Flp. 2:16-18
Vik. Leonardo Chandra, M. Th.
Di dalam kehidupan kita, worldview atau kacamata kita yang kita pakai itu seperti apa akan sangat mempengaruhi kita menjalani kehidupan ini. Ketika bicara worldview ya, atau biasanya orang simple–kan dengan kacamata, seperti itu. Jadi, cara pandang kita itu akan mempengaruhi kita kehidupan, kita menjalani kehidupan ini seperti apa. Kita menjalani kehidupan itu, kita menghadapi realita yang sama dengan orang-orang non-Kristen. Kita menghadapi realita sama dengan semua orang, tapi kacamata seperti apa yang kita pakai dalam menjalani kehidupan itu akan mempengaruhi kehidupan kita. Dan itu biasanya memang dingerti sebagai worldview. Dan kita harus mengerti istilah worldview atau cara pandang, atau biasanya dianalogikan dengan kacamata ini. Entah kita bisa jelaskan atau tidak, entah kita sering selalu ingat, “Oh worldview saya seperti gini atau tidak.” Setiap orang punya. Setiap orang punya. Sadar nggak sadar, setiap orang punya worldview. Setiap orang punya cara pandang sendiri. Seperti mulai dari tadi pagi bangun saja, ketika pagi hari anda bangun, lalu anda berpikir, “Oh pagi ini saya bangun,” mungkin ada di antara anda yang lelah, ada yang cape, atau ada yang masih rasanya ini nuansa liburan. Atau mungkin ada beberapa teman mahasiswa yang mau hadapi ujian segala sesuatunya. Tapi ketika anda bangun pagi, ya entah karena dibangunkan alarm, atau memang tetap seperti biasanya, itu akan ada worldview anda sendiri, yaitu akan berpikir: “Saya meski di tengah kelelahan yang ada,” atau mungkin, “ada kesibukan yang ada, saya kenapa harus bersiap-siap dan,” misalnya, “datang berkumpul di tempat ini.” Dan itu tidak lepas adalah kacamata anda sendiri, cara pandang anda adalah melihat apakah saya sebagai orang Kristen itu memang harus, kudu ibadah atau tidak. Dan itu adalah cara pandang, begitu ya. Secara umum semua orang Kristen kalau ditanya, “Hari minggu harus ngapain?”“Ya, ibadah!” semua setuju.Tapi apakah kacamata bahwa ibadah itu penting, menjadi bagian dalam kehidupan kita yang menjadi sesuatu memang kita perjuangkan, yang kita hidupi, itu adalah bicara cara pandang kita itu seperti apa?Kembali lagi di atas kertas, kalau kita tanya semua orang Kristen, pasti semua akan setuju:“Hari Minggu orang Kristen harus apa?”“Ibadah!” Tapi apakah ibadah atau nggak, itu tidak lepas adalah dia sungguh mengerti ibadah itu bagian dari cara hidupnya, cara pandangnya, yang mempengaruhi keputusan-keputusan dalam hidupnya atau tidak. Dan di situ makanya bicara, nanti makanya aspek worldview itu, berkaitan dengan iman kita yang sedalam-dalamnya. Bukan saja secara data informasi yang kita bisa tuliskan, yang kita bisa akui. Tapi memang sesuatu yang kita pegang, itu dalam kehidupan kita.
Di dalam kehidupan ini ada, kita tidak selalu dalam kondisi prima, kita tidak selalu dalam kondisi yang sehat, kita tidak selalu dalam kondisi yang sepertinya semua lancar. Seperti itu. Ada kalanya kita dalam kondisi yang kurang sehat. Ada kalanya kita kondisi yang berkekurangan. Ada kondisi kita tertentu yang memang “tidak optimal”. Tapi di tengah seperti itu, seperti apakah kita mengambil keputusan dan seperti apakah kita menjalani kehidupan kita? Di saat itu sebenarnya yang mendorong kita itu adalah cara pandang kita, worldview kita seperti apa. Dan worldview ini sangat penting sekali. Ada banyak yang bisa dibahas, untuk worldview memang, tapi saya nggak bahas tuntas semuanya di sini. Tapi setidaknya saya mau trigger kita, untuk memikirkan, cara pandang kita, hidup itu seperti apa sih? Karena kenyataannya, banyak orang yang ngaku Kristen, tapi cara pandangnya tuh, ya sama sekali nggak Kristen sama sekali. Labelnya itu Kristen, KTP-nya tuh, ID-nya tercatatnya dia Kristen. Tapi dia mengambil keputusan, dalam dia mempertimbangkan banyak hal, itu nggak Kristiani sama sekali. Jadi cuma mengakunya aja seperti itu. Kalau anda masih ingat khotbah yang, dari yang dua minggu ya, disampaikan oleh Pdt. Daniel Santoso dari China, berbicara: Ketika menghadapi penganiayaan, kita akan mengambil sikap seperti apa? Di dalam kehidupan kita di sini, kita bersyukur kita relatif lebih aman untuk bisa menjalankan ibadah. Tapi ketika muncul ancaman, muncul kesulitan, nah itu akhirnya tuh akan sampai di titik nadi terendah kita, kita ambil keputusan seperti apa. Iman yang kita miliki tuh sungguh sejati atau tidak. Sungguh sesuatu yang memang kita pegang mutlak, pokoknya seperti itu, ataukah cuma sekedar tempelan. Ataukah cuma sekedar: “Ya, kalau selagi saya bisa, selagi saya longgar, selagi saya cukup Ok, maka saya ibadah dan seterusnya.”Pertanyaannya, iman Kristen tuh lebih ke dalam itu, yaitu di tengah ancaman kita tetap teguh pegang atau tidak? Dan di tengah berbagai kesulitan dan situasi yang tidak diharap, kita tetap berpegang pada posisi itu atau nggak? Itu ada bicara cara pandang kita dan menyikapi realita kehidupan ini yang selalu berubah-ubah, cara pandang kita itu akan, itu biasanya akan lebih cenderung tetap. Kalau kita melihat itu memang worldview-nya Kristen, kita memang pentingkan ibadah, maka kita akan tetap pentingkan ibadah, seperti apapun situasinya. Karena ya, bagaimanapun, ya meski tidak selalu kita utarakan secara rohani, “Ya bagaimanapun saya harus cari Tuhan, atau saya seperti apa…” Tapi ada semacam dorongan atau kadang kita memaksa diri, yaitu bagaimanapun juga, saya harus ibadah. Bagaimana pun juga saya harus ibadah dulu, dan seterusnya. Itu bicara worldview, itu bicara cara pandang kita yang kita pegang teguh.
Dan di dalam bagian ini, Paulus membahas ada suatu kacamata, ada suatu worldview cara pandang yang berbicara kaitan dengan akhir zaman, yang akan sangat mempengaruhi bagaimana kita menjalani kehidupan di masa kini. Bicara akhir zaman itu bukan cuma bicara, “Oh saya pokoknya saya tahu, terakhir saya masuk sorga.” Kalau cuma mengenai cuma sampai satu titik itu, meski itu tentu ada poinnya, ada Alkitab mengatakan. Tapi kalua cuma sampai situ, maka kita gagal memahami keseluruhan, apa yang diajarkan dalam Kitab Suci. Karena Alkitab bukan hanya mengajarkan kita bagaimana cara masuk sorga, seolah-olah seperti kita sudah pegang tiket, lalu kita kantongi, kapan tiba waktunya. Ya pokoknya, tiketnya saya sudah pegang, saya sisa masuk sorga. Bukan cuma sampai situ. Tapi sebagaimana berapa Teolog mengatakan bahwa setelah kita menjadi Kristen, setelah kita percaya Kristus, setelah kita selamat kan, maka bagaimana kita menjalani kehidupan kita, ataupun kadang disebut karakter Kristen. Itu adalah sesuatu yang sangat penting kita jalani kehidupan ini.Dan terutama bagian ini, saya kembali masih bicara worldview, cara pandang kita, kehidupan kita tuh seperti apa sih? Ada perubahan nggak, sebelum kita jadi Kristen dengan setelah jadi Kristen? Ada perbedaan nggak? Ataukah kurang lebih, sebenarnya sama saja, cuma saya ngertinya ya itu, saya cuma dapat tiket ini ya, pokoknya saya terakhir masuk sorga, Kalau cuma sampai itu, nggak Kristen sama sekali. Itu nggak Kristen. Belum mengerti apa yang diajarkan Kristus. Apalagi kalau kita mengingat di dalam Amanat Agung, itu dikatakan bahwa, “Jadikalnlah segala bangsa murid-Ku, baptislah mereka di dalam nama Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus. Dan ajarlah kepada mereka semua yang Kuajarkan kepadamu.” Jadi semuanya. Itu bicara keseluruhannya, bukan cuma satu titik bagian itu. Kembali lagi ya, memang di dalam doktrin kita, kita ngerti di dalam Penginjilan, yaitu kita ada kepastian keselamatan. Dan memang Doktrin Reformed juga kental dalam bagian itu. Tapi bukan hanya itu yang diajarkan. Nah itu, dan itu saya lihat itu ada progressnya pertumbuhan iman kita. Dan terutama ketika kita menjalani kehidupan ini, ya, karena toh kenyataannya sebagian besar dari kita, setelah kita diselamatkan, kita masih diberikan kesempatan ini. Dan kita masih hidup, itu berarti kita masuk di dalam program rencana kerajaan Sorga.
Kembali lagi ya, kalau setelah kita percaya lalu kita masih berikan hidup. Hidup ini apa? Bukan cuma Eng Eng Bu Da Lao, cuma santai-santai pokoknya tunggu saya mati, nggak ada ngapa-ngapain. Tapi adalah berarti, kalau kita setelah diselamatkan, kita masih diberikan kehidupan. Atau misalnya kita sempat sakit, lalu Tuhan berikan kesembuhan, itu artinya apa? Dan tujuannya apa? Berarti adalah untuk kita masuk di dalam program rencana Kerajaan Sorga. Itu yang harusnya kita selalu lihat: Kalau saya masih diberikan waktu, diberikan kesempatan, adanya juga potensi, ada talenta, ada keuangan, ada kesehatan, dan semuanya. Ini bukan untuk kita nikmati, foya-foya sendiri. Kalau cuma seperti itu, kita sama dengan padangan Hedonisme, Materialisme, dan semua pandangan-pandangan dunia. Tapi adalah untuk kita pikirkan. Cara pandangnya adalah, kalau misalnya, makanya sederhana, kalau kita sakit, lalu lantas kemudian Tuhan sembuhkan, itu untuk apa? Yaitu untuk melayani Dia, berarti Tuhan masih beri kesempatan untuk bekerja. Kalau Tuhan berikan kita kelimpahan di dalam keuangan, itu untuk apa? Ya berarti untuk kita pakai dalam pekerjaannya. Saya tentu tidak bilang untuk ada 24 jam terus di dalam gereja, atau semua uang anda kasih masuk gereja. Saya juga nggak sesempit itu pemikirannya. Tapi kita melihat, berbagian dalam rencana Kerajaan Sorga itu seperti apa? Dan itu harusnya sesuatu yang kita gumulkan dan kita pikirkan. Karena pada akhirnya, di titik akhir itu, kita akan diminta pertanggungjawaban atas semuanya yang kita lakukan dalam kehidupan ini.
Dan karena itu di dalam bagian ini, ada suatu nuansa eschatological, ada suatu nuansa akhir zaman yang dibahas di dalam bagian ini, dan Paulus bisa katakan bahwa “aku bermegah pada hari Kristus itu,ya, aku bermegah pada hari Kristus,” dan bicara hari Kristus itu ya kedatanganNya yang kedua kali.“Aku bermegah,” atau mungkin dalam bahasa yang sederhana yaitu kiamat.Bayangan kita kalaungomong kiamat itu, kita akan seperti apa sih?Misalnya besok kiamat, lho, kita akan berpikirnya, “Wah kita bermegah, besok kiamat,” atau kita akan takut, “Wah besok akan kiamat, gimana ya, gimana ya?”Itu suatu pertanyaan yang memang bisa kita gumulkan ya, jika besok Kristus datang, apa yang akan anda lakukan?Atau mungkin secara sederhana saja, karena bicara kiamat itu bagaimanapun biasa orang bilang kiamat itu ada dua macam gitu ya, kiamat universal dan kiamat pribadi ya.Kiamat universal itu memang Kristus datang ya, dan terjadi universal, berakhirlah semua sejarah dunia ini dan kita bertemu dengan Dia, tapi itu biasanya kita pikir agak jauh gitu ya.Tapi kiamat pribadi itu sederhananya kalau kita mengalami kematian.Misalnya jika hari ini anda pulang lalu lantas anda rasa kok ada kayak ada gangguan, rada nggak nyaman.Lalu anda cek ke dokter, dan dokter langsung vonis bahwa sisa umur anda itu, adalah sisa 24 jam saja, apa yang akan anda lakukan? Saya pernah tanyakan ini di dalam kelompok remaja, orang akan mengatakan,“Oh saya akan rajin baca Alkitab, saya akan rajin berdoa,” dan seterusnya.Tapi pertanyaannya adalah: kenapa harus tunggu? Why wait? Kenapa kita menunda? Kenapa kita tidak lakukan sekarang? Bukankah Kristus itu bisa datang sewaktu-waktu?Kadang-kadang kita berpikir seperti,“Oh kalau memang saya sudah waktunya habis,” ya itu kayak SKS ya, Sistem Kebut Semalam, jadinya saya kejar apa yang masih sisa dan saya tuntasin.Tapi sebenarnya kalau kita lihat dengan kacamata eskatologi, akhir zaman itu bisa tiba sewaktu-waktu, kapanpun juga, adakah kita mempersiapkan diri kita mulai sekarang, pertanggungjawabkan, mulai kita pikirkan sekarang?Kita persiapkan kehidupan kita seperti apa karena kelak kita tahu kita akan pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Kembali lagi ya, kalau kita tahu kapan akhirnya kita, yaitu harusnya mempengaruhi kehidupan kita di sekarang.Orang tahu besok dia mati atau sisa umurnya cuma hitungan jam saja, sekian puluhan jam saja, dia akan biasanya akan makin berpikir bertobatlah, atau minta ampun, atau segala sesuatunya akan lakukan banyak-banyak, tapi pertanyaan itu: kenapa sih harus terakhir-terakhir seperti itu? Kenapa sih harus kepepet seperti itu? Kenapa nggak mulai dari sekarang, dan mulai kita tata kehidupan kita dengan baik, itu mempersiapkan bertemu dengan Kristus nanti muka dengan muka.Nah itu kacamata eskatalogis, itu sudut pandang kita melihat bahwa kita menghidupi hari ini bertanggung jawab, siap kapanpun kita bertemu dengan Kristus, siap kapanpun kita masuk pada akhir zaman itu dan menyudahi keluh kesah kita dan jerih lelah kita di bumi ini.Harusnya kita berpikir senantiasa seperti itu ya, setidaknya dengan suatu awareness, dengan suatu kesadaran, dan selalu bersiaga, berjaga-jaga toh, kita akan bertemu dengan Tuhan, kita akan bertemu untuk dengan Tuhan seperti apa?
Di dalam bagian ini Paulus menggambarkan dengan ada dua gambaran, yaitu bahwa “aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah.”Ya istilah “bersusah-susah” yaitu lebih kayaknya berjerih lelah.Ini bicara dua gambaran, yaitu pertama tidak percuma berlomba, ini gambaran seperti atlet, sama seperti atlet yang lomba lari itu.Jadi ini gambaran adalah bicara atau bicara goal diri, tujuan di depan, dan kepadaNya lah kita tujukan semua kehidupan ini.Sama sperti seorang atlet itu ketika dia berlatih ya, pagi-pagi mungkin sebelum kita semua bangun dia sudah bangun duluan, lalu dia lari-lari keliling di dalam suatu lapangan besar, lari-lari seperti itu bikin capek.Terus ngapain?Ya atlet itu punya visi kedepan, yaitu,“Lihat saya kelak akan ikut pertandingan lomba lari,” dan visi itu mempengaruhi dia kenapa bangun tiap paginya, kenapa meski di tengah lelahnya, meski di dalam ada kalanya dia sudah lari, “Wah kamu sudah larinya cepat tapi dia mau kok, wah belum terlalu cepat, saya harus lari lebih cepat lagi, saya harus lebih cepat lagi,” karena apa? Karena ada visi kedepan itu. Saya tuju kemana, maka saya harus kerjakan itu.Dan ini suatu gambaran yang Paulus gambarkan dalam kehidupan kita, dan itu membantu kita memikirkan, menata, seperti apakah cara pandang kita, visi kita di depan itu apa sih,goal yang kita tuju itu apa sih? Dan ketika tahu apa yang kita tuju itu seperti apa, maka kita akan mengejarnya, kita akan seperti atlet itu yang berjerih lelah, yang bisa bukan demi capeknya itu.Ya atlet itu bukan lari demi lari, demi capek keringatnya doang, tapi ada karena akan menuju perlombaan itu, karena adanya perlombaan yang akan dia tuju, ada kemenangan yang dia tuju, akan menerima mahkota kemenangan itu.
Konon katanya di dalam kehidupan orang Romawi atlet ya, yang lari itu ya, karena memang itu kebiasaan dari kira-kira Yunani-Romawi gitu ya, istilahnya olimpiade itu.Itu mereka itu kalau juara 1, menang, yaitu tidak seperti jaman sekarang dapat duit banyak, gede gitu ya, milyaran gitu ya,nggak seperti itu.Terutama adalah mereka akan diberikan daun gitu ya, itu mahkota terbuat dari daun salam ya, seingat saya itu dari daun salam itu yang dipakaikan daun-daun itu lho mahkotanya.Nah itu kan sebenarnya kalau dihitung gitu ya,harga daunnya berapa sih? Murah loh, murah serius itu ya, tahu itu ya gambar orang-orang dulu bikin mahkotanya itu yang dari daun itu,itu murah loh, daunnya itu murah sekali sebenarnya, ya tidak terlalu ada harganya. Jadi lari cepat-cepat untuk dapat mahkota itu.Kalau kita pikir, ngapain, buat aja sendiri gitu toh.Tapi begini, kita perhatikan adalah pandangan bagi orang Yunani-Romawi pada zaman itu, yaitu bukan masalah “ini lho dapat mahkota daun salam ini,” itu tidak berapa nilai harganya tapi bagi mereka harganya itu apa?Yang kasih itu siapa. “Oh yang kasih kaisar, kasih ini lho di kepala saya, ini bukan buatan daun-daunan saya bikin rangkai sendiri,nggak, ini yang bikin kaisar dan itu berharga, itu worthed, semua jerih lelah saya capai untuk di sini.”
Dan pertanyaannya di dalam padanan sama ketika dipakai dalam Paulus ini, berapa banyak kita pikirkan semua jerih lelah kita ada sampai untuk kita dapat mahkota kemulian itu sendiri?Mahkota kemulian itu bukan kita “Wah, hore, saya dapet mahkota emas,” mau emasnya berapa kilo gitu ya, keberatan juga itu jebol kepala kita gitu ya.Tapi bicara mahkota kemuliaan itu adalah yang kasih Siapa? Yang kasih adalah Tuhan kita sendiri, dan itu penggambaran kemuliaanNya itu, kemuliaanNya yang dikatakan Paulus, yang dimaksud ini adalah sesuatu yang bahkan jauh lebih besar dari pada kaisar di dunia ini, jauh lebih besar daripada soter ya, juruselamat gambaran orang-orang Romawi yaitu kaisar, karena mereka mengerti ada Tuannya yang lain yaitu Tuhan Yesus Kristus dan dia begitu berjeri lelah demi bahwa biarlah nanti itu ada suatu kebanggaan kalau mau di bilang, bukan tentu sebagai suatu kesombongan kita di sini bicara bermegahnya bukan dalam posisi negatif gitu ya tapi dalam posisi kita bersyukur bahwa kita kerjakan habis-habisan dan Tuhan melihat ini lho, ini hasil dari apa yang kamu jerih lelah, diberikan mahkota kemuliaan itu.Dan berapa banyak kita pikir, kehidupan kita itu seperti itu, kita bukan sekedar, “Oh yang penting saya masuk surga,” tidak ada relasinya dengan Kristus gitu ya. Sepertinya itu kita cuma numpang di rumah Dia, “Oh pokoknya saya datang ke rumah-Mu” gitu, yah syukur-syukur saya nggak masuk neraka, terus ya sudah. Bukan cuma itu, tapi kita berelasi dengan Dia dan bagaimana kita menilai Dia sebagai Tuhan kita adalah ya, kita menantikan Tuhan kita itu memberikan mahkota kemuliaan itu yang dimana kita lihat tercapailah semua jerih lelah kita, dan memang di situ kita mengerti sebagai “ada suatu upah” memang diberikan tapi bukan karena itu sendiri besar atau apa, tapi karena suatu apresiasi yang dinyatakan dari Tuhan kita kepada kita. Nah itu harusnya kita tuju kepada sana.Dan karena itu kita jangan heran di bagian Alkitab lain itu ada mengatakan, Musa menujukan matanya kepada upah yang ada di sorgawi, yaitu bicara ini. Biarlah dari Tuhan yang berikan. Itu yang jauh lebih mulia daripada apa yang ditawarkan di negeri Mesir oleh Firaun. Dan itu kita menghidupi dengan, kembali lagi, ini bicara worldview. Ini bicara cara pandang kita. Dan kita tujukan hidup kita itu seperti apa. Adakah kita tuju ke sana.
Saya lanjut yang berikutnya dikatakan imagery kedua dikatakan, not labor in vain. Tidak berjerih lelah, dan ini gambaran seperti orang pekerja kasar ya. Pekerja kasar itu bekerja dengan jerih lelahnya itu dan memang dia suatu jerih lelah yang dikerjakan itu memang bicara ya pakai keringat. Dengan tenaganya itu memang capek gitu ya. Melelahkan, seperti itu. Dan memang itu adalah suatu pekerjaan yang memang melelahkan badan, tapi ya dia terus bisa lakukan, lakukan. Dan itu juga adalah sesuatu yang berulang, ada nuansa berulang gitu ya, karena pekerja kasar itu cenderung ya sifatnya pekerjaan yang “monoton” gitu ya. Berulang, berulang, berulang. Tapi bagian sini maka diingatkan Paulus bahwa, memang dalam kehidupan kita Kristen itu ya ada aspek juga bagian situ sih, ketika kita melayani Tuhan. Ada bagian-bagian memang kita kerjakan sesuatu yang berulang ya. Tapi itu kita mengerti itu ada bagian kita kerjakan bagi kemuliaan nama Tuhan. Makanya kita melihat pekerjaan Tuhan atau pelayanan pada Tuhan itu bukan cuma oh saya ini nih, ada event KKR di depan, kita kerjakan. Ya betul itu pekerjaan Tuhan, tapi bagaimana tentang penginjilan pribadi, misalnya? Bagaimana dengan kehidupan ibadah kita secara rutin? Jangan sampai mata kita itu cuma berpaut kepada event terus gitu ya, kepada event saja, kepada suatu acara yang besar saja, dan kita lupa di dalam ada yang rutin. Ada yang rutin. Terkadang ya, saya menemukan kadang-kadang ada orang itu kalau sudah event besar, wah akan giat kerja mati-matian, wah, karena acara besar ini seperti apa. Setelah itu, masih banyak yang memble ya. Kalau acara besar mau ikut pelayanan, tapi kalau sudah pelayanan rutin, kayaknya apa ya, orang bilang kurang greget gitu. Biasa aja. Ngapain? Tapi itu adalah bagian namanya labor. Ada pekerjaan yang rutin yang memang di sini digambarkan sebagai kerja kasar yang berulang-ulang, tapi ya kita mau lakukan dengan rutin. Dan itu adalah bagian yang Tuhan lihat itu pun pelayanan di hadapan Dia. Sebagaimana Pdt. Stephen Tong di dalam pelatihan penatalayan dikatakan bahwa di dalam pelayanan kita bukan mau banding-bandingkan, oh pelayanan saya lebih bagus daripada yang lain gitu ya. Apalagi kadang-kadang ada orang itu bandingkan cabang yang ini bandingkan cabang itu yang mana lebih banyak orang. Ini emang kita kompetisi apa gitu ya? Kita nggak ada seperti ini. Kita lari berkompetisi dengan diri kita sendiri, bukan berkompetisi dengan yang lain. Tapi kembali lagi, ketika kita jalani dalam pelayanan kita dalam pelayanan rutin seperti itu kita jalankan adakah kita lihat, ya kita kerjakan dengan rutin seperti itu. Dan di dalam jerih lelah kita, kalau Pak Tong katakan itu bukan banding satu dengan yang lain, tapi pertanyaannya adalah, Tuhan sendiri merasa terlayani atau nggak?
Kadang-kadang ya, saya sendiri pelayanan di GRII ya, saya sebetulnya di GRII itu dari 2003 dulu di Karawaci ya. Dan dalam banyak hal, ya di dalam banyak pelayanan yang dipercayakan itu kadang-kadang ada memang bisa kelihatannya, wah, ada yang kelihatannya biasa, ada yang kelihatannya sukses, ada kelihatannya malah gagal, dan seterusnya. Tapi selalu ukurannya itu adalah bukan ukuran manusia, sebenarnya, tapi adalah kita ukur dan bergumul di hadapan Tuhan, pertanyaannya adalah, Tuhan terlayani atau tidak? Dan ketika Tuhan terlayani oleh bagian pelayanan itu meski kecil, meski mungkin tidak terlalu banyak orang lihat dan mungkin bahkan cuma kita sendiri yang tahu dengan berapa orang tertentu saja, ya poinnya adalah Tuhan terlayani atau tidak. Dan ketika bagian itu kita kerjakan dan Tuhan terlayani, terpujilah nama Tuhan. Itu cukup. Itu cukup. Kembali lagi, pelayanan itu tidak selalu di depan mimbar seperti ini tetapi bisa juga di balik mimbar. Ada bagian-bagian aspek lain. Ada pekerjaan seperti orang mempersiapkan warta ini, ada mempersiapkan seperti peralatan ini dan semuanya, itu pun pelayanan di hadapan Tuhan. Rutin kan? Biasa kan? Tapi pertanyaannya, Tuhan terlayani atau nggak? Dan ketika Tuhan terlayani, itu yang berkenan di hadapan Tuhan. Itu yang dia berkenan di hadapan Tuhan. Bukan masalah tampil wah, bukan masalah dia mendapat tepuk tangan manusia atau segala macamnya, tapi ini menjadi suatu yang kita lihat kita kerjakan demi kemuliaan nama Tuhan, dan nanti memang hasilnya lebih belakangan kelihatan ya nggak apa-apa, yang penting Tuhan terlayani.Kita berbagian dalam perencanaan kerajaan-Nya, kita sudah kerjakan bagian kita, kita sudah berbagian di dalam kesempatan pelayanan yang Tuhan percayakan. Dan itu cukup, itu cukup. Tapi pertanyaannya, kita mau kerjakan nggak? Ini sesuatu yang rutin. Sesuatu yang rutin.
Dan di dalam bagian ini, ada suatu sentuhan, istilahnya itu ada semacam suatu price, suatu upah yang dia percaya Paulus ini katakan bukan saja untuk dia nikmati sendiri, tapi juga bersama-sama dengan dia akan menikmati dalam sukacita bersama-sama dengan orang-orang di Filipi sekalian ya. Di dalam bagian ini ada suatu nuansa bukan cuma pelayanan pribadi, tanpi nuansanya itu lebih ke, apa ya, sifatnya lebih komunal, seperti itu. Menarik ketika di dalam suatu commentary dari Grant Osborne, dia katakan, kita ketika di.. kita berpikir ya, kembali lagi ketika bicara akhir zaman, ya sederhananya kiamat gitu, kita akan ketika bertemu Tuhan, apa yang akan kita katakan? Ya di hadapan Tuhan kita akan dituntut pertanggung jawaban di hadapan Tuhan itu, Grant Osborne itu katakan bukan cuma kehidupan personal kita saja ya. Unless itu memang kita hidup menyendiri dan dari lahir kecil hidup sendiri ya, besar juga tidak nikah. Terus hidup menyendiri, terus menyendirinya juga di pelosok hutangitu ya, nggak ketemu siapa-siapa. Nggak. Kenyataannya kita berinteraksi di dalam sosial. Kenyataannya kita berinteraksi di dalam komunitas dan ada pertanyaan adalah seperti kita di hari ini seperti bapak-bapak dan maupun ibu-ibu, ataupun kakek nenek dan semuanya, sejauh mana kita sudah mempertanggung jawabkan posisi stan itu, status kita itu di hadapan Tuhan. Jadi di hadapan Tuhan itu, kembali dulu waktu saya masih lebih muda juga saya cuma biasa berpikir, iya, apa jawab saya itu tanya, “Leo, apa yang sudah kamu kerjakan?” Bukan cuma sampai situ. Akan ditanya, “Kamu sebagai hamba Tuhan, apa yang kamu kerjakan?” Dan kelak, ya nanti memang rencana tahun depan menikah gitu ya, ya kamu sebagai ayah, apa yang kamu lakukan? Sebagai suami, apa yang sudah kamu kerjakan? Dan sebaliknya, anda sebagai istri, apa yang sudah kamu kerjakan? Kamu sebagai ibu, apa yang sudah kamu kerjakan?
Jadi scope-nya itu lebih luas, bukan cuma kembali persoalan pribadi seperti itu. Tapi di dalam status-status yang kita percayakan dalam kehidupan kita maupun di dalam pekerjaan, apa yang sudah kita kerjakan? Kalau kita sebagai karyawan ya akan ditanya, apa yang sudah kamu kerjakan sebagai statusmu sebagai karyawan? Atau kita yang sudah jadi atasan, sebagai bos akan ditanya, kamu sebagai bos perusahaan itu, apa yang sudah kamu kerjakan? Dan kita akan dituntut pertanggung jawaban setiap bagian itu, sesuai dengan porsi, scope yang dipercayakan pada kita. Saya sendiri secara umum berpikir seperti itu ya, jadi ambil contoh misalnya seperti saya pelayanan vikaris saya di bawah Pak Dawis, ya saya bertanggung jawab di dalam scope otoritas yang Tuhan percayakan di dalam sesuai yang dipercayakan pada saya saat ini. Ada bagian-bagian yang memang tanggung jawab Pak Dawis, ya saya nggak utak-utik gitu ya. Karena ya itu tanggung jawab bagian dia. Kita itu akan dituntut tanggung jawab itu ya bicara ya di dalam scope memang level yang dipercayakan ke kita, porsinya kita. Bisa nangkap di sini ya gitu? Anda akan itu less likely gitu ya, anda misalnya di sini ditanya, bagaimana dengan pelayanan Pak Dawis? Ya nggak ditanya gitu ya. Karena yang ditanya dalam kehidupan anda, dan di dalam lebih ke bawah gitu ya, bukan lebih ke atas. Karena yang di dalam atas itu ya ada tanggung jawabnya masing-masing. Dan sama seperti anak akan dituntut tanggung jawabnya sebagai anak, tapi lalu kemudian yang ayahnya, orang tuanya itu akan dituntut tanggung jawabnya sebagai orang tua. Di hadapan Tuhan seperi demikian. Kita tidak disuruh untuk kudeta, untuk lawan otoritas di atas. Tidak seperti itu. Kita bisa memberikan tentu inputan di dalam banyak hal dalam kehidupan kita dalam interaksi satu sama lain. Saya juga berapa hal kadang diskusi dengan Pak Dawis tentunya, tapi pada akhirnya keputusan di dalam beliau, dan itu adalah tanggung jawab beliau di hadapan Tuhan. Saya bagian saya bertanggung jawabnya adalah bagian saya. Bisa nangkap ya di bagian ini? Sama. Semua mahasiswa sini, kamu bertanggung jawab di dalam kuliah kamu. Kamu nggak bertanggung jawab, ya itu ya, itu sistem dalam kampus saya itu nggak beres. Unless kamu sudah jadi dosen, kamu rektor, atau kamu memang bagian di dalam terjun di sana, ya itu bagian kamu kerjakan. Tapi kalau kamu mahasiswa ya kamu tanggung jawabmu di dalam scope kamu statusmu sebagai mahasiswa apa yang sudah kamu lakukan? Karena itu bagian wilayahmu. Itu di dalam scope-mu dan kita dituntut tanggung jawab dalam bagian sana.
Dan saya kembali dalam bagian ini kalau kaitan dengan di dalam pelayanan di dalam ragam pelayanan gitu ya. Saya teringat di bagian ini, ketika merenungkan dalam bagian ini, apa yang dikatakan dalam Yehezkiel . Yehezkiel 3:16-21 ini adalah bagian yang saya pikir menarik untuk kita renungkan. Nah ini bagian yang menarik ya. Kalau kita melihat bagian ini, kita kadang-kadang di dalam doktrin Reformed itu karena agak kebablasan berfikir “pokoknya dalam kedaultan Allah,” apa yang sudah Allah tetapkan yang memang di dalam kedaulatan Allah yang tersembunyi, yang penetapanNya adalah siapa orang pilihan, siapa yang selamat dan tidak selamat, itu sudah ditentukan Allah sebelum dunia dijadikan; tapi kemudian di dalam kehendak perintahNya: kita diperintahkan untuk menginjili.Dan di dalam bagian inilah saya lihat ada aspeknya, kita ketemu di ayat ini. Dan ayat ini tentu bukan cuma bicara bagi Yehezkiel tapi bagi kita setiap orang percaya. Yaitu kalau memang ada orang jahat, disini orang jahat kita bicara orang fasik ataupun ya sederhananya orang yang bukan pilihan. Sudah berbuat jahat, sudah berbuat kefasikannya tapi kita tidak memperingati mereka, kita akan dituntut tanggung jawab untuk hal itu. Ya ini menarik ya . Ini ada suatu organik dan nuansa dinamika dalam kehidupan, ini ada di dalam perintah penginjilan. Kita diperintahkan menginjili?Ya.Dan sebaliknya, ketika ada orang benar yang mulai menyimpang tapi kita tidak peringatkan, nah Tuhan akan tuntut tanggung jawab kepada kita. Di bagian ini, di dalam dinamikanya tentu bukan berbicara “oh berarti bagian kita itu akan mempengaruhi keselamatan orang itu?” Bukan, karena itu sudah dalam kedaulatan Allah. Tapi kita dituntut itu kita mentaati perintahNya. Dan apalagi bicara siapa orang pilihan dan bukan toh kita tidak tahu, tapi kita diperintahkan untuk menginjili itu.
Dan disini saya lihat kita itu pelayanan dalam kehidupan kita, sudahkah kita menginjili orang-orang terdekat kita, kerabat kita , keluarga kita? Adakah kita misalnya minimal saja kita mendoakan mereka dan kita sharing firman Tuhan kepada mereka dalam berbagai kesempatan yang bisa ataupun lewat kesaksian hidup kita? Karena sebagian dalam 2 Korintus 3 mengatakan bahwa kita ini seperti surat yang terbuka dan kehidupan kita disaksikan mereka. Pertanyaannya adalah kesaksian seperti apa yang kita tunjukkan kepada mereka? Dan dibagian ini Tuhan perintahkan bahwa kamu memang dipanggil sebagai garam, kamu kan harus berdampak pada dunia yang sudah rusak ini. Kita adalah terang dunia. Dikatakan kamu adalah garam dan terang dunia, bukan kamu akan menjadi, bukan, tapi kamu adalah garam dan terang dunia. Berarti fungsinya memang untuk disitu. Garam di dalam konteks Perjanjian Lama dan juga sampai dalam Perjanjian Baru adalah konteks garam itu menahan kebusukan, dan juga bicara terang itu adalah menerangi kegelapan. Poin kita disana. Dan pertanyaanya adalah kita sudah melakukan bagian itu? Karena bagaimanapun juga penginjilan itu adalah suatu perintah bukan pilihan. Sering kali kita berfikir penginjilan itu bagian,“Oh saya pilihlah saya penginjilan atau tidak,” tapi itu perintah dan Tuhan akan tuntut tanggung jawab juga dalam kehidupan kita seperti itu. Kembali lagi ayat ini kalau kita baca di dalam secara tepat posisinya, tentu kita bukan masuk “oh kalau gini tiap orang yang saya tidak injili terus dia masuk neraka ini karena tanggung jawab saya semuanya,” tidak juga seperti itu, tapi bagian untuk kita pikirkan adalah kita sudah berbagiankah untuk memberitakan injil kepada dia atau tidak? Itu tanggungjawab kita dan Tuhan akan tuntut itu juga. Kembali lagi ya, nanti di akhir zaman, kiamat, kita bertemu dengan Kristus, apa jawab kita? Juga Dia akan tanya,“Oh kamu pernah bersentuhan dengan orang ini kan, kamu sudah menginjili dia belum? Kamu pernah ketemu ini kan, kamu sudah menginjili dia belum?” Ada bagian bagian seperti itu. Dan kita akan dituntut tanggung jawabnya di situ. Tapi seringkali banyak dari kita mengabaikan bagian itu, kita berfikir masih ada waktu, masih ada waktu. Kita tidak tahu lho berapa lama kita masih di kasih kesempatan dan kita juga tidak tahu berapa lama kita masih diberikan waktu bersentuhan dengan orang-orang demikian, orang-orang di sekitar kita, orang-orang yang belum mengenal Kristus. Dan adakah kita juga terdorong tergerak untuk menginjili mereka sebagai bentuk tanggung jawab kita kepada Tuhan, sebagai bentuk pertanggung jawaban kita kepada Tuhan? Nah ini bagian kembali lagi kacamata eskatologis itu akan mempengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan dan kita menjalani kehidupan ini.
Poin kedua adalah berbicara di dalam kehidupan ini kita juga mengalami berbagai penderitaan, kesukaran dan penderitaan ya. Dan di dalam bagian ini dikatakan Paulus bahwa darahnya sampai dicurahkan jadi korban ibadah di dalam bagian itu. Ya Ini bagian yang penting sekali untuk kita renungkan dan ingat. Di dalam konteks dunia kuno, memang sering sekali ada darah yang dicurahkan kepada dewa sebagai bentuk persembahan korban. Ini kental sekali dalam Perjanjian Lama maupun juga kita lihat konteks agama-agama orang Yunani dan sebagai macamnya itu.Korban di dalam konteks itu selalu pasti ada persembahan korban itu pencurahan darah. Tetapi menarik, di dalam Perjanjian Baru karena sistem pengorbanannya itu sudah digenapi oleh Kristus, kita tidak lagi persembahkan kambing domba seperti yang di dalam sistem Perjanjian Lama karena sudah digenapi oleh Kristus. Tetapi tetap kita dipanggil untuk ada berkorban, kita dipanggil untuk menderita. Dan di dalam bagian ini, ketika di dalam kehidupan juga kenyataannya kita tidak terhindarkan dari penderitaan. Bagi saya ada minimal ada 4 macam penderitaan dan mungkin 4 level tingkat penderitaan yang berbeda secara maknanya. Tidak semua penderitaan itu sama levelnya, kenyataannya seperti itu. Dan tidak semua penderitaan itu worthed dijalani, dan tidak semua penderitaan itu layak untuk kita tempuh. Kita Jangan sudah buat salah terus bilang,“Oh ini memang penderitaan seharusnya aku pikul, ini salib yang harus aku pikul.” Ya rupamu. Kalau kamu sudah buat salah ya itu penderitaannya ya memang karena upah dosamu seperti itu, bukan salib begitu ya. Nah ini bagian bentuk pertama ada penderitaan itu, karena kesalahan sendiri. Ini saya bicara penderitaan yang disebabkan oleh apa itu akan mempengaruhi. Kita menderita karena apa itu penting sekali. Pertama, itu adalah penderitaan karena kesalahan sendiri.Bagi saya ini penderitaan yang paling rendah dan sebenarnya penderitaan yang sangat negatif, yaitu misalnya orang berjudi lalu bangkrut,“Oh ini salib yang harus saya pikul,” ya nggaklah, kamu harus bertobat gitu ya. Kamu harus bertobat bangkit lagi dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bangkrutnya ini bukan karena ini sebagai salib, ini memang dosamu dan kamu harus bertobat di titik pertama. Kembali lagi, ada penderitaan-penderitaan yang meski saya kadang-kadang berfikir ini biasa gitu harusnya orang tahu, tapi ternyata ada orang masuk berbagai penderitaan karena ulahnya sendiri, karena dosanya sendiri. Dari titik awal sudah tahu ini bermasalah, dia jalani, dia masuk ke lubang itu, ya salah sendiri. Dan ini adalah bagian penderitaan yang sebenarnya level yang paling rendah. Ini adalah penderitaan yang sebenarnya tidak worthed kita jalani. Dan kita harusnya kikis bagian ini. Itu bagiannya kita bertobat kita tinggalkan dan kita mohon pengampunan dan kita bangkit dan tidak melakukannya lagi.
Tapi kemudian ada penderitaan tingkatan yang kedua yang lebih tinggi dari itu,bagi saya yang pertama itu posisinya minus gitu ya, tapi ada bagian penderitaan ke dua ini yang “lebih netral” ya, “netral” ya atau titik nol, yaitu penderitaan karena kesalahan orang lain. Ya ini juga ya, dalam kehidupan kita ada juga kadang-kadang masalah yang seperti itu ya. Misalnya kita bawa kendaraan sudah baik-baik, kita berhati-hati, eh malah ketabrak. Ya ini, memang kena musibah gitu ya, kena bencana seperti itu, karena memang tak terhindarkan. Dan kadang-kadang ada penderitaan seperti itu yang bukan kesalahan kita, tapi karena memang kenyataannya kita hidup di tengah dunia yang berdosa dan kita nggak luput dari penderitaan. Nah ini maka penderitaannya toh suatu yang tak terhindarkan lagi. Tapi bagi saya minimal kita tahu, kalau misalnya kita ketabrak, lalu kita pikir ini kita bawanya nggak hati-hatikah atau kita sudah bawa hati-hati, kita sudah perhatikan dengan sungguh-sungguh, eh ketabrak, ya minimal kita tahu bukan kesalahan saya. Bisa nangkap ya? Dan meski memang kita merugi dalam bagian itu, tapi saya teringat ada Pendeta David Tong pernah mengatakan bahwa sebenarnya penderitaan atau bencana yang menimpa kehidupan kita, yang di sini bukan karena kesalahan kita, adalah sebenarnya mengingatkan kita bahwa betapa rapuhnya kehidupan manusia itu sendiri, bahwa memang kadang-kadang ada hal itu di luar kontrol kita sebenarnya. Kembali lagi ya, kita sudah bawa kendaraan hati-hati, eh ketabrak, ya salah siapa, mau gimana, kita hidup di tengah dunia yang seperti ini memang. Kita nggak buat salahpun, ada disalahi oleh orang lain. Tapi, saya pikir menarik ya, dalam bagian ini, kalau kitamerenungkan dan refleksikan dalam kehidupan kita, kenyataannya memang itu menggambarkan betapa fragile–nya kehidupan ini. Dan memang ada aspek-aspek itu di luar kontrol kendali kita. Tentu ada bagian orang ngomong kesalahan itu untuk orang bertobat, ya permasalahan yang pertama itu ya, tapi itu adalah bagian kita minimal kita mengerti ya ini memang bukan kesalahan kita, tapi kita mengingatkan kita bahwa ya kehidupan kita ini rapuh dan karena itu kita perlu hidup bergantung pada Tuhan setiap hari. Ketika Tuhan izinkan hal itu terjadi dalam kehidupan kita, biarlah kita melihat bahwa kadang-kadang juga orang bilang ketika kamu mengalami sakit, itu biasanya kamu coba cek gitu ya, tanya, ini ada dosakah atau jadi teguran, atau ini ujiankah atau mungkin cuma alami, ya maksud nya seperti natural, biasa aja. Dan ketika kita tahu ini seperti, mungkin ya, mungkin saya sakit ini karena hal faktor alamiah saja, itu bagian yang sebenarnya kita melihat ya Hidup ini memang fragileSaudara, hidup kita itu tidak ada dalam genggaman kita sepenuhnya, ada bagian-bagian bisa terjadi di luar kontrol kendali kita. Dan di saat itu sebenarnya bagian untuk kita lebih justru secara positif, adalah lebih bersandar mengandalkan Tuhan; karena memang Dia yang mengontrol kehidupan kita, dan bukan kita yang mengendalikan kehidupan ini.
Saya lanjut poin yang ketiga, yaitu bicara ada penderitaan yang lebih tinggi nilainya, yaitu penderitaan demi kebaikan orang lain. Nah ini penting ya.Jadi kalau yang pertama itu penderitaan karena salah sendiri, yang kedua itu karena kesalahan orang lain, yaitu cuma berbicara aspek dosa dan terus di dosa. Ada penderitaan yang ketiga, yaitu penderitaan yang lebih tinggi, yaitu penderitaan demi kebaikan orang lain, yaitu penderitaan yang karena kita berkorban demi kebaikan orang lain. Dan ini adalah suatu aspek yang sebenarnya lebih tinggi nilainya daripada penderitaan-penderitaan sebelumnya. Ya sama seperti pasangan suami istri yang bekerja jerih lelah untuk membesarkan anak-anaknya, bahkan terkadang harus melepaskan kesukaannya, hobinya, dan sebagai macam nya, itu juga ada satu poin, ada penderitaan di situ. Dan itu ada penderitaan yang lebih bernilai. Kenapa kamu berhenti lagi sudah tidak foya-foya? Ya ini soalnya untuk mencukupkan kebutuhan untuk sekolah anak, misalnya seperti itu. Ya itu ada suatu yang lebih tinggi nilainya. Di sini jadi lebih positif melihat, menyikapi penderitaan itu. Yaitu penderitaan yang kita ambil adalah demi kebaikan orang lain. Jadi bukan lagi cuma masalah kena dosa lalu kita menahan, cuma menahan-menahan dosa, atau Cuma, jadi kalau posisi ke dua, kita cuma jadi korban, tapi bagian ketiga yaitu kita rela melakukan itu demi kebaikan orang lain. Dan ada bagian seperti ini.Dan ketika kita pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan, itu adalah suatu yang berharga nilainya. Berharga nilainya ketika jerih lelah orangtua yang membesarkan anaknya, melepaskan kesukaannya dalam kehidupannya, dan demi untuk membesarkan anaknya, berkorban demi orang lain, itu adalah suatu yang baik. Itu adalah sesuatu yang memang berharga di hadapan Tuhan juga. Penderitaan yang kembali lagi kita lihat demi kebaikan orang lain.
Tapi lanjut, yang lebih tinggi lagi nilainya adalah penderitaan yang bukan cuma sekedar demi kebaikan orang lain secara fisik, tapi adalah penderitaan demi pertumbuhan iman orang lain. Dan ini adalah penderitaan yang bernilai kekal. Saya mungkin contoh sedeherhana saja, ya, memang ini bisa sangat subtle,seperti guru sekolah minggu.Ya, itu kan persiapan, lalu ya seperti ketika ibadah minggu ini sudah bangun pagi-pagi siap-siap, ya mereka nggak ikut ibadah, tapi mereka ngajar sekolah minggu di luar, ya sudah capek-capek duluan, persiapan dari sebelumnya ya, malah kehilangan kesempatan ibadah.Belum kalau ada salah kena marah, belum ada periksa nanti aktifitas dan lain segala sesuatu nya.Ya makanya kita melihat dalam kacamata, untuk apa kita lakukan semua itu? Kalau cuma karena “Oh disuruh Pak Dawis,” ya saya lihat, kita cuma nangkap dari aspek horisontal ya, kita belum lihat ini adalah kita menderita, demi pertumbuhan iman orang lain. Meski “penderitaannya” cuma scope kecil. Bagian itu sebenarnya kalau kita lihat, itu adalah suatu penderitaan yang bernilai kekal. Kenapa? Karena ketika kita jerih lelah seperti itu, dan kadang memang kita tidak langsung lihat hasilnya, karena anak-anak itu masih kecil, tapi kelak ya, ketika anak-anak itu satu per satu sudah dewasa, mereka dipakai melayani Tuhan, ya sama seperti kami juga hamba-hamba Tuhan juga dulunya,background–nya juga pernah pernah ikut di dalam pelayanan sekolah minggu, ya saya pun adalah buah dari pelayanan guru-guru sekolah minggu saya dulu. Dan bayangkan kalau nanti di kekekalan kita akan bertemu satu sama lain nya, ya, saya percaya sih guru-guru sekolah minggu saya sudah nggak ingat saya gitu ya, ya saya ingat dia gitu ya, karena biasanya memang agak umumlah ya guru itu lupa muridnya, tapi murid itu paling ingat gurunya. Terutama guru yang rada killer misalnya seperti itu, saya akan ingat gitu, oh ini guru saya. dan guru saya itu akan ingat, oh jerih lelah ini berbuah seperti ini, dipakai seperti ini, dan terpujilah nama Tuhan, nah itu sampai kekal kita nikmati. Sampai kekal. Pertumbuah iman, karakter, dan bagaimana pembentukan manusia, memanusiakan manusia, itu adalah suatu yang worthed dijalankan dan bernilai kekal. Dan itu adalah suatu yang harusnya kita kerjakan, tuju di sana, dan kita lihat sejauh manakah kesempatan yang Tuhan bukakan dalam kehidupan kita, dalam pelayanan, dalam konteks gereja ini saja, sederhana nya, lalu kita mau ambil bagian atau nggak? Di sini penderitaannya sebagai suatu yang aktif, yang rela kita ambil, kita jalani, karena demi, kembali lagi bukan karena penderitaannya itu sendiri, kita bukan orang yang menyiksa diri, bukan, tapi demi pertumbuhan iman orang lain. Tujuannya ke sana dan kita mau kerjakan.
Di dalam bagian ini saya ingat di beberapa waktu yang lalu, John Piper itu dalam khotbahnya dia pernah cerita suatu hal tentang apa itu tragedi. Ya di dalam khotbahnya ini John Piper katakan tiga minggu yang lalu ada suatu kabar yang didapatkan tentang Ruby Eliason dan Laura Edwards, yang sama-sama mereka itu mati di Kamerun. Ruby itu adalah seorang yang sudah umur 80-an, dan Laura juga demikian.Dan mereka itu itu background–nya biarawan ya, mereka melayani di Kamerun untuk menjangkau, melayani orang-orang yang di sana ya, orang-orang yang marjinal, orang-orang miskin, orang-orang sakit yang dilayani di sana. Ruby itu sendiri seorang biarawan dan Laura itu sendiri, oh dia background–nya itu janda dan dia seorang dokter yang hampir berumur 80 dan dia melayani bersama dengan Ruby itu. Mereka melayani, bermisi ke Kamerun, daerah pelosok terpencil di sana. Lalu di dalam perjalanan mereka, pelayananan mereka di suatu ketika, mereka berjalan melewati suatu bukit, dan ternyata, remnya blong, dan akhirnya mobilnya itu terbang menuju ke ujung dari jurang, dan mereka jatuh dan mati secara instan di sana, di pelayanan misinya itu di Kamerun. Dan saya bertanya, apakah itu tragedi? Dua orang dengan visi akan melayani ke Kamerun, melayani orang-orang terpelosok di sana demi mereka mendengarkan Injil Yesus Kristus, di tengah kehidupan yang mungkin orang berpikir, “Oh sudah umur delapan puluh, sudah bisa pensiun.” John Piper mengatakan, “Tidak, itu bukan tragedi. Saya akan beritahu kepada anda apa itu tragedi, yaitu di dalam suatu majalah Reader’s Digest yang tercatat di tahun 2000, yaitu ada suatu tragedi yang mencatatkan, mengisahkan kisah seorang yang bernama Bob dan Penny di sini, nama samaran tentunya, yang mengambil pensiun dini, lalu mereka hidup di daerah Florida di sana. Dan mereka itu tiap hari kerjanya itu bermain softball, lalu cuma dengan kapalnya itu berlayar, berlayar, putar-putar di sekitaran situ dan kerjanya tiap hari itu pengumpul kerang, mengumpulkan kerang. Saya beritahu anda: itulah tragedi. Kenapa? Karena setelah anda mengakhiri hidup anda, anda bertemu dengan Kristus, apa yang anda katakan? Ruby dan Laura akan mengatakan bahwa, “Tuhan, kami telah bermisi mengerjakan dan kami ini mati di ladang pelayanan demi misi Injil itu. Dan kami sudah mencapai garis finish yang kami kerjakan.” Tapi Bob dan Penny, apa yang akan dia jawabkan? “Tuhan, lihatlah perahu boat kami. Ini kerang-kerang yang kami kumpulkan.” Itu tragedi.” Itu adalah suatu yang hidupnya disia-siakan, yang tidak dipakai, untuk apa? Hidup cuma menanti mati saja, dan sudah mati sebelum tiba masuk ke dalam liang kubur itu. Hidup yang cuma untuk dipuaskan demi diri saja, hidup yang dipuaskan untuk menikmati suatu pensiun saja dan tidak ada kaitannya dengan kekekalan sama sekali. Lalu apa yang mereka katakan kalau bertemu Kristus: “Oh ini Kristus, kumpul kerang,” buat apa di Sorga itu? Tidak ada gunanya. Di situ makanya John Piper mengatakan, “Jangan sia-siakan hidupmu. Jangan sia-siakan hidupmu yang cuma satu kali ini. Jangan biarkan hidupmu menjadi suatu tragedi saja, yang tidak ada kaitan dengan kekekalan.” Tidak ada kaitannya dengan kekekalan, dan itu menjadi hidup yang sia-sia, yang fana. Kristus sudah tercurah darahNya untuk menebus dosa kita, yang kita bawa apa? Cuma kerang-kerang ini, cuma permainan yang kita lakukan selama liburan? Saya tidak mengatakan kita nggak perlu liburan ya, tapi kita isi kehidupan itu seperti apa? Kita liburanpun untuk apa? Adakah kita pikir kehidupan kita itu bertanggung jawab, mempersiapkan kehidupan kita di hadapan Tuhan ? Dan tiap saat kita bersiap siaga menunggu Dia?
Dan dalam bagian itulah Paulus mengatakan, “Ketika kita menggumulkan dengan sungguh, hidup berfokus pada Tuhan, itu yang memberikan suatu sukacita.” Sukacita karena ada kerelaan kita mengerjakannya. Sebagaimana Pak Tong katakan dalam bukunya Pengudusan Emosi bahwa suffering plus willingness is enjoyment, yaitu penderitaan ditambah dengan suatu kerelaan, itu menjadi suatu sukacita. Tapi sebaliknya, penderitaan kalau tidak ditambah dengan kerelaan, maka yang ada cuma beban berat. Tapi ketika kita ada dengan suatu kerelaan di tengah menjalani kesulitan, penderitaan itu, tantangan di dalam pelayanan, tantangan di dalam semua yang kita kerjakan, tapi kita tahu jelas, kita sadar bahwa ini untuk kemuliaan nama Tuhan. Dengan perspektif cara pandang kita, kita mau tuju menyenangkan Dia saja, itu suatu yang worthed. Dan biarlah kita belajar mendoakan untuk Tuhan.Kadang-kadang ya memang dalam pelayanan itu kita bisa kehilangan sukacita itu,tapi kita bisa mendoakannya, yaitu, “Tuhan, munculkanlah lagi sukacita pelayanan itu. Sukacita karena melayani Engkau. Sukacita karena melihat Engkau terlayani dan Engkau dipuaskan.” Bukan karena manusia, bukan karena menurut pandangan manusia, tetapi menurut Bapa dari Sorgawi saja. Dan itu yang kita kerjakan. Dan itu di dalam bagian ini, makanya kita nggak heran Paulus ini mencatat bagian ini, kalau kita baca berkali-kali diulang“bersukacita.” “…aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian. Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku.” Paulus ini berulang-ulang ngomong sukacita. Paulus ini bukan lagi di tempat kondisi yang enak, dia itu di tengah penjara. Di tengah penjara, yang hidup menderita, yang makanan nggak tentu ada, di tempat yang dia dipenjara itu dirantai seperti itu, tidak ada yang terang segala sesuatunya, dia tersendiri seperti itu dia bisa sukacita, ini orang gila atau apa? Bukan, saya percaya Paulus bukan mengalami kegilaan di sini tapi dia sadar bahwa sukacita dia bukan karena keadaan tapi karena Kristus sendiri, sukacita yang tidak ditentukan oleh aspek horisontal meski dia kehilangan teman-temannya, tidak bertemu dengan sahabat-sahabatnya dan dia sangat merindukan bertemu jemaat Filipi; tapi sukacita yang terdalam itu adalah sukacita yang vertikal, sukacita sorgawi, sukacita bukan akan apa yang kelihatan namun karena Dia yang tidak kelihatan itu, sukacita yang tidak bergantung pada hal-hal dunia yang berubah-ubah tapi bergantung pada Allah Tritunggal sendiri yang karyaNya pasti dan tetap, dan keselamatan yang sudah dikerjakan bagi dia. Dan bagi Paulus dalam kehidupannya kalau sampai dia end-nya, matinya di dalam penjara situ, ya sudah berarti dia sudah mencapai garis finish, sama seperti Ruby dan Laura tadi, mereka celaka, kita lihat tragedi, Oh bagi mereka itulah yang diharapkan itu akhirnya mulia, dia kerjakan sampai finish di sana, daripada mereka cuma berlibur atau berhenti mengumpulkan kerang dan segala sesuatunya, itu sia-sia.
Ingatlah hidup bukan cuma demi hidup itu sendiri, kita makan bukan cuma demi hidup, juga kita hidup bukan cuma untuk makan, ya itu permasalahan yang menjadi bermasalah lagi, tapi kita hidup, baik kita makan atau kita minum itu kita lakukan semuanya bagi Tuhan, kita hidup untuk Tuhan. Dan kita menikmati suatu sukacita yang Tuhan berikan dalam kehidupan kita dengan kacamata pertanggung-jawaban kepada Tuhan, amin? Dan ini adalah suatu kesukacitaan besar yang kita akan bisa terus nikmati. Ketika kadang dalam kehidupan ini ada pergumulan yang menghimpit kita, kita justru berdoa minta Tuhan pulihkan lagi, bangkitkan lagi sukacita itu, sukacita untuk kita melayani Dia sama seperti pertama kalinya ketika kita melayani Dia, atau bahkan sukacita yang sama yang bisa kita rasakan ketika kita terakhir kalinya diberikan kesempatan pelayanan. Dan kita melihat kita kerjakan itu bagi Tuhan, kita mempertanggung-jawabkan semua itu bagi Tuhan. Dan secara keseluruhan saya melihat inilah yang menjadi bagian jerih lelah kita kehidupan di dunia ini. Setiap kita pasti ada pergumulan, setiap kita pasti ada jerih lelahnya masing-masing, tantangan kita berbeda, tapi pertanyaannya kita berjerih lelah untuk apa, demi siapa, sungguhkah kita lakukan bagi Tuhan ataukah bagi yang lain?
Tapi saya pikir di dalam bagian ini, kalau saya bisa masuk lagi ke dalam poin yang terakhir, yaitu bicara: tapi kenyataannya di dalam kehidupan ini kita itu rela berlelah-lelah dan bersukacita itu sungguh nggak demi Tuhan? Saya yakin di atas kertas kita semua akan tulis: ya kita akan berlelah-lelah demi Tuhan; ada juga lagunya. Tapi mungkin salah satu pertanyaan diagnosa bagi kerohanian kita untuk kita renungkan di dalam waktu yang singkat ini, yaitu misalnya satu pertanyaan diagnostik saja: apa yang memberikan keamanan dalam hidup anda, Tuhankah atau uang? Jangan sekedar tulis ya: “Oh Tuhan, Tuhan,” sungguhkah Tuhan, atau uang? Kalau malam hari misalnya, kita tidak bisa tidur itu karena apa? Kita galau, kita khawatir itu karena kenapa? Adakah misalnya seperti kita Daud yang ketika jatuh dalam dosa lalu dia bergumul, “Oh Tuhan, janganlah kiranya Roh-Mu meninggalkan aku,” ataukah kita sulit tidur karena ada sekian uang yang meninggalkan kita? Jawab dengan jujur di hadapan Tuhan. Yang mengontrol hidup kita siapa atau apa? Kita kalau duitnya berkurang dan khawatir, apa sih isi doa kita? “Oh Tuhan, tambahkan lagi duit yang hilang karena merugikan,” kalau cuma sampai situ ya saya lihat apa bedanya kita dengan teologi sukses ya? Apa bedanya? Sama tho, sama-sama kalau jatuh miskin kita juga berdoa minta uang, apa bedanya? Tentu saya tidak bilang kita minta terus untuk merugi, kita tentu bisa minta rejeki juga, tapi adalah justru ketika kita bertumbuh imannya, adakah kita berdoa minta, “Tuhan, bukan masalah ini uang saya berkurang karena saya merugi,” tapi adakah kita berdoa, “Tuhan tambahkanlah iman saya untuk lebih bisa bergantung padaMu meski di tengah kekurangan yang saya hadapi, dan terutama dalam saya mengatasi berbagai kekhawatiran-kekhawatiran dalam kehidupan ini karena masalah uang.”
Saya masuk di dalam bahasan ini karena saya diingatkan Kritus sendiri mengatakan suatu kalimat besar sekali. Di bagian itu:“kamu tidak bisa mengabdi kepada dua tuan, kamu cuma bisa mengabdi kepada Tuan dan Mamon,”ini kan uang. Uang ini kan di bawah kita. Dan kenyataannnya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau kita mau melihat dalam perspektif kacamata kita ya, itu world view kita seperti apa, itu paling sederhana itu kita ukur di situ. Kita mau jerih lelah itu demi siapa, demi apa? Adakah kita yaitu,“Kita sudah lelah, pagi-pagi sudah lelah, saya mau datang.. Oh demi Tuhan saya ibadah. Saya sukacita karena akhirnya saya bisa beribadah.” Sungguh itu. Atau kalau kita sudah bangun lelah-lelah tiba-tiba di telpon,“Oh ini ada proyek, proyek sekian ratus juta atau satu M [milyar, red].”Woa, langsung sukacita, langsung blink, langsung ganti baju, langsung siap semuanya. Apa sih yang meng-drive kehidupan kita? Tuhan atau uang? Sungguhkah kita itu belajar mencukupkan diri kita dengan apa yang Tuhan berikan atau apa yang mendorong kita sebenarnya selalu uang? Berbicara tentang uang selalu tidak habis-habis, selalu tidak ada puas-puasnya. Kita berani nggak sih ngomong di hadapan Tuhan, “Tuhan,yang sudah Kau berikankepada saya itu cukup. Ya sudah, itu cukup dengan uang ini.” Atau selalu itu ya just a little bit more. Sama seperti waktu dulu saya pelayanan remaja yaitu, baru pertama kali sayabisa nyanyikan itu ya, “i want to be your friend a little bit more.. i want to be your friend a little bit more..”Banyak orang itu munafik ya, dan banyak remaja itu lebih tulus dari kita ya. “I want to be a rich man a little bit more.. a little bit more .. little bit little bit little bit more,”nggak habis-habis, nggak habis-habis.Saya tanya ya, yang mana yang lebih penting? Keluarga atau uang? Keluarga kan? Tapi kenapa kenyataannya ada banyak yang pada ribut karena masalah uang? Kenapa kenyataannya ada banyak perusahaan-perusahaan keluarga pecah bukan karena masalah prinsip atau masalah yang utama tapi karena ribut masalah uang? Uang itu apa sih? Uang itu posisinya di mana sih? Kalau kita melihat kembali, di dalam Alkitab memperingatkan kita dari kisah dari Akhan, dari Yudas, dari Ananias dan Safira, mereka melakukan dosa yang besar karena masalah uang. Dan di bagian ini untuk kita cek kerohanian kita dengan jujur terbuka tulus di hadapan Tuhan, adakah kita sungguh mengutamakan Dia ataukah uang? Adakah Dia yang men-drive kita, mendorong kita setiap harinya, ataukah uang? Dan itu bagian yang bagian Alkitab banyak justru mengingatkan kita untuk hati-hati, hati-hati karena itu bisa selip masuk dalam hari kita, dan itu mengontrol kehidupan kita sedemikian rupa.
Di dalam bagian ini saya teringat apa yang pernah dikatakan Francis Bacon, “money is a great servant but bad master.” Uang itu hamba yang hebat tapi adalah tuan yang jahat. Demi nama Tuhan aku berkata kepadamu, “Taklukkanlah uang! Sebab jikalau tidak, uanglah yang menaklukan kamu.” Belajarlah menaklukkan uang itu di bawah kamu. Ini cuma hamba, ini cuma alat yang saya pakai di dunia ini untuk memuliakan nama Tuhan. Seberapa Tuhan percayakan pada saya, saya kelola, saya pertanggungjawabkan bagi kemuliaan nama Tuhan. Bukan untuk demi uang itu sendiri. Berapa banyak dalam kehidupan kita, kita mau berjerih lelah itu dengan kacamata bagi Tuhan? Tapi saya lihat, banyak kenyataannya orang Kristen itu gagal dan bisa munafik sekali. Kenyataannya adalah rela berjerih lelah itu demi uang. Dan sukacitanya karena uang, ya kan?“Memang saya akan sukacita karena itu. Saya akan jerih lelah karena itu. Tapi kalau Tuhan ya setengah-setengahlah, secukupnyalah, kalau ada waktu lah.” Kita pagi ini siap-siap datang ibadah, ditelpon ada projek ratusan juta, kita bilang apa? “Oh saya mau ibadah, nanti ya,”atau,“Yuk, ibadahnya masih bisa minggu depan, atau relay atau tunda di tempat lain.”Oh nanti kan saya dapat duit ini, saya kasih perpuluhan.” Rupamu. Tuhan mau hati kita ini di mana? Hati kita ini kepada Dia sajakah dan Dia sajakah, atau kepada yang lain? Dan biarlah di bagian ini kita renungkan di dalam kehidupan kita, menginstropeksi kehidupan kita seperti apa di hadapan Tuhan, dan bercermin, sungguhkah kita hidup dengan cara pandang mau mengutamakan memuliakan Tuhan saja,bukan yang lain, apalagi juga bukan uang? Dan mengapa ya, meski Allah Bapa yang sudah begitu mengasihi kita dengan memberikan Anak-Nya yang Tunggal, hati kita itu masih sering kali condongnya sama uang. Kenapa ya? Meski Tuhan Yesus itu sudah rela berkorban mati menebus dosa kita, kita itu kalau untuk kasih kepada Tuhan saja hitung-hitungan,hitung-hitungan sekali?Mengapa ya, meski Allah Roh Kudus sudah diberikan untuk menopang, memelihara akan kita, kita masih terus berpirikir, terus-terus berpikir yang menopang kehidupan kita itu adalah uang? Biarlah mulai hari ini kita bertobat, kita kembali kepada Tuhan. Dan biarlah perspektif dari Allah Tritunggal, bagaimana kita mempertanggungjawabkan kehidupan kita di hadapan Dia, dan kita taklukkan uang itu di bawah kita, dan kita hidup memuliakan Tuhan saja,menikmati Dia, dan bersiap kapanpun juga kita bertemu dengan Tuhan kita, muka dengan muka. Mari kita satu di dalam doa.
Bapa kami di dalam Surga, kami berdoa bersyukur untuk kebenaran firman-Mu. Kami berdoa, bersyukur untuk firman-Mu yang kembali menegur kami, menyadarkan kami, mengoreksi kami sedalam-dalamnya, bagaimanakah cara pandang kami dalam menjalani kehidupan ini. Kami berdoa ya Bapa, biarlah kami boleh belajar untuk berjerih lelah, untuk berjuang, untuk berfokus, dan untuk mendapatkan sukacita hanya karena Engkau dan Engkau saja, bukan karena dunia, bukan karena uang, dan juga bukan karena dosa. Kami berdoa ya Bapa, kiranya Engkau yang tolong kami, Engkau yang mampukan kami. Dan kiranya apa yang telah dikerjakan oleh AnakMu yang Tunggal Yesus Kristus, yang sudah mati menebus dosa kami, yang sudah bangkit memberikan kepastian keselamatan bagi kami, biarlah kacamata salib itu yang terus mendorong kami untuk hidup setia, berjerih lelah demi menyenangkan Engkau saja. Dan kami berdoa ya Bapa, kiranya dengan pertolongan Allah Roh Kudus saja yang menopang kami, yang menghidupkan kembali sukacita itu, kasih mula-mula itu dalam kehidupan kami, sehingga kami boleh terus bergiat seumur hidup kami sampai kami boleh bertemu dengan Engkau, mempertanggung jawabkan kehidupan ini, dan mengakhiri jerih lelah di dunia ini. Terimakasih Bapa semua ini, biarlah semuanya ini, firman-Mu dan pertolongan dari Allah Roh Kudus memampukan kami untuk hidup berkemenangan di tengah dunia yang berdosa ini, di tengah dunia yang menarik kami untuk terus menajuh dari pada-Mu. Kami berdoa kiranya Engkau yang topang kami dan mampukan kami saja. Terimakasih Tuhan untuk semua ini. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]