The True Reality, His or Ours

Sebelumnya saya terlebih dahulu harus mengungkapkan bahwa saya pernah meragukan kebenaran kekristenan. Hal ini terjadi ketika tuntutan untuk taat kepada Allah mempunyai akibat yang menurut saya waktu itu dapat membuat visi dan hidup saya, yang awalnya saya pikir buat Allah, menjadi hancur lebur tak bersisa. Saat itu rasio saya betul-betul tidak mengerti mengapa Firman Allah menuntut hal yang sedemikian rupa. Sempat terlintas di dalam pikiran saya, “Bisa tidak yah kekristenan itu tidak real? Jangan-jangan kekristenan juga buatan manusia dan bisa-bisanya bapak- bapak gereja saja. Kok jadi tidak masuk akal dan kacau begini? Apakah saya mau mengikuti Firman Allah? Saya tahu Firman Tuhan mengatakan seperti itu, tetapi kenyataannya ‘kan lain? Apakah kekristenan layak dikejar sampai mati-matian seperti itu?” Di dalam diri saya terdapat pertentangan yang begitu hebat.

Ternyata di dalam kelemahan saya, sebetulnya saya mengganggap bahwa kekristenan itu bukanlah suatu realita, tetapi sebuah idealisme. Saya berpikir, “Kurang ajar juga saya ini mengganggap Allah hanyalah kesimpulan manusia, walaupun bibir saya mengatakan Allah itu hidup.” Lebih dalam lagi, ternyata permasalahan utama yang saya hadapi adalah siapakah pemegang tertinggi pembentukan realita atau kenyataan di dunia ini, karena saya sebetulnya tidak mengganggap yang membentuk realita itu adalah kebenaran Allah.

Dalam kelemahan saya, Allah membimbing dengan tekun dan sabar. Letak kebutuhan saya adalah pembuktian bahwa kekristenan adalah suatu kenyataan atau realita, bukanlah sebuah idealisme. Setidaknya itu yang telah Allah nyatakan buat saya, maka saya belum berani menyatakan hal itu haras berlaku untuk semua orang. Jadi tidak heran jika saya diombang- ambingkan dengan berbagai spekulasi saya sendiri. Ketika hal itu menjadi sangat jelas, keberadaan Allah menjadi begitu nyata dan real. Dia betul-betul pembentuk dan pemegang tertinggi dari realita. Kenyataan ini membuat saya lebih giat lagi untuk hidup kudus dan sesuai kekristenan. Tantangan hidup Kristen dapat saya hadapi dengan sedikit lebih berani, dan harus saya katakan juga sedikit lebih ringan untuk taat, walaupun tetap saja tidak mudah, sebab saya tidak perlu lagi bertanya soal kenyataan. Saya telah dibuat mengerti dan betul-betul sadar bahwa kenyataan dibentuk oleh kebenaran Allah.

Urutan artikel saya yang dimulai dari masalah kepercayaan terlebih dahulu, barulah dilanjutkan dengan masalah kenyataan dan kebenaran bukanlah merupakan suatu kebetulan. Memang Allah membimbing saya untuk taat dan percaya sepenuhnya dahulu, baru kemudian diberitahukan rahasia tentang realita. Pada dasarnya manusia adalah mahkluk yang percaya, maksudnya, manusia selalu percaya kepada sesuatu. Walaupun kadangkala mereka mengklaim kalau mereka tidak percaya Allah, tapi sebenarnya itulah kepercayaan mereka, yaitu mereka percaya bahwa Allah itu tidak ada. Kepercayaan kita membentuk realita yang kita pegang. Masalahnya, kita bisa saja percaya pada hal yang ngawur. Bisa saja di dalam pemikiran dan pandangan kita suatu hal kita anggap sebagai suatu kebenaran, walaupun sebenarnya hal itu ngawur. Itulah yang namanya mempercayai. Meskipun demikian, Cornelius Van Til berkata bahwa jika kita menyatakan percaya kepada satu-satunya yang benar, sudah seharusnya kalau hal yang kita percayai sebagai kebenaran itu harus bisa dibuktikan apakah hal tersebut murni kebenaran atau murni ngawur.

Artikel ini tidaklah cukup untuk menjabarkan semua pembuktian yang Allah berikan kepada saya, tetapi saya akan menjelaskan dua hal yang cukup sederhana sebagai pembuktian bahwa kekristenan adalah kenyataan, bukanlah idealisme. Pertama, prinsip Alkitab yang menyatakan bahwa hanya ada dua kondisi, yaitu benar atau salah. Tidak ada kondisi di tengah-tengah benar dan salah. Tetapi di zaman ini, banyak orang mengambil sikap bahwa setiap orang harus menghormati pendapat orang lain dan sama sekali tidak boleh menganggap dirinya benar, apalagi memaksakan pendapatnya sebagai satu-satunya yang benar. Kita sebagai orang Kristen, di zaman sekarang ini, juga banyak terpengaruh dengan pernyataan ini. Saling menghormati dalam memberikan pendapat tentu tidak salah, tetapi kalimat selanjutnya mengandung masalah yang sangat serius.

“Kamu tidak boleh menganggap dirimu benar” Jika seseorang sudah berani berpendapat, maka dia sudah menganggap bahwa pernyataannya adalah sebuah pernyataan yang benar, yang diharapkan dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua orang. Orang yang seperti ini sebetulnya sudah memaksakan pendapat bahwa pernyataannya adalah benar. Jika memang orang ini mau konsisten dengan pernyataannya, yaitu tidak ada orang yang boleh menganggap dirinya benar, maka itu harus termasuk dirinya sendiri dan juga pernyataannya yang mengatakan hal tersebut. Maka pendapat bahwa di dunia ini tidak ada satu pun yang boleh dianggap benar berarti termasuk pendapatnya juga bukan? Jadi pendapat ‘kamu tidak boleh menganggap dirimu benar’ boleh dianggap atau boleh juga tidak dianggap, karena bukankah tidak ada orang yang boleh menganggap diri benar? Jadi sebetulnya yang berlaku dalam realita dunia ini adalah yang C. S. Lewis katakan di dalam bukunya ‘Mere Christianity’ sebagai hukum alamiah di dunia, yaitu benar atau salah, sebuah esensi dari hukum Allah. Kita tidak akan bisa menghindarinya. Masalahnya selalu adalah yang mana yang benar dan yang salah.

Firman Tuhan selalu mengatakan bahwa hanya ada dua kondisi di dunia ini, berpihak kepada Allah atau tidak, kepada Kebenaran atau tidak. Hal ini juga yang membuat argumentasi menjadi bermakna. Hukum ini bukan datang dari kita, tetapi dari sesuatu yang melebihi kita. Ini cuma dari segi bahasa atau kata-kata (words) manusia. Dalam buku yang sama, C. S. Lewis juga mengungkapkan bahwa manusia tidak bisa tidak hidup di dalam hukum yang telah ditentukan untuk mereka. Semua hukum yang telah ditentukan itu, mulai dari hukum pengetahuan alam (fisika, kimia, biologi, dll.), rumusan matematika, rumusan tentang hidup (sosiologi, anthropologi, epistemologi, filsafat, dll.), bahkan hingga kekonsistenan bahasa manusia (seperti yang dapat kita lihat pada kasus yang telah dibahas di atas), telah ditentukan dari seseorang yang transcendent, yang melebihi dan melampaui diri manusia, yaitu Allah.

Kedua, mari kita lihat tentang hal berikut ini. Semua orang benci dengan orang yang egois, bukan? C.S. Lewis mengatakan bahwa keegoisan tidak pernah dikagumi dimana-mana. Kita semua pasti setuju akan hal ini. Jika kita mengira manusialah yang menentukan hukum-hukum atau norma-norma dan bukan seseorang yang melampaui kita, maka kita akan mengadakan sebuah ujian. Jika memang manusia yang menentukan segala sesuatu, maka sekarang marilah kita coba untuk membuat sebuah perjanjian yang berlaku di seluruh dunia bahwa semua manusia boleh egois, tidak perlu memikirkan orang lain, boleh membunuh tetangganya untuk mendapatkan istrinya yang cantik, atau boleh main ambil saja mobil mewah milik orang lain. Kira-kira apakah hasilnya? Hal ini akan membuat dunia berakhir lebih cepat. Mengapa? Karena ketidakegoisanlah yang membuat dunia ini tenteram.

Apakah manusia yang menentukan supaya kita tidak egois? Bukan! Manusia telah ditentukan untuk tidak egois. Inilah yang dapat membuat segala hubungan di dalam masyarakat berhasil, di mana pun mereka berada. Saya juga bisa mengatakan bahwa kita diciptakan untuk tidak egois. Jika kita mengklaim bahwa kita yang menentukan hukum, seharusnya kita bisa saja mengganti hukum tersebut dengan leluasa, bukan? Tetapi kenyataannya kita hanya bisa mentaati hukum yang telah ada jika tidak ingin hidup kita runyam. Bila kita lari dari hukum itu, hidup kita akan berantakan. Karena semua hal telah ditentukan demikian oleh seseorang yang mempunyai kedaulatan tertinggi, mutlak, tidak bisa tidak, dan tidak terhindarkan oleh siapa pun dan apa pun. Ia juga yang mempunyai keagungan pribadi dan intelektual melampaui manusia, yang menentukan tingkah laku manusia dan alam semesta sejak awal mulanya (Kejadian 1).

Teman saya pernah berkata, memang banyak orang mengganggap bahwa orang Kristen yang mati-matian taat adalah orang bodoh atau orang gila. Tapi orang bodoh melihat orang pintar itu bodoh dan orang gila melihat orang waras itu gila. Jadi dari mana kita tahu siapa yang bodoh dan siapa yang gila? Firman Allah adalah pembentuk keberadaan kita dan realita alam semesta ini. Sesuatu yang kita sebut-sebut sebagai kenyataan tidak lain adalah Firman-Nya. Senang atau tidak senang. Tidak heran Amsal 1:7 mengatakan bahwa takut kepada Allah adalah permulaan hikmat dan awal dari pengetahuan. Sebelum kita takut kepada Allah, rasio kita tidak akan mampu memahami pengetahuan dan realita yang sangat mendasar. Maka jika Allah memerintahkan kita untuk mentaati-Nya, sebetulnya juga untuk kebaikan kita. Segala hukum, formula, dan konsekuensi-konsekuensi di alam semesta ini ditentukan oleh Firman Tuhan, pembentuk realita. Tidak taat kepada Firman Tuhan, konsekuensinya atau kerunyamannya juga tepat seperti apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan dan hal itu berlaku bukan saja di surga nanti, tetapi juga di bumi sekarang ini. Saat itulah, baru pertama kalinya dalam hidup kekristenan saya menginjakkan kaki ke tanah, seperti dalam lirik hymn ‘The Solid Rock’ Edward Mote mengatakan, “On Christ, the solid Rock I stand, all other ground is sinking sand, all other ground is sinking sand. ”

Untuk referensi lebih lanjut tentang pembuktian bahwa kebenaran Allah adalah pembentuk realita atau kenyataan, Anda dapat membaca artikel ‘At War with the Word, the Necessity of Biblical Antithesis’ dari kuliah Dr. Greg L. Bahnsen, seorang ahli karya Cornelius Van Til di Westminster Seminary, Philadelphia, USA. Cornelius Van Til percaya bahwa apologetika (pembelaan) iman Kristen harus dimulai dengan antitesis yang alkitabiah, bukan dari hal lain. Artikel ini jauh lebih kaya dari artikel saya. Dr. Bahnsen mengupas bahwa karya Van Til membuktikan bahwa antitesis adalah satu-satunya yang paling masuk akal, konsisten, dan stabil. Sedangkan filsafat-filsafat dan kepercayaan- kepercayaan lain biasanya menghancurkan pernyataan sendiri atau tidak konsisten. Anda dapat membaca artikel yang sudah diterjemahkan dalam website GRII Andhika-Surabaya (www.griis.org) dan artikel aslinya terdapat di Center of Reformed Theology and Apologetics ( http://www.reformed.org/webfiles/antithesis/ ).

The Antithesis between followers of God and followers of Satan is sovereignly inflicted as God’s judicial curse. This enmity is not only social but also intellectual in nature, and, therefore, to ignore it in our apologetic is to compromise the Gospel. ”

Soli Deo Gloria!