pada waktu kita masuk ke dalam zaman akhir, zaman akhir itu dimulai dari zaman ketika Kristus datang ke dalam dunia ini, Alkitab menyatakan bahwa manusia ada di dalam suatu keadaan yang makin lama makin jahat. Manusia bukan dalam keadaan yang makin lama makin baik tetapi manusia makin lama makin jahat dan satu hal lagi Alkitab berkata manusia makin cinta kepada dirinya sendiri dan cinta kepada uang atau menjadi hamba uang. Ini dikatakan di dalam 2 Timotius 3:2. Bapak-Ibu boleh sambil buka ya. Jadi pada waktu kita melihat kepada problema yang dialami oleh manusia, sebenarnya bukan karena manusia kurang dikasihi dalam kehidupan mereka sehingga mereka menjadi ada masalah di dalam kehidupan mereka, tetapi persoalan yang paling mendasar sekali yang Alkitab katakan adalah karena manusia terlalu mencintai diri sendiri, itu yang membuat terjadinya masalah dalam dunia ini. Kita seringkali mendengar isitilah bahwa “kalau kita mau mengasihi Tuhan, kalau kita mau mengasihi sesama, hal yang pertama kali harus terjadi dalam kehidupan kita adalah kita belajar mengasihi diri kita terlebih dahulu, kalau kita bisa mengasihi diri kita terlebih dahulu baru kita bisa mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama kita.” Tetapi problemnya, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, Alkitab tidak pernah mengatakan ada 3 hukum utama, tetapi Alkitab hanya mengatakan ada 2 hukum utama yaitu kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, jiwamu, akal budimu, dan kekuatanmu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Hanya ada 2 hukum kasih ini, sehingga tidak perlu ditambahkan ada hukum ke-3 “engkau harus mengasihi dirimu sendiri terlebih dahulu baru engkau bisa mengasihi Allah dengan segenap hatimu, baru kau bisa mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Problemnya adalah kalau kita mengasihi diri kita lebih besar lagi, maka saya percaya tidak mungkin ada kasih kepada Allah dan tidak mungkin ada kasih kepada sesama.
Kasih kepada diri yang terlampau besar itu yang menyebabkan ada masalah relasi baik itu di dalam kehidupan kita dengan orang lain ataupun kita dengan di dalam sebuah kehidupan keluarga antara suami dengan istri, antara orangtua dengan anak-anak. Makanya pada waktu Bapak-Ibu membuka 2 Timotius 3:2 dikatakan, “Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang, mereka akan membual, menyombongkan diri.” Kenapa manusia membual? Atau saya pakai istilah seperti ini, karena manusia mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang maka mereka membual, mereka menyombongkan diri, mereka menjadi pemfitnah, mereka memberontak terhadap orang tua dan tidak mau berterima kasih, tidak memperdulikan agama. Karena manusia terlalu mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang, maka mereka tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu daripada menuruti Allah. Ini adalah problem yang sangat mendasar sekali dalam kehidupan manusia. Dan istilah yang digunakan di dalam ayat yang ke-3, tidak tahu mengasihi, itu berbicara mengenai suatu keadaan yang bisa diterapkan di dalam kurang adanya kasih di dalam keluarga. Kenapa ada masalah di dalam keluarga? Kenapa ada keributan? Kenapa ada perselisihan? Kenapa ada perpisahan atau perceraian dalam kehidupan keluarga? Kenapa anak-anak menjadi anak-anak yang tidak punya aturan? Terlalu mungkin tidak menghormati orang tua, bahkan menjadi anak-anak yang kurang ajar? Sebabnya karena di dalam keluarga itu tidak memiliki kasih atau kurang adanya kasih yang diterapkan di dalam keluarga. Ini menjadi masalah. Itu sebabnya pada waktu kita melihat di dalam suatu kehidupan relasi antara laki-laki dan perempuan atau suami dan istri, mungkin tidak terjadi suatu kesetiaan sampai kematian memisahkan, mungkin tidak ada sesuatu pertumbuhan atau saling memperhatikan satu dengan yang lain dalam kehidupan keluarga kalau masing masing orang hidup di dalam mengasihi dirinya sendiri? Saya yakin jawabannya adalah tidak. Karena kita yang utamakan adalah apa yang menjadi kehendakku, keinginanku, apa yang menjadi hasratku, apa yang menjadi cita-citaku, apa yang menjadi nafsuku, itu yang kita selalu utamakan di dalam setiap keputusan yang kita lakukan dan kita tidak peduli istri kita, atau suami kita, atau nasib hidup anak-anak kita, bagaimana mereka, yang penting adalah saya punya kengininan itu harus terjadi.
Saya pernah di dalam suatu konseling saya berbicara dengan satu pasang keluarga. Lalu di situ saya bilang mereka adalah orang yang pernah bercerai lalu ingin menikah kembali. Lalu di dalam pembicaraan itu saya mengajukan satu hal yang mungkin bagi mereka itu tidak masuk akal dan mungkin juga bagi banyak keluarga yang berpisah dari pasangannya ini adalah hal yang agak mustahil tapi saya pikir ini adalah hal yang baik. Saya mau katakan kepada mereka seperti ini, “Kalau kalian menikah suami dan istri, anak dari si istri dengan anak dari suami siapa yang pelihara?” Lalu saya bilang, “Yang harus pelihara adalah kalian yang menerima tanggung jawab itu.” Ketika kalian bercerai dengan pasanganmu, lalu pasanganmu menyerahkan anak itu ke dalam tanganmu, kalian harus pegang, pelihara dia bersama pasanganmu yang baru kalau kalian menikah. Dan dia harus belajar otoritas dari papa yang baru dan atau mama yang baru dalam kehidupan keluarga. Dan kalian nggak perlu lagi terlalu harus mengusahakan suatu relasi dengan kehidupan dari pada pasanganmu yang lama, mereka sudah serahkan tanggung jawab itu ke dalam tanganmu. Hiduplah di dalam otoritas keluarga yang baru tersebut di mana anak itu belajar mengakui otoritas dari papanya dan otoritas dari mamanya. Dan dari situ engkau sebagai orang tua harus mendidik anak ini dengan betul-betul sebagai anak sendiri dengan kasih sayang seorang tua yang tidak ada bedanya dengan anak-anak kandung yang dimiliki. Lalu pada waktu saya berbicara seperti ini, ada yang menanggapi seperti ini, “Pak, tapi yang saya pertimbangkan itu adalah hak anak.” “Maksudnya apa hak anak?” “Iya anak kan sekarang punya papa, kalau dia punya papa, seharusnya saya bawa anak ini ke papanya kan?” Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya bilang kalau kamu bawa anak ini ke papanya atau anak ini ke mamanya, bukankah anak ini akan membandingkan papanya yang kandung dengan papanya yang baru atau mamanya yang kandung dengan mamanya yang baru? Kalau mereka membandingkan lalu anak ini ngomong saya nggak mau sama mama yang baru atau papa yang baru, saya lebih suka dengan papa atau mama saya yang lama yang ada sebelumnya, lalu membandingkan mereka lebih baik daripada papa dan mama yang ada sekarang ini, padahal papa dan mama yang sekarang ini punya otoritas, tidak mungkin kasih yang baik untuk mendidik anak ini. Apa yang terjadi? Saya yakin sulit sekali untuk anak ini untuk belajar di bawah otoritas dan yang ada adalah suatu pemberotakan di dalam hatinya untuk mengkomparasi, mengadu satu dengan yang lain dan akhirnya anak ini menjadi rusak. Yang kedua adalah pada waktu mereka berkata, “Tetapi di mana hak ini, anak ini, bukankah dia punya papa atau mama? Seharusnya kami membawa anak ini juga mengenal papa dan mamanya dan bisa bersama-sama ada waktu bersama dengan orang tua kandungnya tersebut?” Saya cuma bicara seperti ini, “Kamu mau bicara hak. Kalau kamu mau bicara hak, sebelum kamu bercerai pikirkan hak anakmu.” Jangan pikir hak anak bagaimana kasihnya diterima setelah engkau bercerai. Kalau engkau betul-betul memperhatikan kebaikan dari anakmu tersebut, pikirkan sebelum kau ambil keputusan untuk berpisah dari pasanganmu. Karena itu yang terbaik. Sebuah keluarga tetap utuh, tanpa ada perceraian di dalam kehidupan mereka.
Kenapa ada masalah perceraian? Karena terlalu cinta diri. Kenapa anda tidak dipedulikan? Karena terlalu cinta diri, itu masalah besar sekali yang ada di dalam zaman sekarang ini. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, dalam kondisi seperti ini, ada harapankah di dalam sebuah pernikahan? Ada harapankah di dalam membangun sebuah keluarga? Saya yakin kalau kita menekankan kepada prinsip dari dunia, yang mengutamakan kepentingan diri daripada orang lain, saya percaya enggak ada harapan di dalam sebuah keluarga, makanya kita menemukan orang yang terlalu mencintai diri, pasti akan berbuntut pada perceraian dan kawin, cerai, kawin, cerai dalam kehidupan mereka, dan tidak peduli anaknya mau rusak seperti apa. Kalau begitu perlu bangun keluarga enggak? Saya percaya tetap perlu bangun keluarga karena Allah memerintahkan kepada kita untuk kita berkeluarga, tetapi di sisi lain kalau kondisi keluarga di zaman sekarang penuh dengan sesuatu cinta diri yang terlampau besar itu, dan tidak ada satu keluarga yang betul-betul utuh saya percaya kalau ada yang utuh itu dalam anugerah pemeliharaan Tuhan, tetapi nanti saya akan katakan kita akan lihat keluarga yang sungguh-sungguh bisa dibangun di dalam suatu keutuhan yang baik itu hanya ada di dalam keluarga Kristen, seharusnya seperti itu, yang belajar tunduk kepada apa yang menjadi otoritas Tuhan di dalam kehidupan mereka, apa yang menjadi pimpinan Roh Kudus di dalam kehidupan dari anak-anak Tuhan. Apakah masih ada harapan untuk membangun sebuah keluarga yang baik? Saya percaya ada, ada harapan itu, kalau kita mau kembali kepada firman Tuhan dan belajar untuk menundukkan diri di bawah kebenaran firman Tuhan. Bagaimana kalau keluarga kita sudah rusak atau sudah ada masalah, bisakah dipulihkan? Saya yakin tetap bisa juga dipulihkan kalau kita tetap mau tunduk di bawah pimpinan Roh Kudus dan dipenuhi oleh Roh Kudus di dalam kehidupan kita.
Di dalam Kitab Bilangan ada suatu peristiwa di mana ketika bangsa Israel ada di dalam perjalanan keluar dari Mesir di padang gurun, mereka berhadapan dengan bangsa Moab. Lalu di situ mereka ingin masuk ke situ untuk meminta izin melewati bangsa ini, hanya mengatakan beli makanan dan minuman tidak akan menyakiti bangsa itu. Bangsa Moab menutup diri terhadap bangsa Israel, lalu bukan hanya menutup diri terhadap bangsa Israel tetapi bangsa Moab ini yang dipimpin oleh Balak kemudian memakai seorang nabi yang bernama Bileam untuk mengutuki bangsa Israel. Lalu pada waktu Balak membawa si Bileam ini menghadapi bangsa Israel, siapkan semua korban persembahan, yang keluar dari mulut Balak itu bukan kutukan justru malah berkat. Sampai tiga kali Balak meminta Bileam mengutuki bangsa Israel tetapi tiga kali Bileam memberikan berkatnya kepada bangsa Israel karena Tuhan memimpin mulut dari pada Bileam dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ini artinya apa? Tuhan kita adalah Tuhan yang sanggup mengubah sebuah kutukan menjadi berkat. Kalau Bapak, Ibu, Saudara belajar tunduk pada kebenaran firman maka saya percaya Bapak, Ibu, Saudara punya keluarga akan dipulihkan oleh Tuhan Allah karena Tuhan punya kekuatan untuk memulihkan keadaaan yang rusak tersebut, tetapi kuncinya adalah tunduk apa yang menjadi pimpinan Roh Kudus dalam kehidupan kita. Ini menjadi dasar sekali. Itu sebabnya tadi saya mengajak kita membaca dari ayat 18 sampai 21, kembali di dalam ayat 18 sampai 21 dikatakan bahwa kita perlu penuh dengan Roh Kudus, lalu apa yang menjadi ciri orang yang penuh dengan Roh Kudus? Mereka memiliki puji-pujian di dalam hatinya, mereka mengucap syukur di dalam kehidupan mereka. Artinya adalah pada waktu kita memiliki suatu pujian di dalam hati kita, kita adalah seorang yang senang hati, siapa yang akan bisa membuat seorang yang senang akhirnya timbul kesalahpaman? Saya yakin kalau dia punya kesenangan di dalam hati di dalam relasinya dengan pasangannya dia akan menerima keadaaan yang burukpun sebagai sesuatu yang tidak masalah di dalam kehidupan dia. Dan ditambah lagi dia adalah seorang yang mengucap syukur, mengucap syukur dalam aspek apa? dia akan mengucap syukur dalam segala aspek dalam kehidupan dia, baik yang tidak baik, ataupun tidak baik dalam kehidupan dia. Kalau yang baik bersumber dari mana? Bersumber dari Tuhan Allah. Kalau tidak baik bagaimana? Tuhan izinkan itu terjadi dalam kehidupan kita untuk mendidik kita menjadi baik, menjadi seperti Kristus. Kalau begitu perlu bersyukur enggak? Bersyukur juga dengan Tuhan Allah. Dan kalau kadang seperti ini pada waktu relasi suami istri dalam kondisi baik, ekonomi baik, segala sesuatu baik, bersyukur tidak? Bersyukur kepada Tuhan. Tetapi pada waktu relasi mungkin agak ada gesekan, ekonomi mungkin agak merosot, atau relasi mungkin agak diperburuk oleh masalah ekonomi dan yang lainnya, masih bersyukur tidak? Masih bersyukur. Kalau seperti itu mungkin enggak ada masalah? mungkin ada masalah, Tetapi masalah itu tidak akan menjadi suatu masalah yang menghancurkan relasi dalam keluarga karena kita tahu Tuhan menggunakan situasi-situasi yang baik ataupun yang tidak baik untuk membentuk dan mendidik kita untuk menjadi serupa Kristus. Maka yang tadi saya bilang penting sekali untuk tunduk dan taat kepada otoritas Tuhan, pimpinan Roh Kudus dalam kehidupan kita, itu menjadi dasar sebuah keluarga yang sukses atau sebuah keluarga yang bahagia di dalam kehidupan kita di tengah-tengah dunia ini, dan sebuah keluarga yang bisa menyaksikan nama Tuhan di dalam kehidupan keluarga itu.
Lalu setelah dasar ini diletakan oleh Paulus, Paulus kemudian mengajak kita masuk ke dalam ayat 22 sampai 24 di situ dikatakan bahwa istri harus tunduk kepada suami dari istri tersebut, istri harus belajar mengakui otoritas dari pada suaminya, bukan dari otoritas suami lain atau laki-laki lain, tetapi harus belajar untuk mengikuti apa yang menjadi pimpinan dari pada suaminya. Itu yang harus menjadi suatu dasar yang istri-istri pegang, dan saya percaya sekali istri harus belajar taat dalam aspek ini, karena dosa istri adalah tidak mau tunduk kepada suami, itu dosa istri. Tuhan di dalam Kejadian pasal 3 sudah memperingati istri, “Kamu punya masalah adalah bukan cuma sakit bersalin, tetapi masalahmu adalah kamu ingin berkuasa atas suamimu dan akibatnya suamimu belajar untuk menguasai dan mendominasi dirimu dengan kekuatan,” makanya ada KDRT di dalam keluarga, jadi mendominasi itu adalah masalah. Saya dalam Persekutuan Wanita mengajukan pertanyaan seperti ini ini lebih luas ya, saya tanya kalau ada dua pendapat yang berbeda, pendapat siapa yang harus dijalankan, suami atau istri? Kedua, kalau ada kedua pendapat yang berbeda ini siapa yang memutuskan untuk menjalankannya, suami atau istri? Perempuan-perempuan, ibu-ibu di dalam Persekutuan Wanita sudah mengakui, yang belum datang persekutuan wanita, yang mau menikah bagaimana? Keputusan siap yang harus dijalankan, suami atau istri? Siapa yang memutuskan baik dan tidak baik itu, suami atau istri? Kalau bapak-bapak saya tanya, suami atau istri? Suami. Kalau ibu-ibu saya tanya, suami atau istri? Kalau keputusannya salah bagaimana? Kalau keputusannya salah, baik sekali pertanyaanya. Percaya enggak Tuhan pelihara? Persoalannya adalah seringkali kenapa istri tidak percaya kepada suami untuk memutuskan adalah pertama enggak percaya suami cukup bijaksana dalam memutuskan. Tetapi di balik ketidakpercayaan itu adalah sulit percaya Tuhan sanggup memelihara keputusan suami yang tidak baik itu. Makanya istri-istri umumnya tidak mau belajar tundukkan diri di bawah otoritas suaminya. Jadi saya sangat percaya sekali pada waktu, nanti ya ada bagian suami ya jangan ketawa-ketawa dulu ya, pada waktu suami memutuskan sesuatu, saya sangat percaya sekali Tuhan akan memimpin, apakah itu keputusan yang benar atau salah.
Tapi pertanyaan saya mungkin akan seperti ini ya, dasar benar dan salah itu apa? Menilainya berdasarkan apa? Tolong tanya dasarnya apa menilai benar atau salah keputusannya? Firman? Kalau firman, istri boleh tegas sama suami. Tapi kalau bukan firman dasarnya apa? Kesepakatan bersama? Kayaknya kita hidup dalam zaman musyawarah untuk mufakat tapi sebenarnya keinginan saya yang harus digenapi gitu ya, bukan keinginan pasangan. Dasarnya apa sebuah keputusan benar atau salah. Coba uji! Uangkah? Ekonomi? Apalagi, sekolah anak? Mungkin bisa tetapi paling umum adalah masalah apa? Mungkin masalah uang. Karena Alkitab sudah bilang di dalam 2 Timotius 3:2, cinta akan diri dan cinta akan uang itu yang menjadi masalah. Mungkin karena kita terlalu egois dan karena masalah keuangan dalam keluarga ada keributan didalam keluarga. Nah dalam aspek seperti ini, betulkah Tuhan membentuk hanya dalam prinsip uang saja? Saya percaya salah satu aspeknya adalah membentuk kita supaya tidak terlalu cintai diri dan belajar mencintai Tuhan lebih besar dan sesama lebih besar. Dan demi itu Tuhan bisa gunakan berhala di dalam hati kita untuk membuat kita belajar tunduk pada otoritas Tuhan bukan kepada berhala kita, dan masing-masing orang beda berhalanya. Itu sebabnya masing masing keluarga walaupun ada masalah dan ada solusi yang berdasarkan prinsip firman yang mungkin bisa sama, tetapi respon terhadap masalah berdasarkan background dan beban di dalam hati yang berbeda satu orang dengan yang lain itu yang membuat situasi terhadap masalah itu atau keputusanyang diambil itu berbeda-beda dan semuanya tetap harus kembali ke pada firman untuk tunduk di bawah kebenaran firman. Jadi saya berkata, sebelum kita masuk kedalam suami, istri belajarlah untuk tunduk kepada suami karena apa? Tuhan sudah memilih suamimu untuk menjadi kepala atasmu, Tuhan sudah menjadikan suami untuk wakil Tuhan di dalam keluargamu. Kalau engkau tidak bisa tunduk kepada suamimu tidak usah nikah dengan dia dari awal, jadi belajarlah tunduk dan percaya pimpinan Tuhan melalui suamimu. Tapi satu hal saya kasih peringatkan dulu, suami jangan jadi sombong hati dan sempit hati. Walaupun di dalam 1 Petrus pasal yang ke 3 dikatakan Sara memanggil suaminya dengan sebutan tuan, tapi bukan berarti suami mulai hari itu menutup telinga dan tidak pernah mendengar nasihat istrinya lagi. Nanti kita masuk ke dalam bagian ini ya. Jadi untuk sampai masuk ke dalam poin yang 22-24, saya ingatkan kita yang sudah kita bahas sebelumnya bahwa istri punya suatu tanggung jawab, Tuhan sudah mencipta manusia dengan suatu peran tertentu di dalam keluarga, baik laki-laki dan perempuan. Kalau laki laki dan perempuan tidak mau menjalankan perannya ini tanggung jawabnya yang Tuhan sudah ciptakan dan letakkan di dalam natur dari pada laki laki dan perempuan atau suami dan istri maka saya percaya keluarga itu tidak akan menjadi sebuah keluarga yang bahagia atau sukses, atau istilahnya adalah bertahan sampai kematian memisahkan, tetapi di situ bukan terjadi sesuatu kompromi atau sesuatu tindakan ketidakperdulian, masing-masing mengurus urusannya masing-masing, tetapi masing-masing bisa bertumbuh bersama di dalam takut akan Tuhan dan karakter Kristus.
Sekarang kita masuk ke dalam prinsip yang Paulus letakkan atau firman Tuhan letakkan mengenai suami. Di dalam ayatnya yang ke 25-28 dikatakan, “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.” Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, di dalam ayat 25-28 Paulus atau Tuhan melalui Paulus meletakkan dasar di dalam suatu kehidupan tanggung jawab apa yang menjadi tanggung jawab dari suami di dalam sebuah keluarga. Dan apa yang menjadi tanggung jawab suami itu? Alkitab berkata suami harus mengasihi istrinya. Kenapa Tuhan tidak mengatakan di dalam bagian ini, “Suami, engkau adalah kepala; suami, engkau harus memimpin keluargamu; suami, kamu harus bisa menegakkan otoritas atas dirimu kepada istrimu; suami, engkau harus bisa menjadi seseorang yang betul-betul menampilkan diri sebagai wakil Kristus di dalam keluarga”? Kenapa Tuhan tidak terlalu menekankan sepertinya hal-hal itu dengan kalimat-kalimat suami sebagai kepala punya otoritas harus memimpin dan segala sesuatunya, tetapi di sini dikatakan “suami, kasihilah istrimu”? Saya percaya Alkitab bukan berbicara mengenai suami tidak punya otoritas untuk memimpin, itu bukan hal yang penting, bukan seperti itu. Tetapi akibat dari kejatuhan manusia di dalam dosa, otoritas yang Tuhan berikan untuk memimpin, yang kita bisa baca di dalam Kitab Suci begitu banyak sekali. Misalnya Saudara bisa lihat di dalam beberapa bagian, 1 Korintus 11:3, di situ dikatakan, “ Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah.” Itu berbicara mengenai otoritas di dalam sebuah keluarga, dan saya sudah jelaskan sebelumnya bahwa kata aslinya yang digunakan sebagai ‘kepala’ itu bukan berbicara mengenai suatu keadaan yang hanya mendahului ada, tetapi berbicara mengenai otoritas dari seorang suami atas istrinya. Lalu kita pada waktu melihat 1 Petrus 3:6, tadi ada saya kutip Sara sendiri memanggil Abraham dengan istilah tuannya. Dan di situ dikatakan oleh Petrus, “Begitulah seharusnya perempuan-perempuan yang saleh di dalam memanggil suaminya di dalam sebuah keluarga.” Dari ayat ini berbicara mengenai istri-istri harus mengakui otoritas suami, dan suami memiliki otoritas atas istrinya. Dan ini bicara mengenai suatu otoritas yang ada di dalam kemiliteran.
Jadi Alkitab sungguh mengajarkan memang suami punya otoritas atas istrinya. Tetapi kenapa pada waktu berbicara mengenai Efesus 5:25-28 di situ bukan dikatakan “suami, engkau adalah kepala atas istrimu sebagai pemimpin” tetapi justru dikatakan “suami, kasihilah istrimu”? Sebabnya adalah ketika kita jatuh di dalam dosa, atau sebelum kita jatuh dalam dosa otoritas untuk memimpin itu sudah menjadi natur dari seorang suami, laki-laki, tapi setelah jatuh di dalam dosa, kita menjadikan otoritas itu sebagai sesuatu yang bertujuan untuk tirani, atau kekerasan terhadap pasangan kita, bisa seperti itu. Kalau otoritas itu di boost, makin dipertegas, kemungkinan adalah kita akan mati hidup di dalam dosa. Tapi Tuhan mengajar kita lihat dari perspektif, yang laki-laki sering kali abaikan, dia lupa kalau tanggung jawab dia bukan hanya untuk memimpin keluarga, tetapi tanggung jawab dia juga adalah untuk mengasihi isteri dia. Nah, kita bisa melihat dari mana tentang otoritas dan tirani ini? Dari Kolose 3:19, yaitu paralel dari pada Efesus pasal yang ke 5 ini. Di sini dikatakan, “Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” Jadi di Efesus dipakai istilah ‘kasihilah isterimu’ sampai di situ ‘seperti Kristus telah mengasihi jemaatNya,’ tapi di dalam Kolose dikatakan, “Janganlah berlaku kasar terhadap isterimu.” Saya percaya di dalam keluarga yang sudah jatuh di dalam dosa, walaupun kita sama-sama anak Tuhan, ada kecenderungan suami bisa berlaku kasar terhadap isterinya sebagai seorang pemimpin, dan atau istilah lainnya, dia akan memimpin dengan kekerasan dan bukan dengan kasih di dalam keluarga. Nah itu sebabnya, Paulus di dalam bagian ini berkata, “Engkau harus mengasihi istrimu, suami-suami.”
Dan pada waktu berbicara sebagai seorang suami mengasihi istrinya, apa yang menjadi sikap kasih yang harus dinyatakan oleh seorang suami di dalam kehidupan keluarga? Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita baca ayat yang ke 25, maka Paulus berkata, kasih seperti apa yang harus dimiliki seorang suami kepada istrinya? Kasih sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya. Artinya apa ya? Artinya adalah seperti ini, Alkitab mengajarkan pada waktu Allah mengatakan diriNya mengasihi kita melalui Kristus, maka di situ dinyatakan Kristus demi mengasihi kita, Dia rela mengorbankan hidup Dia bagi diri kita, Dia rela mengalirkan darahNya bagi diri kita. Dan itu sebabnya Paulus di sini berkata, “Engkau sebagai suami, ketika engkau memimpin keluargamu, engkau harus berlaku seperti Kristus mengasihi jemaatNya,” yaitu apa? “Engkau harus memiliki kasih sampai bahkan rela untuk mengorbankan dirimu bagi istrimu,” atau istilah lainnya adalah kasih yang tidak mementingkan diri. Itu adalah kasih yang harus dinyatakan seorang suami pada istrinya. Dan seberapa banyak jangkauan kita untuk tidak boleh mementingkan diri kita sendiri? Jawabnya seberapa jauh? Saya ulangi ya, suami mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat, berarti, kalau Kristus mengorbankan diriNya bagi jemaat, Dia tidak menganggap kedudukanNya yang mulia, diriNya sebagai Allah, sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, tapi Dia mengosongkan diriNya berdasarkan FIlipi pasal 2, lalu Dia inkarnasi menjadi manusia sama seperti diri kita, tujuannya supaya Dia bisa mati di atas kayu salib demi untuk menebus dosa kita, Dia betul-betul memiliki kasih yang akhirnya mengorbankan diriNya sendiri; sekarang saya tanya lagi, kalau suami diminta untuk mengasihi istrinya, tanpa mementingkan dirinya sendiri, pertanyaannya adalah seberapa jauh kita harus berkorban diri demi untuk istri kita? Seberapa jauh? Sampai cukup? Sampai mati, atau istilah lainnya adalah tidak ada istilah cukup, “Saya sudah cukup berkorban demi pasangan saya,” karena pada waktu berbicara mengenai cinta kasih Kristus, yang dilakukan itu adalah satu cinta kasih yang tidak pernah dikatakan cukup, sampai Kristus mati di atas kayu salib untuk menebus dosa kita. Dan saya percaya ini adalah suatu pandangan yang sangat revolusioner sekali di dalam zaman itu. Karena di dalam zaman Romawi, pandangan orang-orang di dalam sebuah keluarga itu jauh sekali dengan pandangan yang diajarkan oleh Paulus. Dikatakan bahwa, pada zaman itu, laki-laki punya suatu posisi yang jauh lebih berharga daripada perempuan. Laki-laki itu melihat perempuan sebagai satu sosok yang tidak lebih dari binatang, sesosok pribadi yang tidak lebih dari seorang budak dan tidak punya hak di dalam kehidupan ini, dan di dalam keluarga. Sehingga pada waktu suaminya menemukan istrinya berlaku secara tidak senonoh, suami mempunyai hak untuk membunuh istrinya tanpa melalui pengadilan. Tetapi ketika istrinya menemukan suaminya berlaku tidak senonoh, istrinya tidak bisa meletakkan tangannya terhadap suaminya. Enak enggak hidup di zaman itu? Bapak-bapak, enak enggak? Kayaknya enak ya, tapi persoalannya adalah ini bukan pengajaran Kristen, ini pengajaran orang zaman Romawi yang melihat bahwa laki-laki jauh lebih berkuasa dari perempuan, laki-laki bisa berlaku semaunya sendiri terhadap seorang perempuan. Itu sebabnya pada waktu Paulus meletakkan dasar pengajaran ini, “Suami, engkau harus mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat,” artinya adalah engkau harus belajar untuk mengorbankan dirimu, tidak mementingkan dirimu, tidak meninggikan dirimu di atas istrimu, itu yang harus kau terapkan, karena itulah pekerjaan Kristus ketika mengasihi jemaat atau cara Kristus di dalam mengasihi jemaat.
Nah Petrus menggunakan istilah yang agak berbeda, dia tidak menggunakan istilah kasih, tetapi saya percaya kita perlu melihat bagian ini karena ini sangat baik sekali. 1 Petrus 3:7, “Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah. Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.” Di dalam bagian ini, Paulus menggunakan tiga prinsip yang harus dilakukan oleh suami atau dijalankan oleh suami di dalam melakukan atau di dalam bersikap seperti Kristus yang mengasihi jemaat. Yang pertama adalah dalam Bahasa LAI yang di Indonesia dikatakan “suami-suami hiduplah bijaksana dengan istrimu,” maksud bijaksana apa? Saya percaya ini adalah satu kalimat yang tidak terlalu jelas ketika diterjemahkan. Di dalam Bahasa Inggrisnya diterjemahkan seperti ini, dalam terjemahan King James, “dwell with your wife according to knowledge,” di dalam ESV diterjemahkan, “live with an understanding way,” atau tinggallah bersama istrimu menurut pengetahuan, apa yang kau ketahui dari istrimu. Di dalam ESV, “tinggallah dengan istrimu dengan cara pengertian, yang harus dilakukan oleh suami terhadap istrinya,” artinya adalah seorang suami kalau ingin memimpin dengan kasih di dalam sebuah keluarga, hal pertama yang dia harus miliki adalah pengertian terhadap istrinya. Atau istilah lainnya adalah suami harus punya sensitivitas terhadap apa yang menjadi keinginan istrinya, kebutuhan istrinya, ketakutan istrinya, kecemasan istrinya, apa yang diharapkan istrinya, keinginan istrinya, perhatian istrinya, itu harus menjadi sesuatu yang diketahui oleh suaminya. Suami tidak bisa menjadi orang yang tidak pedulian. Saya seringkali melihat di dalam kehidupan keluarga, suami itu egoisnya minta ampun, ndak harus keluarga non Kristen, tetapi keluarga Kristenpun lakukan hal yang sama. Kalau dia sudah punya urusan, kalau kerjaan mungkinlah, mungkin ya karena tanggung jawab suami, tapi masalah hobi, kalau dia sudah punya keinginan, hobi tertentu, walaupun istrinya lagi momong anak bayi-bayi masih kecil-kecil, dia tidak peduli dan dia tetap pergi jalankan hobinya dan biarkan istrinya sendirian ngurusin anak-anaknya. Bisa seperti itu. Apa yang menjadi kebutuhan istri? Saya percaya suami harus paham, dan kalau suami harus paham apa yang menjadi kebutuhan istri dan kesulitan istrinya, hal pertama yang harus dimiliki oleh suami adalah telinga mau mendengar apa yang menjadi kesulitan istrinya. Dan sulit ya, seorang pemimpin mau buka telinga mendengar. Yang lebih suka adalah pemimpin memilih untuk didengar daripada mendengar. Karena itu Bapak-bapak, saya harap kita belajar mulai hari ini, buka telinga, dengar pasangan kita ngomong apa, perhatikan keluhannya, perhatikan kesedihannya, perhatikan apa yang menjadi kebutuhannya, sehingga mungkin ia ndak harus bicara, kita sudah paling tidak membaca kira-kira dia perlu apa. Itu paling disukai oleh perempuan. Tapi masalahnya saya juga ngomong sama istri-istri atau perempuan, “Ingat, suami itu bukan Tuhan,” sehingga dia nggak tahu segala sesuatu, kadang-kadang mungkin ada pikiran yang lain, membuat dia tidak bisa konsentrasi, tidak terlalu sensitif untuk membaca situasi, itu sebabnya istri tetap harus belajar ngomong. Belajar komunikasi, menyampaikan apa yang menjadi isi hatinya, kebutuhannya, ketidaksukaannya, kesenangannya itu di mana, supaya suami mengerti apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan istrinya tersebut. Itu yang pertama, belajar mendengar, buka telinga untuk memperhatikan. Belajarlah jadi suami yang lebih sensitif terhadap apa yang menjadi kebutuhan istri.
Yang kedua adalah Petrus menggunakan istilah ‘dia adalah kaum yang lebih lemah’. Artinya adalah, istri-istri kita adalah orang-orang yang tidak sekuat kita, bukan sparring partner, bukan kalau ndak suka, kita sediakan ring tinju di situ lalu berantem di situ, pasti kalah, kecuali istrinya latihan bela diri, kita nggak pernah latihan bela diri ya. Tapi kita harus belajar untuk mengasihi istri kita sebagai seorang yang lebih lemah, artinya adalah suami harus melindungi pasangannya, menjaga pasangannya, itu harus menjadi tanggung jawab suami. Bukan hanya mendengar dan mengerti apa yang menjadi kebutuhan istrinya, tetapi juga menjaga dan memelihara istrinya. Yang ketiga adalah, suami-suami harus menghormati mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan supaya doamu jangan terhalang. Artinya apa ? Perlakukanlah istrimu sebagai seorang saudara seiman, seorang yang ada di dalam Kristus, yang secara rohani setara di hadapan Tuhan Allah, yang kita harus hormati dirinya, baik secara fisik dan secara rohani di hadapan Tuhan. Dan jangan memandang rendah mereka tapi kita belajar untuk mengasihi dia, baik di dalam aspek fisik, emosional, ataupun di dalam rohani dari kehidupan istrinya. Itu yang harus menjadi penekanan dari seorang suami atau tanggung jawab dari suami di dalam memimpin sebuah keluarga.
Sekarang, mungkin saya lebih lanjut sedikit ya di dalam aplikasinya. Pada waktu kita berkata suami harus mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaatNya, boleh tidak saya berkata, “Saya tidak lagi mencintai istri saya”? Boleh tidak kita berkata, “Bapak nggak tahu sih istri saya itu seperti apa,” mungkin seperti singa yang mengerikan sekali, kerasnya minta ampun, “Bapak nggak tahu sih,” boleh nggak seperti itu? Boleh tidak kita berkata, “Saya sudah cukup deh berusaha untuk berlaku sebaik mungkin terhadap istri saya, berusaha mengerti dia, cukup sudah, sekarang saatnya tidak lagi mengerti dia”? Saya yakin kalau kita sungguh-sungguh memahami kembali akan cinta kasih Kristus kita nggak ada istilah “cukup untuk mengerti,” kita tidak lagi ada istilah “sudah, saya tidak bisa lagi mengasihi karena sekarang saya semakin mengerti pribadi dan karakternya itu seperti apa, dulu waktu pacaran saya tidak menyangka dia akan jadi seperti ini.” Makanya mungkin anak muda sekarang banyak kalau pacaran lebih blak-blakan, terbuka semua, tapi saya ngomong juga kurang berhikmat, kalau kayak gitu nggak ada daya tariknya sama sekali nanti, laki-laki pada lari semua dari perempuan, nggak ada yang berani dekat dia. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya bukan ajak kita menjadi orang yang alien ya, orang yang bukan berasal dari dunia ini, nggak ada hubungannya sama sekali dengan dunia ini. Saya percaya sekali seorang datang atau menghampiri lawan jenisnya karena ada daya tarik yang berbeda. Laki-laki dan perempuan saja sudah berbeda daya tariknya, secara seksual berbeda itu membuat suatu daya tarik yang berbeda, tapi ditambah lagi ada sifat kelembutan dari seorang perempuan, laki-laki ada suatu kekuatan, seperti itu, itu membuat daya tarik lebih besar lagi. Ditambah lagi dengan pengertian yang diberikan laki-laki kepada seorang perempuan, atau perempuan memperhatikan kehidupan laki-laki, itu lebih besar lagi. Jadi ada daya tarik saya percaya, tetapi ketika kita mengenal, mengerti pasangan kita lebih dalam lagi, jawabannya adalah jangan pernah menjadikan karakter, daya tarik, ataupun segala sesuatu yang lainnya dari pasangan kita sebagai alasan saya mempertahankan cinta atau tidak mempertahankan cinta. Karena Saudara ketika menikah saya yakin daya tarik di dalam pacaran perlahan-lahan akan merosot, baik itu secara fisik ataupun secara perilaku juga merosot karena kita mulai melihat dia benar-benar 24 jam, dari melek mata sampai tidur lagi orangnya seperti apa yang kita tidak pernah lihat kalau dia di rumah dia waktu kita pacaran. Makanya tadi saya katakan kalau kita memperhatikan daya tarik fisik sebagai suatu ikatan, saya yakin itu tidak akan mempertahankan pernikahan utuh sampai kematian memisahkan, dan kita tidak mungkin belajar menerapkan akan cinta kasih Kristus kepada jemaat sampai mengorbankan diri.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, aspek dari kasih Kristus bukan hanya mengorbankan diri untuk menebus kita manusia berdosa, tetapi aspek dari kasih Kristus adalah tetap setia walaupun kita terus selingkuh di dalam iman kita di dalam Tuhan; tetap setia walaupun kita suka menyakiti hati Tuhan, tetap setia mengasihi kita dan memberikan kesempatan demi kesempatan walaupun kita sering kali melukai hati Tuhan. Itu kasih Kristus. Salah satu contoh yang ada di dalam Perjanjian Lama adalah Hosea dan Gomer. Dan saya harap pada waktu kita membaca kitab Hosea dan Gomer, jangan menempatkan diri kita sebagai Hosea, tapi kita adalah Gomer, kita adalah yang suka melacur itu, kita adalah yang tidak setia, kita adalah gereja yang seringkali menduakan Tuhan dalam hidup kita. Dan istri-istri lihatlah! Dan suami-suami lihatlah! Dalam aspek kita adalah Gomer atau Gereja. Memang satu sisi laki-laki adalah kepala dari jemaat. Jemaat itu adalah gereja, gereja itu adalah istri. Tetapi di sisi lain ketika Tuhan melihat seluruh dari pada umat-Nya, kita adalah mempelai perempuan daripada Kristus, dan kita seringkali menyeleweng. Dan karena itu pada waktu kita berelasi pada istri kita, tolong lihat bagaimana sikap Hosea terhadap Gomer. Alkitab berkata, walaupun Gomer seringkali berselingkuh, walaupun Gomer seringkali melukai hati suaminya itu, bahkan memperbudak dirinya untuk seks dalam hidup dia, dan akhirnya ketika dia tidak memiliki apapun juga, karena dia ingin mengejar harta kesenangan hidup melalui seks tersebut akhirnya dia dijual sebagai seorang budak, dan Tuhan menyuruh Hosea pergi dan menebus dengan harga lelang tertinggi bagi istrinya itu untuk membelinya kembali. Untuk apa? Bukan sebagai budak tetapi sebagai istri. Saya percaya ini adalah hal yang berat, terutama bagi suami-suami yang punya jiwa pemimpin yang keras, yang merasa lebih pintar dari perempuan, yang punya kemampuan, itu sulit sekali. Tetapi saya percaya juga walaupun itu adalah hal yang sangat sulit, sebagai suami kita perlu belajar mengerti akan kasih Kristus ini di dalam relasi suami istri. Kasih yang selfless, kasih yang tidak mementingkan diri, tetapi juga kasih yang mau berkorban demi pasangan walaupun pasangan tidak memiliki kualifikasi untuk dikasihi oleh dirinya.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya katakan, di dalam persekutuan pemuda kemarin, kita bahas mengenai pemilihan tanpa styarat. Dan di dalam pemilihan tanpa syarat itu dibahas mengenai kasih Kristus yang diberikan kepada kita bukan karena ada sesuatu yang baik di dalam diri kita yang membuat Tuhan melihat kita lebih daripada orang dunia, tetapi kita sama dengan orang dunia, sama-sama harus dihukum, tetapi Tuhan memilih kita untuk diselamatkan. Artinya apa? Artinya pada waktu suami melihat istri, istrinya kerasnya bagaimana pun, galaknya bagaimanapun, tidak semenarik dengan istri tetangga atau perempuan sebelah, tidak secantik dengan perempuan gadis seperti itu. Saya agak lucu waktu mendengar radio ya. Di dalam radio itu ada, ada interaksi antara pendengar sama pembawa acara. Lalu di dalam satu kasus dia membahas mengenai bagaimana seorang perempuan memandang seorang laki-laki di dalam usia yang berbeda-beda. Usia 25th memandang laki-laki seperti apa yang diingini, usia 30 tahun seperti apa, 35 seperti apa, 40 tahun seperti apa, 50 tahun dan berubah-ubah. Dari yang muda mungkin pengin suami yang ganteng, gagah, cakep. Waktu mulai masuk kedalam usia yang lebih tua, pengin suami yang lebih stabil. Waktu masuk ke usia lagi yang lebih tua mungkin pengin memiliki suami yang setia, yang bisa menerima keadaannya, seperti itu. Lalu ditanya kalau suami bagaimana? Suami itu dari usia muda sampai tua cuma punya satu keinginan, yaitu apa? Perempuan yang muda dan cantik. Lalu pembawa acaranya ngomong, “Tuh, laki-laki lebih baik kan. Konsisten. Dari muda sampai tua perempuan yang muda dan cantik.” Bapak-Ibu yang dikasihi Tuhan, saya harap itu bukan menjadi dasar kita mencari pasangan dan membangun sebuah keluarga ya. Istri kita yang muda bisa jadi tua. Kita yang ganteng pun bisa jadi tua. Yang ada daya tarik banyak, bisa kehilangan daya tarik; yang sehat bisa menjadi orang yang cacat dan perlu dilayani karena satu hal, hingga nggak ada suatu sukacita lagi mungkin di dalam hidup berkeluarga. Tapi pada waktu keadaan seperti ini, masih tidak kita memelihara kasih kepada pasangan. Kembali kalau kita melihat kepada kasih Kristus, kasih Kristus bukan karena ada syarat terlebih dahulu. Ada sesuatu yang menguntungkan terlebih dahulu atau profit terlebih dahulu dari pasangan kita untuk diberikan kepada diri kita baru kita mengasihi mereka, tetapi tanpa profit kita mengasihi pasangan kita. Atau Kristus mengasihi diri kita terlebih dahulu dan terus mempertahankan kasih itu. Atau kita bisa ngomong kasih kita itu adalah kasih yang bukan karena ada kebutuhan tetapi kasih yang aktif memberi walaupun tanpa ada kebutuhan, tanpa bisa memuaskan apa yang menjadi kebutuhan kita. Itu adalah kasih seorang suami kepada istri.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, hidup bersama dengan pasangan saja sampai tua sampai kematian memisahkan tanpa ada kepentingan itu baru kasih. Karena setiap kali berbicara mengenai kasih, kasih selalu aktif tidak pernah pasif. Kasih tidak cuek tetapi memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan istri dan memberi atau memperlakukan seperti yang pasangan kita inginkan. Tetapi Alkitab tidak berhenti pada titik ini saja. Pada waktu Alkitab berbicara mengenai kasih, maka kasih yang difokuskan kepada kesenangan dari pasangana kita, dan kepentingan dari pasangan kita itu juga harus disertai dengan aspek yang kedua, yaitu apa? Kita buka Efesus pasal 5 lagi. Efesus 5:26-27 kita baca, “Untuk menguduskannya sesudah Ia memandikannya dengan air dan firman supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau yang serupa itu tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.” Bapak-Ibu yang dikasihi Tuhan, pada waktu kita bicara mengenai penebusan Kristus bagi kita, tujuan Yesus mati untuk apa? Bukan cuma untuk menyelamatkan diri kita, tetapi untuk membuat kita menjadi kudus, suci, tidak bercela di dalam kehidupan kita. Dan pada waktu Paulus berkata, “Suami, engkau adalah orang yang mewakili Kristus di dalam keluargamu,” maka peran suami yang kedua adalah apa selain mengasihi? Atau di dalam aspek kasih itu ada komponen apa? Selain selfless, tidak egois, tidak mementingkan diri, unsur apa? Ini penting sekali lho. Memimpin istri untuk tidak hidup di dalam dosa, itu peran suami. Membawa istri untuk bertumbuh di dalam pengudusan, itu peran suami. Dan bagaimana caranya kita dikuduskan, atau istri kita dikuduskan? Jawabannya apa? Dekatkan diri dia dengan firman, itu cara pengudusan. Alkitab berkata, ada 3 cara Tuhan menguduskan diri kita, pertama adalah menebus kita melalui darah Kristus, pekerjaan Roh Kudus di dalam menguduskan kita, lalu yang ketiga adalah firman yang menguduskan kita, Roh Kudus bekerja berdasarkan firman untuk menguduskan diri kita. Itu jelas sekali. Saudara boleh buka dari Yohanes 15:3, ”Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu.” Pasal 17:17, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.”
Jadi kalau kita ingin hidup dalam pengudusan, harus gunakan apa? Firman, itu cara pengudusan. Dan menarik, pada waktu kita perhatikan peristiwa di mana Yesus ada di rumah untuk menjalankan Paskah, malam Paskah terakhir Dia bersama dengan murid-murid. Di situ dikatakan, Yesus kemudian mengambil baskom air, ikat pinggangnya, lalu mulai membasuh kaki murid satu per satu. Dan ketika sampai kepada Petrus, Petrus langsung berdiri ngomong, “Guru, jangan!” Yesus bilang, “Kenapa?” Petrus bilang apa? “Jangan cuma basuh kakiku, tapi seluruh tubuhku, Engkau basuh!” Lalu Yesus bilang apa? “Kalau engkau seluruh tubuhnya dibasuh, berarti engkau belum suci, belum bersih. Sekarang kamu sudah bersih, hanya bagian kakimu saja yang kotor, yang perlu dibasuh.” Nah ini kita bisa terapkan di dalam peristiwa penebusan Kristus. Setiap orang yang sudah ada di dalam Kristus dan percaya kepada Kristus, mereka adalah orang yang sudah dikuduskan oleh Tuhan 100%. Di hadapan Tuhan, kita bukan lagi dilihat oleh Tuhan sebagai orang yang berdosa yang harus dihukum, tetapi kita adalah orang yang benar, yang akan diselamatkan oleh Tuhan Allah, dan kita adalah anak-anak Allah, dan bukan anak-anak iblis. Kita adalah orang-orang yang sungguh sudah bersih di hadapan Tuhan karena ada kebenaran Kristus dan kesucian Kristus yang melingkupi kita atau membungkus kita yang membuat kita bisa berdiri di hadapan Allah dengan benar. Tetapi kita juga di dalam perjalanan, tetap bisa melakukan dosa, ada debu di dalam kaki kita, di mana kita perlu belajar untuk meminta pengampunan dari Tuhan Allah dan pertobatan hari demi hari dalam kehidupan kita. Artinya adalah, keselamatan kita tidak hilang, walaupun kita masih bisa jatuh di dalam dosa. Karena Tuhan melihat bahwa kita benar bukan karena kita yang benar tetapi Kristus yang benar.
Nah di dalam kondisi seperti ini, kita masih bisa jatuh dalam dosa. Suami-suami harus giat, dirinya juga masih bisa jatuh dalam dosa. Dan istri-istri, dia juga harus bisa melihat, istri-istri juga bisa jatuh dalam dosa. Lalu bagaimana caranya untuk bisa hidup dalam pengudusan? Kalau saya suka bicara kepada ibu-ibu, jangan batasi suamimu untuk melayani dalam gereja dan belajar firman. Sekarang saya ngomong kepada suami-suami, menjadi tanggung jawabmu untuk memimpin istrimu bertumbuh di dalam iman berdasarkan firman. Karena tidak ada cara lain selain melalui firman, seorang istri bisa ditumbuhkan di dalam pengudusan. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, masalah di dalam sebuah keluarga, saya yakin itu bukan sesuatu yang merupakan awal tercetusnya masalah, atau perpecahan di dalam sebuah keluarga, itu bukan awal masalah. Awal masalahnya adalah sudah jauh-jauh hari sebelumnya tertimbun dan menumpuk. Dan aspek yang membuat tertimbun dan menumpuk itu apa? Saya percaya satu aspek adalah kita tidak membawa pasangan kita bertumbuh di dalam kerohanian, kita biarkan dia hidup sesuai dengan keinginan dia, kita tidak memimpin dia untuk makin dikuduskan berdasarkan firman. Itu masalah. Sehingga pada waktu dia mengalami masalah, dengan relasi dengan diri kita, yang ada di dalam hatinya adalah, kemungkinan karena perempuan lebih emosional, dia sulit mengampuni. Dan karena perempuan adalah ahli sejarah, dia selalu mengingat-ingat apa menjadi kesalahan kita. Lalu akibatnya apa? Setiap kali marah, semua masa lalu itu muncul, dan ditambah lagi masalah sekarang. Begitu ada masalah lagi, semua masa lalu muncul, ditambah lagi masalah itu, baru lagi, akibatnya apa? Kalau tidak diatasi, itu meledak. Yang ada adalah rasa benci, rasa kemarahan yang terus dipendam, dipendam. Sementara seperti baik-baik, sebenarnya tidak baik-baik, itu api masih menyala di dalam hatinya. Mungkin belum dikipasi saja, kalau ada kesalahan itu seperti dituangi minyak, atau angin, langsung mendadak membesar.
Makanya kadang kalau perempuan marah itu bisa gini ya, kadang meluap sekali. Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita biasakan memaparkan istri kita dengan firman, ada firman yang menuntun, saya yakin dia belajar untuk memiliki pengampunan Kristus, kasih Kristus. Dan kalau dia memiliki pengampunan Kristus, maka dia tidak akan biarkan api itu terus menyala, setiap kali ada api, dia padamkan, api, padamkan, api, padamkan. Atau istilah lainnya, dia tidak izinkan ada tembok yang pelan-pelan dibangun, makin tinggi, makin tebel, makin tidak bisa dilewati lagi. Itu akan terjadi. Karena itu suami yang bijaksana, saya harap dorong istrimu belajar firman. Kalau perlu marah, marah! supaya istri mau belajar firman. Jangan takut istri! Dia mau marah, biarin dia marah, yang penting itu untuk kebaikan dia. Yang namanya kasih, kasih selalu akan menjaga, bukan cuma apa yang istri yang inginkan, tetapi membawa istri hidup di dalam kebenaran. Itu namanya kasih. Jadi Alkitab bukan hanya berbicara mengenai emosional saja, tetapi ada kebenaran firman yang harus menuntun kehidupan dari anak-anak Tuhan, itu namanya kasih. Dan saya mungkin bisa, kita bisa tarik lebih jauh sedikit lagi, kalau kita bicara mengenai kasih, yang berkaitan dengan: Jangan biarkan istri jatuh di dalam dosa! Dan cara menguduskan itu adalah melalui firman. Aspek apa yang bisa membuat istri kita jatuh di dalam dosa, yang kita harus ingat? Saya tanya, nonton video porno bersama-sama, untuk membangkitkan nafsu, itu menjerumuskan istri dalam dosa tidak? Itu menjerumuskan! Biarkan istri bekerja padahal kita tahu ketika istri kita bekerja, mungkin akan merusak keluarga, relasi suami dan istri. Itu menjerumuskan istri dalam dosa hidup. Saya yakin banyak perempuan tidak setuju ya, tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau engkau melihat istrimu kerjanya lebih besar gajinya, istrimu berelasi dengan orang-orang yang lebih menarik dari dirimu sendiri. Dan engkau biarkan istrimu kerja kaya gitu, engkau menjerumuskan istrimu, tidak, untuk berselingkuh, atau bahkan mulai melampiaskan nafsunya, dan perlahan-lahan mulai melupakan engkau sendiri, suami-suami? Saya yakin itu akan terjadi.
Karena itu, di dalam kita mengasihi, saya percaya, aspek kedua adalah suami harus punya kepekaan untuk melihat musuhnya itu siapa, dan siapa itu tidak harus iblis, tetapi bisa menjadi apa. Dan segala sesuatu yang akan membahayakan kehidupan keluarga kita, yang membuat istri kita terpancing untuk melampiaskan nafsu dia, kedagingan dia, untuk jatuh di dalam dosa, suami harus ambil sikap untuk mencegah hal itu terjadi. Itu namanya pemimpin di dalam kasih. Sekali lagi saya ngomong ya, suami jangan takut istri ya. Kalau harus dilawan ya dilawan. Saya pernah bicara sama Pak Tong, saya candain Pak Tong ya. Di situ ada majelis yang lain, penatua yang lain. Saya ada kutip sedikit, “Jangan-jangan karena istri lho, maka nggak berani ambil keputusan seperti ini.” Lalu Pak Tong ngomong apa? Dia langsung noleh ke saya, dia marah sekali. Dia ngomong, “Kenapa harus takut istri? Kamu itu nggak boleh takut istri! Suami itu nggak boleh takut istri! Kalau benar ya jalani.” Satu sisi, saya cuma bercanda ya, tapi dia pandang itu serius, mungkin sekalian menegur yang lain nggak boleh takut istri kali. Tapi itu benar ya, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, peran untuk menjaga keutuhan keluarga itu ada di tangan suami, bukan hanya dalam tangan istri. Jangan mengandalkan istri untuk memelihara, itu tanggung jawab kita. Dan sebagai laki-laki yang lebih mungkin bisa dikatakan lebih bisa memilah antara emosional dan rasional, harus bisa punya ketegasan untuk mengetahui mana yang harusnya dihindari, jangan cuma terpancing perasaan saja. Segala sesuatu yang bisa membahayakan keutuhan keluarga, yang bisa membuat istri kita jatuh dalam dosa dan memecah keluarga, itu adalah musuh kita dan harus dijauhkan dari istri kita. Ingat itu baik-baik ya. Kasih itu, saya selalu nggak setuju dengan prinsip dunia sekarang, kasih itu tidak mengikat, kasih itu tidak harus memiliki. Saya percaya itu bukan pengajaran Kitab Suci. Yang namanya kasih atau cinta pasti memiliki dan menjaga, memelihara di dalam kebenaran. Jadi kalau Bapak-bapak cemburu sama istrinya itu nggak salah. Kalau istri cemburu kepada suaminya, itu nggak masalah. Tapi cemburu yang wajar, jangan yang kelewatan.
Sekarang saya maju sedikit lagi ya, satu poin lagi sebelum kita tutup. Kalau suami menjalankan fungsinya sebagai seorang pemimpin di dalam kasih yang memiliki aspek pengertian, mendengar, aspek melindungi, menghormati dalam kesetaraan rohani di hadapan Tuhan Allah, saya tanya, suami, kira-kira keberadaanmu sebagai pemimpin akan menonjol nggak di dalam keluarga? Menonjol nggak? Saya pikir tidak. Suami yang selalu minta otoritas, itu hanya menunjukkan dia kurang otoritas dan kurang diakui dalam keluarga. Tapi kalau dia adalah orang yang sungguh-sungguh mengerti istrinya, dia mengerti apa yang menjadi kebutuhan istrinya, dia memahami lalu dia memenuhi apa yang menjadi kebutuhan istrinya tersebut, saya yakin, dia tidak akan terlihat sebagai seorang pemimpin, tapi dia akan terlihat sebagai pelayan di dalam keluarga, tetapi dia adalah pemimpin yang kuat sekali dalam keluarga. Dan istri-istri akan menghargai itu, atau saya mau bilang, itulah kerinduan istri-istri di dalam sebuah keluarga yang bahagia. Bapak-bapak ya mungkin, kenapa istri selalu menuntut suami yang romantis? Mungkin persoalannya adalah suami nggak peduli istri, nggak ngerti apa yang menjadi kebutuhan istri, sehingga dipikir bahwa dasar keutuhan keluarga itu adalah romantisme. Salah, bukan romantisme, tetapi prinsip firman ini. Saya yakin kalau suami menjalankan prinsip ini, dia akan menjadi suami yang sangat romantis sekali sama istrinya, karena dia peduli sekali dengan pasangannya. Dan itu membuat saya percaya ini harus dijalankan, prinsip sebagai pemimpin yang melayani di dalam kasih, itu harus menjadi prinsip hidup setiap keluarga Kristen atau khususnya laki-laki yang adalah kepala di dalam keluarga. Jangan andalkan egoisme diri ya.
Mungkin saya tanya begini aja ya, sebagai manusia yang sama-sama berdosa, wajar kalau terjadi sikap diabaikan, dilupakan, tidak dipedulikan, atau bahkan disingkirkan, atau ada kalimat-kalimat yang menyakiti hati dari pada suami dari istri. Saya ngomong ini timbal balik ya. Tapi karena kita sedang menyoroti suami, saya ngomong kepada suami. Pada waktu kita melihat seperti ini, mengalami tindakan seperti ini, sikap kita bagaimana, sebagai kepala keluarga? Marah? Balas menyakiti? Berlaku kasar pada pasangan atau bagaimana? Atau dipenuhi emosi? Atau bersukacita? Bersukacita ya. Pada waktu kita belajar bersukacita, dan bahkan bukan hanya bersukacita, menganggap apa yang dialami itu adalah anugerah dari Tuhan Allah, aneh ya, anugerah dari Tuhan Allah. Tapi Alkitab ngomong di dalam Surat Petrus, kalau engkau menderita karena berdosa, itu nggak ada gunanya, tetapi kalau engkau menderita karena Kristus, itu adalah berharga. Karena itu anggaplah dirimu ketika mengalami pencobaan dari istrimu sebagai suatu anugerah dari Tuhan untuk menguji kasihmu kepada istrimu dan menjadikan engkau seperti Kristus yang lebih sempurna. Karena itu, saya percaya bukan kemarahan dan balas dendam, bukan kebencian lalu menjelekkan istri kita di hadapan umum, tetapi justru kita belajar untuk bertumbuh menjadi seperti Kristus, tetap bersukacita. Mungkin kalau mau ditarik banyak hal yang lain yang bisa kita ambil ya. Saat kita disalah mengerti, tidak dihargai, bahkan dihina, bukan di dalam keluarga saja tapi di hadapan umum, mungkin saja terjadi oleh seorang istri pada suami, tapi istri mungkin nggak sadar dia lakukan penghinaan kepada suaminya di hadapan umum, tapi suami yang sensitif mungkin bisa peka. Lalu sikapnya bagaimana? Saya tetap percaya adalah kita tidak perlu bela diri dengan kemarahan yang meluap, tetapi dari situ kita menyadarkan bahwa kita adalah orang yang belajar untuk mati bagi Kristus, mati terhadap diri untuk Kristus. Dan sekali lagi saya ngomong, mungkin tidak suami seperti ini ditinggalkan oleh istrinya? Mungkin saja, kalau istrinya tidak mau tunduk kepada Tuhan. Karena itu Alkitab ada bilang, istri belajar taat kepada Tuhan melalui tunduklah kepada suami.
Mari kita sama-sama ya sebagai suatu keluarga kita belajar untuk taat pada Tuhan. Jadikan perintah Tuhan sebagai hal yang utama untuk kita jalankan di dalam kehidupan keluarga kita. Saya yakin itu kunci kebahagiaan dalam keluarga, kunci kesuksesan dalam keluarga. Jadi, saya percaya suami nggak punya dalih apa pun untuk bisa mengalihkan cintanya kepada orang lain ya, karena itu tidak mencerminkan cinta Kristus sama sekali. Kita masih akan lanjut ya, tanggung jawab suami besar. Kita masuk dalam doa.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]