Sumpah Orang Kristen, 30 Juli 2023

Sumpah Orang Kristen

Yak. 5:12

Vik. Nathanael Marvin

 

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dosa pertama yang dilakukan oleh malaikat yang jatuh atau iblis, sebenarnya dosa apa sih? Kenapa akhirnya sang malaikat yang sudah Tuhan ciptakan, malaikat itu belum jatuh ke dalam dosa, tetapi di dalam kedaulatan Allah yang begitu mulia, begitu ajaib memang suatu kali waktu, bahkan di dalam kekekalan atau di luar kekekalan, kita tidak tahu ya, di dalam waktu atau di dalam kekekalan, malaikat yang jatuh ke dalam dosa ini, atau setan ini atau iblis ini melakukan dosa, melawan perintah-perintah Tuhan, tidak taat kepada Tuhan yang sudah menciptakan malaikat itu sendiri? Nah kemudian, sebenarnya dosa yang dilakukan oleh malaikat itu apa sih? Ada yang mengatakan bahwa dosa yang dilakukan oleh malaikat adalah kesombongan. Dosa sombong itu adalah dosa yang paling bisa menipu orang. Orang bisa sombong, tapi tidak dipenjara, misalkan ya. Orang bisa berkata-kata hebat atau berkata-kata palsu, memegahkan diri, tapi kayaknya nggak ada hukumannya, kurang lebih seperti itu ya. Beda dengan pencurian, beda dengan perzinahan. Nah, ini adalah dosa iblis yang utama, dia melakukan kesombongan. Tetapi ada juga yang mengatakan, “Oh, iblis itu dosanya adalah mencuri kemuliaan Allah. Dia ingin seperti Allah. Mengambil posisi Allah. Allah diturunkan, dia yang naik.” Kemudian, ada juga yang mengatakan bahwa dosa iri hati itulah dosa pertama iblis, kemudian dosa tidak mengasihi Allah.

Akan tetapi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, uniknya ya, ketika kita baca Alkitab, uniknya Alkitab itu mengatakan iblis itu bukan bapa kesombongan. Iblis itu bukan bapa iri hati, bapa kebencian, atau bapa mencuri kemuliaan Allah, seorang pencuri kemuliaan Allah, seorang bapa yang mencuri kemuliaan Allah. Bukan! Tetapi uniknya, Alkitab mengatakan iblis adalah bapa segala dusta. Iblis itu bapa segala dusta. Gelarnya demikian ya, Alkitab mengatakan demikian. Yaitu berarti apa? Dosa bohong. Yaitu berarti apa? Dosa berkaitan dengan lidah, perkataan. Dan kita sudah membahas ya di kitab Yakobus bahwa dosa yang berkaitan dengan lidah, sembarangan ngomong ya, berkata-kata kasar, dll, itu berasal dari hati orang itu sendiri. Hatinya apa, output-nya apa. Input-nya apa, output-nya apa. Seperti demikian ya. Jadi, bicara soal dusta itu bicara soal perkataan, dosa perkataan.

Maka pada waktu ada orang ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mengatakan bahwa, “Saya adalah orang yang tidak bisa berbohong.” Sebenarnya, itu adalah kebohongan ya karena orang yang berbohong ini, dia mengatakan, “Saya tidak bisa berbohong”, karena semua manusia bisa berbohong. Dan sangat mungkin ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dosa bohong ini sangat mungkin dilakukan dari anak-anak sampai lansia. Kita akan digoda terus untuk melakukan kebohongan, maupun juga digoda untuk mengatakan hal-hal yang tidak benar, hal-hal yang palsu. Orang yang berbohong, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, sebenarnya ya, orang yang suka berbohong, bahkan sering berbohong, itu bisa dikatakan itu anaknya iblis, bapa segala pendusta. Ini adalah dosa yang sering dilakukan.

Alkitab pernah mengatakan seperti ini ya, meskipun di dalam kitab Roma mengatakan semua manusia itu berdosa, tidak ada yang baik. Satu orang pun tidak ada yang baik. Tetapi Alkitab juga pernah mengatakan bahwa semua manusia itu pembohong, semua manusia itu pendusta. Karena apa? Karena melihat natur manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mereka semua itu adalah pengikut iblis. Sebelum mengikut Yesus, sebenarnya mereka, baik secara terang-terangan, maupun tidak terang-terangan, sadar maupun tidak sadar, mereka sedang mengikuti bapa segala pendusta. Apa yang mereka percayai tentang teori atau kebenaran atau ajarannya sendiri itu dusta kok, palsu, tidak sesuai dengan kebenaran Tuhan. Maka ketika mereka mempercayai hal-hal, doktrin-doktrin, pengajaran yang memang tidak sesuai Alkitab, mereka sedang mempercayai hal yang palsu, mempercayai kebohongan yang dibuat oleh iblis sendiri.

Manusia berdosa bisa berbohong. Satu sisi kita harus sadar, kita itu lemah. Kita sering kali berbohong, apalagi sebagai mahasiswa atau murid, misalkan ya. Wah, telat sekolah! Alasan! Nah, buat alasan ini kan bohong ya. Ketilang polisi, misalkan, anggap ya. “Kenapa telat?” Dosen tanya ya. Terus kemudian, “Karena ban bocor.” Selalu ban bocor biasanya ya, alasan yang menjadi sebuah kebohongan, ban bocor, ditilang polisi, atau macet, kayak gitu ya. Nah, cari-cari alasan ini adalah sebagai bukti kita itu banyak bohongnya. Kita sangat mudah untuk berbohong. Tetapi satu sisi, jangan sampai kita terima literal perkataan Alkitab di dalam Mazmur ya. Itu dikatakan Mazmur 116:11 itu mengatakan semua manusia pembohong atau pendusta itu bukan berarti semuanya selalu berbohong. Bukan berarti semua manusia itu selalu berdusta. Karena apa? Meskipun kita itu naturnya berdosa, tetapi tetap kita bisa mengatakan air adalah air, berdiri adalah berdiri, ilmu adalah ilmu, kurang lebih seperti itu.

Maka, manusia yang sudah naturnya berdosa pun, jatuh ke dalam dosa, tetap bisa mengatakan hal yang benar. Nah, ini anugerah Tuhan, kemampuan yang umum yang Tuhan berikan kepada kita. Kita tahu kok yang fakta, bukan fakta itu seperti apa. Sebelum mengenal Kristus, bisa kok manusia itu membedakan fakta. Hanya saja, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, fakta itu kemudian dikaburkan, tafsiran itu bisa salah karena kita manusia yang berdosa. Tanpa Kristus, tentu kita tidak bisa menilai suatu fakta berdasarkan perspektif Allah sendiri, karena Yesus adalah Allah. Semua kita nilai berdasarkan perspektif manusia. Tetapi orang yang belum dalam Yesus Kristus pun bisa tahulah ada kebenaran, ada yang salah, dan mereka sebenarnya bisa berbahaya juga karena akhirnya apa? Orang yang belum mengenal Kristus itu akhirnya mereka bisa mencari-cari kebenaran itu sendiri bahkan menafsirkan sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Maka sangat penting ya kita untuk mengenal Yesus Kristus agar kita diberikan anugerah, kemampuan untuk bisa mengenal kebenaran, dan juga menjauhi kebohongan. Kebenaran sejati dari Allah, menjauhi kebohongan dari manusia yang berdosa. Nah, itulah arti kenapa di luar Yesus Kristus itu kita tidak bisa apa-apa. Betul, karena di luar Kristus, kita sebenarnya manusia yang berdosa yang tidak bisa apa-apa, yang tidak bisa taat kepada perintah Tuhan. Maka Alkitab katakan semua manusia berdosa, tidak ada yang baik karena natur manusia berdosa, tetapi di dalam Yesus Kristus, kita tahu, kita dapat status yang baru, kita dapat kemampuan oleh Roh Kudus. Yaitu apa? Kita menjadi orang yang benar, yang bisa taat kepada firman Tuhan dengan pertolongan dari Roh Kudus.

Nah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ayat 12 dari Yakobus 5 ini adalah sebuah teguran bagi orang-orang yang terjebak di dalam dosa kebohongan maupun penipuan. Penipuan lebih berat lagi. Karena apa? Dia memakai hal-hal yang benar terus diubah supaya menipu orang. Dikira orang bahwa dia sedang berkata benar. Jadi, dia memakai tipuan. Nah, itu dosanya lebih berat lagi ya. Dia bisa memakai kebenaran-kebenaran yang ada supaya meyakinkan orang bahwa apa yang dikatakan itu benar. Nah, Yakobus berkata kepada Saudara-saudara seiman agar jangan sampai kita itu jatuh, terjebak dalam dosa kebohongan. Jangan sampai kita betul-betul mudah berbohong, menikmati kebohongan. Yakobus katakan sederhana di ayat ini. Belajar jujur, ngomong jujur, jauhi kebohongan, bahkan Yakobus juga katakan bahwa jangan bersumpah dengan sembarangan, lebih tepat begitu. Jadi, bukan berarti sebagai orang Kristen ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita nggak boleh bersumpah. Sebagai orang Kristen, boleh bersumpah, tapi jangan sembarangan dan harus pakai cara yang Alkitab jelaskan dengan benar bagaimana bersumpah. Nanti kita akan pelajari. Kalau pada saat-saat harus bersumpah, dikatakan oleh firman Tuhan, sumpah pun hanya demi Allah, bukan demi surga, bukan demi bumi, bukan demi kota Yerusalem. Sumpah boleh, tapi hanya boleh demi Allah saja. Kalau sumpahnya demi bukan Allah itu bukan sumpah. Kita harus bersumpah atas nama Pribadi yang lebih tinggi.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, nasehat dalam Yakobus 5:12 ini berbeda naturnya dengan nasehat-nasehat sebelumnya. Kalau kita sudah bahas kan perikop sebelumnya, bicara soal nasehat kesabaran di dalam penderitaan, sabar di dalam Tuhan, sabar di dalam Kristus untuk menghadapi penderitaan. Kemudian, kalau kita lihat ayat setelahnya dari Yak. 5:12 ini, itu bicara soal berdoa dengan tekun, dengan sungguh-sungguh, dengan tulus, dengan jujur, tetapi ayat ini diapit dengan 2 nasehat tersebut. Satu perikop bicara soal sabar dalam penderitaan, satu perikop bicara soal bertekun dalam doa, berdoa dengan tulus. Nah kemudian, di tengahnya ada ayat ini.

Nah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bicara soal tulisan Alkitab ya, tulisan yang ada di tengah dari berbagai tulisan yang lain itu menjadi fokus kan ya. Itu bisa menjadi penekanan, maupun jembatan. Ada 2 fungsi. Kalau akhirnya Yakobus menulis bersabar dalam penderitaan, kalau mau lewat, skip, satu ayat ini bisa kan, langsung ke doa. Doa dengan tekun, doa dengan sungguh-sungguh. Tetapi kenapa harus diselipkan ayat ini? Nah, ini menjadi sebuah fungsi dari karya sastra zaman dulu, yaitu apa? Sebagai penekanan dan juga sebagai jembatan dan bisa salah satunya saja. Ini penekanan saja. Ini jembatan saja untuk menjembatani nasehat pertama dan nasehat kedua atau ketiga ya, sebelum dan setelahnya. Tapi kalau kita lihat sebagai penekanan ya, itu berarti point penting yang menjadi fokus sebab lebih penting daripada tulisan sebelum dan setelahnya. Nah, ibarat roti, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, siapa yang makan roti pada pagi hari ini? Roti sandwich tapi. Isi tengahnya itu yang lebih penting daripada kulit atas maupun bawahnya. Ada daging, ada keju mungkin, ada selada begitu ya. Nah, itu bisa kita lihat bahwa tengah lebih penting daripada sebelum dan setelahnya. Tetapi kalau sebagai jembatan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ya sebagai jembatan. Ini adalah sebuah nasehat yang menghubungkan nasehat sebelum maupun setelahnya.

Nah, ayat 12 ini bicara sebagai apa? Apakah penekanan saja? Sebagai jembatan saja? Pertama-tama, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika saya merenungkan ayat ini, ini seperti jembatan saja karena ada teolog juga mengatakan seperti jembatan saja untuk mengacu ke nasehat setelahnya. Tetapi setelah saya pikir-pikir, ada kalimat pertama dari ayat ini ya. Itu kalimat pertama itu ayatnya apa? “Tetapi yang terutama” Berarti utama juga. Berarti, Yakobus memberikan 1 ayat ini menjadi sebuah hal yang utama dan juga sebagai jembatan menuju nasehat selanjutnya. Bahkan menjadi 1 khotbah hari ini. Kita cuma membahas 1 ayat saja ya hari ini. Nah, ini adalah sebuah penekanan karena introduksinya “Tetapi yang terutama”. Bahasa Inggrisnya adalah ”But above all”. Kamu sudah bersabar dalam penderitaan, sabar dalam kesulitan, tetapi di atas semuanya itu, di atas segala penderitaan, kamu harus berkata jujur, jauhi kebohongan, kalaupun bersumpah, bersumpah dengan benar, jangan bersumpah sembarangan. Nah, ini adalah utama ya. Penekanan. Bicara soal perkataan. Berarti, Yakobus itu betul-betul “Kamu itu tidak boleh mengikuti jalan bapa segala dusta!” Nggak boleh! Itu jahat sekali. Kamu bohong itu jahat, menipu apalagi, lebih jahat lagi. Itu ciri-ciri setan kok! Tetapi bagi umat Kristen, pengikut Yesus Kristus, Yesus Kristus jujur. Dia mengatakan kebenaran, kebenaran. Yesus itu nggak pernah bohong, nggak pernah menipu ya. Andaipun orang itu tidak layak menerima kebenaran, yang Yesus lakukan adalah diam. Bukan berarti Yesus itu bohong. Enggak! Dia nggak layak kok terima kebenaran. Ngapain! Dia kalau punya kebenaran malah jadi bunuh orang. Begitu ya. Jadi, Yesus silent saja. Itu ketika Yesus dihakimi oleh mahkamah agama Yahudi ya. Tetapi Yesus juga katakan, “Akulah Mesias.” Dia jujur tentang siapa dirinya.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau pengurus GRII, salah satu keunikan dari pengurus GRII adalah kita itu ada masterclass setiap hari Sabtu. Zaman dulu itu ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, waktu belum ada online, belum ada pandemi, yang hamba Tuhan dari daerah cabang-cabang itu ya Sabtu ngganggur. Libur, Sabtu itu. Paling ada PD khusus, baik jam 07.00 pagi sampai jam 08.00 pagi. Setelahnya kan nganggur kan? Sepi ya. Merenung, begitu ya. Biasanya dulu di Semarang, Sabtu itu kosong. Pagi ngapain ya? Tapi karena sekarang sudah ada pandemi, di Jabodetabek itu, hamba-hamba Tuhan, penatua, pengurus, semua diarahkan. “Ayo, ikut masterclass!” Hari Sabtu di GRII Pusat, di RMCI. Itu acaranya apa saja? Acaranya ya rapat setiap Sabtu bersama Pdt. Stephen Tong, terus ada pendeta-pendeta lain, ada pengurus, diskusi agenda gereja. Nah, sekarang setelah ada pandemi, online kan. Kita yang dari cabang Solo maupun Yogyakarta ikut juga, dikasih link Zoom dari pusat, kita adakan di gereja, ruangan gereja, tapi untuk pengurus saja. Sibuk? Sibuk. Tambah kerjaan? Tambah kerjaan. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, ketika acara dimulai, biasanya itu ada hamba Tuhan yang kasih renungan paling banter 30 menit. Kalau kelamaan, nanti ditegur. Pak Tong sih nggak negur. Hamba-hamba Tuhan lainnya yang negur. “Kelamaan nih khotbahnya!” Terus ditegur. Kalau khotbah masterclass nggak boleh lama-lama, 30 menit saja paling lama.

Nah kemudian, ketika kasih renungan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kasih firman Tuhan ya, hamba Tuhan ini, baik yang vikaris, yang baru lulus, atau yang sudah senior, yang sudah puluhan tahun di GRII itu diulas oleh Pak Tong. Dulu Pak Tong saja kan yang kasih pendapat. Kasih pendapat Pak Tong, diulas, tapi sekarang Pak Tong dapat ide ya. Suruh pendeta lain yang mengulas beberapa. “Ayo, pak ini, pak ini, pak ini ulas khotbahnya!” Jadi, mau nggak mau kan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, waktu dengan khotbah harus fokus. Nanti ditanya, “Ayo, silahkan jelaskan. Tadi khotbah apa?” Kurang lebih begitu ya. Tapi kemudian, pendeta-pendeta yang ditunjuk oleh Pak Tong ini mengungkapkan apa yang bagi dia penting. “Yang itu!” Yang terutama bagi dia. Dijelaskan sekalimat, dua kalimat, 5 menitan lah, terus kemudian Pak Tong biasanya jadi lama. Dari khotbah 30 menit, Pak Tong ngomongnya bisa sejam. Berarti, semuanya lebih utama semua. Semua yang diomongkan utama, kurang lebih seperti itu.

Nah, maksud saya adalah ketika yang dibahas firman Tuhan itu yang diingat oleh pengulas – pengulas khotbah ya ini jabatan baru, pekerjaan baru, mengulas khotbah – itu biasanya adalah hal yang utama kan?  Itu hal yang utama. Terus kemudian, Pak Tong juga katakan seperti ini ya. Kalimat yang utama dalam pembahasan. Baru saja kemarin Sabtu, dia katakan kalimat kunci seperti ini, “Hamba Tuhan yang senang, yang mendukung, dan ikut KPIN atau KKR Regional, yang senantiasa hatinya itu penginjilan ya, adalah hamba Tuhan yang diberkati Tuhan.” Sesuai firman Tuhan nggak perkataan ini? Sesuai. Nggak masalah. Cuma, ketika diucapkan dengan bahasa yang berbeda, kita dapat insight baru. Berarti, seorang hamba Tuhan itu memang harus mengabarkan Injil, harus KKR Regional, harus kalau bisa KPIN, KPIN ya, tapi itu sudah pelayanannya Pak Tong. Nah, maksudnya Pak Tong adalah seorang hamba Tuhan itu diberkati secara rohani. Ini sesuai dengan firman Tuhan dengan kalimat Tuhan Yesus Kristus sendiri mengatakan bahwa, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, baptislah mereka dalam nama Tritunggal, dan ajarlah mereka segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu dan ingatlah, ketahuilah, Aku menyertai kamu sampai akhir zaman.” Jadi, Pak Tong kasih kalimat kunci. “Kamu mau menjadi hamba Tuhan yang baik? Pergi kabarkan Injil. Ayo, hati penginjilan itu ada.”

Itu ya, kalau kita bisa melihat fokus yang utama. Nah, ini penting, jadi pesan yang bagus bagi kita. Tetapi ayat ini juga adalah sebagai jembatan. Ya, Yakobus 5:12 ini bukan saja utama. “Ini kamu harus belajar jujur sebagai orang Kristen, tulus melayani Tuhan, tidak ada tipu-tipu dalam hidupnya, tetapi juga ini menghubungkan perintah yang sebelumnya, yaitu pasif atau negatif. Dimensi pasif atau negatif, yaitu apa? Sabar kan ya. Ada penderitaan begitu besar. Sabar. Ada penderitaan, penganiayaan bagi orang-orang Kristen, entah orang Kristen dilarang beribadah, entah orang-orang Kristen akhirnya dianiaya, disiksa, kayak gitu ya. Sabar. Pasif. Nggak lawan kan kita? Nah, ini maksudnya bersabar. Kecuali mengancam nyawa ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Kalau mengancam nyawa, kita membela diri. Entah orang itu mau sampai bagaimana ya. Itu ya sudahlah ya, tapi kita belajar bersabar secara pasif, tanpa bersungut-sungut. Ini nasehat sebelumnya.

Kemudian, ini menjadi penghubung di mana di dalam ayat ini ada sisi pasifnya atau dimensi negatif. Yaitu apa? “Jangan kamu bersumpah demi surga maupun demi bumi atau demi sesuatu yang lain.” Nah, kemudian dimensi aktifnya atau dimensi positifnya adalah yaitu apa? “Jika ya, hendaklah kamu katakan ya. Jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak supaya kamu jangan kena hukuman.” Nah, itu dimensi aktif. Kalau “ya”, ya. Ngomong. Tapi “jangan” itu nahan kan. Jangan sampai melakukan sesuatu itu lebih ke pasif, ke negatif dimensinya. Nah, kemudian penghubung ke ayat selanjutnya, ayat 13 dan selanjutnya itu, yaitu apa? Dinasehatkan oleh Yakobus yaitu “Bertekunlah dalam doa.” Bersemangat di dalam doa. Jadi, ini ada menghubungkanlah, 2 nasehat dalam konteks yang berbeda ya.

Yakobus ingin agar setiap orang-orang Kristen ketika dalam penderitaan bukan saja bersabar, tetapi waktu bersabar pun bisa menyatakan kebenaran Tuhan, bukan saja diam dan pasif. Tetapi Yakobus juga ingin agar setiap orang Kristen ketika berdoa kepada Allah, ya ini dikaitkan dengan nasehat setelahnya itu, ketika berdoa kepada Allah itu jangan bertele-tele. Bertele-tele itu banyak palsunya. Ya kan? Bertele-tele, ngulang lagi, ngulang lagi. Maksudnya apa sih? Tetapi ingin agar jika ya, katakan ya. Yang jelas doanya apa? Jika tidak ya katakan tidak. Ngomong kepada Tuhan itu clear, karena Tuhan juga Mahatahu kok. Tanpa kita perlu berdoa, Tuhan tetap Mahatahu. Tetapi waktu kita berdoa kepada-Nya, itu adalah kehendak-Nya sebagai pengakuan kita ya, bahwa Allah itu ada, ya kita ngomong kepada-Nya, berdoa kepada-Nya. Allah ada, Allah hidup, Allah memelihara hidup saya, ya kita ngomong, berdoa kepada-Nya, pengakuan hidup kita kepada Dia kita ungkapkan secara jujur, nggak usah muluk-muluk. Misalkan ya mahasiswa, jelaslah doanya, “Saya ingin lulus, Tuhan.”  “Saya ingin bekerja” misalkan. “Saya ingin punya pasangan.” Sudah, clear gitu. Kan singkat banget kan doanya. “Saya ingin ini.” Dua kata lho. Itu perkataan “Ya”, saya ingin. Nah, masalahnya kita harus belajar juga rela untuk menerima jawaban Tuhan ketika kita berdoa. Apakah Tuhan setuju dengan hal ini? Apakah Tuhan tidak setuju? Apakah kita harus menunggu? Dan lain-lain. Nah, itu ya. Jadi, ini adalah kaitan dengan nasehat sebelumnya, maupun nasehat setelahnya, tentang doa maupun tentang kesabaran. Nah, ini 2 sifat pasif maupun aktif.

Nah, kalau kita lihat, bandingkan dengan sebelumnya, di nasehat sebelumnya, Yakobus itu menasehati soal kesabaran dengan ambil contoh Ayub dan nabi-nabi Perjanjian Lama. Kalau di dalam nasehat setelahnya, yaitu tentang doa, itu Yakobus ambil tentang siapa? Nabi Elia. Pokoknya Perjanjian Lama lah diambil. Nggak ambil contoh tentang Yesus, nggak ambil contoh tentang rasul ya, tapi ambil Perjanjian Lama. Sebelumnya Ayub, setelahnya Elia. Lalu, kenapa di sini nggak ada contoh? Nggak ada contoh yang Yakobus katakan “Jika ya, katakan ya. Jika tidak, katakan tidak.” Seperti Yesus Kristus kek, atau seperti aku. Ini narsis ya. Seperti aku! Nggak kan? Yakobus ya sudah. Pikirkan sendiri. Nggak usah ambil contoh. Karena apa?  Untuk menilai orang berkata itu benar, sungguh-sungguh itu susah. Mau ambil contoh siapa? Ya paling mudah contoh kan Yesus Kristus kan. Tapi Yesus Kristus pun dihina-hina orang, dikatakan pembohong, penipu, penyesat. Itu Yesus. Padahal, mengatakan seluruhnya kebenaran. Jadi, untuk bisa menilai ini orang yang jujur itu susah. Yakobus nggak kasih contoh sama sekali, contoh tentang kejujuran itu seperti apa. Tentang kesabaran, lihat Ayub. Tentang doa, lihat Elia. Tentang kejujuran, nggak ada contoh, siapa yang bisa katakan dia jujur sepenuhnya, terus kita tahu dia jujur sepenuhnya? Ya hanya Tuhan yang jujur sepenuh-penuhnya. Tuhan tidak pernah berbohong.

Maka dari itu, Yakobus menasehatkan agar seseorang harus menyatakan kebenaran setiap saat. Tentu, kita bisa melakukan kebenaran, kejujuran, kesabaran, berdoa yang baik, yang benar, sesuai dengan yang Tuhan mau tentu dengan pertolongan Roh Kudus, tentu dengan pertolongan Tuhan. Tetapi usaha kita sejauh mana untuk melakukannya, perintah-perintah Tuhan tersebut ya. Bukan saja kita berjanji, ngomong serius, berkata benar di moment-moment kairos ketika bersumpah. Andaipun harus bersumpah, harus bersumpah dengan benar, bukan dengan sembarangan. Tetapi lebih daripada itu, moment-moment khusus tentu harus jujur, harus janji ke Tuhan. Tetapi dalam keseharian kita harus berkata kebenaran atau jujur. Ini berarti kita itu suka yang benar. Kalau suka yang benar, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dia akan cari kebenaran. Kalau dia menghargai kejujuran, menghargai kebenaran, menjunjung tinggi kebenaran, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini adalah ciri-ciri anak-anak Tuhan, bukan anak-anak iblis. Anak-anak iblis senang ditipu. Anak-anak iblis senangnya yang palsu, yang dusta. Sedangkan justru di dalam ayat ini, Yakobus tidak kasih nama siapa pun, contoh siapa pun, supaya kita mikir bahwa yang jujur, pribadi yang betul-betul jujur, tanpa salah dalam perkataannya adalah Allah sendiri. Tuhan sendiri.

Karakter jujur adalah karakter milik Allah sendiri. Allah tidak pernah berbohong satu kali pun. Bahkan Allah yang katanya Mahakuasa, Dia pun tidak bisa berbohong. Allah Mahakuasa, bisa melakukan segala sesuatu, tapi perlu tanda bintang. Segala sesuatunya tidak melawan pribadi-Nya atau sifat-sifat Dia. Makanya seringkali ada ilustrasi mungkin nggak Allah yang Mahakuasa membuat sebuah batu yang akhirnya dia nggak bisa angkat sendiri? Begitu kan ya? Katanya Allah Mahakuasa. Dia buat batu, tapi Dia nggak bisa angkat batunya. Ya memang nggak mungkin. Ngapain buat batu yang seperti itu. Tetapi Allah yang Mahakuasa itu melakukan segala sesuatu itu selalu ya, segala sesuatu itu ada tanda petiknya, sesuai dengan firman Tuhan, sesuai dengan sifat Allah, sesuai dengan Pribadi dan kehendak Allah. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Allah itu Mahakuasa dan luar biasa hebat, misalkan ya. Nah, ini Allah tidak bisa berbohong. Mari kita buka ayatnya ya, Ibrani 6:17-18. Kita baca bersama-sama ayat ini. “Karena itu, untuk lebih meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian putusan-Nya, Allah telah mengikat diri-Nya dengan sumpah, supaya oleh dua kenyataan yang tidak berubah-ubah, tentang mana Allah tidak mungkin berdusta, kita yang mencari perlindungan, beroleh dorongan yang kuat untuk menjangkau pengharapan yang terletak di depan kita.” Di sini dijelaskan juga ya, tentang Allah sendiri mengikat diri-Nya dengan sumpah perkataan-Nya, kemudian Allah tidak mungkin berdusta.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, beberapa waktu lalu ya, saya sempat dapat video, saya lupa dari mana, mungkin dari pengurus gereja ini, tentang seorang gubernur Jawa Tengah yang berinteraksi dengan seorang kakek yang berumur 87 tahun 6 bulan dan 20 hari. Kenapa saya sebutkan detail begitu? Karena waktu si pak gubernur Jawa Tengah itu mengatakan, “Ya, Bapak umurnya berapa?”  Si bapak itu bilang begitu ya. “Umur saya 87 tahun 6 bulan 20 hari.” Berarti dia sudah siapin jawabannya atau bagaimana ya? Mungkin semakin tua ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya merenungkan sebuah conversation yang singkat itu, semakin tua itu mungkin semakin hitung umur lho. Dia nggak ngomong, “87 tahun umur saya.”  Tapi ”Umur saya itu 87 tahun 6 bulan 20 hari.” Jadi, makin tua, kita kesadaran waktunya makin kuat sinyalnya. Mungkin seperti itu ya. Kemudian, memang tidak lazim ya jawaban seperti ini, tapi mungkin ada pesan demikian. Lalu, pak gubernur Jawa tengah itu tanya, “Resep panjang umurnya apa?” 87 itu kan panjang umur ya. Si kakek tua ini mengatakan jawabannya, “Saya memang suka olahraga karena saya petani.” Dia petani ya. Petani kan harusnya sehat. Hirup oksigen terus. Meskipun capek, hirup oksigen, oksigen, wah sehat lah umurnya. 87 tahun. Tapi kemudian secara umum ya tanya, jawabannya apa, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Resep umur panjang atau panjang umur. Satu, jujur. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, nasehat Yakobus ini kunci awet muda, umur panjang. Belajar jujur, jangan memendam. Pendam, pendam, pendam, nanti kanker ya. Nanti sakit ya, memendam terus ya. Jujur saja. Nggak setuju, jujur. Dengan cara yang hormat, cara yang baik, cara yang tepat.  Itu perlu ya, kita mengungkapkan dengan hormat itu bagus sekali, daripada nggak ungkapkan terus jengkel di dalam, terus berkata-kata kasar dan kebencian. Nah, belajar bicara jujur, jangan bohong, jangan tidak suka kebenaran, dan cintailah kebenaran. Kurang lebih seperti itu.

Terus si kakek kedua, dia jawab ada 2 point, pertama jujur, yang kedua, ikut Tuhan Yesus. Bayangkan ya, satu umum, anugerah umum, satu anugerah khusus. Jadi, kurang lebih si kakek tua itu Tuhan pakai juga sebenarnya untuk memberitakan Injil. Karena apa? Jujur. Karena dia bisa umur panjang karena Tuhan Yesus. Siapa yang mengatur umur hidup kita, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Tuhan kan ya? Terus dia jujur juga. Jadi, pada moment itu, nggak tahu saya moment itu, cuma singkat kan videonya, mungkin pas lagi acara besar pokoknya banyak orang lah, tapi pak gubernur ini nggak ngulangin. Kalau “jujur”, dia ngomong, “jujur” bagus ya. Begitu “Ikut Tuhan Yesus” si pak gubernurnya mengatakan, “Wah, ini dulunya pak pendeta ini dulunya!” karena rohani sekali ya jawabannya. Ikut Tuhan Yesus, itu bikin umur panjang, meskipun nggak juga kan ya. Tuhan Yesus juga umurnya pendek. Tuhan Yesus sendiri kan di bumi ya. Terus, rasul-rasul juga umurnya pendek, nggak panjang juga. Tapi intinya begini ya, pesan yang mau ditunjukkan, mau dimuliakan itu siapa dalam setiap hidup kita? Jujur lho. Dia jujur, ikut Tuhan Yesus itu diberkati, kurang lebih begitu ya.

Nah, sekarang Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita belajar tentang sumpah dan nazar. Pertama ya, tentang sumpah. Kata Yunani dari sumpah atau oath ya bahasa Inggrisnya adalah sebuah kesaksian yang benar, disertai sanksi bila tidak benar ucapannya. Jadi, kalau dia ngomong, pasti benar ini karena dia sudah bersumpah. Tapi kalau dia ngomong tidak benar, ada hukuman. Jadi, sumpah itu adalah janji yang serius, yang mengandung hukuman kalau kita tidak lakukan, beda dengan janji-janji seperti biasa. “Ayo, janji kumpul di gereja jam 18.00 sore!” misalkan. Terus datang jam 19.00 malam. Ada hukuman nggak? Kayak gitu ya. Nggak ada. Itu janji biasa. Tetapi kalau sumpah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau nggak datang jam 6 dihukum, dapat hukuman, kutukan. Kurang lebih seperti itu. Jadi ini bicara soal janji yang serius dengan kata-kata, dan moment-nya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bukan yang kronos, atau sesuatu yang sehari-hari, rutin. Bukan kronos tapi moment-nya adalah kairos. Itu sumpah. Sumpah itu harus kairos, nggak boleh kronos. Ini tempatnya sumpah. Dan arahnya adalah meyakinkan orang, bukan meyakinkan Tuhan. Nanti beda dengan nazar ya, kita nanti bahas nazar juga. Kalau sumpah ini meyakinkan orang. Ya entah orang, entah diri, demi nama Allah. Itu janji yang sangat serius. Dan harus dilakukan hanya dalam moment kairos saja. Yakobus katakan harus dengan nama Allah yang hidup. Kalau kita bersumpah demi bunga ini, saya berkata jujur, ya itu ngapain. Lebih rendah daripada saya kan bunga ini. Yang lebih tinggi dari manusia itu siapa? Tuhan, langsung. Yang lebih tinggi dari kita jabatannya, kuasanya adalah Tuhan. Maka bersumpah hanya boleh dengan nama Tuhan, atas nama Tuhan. Kalau bersumpah demi nama gue sendiri, wah, ya sudah, salah itu. Bukan sumpah itu, ngomong aja.

Kemudian, kalau secara umum, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, sumpah itu muncul kan di dalam profesi ya. Biasanya nggak tahu, sumpah jabatan itu, saya waktu lulus S1 manajemen nggak ada sumpah-sumpahan ya. Mungkin kalau manajemen kan bidangnya ekonomi ya, cari uang, nggak boleh sumpah-sumpah ya. Harus jujur misalkan, ya nggak tahu lah, ekonomi seperti apa yang penting kejar keuntungan. Kejar keuntungan sebesar-besarnya, usaha sekecil-kecilnya. Wah itu kan bisa melenceng juga ya. Bisa jadinya malas kan seperti itu ya. Nah di dalam ekonomi nggak ada sumpah. Kalau sarjana hukum mungkin ada ya, sarjana kedokteran ada juga sumpah jabatan. Vikaris ada nggak ya sumpah? Saya jadi lupa juga, ada nggak ya. Hamba Tuhan ya. Kayanya nggak ada sih sumpah, tapi dia lebih ke arah hamba Tuhan itu berjanji ke Tuhan menyerahkan seluruh hidupnya ke Tuhan. Tapi kan nggak ada dibacakan tuh, pas kelulusan, sumpah jabatan vikaris, sumpah jabatan pendeta, kayanya nggak ada ya. Seingat saya. Atau mungkin saya amnesia sebagian bisa juga ya, tapi seingat saya cuma didoakan, ditahbiskan, diutus. Saya bersumpah sendiri nggak ada. Itu vikaris. Tapi jabatan-jabatan lain ada sumpah Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Ya itu konteks umum sumpah. Bisa dalam konteks profesi, jabatan, atau bisa juga waktu pengadilan. Misalkan seorang saksi harus bersumpah. Karena kebenaran itu Bapak, Ibu, Saudara sekalian, tidak selalu diketahui oleh lebih dari satu orang. Kadang kebenaran itu diketahui oleh kita saja dan Tuhan. Maka waktu kita jadi saksi itu kita bersumpah harus katakan kebenaran karena nggak ada yang lain yang tahu tentang kebenaran itu. Maka soal bicara tentang saksi kan minimal harus 2 orang, Alkitab buat peraturan supaya masyarakat itu terjaga jangan sampai percaya. Kalau menghitung sesuatu, terus melihat sesuatu, biasanya 2 orang. Tapi ada kalanya kebenaran itu diberikan kepada 1 orang. Nah untuk bisa membuktikan perkataannya benar itu kepada sesama manusia dengan apa? Sumpah. Sumpah di pengadilan, apakah jujur. Nanti apabila dia berdusta, ada hukuman.

Kemudian, selain itu ya, adalah upacara pernikahan. Pernikahan juga adalah sumpah. Sumpah di hadapan seluruh jemaat. Makanya pernikahan kan biasanya harusnya ada saksi. Ada yang menikahkan lah, mana mungkin lah pernikahan itu hanya ada cowok dan cewek “Yok, janji”, terus kemudian sudah selesai, tanpa ada hukumnya. Pemerintah pun mengatur hukum pernikahan, maka ada catatan sipil. Tetapi kecuali kasus Adam dan Hawa ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Adam dan Hawa, dia dinikahkan sendiri oleh Allah sendiri, langsung. Tapi manusia secara umumnya harus ada saksi dong, karena itu sumpah. Nanti bagi yang mau nikah ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, harus hafal tuh janji nikah. Itu sumpah, itu harus hafal. Karena namanya sumpah, masak nggak hafal sumpahnya. Nanti gimana ya, itu sumpah atau apa ya. Sumpah harus hafal. Sekarang saya masih hafal nggak ya? Masih lah ya, nggak usah dibuktikan, nanti saya sama istri saya saja melatih sumpah itu. Me-review, sudah dikatakan. Itu bersumpah.

Bersumpah itu biasa juga secara publik, kepada orang lain. Terus bicara relasi aku dengan Tuhan, atas nama Tuhan ya, terus aku dengan Tuhan juga. Aku dengan sesama, aku dengan Tuhan. Ini sumpah ya. Jadi bicara soal kita boleh nggak aku bersumpah kepada Tuhan? Boleh. “Aku bersumpah kepada kalian semua apa yang aku katakan benar.” “Aku bersumpah kepada Tuhan untuk terus jalankan firman Tuhan.” Itu boleh. Tetapi nanti kita lihat bedanya dengan nazar ya.

Nah kemudian, Allah bersumpah nggak? Allah bersumpah. Tapi Dia selalu bersumpah dalam moment khusus, momen kairos, terus dia bersumpah atas nama-Nya sendiri. Dia paling tinggi soalnya. Dia Pribadi paling tinggi, Dia bersumpah dalam nama sendiri. Kalau Tuhan tidak lakukan, Dia akan hukum diri-Nya sendiri, meskipun itu tidak mungkin ya. Nggak mungkin Dia menghukum diri-Nya sendiri, berarti Dia salah ngomong. Dia tidak menepati janji-Nya sendiri atau tidak melakukan firman-Nya. Kita perlu bersumpah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, karena apa, dalam moment-moment kairos? Karena relasi manusia itu kadang kala itu lemah. Kita nggak bisa ngomong jujur terus. Kita kadang-kadang bisa salah ngomong, bisa salah ingat. Kadang-kadang mimpi tapi kita rasa kejadian nyata. Itu bahaya ya. Itu mimpi lho. Saya kadang-kadang juga mimpi, benar nyata nggak. Oh salah. Kadang-kadang bisa kaya gitu ya. Saya pernah dituduh juga oleh teman, “kamu lakukan ini!” Terus saya pikir, saya cek sama teman yang lain, nggak pernah kok. Terus saya berpikir-pikir, berdiskusi dengan teman yang lainnya. Mungkin itu mimpi kali dia ya, mimpi tapi dia rasa kenyataan. Karena saya nggak pernah lakukan hal tersebut. Bisa juga lho. Kacau kalau gitu ya, bahaya juga ya. Nggak mengerti itu yang mimpi dan realita.

Di Kitab Kejadian juga ada ya, Yakub sudah hampir mati, sudah tua, terus minta Yusuf. Yusuf sebagai anak yang dikasihinya, Yusuf yang sudah dewasa, “Ayo sumpah sekarang. Sumpah.” Dikatakan oleh Yakub, “Jika aku mendapatkan kasihmu”, itu ayah yang sangat pengertian ya. “Jika aku dapat kasihmu” – anakku, kamu sudah dewasa, kamu sudah berkeluarga, kamu sudah punya anak – (Kej. 47:29) “Jika aku mendapat kasihmu, letakkanlah kiranya tanganmu di bawah pangkal pahaku, dan bersumpahlah, bahwa engkau akan menunjukkan kasih dan setia kepadaku: Janganlah kiranya kuburkan aku di Mesir” Yakub bilang demikian. “karena aku mau mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangku” di Kanaan. Sekarang aku mau mati ya, dan ketika mengatakan perintah tersebut, permohonan tersebut, Yakub mati memang. Yusuf sebagai anak yang muda, yang menghormati orang tua ya ikut saja, bersumpah, sungguh-sungguh. Ketika Yakub sudah mati, jenasahnya itu dibawalah oleh Yusuf dari Mesir ke tanah Kanaan. Dan dikubur juga dekat dengan leluhurnya, yaitu Abraham. Itu kuburan Yakub. Di Kanaan, di Hebron. Itu bersumpah. Jadi bersumpah itu boleh saja, tapi benar caranya. Dan itu jarang dilakukan. Kalau orang tua kita minta, anggap orang tua kita sudah mau mati, terus kasih pesan. “Tolonglah kamu bersumpah untuk setia terus di GRII.” Misalkan ya, ini GRII. Sumpah nggak? Wah kita bergumul. “Ah saya nggak tahu nih, bisa nggak seumur hidup di GRII.” Misalkan kaya gitu ya. Itu bisa juga jadi sumpah. Akhirnya orang itu melakukannya karena janjinya, bukan karena yang lain-lain.

Nah kemudian bahas soal nazar ya. Kalau nazar ini bahasa Inggrisnya adalah vow. Bicara soal nazar, ini berjanji kepada Allah untuk Allah saja sebagai saksi yang utama di dalam perkataan kita. Jadi bukan orang lain dulu yang mendengarkan, meskipun boleh, tetapi Tuhan yang dengar saya. Jadi bernazar bukan atas nama Allah, tetapi bernazar kepada Allah. Ngomong kepada Tuhan. Jadi ini janji serius, sama. Sumpah janji serius, nazar janji serius. Tetapi naturnya beda, perlakuannya beda. Kalau nazar itu langsung dibuat orang itu berhadapan langsung dengan Tuhan, “Saya janji ini Tuhan.” Tetapi biasanya nazar ini sendirian kan ya, terus biasanya diucapkan ketika dalam kondisi orang-orang itu menghadapi kesusahan, penderitaan. Pergumulan hidup begitu lama, begitu lama anggap ya, sudah lari dari panggilan Tuhan berpuluh-puluh tahun, “Saya tidak mau melayani Tuhan.” Terus kemudian panggilan Tuhan itu terus kuat. Terus dia berjanji, “Tuhan tolong berikan damai sejahtera kepada saya. Kalau Tuhan berikan damai sejahtera, nanti aku akan penuhi panggilan Tuhan itu umur berapa. Saat ini saya nggak mau. Saya nggak mau melayani Tuhan, nggak mau jadi hamba Tuhan tapi saya ingin mengerjakan yang saya suka dulu.” Itu misalkan nazar kepada Tuhan ya. Memang salah, salah. Tuhan panggil dia menjadi hamba Tuhan. Tapi dipendam, terus umur 50 tahun, saya jalankan nazar saya di hadapan Tuhan. Langsung jadi hamba Tuhan umur 50, 60, misalkan kaya gitu ya. Bisa juga demikian. Bernazar, kalau Tuhan kabulkan permohonan saya, saya akan lakukan. Ini susah lho. Buat nazar itu susah, nggak mudah Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Dari mana kita tahu kalau kita bisa melakukan apa yang kita tawarkan kepada Tuhan sebagai manusia yang lemah dan berdosa? Nggak mungkin.

Konteks nazar ini Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini bicara soal I and thou relationship, aku kepada Tuhan saja. Kalau sumpah, tadi ya, sumpah itu kepada orang lain. “Aku berkata jujur kepada kamu, aku bersumpah kepada kalian semua.” Bisa juga, “Aku bersumpah kepada Allah.” Boleh. Itu janji yang serius. Tapi kalau nazar ini hanya bersumpah kepada Allah, terus ada bargaining-nya, tawar menawar dengan Tuhan. Tapi ini hati-hati. Adakah orang Kristen yang tidak pernah bernazar seumur hidupnya? Mungkin ada, mungkin banyak. Tetapi adakah orang Kristen yang bernazar kepada Allah terus tepati janjinya? Ada juga. Tetapi adakah yang bernazar kepada Allah lalu tidak tepati janjinya? Ada juga. Wah itu ya yang paling parah yang ketiga, dia sudah bernazar tidak tepati. Maka kitab Pengkhotbah katakan kalau kamu sudah bernazar kepada Tuhan tapi tidak tepati, lebih baik tidak usah bernazar. Lebih baik nggak usah janji-janji. Lebih baik nggak usah ngomong-ngomong. Kita buka ayatnya nya, Pengkhotbah 5:3-4, mari kita sama-sama baca ayat ini, “Kalau engkau bernazar kepada Allah, janganlah menunda-nunda menepatinya, karena Ia tidak senang kepada orang-orang bodoh. Tepatilah nazarmu. Lebih baik engkau tidak bernazar dari pada bernazar tetapi tidak menepatinya.” Ketika kita bernazar kemudian kita tidak bisa menepati, hasilnya apa? Tuhan itu tidak senang. Karena apa? Yang kita katakan adalah bukan ya bukan tidak, yang kita katakan adalah hal yang sembarangan, sembrono menggunakan kata-kata kita. Allah memperingatkan orang yang bernazar harus dengan serius, tepati dan jangan sembarangan. Lakukanlah nazarmu kepada Allah.

Ada salah satu contoh hakim di Perjanjian Lama yang bernazar, kita tahu ya, ini kisahnya sangat terkenal sekali. Banyak pandangan, banyak perdebatan soal bagaimana hakim bernama Yefta ini bernazar kepada Tuhan. Dia bernazar bahwa, “Tuhan, kalau Tuhan sungguh-sungguh menyerahkan bangsa Amon, yang di mana aku sedang berperang dengan dia,” Israel sedang berperang dengan bani Amon. “Kalau Tuhan serahkan bangsa itu, aku menang, maka apa pun” – ini bisa siapa pun, bisa apa pun – “yang keluar pertama dari rumahku, akan kupersembahkan kepada Tuhan sebagai korban bakaran. Apapun yang keluar dari rumahku menemui aku sewaktu aku habis perang, maka aku akan memberikan kepada Tuhan, itu punya Tuhan, dan mempersembahkannya sebagai korban bakaran.” Ini nazarnya Yefta. Sekarang Israel bertemu dengan bani Amon, peranglah mereka. Perang yang begitu sengit. Kemudian Yefta menang. Dia ingat nazarnya, ini menang. Sekarang saya pulang ke rumah, terus melihat apa sih yang keluar di pintu rumah saya. Apakah itu kambing? Mungkin bisa kambing keluar. Ada orang, siapa duluan ya, budaknya atau kambingnya dulu ni. Kalau budaknya yang keluar, ini yang harus dikorbankan, budaknya. Kalau kambingnya yang duluan, dombanya yang duluan, itu yang dikorbankan. Mungkin dia pemikirannya kaya gitu ya, mungkin.

Tapi malah yang menyambut Yefta pulang dari pintu rumahnya adalah siapa? Anak perempuan tunggalnya Yefta. Anak perempuan tunggalnya Yefta itu ya mungkin mau menyambut papanya pulang dari perang, mungkin dia khawatir papanya menang perang atau nggak. Terus dia sambutlah keluar, dan inilah yang harus kukorbankan kepada Tuhan. Akhirnya si Yefta ngomong ke anak gadis perempuannya. “Ini aku bernazar kepada Tuhan, mohon mengerti ya.” Bayangin ya, “mohon mengerti papamu membunuh kamu.” Wah gimana caranya si gadis perempuan ini. Tapi anehnya si gadis perempuan ini setuju. Gila memang ini. Gadis perempuan ini, anak perempuan ini setuju papanya mempersembahkan dia menjadi korban bakaran. Seperti Tuhan Yesus lah. Seperti Ishak. Ishak umur belasan tahun, “Tidur kamu!” Sama bapak Abraham kan.” Ayo simpan ranting-rantingnya, aku akan mempersembahkan korban. Terus disembelih.” Itu taat juga lho, Ishak, kepada Abraham.

Kemudian perempuan ini, entah nego-nego bagaimana, bergumul, berdoa, pokoknya si perempuan ini meratapi dulu hidupnya yang akan mati selama 2 bulan. Jadi Yefta menghabiskan waktu bersama anak perempuannya ini 2 bulan, begitu mengasihi. Itu adalah masa-masa yang mungkin terindah antara ayah dan anak perempuan. 2 bulan. Karena sebentar lagi mau mati kok, ayahnya yang harus mempersembahkan korban bakaran. Akhirnya, sudah dibakar. Ini menjadi sebuah tradisi juga ya bagi bangsa Israel mengingat betapa mengerikannya, suatu moment ayah mengorbankan anak perempuannya demi nazarnya kepada Tuhan. Dan Tuhan juga terima. Ini bicara soal nazar, entah mungkin Yefta sembarangan bernazar, bisa juga. Kesalahannya demikian. Tapi intinya nazar itu harus ditepati. Maka waktu Yefta sudah bernazar, kemudian dia tidak tepati, itu lebih parah daripada membiarkan anak perempuannya hidup. Karena Tuhan nggak senang kok, nggak senang sama Yefta sama gadis perempuan, lebih parah nanti. Lebih nggak diberkati. Lebih baik kabulkan. Cepat kabulkan kalau kamu sudah pernah janji. Masalahnya Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, saya juga pernah merenungkan, saya pernah nazar apa ya ke Tuhan, jangan-jangan belum saya tepati. Bahaya kalau kita lupa. Sumpah lupa, nazar lupa, hidup tak jelas. Banyak orang yang tidak suka dengan kita.

Lalu bagian akhir nasehat ini, baik Yesus maupun Yakobus katakan bahwa kalau tidak jujur, tidak setia pada sumpah maupun nazar ya, bahkan dalam perkataan sehari-hari, pasti ada hukuman. Mau kita bohong kek. Mungkin hukumannya nggak langsung. Mungkin hukumannya juga di kekekalan, bisa juga ya. Tapi intinya seluruh hidup kita memang dipertanggungjawabkan kepada Tuhan karena Allah itu adil, Allah itu kudus, maka kita ngomong apa itu semua Tuhan save kok, Tuhan tahu kok, Tuhan adili. Maka itulah yang perlu kita hati-hati dalam perkataan kita.

Bapak, Ibu sekalian, salah satu tokoh Katolik yang terkenal, hamba Tuhan yang mendapatkan Nobel Peace Prize. Hadiah Nobel Perdamaian. Bukan hamba Tuhan pendeta laki-laki, bukan hamba Tuhan yang besar, tetapi dia adalah seorang perempuan Katolik. Dia jalankan panggilan dan nazarnya dengan setia kepada Allah. Dia melayani di India, di Kalkuta. Tokoh itu, kita tahu semuanya, bernama Bunda Teresa. Uniknya ya, ketika saya menonton film Bunda Teresa, itu judulnya adalah “Letters from Mother Theresa”. Coba nonton Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Bagus. Nah uniknya, jadi bisa kurang lebih tahu sistem Katolik seperti apa. Jadi namanya seorang hamba Tuhan yang menyerahkan dirinya untuk Tuhan melayani sepenuh waktu, dia kan harus bernazar, berjanji. Itu ya, “Saya tidak akan menikah”. Janjinya. Nazarnya “Saya akan hidup single, selibat, untuk melayani sebagai biarawan atau biarawati.” Kemudian dia juga setelah lulus studi itu dia pilih ordo atau pilih congregation sebutnya ya. Pilih gereja mana yang mau dilayani, GRII dan yang lain? Pilih. Harus setia juga, bernazar lagi akan setia terus melayani di congregation-nya, di gerejanya, di jemaatnya. Terus dia sudah berjanji demikian sebagai biarawati, barulah dikasih jabatan vikaris, kaya gitu ya. Jabatannya adalah kalau laki-laki kan “Brother”, kalau perempuan itu “Sister”. Kalau mereka naik jabatan, yang satu jadi “Father” yang satu jadi “Mother”. Kalau Vikaris kan naik jabatan jadi Pendeta. Mirip lah, semua nya kaya gitu, jabatan-jabatan seperti itu ada juga di Katolik.

Kemudian Bapak, Ibu, Saudara sekalian, waktu itu Bunda Teresa waktu masih muda bernazar untuk jadi biarawati melayani di Ordo Loreto. Dan tugasnya apa? Dia hanya menjadi guru, pelayanan, kepada gadis-gadis muda di gereja di India, di Kalkuta. Kemudian setelah 16 tahun menjalani nazarnya kepada Tuhan, ada perubahan dalam hatinya. Dan Bunda Teresa tahu itu adalah God’s will, kehendak Tuhan. Sekarang pergumulannya adalah nazarnya dengan God’s will, kehendak Tuhan. Dia jalankan nazarnya, “Saya akan setia menjadi biarawati, akan mengajar para perempuan, gadis-gadis perempuan, mengajar ilmu pengetahuan, mengajarkan iman dengan setia”. Itu kan janjinya, seumur hidup lho. Tapi ketika dia mengajar di gereja sana, dia tuh sering lihat jendela. Jendela ke luar, itu ada keluarga, satu keluarga, bapak, ibu, anak, duduk mengemis, minta makanan. Terus ada kerusuhan antara Hindu dan Muslim. Apalagi Kristen, mau mengabarkan Injil, Hindu, Muslim saja bertengkar. Terus Kristen juga mau bersaksi di India itu ada tentangan juga dari kaum-kaum Hindu pada waktu itu ya. Akhirnya apa? Dia harus cabut nazarnya. Nah ini uniknya ya, dia harus mengubah nazarnya dari mengajar gadis-gadis menjadi dia ubah sendiri, “nazar saya yang baru adalah saya akan melayani the poorest among the poor.” Yang paling miskin di antara yang miskin. Itu yang akan saya layani. Wah kalau sistem Katolik kan terpusat kan. Maka si Sister Teresa tadinya ya, waktu dia di bawah naungan Ordo Loreto ini, Sister Teresa ini menulis surat. Harus tulis surat. Sampai ke Vatikan. Lama ya, pergumulan panggilannya untuk mengubah nazarnya nggak gampang. Penuh pergumulan, lama. Dan akhirnya gereja Vatikan, Katolik itu setuju, “OK, kamu lepas dari ordo ini, aliran ini. Kamu lepas. Kamu bisa mendirikan kongregasi atau jemaat kamu sendiri. Kamu pilih namanya apa, nanti gereja Katolik akan meresmikan ordo apa. Lalu kamu akan diangkat menjadi Mother Teresa.” Dari Sister menjadi Mother karena dia pemimpin, pemimpin dari kongregasi tersebut.

Kemudian awal mulanya sebelum akhinya kongregasi itu muncul dia melayani ke daerah-daerah kumuh di India. Cuma ketemu orang, kan bingung ya mau melayani apa, dia nggak punya uang. Dia cuma bawa uang di sakunya itu cuma $1 lah kira-kira, itu uang di India zaman itu. cuma Rp. 10ribu, 15ribu bisa apa sih? Yang penting ngobrol, ketemu anak-anak ngajar. Nah akhirnya orang mengetahui, dan lain-lain, akhirnya mengenal dia, sampai berkembang pelayanannya. Dia berubah dari hamba Tuhan jadi pelayan orang-orang miskin. Dari guru menjadi pelayan orang-orang miskin. Terus dia ikut pelatihan medis, jadi dokter juga. Cara menyuntik dia tahu, cara membersihkan luka dia tahu, pokoknya dia pelajari untuk menyembuhkan kesehatan. Dan yang paling unik adalah di dalam pelayanannya dia minta ke petugas setempat kota tersebut untuk menggunakan suatu tempat ibadah yang sudah kuno, tempat ibadah Hindu yang sudah kuno, untuk dijadikan rumah untuk orang yang akan mati. Jadi bukan rumah duka, bukan rumah sakit, tetapi di tengah-tengahnya; rumah yang untuk orang yang akan mati. Supaya orang yang akan mati itu tidak dibiarkan di pinggir jalan, melainkan di situ, dikelilingi orang-orang yang mengasihi dia. Yaitu siapa? Mother Teresa, lalu teman-teman, Sister-Sister yang lainnya. Nah itu namanya adalah kongregasi khusus yang didirikan oleh Mother Teresa ini adalah Missionaries of Charity. Fokus melayani orang-orang India di daerah kumuh.

Dan akhirnya mereka bersama-sama bernazar di gereja menurut perkataan Bunda Teresa seperti ini ya, coba kita lihat. Dia berjanji atau we vow, mungkin ini bisa lebih ke arah sumpah karena nggak ada hukuman kalau mereka melanggar hal ini kan ya. Atau gimana ya, bukan nggak ada hukuman ya, maksudnya itu tidak ada bargaining-nya. Bukan tidak ada hukuman, ada hukuman, pasti namanya vow atau namanya sumpah, namanya nazar pasti ada hukuman kalau tidak dijalankan. Tetapi nggak ada nazar itu kan ada nego-negonya, kalau saya begini, Tuhan mohon berkati seperti ini. Tetapi ini lebih ke arah sumpah. Kalau nazar juga bisa dikatakan demikian. “We vow to care the hungry, the naked, and the homeless, the crippled, the blind, the lepers. All those people who feel unwanted, unloved, uncared for throughout society. People who have become a burden to a society and are shunned. Giving Christ’s love in our spiritual work of mercy.” Ini seperti perkataan Yesus kok. Waktu kita melayani yang telanjang, yang kelaparan, yang haus, itu kita sedang melayani Yesus Kristus. Ini yang dilakukan oleh kongregasi tersebut.

Nah saya belajar-belajar dari Katolik Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mereka itu kalau ada tulisan bagus, doa bagus, mereka simpan baik-baik, terus akhirnya bisa digunakan sewaktu-waktu. Kalau kita kan lebih ke arah khotbah bagus kita catat, kita pelajari, kita simpan dalam hati, kita lakukan. Kurang lebih ya. Tapi ada doa-doa yang khusus, doa-doa yang bagus, ini jadi slogan lah kurang lebih. Memang fokus kita itu ini, panggilannya itu seperti ini. Ya mungkin kalau kita di gereja ini kan, fokus gereja ini apa sih? Kenapa kita ber-gereja di tempat ini? Ada tujuanny dong, masa ya udah, yang dekat rumah saja ke gereja. Ya sudah ini bangun gedung, ya sudah saya mau ke sana. Bukan! Kita itu punya tujuan. Tentu tujuan semuanya untuk memuliakan Allah tetapi gereja ini menawarkan apa Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Ya menawarkan Reformed Injili-nya. Itu yang membedakan gereja ini dengan gereja lain. Dan gereja lain dengan gereja yang lain itu nama gerejanya. Mau fokus di mana. Kaya gitu ya.

Nah Bapak, Ibu, Saudara sekalian kita menyetujui nilai dari sumpah dan nazar. Kalau tidak dilakukan ada hukuman. Dan kita harus betul-betul menjalankannya dengan benar. Jadi kita bisa tahu bahwa sumpah dan nazar hanya dilakukan dalam hal-hal khusus, terus dilaksanakan dengan otoritas Allah. Maka waktu kita bersumpah, janji pernikahan, itu sumpah, janji jabatan, itu sumpah; kita nggak boleh sembarangan. Harus pelajari dulu. Kalau memang baik, ya tetap kita lakukan dengan benar, “Atas nama Tuhan saya mau lakukan hal ini.” Baik itu sumpah jabatan, sumpah pekerjaan, sumpah pernikahan, demi nama Tuhan yang lebih besar daripada saya. Maka kalau saya tidak lakukan, saya dihukum. Maka para dokter-dokter yang justru bukan mau menyembuhkan orang, menolong orang, ya harusnya dihukum. Memang dia menyangkali sumpahnya. Kita juga sama sebagai suami istri, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau kita bercerai, pasti ada hukuman. Pasti itu. Dan hukumannya nggak enak. Ya nggak perlu dicoba ya, “Ya sudah, saya mau coba, hukuman apa sih bercerai dengan pasangan saya?” Pasti dihukum! Coba tanya pasangan yang bercerai, senang gitu bercerai? Pasti nggak. Ada luka. Cerai kok. Karena kita sudah bersumpah. Selain karena sumpah mendatangkan hukuman kalau tidak ditepati, kita juga sebagai manusia lemah kok, banyak dosa, sehingga kita makin terpuruk dan terpuruk.

Sumpah harus demi nama Allah. Sumpah dan nazar juga tidak boleh ambigu maupun tidak jelas. Orang Kristen nggak boleh gini ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, seperti orang Barat ya, “Ayo main. Jujur atau nggak.” Terus menyilangkan jari, mengatakan bahwa, “Aku tidak berkata benar. Aku berbohong.”

Dan terakhir Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya bacakan dalam Mazmur 119:105-106, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” – ini uniknya ya pemazmur katakan – “Aku telah bersumpah dan aku akan menepatinya, untuk berpegang pada hukum-hukum-Mu yang adil.” Jadi sumpah menjalankan firman Tuhan, harusnya itu sumpah orang Kristen. Menjadi murid Yesus Kristus yang setia, menyangkal diri, memikul salib, mengikut Yesus, itu sumpahnya orang Kristen. Kalau nggak jalankan sumpah itu, maka akan dapat hukuman? Dapat! Tanpa kita perlu bersumpah pun Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau kita tidak taat firman Tuhan ya pasti dapat hukuman kok. Namanya berdosa kan. Maka kita bisa lihat ini kesungguhan dari pemazmur. Dia menganggap firman Tuhan itu adalah hal yang serius, hal yang bukan saja kronos, yang rutin sehari-hari kita miliki, tetapi juga hal yang kairos, yang saya harus jalankan dalam hidup saya, kalau nggak, saya dihukum Tuhan, kalau nggak, Tuhan tidak senang dengan saya, saya mengecewakan Tuhan. Maka ini pun menjadi prinsip atau sumpah secara umum bagi kita sebagai orang Kristen.

Bersumpah saya sudah diselamatkan, saya akan menaati firman. Saya sudah pasti dapat surga, saya sudah mengenal Allah yang benar, saya mau menyerahkan seluruh talenta saya untuk kemuliaan Tuhan. Itu harusnya sumpah orang Kristen, bukan hamba Tuhan saja yang harusnya bersumpah ya. Menyerahkan seumur hidup untuk melayani Tuhan. Bukan hamba Tuhan, bukan pendeta, bukan vikaris, tetapi semua orang Kristen! Sebagai orang Kristen kita harus bersumpah layaknya pemazmur bersumpah karena firman Tuhan itu begitu penting. Dan kiranya kita boleh mengerti lebih dalam lagi tentang kebenaran dan sumpah Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Nazar kita juga kurang lebih sudah mengerti ya. Dan perkataan ktia sehari-hari pun harus jujur, tulus. Bahwa apa yang kita katakan itu kita harus tahu bahwa Tuhan itu mendengar setiap perkataan kita. Dan seluruh perkataan kita juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, maka jangan sembarangan bersumpah, bernazar, maupun berkata-kata sekali pun jangan sembarangan. Dan kiranya kita punya mulut, kita persembahkan kepada Tuhan menjadi saksi kebenaran. Jangan asal ngomong. Masa kalau tidak berbohong sulit menjalani hidup? Nggak! Jujur aja. Sulit, sulit karena jujur bukan sulit karena bohong. Jangan bohong, jangan menipu dan hidup jujurlah di hadapan Tuhan. Minta pertolongan Tuhan untuk jalankan firman Tuhan karena dengan pertolongan Roh Kudus saja lah sebenarnya kita mampu mentaati perintah-perintah Tuhan. Amin. Mari kita sama-sama berdoa ya.

Bapa kami yang ada di surga, kami mengucap syukur Tuhan boleh mengenal Engkau sebagai Allah yang hidup, Allah yang tidak pernah berdusta, Allah yang selalu menyatakan kebenaran, Allah yang menyukai orang-orang yang hidup dengan jujur di hadapan Tuhan. Kami mohon Tuhan, supaya Tuhan boleh mengampuni segala dosa-dosa kami yang kami perbuat, khususnya di dalam perkataan-perkataan kami ini. Ampuni jikalau kami seringkali sembarangan dalam berkata-kata, tidak hormat kepada Tuhan maupun kepada sesama kami manusia. Dan tolonglah kami Tuhan, supaya kami pun boleh memiliki kehidupan yang bertanggungjawab di hadapan Tuha. Ketika kami bersumpah atau ketika kami bernazar, kami pun mengerti bahwa itu adalah sesuatu yang serius, yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan juga mengandung sebuah hukuman kalau memang kami tidak menjalankannya. Berkati setiap kami Tuhan, tolonglah kami supaya kami boleh terus setia menjadi murid Kristus yang setia, yang senantiasa menyangkal diri, memikul salib, dan juga mentaati kebenaran firman Tuhan. Pimpinlah hidup kami Tuhan, berbelas-kasihanlah kepada kami semua. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami yang hidup kami sudah berdoa. Amin. (HSI)